Chapter 3
Kayaknya aku mau sedikit
merasakan masa muda deh
“‘Meihoku Couple Grand Prix,’ ya. Tahun ini diadakan untuk pertama kalinya. Sebuah kompetisi untuk menentukan pasangan terbaik di SMA Meihoku berdasarkan kecerdasan, fisik, penampilan, dan aspek lainnya. Pasangan pria-wanita bisa ikut serta, meskipun tidak sedang berpacaran. Pemenang akan mendapatkan trofi, kehormatan, dan voucher makan di kantin senilai 10.000 yen.”
Toiro menjelaskan sambil kami berjalan pulang, dan aku mendengarkan sambil mengangguk pelan.
Setelah jam pelajaran selesai, kami ikut kegiatan persiapan festival sekolah. Sekarang, di perjalanan pulang, Toiro tampak antusias membicarakan informasi yang baru saja ia dapatkan dari papan pengumuman di pintu masuk. Sebenarnya, aku juga sudah membaca isinya sendiri tadi, tetapi mendengarkan dia menceritakannya ulang bukanlah hal yang buruk.
“Dan tahu nggak? Hari pertama festival bakal ada babak penyisihan dan putaran pertama. Hari kedua baru babak kedua dan final buat pasangan yang lolos,” lanjutnya.
“Oh, gitu ya.”
Aku mengangguk lagi, mengonfirmasi isi informasi itu. Tapi Toiro sepertinya mengincar sesuatu.
“Seru banget, kan?” tanyanya, kali ini dengan nada yang jelas meminta persetujuan dariku.
Melihat ekspresinya, aku tahu apa yang ingin dia sampaikan. Pasti dia ingin kami ikut. Dan jujur saja, aku sudah mempertimbangkan hal ini sebelumnya.
“Sebagai pasangan di SMA Meihoku, kita nggak boleh melewatkan kesempatan untuk ikut kompetisi legendaris ini, kan? Lagipula, siapa tahu kita bisa dapatkan kehormatan dan hadiah voucher makan.”
“Legend? Bukannya ini baru pertama kali diadakan?” gumamku, skeptis dengan klaim tradisionalnya.
Aku tahu penghargaan yang ditawarkan terbatas pada lingkup sekolah. Voucher makan pun, meskipun lumayan, tidak cukup menarik buatku dibandingkan hadiah uang tunai. Tapi terlepas dari itu semua, aku sebenarnya tertarik untuk ikut acara ini bersama Toiro.
“Ya, mungkin ide bagus juga,” kataku akhirnya.
Toiro mengerjapkan mata beberapa kali, tampak terkejut dengan jawabanku.
“Itu artinya… kita ikut?” tanyanya ragu.
“Kenapa terdengar nggak percaya gitu?”
“Soalnya, aku pikir kamu bakal nolak dulu, terus akhirnya setuju karena dipaksa. Klise begitu.”
“Jangan bilang aku ini seperti karakter tsundere.”
“Kenapa nggak? Tsundere itu seni tradisional Jepang, lho,” katanya sambil tertawa kecil.
"Tradisi macam itu kalau diteruskan sama cowok, siapa juga yang untung..."
Aku melempar komentar dengan nada sarkastik, membuat Toiro
tertawa kecil. Aku menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri sejenak.
"Tapi, serius. Kenapa kamu setuju? Biasanya, yang ngajak ikut hal-hal kayak gini kan aku," katanya dengan nada riang.
"Ada alasannya. Ada dua hal penting kenapa kita harus ikut Couple Grand Prix ini."
"Dua hal?"
Sambil memperlambat langkah di jalan pulang, kami melanjutkan obrolan.
"Pertama, ini kesempatan buat menunjukkan ke seluruh sekolah kalau kita pasangan. Kita belum pernah secara resmi mendeklarasikan hubungan kita, kan?"
"Benar banget! Aku juga kepikiran itu. Ini momen pas untuk bikin semua orang tahu!"
Nada suara Toiro terdengar begitu bersemangat.
"Lalu, alasan kedua?"
"Yang kedua... kalau kita bisa melaju jauh di kompetisi ini, kita bisa membuktikan ke Kasukabe bahwa kita pasangan yang serasi."
Alasan itu terkait permintaan dari Funami Kaede beberapa waktu lalu.
"Tolong, ya. Kamu harus bikin jelas kalau kamu dan Toiro memang pacaran. Tunjukkan kalau kamu itu pacar terbaik untuknya, biar Shun menyerah soal Toiro."
Permintaan itu masih terngiang di kepalaku, dan aku terus mencari cara terbaik untuk memenuhinya.
"Ah, benar juga! Kalau itu berhasil, misi selesai, ya?"
Toiro menyatukan jari-jarinya dan berpura-pura menjentikkannya, meskipun suara yang keluar hampir tidak terdengar.
"Ya, tapi itu berarti kita harus menang sebanyak mungkin untuk benar-benar membuktikan bahwa kita pasangan yang serasi."
"Setuju banget!"
Toiro mengangguk dalam, lalu menambahkan, "Jadi, ada tiga alasan besar kenapa kita harus ikut Couple Grand Prix ini."
"Tiga? Apa yang ketiga?"
Giliranku yang bertanya balik sekarang.
"Fufufu... Yang ketiga adalah: membuktikan bahwa kita adalah pasangan terkuat!"
"Pasangan terkuat?"
"Benar! Kita bakal jadi juara! Kita akan menunjukkan kalau kita adalah pasangan terbaik dan terkuat. Grand Prix ini adalah medan perang untuk itu!"
Toiro tersenyum penuh percaya diri, hampir seperti seorang jenderal yang bersiap memasuki pertempuran.
"Juara, ya..."
Aku mencoba membayangkannya, tapi rasanya agak sulit. Seorang siswa tahun pertama yang biasa saja seperti aku, berdiri di depan seluruh sekolah dengan trofi kemenangan... sejujurnya, itu terasa seperti sesuatu yang sangat jauh dari kenyataan.
Melihat raut wajahku, Toiro mendekat dan tiba-tiba menggandeng lenganku dengan erat.
"Nggak apa-apa, kita pasti bisa!"
Dengan tangan yang erat menggenggam lenganku, dia tersenyum dan berkata:
"Soalnya, kita ini pasangan yang super mesra, kan?"
Aku otomatis melihat sekeliling. Berada di lingkungan perumahan yang sepi memang mengurangi rasa malu, tapi tetap saja, jarak sedekat ini terasa aneh.
"Y-ya, ini kan cuma (sementara), sih," jawabku sambil berusaha mempertahankan ekspresi datar.
"Eh, kamu malu, ya? Malu, ya?" goda Toiro.
"Enggak, aku nggak malu kok!" bantahku, meskipun tidak terdengar meyakinkan.
"Tapi, coba pikir deh. Kalau ‘pasangan sementara’ kayak kita berhasil juara, bukannya itu keren banget?"
"Ya, sih. Menyingkirkan pasangan-pasangan asli dengan kemampuan kita sendiri... itu lumayan epik."
"Iya, kan? Bikin darah mendidih nggak, sih?"
"Ada sesuatu yang bikin gatal, ya..."
"Rasanya kayak ada sesuatu dalam diri yang bangun," jawabku, sambil merasa bahwa mungkin bagian dari jiwa remajaku yang masih kekanak-kanakan sedang aktif kembali.
Toiro tampaknya memikirkan hal yang sama denganku. Dia tiba-tiba berpose dengan tangan kanannya, seolah mencoba menenangkannya.
"Ugh, tangan kananku, tenanglah..." katanya dengan nada bercanda. Kami berdua tertawa lepas.
"Pokoknya, ayo kita lakukan yang terbaik! Couple Grand Prix!"
"Ya, benar," jawabku sambil mengangguk.
"Supaya siap dengan tugas-tugas penilaian apa pun, kita harus mencoba semua hal yang terkesan seperti pasangan sejati."
"Eh, iya juga sih..."
Sepertinya semangat Toiro sudah membara. Dia langsung mengeluarkan ponselnya sambil berjalan. Entah kenapa, bersamanya, rasanya aku benar-benar bisa memenangkan kompetisi ini. Tapi, pikiranku tidak bisa berhenti memikirkan sesuatu.
Kalau kami benar-benar menang, diakui oleh semua orang sebagai pasangan terbaik, apa yang akan terjadi pada hubungan palsu kami? Apa mungkin perasaan kami akan berubah seiring waktu?
*
Persiapan untuk festival sekolah berjalan lancar.
Di dalam kelas, suasananya kacau tapi meriah. Anak-anak laki-laki sibuk dengan aktivitas seperti menegakkan pensil sebanyak mungkin dalam satu menit, menjaga balon agar tidak jatuh dengan tangan, atau menghapus tulisan di papan tulis dengan kecepatan luar biasa.
Meski terlihat berantakan, suasana ini penuh dengan energi positif. Di lorong, suara tawa dan obrolan dari berbagai kelas menggema, memperlihatkan semangat siswa yang benar-benar menikmati persiapan festival tahunan ini.
Aku sendiri sedang berjalan menuju atap sekolah, meninggalkan keramaian di kelas. Aku ikut kelompok kecil yang sedang memikirkan konsep acara untuk kelas, tetapi sedikit terlambat datang. Dua orang lainnya mungkin sudah sampai di sana.
Suara latihan klub orkestra tiup mengiringi langkahku melewati koridor menuju gedung utara. Setelah menaiki tangga ke lantai lima, aku memutar kenop pintu menuju atap. Tidak terkunci. Pintu terbuka dengan mudah.
"Ah, Masaichi! Ke sini, buruan!" suara Toiro memanggilku, mencoba berbicara dalam bahasa Inggris yang terbata-bata. Di depannya, berdiri seorang gadis lain—Funami Kaede.
"Apa-apaan ini? Kalian berdua berkumpul di sini. Aku bakal diapain, nih?" Funami berkata dengan senyum kecil, jelas bercanda.
"Itu urusannya Masaichi, sih," jawab Toiro sambil bergeser, memberi ruang agar aku bisa bicara.
"Eh, aku?" tanyaku kaget.
