Nee, Mou Isso Tsukiacchau? Osananajimi Chap 6 V3

Ndrii
0

Chapter 6

Fenomena Gunung Salju




Di dalam bus saat perjalanan pulang, kami sudah kembali ke stasiun di kampung halaman, tapi kemudian kami menuju ke suatu tempat tujuan.

  

Kami berjalan berempat...  


...Aneh. Seharusnya double date ini sudah selesai. Aku pikir akhirnya bisa lepas dari tekanan Mayuko dan pulang ke kamar untuk bersantai. Tapi kenyataannya, kami masih beraksi sebagai kelompok berempat.


Aku mencoba mengingat awal mula kejadian ini.  


Setelah turun dari bianglala, kami bersenang-senang dengan atraksi seperti seluncur rumput dan panahan. Kami berusaha menunjukkan sikap layaknya pasangan kekasih di beberapa kesempatan, tapi saat naik gokart, aku dan Toiro malah terbawa suasana kompetisi (time attack) dan membeli tiket masing-masing. Mayuko sampai bertanya, 


“Bukannya ini untuk dua orang? Kenapa kalian tidak naik bersama?” Rupanya di situ, kami sedikit ceroboh.


Setelah menjelajahi hampir semua fasilitas di peternakan dan makan siang di food court, kami duduk santai di meja. Perasaan kenyang setelah makan dan kelelahan karena berjalan jauh membuat kami malas bergerak. Sepertinya yang lain juga merasakan hal yang sama. Kami menghabiskan sekitar 30 menit hanya mengobrol ringan sambil bermain-main dengan ponsel masing-masing.


Di saat seperti itu, Sarugaya membuka mulut.  


“Sudah lewat jam dua. Kalau kita bubar begini saja, rasanya kurang seru.”


Kami semua mengangkat kepala dari ponsel.  


“Benar juga. Jadi, mau bagaimana?”  


Mayuko merespon, dan Toiro mulai mencari informasi di ponselnya.  


“Kita sudah melihat semua yang ada di sini, jadi untuk sekarang kita harus naik bus kembali ke stasiun dulu.”


Sepertinya sudah jelas bahwa mereka masih berencana untuk pergi ke tempat lain setelah ini. Mendengar hal itu, rasa malas di dalam diriku semakin besar. Aduh, aku tidak mau bergerak dari meja ini.


Saat aku sudah hampir menyerah, pembicaraan tentang pergi karaoke atau berbelanja mulai terdengar. Tapi tampaknya tidak ada yang benar-benar cocok, karena semuanya menggumamkan “Hmm...” sambil kebingungan.  

“Kalian tidak perlu memikirkan aku. Aku ikut ke mana saja,” kataku sebagai basa-basi.


Repertoar lagu karaoke-ku juga mulai bertambah sedikit demi sedikit. Belakangan ini, banyak lagu JPOP lawas yang digunakan sebagai lagu pembuka anime, jadi aku bisa mengikutinya lebih baik. Yah, karena Sarugaya dan Toiro sama-sama penggemar anime, kali ini kelompok pecinta anime jelas lebih dominan.


“Kalau terlalu terpaku pada kesan double date, kita malah tidak bisa memutuskan apa-apa,” ujar Toiro.  


Mendengar itu, Sarugaya menepukkan tangannya.  


“Kalau begitu, bagaimana kalau kita pergi ke tempat yang ingin dikunjungi Mayuko-chan? Lagipula hari ini, yang mengatur acaranya adalah Mayuko-chan.”


“Eh, a-aku?”  


Mayuko yang tiba-tiba ditunjuk, suaranya berubah tinggi karena terkejut. Dia kebingungan mencari jawaban, mengalihkan pandangan ke sekeliling.


Sarugaya menenangkannya dengan suara lembut,  

“Kamu tidak perlu khawatir. Ayo kita pergi ke tempat favorit Mayuko-chan. Aku juga ingin tahu apa yang biasanya dilakukan Mayuko-chan.”


“S-sa-sarugaya-kun ingin tahu tentang aku!?”  


Mayuko terbata-bata dan terlihat panik, matanya bergerak ke sana kemari.  


“A-aku, ngomong yang aneh ya—”


Sarugaya juga jadi panik. Namun di tengah kekacauan itu, Mayuko sedikit menunduk, seakan berpikir.  


“Tempat favoritku...”  


Dia mengangkat pandangannya pelan-pelan, melihat kami bertiga dengan sedikit ragu, lalu berkata pelan,  


“Kalau begitu... tempat yang... ‘gassa’...”


“Hah? ‘Gassa’?”  


Karena kurang jelas, Toiro bertanya lagi.


Mayuko tiba-tiba mengeraskan suaranya dan berteriak,  


"A-aku ingin pergi ke kafe manga!"  


Pipinya bersemu merah muda.


Ternyata kafe manga langganan Mayuko ada di dekat rumahnya, tapi karena jaraknya terlalu jauh, kami memutuskan untuk masuk ke internet kafe besar yang berlokasi dekat stasiun.  


"Heh, jadi Mayuko-chan suka kafe manga, ya," kata Sarugaya setelah mendengar tempat tujuan yang diinginkan.  


"A-apakah aneh?"  


"Tidak, tentu saja tidak. Kafe manga? Bagus kok. Tapi kenapa kamu suka?"  


"A-aku sebenarnya suka baca manga, mungkin? Maksudku, lebih ke... manga shoujo? Tapi kalau ingin baca banyak, kan, tidak mungkin mengoleksi semuanya. Jadi, aku sering menghabiskan uang sakuku di kafe manga. J-jangan tertawakan aku, ya."  


Mayuko tampaknya merasa malu karena mengakui suka membaca manga shoujo. Memang, dengan gaya bicaranya yang tomboy, tidak terduga jika dia suka hal-hal girly seperti itu. Namun, aku sudah melihat Mayuko yang bersikap manis saat berada di depan Sarugaya, versi gadis yang sedang jatuh cinta. Wajar jika seorang gadis yang sedang kasmaran suka dengan manga cinta.


Tentu saja aku tidak menertawakannya, tapi rasanya jadi hangat dan membuatku merasa gemas. Mayuko bisa diidolakan.


Kami tiba di kafe manga yang dituju sekitar lima menit dari halte bus.

  

"Aku belum pernah ke kafe manga sebelumnya, lho. Seru, ya," kata Toiro di sebelahku dengan suara riang.  


"Oh, ya? Kupikir kamu sudah pernah," jawabku.  


"Kamu sendiri, Masaichi, sudah pernah ke sana?"  


"Ya, kadang-kadang. Waktu perjalanan sekolah, aku juga pernah ke sana saat waktu bebas."  


"Eh... Aku baru kali ini melihat orang yang benar-benar memanfaatkan waktu bebas dengan cara seperti itu..."  


Toiro menatapku dengan ekspresi kasihan. Menurutku, itu waktu yang sangat menyenangkan, jadi aku tidak merasa terganggu sama sekali. Membaca manga di tengah acara sekolah? Rasanya seperti menang lotre.


Kami berempat masuk dan mendengarkan penjelasan dari resepsionis.  


Namun, ada sedikit masalah.


"Maaf, kami tidak memiliki ruang yang bisa menampung empat orang. Kalian hanya bisa menggunakan kursi terbuka di sini. Tapi tolong, jangan terlalu berisik karena ada pelanggan lain juga," kata resepsionis wanita itu.


Ternyata di kafe ini tidak ada ruang pribadi untuk empat orang. Kursi terbuka mirip dengan ruang belajar di bimbel atau perpustakaan, di mana setiap orang duduk menghadap meja. Tergantung kafenya, mungkin ada sekat, tapi jaraknya dengan pengunjung lain sangat dekat. Kami mungkin bisa duduk berempat bersebelahan, tapi, seperti yang dikatakan resepsionis, suasananya sepi sehingga sulit untuk berbicara dengan suara biasa, apalagi ramai-ramai.


Aku bertanya-tanya, apa yang akan kami lakukan? Saat itu, Toiro melihat tabel sistem yang terpajang di bawah meja resepsionis dan berkata,  


"Kalau begitu, bagaimana kalau pakai ruang berdua ini? Kita bisa berpisah jadi dua pasangan."


Mendengar itu, Mayuko mengeluarkan suara kaget, seperti "Eh," dengan intonasi aneh.  

"T-tunggu, tunggu sebentar! Berdua di ruang pribadi itu... lagipula, bukannya hari ini double date? Kalau kita terpisah, kesannya double date-nya jadi hilang, kan?"  


Mayuko berbicara cepat, menolak usulan Toiro.


"Padahal tadi di bianglala kalian juga berdua, kan?"  


"Itu saja sudah membuatku hampir mati karena deg-degan! Rasanya seperti mau mati! Waktu di bianglala itu singkat, jadi aku masih bisa bertahan. Tapi di kafe manga? Tidak mungkin, itu benar-benar ruang pribadi."  


Sepertinya suasana di bianglala tadi juga cukup intens. Yah, di gondola kami sendiri pun cukup mendebarkan. Aku sebenarnya berniat menyembunyikannya, tapi rasa takutku pada ketinggian langsung ketahuan, dan pada akhirnya malah berkembang menjadi situasi di mana kepalaku dielus. Mungkin itu bagian dari gerakan ala pasangan kekasih, tapi saat itu aku yakin tidak ada yang melihat...


"Begitu, ya. Tapi, sepertinya akan sulit menikmati bersama berempat," kata Toiro dengan nada agak kecewa.  


Mayuko menggumam pelan, "Uuh... tapi..." sambil tampak ragu.


Saat itulah Sarugaya membuka suara.  


"Gimana kalau kita masuk saja? Aku ingin baca manga yang direkomendasikan Mayuko-chan."  


"Eh, rekomendasi... manga shoujo, lho?"  


"Iya, aku sudah lama ingin mengisi ulang dosis tokimeki-ku," jawab Sarugaya sambil menyibakkan rambutnya dan mengedipkan mata. Hah, gaya apa itu?  


Mayuko, yang matanya tampak berbinar-binar, mengangguk dan berkata, 


"I-iyap. Tokimeki penuh." 


Apa-apaan ini?


Walaupun Mayuko sedikit malu-malu, Sarugaya tampak antusias untuk berada berdua saja dengan Mayuko. Akhirnya, keputusan pun dibuat. Kami akan memisahkan diri menjadi dua pasangan dan menyewa dua ruang berdua.


Biasanya, kalau aku datang sendirian, aku hanya menggunakan kursi terbuka. Jadi, aku sedikit penasaran bagaimana rasanya ruang pribadi ini.  


Kami menerima binder dengan nomor ruangan dari resepsionis, lalu menuju ke ruang yang tertera. 

Dalam perjalanan, kami mengambil minuman di bar minuman, dan di sana kami berpisah dengan Sarugaya dan Mayuko.  


"Ruang kami ada di sini. Baiklah, sampai jumpa nanti, Tuan Masaichi," kata Sarugaya.  


"Ya, dua jam lagi kita keluar."  


"Aku paham. Dan juga—"  


Sarugaya mendekat padaku dan berbisik,  


"—jangan terlalu heboh, ya."  


"Hei, kata-kata itu seharusnya aku kembalikan padamu," balasku.


Meskipun begitu, aku merasa tidak perlu khawatir kali ini. Meskipun biasanya agresif, Sarugaya tampak sedikit tegang saat berbicara dengan Mayuko tadi. Ada kesan canggung dalam senyumnya yang jarang terlihat.


Dengan membawa minuman kami, aku dan Toiro berjalan menuju ruangan kami. Di dalam ruangan, ada meja sempit di sebelah kiri dengan komputer dan lampu meja di atasnya. Tidak ada sofa, hanya lantai hitam berlapis kulit imitasi dengan dua bantal besar.


"Mau ambil manga dulu?" tanyaku sambil membayangkan Toiro akan langsung terjun ke lantai dan berguling-guling malas.  


"Ya! Aku juga ingin tahu manga rekomendasi Masaichi... boleh?"  


"O-oh, tentu. Ada beberapa judul baru yang terlihat menarik. Aku akan mencarinya."  


Toiro mengatakan itu dengan tatapan mata puppy dog dan nada bertanya yang tidak biasa. Apa-apaan ini? Ini tidak seperti Toiro. Dia tampak seperti sedang berusaha tampil menggemaskan.


Ngomong-ngomong, aku punya kebiasaan mencari manga baru di internet. Banyak judul yang belum dimuat di majalah mingguan dan biasanya bab pertama dirilis gratis sebagai promosi. Ini sangat membantu. Jika aku menyukainya, aku akan membaca volume pertama di tempat seperti ini. Kalau ternyata bagus, baru aku mulai mengoleksinya.


Aku meletakkan minuman di meja tanpa melepas sepatu, lalu berjalan keluar lagi. Toiro mengikuti di belakangku dengan langkah-langkah kecil. Kami berdua menuju rak buku yang penuh dengan manga.


"Wow, tempat ini luar biasa. Serasa di mimpi! Apa semua ini boleh dibaca?" Toiro berkata dengan mata berbinar.  


"Tentu saja, kita kan sudah bayar."  

"Semua manga bisa dibaca, minuman bisa diambil sepuasnya, bahkan bisa tidur di ruangan ini. Dengan harga segini? Lebih hebat daripada hotel!"  


"Eh, berarti tidur sudah masuk daftar kegiatanmu, ya?"  


Kalau Toiro mulai menikmati tidur sepuasnya di sini, dua kegiatan lainnya pasti akan terabaikan. Bahkan bisa-bisa kami kena biaya tambahan karena terlalu lama tidur.


"Hari ini kita benar-benar baca manga, ya."  


"Ya! Aku tidak akan tidur! Sama sekali tidak! Kalau tidur, aku akan mati!"  


"Itu seperti aturan bertahan hidup di gunung salju!"


Aku memeriksa bagian manga baru dan manga populer, mengambil beberapa judul yang menarik perhatianku. Sementara itu, Toiro juga memilih beberapa manga setelah mendengar rekomendasiku. Dengan total sepuluh manga di tangan, kami kembali ke booth.


Aku menjatuhkan diri, meluruskan kaki, dan bersandar ke dinding. Tanpa menunggu lama, aku langsung membuka salah satu manga yang kuambil.  


Di sampingku, Toiro berada dalam posisi yang sama.

Meskipun berada di ruang yang sama, kami berdua asyik dengan manga masing-masing, mirip seperti ketika berada di kamar biasa kami.  


"…………"  

"…………"  


Sunyi. Kami tidak berkata apa-apa.


Namun... entah kenapa, kali ini aku tidak bisa sepenuhnya berkonsentrasi pada manga yang kubaca.  


Cahaya dari lampu meja yang diletakkan di atas meja adalah satu-satunya sumber penerangan di ruang yang agak gelap ini. Lantai hitam berlapis kulit yang dingin dan keras. Rasanya aneh berpakaian begitu santai di luar pakaian rumah... aku jadi sadar sekali dengan keberadaan Toiro di sampingku.  


Dan entah kenapa, jarak di antara kami terasa lebih dekat dari biasanya.


Di rumah, kami kadang-kadang juga berbaring di tempat tidur bersama sambil membaca manga atau bermain game di ponsel. Pada saat-saat itu, tubuh kami kadang bersentuhan. Tapi di booth ini, ruangnya sebenarnya cukup luas. Kami seharusnya bisa lebih leluasa. Kenapa dia duduk persis di sampingku?

Aku coba menyentuh lengan Toiro dengan sedikit dorongan menggunakan siku. Dia menoleh ke arahku, lalu dengan sedikit menggeliat, dia malah mendekatkan tubuhnya lebih dekat lagi. Kenapa sih?! Semakin sempit jadinya!


Aku hendak menegurnya, tapi Toiro sudah mengangkat wajahnya dari manga yang dia baca.  


"Hei, kamu nggak merasa agak dingin?"  


"Hah? Dingin?"  


Saat aku bertanya balik, Toiro mengangguk berulang kali.  


"Kalau tidur begini, bisa mati, tahu."  


"Kamu dan teori bertahan hidup di gunung salju lagi. Tapi ya, AC-nya memang agak dingin sih..."  


"Nah, kan? Aku cuma pakai baju lengan pendek, jadi agak kedinginan."


Toiro melepaskan sandarannya dari dinding dan beranjak ke arah meja tempat komputer diletakkan. Dari keranjang di bawah meja, dia mengambil sesuatu yang berbentuk seperti gumpalan putih berbulu. Setelah dia buka, ternyata itu adalah selimut kecil.  


"Benar saja. Ini, selimut tambahan."  


"Oh, ternyata ada juga, ya?"  


Saat aku berkata begitu, Toiro tampak bangga.  


"Aku sudah melihatnya sedikit mengintip dari bawah meja, jadi aku penasaran," katanya.


Dengan gesit, Toiro merangkak kembali ke sampingku.  


"Jadi, kita pakai selimut ini bersama-sama, ya."  


"Kenapa harus begitu? Aku nggak perlu, kok."  


"Kenapa nggak? Kalau tidak, kamu bisa mati, lho."  


"Nggak bakal mati, lah. Paling cuma masuk angin."  


"Masuk angin juga nggak bagus, tahu."


Tanpa menunggu persetujuanku, Toiro duduk di sampingku dan menutupi bagian bawah tubuh kami dengan selimut itu.  


"…Sempit, nih."  


Ternyata selimutnya lebih kecil dari yang kukira. Ukurannya pas-pasan untuk dua orang, sehingga sedikit bergerak saja sudah membuatnya bergeser. Rasanya jadi tidak nyaman.  


Namun, Toiro tampak senang, berkata,


 "Nah, aman sekarang!"


Padahal aku tidak datang ke sini untuk tidur... Dan waktu yang kami miliki terbatas. Mengingat itu, aku mencoba kembali ke dunia fantasi di manga yang kubaca.  


"…………"  

"…………"


Toiro juga ikut mulai membaca manga, mengikuti apa yang kulakukan.  


Namun, karena jarak kami yang terlalu dekat, sedikit gerakan saat membuka halaman sudah membuat lengan kami bersentuhan, ujung jari kaki kami saling menyenggol, dan bahkan ujung rambut Toiro terkadang menusuk kulitku. Bahkan angin AC yang mengenai kami mulai terasa mengganggu.


―Aku tetap tidak bisa konsentrasi.

Sambil pura-pura membaca manga, aku sesekali melirik ke arah Toiro. Lalu, tanpa diduga, Toiro menoleh padaku.


"Seru nggak manganya?"  


"Hah? Oh, iya. Ini manga yang memenangkan penghargaan utama yang cukup terkenal. Cetakannya juga banyak. Aku sempat baca preview-nya dan sejak itu ingin baca lanjutannya, tapi nggak ada kesempatan. Padahal dari sekilas baca aja, rasanya bakal menarik."  


"Woah, kelihatannya keren ya."


Toiro memiringkan tubuhnya mendekat, mencoba mengintip halaman yang sedang kubaca.  


Mungkin karena sebelumnya dia berkeringat saat berjalan-jalan di luar, aku bisa mencium aroma segar citrus seperti sisa-sisa musim panas. Sejujurnya, membaca manga bersama seperti ini bukan hal yang aneh, kami sering melakukannya di kamarku. Namun...


"Eh, agak gelap ya, jadi susah lihat tulisannya."  


Ucapannya terdengar dibuat-buat dan nada bicaranya jelas sekali dipaksakan.  


Toiro lalu mengerjapkan matanya seakan-akan sedang fokus, lalu mendekat lebih erat, hingga tubuhnya menyentuhku. 

Melalui kaos tipis yang dia pakai, aku bisa merasakan kelembutan tubuhnya, membuatku refleks menegangkan badan.


Tak bisa menahan diri, aku langsung memanggilnya.  


"Toiro, ini maksudnya... aksi pasangan ya?"  


Dia menatapku dengan ekspresi tenang, dan wajahnya yang berada begitu dekat membuat jantungku berdegup kencang.  


Tanpa bicara, Toiro memandangku dalam-dalam, seolah bisa menarikku masuk ke dalam tatapan matanya. Lalu dia membuka mulutnya dan berbisik pelan.


"—Ini... aksi pasangan yang asli."  


A-asli? Aksi pasangan yang asli?  


"Apa maksudmu dengan itu?"  


"Sudah, nggak usah dipikirin," jawabnya.  


Tidak usah dipikirkan? Ya jelas susah untuk nggak memikirkannya...


Aksi pasanganyang asli, katanya. 

Belakangan ini, aku memang merasakan ada yang berbeda dari sikap Toiro. Dia jadi lebih sering melakukan kontak fisik yang lebih intens, bahkan memulai aksi pasangan di saat tidak ada yang melihat.  


...Apakah maksudnya ini seperti gerakan yang dilakukan pasangan yang sebenarnya?


"Ayo, ayo, nggak usah dipikirin! Kita baca manga bareng aja!"  


"Heh, tunggu sebentar—"  


Toiro mencoba membuka manga yang sejak tadi kututup.  


"Lho, kamu masih di bagian awal ya?"  


Aku memang belum bisa membaca banyak karena sulit berkonsentrasi.


"Mulai dari awal lagi yuk, aku juga ingin baca bareng."  


"Kamu serius mau baca bareng?"  


"Iya!"


"Kalau gitu, kita duduk normal dulu deh. Posisi ini pegal."  

"Oke!"  


Toiro mengiyakan dengan antusias, lalu langsung duduk tegak kembali ke posisinya.  


Aku membuka manga dari awal lagi, dan Toiro menyandarkan bahunya ke arahku sambil ikut membaca. Yah... setidaknya ini lebih nyaman daripada sebelumnya.


"Eh, cewek di manganya imut banget," gumam Toiro sambil tersenyum kecil.



"Seru, kan? Tapi jangan terlalu suka sama karakter yang kelihatan begitu imut."  


"Hah, kenapa? Bukannya dia heroine-nya?"  


"Sebentar lagi kamu bakal ngerti," jawabku sambil menahan rasa penasaran dan membalik halaman manga.  


"Eh!? Dia dimakan!?"  


"Iya, gitu deh..."  


"Itu monster apaan!? Eh, terus heroine-nya gimana?"  


"Heroine-nya keluar cuma lima detik, makanya manga ini sempat jadi viral. Mungkin sih ini semacam foreshadowing, tapi aku juga belum baca sampai bagian itu."  


"Eh, ayo cepetan lanjut baca!"  


Toiro mendorongku untuk terus lanjut membaca, dan aku mulai membalik halaman lagi.


Sambil menikmati alur cerita, pikiranku melayang sejenak.  


Membaca satu manga bersama seperti ini membuatku merasa seolah sedang berada di rumah sendiri. Rasanya nyaman, seperti bersama Toiro yang biasanya... Tapi kenapa tiba-tiba dia melakukan "move pacar" yang katanya asli itu?


Namun, pertanyaan-pertanyaan itu segera lenyap saat aku terserap ke dalam alur cerita manga yang seru dan epik.



Setelah menghabiskan satu volume manga, kami memutuskan untuk beristirahat sejenak.  


Masaichi berdiri dan berkata akan mengambil minuman, lalu keluar dari ruangan.  


Aku masih duduk dengan selimut yang menutupi tubuhku, lalu meregangkan tubuh sambil berkata, "Nngghh," dan menghela napas panjang.  


"Ini tadi aksi pasangan, katanya? Huh, Masaichi memang benar-benar clueless."


Padahal aku tidak ingin merusak suasana yang sudah kubangun...


Sebenarnya, aku punya tujuan tersembunyi ketika mengikuti double date ini.  

Aku ingin tahu rasanya menjadi pasangan yang asli, dan ingin membuat Masaichi lebih deg-degan.


Normalnya, pasangan tidak akan merencanakan aksi seperti ini sebelumnya, kan? Jadi aku berpikir untuk bebas melakukan hal-hal yang terkesan seperti pacaran tanpa ada diskusi dulu.  


Aku sudah mencoba beberapa hal saat di peternakan, tapi responsnya belum terlalu memuaskan. Makanya, aku mencoba lebih agresif di manga kafe ini, mendekatkan diri dan masuk ke dalam selimut bersama.


Saat pura-pura tidak bisa melihat tulisan di manga, aku sengaja menempel ke tubuh Masaichi. Jujur saja, rasanya seperti jantungku akan meledak—deg-degan sampai merasa seperti ajal sudah dekat.  


Saat mengingatnya kembali, aku merasa malu sendiri dan tanpa sadar menggerakkan kakiku dengan gelisah.  


Pada akhirnya, sih, ceritanya terlalu seru jadi aku malah ikut hanyut dan menikmati membaca. Tapi...


Aku menghela napas panjang untuk menenangkan diri.  


Menurutku, aku sudah berusaha keras. Tapi... apa sih sebenarnya "aksi pasangan yang asli" itu?  

Meski aku berhasil mengelak dari pertanyaan Masaichi, dia pasti sadar kalau aku sedang melakukan sesuatu. Pandangan matanya seperti curiga.


Bagaimana ya...  


Apa Masaichi sempat merasa deg-degan juga, walau sedikit?  


Sambil berpikir begitu, aku menyandarkan diri ke dinding.  


Mungkin karena aku bangun lebih awal dari biasanya dan bersemangat sepanjang hari, tubuhku mulai terasa lelah. Tapi rasanya lelah yang menyenangkan.


Aku kembali meregangkan tubuh dengan gerakan yang besar.  


"Ingin cepat-cepat lanjut baca manga..."  


"Masaichi, kok lama ya..."  


Sambil berpikir dengan santai begitu, aku menunggu kembalinya Masaichi.



Setelah memutuskan untuk beristirahat sebentar, aku keluar dari ruangan dan menuju ke vending machine.  


Dengan alasan "mengisi ulang minuman," sebenarnya aku hanya ingin menyendiri sejenak.


—Toiro aneh hari ini.  


Aku mengingat-ingat kejadian sepanjang hari ini. Rasanya dia jadi lebih dekat dari biasanya. Terlalu aktif. Bahkan di tempat sepi pun dia terus melakukan "aksi pasangan."  


Yang lebih membingungkan, semua itu dilakukan tanpa ada pembicaraan sebelumnya, seolah benar-benar alami. "Aksi pasanagan yang asli" ini terasa lebih nyata dan intim dibanding biasanya.


Saat tenggelam dalam pikiranku, aku sudah sampai di depan vending machine.  


Di manga kafe ini, biaya minuman sudah termasuk dalam tarif, jadi aku bisa memilih apa saja tanpa perlu memasukkan uang. Pilihannya banyak—mulai dari melon soda, matcha latte, bahkan ada opsi yang tidak biasa seperti o-shiruko. Eh, ada juga corn potage. Pertanyaannya, apakah sup ini mengandung jagung? Mungkin layak dicoba. Tapi saat tanganku hampir menekan tombol, aku berpikir lebih baik memilih yang dingin saja dan…


"Mazono."


Suara tiba-tiba dari belakang mengejutkanku, dan tanpa sengaja aku menekan tombol. Terdengar bunyi "pi," memesan minuman secara tak sengaja.  


Saat berbalik, ternyata yang berdiri di belakangku adalah sosok yang tidak terduga—Nakasone dengan pakaian kasual.


"Kenapa reaksimu begitu?"  


Nakasone menatapku dengan ekspresi datar. Dia mengenakan sweatshirt bermotif leopard yang longgar dan celana pendek yang memperlihatkan kakinya yang putih.


"I-itu… karena kamu tiba-tiba berbicara di telingaku. Kenapa kamu bisa mendekat tanpa suara? Apa kamu ninja?"  


Belakangan ini rasanya sering kaget karena tiba-tiba disapa dari belakang. Kenapa semua orang jadi seperti ninja?  


Namun, tanggapan Nakasone dingin,  


"Hah? Apa yang kamu omongin?"  


Nakasone, kamu benar-benar bikin suasana jadi dingin...

"Di tempat seperti ini, kan, nggak mungkin teriak dari jauh," balasnya sambil tetap tenang.  


"Y-ya, itu benar sih."


Vending machine berbunyi lagi, tanda minuman sudah keluar. Aku mengambilnya, dan ternyata yang keluar malah kopi panas.  


Sementara itu, Nakasone memainkan ujung rambutnya yang digulung lepas sambil memandangi sekeliling dengan gelisah.


"Kamu lagi cari seseorang?" tanyaku.  


Saat itu, tiba-tiba terdengar suara,  


"Tuan Masaichi, bantu aku dong!"  


Sarugaya berjalan sempoyongan di lorong, mendekat ke arah kami.


"Hah, kamu kenapa?" tanyaku kaget.  


"Mayuko-chan... Mayuko-chan terlalu imut...," ucap Sarugaya lemas sambil bersandar padaku. Rasanya gerah sekali.


"Ya bagus dong. Nikmati waktu kamu sampai waktunya habis," 

kataku sambil tertawa.  


"Tapi masalahnya... Setiap kali aku merasa dia imut, entah kenapa aku jadi tegang. Nggak bisa ngobrol seperti biasanya, seolah-olah diriku yang sebenarnya hilang. Ini pertama kalinya aku merasa seperti ini, dan aku nggak tahu harus bilang apa," keluh Sarugaya.


Jadi itu maksudnya minta bantuan, ya.  


Tampaknya hubungan Sarugaya dengan Mayuko berjalan dengan baik.  


…Sepertinya nggak perlu dibantu sama sekali.


"Jadi aku datang ke sini karena penasaran apa yang terjadi... Nggak kusangka kalian ternyata lagi mesra juga? Seriusan?"  


Nakasone melongo melihat Sarugaya.


"Hah, bukannya itu Urara-chan? Kebetulan... eh, nggak mungkin kebetulan, ya. Ngapain kamu di sini?"

  

"Aku dapat pesan SOS dari Mayuko. Katanya dia nggak tahan dengan suasananya. Aku penasaran, rumahku kan dekat, jadi aku datang untuk mengecek... Eh, ternyata…"  


Sepertinya Nakasone juga berpikiran sama denganku—tidak ada yang perlu dibantu di sini.


"Jadi begitu. Apakah Mayuko-chan menyerah karena pesonaku dan ketampananku yang membuatnya kewalahan?" ujar Sarugaya sambil tersenyum, seolah-olah bercanda.


"Kalau begitu, dengan pesona baikmu itu, coba kawal Mayuko. Jangan sampai dia jadi gugup."


"Aku juga mau begitu, tapi... entah kenapa aku tidak bisa menunjukkan gaya biasanya."


"Gaya biasanya? Bukannya cuma mode monyet mesum?" aku menyahut, dan Sarugaya menggelengkan jarinya sambil berkata, "Non, non, non."


"Kalau bicara soal pria, semua manusia telah berkembang sebagai monyet dengan naluri mesum. Tapi, memuji atau merayu perempuan adalah keahlian khusus monyet mesum. Namun, itu tidak berhasil kali ini."


"…Oh," aku mengangguk kecil.


"Misalnya, saat aku memuji dia dengan bilang 'kamu cantik,' Mayu-chan langsung tersipu dan wajahnya memerah sambil bilang 'tidak, tidak seperti itu.' Aku belum pernah bertemu gadis seperti itu sebelumnya. Biasanya, aku malah sering diperlakukan dengan pandangan dingin. Jadi, reaksi Mayuko-chan itu benar-benar manis dan terlalu menggemaskan... Rasanya seperti diserang perasaan 'kyaa' yang mematikan, lebih daripada yang ada di manga shoujo. Aku sampai melarikan diri karena tidak kuat."


"…Oh."


Apa-apaan ini, cerita cinta remaja, ya? Bahkan Nakasone menghela napas dengan ekspresi seolah tidak percaya.


"Kamu kurang pengalaman cinta, ya?"


"Aku? Aneh juga, aku memang tidak terlalu beruntung mendapat kesempatan. Aku sering dibilang bakal populer kalau tidak banyak bicara."


"Aah," Nakasone mengangguk paham.


Sarugaya biasanya selalu aktif mengajak bicara para gadis, tetapi tampaknya ini pertama kalinya dia mendapat reaksi seperti dari Mayuko. Sepertinya dia agak bingung karenanya.


... Bukankah ini cuma kebahagiaan belaka?


Aku juga menghela napas panjang. Sepertinya pembicaraan ini sudah selesai. Aku menyeruput kopi panas dengan pelan.

"Yah, kalau sudah baik-baik saja, aku mau baca manga sebentar," ujar Nakasone, berbalik hendak pergi.


Namun, tiba-tiba Sarugaya memanggilnya.


"Tunggu sebentar. Ini momen yang pas. Aku mau bicara sedikit, juga dengan kamu, Masaichi."


"…Ada apa?"


Apa yang ingin dia bicarakan di saat seperti ini? Aku bertanya-tanya sambil menanggapinya.


"Soal Kasukabe, yang kita bicarakan sebelumnya."


"Ah, ya, soal itu."


Sambil menjawab, aku tanpa sadar melirik ke arah Nakasone.


Dia pun mulai bicara. "Lanjut saja. Aku juga sudah mendengar soal itu dari Sarugaya."


Sekarang aku malah melirik Sarugaya dengan tatapan curiga.


Seberapa banyak yang sudah dia ceritakan pada Nakasone...?

"Aku hanya bertanya sedikit, Masaichi. Aku sudah mencoba mencari tahu lewat berbagai jalur, tapi anehnya, aku tidak bisa menemukan banyak informasi tentang Kasukabe. Dia, seperti kita, juga berasal dari SMP swasta di luar daerah. Jadi, tidak ada yang tahu banyak detail tentangnya. Bahkan teman satu klub yang dekat dengannya hanya tahu gosip biasa seperti dia suka dengan cewek, seperti yang kamu juga pernah dengar."


"Begitu, ya."


Kasukabe rupanya bukan lulusan SMP lokal. Namun, dia sudah dikelilingi teman-teman di sekolah ini dan tampaknya sudah mendapatkan tempatnya.


"Tapi, meskipun katanya dia suka cewek, tidak ada cerita spesifik soal cewek yang pernah jatuh ke tangannya."


"Begitu."


Jadi, rumor bahwa dia suka cewek itu mungkin tidak lebih dari sekadar gosip saja, ya?


"Jadi begini, kita sampai pada pertanyaan: siapa di sekolah yang paling tahu tentang Kasukabe? Menurutmu siapa?"  


Aku berpikir sejenak sebelum akhirnya teringat.  


"…Funami, ya?"  


"Benar. Aku pikir si Urara-chan yang selalu bersama dia pasti tahu banyak, jadi aku membawa pembicaraan ini padanya," ujar Sarugaya.


Oke, sekarang aku mulai mengerti ke mana arah pembicaraan ini. Jadi, dia sengaja menunggu sampai kami berkumpul di sini untuk membahas hal ini.


Menggantikan Sarugaya, Nakasone pun berbicara.  


"Aku sudah dengar ceritanya. Memang, biasanya aku sering mendengar cerita tentang Kasukabe dari Kaede... Tapi, soal asmara Kasukabe tidak terlalu sering dibahas."  


"Itu karena adanya Toiro membuat sulit membicarakannya?" tanyaku.


Kalau sampai menyentuh soal asmara Kasukabe, bisa jadi pembicaraan akan mengarah pada siapa yang sedang dia sukai saat ini. Dalam hal ini, pasti akan membuat Funami dan Toiro merasa canggung.


"Yah, mungkin ada hubungannya dengan itu juga... Tapi lebih karena Kaede senang membicarakan hal-hal yang dia sukai dari Kasukabe. Hal-hal seperti di mana dia keren dan seberapa baik dia," jelas Nakasone.


"Hmm, begitu..."

Dari penjelasan itu saja sudah jelas terlihat bahwa Funami benar-benar menyukai Kasukabe.


"Jadi, apa mereka berdua benar-benar tidak pacaran? Bagaimana suasana saat mereka pergi main bersama?" tanyaku lagi.


Hari ini, aku dan Toiro pergi kencan berpura-pura sebagai sepasang kekasih. Itu membuatku sadar bahwa kencan dengan kesadaran sebagai pasangan sejati terasa sangat berbeda dibandingkan hanya bermain bersama sebagai teman masa kecil.


Apakah mereka berkencan seperti pasangan sejati? Atau mereka hanya bermain seperti teman dekat yang senang bercanda bersama?  


Jika mereka senang, aku tidak akan ikut campur... Tapi dari cara mereka bermain, mungkin bisa sedikit terlihat hubungan mereka.


"Aku tidak tahu bagaimana suasana saat mereka bermain, tapi... mereka tidak pacaran. Tapi aku yakin kalau mereka saling suka," kata Nakasone.  


"Saling suka? Maksudnya, dari pihak Kasukabe juga begitu?" selak Sarugaya yang sejak tadi mendengarkan dengan serius.


Nakasone mengangguk pelan.  


"Kalau begitu, bagaimana dengan Toiro?"  

Aku bertanya sambil menatap Nakasone, yang kemudian menjawab sambil menatap mataku dengan hati-hati.  


"Kasukabe memang suka bersama Kaede, tapi dia juga punya perasaan spesial terhadap Toiro. Itu jelas terlihat. Waktu awal masuk sekolah—sebelum kalian mulai berpacaran—aku pernah melihat dia secara aktif mendekati Toiro. Tapi di saat yang sama, dia juga terlihat jelas menyukai Kaede… Sepertinya ada perasaan yang harus dia selesaikan dalam dirinya."


"…Begitu, ya."


Akhirnya, hanya itu yang bisa kami ketahui sejauh ini.


"Kalau aku dapat info lagi, nanti akan kuberitahu. Ini kan demi Toiro, kan?"  


Nakasone berkata seperti itu, dan setelah berpikir sejenak, aku mengangguk.  


"Ya, aku bergerak bersama Toiro. Nanti akan kuberitahukan juga pada Toiro—"


Niatku yang hanya ingin mengambil minuman malah menyita waktu lebih banyak dari yang kuduga. Aku segera kembali ke kamar.


"Maaf, aku agak lama," kataku sambil membuka pintu kamar—dan aku langsung terdiam.


Toiro tertidur sambil bersandar pada dinding, terdengar suara napas lembut, "kuu—kuu—".  


Sepertinya dia ketiduran. Mungkin dia lelah setelah bermain banyak hari ini.


Aku masuk ke kamar dengan pelan dan menutup pintu dengan hati-hati.  


Masih ada sekitar satu jam sebelum waktu tutup kafe ini. Akan buruk kalau aku membangunkannya.


Aku mengambil selimut yang terjatuh di lantai dan perlahan-lahan menutupkannya pada tubuh Toiro, mulai dari kaki hingga perutnya.



Kami keluar dari kafe manga, dan saat itu matahari perlahan mulai terbenam. Bundaran di depan stasiun berkilauan diterpa cahaya matahari senja, seolah butiran emas beterbangan di udara.  


Aku berpisah di sana dengan Sarugaya dan Mayuko, yang arah pulangnya berbeda, serta Nakasone, yang dengan teliti membaca manga sampai detik terakhir karena bayarannya dihitung per jam.

"Yah, rasanya rugi deh. Aku belum sempat baca manga itu sampai selesai," keluh Toiro sambil mengerucutkan bibirnya.  


"Itu seru banget, lho. Di volume ketiga, si heroine—"  


"Aaah! Aku nggak dengar apa-apa, nggak dengar apa-apa!" seru Toiro sambil menutup telinganya dengan kedua tangan, memotong ucapanku. Aku pun tertawa melihat tingkahnya.


"Serius nih, kayaknya aku mau kumpulin semua volumenya," kataku.  


"Serius? Aku bantu kumpulin, yuk! Kita kumpulin bareng, ya?"


Kami punya beberapa koleksi manga yang dikumpulkan bersama, di mana kami patungan membelinya. Setiap kali ada volume baru, kami bergiliran membelinya, seperti, "Kali ini giliranku," atau, "Sekarang giliranmu." Cara ini mengurangi beban biaya, dan aku cukup suka mengumpulkan manga dengan cara ini.


Kami berjalan santai, memasuki daerah perumahan. Toiro, yang tampaknya sudah memulihkan energinya setelah tidur, melangkah ringan mengikuti langkahku sambil sesekali melompat kecil.


"Oh iya, Masaichi, tadi kamu kasih selimut waktu aku tidur, ya? Makasih," kata Toiro tiba-tiba, seperti baru teringat sesuatu.  


"Aku nggak mau kamu masuk angin, sih. Lagipula, bukannya kamu bilang tidur di tempat dingin itu berbahaya?"  


"Wow, ternyata aku sudah bangkit dari kematian!"  


"Kebangkitan apanya. Aku bahkan dengar dengkuranmu yang teratur," ledekku.  


"Serius? Aku mendengkur?" Toiro langsung menutupi pipinya dengan wajah malu.  


"Iya. Suaranya kayak gemuruh bumi."  


"Nggak mungkin! Aku kalau tidur pasti tenang kok!"  


Sebenarnya, suara napasnya tidak mengganggu sama sekali, tapi aku sengaja memasang ekspresi serius. Toiro pun panik, 


"Bohong deh… Eh, beneran? Tapi nggak mungkin, kok! Ibuku aja nggak pernah bilang begitu, aku tidur dengan mode silent, tau!"


"Ngomong-ngomong, hari ini capek banget ya. Sepertinya malam ini aku bakal tidur nyenyak," kataku sambil merentangkan tangan dan meregangkan tubuhku.  

"Setuju banget. Ternyata seru juga ya main di luar kayak gini," Toiro meniru gerakanku, mengangkat tangannya dan meregangkan tubuhnya. Ehm, lengan bajunya sampai tersingkap tuh.


"Ya, sekali-sekali nggak apa-apa sih," jawabku.  


"Iya, bener banget."


Percakapan kami berhenti di sana. Kami terus berjalan santai, menuju jalan pulang.  


Terdengar suara anak-anak bermain di halaman rumah di pinggir jalan, suara motor yang melaju melewati kami, dan obrolan ibu-ibu yang mengobrol di tepi jalan. Suara keramaian kota mulai terasa lagi di telingaku.


"…………"  

"…………"  


Waktu hening seperti ini dengan Toiro terasa nyaman. Mungkin karena kami berdua tahu bahwa kami tidak perlu memaksakan diri untuk berbicara.


Namun, hari ini terasa sedikit berbeda.  


Toiro terlihat agak gelisah. 

Saat aku menoleh untuk melihatnya, dia tiba-tiba berkata, 


"Nee, nee!"  


"Ah, apa?" tanyaku, sedikit terkejut. Toiro tampak ragu-ragu sebelum akhirnya berkata dengan gugup,  


"Mi … Minggu depan, mau main berdua, nggak? Di kuil dekat sini, ada festival musim gugur."


Meskipun sudah jelas aku tidak akan menolak, Toiro tampak sedikit tegang menunggu jawabanku. Dia melirikku dengan pandangan penuh harap.


"Ya, ayo pergi," jawabku.


Toiro langsung tersenyum cerah, wajahnya berseri-seri.

  

"Festival itu, kita pernah pergi bareng waktu masih SD, kan?"  


"Iya! Nostalgia banget, ya? Jadi nggak sabar, deh!"


Kami tidak membicarakan lebih lanjut soal rencana festival itu. Rasanya seperti biasa saja, nanti ketika waktunya tiba, kami hanya akan keluar dengan santai dan menikmati festival. Cara seperti ini terasa paling cocok untuk kami, dan aku menyukainya.

Namun, hari ini, rasanya sedikit berbeda.  


Ada perasaan tak sabar yang muncul dari dalam diriku, terus berdetak pelan di perutku.
















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !