Nee, Mou Isso Tsukiacchau? Osananajimi Chap 1 V4

Ndrii
0

Chapter 1
Sarugaya selalu melampaui batas imajinasi kita—ke arah yang tak terduga.




Proposal untuk stan ‘Festival Meihoku’! 


Saat Sarugaya menggerakkan kapur di papan tulis, kata-kata tersebut terukir dengan gaya yang mencolok.


"Baiklah, semuanya! Saat yang kalian tunggu-tunggu telah tiba. Festival sekolah! Mari kita bersatu sebagai satu kelas dan meramaikannya!"


Seraya berkata demikian, Sarugaya memindai seluruh ruang kelas dari atas podium guru.


November, Bersamaan dengan datangnya musim gugur yang semakin dalam, suasana di SMA Meihoku mulai terasa sedikit melayang—tak lain karena festival sekolah yang akan berlangsung di akhir bulan.


Dua hari penuh pengalaman "di luar kebiasaan" di dalam gedung sekolah yang biasanya hanya digunakan untuk belajar. Bahkan aku, yang biasanya tak peduli dengan acara sekolah, mendapati diriku sedikit memperhatikannya. 

Hari ini adalah hari pertama persiapan festival kelas kami. Seusai pelajaran, di dalam ruang kelas yang berwarna jingga karena sinar matahari senja, kami semua berkumpul untuk menentukan apa yang akan kami tampilkan.


Setiap kelas harus memilih satu wakil untuk panitia festival, dan Sarugaya, yang dengan sukarela maju ke depan, tampaknya penuh semangat. Stan kelas, ya...


Aku, yang tak punya usul khusus, hanya akan mengikuti keputusan kelas. Kalau bisa, aku ingin yang sederhana saja—sesuatu yang tidak terlalu menyita waktu luangku setelah sekolah.


Namun, ketika aku mencoba kembali fokus pada strategi gim yang sedang kugarap, sebuah kalimat menarik perhatianku.


"Baiklah, sekarang saatnya kita memikirkan ide untuk stan kelas kita. Ada yang punya usul? Kalau tidak, sebagai anggota panitia, aku punya satu proposal yang ingin kusampaikan."


Ketika aku mengangkat kepala, Sarugaya menatap kami sambil menyeringai kecil.


"Dasar orang ini… pasti merencanakan sesuatu yang aneh."

Sarugaya, dengan reputasinya yang sering tak terduga, tak mungkin hanya punya ide biasa. Bahkan aku merasa pernah melihat situasi ini di light novel atau manga.


Biasanya, ketika menentukan stan untuk festival, para cowok cenderung mendukung kafe maid, yang berujung membuat para cewek kesal. Kalaupun menang voting, ujung-ujungnya malah cowok-cowok yang dipaksa cosplay. 


Sarugaya, seorang pecinta anime sepertiku, jelas punya pemikiran seperti itu. Ketika kutanya mengapa ia bersedia jadi panitia, jawabannya,


"Jelas saja! Ini adalah acara besar dalam masa muda kita. Aku ingin menikmatinya sepenuh hati!"


Jawaban yang terdengar masuk akal, tapi siapa tahu apa yang sebenarnya ia pikirkan. Bisa jadi, ia hanya ingin punya pengaruh untuk memanipulasi diskusi demi keuntungannya sendiri.


Dan sesuai dugaan, tanpa memberi waktu berpikir, Sarugaya langsung melontarkan idenya.


"Kalau begitu, bagaimana dengan Toko Sushi Seragam Olahraga?"

Dalam sekejap, suasana di kelas mendingin seolah disiram es.


Kupikir ide standar seperti kafe maid akan muncul, tapi ini jauh lebih absurd. Apa-apaan kombinasi kata itu?


Bahkan para cowok, yang biasanya mendukung ide-ide konyol, terlihat ragu. Tak ada yang berani membela ide ini, apalagi menghadapi tatapan dingin para cewek.


Namun, Sarugaya tetap tak terpengaruh.


"Izinkan aku menjelaskan lebih detail!" katanya, meski tak seorang pun meminta penjelasan.


"Karena ini festival SMA, aku ingin kita melakukan sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh pelajar. Di sinilah seragam olahraga sekolah masuk! Konon katanya, begitu kita dewasa, kita jarang melihatnya lagi. Biasanya yang ada hanya imitasi murahan. Jadi, mari kita beri tamu-tamu kita—baik mereka yang sudah dewasa maupun siswa laki-laki yang akan tumbuh dewasa—kenangan tak terlupakan!"


"...Aku kurang paham. Tapi apa hubungannya dengan toko sushi?"

