Chapter 5
Aksi pasangan dadakan, efeknya ke
Mayuko luar biasa!
Hari Minggu. Cuaca hari ini benar-benar mendukung aktivitas luar ruangan. Meskipun sudah akhir musim panas, suhu diprediksi akan terus naik seiring berjalannya hari.
"Ne ne, Masaichi! Hari Minggu ini matahari bersinar terang, Day. Hahaha, gimana tuh?"
"…Kamu memberhentikan aku cuma buat lelucon kayak gitu? Kualitasnya rendah banget."
"Aku akan berusaha lebih keras."
Sambil bercanda seperti itu, kami berdua berjalan menuju stasiun. Tempat berkumpul adalah di bundaran depan stasiun. Dari sana, kami akan naik bus.
Langit biru cerah tanpa awan, dan udara pagi yang sejuk. Meski biasanya Toiro agak lemas di pagi hari, hari ini dia tampak lebih segar dari biasanya. Meskipun leluconnya nggak terlalu lucu sih.
Aku melihat ke belakang, ke arah sebuah truk kecil yang sedang melaju, lalu membuka mulut.
"Kalau kita naik truk itu, bakal lebih luck (enak) ya."
"Enggak, enggak. Naik truk itu justru nggak nyaman, tahu."
"Komennya kok nggak ada yang ngerespon leluconnya sih?"
Aku berkata dengan nada sedih, tapi Toiro hanya tertawa, "Ahahaha." Apakah dia sengaja nggak menanggapinya? Padahal menurutku itu lelucon yang lumayan bagus, tentang truk…
Sambil terus bercanda, atap stasiun sudah mulai terlihat. Hari ini adalah hari double date dengan kelompok Sarugaya.
Kelihatannya Toiro cukup serius kali ini, dia mengenakan pakaian terbaiknya. Celana rayon cokelat dengan belahan di bagian kaki, dipadukan dengan kaos putih longgar. Dia juga memakai tas selempang sporty yang membuat penampilannya terlihat lebih ramping. Rambut cokelat kastanye-nya diikat dua di belakang, membentuk twin-tail kecil, dengan anting berbentuk bunga kecil yang berkilauan di telinganya yang terekspos.
Di sisi lain, aku juga memakai pakaian yang dipilih oleh Toiro. Celana denim longgar berwarna terang, kemeja putih, dan jaket tipis berbahan nilon berwarna navy. Untuk sepatu, kami berdua memakai sneakers kembar yang aku berikan sebagai hadiah ulang tahun untuk Toiro.
…Ya, kelihatannya kami memang cukup serius kali ini.
Siapa sangka aku akan ikut dalam acara double date seperti ini. Bahkan tentang kencan sendiri, aku masih belum terlalu paham. Meski aku sudah pernah pergi ke mal bersama Toiro, rasanya seperti bermain biasa saja… Tapi hari ini, double date. Jadi dua kali lipat. Tapi apa yang akan berubah karena itu, aku juga nggak tahu. Namun masalahnya adalah, dari kami berempat, nggak ada yang benar-benar saling jatuh cinta. …Apakah ini bisa disebut kencan?
Biasanya double date adalah saat dua pasangan berkumpul dan bersenang-senang bersama. Tapi kasus ini berbeda. Secara formal, hanya sekelompok teman laki-laki dan perempuan yang pergi bermain bersama. …Ya, hanya sekadar main bareng.
Namun di balik itu semua, ada berbagai perasaan yang tersembunyi di dalamnya—.
Sambil berjalan, aku mulai tenggelam dalam pikiran itu. Jaket nilon yang aku pakai berbunyi berisik saat bergesekan dengan sesuatu. Ketika aku tersadar dan melihat, ternyata Toiro entah kenapa mulai mendekat ke arahku.
"…Kenapa?"
Aku bertanya.
"Hm? Latihan."
Dengan nada yang sangat biasa, Toiro menjawab sambil terus berjalan.
"Latihan apa?"
"Ya ampun, jelas lah. Latihan jadi pasangan kekasih."
Setelah berkata begitu, dia semakin merapatkan bahunya ke arahku.
"Pasangannya kan Mayuko-chan. Harus hati-hati banget, jadi perlu latihan dulu. Ya kan."
Di akhir kalimatnya, dia seperti berbicara pada dirinya sendiri sambil mengangguk mantap, tetap menjaga posisinya di sebelahku.
Aku tahu kalau kami dicurigai sebagai pasangan palsu oleh Mayuko, situasinya bakal ribet. Tapi apakah perlu sampai latihan segala? Apa kami akan terus berdekatan sampai stasiun begini?
“Dari pagi kok ada yang mesra-mesraan ya?”
Rasanya tatapan orang yang lewat menusuk-nusukku.
Ketika aku menggumamkan hal itu, Toiro bertanya,
"Apa kita kelihatan seperti pasangan ya?"
“Ya, mungkin saja. Tatapan para cowok terasa seperti iri, dan sedikit lagi berubah jadi kutukan kalau dilihat salah.”
Aku menjawab dengan jujur, lalu Toiro menatap wajahku sambil berkata,
“Oh, gitu. Gitu, gitu.”
Entah kenapa dia tersenyum lebar dan menatapku dengan senyum penuh arti. Dia tampak senang dan semakin merapatkan bahunya padaku. Ada apa ini…?
Tampaknya di double date kali ini, kami memang harus tampil layaknya pasangan kekasih. Bagaimana hari ini akan berjalan, aku benar-benar tidak bisa membayangkannya.
*
Di depan stasiun, Sarugaya dan Mayuko sudah menunggu.
“Hei, di sini!” seru Mayuko sambil melompat-lompat dan melambai ke arah kami.
Rambut twintail-nya yang berwarna milk tea ikut melambung-lambung.
Di sebelahku, Toiro mengulurkan tangan sambil meluruskan punggung, lalu berlari kecil menghampiri mereka.
“Maaf ya, bikin kalian nunggu lama!”
“Hehe, ya kami nunggu. Eh, Toiron, twintail!”
“Iya! Seperti yang kita janjikan, kembar deh!”
Keduanya mendekat dan, “Iyaaaay, kanpai,” mereka menabrakkan twintail mereka satu sama lain. Apa-apaan ini…
"Yaa, Tuan Masaichi. Maaf ya sudah repot-repot datang hari ini. Aku sangat berterima kasih."
Ketika aku sedang melihat cewek-cewek yang bercanda dengan seru, Sarugaya tiba-tiba berdiri di sebelahku dan mulai mengajakku bicara.
“Nggak masalah kok, Toiro juga kelihatan semangat,” jawabku.
“Wah, itu bagus. Kami juga nggak mau kalah nih, ayo tingkatkan semangat. Hmm, kalau mau menabrakkan sesuatu….”
“Eh, nggak usah meniru sampai segitunya. Dan kenapa kamu menatap bagian bawah tubuhku?” Rasanya aneh, berhenti deh.
“Tapi, Tuan Masaichi, hari ini kamu kelihatan keren. Apa itu pilihan Toiro-chan?”
“Ya, kurang lebih. Kamu juga—”
Sambil menjawab, aku sekilas memandangi penampilan Sarugaya. Dia mengenakan kaos polo hijau yang pas di tubuh, celana denim indigo, dan sneakers kanvas. Di kepalanya, ada kacamata hitam yang bertengger.
Teman yang pakai kacamata hitam, ya… Aku terkesan, anehnya.
Penampilannya sangat dewasa. Cocok dengan postur tubuh, wajah, dan aura yang dia miliki.
“Cocok banget,” kataku, dan Sarugaya tertawa lebar sambil berkata,
“Wah, terima kasih banyak.” Kesan segar yang dia miliki benar-benar luar biasa. Kenapa cowok sekeren ini bisa jadi temanku, ya? …Oh iya, karena dia juga seorang otaku di dalamnya.
“Baiklah, karena semua sudah berkumpul, ayo berangkat!” seru Mayuko dengan ceria, mengalihkan perhatianku ke arahnya.
Mayuko mengenakan blouse putih manis dengan ruffle di lengan, dipadukan dengan overall longgar untuk tampilan kasual. Dia membawa tas kecil di bahunya. Keseluruhannya memberikan kesan energik dan seperti bocah laki-laki, tapi ada sisi feminin yang diperlihatkan di beberapa bagian. Sangat khas Mayuko.
“Ada apa, Mazono-cchi?” tanya Mayuko sambil memiringkan kepala saat menyadari aku menatapnya.
“Ti-tidak, tidak ada apa-apa,” jawabku sambil buru-buru menggelengkan kepala dan mengalihkan pandangan. Lalu Sarugaya—
“Tuan Masaichi sampai terpana lihat pakaian kasual Mayuko-chan, lho,” ucap Sarugaya sambil menyeringai, mengatakan sesuatu yang tidak perlu.
—Hei, apa-apaan sih kamu ngomong begitu!?
Begitu aku hendak menyangkal, aku langsung merasakan tatapan tajam menusuk dari samping.
—Apa-apaan ini, aura membunuh!?
Ketika aku buru-buru menoleh, Toiro menatapku sambil tersenyum tipis. Tapi... tidak, itu bukan senyum yang biasa. Matanya memang menyipit, tapi tatapan di baliknya penuh keseriusan yang menusukku dalam-dalam.
“Masaichi? Hebat sekali ya, bisa terpana seperti itu di depan pacarmu sendiri.”
Toiro-san? Itu kan ‘aksi pasangan yang cemburu’ yang biasa, kan?
Putus asa, aku menoleh ke Mayuko, si penyebab masalah ini, untuk mencari bantuan.
Dia terlihat gemetaran.
Mayuko memegang pipinya dengan kedua tangan dan menggeliat seperti sedang malu berat, menggeliat-geliat dengan wajah memerah.
“Di-di bilang lucu... A-aku jadi malu...”
Melihat Mayuko yang seperti itu, Toiro juga kehilangan kekesalannya dan menatapku dengan ekspresi lemas. Kami bertukar pandang, keduanya merasa aneh dengan situasi ini.
Mungkin Mayuko jadi seperti ini karena dipuji oleh Sarugaya, sehingga dia tidak bisa menunjukkan sikapnya yang biasa...?
Sementara itu, Sarugaya tertawa santai,
“Hahaha, rasanya beruntung bisa melihat cewek manis dengan pakaian kasual seperti ini.”
Ingin rasanya aku menginjak kakinya.
Dengan perasaan campur aduk penuh firasat buruk, double date kami pun resmi dimulai.
*
Destinasi hari ini adalah sebuah peternakan bernama “Hanato Doubutsu Fureai Farm.” Ide ini datang dari Mayuko.
“Karena cuaca sudah mulai sejuk, kita bisa seru-seruan di luar bareng-bareng,” katanya saat jam istirahat dua hari yang lalu.
Tidak ada yang keberatan, dan aku sendiri tidak punya pengalaman atau pengetahuan cukup untuk menentang. Aku bahkan tidak tahu tempat kencan yang biasa dikunjungi pasangan...
Toiro langsung bersemangat, “Bagus, bagus! Ada kelinci, alpaka, kapibara. Bisa puas-puasin peluk yang berbulu-bulu!” Dan begitu saja, destinasi kami diputuskan.
Sebelum naik bus, kami mampir ke minimarket untuk membeli beberapa barang. Sementara Sarugaya dan Mayuko memilih camilan dan minuman, aku dan Toiro yang belum sarapan memilih roti, onigiri, dan teh sebagai pilihan makan ringan.
Setelah selesai berbelanja, kami naik bus.
Secara alami, kami duduk berpasangan (meskipun secara teknis tidak), aku dan Toiro di satu sisi, Sarugaya dan Mayuko di sisi lainnya.
Saat aku memeriksa peta, tampaknya perjalanan akan memakan waktu sekitar 40 menit.
“Eh, anu, ha-hari ini cuacanya cerah sekali, benar-benar hari yang sempurna untuk piknik. Ini pasti karena Sarugaya-kun pembawa keberuntungan, ya...,” kata Mayuko terbata-bata dari kursi depan.
“Hahaha. Terima kasih sudah mengundang, Mayuko-chan.”
“Te-terima kasih banyak!”
Dari depan, terdengar percakapan antara Mayuko yang kikuk dan Sarugaya yang santai. Aku menoleh ke samping, bertukar pandang lagi dengan Toiro.
“Mayuko aneh banget, ya,” kataku.
“Ada sedikit rasa khawatir... Tapi mungkin wajar, ini kencan pertamanya,” jawab Toiro.
Ngomong-ngomong, frasa ‘hari yang baik’ sebenarnya tidak digunakan untuk menyebut cuaca. Itu lebih merujuk pada hari yang baik menurut perhitungan keberuntungan (seperti taian-kichijitsu). Aku tidak tahu apakah itu karena dia gugup atau memang tidak tahu artinya.
“Eh, um, Sarugaya-kun biasanya jalan-jalan ke mana sih?” tanya Mayuko.
“Biasanya ke mal atau bagian kota yang ada butik dan toko-toko brand. Aku suka lihat-lihat pakaian. Oh, dan di akhir pekan banyak wanita cantik berkeliaran di sana.”
“Wah, kamu memang selalu tahu tempat yang bagus, ya!”
Saat bus mulai bergerak, percakapan mereka terdengar lagi.
“Beneran nggak apa-apa, nih, Mayuko?” kataku, makin khawatir.
“Aduh, perasaan khawatirku makin besar, nih...” jawab Toiro.
Mungkin memang benar kalau cinta itu buta. Asal Sarugaya tidak mulai berperilaku aneh, aku akan merasa lega. Sambil berpikir begitu, aku membenamkan diri ke kursi bus. Toiro juga bersandar pada sandaran kursinya.
Beberapa menit berlalu saat kami terombang-ambing di bus.
“Fuu, capek banget...” Toiro menghela napas dan tanpa peringatan, menaruh kepalanya di pundakku.
—Eh!?
Refleks, tubuhku langsung kaku. Rambut Toiro menyapu leherku, terasa menggelitik. Aku mencoba berkata sesuatu meski seluruh tubuhku menegang.
“Capek? Kita baru saja berangkat, lho.”
“Hmm, bangun pagi saja sudah bikin aku merasa lelah banget,” jawabnya santai sambil menggerak-gerakkan kepala, mencari posisi yang nyaman di pundakku.
“...Ini termasuk aksi pasangan, kan?” tanyaku, merasa tak pasti.
“Yup, benar,” jawab Toiro dengan nada santai, seakan menikmati posisi ini.
Dia sepertinya tidak punya niat untuk melepaskan. Sejak tadi dia lebih agresif dari biasanya... Tak punya pilihan lain, aku mulai rileks, mencoba menyesuaikan diri dengan posisi ini.
“Tunggu-tunggu, kalian berdua ngapain sih mesra-mesraan begitu di tempat umum?” Tiba-tiba, wajah Mayuko muncul dari kursi depan, menyela dengan ekspresi penasaran.
“Kya!” Toiro buru-buru menjauh, wajahnya memerah.
“Ups, mengganggu kalian, ya?” goda Mayuko, suaranya terdengar lebih santai dan rendah, berbeda saat dia bicara dengan Sarugaya.
Toiro, yang barusan agresif, kini malah tersipu-sipu, mukanya merah seperti kepiting rebus. Padahal ini kan bagian dari ‘aksi pasangan’ yang sengaja dia pamerkan...
“Aku kaget banget! Kupikir nggak ada yang lihat,” jawab Toiro malu-malu.
“Hah, kalian ini selalu mesra-mesraan setiap ada kesempatan... Pasangan yang luar biasa.”
“Hahaha, apa Mayu-chan bisa mengukur seberapa kuatnya kekuatan pasangan kami?” Toiro sudah mulai kembali ke sikap biasanya, kini dia malah balik menggoda.
“Uh, mataku sampai terasa berkilauan karena melihat percikan warna merah jambu dari kalian...” Mayuko menggeleng-gelengkan kepala dengan dramatis, menutup matanya.
“Ngomong apa sih kalian,” sahutku, tak tahan untuk tidak mengomentari.
Mayuko menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri setelah dramanya tadi.
“Seperti yang kuduga, kalian pasangan yang luar biasa. Aku harus banyak belajar dari kalian hari ini.”
Bukan berarti dia curiga, tapi sepertinya arah percakapan mulai beralih ke sana...
“Eh, tapi kami baru pacaran sekitar setengah tahun, jadi jangan terlalu berharap...”
Toiro menjawab dengan nada rendah, kelihatan agak ciut oleh antusiasme Mayuko.
"M-maksudmu apa? Tadi, saat kamu menaruh kepala di pundak pacarmu, itu lumayan bagus, lho," ujar Mayuko sambil tersenyum menyeringai.
"Itu... hal biasa saja sebenarnya..." jawab Toiro, sedikit tergagap.
"Biasa saja? Kalau begitu, sampai sejauh mana hubungan kalian berdua... Aku makin nggak sabar dengan kencan hari ini," kata Mayuko dengan senyum penuh arti dan mata yang berbinar.
Sepertinya kecurigaan Mayuko tentang hubungan kami sudah hilang. Tapi sekarang, malah muncul ekspektasi lain yang aneh. Aku ingat Toiro pernah bilang kalau Mayuko adalah tipe gadis yang sangat suka cerita cinta dan sangat memimpikan hubungan romantis.
"B-bukan begitu maksudku..." Toiro mengarahkan senyum canggung padaku.
Sepertinya double date kali ini akan penuh tantangan.
