Chapter 7
Pertarungan yang tak terduga!
Setelah double date, Kembali ke Kehidupan Sekolah
Double Date di peternakan dan kafe manga sudah berakhir, dan kini hari-hari biasa di sekolah kembali dimulai. Meskipun aku tidak bolos sekolah dalam waktu lama atau pergi liburan, entah kenapa rasanya kata "kembali ke rutinitas" sangat tepat menggambarkan suasana ini. Bagiku, pergi jauh-jauh bermain dengan empat orang (dua pasangan dengan hubungan yang sedikit rumit) adalah acara yang cukup istimewa.
Gaya hidupku yang biasanya memadukan aktivitas nyata untuk mengisi stamina dan kegiatan otaku di rumah sebagai pelampiasan mulai terganggu... Kalau nanti harus ikut Double Date lagi, semoga pilihannya adalah sesuatu yang lebih santai, seperti kencan di pemandian air panas. Meski kalau dipikir-pikir, pergi ke onsen bersama Sarugaya sepertinya malah akan membuatku semakin lelah. Oke, lupakan ide itu.
Sambil memikirkan hal-hal sepele seperti itu, minggu ini sudah hampir berakhir. Berita yang tiba kepadaku datang di waktu yang paling menyenangkan dalam kehidupan sekolah: saat istirahat makan siang.
"—Hei, bisa bicara sebentar?"
Aku sedang asyik memainkan game di ponsel setelah menghabiskan bekalku ketika suara itu datang dari atas kepalaku.
Tidak, sebenarnya aku sedang tidak ingin bicara. Tapi aku tetap melirik sekilas untuk melihat siapa yang memanggilku.
Di sana berdiri seorang gadis yang melambai dengan senyuman ceria, sambil menggerak-gerakkan tangannya di depanku. Setiap kali dia melambaikan tangan, ujung rambut hitamnya yang halus ikut bergoyang sedikit. Aku terkejut melihat siapa yang memanggilku, sampai-sampai langsung meletakkan ponsel dan menatap ke arahnya.
Siapa sangka Funami mendatangiku di dalam kelas. Aku melihat sekeliling untuk mencari teman-teman segrupnya, tapi tidak ada yang terlihat.
"Toiro dan yang lainnya sedang ke toilet," Funami menjelaskan, seolah bisa membaca pikiranku.
"Aku tadi makan siang di kelas lain, terus saat lewat koridor aku melihat Toiro dan teman-temannya menuju toilet, jadi aku buru-buru kembali ke sini. Supaya bisa bertemu denganmu berdua saja."
"O-oh. Aku mengerti, tapi tolong pelankan suaramu sedikit," pintaku.
Tatapan teman sekelas sudah mulai mengarah ke sini, membuatku merasa tidak nyaman. Meskipun mereka tidak mendengar apa yang Funami katakan, hanya melihat kami berdua sudah cukup menarik perhatian. Kalau sampai tersebar gosip aneh tentang kami, itu bakal jadi masalah.
Tidak apa-apa kalau Toiro melihat kami, tapi... Bagaimanapun, lebih baik aku menyelesaikan ini dengan cepat.
"Ini soal yang kemarin, ya?" tanyaku.
"Iya, tentu saja," jawab Funami sambil mengeluarkan ponselnya dari saku roknya. Dia menggeser layar beberapa kali sebelum menunjukkannya padaku.
"Sore ini, kami akan berada di sini," katanya.
Aku mencondongkan tubuh ke depan untuk melihat layar ponselnya yang menunjukkan teks kecil.
"Rocky... Ini tempat game center, ya?"
"Benar. Hari ini Shun sedang tidak ada kegiatan klub, jadi kami akan di sana sampai agak malam. Kalian berdua bisa datang dan bermain, sambil menunjukkan kalau kalian adalah pasangan paling kuat."
"Pasangan paling kuat, huh..."
Kalimat yang diucapkan Funami di atap sekolah beberapa hari lalu kembali terngiang di kepalaku.
'Tolong ya. Bantu aku meyakinkan Shun kalau kau dan Toiro benar-benar berpacaran, dan buktikan kalau kau adalah pacar terbaik untuk Toiro. Buat Shun menyerah terhadap perasaannya pada Toiro.'
Saat itu, Funami memang berkata akan menciptakan kesempatan bagi kami.
"Kau sengaja memilih game center supaya kami bisa menunjukkan kedekatan saat bermain bersama?"
"Nggak juga. Hanya saja Shun suka game center, dan kami sering pergi ke sana berdua."
"Oh, dia suka game center, ya..."
Orang sekeren itu, kupikir dia lebih sering nongkrong di kafe pusat kota, toko pakaian, atau mungkin restoran dengan pemandangan laut. Tentu saja, dia pasti pilih tempat duduk di teras.
...Sedikit mengejutkan juga.
“Baiklah, Toiro juga sepertinya hari ini bebas, jadi kami akan datang berdua.”
Sambil bicara, aku sekali lagi memeriksa lokasi game center yang ditampilkan di layar ponsel Funami. Aku juga berencana mencarinya di ponselku sendiri nanti.
“Terima kasih, aku serahkan padamu, ya.”
Funami tersenyum lembut sebelum beranjak pergi. Tidak lama kemudian, terdengar suara riang dari arah lain.
“Ah, Kaede-chan! Maaf lama menunggu!”
Tepat di saat yang pas, Toiro dan teman-temannya kembali. Funami melambaikan tangan sambil kembali ke tempat duduknya dengan senyum yang tak hilang dari wajahnya.
Jadi, kencan di game center, huh...
Sebenarnya ada hal yang ingin kubicarakan dengan Toiro, tapi sebelum sempat melakukannya, bel tanda istirahat makan siang berakhir berkumandang di seluruh sekolah.
*
“Dasar dari mengikuti orang adalah soal penempatan. Jangan terlalu dekat, tapi juga jangan terlalu jauh. Saat di jalan lurus, amati dari jarak yang agak jauh, lalu segera mempersempit jarak di tikungan. Pengamatan dilakukan sambil berjalan. Jangan sampai kehilangan target saat dia sedang membeli roti anpan,” kata Toiro sambil berjalan di sebelahku, mengangkat jari telunjuknya seperti seorang pengajar.
“Kalau target berhenti untuk menunggu seseorang, dekati tanpa terlihat mencurigakan. Tunjukkan wajah ceria yang alami. Hadapkan tubuh agak menyamping dari target, dan amati dengan sudut mata. Oh, dan roti anpan, makanlah dengan diam-diam.”
“Wah, kau tahu detailnya! Apa kau pernah melakukannya sebelumnya?”
Aku terkejut mendengar penjelasannya yang sangat spesifik.
“Kunci utamanya adalah menyatu dengan lingkungan sekitar. Oh, dan minuman terbaik untuk menemani roti anpan adalah susu.”
