Chapter 2
Tantangan seru yang Bisa dilakukan
di rumah
"Wah, sial banget ya. Tiba-tiba ditunjuk dan langsung disuruh menyampaikan ide,"
"Benar-benar nggak nyangka. Apalagi ide itu langsung diterima begitu saja…" balasku sambil menghela napas.
Setelah rapat untuk menentukan acara selesai, kami berjalan pulang. Begitu melewati gerbang sekolah, Toiro langsung mengangkat topik yang baru saja kami bicarakan. Di sekitar kami tidak ada orang lain, jadi kami bisa berbicara dengan bebas.
"Itu artinya idemu memang bagus. Dalam waktu sesingkat itu, kamu bisa langsung terpikirkan ide seperti itu."
"Ya, entahlah…"
"Kamu juga memikirkan orang-orang yang nggak bisa meluangkan banyak waktu untuk festival, tapi tetap menciptakan ide yang unik dan beda dari kelas lain. Acara itu pasti bakal seru banget—benar-benar sempurna. Kelas lain pasti bakal kaget."
"Ah, kamu terlalu melebih-lebihkan." Aku mengangkat bahu, meski sebenarnya senang mendengar pujiannya.
"Lama-lama semua orang bakal sadar soal bakat tersembunyimu, Masaichi. Dalang di balik kelas satu—"
"Ini bukan anime perang otak, tahu!" potongku cepat.
Toiro tertawa terbahak-bahak mendengar komentarku, sementara aku, yang juga tak bisa menahan senyum, ikut terkekeh pelan sambil terus berjalan.
Belakangan ini, udara dingin terasa semakin menusuk saat perjalanan pergi dan pulang sekolah. Setelah topan menerjang bulan lalu, suhu udara langsung turun drastis. Terutama di waktu seperti sekarang, ketika matahari sudah lebih rendah di langit, angin yang bertiup terasa lebih dingin.
Meskipun begitu, Toiro tetap berjalan di sampingku dengan langkah ringan, penuh semangat. Blazer sekolah yang dikenakannya sedikit tersingkap, memperlihatkan lengan cardigan putih yang menjulur keluar hingga setengah menutupi tangannya.
"Sebenarnya, ide tentang Guinness ini juga ada hubungannya denganmu, Toiro," kataku tiba-tiba.
Toiro menoleh dengan tatapan bingung, matanya berkedip-kedip.
"Aku?"
"Iya. Pas aku ditunjuk sama Sarugaya tadi, aku kebetulan lagi kepikiran tentang game yang sering kita main belakangan ini. Kamu tahu kan, yang naik tebing itu."
"Oh iya! Aku tadi juga mau ngajak main lagi hari ini!"
Game itu adalah salah satu mini-game dari sebuah RPG, di mana pemain harus memanjat tebing dengan karakter mereka dan berlomba mencapai waktu tercepat. Meski konsepnya sederhana, kualitasnya tinggi, dan membuat banyak orang di seluruh dunia kecanduan. Video panduan terus bermunculan setiap hari, namun rekor baru selalu berhasil dibuat keesokan harinya. Bahkan, baru sejam yang lalu, foto bukti rekor tercepat tersebar di media sosial.
Mungkin ini hanya tren sesaat dan akan segera dilupakan, tapi… untuk saat ini, aku dan Toiro benar-benar terpikat, sampai rela mengorbankan waktu tidur demi mencari cara baru untuk memecahkan rekor.
"Ya, nanti kita main lagi. Jadi tadi, pas aku mikirin cara memecahkan rekor dunia—rekor yang baru—waktu itu juga aku dipanggil sama Sarugaya."
"Ah, jadi begitu! Rekor dunia = Guinness Record, kan?" kata Toiro sambil menepuk tangannya.
Memang, ada hubungannya dengan Guinness Record, tapi… sedikit berbeda dari yang dia pikirkan.
"Yah, gimana ya… aku cuma kepikiran, kalau ini mungkin bisa bikin kamu juga senang."
"Hah?"
"Soalnya waktu kita main game itu, sambil mikirin cara pecahin rekor, kamu selalu kelihatan senang banget. Jadi aku pikir, kenapa nggak bikin acara yang kayak gitu aja?"
Tanpa sadar, aku mencoba mencari ide tentang acara yang melibatkan rekor, supaya aku dan Toiro bisa ikut berpartisipasi sambil bersenang-senang saat persiapan nanti. Dari situlah tercetus ide tentang “tantangan Guinness World Record.” Aku juga mengembangkan ide tersebut dengan membuat kategori baru di luar rekor yang sudah ada, menyediakan hadiah, dan sebagainya, lalu menyampaikan semuanya di rapat tadi.
"Jadi itu… karena aku?"
Toiro menatapku dengan mata terbelalak. Lalu, senyuman lebar muncul di wajahnya, dan dia menepuk pinggangku dengan keras.
"Oke, kalau gitu kita langsung pulang dan mulai pikirin tantangan apa yang mau kita bikin! Saatnya rapat strategi!"
"Eh, gimana dengan gamenya?" tanyaku ragu.
"Itu nanti saja! Lagipula, Masaichi sudah memikirkan ide ini untukku—eh, maksudnya, untuk pacarnya. Aku harus membalasnya!" jawab Toiro dengan penuh semangat.
"Aku sangat terbantu kalau kamu mau ikut memikirkannya, tapi…"
"Sudah diputuskan! Ayo cepat pulang! Kita lari saja biar lebih cepat!"
"L-lari? Tunggu sebentar!"
Tanpa menghiraukan protesku, Toiro berlari kecil mendahuluiku, lalu menoleh sambil tersenyum lebar. Matanya menyipit bahagia, dan pipinya tampak sedikit kemerahan seperti terbakar.
Sepertinya idenya tentang Guinness Record ini benar-benar mengenai sasaran, terutama untuk bagian yang paling ingin kusampaikan. Aku cukup puas dengan hasilnya.
"Kalau buru-buru, nanti capek, tahu," kataku sambil tersenyum kecil.
Namun, melihat semangat Toiro, aku pun mempercepat langkah dan kembali sejajar dengannya.
*
Setelah makan malam di rumah masing-masing, aku dan Toiro berkumpul di kamarku. Kami berdua sudah mengganti pakaian dengan baju santai.
"Kita nggak boleh berhenti sebelum menemukan sepuluh ide bagus!" serunya.
"Tapi ini kan rumahku…" jawabku sambil menghela napas.
Lagipula, Toiro sudah sering meninggalkan barang-barangnya di kamarku, jadi kalaupun dia tidak pulang, sepertinya tidak akan jadi masalah.
Kami pun mulai mencari ide tentang rekor apa saja yang ada. Aku menggunakan komputer, sementara Toiro sibuk dengan ponselnya.
"Memakai 260 kaus secara bertumpuk, menumpuk 12 gulungan tisu toilet di kepala selama 30 detik, memecahkan 46 dudukan toilet dengan kepala dalam satu menit…" Toiro membacakan daftar tersebut sambil bergumam.
"Itu, gimana ya…"
"Kalau boleh jujur… benar-benar… gimana ya…"
"Kamu cukup menahan diri untuk bicara, ya!? Tapi iya sih, benar-benar gimana gitu…"
Kami saling memahami maksud satu sama lain tanpa banyak kata. Rekor Guinness ternyata jauh lebih aneh dari yang kubayangkan… dan banyak yang terasa agak konyol.
"Tapi lucu ya, orang-orang yang memegang rekor ini hidup dengan penuh kebanggaan akan prestasinya," kata Toiro sambil tertawa kecil.
"Namanya juga rekor dunia. Aku sih suka hal-hal seperti itu," balasku.
"Aku juga suka. Aku ingin jadi orang yang dikenal sebagai ‘perempuan yang paling lama duduk di toilet’!" serunya dengan penuh percaya diri.
"Rekor itu memang ada?" tanyaku terkejut.
"Ada juga rekor petak umpet, siapa yang paling lama bersembunyi."
"Kayaknya itu cocok banget buatmu."
Aku teringat permainan petak umpet masa kecil kami, di mana aku hampir menyerah karena tidak bisa menemukan Toiro. Mungkin saja rekor petak umpet itu tercipta karena semua orang menyerah dan pulang duluan.
"Ah, gimana kalau kita coba buat rekor sekarang?" Toiro menyarankan dengan penuh antusias.
Aku mengangguk. "Boleh juga."
Kami mulai mencari tantangan yang bisa dilakukan di kamar ini. Jika bisa dilakukan di sini, artinya mungkin juga bisa diterapkan di kelas saat festival nanti. Kami mencatat ide-ide yang terasa cocok.
"Berapa banyak pensil yang bisa ditegakkan dalam satu menit, berapa banyak post-it yang bisa ditempel di wajah dalam satu menit, atau berapa banyak koin yang bisa disusun di wajah tanpa bertumpuk…"
"Post-it ada, nih!" seru Toiro sambil berdiri.
Ia membuka laci mejaku, mengaduk-aduk barang-barang seperti alat tulis, buku catatan, gunting, dan kompas, sampai akhirnya menemukan post-it berwarna kuning berbentuk persegi.
"Kok kamu tahu ada di situ?" tanyaku heran.
"Hehehe, aku kan sudah terbiasa di sini," jawabnya sambil tertawa kecil. Ia menambahkan bahwa sebelumnya pernah meminjam pena dariku dan melihatnya sekilas. Lalu, Toiro pindah ke meja rendah di tengah kamar dengan penuh semangat.
"Mau dicoba?" tanyaku.
"Tentu saja! Masaichi, tolong hitung waktunya, ya?"
"Oke. Tapi tunggu sebentar, aku cek dulu aturannya."
Aku segera mengetikkan beberapa kata di kolom pencarian browser. Sementara itu, Toiro sudah menggulung lengan bajunya, bersiap-siap dengan serius.
"Post-it harus dilepas dari tumpukan dan ditempel di meja agar mudah diambil. Boleh menggunakan kedua tangan. Setelah selesai, tunggu sepuluh detik, lalu hitung jumlah post-it yang masih menempel di wajah."
"Rekor dunia berapa?" tanyanya penasaran.
"Enam puluh lembar."
"Baiklah! Serahkan pada Toiro-san!"
Dia menyibakkan poni ke belakang dengan penuh percaya diri. Aku membuka stopwatch di ponsel dan menyetel waktu selama satu menit. Setelah selesai menyiapkan post-it di atas meja, Toiro menarik napas panjang dan menutup mata sejenak untuk fokus. Ketika dia membuka matanya, ekspresinya penuh semangat.
"Ayo mulai!"
"Mulai!"
Dengan aba-aba dari Toiro, aku menekan tombol mulai di stopwatch. Toiro langsung mulai menempelkan post-it ke wajahnya dengan cepat.
Dia memulai dari pipi, lalu pelipis, dan kemudian dahi yang sudah terlihat karena rambutnya diangkat. Karena ukuran post-it cukup besar, wajahnya dengan cepat tertutup kertas kuning.
"Tidak bisa! Harus lebih rapat, nanti ruangnya habis," aku memperingatkan.
"O-oke!" balasnya tergesa-gesa.
"Hidung masih kosong! Eh, itu di pipi kanan jatuh!"
"Mengerti!"
Karena pandangannya terhalang oleh post-it, aku memberinya arahan ke mana harus menempelkan kertas selanjutnya.
"Selanjutnya di antara alis."
"Ba-baik…" jawabnya dengan suara teredam.
Toiro bicara dari celah kecil di antara bibirnya agar post-it tidak jatuh. Dia juga sedikit menengadahkan wajahnya untuk menghindari kertas jatuh lebih banyak.
"Toiro! Bibirmu juga bisa ditempel!"
Mendengar saranku, dia segera memanyunkan bibirnya seperti ikan. Dengan wajah penuh post-it dan mulut yang maju seperti itu, ekspresinya terlihat sangat serius, meskipun lucu. Post-it di dekat hidungnya bergoyang-goyang karena hembusan napasnya.
Pemandangan itu membuatku tidak tahan untuk tertawa kecil.
"Jangan tertawa, Masaichi! Jangan bikin aku ketawa juga!" katanya dengan suara terputus-putus.
Karena lucu, aku memalingkan wajah agar tidak tertawa. Namun, Toiro juga berusaha keras menahan tawa, yang malah membuat bahunya gemetar dan beberapa post-it terlepas.
Saat itulah, ponselku bergetar menandakan satu menit telah berlalu. Rasanya cepat sekali.
"Toiro, sekarang tunggu sepuluh detik."
Setelah menunggu sesuai aturan, aku mulai melepas post-it dari wajahnya satu per satu.
"Satu, dua, tiga, empat…"
Dengan mata terpejam, wajah Toiro perlahan kembali rileks seiring dengan post-it yang dilepas.
"Dua lima, dua enam, dua tujuh…"
"…Dua tujuh?"
Toiro membuka matanya perlahan.
"Hah, cuma segitu?"
"Iya, rekormu dua puluh tujuh lembar."
"Gagal banget, dong!?"
Dia terlihat terkejut, lalu menjatuhkan tubuhnya ke meja rendah sambil tertawa kecil.
"Aduh, Masaichi sih bikin aku ketawa tadi."
"Maaf. Tapi, kamu kelihatan serius banget bikin ekspresi aneh tadi."
"Hah? Aku bikin ekspresi aneh dengan serius? Aduh, kalau dibilang begitu malah jadi malu."
Mengingat wajahnya tadi, aku hampir tertawa lagi, tapi berusaha menahannya.
"Ah, gelar 'Master Post-it'… hilang sudah…" katanya sambil tertawa kecil.
"Kamu beneran pengin gelar itu?" tanyaku.
"Hmm... ya sudahlah. Gelar 'Master Post-it' kita biarkan jadi rebutan di festival Meihoku. Untuk sekarang, aku cukup jadi cewek yang cocok pakai post-it."
Toiro berkata sambil tetap menyandarkan dagunya di meja rendah, lalu menempelkan satu post-it di dahinya dengan santai.
Kalau dipikir-pikir, Toiro sebenarnya punya wajah yang relatif kecil, jadi dia memang kurang cocok untuk kompetisi ini. Kalau benar-benar ingin memecahkan rekor, mungkin aku yang seharusnya mencobanya.
"Tapi, kalau dilakukan di festival sekolah, rasanya kita bakal terlalu boros pakai post-it, ya..."
Meski mencoba memecahkan rekor, Toiro juga tampak serius memikirkan acara festival sekolah nanti.
Memang, untuk dijadikan lomba resmi mungkin akan sulit, tapi setidaknya kita jadi tahu kendalanya. Itu sudah cukup berharga.
Sambil berpikir, dia meletakkan jarinya di dagu, lalu dengan kesal berkata, "Aduh, ganggu banget!" sambil melepas post-it dari dahinya dan membuangnya.
"Ah, gimana kalau kita coba sesuatu yang bisa dilakukan berdua?"
Dia bangkit dari posisi duduknya dan menatapku.
"Ah, benar juga. Aku pernah lihat yang bisa dilakukan berdua. Misalnya, menangkap marshmallow."
"Iya, yang begitu! Dengan kombinasi kita, rekor dunia pasti bisa kita pecahkan! Tapi masalahnya, kita nggak punya marshmallow sekarang..."
Toiro kembali sibuk mencari tantangan di Guinness World Records yang bisa dicoba lewat ponselnya. Aku juga mulai mencari informasi di internet lewat laptopku. Kami mencari-cari ide lomba yang menarik, sampai tiba-tiba aku sadar suasana di belakangku mendadak sunyi.
Ketika menoleh, aku melihat Toiro sedang serius menatap layar ponselnya.
"Ada apa?" tanyaku.
Dia langsung terperanjat dan menatapku. Setelah sedikit menggerak-gerakkan bibirnya, dia menelan ludah, lalu menunjukkan layar ponselnya kepadaku.
"L-lihat! Aku nemu rekor Guinness yang harus kita coba!" Aku mendekat untuk melihat layar itu.
"Hug... Challange?"
"Benar sekali!" Toiro mengangguk dengan penuh semangat.
"Sesuai namanya, ini lomba untuk mengukur lamanya waktu berpelukan."
Aku melihat itu adalah artikel tentang rekor Guinness yang bisa dicoba oleh pasangan kekasih.
"Ada juga tantangan ciuman, atau tantangan pakai borgol bersama. Tapi yang itu, yaaa... masih terlalu ekstrim, ya."
Ciuman? Borgol? Itu terdengar seperti level kesulitan 100. Dibandingkan dengan itu, pelukan mungkin masih terasa masuk akal.
"Eh, tunggu... pelukan!?"
Aku spontan berseru.
"Iya! Sebagai 'pasangan kekasih sementara,' ini tantangan yang wajib kita coba!"
Nada suara Toiro semakin riang.
"Pelukan..." gumamku lagi.
"Hoo~? Masaichi-kun, malu, ya?" godanya sambil mendekatkan wajahnya ke arahku dengan senyum jahil.
"B-bukan gitu. Kan cuma akting pasangan kekasih, kan?"