"Mayuko-chaaan!" Suara Sarugaya terdengar dari kursi depan, memanggil Mayuko.
"I-iya!" jawab Mayuko kaget, hampir melompat dari tempat duduknya.
"Aku nggak mau terlalu mengganggu kalian yang lagi mesra-mesraan. Gimana kalau kita berdua punya waktu ngemil bareng saja di sini?"
"O-oke," jawab Mayuko dengan nada lembut yang sedikit lebih tinggi. Dia segera kembali ke kursinya di depan, suaranya berubah jadi lebih manis. Aku dan Toiro saling memandang, lalu tanpa sadar mencondongkan tubuh untuk mengintip mereka dari belakang kursi.
"Aku sudah beli banyak camilan tadi. Mau coba yang mana dulu?" tanya Sarugaya sambil membuka kantong belanjaan.
"Makasih. Hmmm, aku pilih yang mana, ya," kata Mayuko, suaranya terdengar riang.
"Ini ada cokelat yang baru rilis. Mau coba?"
"Oh, aku ambil sendiri! Te-terima kasih," kata Mayuko sambil mengambil cokelat itu dengan kedua tangan seperti memegang sesuatu yang berharga. Dia menatap cokelat itu lekat-lekat, dan pipinya memerah sedikit.
Aku menelan ludah tanpa sadar.
—Ini... rasanya...
"Rasanya... bikin hati meleleh," ujar Toiro lirih di sebelahku.
Aku punya pendapat yang sama.
"Mayuko... imut juga, ya," gumamku.
Rasanya seperti menonton adegan anime shoujo yang penuh warna. Kalau protagonis perempuan punya cinta pertama yang manis seperti ini, siapa pun pasti ingin mendukungnya. Mungkin bahkan sampai ingin membeli DVD-nya.
"Benar! Dia layak didukung,"
Toiro mengangguk setuju sambil terus mengamati mereka berdua.
"Kita harus mendukung mereka..." bisiknya, dan aku pun sepenuhnya setuju.
Aku duduk kembali ke kursiku dengan tenang. Sementara itu, Toiro masih berdiri dan terus memperhatikan mereka berdua.
...Tatapan itu.
Toiro-san, sepertinya kamu bukan mendukung mereka, tapi sedang mengincar cokelat baru itu, ya...
*
Akhirnya, kami tiba di tujuan. Aku turun dari bus dan meregangkan tubuhku di area parkir yang luas. Kami sudah sampai di dataran tinggi di atas bukit, dan angin sejuk bertiup lembut, membuat suasana nyaman.
"Wah, segarnya!" seru Toiro yang berdiri di sampingku, mengangkat kedua tangannya sambil menarik napas dalam-dalam. Posenya yang menarik napas dalam dengan dada yang membusung dalam T-shirt-nya itu...
Sarugaya menatap kami dengan mata menyipit, memperhatikan dengan seksama.
"Hei, lihat ke sana, pemandangannya bagus banget," kataku sambil menunjuk dengan dagu ke arah belakang.
Toiro menurunkan tangannya dan berputar menghadap arah yang kutunjukkan. Aku menghela napas lega secara diam-diam.
"Wow, benar! Indah banget!"
Beberapa puncak gunung yang dipenuhi pohon berbaris, membentuk jajaran pegunungan yang membentang jauh. Keagungan pemandangan itu membuatku tanpa sadar merasa tertekan. Meskipun sedikit terlalu awal untuk melihat daun-daun berubah warna, beberapa sudah mulai memerah, menandakan kedatangan musim gugur.
Mungkin karena biasanya aku hanya menatap layar smartphone atau televisi, rasanya sudah lama sekali sejak aku menatap pemandangan sejauh ini. Aku merasakan ketegangan di mataku perlahan mereda, dan menyadari bahwa aku telah terlalu memforsir penglihatan dalam keseharianku.
"Ini benar-benar luar biasa," kata Sarugaya sambil mulai berjalan menuju ujung area parkir.
Aku dan Toiro pun mengikuti dari belakang, namun ketika kami hendak melangkah, Mayuko yang berlari kecil menghampiri, berdiri di samping Toiro.
"…ta…su…chatta," gumam Mayuko pelan, suaranya nyaris tak terdengar.
"Hm? Ada apa?" tanya Toiro sambil sedikit memiringkan kepalanya.
Aku yang penasaran ikut menoleh, dan melihat Mayuko berjalan menunduk dengan langkah lesu.
"Aku… kebanyakan makan, gimana ini…"
"Kebanyakan makan? Ah, apa mungkin karena camilan?" tanya Toiro.
Mayuko mengangguk kecil. Memang tadi di dalam bus, sepertinya dia dan Sarugaya semacam mengadakan pesta kecil dengan camilan.
"Bagaimana ini, perutku jadi buncit…"
"Gak apa-apa kok, kamu pakai overall, jadi nggak kelihatan."
"Benar? Tapi sekarang ini aku lagi menahan perut, jadi kelihatannya rata. Kalau aku lepas, bisa bahaya."
"Tenang aja, gak akan kelihatan. Biar aku cek dulu."
Mayuko melirik sekeliling dengan cepat. Ketika mata kami bertemu, aku buru-buru mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Oke, sekarang lepasin aja napasnya, rileks, fuu…"
Suaraku mengikuti nada suara Toiro yang memandu Mayuko untuk menghela napas.
"Gimana? Aman?"
"Aman kok! Aman, aman. Santai aja, gak usah tegang!"
Sepertinya perut Mayuko baik-baik saja. Entah kenapa, aku juga ikut-ikutan merasa lega dan menghela napas.
"Ngomong-ngomong, Mayu-chan, soal urusan cinta, kamu ini benar-benar gadis yang imut," kata Toiro sambil tersenyum jahil.
Mayuko memasang wajah kaget dengan ekspresi yang dibuat-buat.
"C-cinta? Apa maksudmu?"
"Kamu serius mau menutupi ini?"
Memang, Mayuko belum pernah mengungkapkan bahwa dia tertarik pada Sarugaya, tapi dari perilakunya, siapa pun bisa melihat jelas bahwa dia sedang jatuh cinta.
"Hari ini juga, kan? Awalnya kamu ngajak Sarugaya-kun untuk jalan berdua, tapi akhirnya jadi begini gara-gara keadaan. Tapi tenang aja, aku dan Masaichi bakal bantu kamu, kok."
Toiro memberikan isyarat dengan matanya, dan aku pun mengangguk bersemangat.
Mayuko menatap kami bergantian, lalu wajahnya memerah.
Dia menundukkan pandangannya, menutupi kedua pipinya dengan tangan.
"A-aku, urusan cinta seperti itu, gak mungkin aku…"
"Masih mau menghindar juga?"
Untung area parkirnya luas, sehingga Sarugaya tidak mendengar percakapan kami. Dia sibuk memotret gunung dengan santainya menggunakan smartphone.
☆
Seperti pasangan sungguhan, aku ingin melakukan sesuatu yang bisa membuat Masaichi deg-degan. Dengan semangat rencana kecil itu, aku bersiap, tetapi langsung gagal di dalam bus. Aku berencana untuk melakukan adegan klasik di anime atau manga, di mana sang pahlawan wanita yang kelelahan tertidur di bahu tokoh utama. Aku bahkan ingin melihat reaksi Masaichi. Tapi… siapa sangka Mayu-chan malah melihat kami saat itu. Saking malunya, aku tanpa sadar mengeluarkan suara aneh.
Baiklah, saatnya mulai dari awal lagi.
Setelah turun dari bus, aku diam-diam menyemangati diri sendiri. Aku berpikir, ‘Ayo, aku harus berusaha lagi.’ Tapi, kenapa ya… aku tidak menyangka akan menghadapi rintangan kedua secepat ini.
Dari area parkir sampai gerbang peternakan, ada jalan menanjak yang cukup panjang.
"Tuan Masaichi, kamu kehabisan napas tuh," kata Sarugaya-kun.
"Soalnya, aku jarang olahraga seperti ini…," jawab Masaichi dengan napas terengah-engah.
“Toiro, sebentar lagi kita sampai di puncak! Ayo, kita nyanyi buat semangat. A-ru-ko, a-ru-ko…” Mayu-chan mulai menyanyikan lagu anak-anak, sementara aku hanya bisa mengeluh.
“Aku gak sekuat itu, tahu…”
"Kalian berdua, ini bahkan belum bisa disebut jalan pegunungan, cuma jalan landai biasa. Kalau dibandingkan, ini cuma setingkat A… atau B cup," gurau Sarugaya-kun.
"Kalian berdua benar-benar kurang stamina… Tapi mungkin hal seperti ini, di mana kalian mirip, justru bagus buat pasangan? Catat-catatan nih…" Mayu-chan menimpali dengan nada bercanda.