“Itu sih malah mencurigakan, anpan jadi semacam ikon penguntit yang gampang ketahuan, tahu.”
Kenapa dia begitu terobsesi dengan roti anpan...?
“Yah, penting kan memulainya dengan perlengkapan yang pas?”
“Kalau menurutku, detektif sungguhan mungkin tidak akan makan roti anpan...”
“Eh, masa? Tapi aku suka roti anpan.”
“O-oke, kalau kau suka, aku maafkan.”
Sambil bercanda seperti itu, kami tiba di tujuan kami.
Lokasi yang diberitahu Funami—game center tempat Kasukabe dan Funami bermain sepulang sekolah. Kami membicarakan soal mengikuti mereka karena ingin tahu hubungan mereka yang terlihat seperti pasangan, meskipun mereka mengaku tidak pacaran. Ini ide yang kusarankan.
Rencana kami adalah masuk ke game center beberapa saat setelah mereka, dan mengamati mereka dari jauh. Tapi trik mengikuti target yang diajarkan Toiro tadi sepertinya tidak akan berguna kali ini.
Game center itu terletak di ujung jalan sempit, di samping area pertokoan dekat sekolah. Tempatnya memiliki kesan sedikit tua, dengan papan nama bertuliskan “Rocky” yang dihiasi lampu-lampu neon.
“Mereka benar-benar ada di sini, kan...”
Aku bergumam sambil menatap pintu masuk game center. Di sekitar pintu, terlihat beberapa sepeda yang terparkir, entah memang diparkir atau malah ditinggalkan begitu saja.
“Yah, kalau ternyata mereka tidak ada, kita bisa main-main di sini saja, kan?” kata Toiro.
“Jangan-jangan itu tujuanmu dari awal?”
“Ten-tu!”
Dia tertawa tanpa sedikit pun rasa bersalah.
Yah, mungkin itu juga tidak masalah. Bisa jadi malah seru juga...
“Ini pertama kalinya kencan di game center, kan?” kata Toiro.
“Bukannya kita sudah pernah ke pusat perbelanjaan waktu itu?”
“Hmm, tapi kali ini beda, ini kencan sungguhan,” Toiro tersenyum lebar dan menatap wajahku dari bawah, seolah ingin memeriksa reaksiku. Ini pasti salah satu dari ‘gerakan pacar sungguhan’ miliknya.
“Yah, walaupun Funami dan Kasukabe tidak ada, sepertinya perjalanan ini tidak akan sia-sia,” kataku.
Toiro mengangguk dengan antusias. Kami melihat langit biru yang terlihat di antara gedung-gedung, lalu melangkah menuju pintu otomatis game center. Saat pintu terbuka, suara bising dari dalam menyambut kami.
“Dengar, Masaichi. Kalau kita terus berdua, mungkin kita akan tertinggal dalam mengamati mereka. Kalau sampai mereka berada di belakang kita tanpa kita sadari, itu akan sia-sia. Jadi, kita harus berpencar,” kata Toiro sambil membuat bentuk pistol dengan kedua tangannya, seolah sedang memeriksa keadaan sekitar.
“Benar juga. …Tapi, kau kelihatan semangat sekali.”
“Tentu saja, ini kan misi,” jawabnya.
Aku tidak terlalu paham alasannya, tapi yang jelas dia menikmatinya. Aku memutuskan untuk mengikuti rencana Toiro.
“Kita pakai telepon di aplikasi pesan saja?”
“Bagus, ayo lakukan itu!” jawabnya.
Aku menelepon Toiro menggunakan fitur aplikasi pesan, dan dia langsung menjawab. Persiapan sudah selesai. Kami berdiri di depan mesin UFO catcher di dekat pintu masuk, lalu mulai bergerak berlawanan arah.
“Toiro melaporkan, tidak ada target di area permainan medali. Over.”
“Di sini Masaichi. Di area game pertarungan juga tidak ada. Over. …Perlukah bilang ‘over’ setiap kali?”
“Itu lebih terasa seperti operasi sungguhan, over,” balas Toiro dengan nada main-main.
“Kau malah mulai main-main, ya.”
“Ah—”
Di tengah percakapan konyol itu, tiba-tiba Toiro terdiam sejenak, suaranya tertahan. Lalu, dengan nada yang sedikit panik, dia berkata:
“Mereka ada di sana!”
“Mereka berdua?”
“Iya, di bagian belakang, dekat game tembak-tembakan! Cepat ke sini!”
Aku langsung menuju arahnya sambil tetap waspada. Saat aku sampai, kulihat Toiro sedang bersembunyi di balik mesin game taiko. Aku berjongkok di belakang punggungnya, mengintip dari balik bahunya.
Di depan kami, Funami dan Kasukabe sedang bermain game tembak-tembakan. Latar game itu adalah rumah sakit yang dipenuhi zombie berdarah, dari seri game populer yang juga tersedia untuk konsol rumah. Mereka memegang pistol, bertarung melawan makhluk-makhluk yang mendekat.
Rambut hitam panjang Funami bergoyang mengikuti gerakannya, sementara rambut coklat Kasukabe tampak halus dan ringan. Latar game berganti-ganti—dari hutan gelap, ranting-ranting yang menjuntai, hingga musuh yang muncul dari balik pohon. Mereka berdua menembak dengan tenang, menghabisi semua musuh tanpa terkena serangan sama sekali, seolah mereka sudah hafal posisi kemunculan musuh.
“Mereka jago juga,” gumamku.
Toiro mengangguk.
“Mereka pasti sudah sering bermain game ini.”
Setelah melewati hutan, latar game berganti ke rumah sakit terbengkalai. Sebuah cuplikan cerita singkat mulai diputar di layar. Mungkin Funami merasakan tatapan kami, karena tiba-tiba dia menoleh ke belakang.
Kami tidak sempat bersembunyi. Mata kami bertemu dengan jelas.
Funami tampak terkejut sejenak, lalu dia mengedipkan mata padaku. Sepertinya dia berpikir ini sesuai dengan rencana yang dia katakan sebelumnya, bahwa kami akan datang ke game center ini.
Game berlanjut, dan Funami kembali fokus ke layar. Di sela-sela waktu singkat saat tidak ada musuh, dia kembali menoleh,
lalu melambai-lambaikan tangan, mengisyaratkan kami untuk mendekat.
Setelah ketahuan, tidak ada gunanya lagi bersembunyi. Aku dan Toiro saling mengangguk kecil dan berdiri perlahan.
“Toiro?! Aku tadi merasa melihat seragam sekolah kita, ternyata wajahmu benar-benar ada di sini. Ini yang asli?” kata Funami sambil menembak layar, tapi matanya terus melirik ke arah kami.
“Yah, yah, Kaede-chan. Baru saja bertemu lagi, ini tentu saja Toiro yang asli,” jawab Toiro sambil melambai.
“Ahaha. Eh, kebetulan sekali! Kalian berdua sering datang ke game center ini?”
Funami berpura-pura seperti rencananya, seolah pertemuan kami di sini benar-benar kebetulan. Aku melirik ke arah Kasukabe. Dia juga, sambil bermain, sesekali melirik ke arah kami. Saat mata kami bertemu, aku langsung memalingkan wajah, merasa agak canggung.
“Kaede-chan jago juga, ya. Sering main game ini?”
“Iya, aku sering datang ke sini bersama Shun,” jawab Funami.
Namun, mungkin karena sambil mengobrol, Funami mulai menerima sedikit serangan dari zombie.
Sementara itu, Kasukabe juga mulai terkena damage. Sepertinya dia juga memikirkan kehadiran kami.
Tak lama kemudian, Funami terkena serangan zombie anjing liar dan game over. Tulisan ‘You Dead’ yang berdarah-darah muncul di layar. Kasukabe yang kehilangan rekan, kini harus menghadapi semua musuh sendirian. Dia mengarahkan pistol ke sana kemari, berusaha keras bertahan, tapi akhirnya kalah juga. Dengan napas tersengal, dia menurunkan tangan yang memegang pistol dengan lemas.
“Maaf ya, ganggu permainan kalian,” kata Toiro dengan nada ramah.
“Enggak masalah,” balas Funami sambil tertawa. Di sampingnya, Kasukabe mengembalikan kontroler pistol ke mesin, lalu berbalik menghadap kami.
“Wah, kebetulan banget! Nggak nyangka bisa ketemu di sini. Toiro-chan dan pacarnya!”
Kasukabe maju selangkah ke depan. Dia lebih tinggi sekitar setengah kepala dariku, tubuhnya tidak sebesar Sarugaya tapi tetap cukup berotot. Wajahnya pun lumayan tampan, tipe idola pria yang banyak digemari.
Dia melirik ke arahku sekilas. Secara refleks, aku membungkuk sedikit memberi salam, lalu segera menyesalinya. Seharusnya aku tampil lebih percaya diri, agar terlihat pantas sebagai pacar Toiro.
“Kalian sedang kencan?” tanya Kasukabe.
Meski dia menghadap Toiro, aku yang lebih dulu menjawab, “Iya, begitulah. Kami pikir sesekali main ke game center tidak ada salahnya.”
Aku mencoba menarik perhatiannya kembali padaku.
“Benar! Kalau terus-terusan di rumah kan bosan juga,” Toiro menambahkan sambil merapat ke arahku.
Sesuai permintaan Funami—dan mungkin juga untuk menunjukkan ‘aksi pasangan sungguhan’ pada Kasukabe—Toiro berusaha menunjukkan kedekatan kami. Aku juga menaikkan suaraku agar terdengar jelas di tengah keramaian.
“Kalau kalian gimana? Kencan juga?” tanyaku.
Hanya ada sedikit jeda, hampir tak terasa, tapi cukup untuk memperhatikannya.
“Ya, semacam itu,” jawab Kasukabe.
“Eh, mumpung ketemu di sini, bagaimana kalau kita main bareng? Ayo coba main game bersama!” seru Funami dengan riang, menepukkan tangan dan melihat ke arah kami bertiga.
Sepertinya ini adalah bagian dari rencananya untuk memperlihatkan kedekatan aku dan Toiro pada Kasukabe. Namun, entah Kasukabe menyadari niat itu atau tidak, dia langsung merespon,
“Oke, ayo main! Masaichi, kita tunjukkan kemampuan kita!”
Toiro membalas dengan semangat.
“Bagaimana kalau kita bertanding? Tapi, mau main apa? Biasanya kalau game begini, yang lebih sering main pasti lebih unggul,” kata Kasukabe sambil mencabut pistol dari mesin dan memasang pose siap menembak. Rupanya dia cukup percaya diri dengan kemampuannya di game tembak-tembakan.
Masalahnya, aku tidak terlalu sering main game seperti ini. Jadi, apa kita bakal bertanding beneran? Kok suasana tiba-tiba mengarah ke pertandingan? Hanya dengan bertemu pandang saja sudah berubah jadi duel, ini permainan macam apa, sih…
Toiro pasti sudah menyadarinya, dan mungkin Kasukabe juga punya sifat yang cukup kompetitif. Tentu saja, aku juga demikian. Jadi, suasana di sini sudah mulai terasa seperti arena perang.
“Kita jalan-jalan keliling dulu, yuk?” saran Funami, dan kami pun mulai berjalan mengelilingi area game center.
Ada sudut permainan medal, area permainan musik, dan zona UFO catcher.
Ternyata, bagian dalam toko ini lebih luas dari yang terlihat dari luar.
“Bagusnya kita main yang bisa dimainkan semua orang,” kata Funami.
“Bagaimana dengan UFO catcher? Lihat di sana, ada dua mesin dengan hadiah yang sama. Wah, itu cokelat pie! Enak, kan?” Toiro langsung menemukan mesin dengan hadiah makanan. Sepertinya dia benar-benar mengincar cemilan itu.
“Oh, Toiro-chan mau coba? Tapi ini tipe yang harus dipindahkan sedikit demi sedikit, jadi pasti bakal keluar uang cukup banyak,” Kasukabe berkata sambil memandangi mesin itu dengan ekspresi penuh perhitungan.
Toiro melirik ke arahku, dan aku menjawab untuknya.
“Ya, walaupun kamu jago, tetap saja susah hanya dengan seratus yen. Kalau salah sedikit, bisa jadi habis banyak uang.”
Aku sering berpikir kalau lebih murah beli barangnya langsung daripada mencoba menangkapnya dengan mesin begini. Kalau hadiahnya adalah figur karakter favoritku, mungkin aku akan nekat mencoba sampai dapat.
“Begitu ya. Ya sudah, kalau begitu kita cari yang lain,” kata Toiro sambil mengangguk.
“Kalau kamu benar-benar pengen, aku bisa coba ambilin,” ujar Kasukabe sambil tersenyum ramah.
“Ah, nggak usah, terima kasih. Beli di supermarket aja lebih murah,” jawab Toiro dengan cepat, membuat keputusan yang logis. Kalau sampai Kasukabe yang mengambilkan, situasinya bisa jadi lebih merepotkan.
“Permainan musik juga butuh pengalaman. Bagaimana dengan Mario Kart yang di sana? Kalian pernah main versi konsol di rumah, kan?” aku menunjuk mesin balap yang ada di dekat pintu masuk.
“Itu juga seru, tapi pasti ada perbedaan skill. Aku ada ide yang lebih bagus!” Kasukabe tiba-tiba berkata sambil menatapku.
“Eh, ide apa?” Aku sedikit tergagap, tidak terbiasa dengan percakapan langsung seperti ini dengannya.
Dia kemudian mengajak kami ke bagian belakang toko, menuju sebuah mesin yang mirip meja biliar kecil dengan pelindung akrilik rendah di tengahnya.
“Oh, ini air hockey, ya,” kataku dengan nada kagum tanpa sadar.
“Kamu jago main air hockey, pacar Toiro-chan?” tanya Kasukabe sambil mengangkat alisnya. Dia belum tahu namaku, jadi sebutan ‘pacar’ masih terus digunakan. Yah, tidak apa-apa.
“Enggak, aku tidak jago. Bahkan aku sudah lupa kapan terakhir kali main,” jawabku. Di sampingku, Toiro juga mengangguk setuju.
“Kamu gimana, Kaede? Mau main air hockey?” tanya Kasukabe.
“Mau! Ayo main!” seru Funami dengan semangat.
“Baiklah, kita main air hockey!” Kasukabe tersenyum lebar setelah semua orang setuju.
――Jujur saja, dia terlihat seperti orang yang ramah saat mengobrol begini. Ide bermain air hockey juga bagus; tidak banyak orang yang benar-benar ahli di sini, dan ini permainan yang bisa dinikmati bersama sebagai tim. Terasa seperti ide yang cocok dari seseorang yang punya banyak teman dan tahu cara bersenang-senang.
“Air hockey, ya! Ayo, Toiro, kita tanding!” seru Funami sambil meletakkan tas sekolahnya di lantai.
“Berani menantangku? Kamu tidak tahu siapa yang kamu hadapi. Jangan salahkan aku kalau nanti ada yang terluka,” Toiro menjawab sambil menyeringai. Eh, apa permainan ini bisa bikin cedera?
“Aku bayar dulu, ya,” kata Kasukabe sambil mengambil dompetnya dengan gerakan yang mulus.
“Ah, nanti aku ganti,” kataku cepat-cepat.
Kasukabe hanya tertawa ringan dan mengangkat tangan, menunjukkan kalau dia tidak masalah.
Ketika berbicara langsung dengannya, kesan yang kudapat ternyata jauh lebih menyegarkan daripada yang kubayangkan. Bahkan, saking menyegarkannya, sampai-sampai membuatku merinding.
Pembagian tim tentu saja adalah aku dan Toiro, melawan Kasukabe dan Funami.
Saat semua sudah memegang mallet putih masing-masing, Kasukabe memasukkan koin kecil ke dalam mesin. Satu kali permainan 300 yen.
"Mulai!"
Suara chun chun chun terdengar, dan papan skor di bagian atas mesin menampilkan waktu yang tersisa serta skor "0-0." Permukaan arena ditutupi udara, dan sebuah cakram plastik—puck—jatuh ke tempat penampungan di sisi meja.
"Hukumannya apa?"
Funami bertanya sambil menggulung lengan bajunya.
"Traktir minuman," jawab Toiro singkat sambil mempersiapkan mallet-nya.
"Kalian duluan," Kasukabe berkata dengan senyum penuh percaya diri.
Semua terlihat sangat antusias. Eh, lalu soal aksi pasangan itu bagaimana?
Aku sempat terpikir soal itu, tapi akhirnya aku mengambil puck dari tempatnya dan bersiap di posisi. Aku kemudian mendekatkan wajahku ke telinga Toiro dan berbisik.
"Hei, kau paham kan apa yang harus dilakukan?"
Toiro melirikku sekilas, lalu mengangguk cepat.
"Iya! Gas terus, hantam lawan, kan?"
"Apaan sih! Salah besar! Maksudku bukan itu!"
"Eh, bukankah itu nama strateginya?"
Astaga, Toiro benar-benar tidak paham.
"Hei, tujuan kita kali ini... Kita harus menunjukkan pada Kasukabe kalau kita ini pasangan yang serasi."
"Oh iya, benar juga! Paham kok, paham!"
Toiro mengacungkan jempol ke arahku dengan penuh semangat sebelum kembali ke posisinya. Apa dia benar-benar mengerti?
Tapi, membahas ini lebih lanjut bisa terlihat mencurigakan.
—Baiklah, waktunya bermain. Aku pun memantapkan hati dan meletakkan puck ke atas meja.
Udara yang mengalir membuat puck perlahan meluncur, dan aku mendorongnya lembut dengan mallet-ku, mengarahkannya bukan ke gawang lawan, melainkan agak ke samping.
"Toiro, ambil!" seruku sambil mengoper puck padanya.
"Baiklah!" seru Toiro, lalu dia memukul puck dengan keras, membenturkannya ke dinding meja untuk mencoba mencetak gol. Tapi Kasukabe dan Funami sudah bersiap di depan gawang mereka, mempertahankan posisi dengan kuat. Puck itu terpental dari mallet Kasukabe dan kembali ke arah kami.
Aku berhasil menghentikan puck tepat di depan gawang kami dengan mallet-ku.
"Bagus! Hebat, Masaichi!"
"Ya," jawabku sambil sedikit tersenyum.
"Oke, giliranmu lagi, Toiro!"
Aku kembali mengoper dengan pukulan pelan. Toiro kemudian memukulnya lurus ke arah gawang lawan.
Namun, karena gerakannya terlalu sederhana, Kasukabe dengan mudah memprediksi arah puck dan membloknya. Puck itu terpental kembali, dan sekali lagi aku menghentikannya di depan gawang kami.
"Hampir saja! Tapi sudah bagus, Toiro!"
"Ah, padahal tinggal sedikit lagi," keluhnya.
Kami mencoba terlihat seperti pasangan yang kompak dan menikmati permainan ini bersama. Tapi entah bagaimana caranya menunjukkan kesan "mesra" saat bermain air hockey. Kami hanya berharap kesan romantis itu muncul secara alami.
Namun, ketika aku kembali mengoper puck dan Toiro memukulnya ke arah lawan, sesuatu terjadi.
"Masih terlalu mudah, Toiro-chan," ujar Kasukabe.
Puck yang dipukul Toiro meluncur lurus ke arah gawang. Kasukabe sudah membaca gerakan itu dengan sempurna. Dari belakang, dia memukul puck balik dengan keras, membenturkannya ke dinding untuk mengubah arah. Puck meluncur cepat ke arah gawang kami yang kosong.
"Ah, tidak..."
*Clink!* Suara nyaring terdengar saat puck masuk ke gawang kami.
"Yes, kami menang!" seru Funami sambil mengangkat dua jari membentuk simbol "peace" dengan wajah penuh kegembiraan.
Ketika Kasukabe mencetak skor, dia tertawa kecil dengan senyum penuh kemenangan.
"Begitu mudah, bahkan tidak perlu mencari celah," katanya dengan nada mengejek.
Dasar, dia benar-benar sedang memanasiku.
"Maaf, Masaichi," kata Toiro dengan nada menyesal.
"Tidak apa-apa, itu tadi hanya karena aku lengah. Jadi, bagaimana sekarang?" tanyaku sambil berpikir sejenak, memutuskan langkah berikutnya.
"Ayo kita lakukan, Masaichi. Dengan seluruh kekuatan kita!"
"Setuju, ayo lakukan!"
Kami memutuskan untuk mengubah strategi. Tidak mungkin terus-menerus kalah begitu saja. Itu adalah kesepakatan yang tak perlu diucapkan antara aku dan Toiro.
Aku meletakkan puck di atas meja, lalu memukulnya dengan kuat. Puck membentur mallet Funami, kemudian memantul ke dinding dua atau tiga kali sebelum kembali ke arah kami. Aku segera kembali ke depan gawang dan, dengan refleks, berhasil menghentikan puck yang meluncur dengan cepat tanpa sempat memprediksi arahnya.
Di sisi lain, Kasukabe dan Funami mulai menyerang lebih agresif. Namun, mereka menggunakan strategi bertahan, berusaha mencari celah dari belakang untuk menembus gawang kami. Karena jarak mereka dari gawang cukup jauh, aku masih bisa fokus untuk mempertahankan diri.
Di tengah serangan balik ini, kami juga harus menemukan kesempatan untuk menyerang.
*Tok! Tok! Tok!*
Pertukaran pukulan terus berlangsung lama. Waktu semakin menipis, dan kami sangat membutuhkan satu poin.
"Serang!" Funami memukul puck dengan kuat, dan Toiro dengan cepat menggerakkan mallet-nya untuk menghentikannya. Puck itu meluncur perlahan ke arah lapangan lawan, memantul beberapa kali di antara dinding.
Saat itu, Kasukabe maju ke depan dan memukul puck dengan smash.
"Ugh!"
Aku menggerakkan tanganku dengan cepat dan berhasil memukul puck kembali. Dampaknya membuat tanganku sedikit bergetar. Puck itu terpental ke arah samping, lalu Toiro memukulnya ke arah lawan. Namun, karena sedikit terlambat, pertahanan mereka sudah kembali siap.
"Bagus juga," kata Kasukabe sambil terus menyerang.
"Terima kasih," jawabku singkat, sambil melirik wajahnya. Dia tampak sangat percaya diri.
"Hei, tadi itu—" Toiro berbisik di telingaku.
"Iya, ayo kita lakukan," jawabku. Dengan hanya beberapa kata, aku sudah memahami apa yang dia pikirkan. Selama waktu yang kami habiskan bersama, komunikasi singkat seperti ini sudah menjadi kebiasaan kami.
Ini adalah strategi khusus yang hanya bisa kami lakukan.
Pertandingan kembali berlanjut, dan setelah beberapa kali pertukaran pukulan, akhirnya kesempatan itu datang. Funami gagal memukul puck dengan sempurna, dan puck meluncur pelan ke arah kami.
"Serahkan padaku!" aku berteriak, memperhatikan celah di gawang lawan.
Dengan fokus penuh, aku memukul puck sekuat tenaga, mengarahkannya ke celah kecil di gawang mereka yang tidak terjaga karena Funami terlambat kembali ke posisinya. Itu adalah pertarungan antara kecepatan pukulanku melawan reaksi pertahanan Kasukabe.
Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Ketika pukulanku meluncur dengan cepat dan hampir mencapai dinding pembatas akrilik, bayangan putih melintas di depan mataku. *Tok!* Sebuah suara nyaring terdengar, mengubah arah puck itu.
Toiro, dari samping, berhasil memukul ulang pukulanku! Pukulan itu membuat puck memantul di dinding lapangan lawan, lalu dengan mulus masuk ke celah pertahanan Kasukabe, tepat di antara mallet-nya yang sudah bergerak sesuai prediksi awal.
*Clink!* Bunyi lembut terdengar saat puck memasuki gawang lawan, dan skor di papan elektronik berubah dari 0 menjadi 1 untuk kami.
"Yeay! Masaichi!" seru Toiro, sambil berbalik dan mengangkat satu tangannya dengan gembira.
"Ya, itu sempurna," jawabku sambil tersenyum puas.
Aku memberikan high-five dengan penuh semangat kepada dia.
“Bisa melompat dan mengubah lintasan bola yang dipukul secepat itu…”
Kasukabe berkata dengan mata terbelalak, terkejut.
“Hehe, bagaimana? Bukan melompat sih, lebih seperti menunggu dan menyentuh sedikit. Aku tahu bola itu bakal datang ke situ.”
Toiro menjawab dengan ekspresi penuh percaya diri.
“Kau tahu? Maksudnya kau memprediksinya?”
Funami dan Kasukabe memiringkan kepala, kebingungan.
“Bukan prediksi sih, lebih karena Masaichi yang memukulnya dengan tepat…”
Toiro menjelaskan, tapi ekspresi kedua lawan kami masih menunjukkan kebingungan.
Sebenarnya, aku memang sengaja memukul bola dengan lintasan tertentu agar Toiro bisa mengubahnya di tengah jalan. Ide ini muncul ketika Toiro berhasil memukul balik bola yang kulepaskan sebelumnya ke arah lapangan lawan. Kalau saja kami bisa memasukkan gerakan seperti "operan pasangan" ini dalam pertukaran pukulan selama rally, pasti akan mengejutkan lawan.
Ketika Toiro memanggilku sebelumnya, aku langsung tahu dia memikirkan hal yang sama. Kami sudah banyak bermain game bersama dan mengalahkan berbagai tantangan, jadi aku hanya perlu mengatakan dengan singkat untuk melaksanakan rencana ini. Sisanya tinggal menentukan waktu yang tepat. Namun, menjelaskan semua ini ke mereka akan sangat merepotkan.
Untungnya, Toiro merangkumnya dalam satu kalimat.
“Yah, begitulah. Ini kekuatan pasangan cinta!”
Kata-kata yang bagus. Agak dipaksakan memang, tapi setidaknya tujuan awal kami untuk menunjukkan sisi romantis pasangan sedikit tercapai, kan?
Sambil memperhatikan dengan diam-diam, aku tidak melewatkan saat sudut mata Kasukabe berkedut sedikit.
Pertandingan dilanjutkan.
Dari sana, pertandingan menjadi sengit, saling menyerang dan bertahan tanpa ada yang mendominasi.
Meskipun mereka bilang kekuatan kami setara, nyatanya Kasukabe, yang merupakan pemain inti tim basket sekolah, memiliki tenaga yang jauh lebih besar. Bahkan bola yang memantul dari dinding, ketika kutahan, membuat tanganku terasa bergetar hebat.
Atau, mungkin dia bermain lebih serius daripada sebelumnya…?
Sementara itu, aku dan Toiro terus bekerja sama, menghadapi mereka secara seimbang. Sama seperti dalam game, kami lebih suka bekerja sama melawan CPU dengan level tertinggi daripada saling berkompetisi.
“Toiro!”
“Siap!”
Aku beralih ke posisi bertahan, membiarkan Toiro maju untuk menyerang. Dengan blok yang sempurna, kami berhasil mencetak poin. Kerja sama kami benar-benar solid.
Waktu tersisa tinggal satu menit, dan skor menjadi seri.
Sampai saat itu, aku mengira Kasukabe yang paling bersemangat mempertahankan harga dirinya—
“Ini dia—”
Tiba-tiba, Funami, yang tampaknya menunggu kesempatan, berteriak sambil mengayunkan stiknya dengan penuh tenaga.
“Kekuatan cinta!”
Dengan ayunan besar, dia sengaja membuat pukulan kosong. Bola pun masuk ke bawah tubuhnya yang membungkuk, menghilang dari pandangan kami. Di sisi lain, dekat gawang kami, Kasukabe memukul bola dengan keras ke arah kami.
Arah bola, sudut pukulan, waktu—semuanya tak terduga.
Dengan kecepatan tinggi, bola itu melesat dan masuk ke gawang kami sebelum kami sempat bereaksi.
“Yeay!” Kasukabe berseru sambil mengepalkan tangan. Dia dan Funami saling melakukan fist bump dengan penuh semangat.
“Haha, bagaimana? Inilah kemampuan kami,” kata Funami sambil menunjukkan ekspresi penuh kemenangan ke arah kami.
Dari sudut mataku, aku melihat Toiro mengembungkan pipinya, jelas merasa kesal.
“Masaichi, ayo kita mulai!”
Dengan cepat, Toiro mengambil bola yang baru saja masuk ke gawang, menaruhnya kembali di lapangan, dan mulai menyerang menggunakan pantulan dinding. Saat Funami memukul bola itu kembali, aku mengoper dengan tajam ke Toiro—
“Inilah kekuatan cinta!”
Toiro, dengan pukulan yang nyaris mengenai bola, membuat gerakan kosong yang sangat presisi. Bola itu, tidak berubah lintasannya, terus meluncur ke arah lapangan lawan. Tanpa sempat bereaksi, bola itu melewati stik lawan dan masuk ke gawang mereka.
Kami menggunakan teknik “pukulan kosong” Funami sebelumnya sebagai referensi dan memadukannya dengan strategi kami sendiri.
“Argh…” Funami mengerutkan alisnya dengan ekspresi kesal.
Pertandingan berubah menjadi adu teknik yang sengit.
“Inilah energi cinta!”
“Ini adalah bukti saling cinta kami!”
…Tanpa sadar, pertandingan ini berubah menjadi duel antara Toiro dan Funami, saling menunjukkan siapa yang lebih kuat dalam cinta.
Dan akhirnya, bel tanda akhir pertandingan berbunyi.
Dengan gol terakhir dari Funami, pertandingan berakhir dengan skor 8-8, seri.
*
"Maaf soal tadi. Aku terbawa suasana. Sebagai permintaan maaf, biar aku yang traktir minuman."
Di depan mesin penjual otomatis dalam arcade, Kasukabe memulai pembicaraan seperti itu denganku.
"Enggak, aku juga salah. Lagipula, pertandingannya berakhir seri. Aku yang akan bayar minuman untukku dan Toiro."
Aku menolak tawarannya, lalu mengeluarkan dompet dari saku belakang seragamku. Saat seperti ini, aku ingin minuman soda. Toiro mungkin akan senang dengan minuman nata de coco yang ada di sini.
Kasukabe tampaknya hendak mengatakan sesuatu lagi, tapi aku segera memasukkan koin ke mesin sebelum dia sempat berbicara. Setelah itu, aku mendengar suara napas panjang dari sebelah, seolah-olah dia sudah menyerah.
Pertandingan air hockey berakhir seri. Karena itu, hukuman tidak diberlakukan, tetapi karena kami semua lelah, kami memutuskan untuk membeli minuman. Kasukabe berkata,
"Aku yang akan membelinya, kalian tunggu saja di bangku," lalu berinisiatif pergi lebih dulu. Aku, yang merasa tidak enak, buru-buru mengikutinya.
Namun, setelah kami berdua pergi membeli minuman…
"............"
"............"
Selain soal traktir tadi, kami tidak punya bahan pembicaraan lain. Aku mencoba mencari topik dalam pikiranku, tetapi tidak ada yang muncul. Sepertinya efek dari kepribadian riajuu yang tidak sejalan denganku telah membuat pikiranku buntu.
Akhirnya, aku berpikir, kenapa aku harus repot-repot mencari topik untuknya? Aku pun pasrah dan hanya diam menunggu dia membeli minuman.
Tapi bukan berarti aku hanya melamun.
"............na… bun… wa."
Aku tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang dia katakan karena suaranya sangat pelan dan tenggelam oleh kebisingan arcade.
"Apa?"
Aku bertanya kembali. Kasukabe, yang memegang botol air dan jus, berbalik menghadapku.
"Bagaimana rasanya, jadi pacarnya Toiro?"
"Eh…?"
Aku tidak menyangka dia tiba-tiba membicarakan Toiro. Pertanyaan tak terduga itu membuatku sedikit kehabisan kata-kata.
"Pacar dari gadis tercantik di sekolah—atau bahkan di seluruh angkatan. Pasti bangga, kan?"
"Tidak juga, sih."
"Benarkah? Terus terang, aku iri."
Aku melirik Kasukabe. Ekspresi santai yang dia tunjukkan tadi sudah hilang dari wajahnya.
Hmmm, aku berpikir.
—Haruskah aku bertanya langsung saja?
Lagipula, dia yang memulai pembicaraan ini. Tidak masalah kalau aku mengangkat topik itu, kan? Dan sebenarnya, aku bukan tipe orang yang suka basa-basi atau membaca situasi terlalu dalam.
"Ah, aku pernah dengar rumor… Tapi, apa pendapatmu tentang Toiro?"
Aku mengajukan pertanyaan itu langsung ke Kasukabe.
"Menurutku, kalau bisa berpacaran dengannya, aku mau."
Jawabannya langsung dan tanpa ragu.
Jawaban itu sangat simpel, tapi pada saat yang sama, aku merasa dia sedang mengamatiku untuk melihat reaksiku.
"Lalu, bagaimana dengan Funami?"
"Kalau bisa, aku juga ingin berpacaran dengannya. Tapi Funami adalah salah satu alasan kenapa aku tidak bisa pacaran dengan Toiro."
Funami adalah alasan dia tidak bisa berpacaran dengan Toiro. Itu berarti, dia menganggap Funami sebagai orang yang penting, bukan?
"Kalian berdua tidak pacaran, kan?"
"Ya, aku tidak pacaran dengan Funami."
Namun, cara dia berbicara sepertinya sengaja membuatku
sulit memahami maksud sebenarnya.
"Kalau dengan orang lain selain Funami?"
Aku mencoba memastikan.
"Tidak ada. Tidak mungkin aku punya."
Kasukabe sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda terganggu dengan pertanyaanku. Dia terlihat santai, tidak ragu, dan tampaknya berbicara tanpa menyembunyikan apa pun dari pikirannya.
Kalau begitu, apakah dia juga akan menjawab pertanyaan ini?
"Lalu, kenapa kamu suka Toiro? Bukannya Toiro bilang kalian tidak pernah terlalu dekat sebelumnya?"
"Soal itu, aku tidak terlalu ingin membicarakannya sama kamu. Ini lebih soal apa yang ada di dalam diriku. Tapi, kalau mau aku bilang satu hal, seperti yang sudah kusebut tadi, dia adalah gadis tercantik di sekolah."
"Hanya dengan melihatnya saja, banyak orang bisa jatuh cinta, bukan?" tambah Kasukabe sambil tersenyum.
"Selain itu, kalau aku bisa berpacaran dengannya, aku yakin aku bisa membuatnya sangat bahagia dan menjaga dia dengan sepenuh hati."
Dia mengatakan itu, padahal dia tahu aku (walaupun hanya sementara) adalah pacar Toiro.
"Oh ya, aku enggak tahu apa yang sudah kamu dengar, tapi biar aku jelaskan satu hal. Aku enggak pernah sembarangan mempermainkan hati perempuan. Rumor itu cuma berlebihan."
Dia mengakhiri ucapannya dengan menatap lurus ke mataku, lalu berbalik untuk kembali ke tempat para gadis menunggu.
…Entah kenapa, dia tidak seburuk yang kubayangkan saat pertama kali mendengar tentangnya.
Setidaknya, dibandingkan dengan informasi awal yang kudengar, dia jauh lebih baik. Meski aku harusnya jadi orang yang dia benci, dia tetap mengajakku berbicara dengan normal. Kalau mempercayai kata-katanya, perilakunya juga tidak seburuk itu.
Awalnya aku mengira dia adalah tipe orang yang benar-benar tidak bisa diandalkan, tapi…
Masih ada banyak hal yang tidak kutahu tentang perasaan Kasukabe terhadap Toiro. Di balik jawaban sederhananya tadi, ada sesuatu yang sepertinya sengaja dia sembunyikan.
Saat itu, punggung Kasukabe sudah cukup jauh.
Aku memutuskan untuk berhenti memikirkan hal itu dan segera mempercepat langkahku untuk mengejarnya.
☆
"Maaf ya, soal tadi. Aku kayaknya kebawa suasana gara-gara kamu sama Toiro kelihatan mesra banget."
"Ah, aku juga! Aku jadi semangat banget tanpa sadar. Tapi, gila sih, kita sampai saling adu kekuatan cinta kayak gitu."
"Tunggu, kalau kamu ngomong gitu, aku jadi malu banget!"
Melihat Kaede menutupi wajahnya sambil berkata "Hyaa," aku tertawa kecil, "Ahaha."
Pertandingan air hockey tadi benar-benar membuatku terpacu dengan cara yang aneh. Ada sedikit candaan, tapi aku sungguh-sungguh tidak ingin kalah dari Kaede-chan dan Kasukabe-kun dalam hal kekompakan pasangan.
Hasilnya seri, dan terus terang aku merasa cukup kesal.
Sementara Masaichi dan Kasukabe-kun pergi membeli minuman, aku dan Kaede-chan duduk di bangku area istirahat di dalam arcade.
Entah kenapa, suasananya terasa sedikit canggung.
Kalau dipikir-pikir, aku hampir tidak pernah berbicara berdua saja dengan Kaede-chan seperti ini.
Kami sering pergi bersama, dan aku merasa kami cukup akrab, tapi biasanya selalu ada Urara-chan atau Mayu-chan, teman-teman lain, di sekitar kami.
"Kamu sudah repot-repot datang ke sini, terima kasih ya."
"Eh, ah, iya! Masaichi cerita soal ini, jadi aku pikir aku bisa bantu."
"Terima kasih banyak. Semoga dengan ini, Shun bisa benar-benar berpaling ke arahku dari Toiro…"
…Apa ini?
Apa-apaan ini?
Kenapa aku yang malah merasa canggung?
Hubungan antara Kaede-chan dan Kasukabe-kun adalah sesuatu yang sudah cukup banyak diketahui di sekolah. Tapi kenapa aku malah menambahkannya menjadi semacam segitiga dengan memasukkan diriku ke dalamnya?
Dan Kaede-chan… benar-benar membahas ini, sekarang, di saat seperti ini.
Apa aku bisa tahan dengan atmosfer ini?
Selain itu, aku juga ingat bagaimana Kaede-chan dulu sampai memanggil "pacarku" (walau hanya pura-pura) dan memohon bantuannya dengan sungguh-sungguh.
Dia adalah gadis yang benar-benar tidak peduli penampilan demi cintanya sendiri.
Itu jujur saja, keren menurutku.
――Mungkinkah perasaan yang mendorong seseorang untuk bertindak sejauh itu adalah cinta sejati...?
Saat aku memikirkan hal itu, di sebelahku, Kaede-chan dengan cepat memeriksa layar ponsel di pangkuannya, lalu membalikkan layar tersebut. Tampaknya, dia berniat untuk tetap berbicara denganku.
"Kaede-chan sering datang ke sini ya?"
Aku berusaha melanjutkan percakapan.
"Iya, soalnya Shun suka banget ke arcade."
"Wah, kalian memang akrab banget, ya."
"Ahahaha, iya dong. Kami akrab banget."
Kaede mengambil ponselnya lagi dan mengetuk layar beberapa kali.
"Nih, lihat aja. Kami hampir setiap hari bareng pas liburan musim panas."
Kaede-chan menunjukkan layar ponselnya padaku, dan aku mengintip. Yang terpampang di situ adalah deretan foto di galeri kamera. Ada banyak foto dia bersama Kasukabe-kun, semuanya foto berdua.
Ada foto mereka makan es krim bersama di dalam ruangan. Foto mereka berpose sambil memegang minuman di kafe. Foto mereka mengapung di kolam renang di atas pelampung besar.
Kaede-chan terus menggulir layar, menampilkan berbagai ekspresi mereka berdua. Hingga akhirnya dia berhenti pada foto mereka berseragam blazer sekolah, saling mendekatkan wajah.
"Eh, kok aku malah pamer ke Toiro ya. Ngapain juga sih," kata Kaede-chan sambil tertawa kecil. Tapi setelah tawa itu mereda, dia melanjutkan dengan nada lebih lembut, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.
"Tapi ya, sebanyak apa pun kenangan ini, Shun itu bukan tipe yang bisa mengabaikannya."
Aku tidak tahu harus menjawab apa, jadi aku hanya tertawa kecil dengan canggung. Tapi aku mengerti maksudnya. Dari cara Kasukabe-kun memperlakukan Kaede-chan tadi, dia jelas peduli dan memperhatikan Kaede-chan dengan serius. Tidak ada tanda-tanda dia meremehkan atau bersikap dingin.
Tapi kenapa mereka tidak berpacaran, ya?
Padahal mereka selalu bersama.
…Ah, kalau kupikir-pikir, aku juga sama saja dengan hubungan pura-pura ini.
Namun, melihat galeri kamera Kaede-chan membuatku merasa sedikit... iri.
Aku tidak punya kebiasaan mengambil foto bersama Masaichi. Kami hampir tidak punya foto berdua di ponselku.
――Seru juga, ya. Aku juga ingin punya foto berdua seperti itu dengan Masaichi...
"Maaf menunggu, kalian berdua. Nih, Kaede."
Suara itu membuatku mendongak. Rupanya tadi aku tidak sadar sudah menundukkan kepala. Kasukabe kembali sambil menyerahkan botol minuman kepada Kaede. Tak jauh darinya, Masaichi berdiri membawa minuman juga. Ya! Itu jus nata de coco!
"Kaede, kita ke tempat lain yuk. Jangan ganggu mereka berdua."
Sambil menyerahkan jus dari Masaichi, aku mendengar Kasukabe-kun berbicara pada Kaede-chan.
"Ya, ayo."
Kaede berdiri.
"Terima kasih ya, Toiro, Mazono-kun. Sampai ketemu besok di sekolah."
"Oh, iya."
Aku menjawab, dan Kasukabe-kun melambaikan tangan ringan sebelum berjalan pergi. Kaede-chan dengan cepat menyusul di sisinya.
Aku dan Masaichi saling bertukar pandang, merasa sedikit bingung dengan kepulangan mendadak mereka.
*
Aku dan Toiro meninggalkan arcade, berjalan bersama melewati kota yang mulai temaram, menuju rumah.
Awalnya, karena sedikit merasa seperti bermain detektif (terutama aku, sih) dan mencampurnya dengan suasana bermain-main, kami menyerang dengan sembarangan. Akibatnya, efek sampingnya terasa besar, dan setelah semuanya selesai, rasa lelah langsung menghantamku.
Siapa sangka kami akan berakhir bermain air hockey untuk saling adu?
Dan selama itu, aku terus menjaga kewaspadaan, yang secara perlahan-lahan menguras poin mentalku.
Sambil berjalan dengan pikiran kosong, tiba-tiba aku mendengar suara Toiro berbicara padaku.
“Hei, hei, waktu kamu berdua ngobrol sama Kasukabe-kun, ngomongin apa aja?”
“Ah, kalau ditanya begitu, aku juga nggak tahu harus jawab apa…”
“……”
“……”
Aku bisa merasakan tatapan yang menusuk dari samping.
“A-ada apa?”
“Masaichi-kun, kamu sudah jadi teman masa kecilku berapa tahun, sih? Kamu pikir aku nggak bakal menyadarinya?”
Toiro tertawa kecil sambil menghembuskan napas ringan.
“Kamu pasti denger sesuatu yang penting, kan? Soalnya, sejak tadi Masaichi kelihatan terus memikirkan sesuatu. Yuk, ceritain apa yang dia bilang sama kamu ke kakak ini.”
“Eh, aku kan lahir empat bulan lebih dulu darimu…”
“Ah, ah, nggak usah detail-detail gitu deh. Kan udah kubilang, aku bakal cepat menyusul.”
“Itu kan udah nggak masuk akal, kamu melompati ruang dan waktu…”
Sambil bercanda begitu, aku memikirkan bagaimana caranya menjelaskan semuanya ke Toiro.
“...Memang, aku rasa dia mengatakan sesuatu yang penting. Tapi, hal spesifiknya nggak terlalu jelas…”
Aku akhirnya menceritakan isi pembicaraanku dengan Kasukabe kepada Toiro sambil berjalan.
“Oh, jadi begitu. Dia sayang sama Kaede-chan, tapi di sisi lain, dia juga kayaknya memperhatikan aku, ya…”
Setelah mendengarkan semuanya, Toiro menyentuh dagunya dengan jari yang sedikit ditekuk, menunjukkan ekspresi berpikir.
“Ya, kelihatannya ada sesuatu yang dia pikirkan, sih.”
Mungkin dia merasa perlu menyelesaikan sesuatu, seperti yang Nakasone bilang sebelumnya.
“Tapi, alasannya masih samar-samar…”
Benar. Memang ada beberapa petunjuk dari kata-katanya, tapi alasan mendalamnya tetap tidak terungkap.
Kami berjalan pulang tanpa bicara untuk beberapa waktu. Selama itu, aku nggak tahu apa yang sedang dipikirkan Toiro.
Keheningan itu membuatku akhirnya bertanya.
“Menurutmu, gimana Kasukabe itu?”
Langkah Toiro tiba-tiba terhenti.
Sebagai pacar sementara, aku merasa nggak punya hak untuk menyembunyikan informasi yang kudapat dari Kasukabe.
“Kelihatannya, dia bukan orang jahat. Walau aku nggak yakin sepenuhnya, katanya banyak gosip tentang dia yang nggak benar. Ngobrol dengannya juga lumayan mudah.”
“...Begitu, ya.”
“Iya, sekadar laporan aja.”
“...Hahaha. Nggak kok, dia bukan tipeku.”
Toiro langsung tersenyum lembut dan mulai berjalan lagi. Tapi, di tengah perjalanan pulang, aku menyadari bahwa apa yang kukatakan sebelumnya mungkin adalah kesalahan.
Ada yang aneh dengan Toiro.
Tempo percakapannya terasa agak berbeda dari biasanya, dan langkahnya juga sedikit lebih lambat dari biasanya.
Sebagai teman masa kecilnya, aku bisa merasakan perbedaan kecil itu. Perasaan aneh itu terus membayangi sampai kami tiba di rumah.
☆
――Gawat, nggak bisa, aku nggak bisa bersikap seperti biasanya.
Dan aku tahu kalau Masaichi juga menyadarinya.
Aku harus melakukan sesuatu.
Karena kami sebenarnya nggak benar-benar pacaran, aku nggak bisa menuntut terlalu banyak…
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.