"Ya, kamu kan yang dapat permintaan langsung dari Funami-san," katanya santai.
Kemarin, setelah kami memutuskan untuk ikut Couple Grand Prix, aku berpikir untuk memberi tahu Funami. Sudah cukup lama sejak dia meminta bantuanku di atap waktu itu. Melapor tentang perkembangan rencananya tampak seperti langkah yang tepat.
Toiro yang membantuku memanggilnya ke sini hari ini. Namun, melihat situasinya, aku menduga mereka sudah membicarakan sesuatu sebelum aku datang. Funami memiringkan kepalanya sedikit, menatapku dengan penasaran.
Aku berdeham, mencoba menyusun kata-kata.
"Ehem, jadi... dengan ini, kami ingin mengumumkan bahwa kami memutuskan untuk ikut Couple Grand Prix," ucapku dengan nada formal yang tidak biasa.
Toiro langsung menyahut dengan gaya cheerleader. "Iyaaa, ayo tepuk tangan!"
Funami hanya terkekeh kecil. "Kirain kalian mau mengumumkan sesuatu yang besar, kayak... pernikahan atau semacamnya."
“"Per, pernikahan?!”" seruku dan Toiro serentak, membuat Funami mengacungkan tangannya dengan gaya pistol, menunjuk kami berdua sambil tertawa kecil. "Wah, pas banget tuh!" katanya.
"Se-segitu sih, ngomongin nikah itu kan masih terlalu cepat... umm, maksudku, kita belum masuk usia yang tepat juga—"
"Oh, jadi cuma masih terlalu cepat? Berarti secara teori, untuk masa depan sih ada kemungkinan? Wah, bagus ya, Toiro-san," ledek Funami dengan nada jahil.
"Ya, ya, begitulah... eh, maksudku bukan itu! Aku nggak bilang sejauh itu!" Toiro langsung mengibaskan tangan di depan badannya dengan gugup. "Pokoknya, yang mau dilaporin hari ini bukan soal itu—"
Funami tersenyum, tampak menikmati reaksi paniknya.
"Tapi, kenapa kalian sampai ikut Couple Grand Prix? Dan kenapa harus cerita ke aku?" tanyanya dengan alis terangkat.
Toiro melirik ke arahku, memberikan sinyal agar aku yang menjelaskan. Aku mengangguk dan berkata, "Itu soal permintaanmu kemarin. Kami ikut Couple Grand Prix untuk menunjukkan pada Kasukabe bahwa kami ini pasangan terbaik."
Setelah aku mengatakan itu, suasana tiba-tiba hening.
...Eh? Apa aku bilang sesuatu yang aneh? Aku mulai merasa bingung ketika melihat Funami, yang matanya melebar, akhirnya membuka mulut.
"Jadi, itu maksudmu... 'kami akan menang', ya?"
"Iya."
"Wow... percaya diri banget, ya."
"Eh, ya, begitulah..."
Aku baru sadar bahwa cara bicaraku tadi terdengar seperti pernyataan kemenangan. Padahal maksudku hanya menjelaskan rencana kami.
"Kalau sampai segitu yakin, aku jadi penasaran. Soalnya, kami nggak ada rencana buat ikut. Jadi... semoga berhasil, ya."
"Ah, iya... kami bakal berusaha, sih," jawabku, sedikit malu, lalu melirik ke arah Toiro untuk mencari dukungan.
Dia tampak merona, menutupi pipinya dengan kedua tangan sambil bergumam pelan,
"Pasangan terbaik, ya..."
Oi, ini kan sesuai rencana, kenapa malah jadi grogi? Aku menyikut lengannya pelan. Dia tersentak, lalu buru-buru berkata, "Kami akan berusaha! Pokoknya, harus menang!"
Funami terkekeh lagi, melihat tingkah kami.
"Kenapa ketawa sih?" tanya Toiro, bingung.
"Nggak, aku cuma merasa kalian memang cocok banget," jawab Funami sambil tersenyum.
"Kan? Terima kasih," balas Toiro tanpa menyangkal.
"Ya... memang. Aku jadi sedikit iri, sih."
Untuk sesaat, aku melihat ekspresi Funami berubah. Ada bayangan kesedihan samar di wajahnya, yang kemudian tertutup oleh rambut hitam panjangnya yang tertiup angin.
Mungkin dia juga ingin punya hubungan seperti ini. Atau, bisa jadi, dia sebenarnya ingin ikut Couple Grand Prix.
Memang, aturan membolehkan pasangan palsu ikut serta. Tapi kurasa dia ingin berpartisipasi sebagai pasangan sungguhan.
Aku sedang berpikir-pikir, ketika pintu atap tiba-tiba terbuka keras.
"Hei, kalian berdua! Ada yang mau aku tanyain!"
Sebuah suara kecil tapi nyaring terdengar, diikuti oleh seorang gadis mungil dengan rambut dikuncir dua yang khas.
"Mayu-chan?! Ada apa, kok buru-buru gitu?" tanya Toiro sambil menangkap sosok kecil itu yang berlari ke arahnya.
Gadis kecil itu adalah Uyama Mayuko, teman sekelas kami. Tak lama, sosok gadis lain muncul menyusulnya.
"Urara, ada apa?" tanya Funami pada gadis dengan penampilan gaya ala gyaru itu.
"Ah, nggak ada kejadian besar sih," jawab Nakasone Urara sambil menggeleng pelan. "Cuma, anak ini katanya ada sesuatu yang mau dia tanyain ke kalian berdua."
Dia mendekat, menepuk pelan kepala Mayuko, lalu memandang kami satu per satu, termasuk aku, sebelum melanjutkan.
"Toiro sudah memberi tahu tempatnya. Aku sih sudah bilang untuk menunggu sampai kita kembali dulu, tapi... karena prinsip 'lebih cepat lebih baik,' anak ini malah langsung kabur begitu saja," kata Funami sambil tertawa kecil dan mengangguk.
"Ya, pembicaraan sudah selesai, dan ini juga bukan rahasia, jadi tidak masalah. Tapi, Mayuko, kenapa kamu sampai terburu-buru begitu? Ada apa sebenarnya?" tanyanya.
Namun, Mayuko hanya menundukkan kepala dan mulai gelisah.
"E-etto... itu... begini..."
Toiro dan Funami saling pandang. Semangat yang membuat Mayuko berlari ke sini tadi ke mana perginya? Kalau ini menyangkut pembicaraan dengan mereka berdua, apa kehadiranku malah jadi masalah? Ketika aku berpikir seperti itu dan mulai melangkah menuju pintu keluar, Nakasone menoleh ke arahku dan perlahan menggelengkan kepala. Sepertinya, aku diizinkan untuk mendengarkan juga.
"A-anu... ada sesuatu yang ingin aku minta bantuan... itu, eh... begini..."
Mayuko masih belum juga bisa mengatakannya dan hanya menggeliat canggung ke kiri dan ke kanan. Namun...
"Hei, kalau malu-malu di sini, mau jadi apa sih kamu," kata Nakasone, membuat Mayuko buru-buru berdiri tegap.
Setelah itu, dengan tekad yang sudah bulat, dia memejamkan mata dan mulai berbicara.
"A-anu! Aku ingin mengajak Sarugaya-kun ke Couple Grand Prix!"
Setelah menyampaikan itu, Mayuko membungkukkan tubuh dalam-dalam ke arah kami.
*
Keesokan harinya, begitu jam pelajaran selesai, aku langsung mendekati meja Sarugaya.
"Hari ini, setelah ini apa kamu ada rapat panitia pelaksana?"
Sarugaya, yang sedang menyimpan buku pelajaran ke dalam tas, menatapku dan menyeringai.
"Oi, oi, Tuan Masaichi. Apa ini undangan kencan?"
"Bukan, bukan itu maksudku."
"Wah, aku jadi bingung. Jadi cowok yang populer itu memang susah, ya. Sayangnya, aku sudah punya rencana untuk mempersiapkan acara kelas hari ini. Karena sibuk dengan tugas panitia, aku jadi kurang berkontribusi di sini. Tapi kalau Tuan benar-benar ingin bersamaku, bagaimana kalau kita anggap ini kencan persiapan acara kelas?"
"Sudah kubilang bukan begitu maksudnya!"
Dan jujur saja, mengikuti alur seperti ini untuk ikut persiapan kelas terasa benar-benar tidak memuaskan... Kenyataannya, hari ini aku memang berencana menahan Sarugaya di kelas untuk membantunya menyelesaikan persiapan.
Tapi tolong, jangan dibuat seolah-olah aku yang ingin berkencan dengannya dan dia hanya menuruti dengan terpaksa. Itu salah paham, fitnah, dan kalau ada yang mendengarnya, aku pasti bakal dilihat dengan pandangan aneh.
"Begini, ada pekerjaan yang butuh tenaga. Kita memutuskan untuk membuat permainan lempar bola ke target (struck out), dan bingkai permainannya dibuat dari kayu. Tapi masalahnya, jumlah laki-laki yang tersedia sedang kurang."
"Oh, aku dengar memang banyak yang sibuk dengan latihan klub menjelang turnamen. Kalau begitu, serahkan saja padaku. Saat-saat seperti ini kita harus saling membantu."
Sarugaya, sambil menyingsingkan lengan blazer, berdiri dengan penuh semangat.
"Terima kasih. Bahannya sudah disiapkan di taman tengah."
Aku mengambil peralatan dan mulai berjalan bersama Sarugaya. Ketika kami hampir keluar dari kelas, seseorang berlari kecil menghampiri.
"Masaichi! Sarugaya-kun! Kalian sedang menyiapkan struck out, ya?"
Toiro menghampiri kami, berdiri di sampingku, dan mencondongkan tubuhnya untuk menatap wajah Sarugaya.
"Benar! Aku akhirnya punya kesempatan untuk membantu. Ini saatnya menunjukkan kekuatanku. Mau satu lapis, dua lapis, atau bahkan tiga lapis pakaian, aku siap melepas semuanya. Lihatlah keindahan ototku!"
"Kalau begitu, aku juga ikut ya? Di kelas tidak ada yang bisa kulakukan untuk sekarang."
"Eh, o-oke."
Mengabaikan candaan (atau kebodohan serius) Sarugaya, Toiro meminta izin untuk ikut.
Sebenarnya, bergabungnya dia ini adalah bagian dari rencana yang sudah kami bicarakan sebelumnya. Aku akan memulai pekerjaan bersama Sarugaya, lalu Toiro akan datang bergabung dengan alasan yang wajar.
Setelah itu, Mayuko dan yang lainnya akan datang menghampiri Toiro, pura-pura bergabung, lalu mencari waktu yang tepat untuk mengundang Sarugaya ke Couple Grand Prix.
Sampai tahap kedua, semuanya berjalan sesuai rencana. Aku dan Toiro saling bertukar pandang dan mengangguk.
Di taman tengah, bahan-bahan yang sudah dibeli kemarin di toko perlengkapan sudah disiapkan. Kami berencana memotong kayu sesuai ukuran, lalu memaku untuk membuat bingkai.
Ini mungkin adalah set acara paling rumit dan membutuhkan waktu lama di antara semua kegiatan kelas. Sebagian besar kegiatan dirancang agar sesederhana mungkin, seperti lomba "berapa kali bisa membalik kursi dan meletakkannya di atas meja dalam satu menit," yang bahkan tidak membutuhkan persiapan apa pun.
Saat kami mulai mempersiapkan kayu di depan kami, Mayuko muncul di taman tengah, tepat seperti yang direncanakan. Di belakangnya, seperti biasa, ada Nakasone. Jujur saja, Nakasone benar-benar terlihat seperti wali pengawas anak kecil. Sementara itu, Funami sedang ada urusan dengan Kasukabe.
"Toiron! Mazono-kun! Dan S-s-sarugaya-kun!"
"Hei, Mayu-chan! Ada apa?"
"Aku, a-aku... lagi gak ada kerjaan. Jadi, boleh ikut bantu gak?"
"Ya! Tentu saja! Boleh, kan?"
Toiro menoleh ke arah Sarugaya untuk memastikan.
"Oke! Kalau begitu, biar aku yang pegang gergaji."
Sarugaya menjawab dengan semangat, lalu mulai benar-benar membuka pakaiannya. Dia melepas blazer, kemudian kemeja, hingga tinggal mengenakan kaus. Untung saja, dia masih punya kesadaran dan menghentikan aksi melepas pakaian di situ, lalu mengambil gergaji yang sudah kusiapkan.
"Ayo, Tuan! Berikan instruksi!"
Mengikuti seruan penuh semangat itu, aku menunjukkan halaman panduan cara membuat struck out yang kutemukan di internet kepada Sarugaya.
Aku menyerahkan pekerjaan memotong kayu kepada Sarugaya, sementara aku sibuk membuat fondasi dari kayu lainnya. Para gadis juga ikut membantu sesuai kemampuan mereka.
Meskipun awalnya kumpulan ini dibuat untuk membantu Mayuko mencapai tujuannya, ternyata kami malah berhasil memberikan kontribusi besar untuk persiapan kelas.
"Tuan, bagian bingkai utama sudah selesai dipotong. Selanjutnya tinggal memaku dan mengecat, kan?"
"Ya. Cepat juga, ya."
Sarugaya dengan cekatan melanjutkan pekerjaannya, sementara aku memeriksa tugas berikutnya melalui ponsel. Di saat yang sama, Nakasone yang sedang mempersiapkan cat untuk membuat target, menoleh dan membuka suara.
"Sarugaya, kamu cukup hebat juga, ya."
Sambil berbicara, dia menepuk-nepuk Mayuko yang ada di sebelahnya dengan ujung sikunya. Mayuko langsung tersentak dan meluruskan punggungnya.
"A-a-apa, cukup hebat juga?"
Entah karena gugup, dia mengulanginya dengan nada penuh rasa ingin tahu yang terdengar sangat angkuh.
"Oh, tenang saja, percayakan saja padaku."
Sarugaya menepuk dadanya dengan bangga, lalu mengambil palu dan paku. Dia mulai menyambungkan kayu untuk membuat bingkai.
"Mayuko, coba bantu tahanin, deh?"
"Eh? Oh, oke."
Mendengar saran dari Nakasone, Mayuko terlihat bingung, memandang Nakasone dan Sarugaya bergantian.
"Bisa tolongin, nggak? Kalau kamu pegang supaya nggak bergeser, bakal sangat membantu."
"I-iya!"
Mayuko langsung tersenyum lebar dan mengangguk kuat. Dia berjalan cepat menghampiri Sarugaya, berjongkok, dan menahan kayu tersebut.
Dengan begitu, mereka berdua berhasil membentuk kerja sama yang solid. Kalau saja aku bisa membawa topik tentang Couple Grand Prix setelah ini, itu pasti bagus.
Saat aku berpikir seperti itu, Sarugaya berbicara.
"Rasanya bagus ya, seperti masa muda gitu. Persiapan festival sekolah, cowok dan cewek ramai-ramai seperti ini, benar-benar yang aku impikan. Sangat mengharukan, ya, Masaichi-san?"
"Kenapa malah tanya ke aku?"
"Karena kita ini teman jiwa dari sekolah khusus cowok, yang melewati masa SMP yang penuh kegelapan dan rasa frustrasi."
"Aku sih nggak merasa pernah frustasi seperti itu. Juga, kita bukan teman jiwa sampai sejauh itu."
Sarugaya tampak terkejut sambil berkata, "Apa? Kamu nggak merasakan haru ini juga?" Saat dia hendak mulai bicara panjang lebar dengan penuh semangat, Nakasone memotongnya.
"Balik kerja cepat, deh."
Masa muda, ya.
Memang, ini adalah pengalaman yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Bukan hanya bekerja bersama antara laki-laki dan perempuan, bahkan selama SMP, aku jarang tinggal hingga larut seperti ini karena rumahku yang jauh.
Gedung sekolah yang diselimuti matahari senja, halaman tengah. Suasana seluruh sekolah yang dipenuhi kegaduhan riuh rendah, dengan sesekali terdengar teriakan gembira yang keras. Saat aku sadar bahwa aku kini menjadi bagian dari suasana yang sedikit melayang dan penuh semangat ini, hatiku terasa berdebar-debar.
Pekerjaan tambahan yang biasanya membuatku ragu, kini terasa sama sekali tidak berat.
Jadi ini yang disebut masa muda?
Masa muda yang aku tidak tahu, yang dinikmati oleh orang lain...
Aku menghentikan pekerjaanku sejenak dan berlutut di tanah, memikirkan hal itu. Di saat yang sama, seseorang berjongkok dan berjalan menghampiriku dengan pelan-pelan.
"Ada apa?"
Ketika aku bertanya, Toiro menatap wajahku dan tersenyum.
"Hmm, cuma pengen coba ngerasain 'masa muda' aja, gitu."
Toiro mendekat ke sisiku, melirik ke arah Mayuko dan Sarugaya, lalu meniru mereka dengan meletakkan tangannya di kayu yang sedang aku kerjakan.
"Kamu jadi pengen ngerasain masa muda juga?"
"T-tidak! Maksudku, karena kita ini pasangan, jadi kita harus melakukan hal-hal kayak gini! Seperti pasangan pada umumnya."
"Begitu ya. Seperti pasangan, hmm..."
Toiro tampaknya mengusulkan bahwa aksi romantis masa muda wajib dilakukan oleh pasangan.
Yah, setelah berteman begitu lama, aku tahu itu hanya alasan untuk menutupi rasa malunya.
Mungkin Toiro juga ingin sedikit merasakan suasana masa muda. Memikirkannya membuatku merasa senang. Mungkin di masa SMP, Toiro juga menikmati masa mudanya. Tadi aku sempat memikirkannya dan merasa sedikit risih, tapi sekarang perasaan itu lenyap begitu saja.
"Kalau begitu, ayo kita mulai memaku."
"Oke! Pegang bagian ini aja, kan?"
Aku kembali melanjutkan pekerjaan. Untuk fondasi, dibutuhkan kaki yang kokoh agar tidak tumbang meski terkena bola. Aku menyusun kayu, meningkatkan kekuatannya. Fondasi depan dan belakang dibuat terpisah, dengan bagian bingkai yang sedang disiapkan Sarugaya dipasang di tengah sebagai penghubung.
Aku memukul paku dengan palu secara berirama. Setelah satu paku berhasil ditanam dengan sempurna, aku mengulurkan tangan.
"Nih,"
Toiro menyerahkan paku berikutnya ke tanganku.
"Baiklah."
Aku menyelesaikan satu lagi, dan kembali mengulurkan tangan.
"Nih, nih."
Kali ini, dia memberiku meteran dan spidol. Aku menggunakan keduanya untuk menandai tempat paku pada kayu yang akan digunakan selanjutnya.
"Ini."
Sambil memegang ujung pita meteran, aku memberikan casingnya kepada Toiro, yang kemudian menarik pita meteran itu untuk mengukurnya. Kami mengukur 30 cm dan menandai titik dengan spidol.
"Kalian berdua terlalu kompak, deh."
Saat aku mendongak, aku melihat Funami menatap kami dengan wajah lembut, seolah terkesan.
"Ngomong-ngomong, waktu di kedai pantai, kalian juga punya kerja sama yang luar biasa, ya. Waktu bikin hotdog."
Sarugaya melanjutkan, seperti baru teringat sesuatu.
"Benar-benar kayak pasangan yang sudah lama menikah, ya."
Nakasone menimpali dengan nada setuju.
Dulu, aku dan Toiro mungkin akan saling pandang dengan panik, merasa kehilangan kesan pasangan baru. Tapi sekarang, kami sudah terbiasa.
"Fufufu, benar, kan?"
Toiro dengan percaya diri tersenyum bangga.
Aku lalu mencoba mengatakan ini:
"Kami juga berencana ikut dalam Couple Grand Prix."
Saat aku melirik ke arah Mayuko, dia tampak terkejut, matanya melebar seolah tidak percaya. Apa mungkin dia terlalu asyik bekerja sama dengan Sarugaya hingga lupa tujuan hari ini?
"Oh, sobat! Aku tahu kalian pasti bakal ikut! Toiro-chan, terima kasih, aku harap kalian bisa memeriahkan acaranya."
"Tenang aja! Aku dan dia akan melakukan yang terbaik!"
Toiro meletakkan telapak tangannya di dada dan mengangguk percaya diri. Dia meniru gaya Sarugaya, tapi entah kenapa, mendengar dia memanggilku "dia" dengan nada seperti itu, ada sesuatu yang membuatku deg-degan.
"Eh, Sarugaya-kun nggak ikut? Karena kamu sibuk sebagai panitia, mungkin?"
Toiro bertanya, mencoba mencari tahu.
"Nggak, aku nggak ikut terlibat dalam acara pada hari itu.
Tapi ya, aku juga nggak punya pasangan buat diajak, sih."
Mayuko dan Nakasone saling bertukar pandang, lalu Mayuko mengangguk pelan. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum mengembuskannya.
"Sa-Sarugaya-kun!"
"Apa?!"
Dengan suara keras yang tiba-tiba, Sarugaya kaget. Tapi Mayuko tidak peduli—atau mungkin tidak sempat peduli—dan melanjutkan.
"Sa-Sa-Sarugaya-kun, tanggal 28 November kamu kosong nggak?"
"Hmm? Itu kan hari festival sekolah, ya?"
"I-iya, bener juga. Pasti sibuk, ya..."
Mayuko menoleh ke arah Nakasone, seolah meminta bantuan.
Apa-apaan ini! Rasanya aku hampir spontan mengeluarkan komentar sarkas yang tidak biasa dari diriku.
Kenapa dia menanyakannya begitu? Dan kenapa dia mundur begitu saja? Tapi, melihat ekspresi Mayuko yang terkejut dan panik, aku tahu itu di luar rencananya. Dia pasti gugup dan jadi panik. Nakasone menghela napas pendek, tampak sedikit kesal, tapi ada kelembutan dalam tatapannya. Lalu dia berkata:
"Kalau kamu nggak terlibat dalam Couple Grand Prix, berarti kamu punya waktu kosong, kan?"
Sarugaya menjawab pertanyaan itu.
"Ya, benar. Aku ikut rapat rencana, tapi tugasku di panitia hanya mengawasi kegiatan setiap kelas dan memastikan lokasi sudah disetujui. Jadi di hari H, aku bebas. Bisa memastikan kelas-kelas mana saja yang akan membuka maid café atau cosplay café sebelum acara berlangsung adalah salah satu keuntungan dari tugas ini. Kalau kamu mau, aku bisa kasih informasi ini secara eksklusif untukmu, Tuan. Lagipula kita ini jiwa yang terikat oleh takdir—"
"Nggak usah," jawabku tegas, langsung memotong tawarannya.
Sementara itu, Toiro memanggil pelan, "Mayu-chan!" Nakasone kemudian membawa pembicaraan kembali ke topik utama. Ini adalah kesempatan kedua. Toiro mengangguk-angguk kecil memberi semangat, dan Mayuko, setelah menelan ludah, mengangguk besar dengan tekad. Dia kembali menoleh ke arah Sarugaya.
"Sarugaya-kun! A-anu, ada acara yang hanya bisa diikuti oleh dua orang... Mau ikut bareng aku? Itu, uh... Couple Grand Prix, namanya..."
Semakin lama suaranya semakin pelan, dan pada akhirnya hampir tidak terdengar. Namun, Mayuko berhasil menyelesaikan kalimatnya. Dengan takut-takut, dia mengangkat wajah dan melirik Sarugaya dari bawah.
"A-aku?"
Sarugaya, dengan mulut terbuka lebar, menunjuk dirinya sendiri sambil bertanya. Mayuko mengangguk kuat-kuat beberapa kali.
"A-aku, ya..."
Ekspresinya masih dipenuhi rasa kaget, Sarugaya terus memastikan, namun setelah beberapa saat, dia menyadari bahwa Mayuko serius. Dia pun segera memperbaiki posturnya, berdiri tegak, dan memandang Mayuko dengan lurus.
"Kalau aku tidak masalah, aku akan dengan senang hati ikut..."
"Iya! T-terima kasih banyak—!"
Mayuko berdiri dan berputar, lalu berlari kecil ke arah Nakasone sambil menutupi pipinya dengan kedua tangan. Apakah itu karena rasa bahagia atau sekadar untuk menyembunyikan rasa malunya, dia melompat ke pelukan Nakasone dan menyembunyikan wajahnya di dekat tulang selangka temannya.
Sementara itu, Sarugaya menoleh ke arahku, satu-satunya pihak pria di ruangan ini. Wajahnya, yang biasanya penuh antusias saat berdiskusi anime atau topik aneh bersamaku, kini dihiasi ekspresi malu-malu dengan senyum kaku yang tidak pernah kulihat sebelumnya.
*
Jauh di langit barat, matahari terbenam dengan warna yang semakin cerah. Langit di atas berwarna biru gelap, dan udara di sekitar terasa lebih sejuk dan bersih dari biasanya.
Saat kami keluar dari sekolah, lampu jalan sudah menyala, dan gelombang kedua siswa yang pulang tampak berseliweran. Beberapa kelompok siswa yang selesai beraktivitas terlihat saling berpamitan di depan gerbang sekolah.
Sebagai anggota klub pulang cepat, jarang sekali aku pulang pada jam seperti ini. Pemandangannya terasa baru dan menyegarkan.
"Mayu-chan, senang ya semuanya berjalan lancar."
"Iya, aku juga lega. Sempat khawatir tadi."
Aku berjalan pulang bersama Toiro sambil mengobrol.
"Kalau nanti mereka berhasil menang terus dan jadi pacaran beneran, gimana coba?"
"Sepertinya ada pasangan seperti itu, sih."
"Kalau memang begitu jadinya, aku sih nggak masalah."
Kami akhirnya tiba di kawasan perumahan. Ketika suasana di sekitar mulai sepi, aku merasakan sentuhan dingin di punggung tanganku.
Chon, chon.
Toiro menyentuh tanganku lagi, memberiku isyarat. Aku, tanpa berkata apa-apa, menggenggam tangannya.
Mungkin ini yang disebut momen pasangan kekasih. Meski sederhana, gerakan ini begitu jujur, membuatku sedikit gugup. Rasanya seperti hubungan pasangan sungguhan.
Pasangan sungguhan, ya...
Saat aku sedang memikirkan hal itu,
"Couple Grand Prix nanti, pasti seru banget," kata Toiro sambil menggenggam tanganku.
"Iya. Tapi... entahlah bagaimana jadinya," jawabku.
Kalau ingin menunjukkan kepada banyak orang bahwa kami adalah pasangan ideal, menang di kompetisi itu adalah syarat mutlak. Kami memang sudah merancang strategi, tetapi aku tetap khawatir. Pasti ada lawan dari kelas atas, atau pasangan yang sudah pacaran bertahun-tahun. Apakah kami, pasangan pura-pura, bisa bersaing dengan mereka?
Namun, suara riang Toiro membuyarkan kekhawatiranku.
"Tentu saja! Kita pasti menang!"
Melihat senyumnya yang cerah, bebanku terasa hilang.
Toiro bilang, "Pasti seru." Dan aku yakin itu adalah perasaan tulusnya. Dia benar-benar ingin menikmati acara itu bersama-sama.
"Iya, benar juga!"
Ini adalah festival sekolah. Dan kalau acaranya bersama Toiro, pasti menyenangkan.
Melihatku mengangguk, Toiro tersenyum lebar. "Baiklah! Kita pasti bisa!" katanya sambil mengayunkan tangan kami yang saling menggenggam ke atas dengan penuh semangat.
☆
Saat Hug Challenge kemarin, aku sempat berpikir, betapa beruntungnya aku berada di posisi ini meskipun kami tidak benar-benar pacaran. Sambil memikirkan hal itu, aku menggenggam tangan Masaichi lebih erat lagi.
Keistimewaan yang hanya bisa dirasakan oleh pasangan kekasih—apakah aku benar-benar boleh menikmati ini sebanyak ini? Pertanyaan itu berkali-kali muncul dalam pikiranku, dan dulu aku sudah menemukan jawabannya. "Sedikit memanfaatkan hubungan ini tidak apa-apa, kan?" Itulah kesimpulan yang kuterima untuk diriku sendiri.
Lagi pula, aku tidak bisa menahan diri. Aku tidak ingin berhenti. Memang mungkin agak licik, tapi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak bersandar pada hubungan ini.
Rasanya, aku mulai bertingkah sedikit di luar kendali. Apa ini yang disebut "suka"? Selain itu... aku jadi penasaran, bagaimana pendapat Masaichi tentang aku yang seperti ini?
Setelah menurunkan tangan yang tadi terangkat untuk menyemangati diri sendiri, aku mulai menggoyang-goyangkan tangan kami yang saling menggenggam sambil berjalan. Masaichi, seolah membalas, mulai menggoyangkan tangannya dengan ayunan lebih besar. Aku pun tidak mau kalah, menggoyangkan tangan kami dengan lebih semangat. Namun, tak peduli sekeras apa pun kami menggoyangkannya, tangan kami tetap tidak terlepas.
"Festival sekolah tinggal dua minggu lagi, ya?" tanya Masaichi.
"Iya, kira-kira seminggu lebih dikit lagi," jawabku.
"Begitu, ya... Sebentar lagi Desember, ya."
Tanpa kusadari, matahari sudah sepenuhnya tenggelam, dan sekeliling kami menjadi gelap. Rasanya, musim dingin perlahan-lahan mulai mendekat dari belakang kami.
Kalau kami berhasil menang di Couple Grand Prix, mungkin orang-orang di sekitar kami akan benar-benar menganggap kami pasangan kekasih.
Dari "apa kalian benar-benar pacaran?" menjadi "oh, kalian pasangan sungguhan."
Namun, kenyataan bahwa hubungan kami tidak seperti itu... Untuk saat ini, aku mencoba untuk tidak memikirkannya.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.