"Hahaha, pintar juga kamu."
"Kita sudah lama bareng, sih."
Ketika aku mengatakan itu, Toiro tertawa lagi, kali ini dengan tawa yang lepas. Melihat wajah cerianya, aku jadi ikut merasa senang.
"Berapa lama rekornya? Berapa jam?" tanyaku.
"Satu hari, dua jam, dua puluh enam menit."
"Angkanya beda level!?"
"Kalau yang ciuman, lima puluh delapan jam, tiga puluh lima menit."
"Hah, mereka semedi!?"
Apa mereka sedang mencoba mencapai pencerahan, atau ini salahnya Guinness karena memasukkan kategori manusia super tanpa tidur?
"Yah, berarti kita bakal begadang malam ini!"
"Hei, tunggu dulu. Kita nggak siap, dan besok juga ada sekolah."
"Eeeh. Kalau gitu, coba aja dulu, yuk?"
Toiro berkata demikian sambil berdiri.
"Kita berdiri saat melakukannya?" tanyaku.
"Sepertinya begitu."
Toiro melangkah lebih dekat ke arahku, lalu membuka kedua tangannya lebar-lebar.
"Ayo."
Dia berkata singkat, mendesakku dengan nada sedikit mendesak. Aku pun ikut berdiri.
...Boleh, kan?
Dengan ragu, aku membuka tanganku, mendekatkan tubuhku ke arahnya.
"Rasanya... seperti semacam ritual pasangan kekasih, ya?"
"Ah, iya."
Entah kenapa, aku bisa memahami apa yang dimaksud Toiro. Dibandingkan dengan aksi pura-pura jadi pasangan kekasih yang biasa kami lakukan, tindakan ini terasa lebih sakral.
"Silakan, mulai."
"Apa-apaan cara ngajaknya itu?"
Mungkin itu cara Toiro untuk menghilangkan ketegangan. Aku tertawa kecil, lalu sambil mencoba rileks, perlahan aku memeluknya dengan lembut.
Saat itu, seketika bayangan seperti kobaran api yang tenang muncul dalam pikiranku.
Ah, ini... pikirku.
Rasanya lembut, sangat nyaman. Bahkan dari balik pakaian, aku bisa merasakan betapa rampingnya tubuhnya. Rambutnya memancarkan aroma manis yang menenangkan. Dan ya, aku juga merasakan sesuatu yang lembut di dadaku...
Aku takut jika aku memeluknya terlalu erat, dia akan rapuh dan hancur. Tapi di sisi lain, aku juga ingin memeluknya lebih erat. Perlahan, aku mencoba menambahkan sedikit tenaga, namun kelembutannya membuatku kembali ragu.
Perasaan ini mirip dengan apa yang kurasakan saat festival api unggun waktu itu. Kejadian itu terkadang terlintas dalam ingatanku, seolah-olah nyala api unggun malam itu masih bersinar dengan jelas di pikiranku. Setiap kali teringat, keinginan untuk memeluknya lagi pun muncul.
"Masaichi..."
Toiro berbisik pelan sambil memelukku lebih erat. Saat itulah aku akhirnya bisa membalas pelukannya dengan genggaman yang sama eratnya.
Tak kusangka, hari ini aku akan mendapatkan kesempatan untuk memeluk Toiro lagi dalam situasi seperti ini.
Meskipun hubungan kami hanyalah hubungan pura-pura... tapi rasanya hampir membuatku ingin melupakan itu semua karena kebahagiaan luar biasa yang kurasakan.
☆
Ya ampun, ya ampun, ya ampun! Hatiku berdetak terlalu kencang. Ini lebih hebat daripada sebelumnya—
Aku, Kurumi Toiro, sedang mengalami kepanikan kecil saat berpelukan dengan Masaichi.
Aku memeluknya erat. Aku melakukannya. Astaga. Detak jantungku pasti terdengar olehnya.
Hangat. Harumnya seperti Masaichi. Sambil menyembunyikan wajahku di dekat tulang selangkanya, aku merasakan tubuhku menggigil saat ia memelukku kembali. Seketika itu juga, pikiranku menjadi kosong.
Jadi inilah rasanya berpelukan dengan seseorang yang kita sukai... Sensasinya terlalu kuat.
Sejak kejadian di festival api unggun beberapa waktu lalu, aku menyadari bahwa aku menyukai Masaichi.
Ini adalah kali pertama aku benar-benar melakukan aksi romantis seperti pasangan kekasih dengannya setelah perasaan itu muncul.
...Tapi, aksi ini terlalu berani untuk sekadar akting pasangan.
Begitu aku melihat Guinness World Record untuk "Hug Challenge," aku langsung ingin mencobanya! Keinginan itu terlalu kuat untuk dihentikan, dan aku pun tanpa sadar mengajaknya.
Sekarang, untuk pertama kalinya aku benar-benar bersentuhan dengan orang yang kusukai. Sensasinya melebihi bayanganku. Kebahagiaan yang luar biasa.
Kalau aku melakukannya dalam hubungan sungguhan, apa yang akan terjadi padaku...? Bahkan bulu-bulu kecil pada pakaiannya yang menyentuh wajahku terasa begitu berharga. Sambil mencium aroma tubuhnya sekali lagi, aku mulai membayangkan hal-hal seperti itu.
*
"Berapa menit sudah berlalu?"
Sambil memeluk Toiro, aku berbicara pelan di dekat telinganya.
"Hmm... Eh, berapa ya?"
"Tunggu, aku tidak menghitung!"
"A-aku juga..."
Fakta bahwa aku sedang memeluk Toiro terlalu menyita perhatianku, sampai aku benar-benar lupa menghitung waktu. Dan tampaknya, Toiro juga mengalami hal yang sama.
Apa yang sebenarnya kami lakukan...?
"Yah... nggak apa-apa, kan?"
Toiro berkata pelan sambil tersenyum.
"Nggak apa-apa... ya?" tanyaku.
"Iya."
Dia mengangguk, menggenggam erat bajuku dan mendekatkan tubuhnya sedikit lagi.
"O-oke."
Kalau Toiro berkata begitu, ya sudahlah. Sambil berpikir demikian, aku mencoba kembali menikmati kehangatan tubuhnya yang terasa menenangkan.
Namun, saat itu juga—
Tuk tuk, terdengar suara ketukan di pintu kamar.
Seketika, kami berdua refleks menjauh satu sama lain dengan cepat. Tapi sebelum sempat menjawab, pintu terbuka lebar.
"Hei, kalian—eh?"
Kakakku, Serina, menyembulkan wajahnya ke dalam kamar. Dia mengerutkan alisnya sambil menatap bergantian antara aku dan Toiro.
Aku dan Toiro berpura-pura tidak terjadi apa-apa, meskipun ekspresi Toiro yang bersiul dengan santai malah membuatnya terlihat mencurigakan seperti pelaku kejahatan.
"Hmm... Huh."
Serina memperhatikan ekspresi kami berdua sejenak sebelum akhirnya menyipitkan matanya dan berkata,
"Kau hampir menambah daftar pelanggaran hukum dalam lima detik lagi, bukan?"
Entah kenapa, dia menatapku seperti menatap seorang kriminal.
"Jangan perlakukan adikmu seperti penjahat. Aku nggak melakukan apa-apa."
"Eh, tadi kalian kelihatan gerak-gerak aneh pas aku masuk. Mencurigakan banget. Toro-chan, nggak ada yang aneh kan?"
"Itu gara-gara kamu tiba-tiba masuk! Aku nggak ngapa-ngapain!"
"Aku nanyanya ke Toro-chan!"
Serina menatapku tajam, membuatku terpaksa diam dan melirik ke arah Toiro.
"A-aku nggak apa-apa! …Lagipula, kami kan pacaran, jadi... nggak ada masalah, kok."
Toiro menjawab dengan sedikit gugup, sambil memilih kata-katanya dengan hati-hati. Ujung-ujungnya, dia mengatakannya sambil melirik ke atas dengan sedikit ragu.
Ekspresi itu tampaknya berhasil meluluhkan Serina.
"O-oh, gitu. Jadi yang salah ganggu ternyata aku, ya..."
Memang benar. Secara formal, aku dan Toiro dianggap sedang berpacaran. Jadi, meskipun ketahuan berpelukan, seharusnya kami bisa tetap santai. Tapi entah kenapa, karena terlalu asyik dengan pelukan itu, kami jadi merasa seperti melakukan sesuatu yang salah.
Namun...
"Kami kan pacaran, jadi nggak ada masalah."
Kata-kata itu, dengan nada dan ekspresi malu-malu dari Toiro, juga punya efek yang luar biasa besar padaku. Hatiku jadi berdegup kencang tanpa sadar.
"Maaf ya, Se-chan. Kamu nggak ganggu kok! Tadi kami cuma lagi ngerjain persiapan festival budaya."
Toiro melanjutkan sambil berusaha mengubah topik. Mendengar itu, Serina tiba-tiba bertepuk tangan kecil, lalu menunjuk Toiro.
"Ah iya, festival budaya! Aku ke sini buat tanya kapan acaranya tahun ini."
"Eh? Se-chan mau datang?"
"Iya, kalau ada waktu. Mau nostalgia sama teman-teman masa sekolah."
Hah, jadi dia bakal datang...? Aku langsung memasang ekspresi masam, yang lagi-lagi membuat Serina melirikku tajam. Serina memang alumni SMA Meihoku. Jadi, bukan hal aneh kalau dia mau datang ke festival budaya. Tapi masalahnya... dia punya reputasi yang berbeda.
Dulu, Serina terkenal sebagai Yankee legendaris di daerah ini. Bahkan sampai masuk radar polisi. Kalau dia datang ke sekolah lagi, guru-guru pasti langsung cemas. Apalagi kalau dia membawa teman-teman yankee-nya waktu itu. Meskipun sekarang sudah dewasa, semoga saja dia tidak bikin masalah lagi... kan?
"Aku bakal lihat juga stan kalian, ya."
Serina tersenyum santai tanpa tahu betapa khawatirnya aku. Lalu dia menambahkan, seperti baru ingat sesuatu:
"Oh ya, kalian bakal ikut itu nggak?"
"Itu apaan?" tanyaku.
"Itu, yang buat pasangan... legenda SMA Meihoku..."
Serina mengerutkan kening, berusaha keras mengingat sambil menekan pelipisnya.
"Apa lagi ini, salah satu misteri sekolah?"
Dulu, dia pernah memberitahuku soal legenda pohon sakura di mana pasangan mengikrarkan cinta mereka. Meski terdengar mencurigakan, aku tetap melakukannya waktu itu. Tapi ternyata masih ada lagi, ya...
Namun, Serina tampak kesulitan mengingat.
"Ayo, semangat, Se-chan! Ingat masa lalumu!"
Toiro tampak antusias, bahkan menyemangatinya. Tapi kelihatannya sia-sia.
"Nggak mungkin lah. Berapa tahun yang lalu itu. Udah terlalu lama."
"Eh, jangan ngelawak, bocah. Belum sepuluh tahun juga, tahu!" Serina merespons sambil kesal, tapi tetap saja dia tidak bisa mengingatnya.
"Yah, kalau nanti aku ingat, bakal aku kasih tahu."
Setelah mencoba cukup lama, akhirnya dia menyerah dan memutuskan untuk pergi.
"Kami mohon bimbingannya!"
Toiro membungkuk hormat dengan berlebihan, membuat Serina tertawa kecil. Namun, sebelum keluar, dia tiba-tiba berhenti.
"Ah, ngomong-ngomong, kalian berdua nggak mau beli pakaian santai? Kalau pakai baju kayak gitu, rasanya nggak ada suasana romantisnya, lho."
Dia berbalik sebentar, menatap kami dari atas ke bawah, membuat aku dan Toiro refleks melihat pakaian kami masing-masing.
Udara mulai terasa dingin, dan kami berdua mengenakan sweater tebal yang sudah lusuh. Sweater itu sudah kupakai sejak sekitar kelas dua SMP, penuh dengan bulu halus yang menggumpal dan terlihat kumal.
"Nanti aku beliin yang bagus, deh. Buat pasangan, khusus buat adik perempuan kesayanganku!"
Serina berkata sambil melambaikan tangan dengan santai, lalu keluar dari kamar.
Aku dan Toiro saling berpandangan sejenak.
"Hmm, sebenarnya aku udah terbiasa pakai ini sih," kataku sambil melihat sweaterku.
"Iya, lagian ini kan cuma baju santai. Aku malah suka kok," jawab Toiro, menutupi mulutnya dengan ujung lengan sweaternya.
"Kan cuma kita berdua yang lihat, jadi nggak masalah, kan?"
"Benar! Rahasia kita berdua!"
Toiro tertawa kecil dengan nada ceria. Mendengar itu, aku kembali merasakan detak jantungku sedikit lebih cepat dari biasanya.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.