Di bagian depan kelas duduk seorang siswa teladan, tipe yang serius—ketua kelas bernama Suzuki, yang mengangkat tangan dan dengan ragu-ragu mengajukan pertanyaan.


"Itu pertanyaan yang sangat bagus. Ini adalah strategi untuk meningkatkan penjualan di festival sekolah—dengan menunjukkan angka yang meyakinkan dan berusaha meraih penghargaan utama untuk pameran kelas. Kalau kita melakukannya, kita pasti mengincar penghargaan tertinggi, bukan begitu?"


"Kalau pakai sushi, penjualannya bisa naik?"


"Tentu saja. Kalau jualan yakisoba, paling dapat ratusan yen per porsi—itu bisnis kecil-kecilan. Tapi kalau buka kedai sushi, orang-orang bisa menghabiskan beberapa piring sekaligus dalam satu kali kunjungan. Selain itu, harga sushi biasanya lebih fleksibel, bisa kita tentukan sesuka hati. Kalau di menu tertulis 'harga pasaran', orang biasa seperti aku bahkan tidak akan berani mendekati tokonya. Nah, kita bisa memanfaatkan hal itu. Kita punya tenaga kerja yang terampil di sini. Sushi yang dibuat oleh tangan lembut siswi SMA, baru selesai dibuat, khusus di musim seperti ini. Sushi seperti itu, kira-kira berapa harganya? Itu pasti bernilai 'harga pasaran', kan?"


"…Jadi, intinya kamu ingin menjual sushi dengan nilai tambah 'dibuat oleh siswi SMA,' terutama untuk tamu kehormatan atau wali murid pria, dan meraih keuntungan dari situ."


"Kamu cepat paham, aku suka itu. Lebih tepatnya, sushi yang dibuat oleh siswi SMA dengan pakaian olahraga."


Suzuki berbalik menghadap teman-teman sekelasnya, seolah meminta pertolongan.


"T-tidak mungkin itu bisa diterima, kan?"


Salah satu siswi yang duduk di belakang Suzuki berbicara tanpa mengangkat tangan. Dari arah pandangannya, dia sepertinya bertanya pada guru olahraga pria yang sedang berdiri di dekat pintu masuk, yaitu Masutsuru-sensei.


"Sensei! Apa pendapat Anda? Saya percaya Bapak pasti paham maksud saya!"


Ini benar-benar situasi yang sulit bagi Sarugaya. Saat aku memikirkan hal itu, Masutsuru-sensei yang memakai kaos polo putih, dengan tangan disilangkan, membuka mulutnya.


"Dasarnya, festival sekolah melarang penyajian makanan mentah."


"Aduh, itu dia masalahnya."


Sarugaya menghela napas kecewa.

Benar-benar "itu dia," ya. Senseu, apa itu memang bagian yang harus ditanggapi?


"Pada dasarnya, aku membebaskan kalian, tapi aturan tetap harus ditaati."


Namun, terlepas dari pikiranku, Masutsuru-sensei tampak mengangguk-angguk, seperti setuju sepenuhnya.


Tidak bisa dibiarkan, Sensei. Memang baik untuk mendorong kemandirian, tapi ingatlah bahwa ada murid-murid dengan kebiasaan yang terlalu unik dari awal.


"Yah, kalau begitu, kita harus menyerah dengan sushi. Jadi, apa yang cocok dipasangkan dengan pakaian olahraga? Ada ide bagus?"


Sarugaya kembali melihat sekeliling kelas. Ternyata dia tidak mau meninggalkan konsep pakaian olahraga.


Namun, teman-teman sekelas yang sudah setengah tahun bergaul dengan Sarugaya tahu cara menghadapinya. Saat seperti ini, mereka biasanya mengabaikannya.


"Aku dengar dari kakak kelas, tahun lalu rumah hantu sangat populer sampai ada lebih dari lima tempat."


"Serius!? Jadi kayak kota horor dong."


"Penghargaan utama tahun lalu apa, sih?"


"Kayaknya fashion show. Mereka buat runway di gym dan menampilkan pakaian tren, dengan cross-dressing juga."


"Oh, katanya itu sukses besar, ya."


Obrolan kecil mulai terdengar.


"Aku pengennya sih yang nggak ribet persiapannya. Kita sibuk sama latihan buat turnamen, jadi nggak sempat."


Ketua tim sepak bola, salah satu sosok pemimpin di kelas, mengutarakan pendapatnya. Beberapa teman lainnya ikut setuju, "Iya tuh," atau "Aku juga sibuk kerja part-time."


Memang benar, aku juga tidak mau waktu luangku habis begitu saja. Saat aku memikirkan hal itu, suara yang cukup akrab terdengar di dalam kelas.