Karena tidak ada yang menyela, Sarugaya-kun dan Mayu-chan bebas bicara sesuka mereka. Mereka sepertinya cocok satu sama lain? Saat aku memikirkan hal itu, Masaichi yang berjalan di depan tiba-tiba menoleh ke arahku. Menyadari itu, aku langsung tersenyum ceria.
Sejak kecil, karena tubuhku yang lemah dan sering sakit, Masaichi selalu mengkhawatirkanku. Dengan tersenyum seperti ini, aku mengirimkan sinyal bahwa aku baik-baik saja.
Akhirnya, kami sampai di pintu masuk peternakan. Sementara aku dan Masaichi mengatur napas, Sarugaya-kun sudah membelikan tiket untuk kami semua.
“Toiro, di sini ada tiket tahunan! Kalau kita datang tiga kali, sudah balik modal. Gimana, mau beli?” tanya Mayu-chan sambil menunjuk papan di gerbang dengan riang.
“Nanti deh, kalau ada eskalator atau jalur berjalan, baru aku pertimbangkan.”
“Minta hal seperti itu di gunung? Artinya kamu gak bakal datang lagi, kan…”
Yah, ditanya begitu saat lagi capek, susah untuk menjawab dengan senang hati… Rasanya seperti ditanya soal makan malam padahal baru saja selesai makan siang.
Kami memberikan uang kepada Sarugaya-kun untuk tiket masuk, lalu masing-masing menerima tiket.
Akhirnya, kami memasuki peternakan.
Segera setelah itu, pagar putih terlihat di sisi kiri jalan, dan di baliknya terbentang padang rumput yang luas. Beberapa langkah kemudian, aku bisa melihat sapi di kejauhan, kuda poni di sisi lain pagar, dan kelinci di kandang kecil di sudut jalan. Ada juga area interaksi dengan kelinci, tapi… aku masih terlalu kelelahan untuk bermain.
Saat aku melihat hewan-hewan itu dari kejauhan, Masaichi tiba-tiba menyapaku.
“Toiro, hari ini aku juga sudah memikirkan aksi pasangan yang akan kulakukan.”
Aku memutar wajah ke arah Masaichi dengan penasaran.
“...Seperti apa?”
“Sebenarnya simpel sih. Aku mau melakukannya saat kamu lelah berjalan—”
Sambil berbicara, Masaichi melihat sekeliling. Di dekat kami ada truk jualan yang menjajakan makanan ringan dan minuman. Dengan suara yang bisa didengar oleh Mayu-chan dan yang lain yang berjalan di depan, Masaichi berkata:
“Toiro, kamu capek kan? Gimana kalau kita minum jus dulu?”
“Eh, iya,” jawabku mengikuti ajakannya.
Masaichi langsung menuju ke arah penjual dan membeli jus dalam gelas besar. Dia kembali sambil membawa jus itu.
“Nih, Toiro, kamu duluan.”
Saat itu, aku langsung tahu apa yang ingin dilakukan Masaichi. Aku menerima jus yang dia sodorkan, lalu menyeruputnya dengan sedotan, sebelum menyerahkan kembali padanya.
“Makasih, Masaichi.”
“Iya,” balas Masaichi singkat, lalu dia meminum jusnya juga. Setelah tegukan terakhir, dia menarik napas dan menghela dengan puas.
Ini adalah aksi pasangan klasik, berbagi minuman dengan santai seolah-olah sudah hal yang biasa bagi pasangan. Dan sesuai rencana Masaichi, Mayu-chan langsung menatap kami dengan mata berbinar.
"Wow. Ini yang namanya aksi pasangan yang mesra, ya?" ujar Mayu-chan.
"Ah, biasa aja kok," jawabku sambil melirik Masaichi, yang mengangguk besar. Memang, saat kami bermain di kamar pun, kami sering minum bergantian dari satu botol yang sama. Jadi, rencana Masaichi berhasil.
Berhasil, memang. Tapi aku diam-diam menatap Masaichi dengan pandangan "hmmph."
—Padahal aku ingin membuat suasana seperti pasangan sungguhan, tapi dengan bilang, 'Aku juga punya aksi pasangan yang kupikirkan,' mood-nya malah rusak! Ini jadi seperti pacar pura-pura saja!
Aku mengambil jus dari tangan Masaichi, langsung menghisapnya dengan kuat lewat sedotan.
"Hei, aku juga masih mau minum!" kata Masaichi yang tampak panik, tapi aku tetap menghirupnya lagi dengan semangat. Ini adalah hisapan penuh rasa kesal.
Di saat kami sedang bercanda seperti itu…
"Nah, kalau begitu… Mayu-chan, bagaimana kalau kita istirahat sebentar juga? Kita beli es krim saja," kata Sarugaya-kun tiba-tiba.
"Eh, iya, boleh," jawab Mayu-chan sedikit terkejut.
"Oke, aku beli soft cream yang ada di sana ya. Yang dijual di peternakan ini," kata Sarugaya-kun sambil bergegas menuju truk penjual. Tapi anehnya, dia kembali hanya dengan satu soft cream.
Melihat itu, aku langsung mengerutkan alis. Ini jelas-jelas usaha untuk meniru gaya kami berbagi minuman—rencana "ciuman tidak langsung" yang terang-terangan. Masaichi juga tampak khawatir, mengernyit sedikit.
"Mayuko-chan, ini dia! Ayo kita makan bareng," kata Sarugaya-kun sambil menyodorkan es krim.
Mayu-chan menerimanya dan mengambil satu gigitan kecil dengan mulut mungilnya, lalu mengembalikan es krim itu dengan hormat menggunakan kedua tangannya.
"Eh," suara kaget keluar dari mulut Sarugaya-kun. Dengan sedikit ragu, dia menerima es krim itu kembali.
"Ah, Sarugaya-kun! Tadi bagian ini kena mulutku, jadi… itu, nanti jadi ciuman tidak langsung. Yang ini, bagian yang lain, aman kok," jelas Mayu-chan dengan wajah merah, sambil menunjuk bagian es krim yang belum dia makan.
"Eh, baik, aku makan dari sini ya," jawab Sarugaya-kun. Dia dengan hati-hati mengambil sedikit dari bagian es krim yang belum terkena mulut Mayu-chan. Setelah itu, dia melangkah perlahan mendekati kami, tepat di samping Masaichi.
"N-nah, Masaichi," bisiknya pelan.
"Ada apa?"
Wajah Sarugaya-kun agak memerah, dan anehnya dia tampak terkejut. Meskipun suaranya seperti bisikan, aku masih bisa mendengarnya.
"Mayuko-chan… manis banget," bisiknya.
Aku dan Masaichi saling pandang. Ini… angin sedang berpihak pada Mayu-chan!
"Y-ya, kalau kamu merasa begitu, itu benar," jawab Masaichi sambil mengangguk. Dalam hati aku bersorak, ‘Ayo terus! Dorong lagi, dorong lagi!’
"Situasinya seperti dalam anime, ya… Kalau aku jujur bilang… ini moe? Jujur saja, aku kira dia bakal menolak makan es krim bareng seperti ini," kata Sarugaya-kun, tampak sedikit bingung.
Selama ini, Sarugaya-kun sering menggoda berbagai gadis dan biasanya mendapat respon dingin. Jadi mungkin kali ini dia sudah siap mental akan ditolak lagi oleh Mayu-chan. Tapi, Mayu-chan menerimanya dengan mudah, membuatnya terkejut.
Saat mereka berbicara, es krim mulai meleleh, dan Sarugaya-kun segera kembali ke arah Mayu-chan yang menatap dengan wajah bingung.
"Mayuko-chan, gawat! Cepat, jilati bagian ini!"
"A-a-apa!? Jilati!? Eh, apa!?"
"Bagian ini tadi kamu yang jilat, kan?"
"Eh, nggak, tadi aku di sisi yang lain… Hah? Ah, nanti tumpah!"
Melihat kepanikan mereka berdua, aku jadi merasa geli. Ah, benar-benar imut mereka berdua.
Tapi, Masaichi ini benar-benar...
Karena sepertinya Sarugaya-kun dan Mayu-chan masih sibuk dengan soft cream mereka, aku pergi sebentar ke pojok area interaksi kelinci di sebelah. Aku menyentuh salah satu kelinci di sana.
Bulu yang halus dan lembut, telinganya bergerak-gerak lucu. Rasanya sangat menenangkan. Aku bisa terus mengelusnya. Benar-benar lembut.
Wah, kelinci memang yang terbaik.
Ketika aku sedang asyik menikmati kelembutan kelinci, tiba-tiba suara Masaichi terdengar dari belakang.
"Toiro. Lucu juga, ya."
"Eh—"
Aku langsung berbalik secara refleks. Mungkin saja wajahku sudah memerah seperti Mayu-chan tadi.
"A-apa sih tiba-tiba—"
Apa jangan-jangan dia terpengaruh oleh ucapan jujur Sarugaya-kun tadi?
Aku yang mulai merasa senang dalam hati, malah melihat Masaichi dengan ekspresi bingung.
"Ah, bukan, maksudku… kelincinya lucu."
"—Huh, dasar!"
Wajahku langsung memanas.
Menyadari kesalahpahaman yang konyol (ya, di situasi begini aku yang bodoh sih), aku akhirnya memukul pelan lengan Masaichi untuk menutupi rasa maluku.
Setelah beristirahat dengan jus dan soft cream, kami akhirnya mulai mengelilingi area melihat hewan.
"Wow, sapi ini gede banget! Lihat deh, Masaichi!"
"Holstein, ya. Ini jenis sapi perah yang umum, dengan corak hitam-putih."
"Tunggu, ada marmut di sini! Ya ampun, imut banget! Bulu-bulunya ini luar biasa! Pengen sentuh deh."
"Hampir mirip hamster, tapi ternyata perilakunya beda jauh. Marmut itu sepenuhnya herbivora dan nggak melakukan olahraga seperti berlari di roda putar."
"Eh, lihat, ada kura-kura di jalur ini! Besar juga!"
"Ini kura-kura darat. Mereka membiarkannya berkeliaran bebas, ya? Mungkin ada penjelasannya di sini. …Ngomong-ngomong, kamu cuma komentar soal ukuran kalau hewannya nggak berbulu. Juga, semangatmu beda jauh sih."
Yah, kan lebih baik kalau hewannya punya bulu, nggak sih?
Saat aku sibuk melihat-lihat hewan, Masaichi serius membaca papan penjelasan di pagar kandang. Rupanya dia selalu tertarik belajar bahkan di tempat seperti ini.
Ngomong-ngomong, aku baru sadar kalau aku belum pernah pergi ke akuarium atau kebun binatang bersama Masaichi. Ini pertama kalinya kami ke peternakan juga, dan masih banyak hal yang belum kami coba bersama.
"Ah, lihat, babi besar! Dengusannya keras banget!"
"Ini benar-benar terlihat seperti babi. Eh… Hah? Mini pig?"
Masaichi membaca papan nama sambil mengernyitkan alis.
"Ini sama sekali nggak mini, ya,"
Aku ikut merasa heran, menggaruk-garuk kepala.
"'Mini pig' ini adalah babi yang telah dibiakkan menjadi lebih kecil untuk peliharaan atau eksperimen. Dibandingkan babi ternak yang beratnya lebih dari 200 kg, makanya disebut mini pig. Beberapa di antaranya bisa mencapai berat 100 kg…"
"100 kilo!? Itu jelas bukan mini! Ini penipuan!"
"Bukan penipuan. Di dunia babi, yang ini memang mini."
"Setidaknya kalau berbulu, kan masih bisa dimaafkan…"
"Sepertinya semua penilaianmu soal hewan di peternakan ini berdasarkan ada bulu atau nggaknya, ya?"
Sambil menikmati suasana, kami melanjutkan perjalanan keliling peternakan.
Menyenangkan sih… Tapi aku masih berharap ada kesempatan kedua untuk memperbaiki kesalahanku tadi.
Saat aku sedang memikirkan itu dan hendak pindah melihat hewan lain, tiba-tiba aku merasakan pandangan tajam yang menusuk dari belakang. Aku langsung berbalik dengan cepat.
Masaichi tampaknya juga merasakan sesuatu dan dengan cepat meluruskan punggungnya, lalu menoleh ke belakang seperti yang kulakukan.
Mayu-chan berdiri di sana, menyipitkan mata sambil menyilangkan tangan, memandang kami dengan tatapan tajam.
"Ada apa? Lanjutkan saja," katanya.
Di-lanjutkan, katanya... Tapi apa yang mau dilanjutkan?
Di belakang Mayu-chan, Sarugaya-kun sedang berjuang mengambil selfie bersama kambing—tampaknya ia panik karena ponselnya hampir digigit kambing itu. Apa yang sedang dia lakukan...?
"N-nampaknya aku merasakan tatapan intens, makanya... Ada apa?" tanyaku dengan ragu-ragu.
"Hm? Aku hanya mengamati pasangan," jawab Mayu-chan.
Jadi kami sedang diawasi, rupanya.
"Kenapa tidak fokus lihat hewan saja, kan sayang..."
Aku benar-benar tidak menyangka kalau malah kami yang jadi objek pengamatan di peternakan ini.
Namun Mayu-chan tidak menggubris ucapanku.
"…Ada yang aneh," katanya sambil tetap memandangi kami dengan serius.
"Apa yang aneh?"
Masaichi memiringkan kepalanya, sementara aku menelan ludah.
"Kalian berdua, sebagai pasangan, kok nggak pegangan tangan…"
Aku ingin berkata "lagi-lagi," karena sekali lagi kami dituduh aneh.
"Y-ya, kalau lagi jalan di kota sih kami biasanya pegangan tangan. Tapi kalau di tempat seperti ini, lebih baik menikmati suasana dengan bebas kan..."
"Namun, pasangan lain di sini semuanya pegangan tangan," potong Mayu-chan sambil melirik ke sekeliling.
Saat aku mengikuti arah pandangannya, memang cukup banyak pasangan yang berjalan sambil bergandengan tangan.
...Apa memang begitu? Apakah kami yang lengah? Tapi ada juga beberapa pasangan yang asyik bermain bebas tanpa bergandengan tangan…
Saat aku memikirkan itu, Mayu-chan melanjutkan.
"Atau jangan-jangan, kalian mengalah karena ada aku dan Sarugaya-kun? Kalau iya, nggak usah sungkan, kalian boleh pegangan tangan kok."
"Ah, jadi begitu maksudnya…"
Masaichi tampaknya akhirnya mengerti situasinya.
Aku pun ikut mengangguk. Ternyata bukan tuduhan aneh lagi, melainkan Mayu-chan malah memperhatikan kami dan mengalah.
Leganya, aku merasa lega dan menghela napas.
Kalau begitu, tinggal tunjukkan saja, kan?
"Terima kasih, Mayu-chan. Kalau begitu, kami akan menerima tawaranmu," kataku sambil menyentuh punggung tangan kiri Masaichi dengan jari kananku.
"K-kita bakal pegangan tangan?"
Masaichi bertanya dengan suara pelan di telingaku.
"Iya. Soalnya aku pikir Mayu-chan sebenarnya ingin melihat kita pegangan tangan. Lagipula, kalau kita menolak lagi, nanti malah menimbulkan kecurigaan yang nggak perlu."
"Benar juga…"
Tampaknya Masaichi setuju, dan ia mengulurkan tangannya. Aku bisa melihat mata Mayu-chan berkilauan penuh semangat.
Namun.
――Aku yang pegang duluan?
――Eh, harusnya dari sini, kan?
――Hah, jadi jarinya saling kait, ya?
――Ah, tidak, kalau ingin terlihat seperti pasangan saat kencan, mungkin seperti ini lebih baik.
Ketika kami mencoba bergandengan tangan, jari-jari kami malah bergerak berantakan.
Biasanya, kami akan bergandengan tangan dengan santai, atau kadang langsung tanpa berpikir. Namun karena kali ini tiba-tiba dan di bawah pengawasan, kami jadi kikuk.
"Hm?"
Mayu-chan mengernyit sedikit.
Ini buruk.
Kami berhasil bergandengan tangan, tapi... terlambat? Gerakan kami tadi terlalu canggung, jelas kelihatan kalau kami belum terbiasa...
Tidak, ini kesempatan!
Aku menarik tangan Masaichi dengan cepat, lalu memeluk lengannya ke dadaku.
"Eh!?"
Masaichi mengeluarkan suara kecil, menatapku dengan terkejut.
"Ka-kami biasanya begini, kan? Jarang pegangan tangan. Biasanya lebih sering bergandengan lengan, kan?"
Aku berkata sambil memeluk lengannya dengan erat.
――Padahal ini pertama kalinya kami bergandengan lengan.
Tapi ini adalah cara paling romantis!
Ini lebih intim dibandingkan hanya pegangan tangan. Melalui pakaian tipis, aku bisa merasakan hangat tubuh Masaichi.
Dan tampaknya tindakanku berhasil.
"Wah… Ini luar biasa! Melihat pasangan yang begitu dekat secara langsung membuat jantungku berdebar-debar. Aku sudah tua…"
Mayu-chan tampaknya sangat terkesan, dan bahkan terlihat sedikit emosional.
Dengan lengan tetap bergandengan, kami mulai berjalan perlahan.
――Wah, jantungku berdebar kencang.
Kalau sedekat ini, Masaichi pasti bisa merasakan detak jantungku.
Masaichi sendiri tampak diam sejak tadi. Ketika kulirik, ia hanya menatap lurus ke depan, bibirnya terkatup rapat seolah menahan perasaan.
Apakah dia sedang mencoba mengalihkan fokus dari lenganku yang memeluknya? Atau bagaimana?
"…Kamu malu, ya?"
Saat aku bertanya begitu,
"Nggak!"
Masaichi menjawab dengan nada gugup.
Hmm. Jadi bagaimana sebenarnya? Apa cuma aku yang deg-degan seperti ini...?
Bagaimanapun juga, Mayu-chan selalu siap menyergap begitu ada celah sekecil apa pun.
Sepertinya saat double date seperti ini, aku tidak bisa lengah sama sekali...
Sambil berjalan dengan canggung, aku berpikir begitu.
*
――Aku tadi tegang sekali, ya ampun.
Hanya bergandengan tangan saja sudah bikin deg-degan, apalagi...
Saat pertama kali bergandengan lengan dengan Toiro, jantungku berdetak kencang sampai terasa mau meledak.
Rasanya, seperti seluruh lenganku dibungkus dengan lembut. Aku tidak berani menggerakkan siku sama sekali, seolah-olah kalau bergerak sedikit saja akan merusak momen itu. Dibanding dikunci dengan teknik bela diri apa pun, rasanya lenganku terkunci jauh lebih erat. Di saat yang sama, semua inderaku terasa terfokus di lenganku.
Dan pada akhirnya, aku sekali lagi ditolong oleh aksi romantis Toiro…
Kami terus berjalan dengan canggung hingga tiba di area yang lebih terbuka. Beberapa kandang kecil dipagari, dan di dalamnya terlihat beberapa hewan.
Di papan nama tertulis “Area Interaksi.” Kami sudah beberapa kali melewati tempat di mana kita bisa berinteraksi dengan hewan, tapi di sini kita bisa memberi makan mereka. Hewan-hewan yang kelaparan itu berkumpul di dekat pagar, menunggu diberi makan.
"Gimana? Mau kasih makan?"
Mayuko bertanya kepada kami.
"Tentu saja, kasih makan aja!"
Toiro menjawab dengan semangat, mengangkat tinjunya.
Saat itu, lenganku dilepaskan. Diam-diam aku menghela napas lega.
Kehangatan yang tadi melingkupi lenganku perlahan menghilang, dan entah kenapa, rasanya sedikit sepi...
Kami memasukkan uang 100 yen ke mesin penjual otomatis kecil dan membeli makanan domba.
"Jadi ini yang dipakai buat kasih makan?"
Di sebelah mesin, ada sekop plastik kecil yang disediakan. Aku belum pernah memberi makan domba sebelumnya, jadi aku penasaran bagaimana rasanya.
Saat aku mengambil sekop itu dengan penasaran, tiba-tiba Toiro mendekatiku dengan perlahan.
"Masaichi, takut banget nih~"
Dia berbisik dengan nada manja yang dibuat-buat.
"Bohong. Kamu kan suka banget kegiatan kayak kasih makan hewan," aku membalas.
Toiro mengembungkan pipinya, "Muu—"
"Oh, maaf. Ini ‘aksi romantis pasangan’ ya," aku berkata sambil tertawa kecil.
"Muuuu—," kali ini suara 'mu' yang lebih keras keluar dari mulutnya.
Aku pun berjalan mendekati pagar. Kuisi sekop dengan makanan dan menyodorkannya ke arah domba yang sudah mengulurkan kepala.
――Saat itu juga.
Aku melihat seekor binatang buas tepat di depanku.
Monster yang lapar.
Domba itu dengan ganas menggigit sekop, seakan ingin menghancurkannya dengan giginya. Aku hampir terhempas oleh kekuatannya, sehingga aku buru-buru menggenggam sekop dengan erat.
"Eh…"
Di sebelahku, Toiro yang sedang menyiapkan makanan, mundur setengah langkah sambil memandang domba itu dengan tatapan ngeri.
Seekor domba dengan wajah hitam yang unik sudah mengincar sekop yang dipegang Toiro, mengulurkan lehernya melalui celah pagar. Domba itu menjulurkan mulutnya dan memandangi makanan dengan mata oval yang memanjang.
"T-tunggu, ini beneran ngeri banget sih!"
"Pegang sekopnya kuat-kuat aja, pasti aman," kataku.
"Tapi... jari-jari kita nggak bakal kegigit, kan?"
"Tenang aja. Hampir aja kena, tapi masih aman," jawabku.
"Jadi itu tadi nyaris banget, ya!?"
Melihat Toiro yang terkejut, aku tertawa dan berkata,
"Aku cuma bercanda kok."
Lalu aku mengepalkan dan membuka tangan, memperlihatkan kalau semuanya baik-baik saja.
"Dari jauh sih, kelihatannya lucu banget."
"Iya, apalagi ini jenis hewan yang kamu suka, yang berbulu-bulu lembut."
"Betul! Domba itu punya sekitar 30 ‘moefu’ (satuan kelembutan)! Enam kali lebih lembut dibanding marmut!"
"Jadi sekarang kamu ngitung kelembutan pakai ‘moefu’!?"
Toiro tertawa terbahak-bahak,
"Ahahaha!"
"Yah, kalau sudah terbiasa, memberi makan mereka sebenarnya gampang kok," kataku sambil melihat sekeliling.
Para pengunjung lainnya juga terlihat terkejut dengan antusiasme domba-domba itu, tapi mereka tetap tampak menikmatinya. Bahkan anak-anak pun terlihat santai, malah ada yang sangat bersemangat.
"Be-begitu ya,"
Toiro mengangguk pelan dan kembali menghadap ke domba, lalu perlahan menyodorkan sekopnya.
――Tidak bisa. Kalau dia setakut itu, bisa-bisa sekopnya ditarik domba.
Saat mulut domba hampir mencapai makanan, aku spontan menggenggam tangan Toiro dari samping dan ikut menahan sekopnya. Di saat yang sama, aku merasakan getaran kuat di pergelangan tangan saat domba itu dengan rakus mengunyah makanan.
"Te-terima kasih,"
Toiro menoleh sekilas padaku, lalu segera kembali fokus pada sekopnya. Memang harus diperhatikan betul, kalau tidak bisa-bisa jarinya benar-benar kena gigit.
――Dan, sedikit canggung juga sih dilihat dari jarak dekat begini...
Makanan di sekop cepat sekali habis, dan domba itu segera menjauh dengan sikap cuek, seolah-olah sudah kehilangan minat. Memang dasar cuma datang karena makanan saja.
Kami berdua menghela napas lega bersamaan, "Huh..."
"Domba ini... rakus banget kalau soal makan..."
"Padahal setiap hari dikasih makan sama banyak orang," kataku.
Saat aku dan Toiro berbincang, terdengar suara Mayuko dari samping.
"Seperti yang diharapkan dari Toiron dan Mazono-cchi, kompak banget! Rasanya seperti kerja sama pertama pasangan baru! Pemandangan yang luar biasa bagus!"
Aku menoleh, dan melihat Mayuko sedang berjongkok memberi makan domba, sambil menatap kami dengan mata penuh kekaguman.
"Mayu-chan!? Perhatikan depanmu!"
Toiro berteriak dengan kaget.
"Depan? Hm? Oh, domba ya?"
Domba yang baru saja selesai makan mengangkat kepalanya dengan santai. Mayuko, dengan penuh percaya diri, menepuk-nepuk kepala domba itu sambil berkata,
"Enak ya makannya?"
"Kamu nggak takut, Mayu-chan?"
"Nggak tuh. Aku sering ke peternakan atau kebun binatang. Di rumah, adik-adikku masih SD, jadi kalau liburan sering ke tempat-tempat kayak gitu."
"Begitu ya, pantes saja..."
"Ya, tapi Toiro yang terlalu ketakutan, nih. Lihat deh ke sana,"
Mayuko mengacungkan ibu jarinya dan menunjuk ke belakang.
Di sana, Sarugaya dengan santai menaruh makanan di tangan yang dikepalkan dan langsung memberikannya ke domba.
"Oke, oke, anak baik! Wah, kamu tertarik sama feromonku, ya? Kamu pasti domba betina, nih! Ayo sini, biar aku elus lagi."
Dia mengusap-usap kepala domba itu dengan kedua tangannya.
...Apa-apaan sih orang ini? Apa dia mantan pengembala di kehidupan sebelumnya?
Semua pengunjung di sekitar memandanginya, termasuk anak-anak... Tapi, ini jelas hal yang tidak boleh ditiru, deh.
"Sarugaya-kun... keren banget..."
Mata Mayuko kini beralih ke arah Sarugaya, terlihat terpesona. Hei, jangan-jangan dia sudah mulai mengagumi Sarugaya secara berlebihan?
Toiro kemudian memanggil Mayuko,
"Mayu-chan! Gimana kalau kamu coba tiru caraku tadi?"
"Eh? Meniru?"
"Iya, iya. Coba kamu bilang ke Sarugaya-kun, 'Aku sudah coba kasih makan, tapi masih takut jadi sisanya nggak berani kasih sendiri~' gitu," kata Toiro sambil tersenyum.
Oh, jadi rencananya adalah membuat Mayuko juga merasakan pengalaman "kerja sama pertama pasangan baru" yang dia sebut tadi. Mungkin ini bisa jadi kesempatan buat mendekatkan mereka.
Tapi Mayuko menggeleng keras.
"Ti-tidak, nggak bisa. Ka-kalau..."
"Kalau apa?"
"Ka-kalau tangannya... tangan kita bisa saling kena, kan..."
"Itu bagus, kan! Ayo, maju saja!"
"Eeh!?"
Didorong pelan dari belakang oleh Toiro, Mayuko melangkah maju dengan ragu-ragu. Namun, tak lama kemudian, dia memutuskan untuk berani dan langsung menghadap ke Sarugaya.
"Sa-sarugaya-kun!"
"Ada apa, Mayuko-chan?"
"A-aku... mau minta tolong kasih makan bareng. Soalnya aku takut... sama dombanya."
"Oh, kalau itu sih gampang, serahkan saja padaku. Ayo, kita pilih yang mana nih?"
Di bawah arahan Sarugaya, Mayuko maju ke depan, dan seekor domba putih langsung berdiri di depan mereka berdua.
"Nih, pegang bagian sini,"
Mayuko menggenggam sekop erat-erat dan menunjuk bagian ujung yang masih kosong dengan tangannya yang gemetar.
"Begini, kan? Tapi kalau kamu takut, mungkin lebih baik aku pegang bagian depannya?"
"Be-benarkah? O-oke, pegang saja, ya."
"Tapi cuma menyentuh sedikit dari belakang, nggak terasa seperti benar-benar kasih makan, tahu!"
"A-apa? Begini maksudnya?"
Akhirnya, mereka berdua memegang sekop dan mulai memberi makan domba itu. Begitu makanan habis, Sarugaya melepaskan pegangannya, dan Mayuko menarik napas lega. Tapi kemudian dia tiba-tiba melihat ke arah Sarugaya dengan wajah terkejut.
"Ma-maaf ya. Karena dombanya tadi, tanganku sedikit kena tanganmu..."
"Tidak, tidak masalah sama sekali. Wah, tadi dombanya makannya lahap sekali, ya!"
Mayuko berlari kecil kembali ke tempat Toiro, yang kemudian mengelus kepala Mayuko, seperti ingin memuji keberaniannya.
Sementara itu, Sarugaya dengan langkah cepat menghampiriku.
"Bro, bro. Mayuko-chan itu... manis banget, ya," katanya dengan mata berbinar.
Entah ini hanya kebetulan yang menguntungkan atau hikmah dari insiden kecil tadi, tapi sepertinya tindakan kami secara tak sengaja berhasil membantu Mayuko dalam kisah cintanya.
☆
Setelah itu, kami menghabiskan waktu memberi makan berbagai hewan, mulai dari domba, kambing, kelinci, hingga yang agak jarang ditemui seperti kanguru. Kami menikmati interaksi dengan banyak hewan.
Total pembelian makanan hewan: 100 yen per kali x 7 kali. Jadi, kami sudah menghabiskan 700 yen untuk memberi makan mereka... Ya, kalau dipikir-pikir, cukup royal juga kami hari ini. Tapi kalau sudah sebanyak itu, rasanya kami layak dapat kesempatan buat mengelus mereka lebih banyak.
Sayangnya, kebanyakan makanan tadi seperti direbut paksa saja... terutama oleh domba-domba itu.
Tapi setidaknya, Mayuko tidak mencurigai apa pun, dan kami berhasil menjalani semuanya dengan lancar.
Insiden terakhir terjadi di kandang kapibara.
"Kapibaranya nggak lembut!"
Di kandang kapibara, kami boleh menyentuh hewan itu. Saat aku mengelus punggung kapibara setelah memberinya makan, aku terkejut dan berseru keras. Rambut kapibara itu ternyata tebal dan kasar, terasa kaku seperti duri. Padahal, di foto-foto mereka terlihat berbulu lebat dan lembut, jadi aku cukup kaget.
"Ini lembut yang gimana sih?"
Masaichi juga mencoba menyentuhnya dan tampak sama terkejutnya, lalu bertanya seperti itu.
"Minus seratus poin untuk mofumofu! Ini setara sama sikat kawat!"
"Yah, meski begitu, aku paham sih perasaanmu..."
Meskipun rambut kapibara tidak selembut yang aku bayangkan, saat aku mengelus punggungnya, kapibara itu tampak senang dan memejamkan matanya. Meski tidak berbulu halus, tetap saja menggemaskan.
Di papan informasi, dijelaskan bahwa kapibara adalah hewan yang hidup di dekat air, dan bulu mereka didesain khusus agar bisa mengering cepat dengan hanya mengibas, karena rambutnya jarang dan punya sirkulasi udara yang baik.
Setelah selesai melihat-lihat semua hewan, waktu sudah menunjukkan lewat tengah hari. Area hewan di sini cukup luas, tapi ternyata di taman 'Hana to Doubutsu Fureai Farm' ini juga ada banyak fasilitas untuk makan dan bermain.
Kami melihat peta taman dan menuju ke food court. Di sepanjang jalan, terlihat berbagai atraksi seperti permainan petualangan, seluncuran rumput dengan kereta luncur, hingga panahan dengan hadiah yang menarik.
Sambil berjalan, aku bergumam pelan,
"Apa kita bisa bantu mereka lagi, ya...?"
"Hm?"
Masaichi, yang mendengarnya, menoleh ke arahku.
"Ah, maksudku Mayu-chan dan Sarugaya-kun. Mereka tadi terlihat cukup dekat, kan? Jadi aku pikir, mungkin kita bisa bantu mereka lebih sedikit lagi. Soalnya tadi, aku juga terlalu fokus pada momen romantis kita sendiri."
"Benar juga. Memang tadi mereka terlihat cukup mesra," jawab Masaichi sambil mengangguk, teringat kejadian saat memberi makan domba bersama.
"Jadi, kamu mau bantu, kan, Masaichi?"
"Ya, tentu saja."
"Kalau begitu, kita coba naik yang itu, yuk," kataku sambil menunjuk satu atraksi yang sudah aku incar dari tadi.
Kami melewati food court dan berjalan lebih jauh ke depan, menuju sebuah area sebelum memasuki hutan kecil. Di sana, berdiri sebuah atraksi—
"Ke-keren banget... Bianglala?"
"Ya!" Aku mengangguk besar.
Meski lebih kecil dibanding yang ada di taman hiburan besar, Bianglala ini dibangun di puncak bukit, jadi pemandangannya pasti bagus.
"Gimana? Mau naik, nggak?" tanyaku antusias.
"Ini kan karena kamu yang mau naik..."
"Tidak kok! Ini buat mereka, lho. Gimana menurutmu?"
"Ya, kurasa kalau itu sih..."
"Baiklah!"
Setelah Masaichi mengizinkan, aku segera memanggil Mayu-chan dan Sarugaya-kun.
"Hei, bagaimana kalau kita naik itu? Kita bisa bagi dua-dua."
Mayu-chan menoleh, mengikuti arah yang aku tunjuk seperti Masaichi tadi.
"K-k-keren, Bianglala? To-toiro, bukankah ini agak terlalu..."
"Mayu-chan, aku tahu apa yang kamu pikirkan. Tapi ini kesempatan, lho!"
"Tuan Masaichi, menurutku ini agak terlalu tinggi standarnya. Di anime atau manga, Bianglala itu pasti punya adegan penting di dalamnya. Bahkan di video dewasa, jarang sekali tidak ada apa-apa terjadi di dalam Bianglala—"
"Hei, stop sampai di situ," potong Masaichi, menyelamatkan suasana sebelum Sarugaya-kun membuat semuanya canggung.
Masaichi kemudian menambahkan,
"Bagaimana kalau kita naik duluan? Sekarang, food court pasti lagi ramai-ramainya."
Strategi yang bagus dari Masaichi.
"Ka-kalau Sarugaya-kun setuju sih..." Mayu-chan menoleh dengan malu-malu ke arah Sarugaya-kun.
"A-aku? Aku malah ingin naik. Bersama Mayu-chan, di Bianglala."
"Baiklah! Kalau begitu, berangkat!"
Aku pun memimpin jalan ke arah Bianglala dengan semangat.
Dalam double date kali ini, sepertinya Mayu-chan dan Sarugaya-kun semakin dekat satu sama lain. Bahkan, Sarugaya-kun mulai menyadari perbedaan imut pada Mayu-chan dan sepertinya memiliki kesan yang baik padanya. Mungkin karena mereka masih belum saling mengenal sama sekali, jadi masih ada ruang untuk berkembang di antara mereka...
Sekarang, memilih untuk naik bianglala ini tidak hanya untuk perkembangan hubungan mereka, tetapi juga untuk diriku sendiri. Naik bianglala saat kencan, tentu saja itu terlihat sangat pasangan, kan? Aku juga ingin merasakan sedikit suasana seperti itu bersama Masaichi.
Setelah berjalan sekitar tiga menit, kami berlima akhirnya sampai di kaki bianglala. Sepertinya Sarugaya-kun sudah mengambil keputusan, karena dia mulai mengantar Mayu-chan untuk naik gondola terlebih dahulu.
"Perhatikan langkahmu di tangga. Kalau sampai jatuh, aku akan jadi alas dengan mempertaruhkan nyawaku."
"T-Tidak boleh. Aku berat, tahu."
"Tidak apa-apa. Itu hadiah untukku."
"Hadiah!?"
Sambil bercanda, mereka pun naik ke gondola. Kami mengikuti mereka, menaiki tangga sesuai instruksi petugas dan melangkah masuk ke gondola yang datang berikutnya.
Pertama, Masaichi masuk. Ada dua kursi yang bisa menampung dua orang, saling berhadapan. Setelah Masaichi duduk, aku masuk dan duduk tepat di sebelahnya, di sisi kanan Masaichi yang sudah duduk terlebih dahulu.
"Hah? Eh, tunggu."
Masaichi terkejut.
"Hm?" Aku sedikit memiringkan kepala, pura-pura bingung.
"Mengapa duduk di sebelahku?"
"Ya tentu saja, karena kita pasangan."
Aku tersenyum, dan Masaichi langsung merasa canggung, mencoba untuk duduk lebih tegak. Sesekali dia melirik ke luar jendela belakang, memastikan bahwa gondola Mayu-chan dan Sarugaya-kun tidak bisa melihat kami.
"Y-ya, sekarang tidak ada yang melihat. Posisi kita juga tidak bisa dilihat dari dua orang itu."
Biasanya, aku akan mencebikkan bibir seperti sebelumnya, tapi kali ini aku punya rencana lain. Bianglala mulai bergerak dengan lancar, dan sepertinya sudah mendekati pukul sembilan.
"Eh, Masaichi, ini cukup tinggi, ya. Seram banget," kataku sambil melirik keluar jendela, lalu perlahan-lahan merapatkan tubuhku ke lengannya.
Hahaha. Sekarang kami pasti terlihat seperti pasangan yang alami, dengan jarak antara kekasih yang pas. Jika bisa, aku ingin merangkai lenganku dengan lengannya, atau bahkan bersandar di bahunya... Aku pernah beberapa kali melihat pasangan yang duduk seperti itu di jalan.
Aku tidak bisa hanya berdiam diri. Aku langsung mencoba untuk bertindak. Aku mengamati ekspresi Masaichi.
Saat itu, aku sadar ada yang aneh dengan dirinya.
"...Ada apa?"
Masaichi terlihat kaku dan terdiam, matanya kosong menatap suatu tempat di dalam gondola. Keringat muncul di dahinya.
"Ma-maaf, apa kamu tidak suka?" tanyaku, melepaskan tanganku dari lengannya. Masaichi segera menggelengkan kepala.
"T-tidak, bukan itu..."
"Benarkah? Tapi... kamu terlihat tidak enak badan. Apa ada yang sakit?"
"Tidak, bukan seperti itu..."
Hmmm, jelas dia terlihat tidak enak badan.
"Kamu tidak perlu memaksakan diri. Eh, lihat, pemandangannya luar biasa. Kita sudah hampir sampai di puncak!"
Aku mencoba mengalihkan perhatiannya, meskipun aku sedikit bingung.
"Ah, iya..." Masaichi mengangguk, meskipun entah kenapa dia sama sekali tidak berniat melihat ke luar jendela.
"Hei, lihat! Pemandangannya sangat jauh, kan? Indah!"
"Ah..."
Ternyata, Masaichi tidak melihat ke luar.
"Eh... Masaichi, takut ya?"
Aku tanpa sengaja bertanya begitu.
"T-Tidak mungkin!"
Masaichi buru-buru menoleh padaku dan membantah. Terkejut dengan reaksi itu, aku langsung meletakkan tangan di kursi, dan karena itu, gondola bergoyang sedikit.
"Waah, h-hati-hati!"
Masaichi terkejut, tubuh bagian atasnya bergoyang seolah kehilangan keseimbangan meskipun sedang duduk. Tangannya beberapa kali terjulur ke udara sebelum akhirnya meraih bahuku.
"...Takut ya?"
Aku tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutku saat menatap Masaichi.
— Tidak mungkin, kan...
Apakah dia takut dengan bianglala, atau dengan ketinggian?
Itu bukan soal terkejut atau tidak, tapi kenyataan bahwa aku tidak pernah tahu Masaichi punya kelemahan seperti itu membuatku terkejut.
"Tidak takut, sih. Cuma... aku nggak suka tempat tinggi."
"Ah, itu sih hampir sama aja..."
"Namanya fobia ketinggian."
"Kenapa kamu malah bikin istilah sendiri!? Eh, sejak kapan? Aku nggak tahu sama sekali!"
Aku menoleh ke arah Masaichi, bertanya.
"Tunggu, jangan gerak! Kalau kamu gerak, gondolanya bisa goyang...
Eh, sebenarnya sih, aku jarang banget naik tempat tinggi. Makanya baru sadar. Waktu perjalanan sekolah SMP, aku naik ke menara observasi yang terkenal, terus pas lihat pemandangan, tiba-tiba kakinya lemas, merasa mual, dan muntah di toilet. Sejak itu, setiap kali lihat pemandangan dari tempat tinggi, aku merasa nggak enak. Tapi, dalam kehidupan sehari-hari nggak masalah, dan aku juga nggak pernah mencoba untuk naik ke tempat tinggi lagi. Tapi kayaknya ini beneran deh, fobia ketinggian."
Masaichi berbicara dengan canggung sambil menggaruk pipinya, seakan merasa malu.
"Begitu ya..."
Aku sama sekali nggak tahu soal ini.
"Sejujurnya, aku nggak pikir bakal ada kesempatan naik tempat tinggi, dan itu kan ceritanya agak menjijikan, jadi nggak pernah aku ceritain sebelumnya..."
Masaichi akhirnya menjelaskan.
"Tapi kenapa waktu naik bianglala ini, kamu nggak menolak?"
"Ya... karena Toiro yang mikirin ini buat Mayuko dan Sarugaya."
"Ah, gitu..."
Kalau dia menolaknya, aku pasti ingin bilang "sebaiknya jangan," tapi aku menahannya di dalam hati. Masaichi berusaha keras demi aku.
"Juga, bianglala ini terlihat kecil, jadi aku pikir pasti aman."
"Jadi kamu salah perkiraan?"
"Pokoknya kalau sudah tinggi, rasanya sama aja. Tinggi itu tetap tinggi."
Meskipun keringat dingin muncul di dahinya, Masaichi tersenyum lebar. Melihat ekspresinya, aku merasa sedikit tenang.
"Begitu ya... Kalau gitu, aku bakal jagain kamu sampai bawah."
Aku berkata sambil meraih lengan Masaichi lagi. Lalu, aku mengulurkan tangan satunya dan dengan lembut menyentuh kepalanya.
"Semangat ya, terima kasih."
Masaichi hanya bisa berkata, "H-Hey," tapi dia tidak menepis atau menghindar. Sepertinya dia takut gondola goyang. Aku sengaja tidak memberi tahu kalau kita sudah cukup dekat dengan tanah. Meskipun sedikit merasa bersalah, sambil mendekat ke Masaichi, aku tidak bisa menahan senyum kecil.
— Sebenarnya, aku merasa sedikit senang.
Ternyata masih ada hal-hal yang belum kami ketahui satu sama lain.
Awalnya aku terkejut, tapi sekarang aku bisa mengenal sisi lain dari Masaichi dan melihatnya dengan cara yang baru. Meskipun kami belum seperti pasangan yang baru saja pacaran, aku merasa kami masih punya banyak ruang untuk berkembang...
Akhirnya, gondola kami tiba di pintu keluar. Aku melihat Mayu-chan dan yang lainnya di luar jendela, dan tanpa sadar, aku segera melepaskan tangan dari kepala Masaichi.
Kenapa ya? Padahal aku bisa saja melanjutkan seperti tadi.
Apa yang kami lakukan tadi bukanlah gerakan khas pasangan yang sedang dimadu kasih yang sengaja dipamerkan pada orang lain. Aku sepertinya membuat keputusan cepat di dalam pikiranku.
Begitulah, meskipun ada banyak kejadian, kami berhasil melewati double date pertama kami di peternakan ini.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.