"Aku sih maunya acara yang bisa fleksibel pas hari H."


Suaranya tidak besar, tapi terdengar jelas. Anak-anak yang tadinya ngobrol dengan teman di dekatnya pun berhenti bicara dan melirik ke arah si pemilik suara.


Suara yang jernih dan tegas itu memenuhi udara dengan kesan serius, tapi justru membuat suasana di sekitar menjadi canggung.


Pemilik suara itu, Nakasone, terlihat agak canggung dan memalingkan pandangan ke samping, meski tangannya masih terlipat.


"A-ah, maksudnya supaya bisa lihat-lihat acara dari kelas lain, kan?"


Toiro mencoba menenangkan suasana.


"Iya, itu dia!"


Nakasone langsung setuju, dan ketegangan di kelas pun mereda. Suara diskusi tentang acara mulai terdengar lagi perlahan.


Namun tetap saja, aku pikir…


Dua kubu mulai terlihat jelas di kelas ini: mereka yang tidak ingin terlalu repot dengan persiapan, dan mereka yang tidak ingin terlalu terikat pada hari pelaksanaan. Sepertinya, suasana bersatu untuk menghadapi festival sekolah tidak terlalu terasa. Yah, aku paham perasaan mereka...

Bahkan Sarugaya, yang awalnya penuh semangat, kini tampak mengusap dagunya sambil berpikir keras.


"Baiklah! Gimana kalau kita ajukan semua ide dulu, lalu putuskan lewat voting?"


Mayuko, yang duduk di sisi dekat koridor, mengangkat tangan untuk menyarankan itu.


"Itu ide bagus. Demokrasi itu penting. Jadi, untuk sekarang, aku ingin kalian semua mengajukan ide," kata Sarugaya sambil melanjutkan.


Suasana di dalam kelas menjadi semakin ramai.


Demokrasi dengan voting mayoritas? Aku sangat setuju. Karena aku tidak punya ide khusus, lebih mudah bagiku mengikuti keputusan mayoritas. Sebagai gantinya, aku tidak akan pernah mengeluh. Aku paham betul bahwa karena aku membiarkan orang lain membuat keputusan, aku tidak punya hak untuk protes.


Mengajukan beberapa ide lalu memilih lewat voting. Alurnya sudah jelas.

Karena itu, aku kembali mencoba fokus pada strategi dalam game yang sedang kupikirkan sebelumnya. Aku menunduk ke meja, mencoba memusatkan pikiran, sampai...


"Hei, Masaichi. Kamu punya ide, nggak?"


Suara itu tiba-tiba memanggil namaku.


Aku buru-buru mengangkat kepala, dan seketika merasakan tatapan semua orang tertuju padaku. Sumber suara itu—Sarugaya—menatapku dengan senyum lebar yang cukup menyebalkan.


"…Aku?" tanyaku untuk memastikan.


"Tentu saja. Bukannya kamu jago? Pasti ada ide cerdas yang hemat tenaga, kan?"


"Bukan begitu juga..."


Aku tidak ingat pernah mengaku begitu atau memiliki rekam jejak yang membuktikannya. Tapi Sarugaya tahu bahwa aku tipe orang yang selalu berusaha menghindari hal-hal merepotkan, jadi dia sengaja melempar ini padaku. 


Dia masih menatapku, menunggu jawabanku.


Tapi, diminta ide mendadak seperti ini, aku benar-benar tidak ada bayangan. Bagaimana cara keluar dari situasi ini? Saat aku mulai merasa panik, aku tiba-tiba menyadari tatapan tajam dari arah serong di depanku.


Aku melirik sekilas, dan mendapati Toiro, yang duduk tiga bangku jauhnya, sedang menatapku lekat-lekat. Ekspresinya tampak khawatir.


Aku menghela napas pelan dan memberikan isyarat singkat lewat tatapan bahwa semuanya baik-baik saja.


Sebagai "pacar perkenalan" Toiro, aku harus menunjukkan hasil yang memuaskan.


"…Rekor Meihoku—Rekor Guinness Meihoku, bagaimana?"


Sebuah ide muncul di benakku, dan aku menyusunnya sambil berbicara.


"Rekor Guinness? Maksudmu, catatan rekor dunia yang terkenal itu? …Rekor Meihoku?"


"Ya, itu. Kita bisa membuat beberapa cabang lomba yang terinspirasi dari rekor asli atau menciptakan kategori baru. Semua lomba itu diadakan di dalam kelas. Kita ukur rekornya dan terus catat hasil terbaik. Saat festival selesai, kita beri penghargaan kepada pemegang rekor untuk setiap cabang lomba, lengkap dengan hadiah. Kalau ada lomba yang juga termasuk rekor asli Guinness, kita tampilkan rekornya sebagai tantangan, jadi pengunjung bisa mencoba memecahkannya."


"Hmm."


Sarugaya mengangguk, memberi isyarat padaku untuk melanjutkan.


"Dengan ini, persiapannya hanya melibatkan menentukan lomba dan menyiapkan peralatannya. Sisanya, hanya perlu menyetel ruangan sehari sebelumnya. Pada hari pelaksanaan, cukup ada petugas di tiap cabang lomba dan meja registrasi, sementara sisanya bebas."


Beberapa suara antusias mulai terdengar di kelas.


"Kayaknya ide ini lumayan bagus, ya?"

"Iya, kayaknya bisa diterapkan."

"Seru juga, sih, kalau dipikir-pikir."

"Dan persiapannya nggak ribet."


Komentar positif mulai berdatangan.


"Ini ide yang cukup cerdas," kata Sarugaya, lalu menulis "Rekor Guinness Meihoku" di papan tulis.


...Tunggu. Kalau responnya sepositif ini, situasinya jadi berubah. Kalau ide ini benar-benar diterima...


Sambil terus memperhatikan, aku melihat siswa lain mulai mengajukan ide masing-masing.


Usulan-usulan lain seperti kelas menjadi taman bermain indoor atau museum seni generasi baru menggunakan smartphone terdengar cukup menarik, tapi...


"Hasil voting sudah keluar! Acara yang akan kita tampilkan di festival sekolah tahun ini adalah Rekor Guinness Meihoku! Ayo, semuanya, semangat, ya? Dan untuk pengusulnya, Masaichi, aku harap kamu bisa banyak membantu persiapan nanti!"


Entah karena kemudahan pelaksanaannya atau minimnya persiapan yang diperlukan, ideku berhasil mendapatkan suara terbanyak.


Dan, seperti yang sudah kuduga, Sarugaya langsung menyerahkan tanggung jawab persiapan kepadaku.


Di depan semua orang, tentu aku tidak bisa menolak. Dan begitu usulanku diterima, sudah pasti aku harus ikut aktif dalam persiapannya. Meskipun tidak ada kewajiban langsung, ada semacam tanggung jawab tak terlihat yang kini harus kupikul.


Sial. Seharusnya tadi aku mengusulkan ide yang jelas-jelas akan ditolak. Kini waktu luangku untuk hobi...


Aku menghela napas panjang, merasa sedikit kecewa, sambil menundukkan bahu.


Saat itulah, aku kembali merasakan tatapan dari arah serong depan.

Aku mengangkat kepala dan mendapati Toiro sedang menatapku. Ketika pandangan kami bertemu, ia tampak terkejut sesaat sebelum tersenyum dan mengacungkan kepalan kecil dengan antusias.


Rasanya, bebanku sedikit terangkat.


Yah, tak apa. Selama Toiro terlihat senang...


Aku yakin dia juga akan membantuku selama persiapan. Dan pada akhirnya, waktu itu mungkin akan menjadi pengalaman yang menyenangkan.


"Baiklah! Mulai besok, kita langsung memulai persiapannya setelah pulang sekolah!" seru Sarugaya, menutup pertemuan. "Sebagai tambahan, tim panitia juga sedang menyiapkan banyak hal seru untuk festival skala sekolah. Jadi, yakinlah bahwa Festival Meihoku tahun ini akan sangat meriah!"


Dengan semangat itu, rapat pun resmi berakhir.


Semua orang mulai membereskan barang-barang mereka dan bersiap menikmati waktu luang masing-masing setelah pulang sekolah.



Rapat yang selesai lebih lambat dari biasanya membuat suasana terasa berbeda. Saat aku berjalan keluar kelas, ada sesuatu yang terasa aneh di dadaku—seperti perasaan ringan dan melayang.


Rasanya... ini adalah sesuatu yang tak pernah kurasakan di masa SMP dulu.


Aku sendiri terkejut, tapi tampaknya aku juga terbawa sedikit oleh suasana festival ini. Mungkin perasaan semacam antusiasme terhadap sesuatu yang tidak biasa sedang muncul di diriku.


Bukan berarti aku punya tekad bulat seperti, "Festival ini harus sukses besar!" Tapi, aku ingin menikmati momen ini sebisanya.


Sambil melamun, mataku tertuju pada sosok punggungnya, yang sedang berbicara dengan teman-temannya. Dalam hati, aku berpikir, mungkin ini akan menjadi pengalaman yang menyenangkan.
















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !