Chapter
4
Dunia
ini sedang berada dalam demam festival sekolah
Tiga hari sebelum festival sekolah, kelas 1-1 yang sebelumnya santai dibandingkan dengan kelas lain mulai terlihat sedikit sibuk. Mereka yang sebelumnya lebih memprioritaskan kegiatan klub pun mulai berkumpul satu per satu, dan semua mulai bekerja untuk meningkatkan kualitas pameran di detik-detik terakhir.
Ngomong-ngomong, apakah tidak ada yang mau memuji aku, yang sudah setiap hari membantu persiapan sampai sejauh ini? Yah, karena aku yang mengusulkan ide ini, aku merasa bertanggung jawab dan memilih untuk ikut turun tangan. Hei, panitia, apakah tidak ada semacam bonus login?
Untuk cabang-cabang Guinness Record yang kami siapkan, akhirnya kami mempersempitnya menjadi sepuluh cabang. Saat ini, anak-anak klub olahraga sedang mencoba mencetak rekor secara langsung, sekaligus mengecek apakah ada kendala selama pengukuran. Ini adalah tahap final check.
Sebenarnya, alasan aku mengusulkan tema Guinness Record adalah supaya teman-teman bisa menikmatinya selama persiapan seperti ini. Tapi, orang yang paling ingin aku ajak bermain, Toiro-san, justru asyik tertawa bersama teman-temannya sambil menggambar coretan di papan tulis belakang kelas...
Ngomong-ngomong, lettering besar bertuliskan "Festival Meihoku" di papan tulis belakang itu, itu sih bukan level coretan lagi. Siapa yang menggambarnya? Kenapa rasanya selalu ada satu orang di kelas yang jago banget bikin lettering seperti itu?
Saat aku berdiri memandanginya dengan linglung, seseorang menepuk pundakku dari belakang. Ketika aku menoleh, ternyata itu Sarugaya, yang menunjuk ke arah lorong dengan ibu jarinya.
"Ada apa?" tanyaku sambil keluar ke lorong.
"Hei, Tuan Masaichi, lagi senggang nggak?"
"Uh... dengan sangat menyesal... kelihatannya aku lagi senggang."
"Kenapa jawabannya kayak nyesel begitu?"
Karena jelas, pertanyaan seperti itu adalah tanda-tanda bakal dimintai tolong melakukan sesuatu yang merepotkan.
"Yah, kebetulan banget. Bisa pinjam waktumu yang luang itu sebentar saja?"
Tuh kan...
"Tuan, coba lihat itu."
Aku sebenarnya mau bilang kalau aku nggak punya waktu luang karena sibuk memikirkan berbagai hal untuk keberhasilan festival kelas kami, tapi akhirnya aku malas mencari alasan. Aku hanya berdoa agar tidak diajak melakukan hal yang aneh, lalu melihat ke arah yang ditunjuk Sarugaya dengan dagunya.
"…Papan nama?"
Di situ ada papan kecil dari kardus bertuliskan "Planetarium Kelas" yang bersandar di dinding lorong. Sepertinya itu alat promosi buatan kelas sebelah untuk mengundang pengunjung ke pameran mereka.
"Tepat sekali. Memang hebat kau, Tuan Masaichi, cepat paham."
"Padahal aku belum paham apa-apa."
"Masa sih? Intinya sederhana. Kelas kita nggak punya papan nama seperti itu."
"Ah, memang benar."
Kami memang sudah menyiapkan papan nama yang dipasang di depan kelas, tapi kami tidak membuat papan kecil yang bisa dibawa seperti itu. Karena aku ikut membantu persiapan setiap hari setelah jam pelajaran, aku cukup tahu apa saja yang sudah dikerjakan kelas kami.
"Kelas 1-1 kita kan berada di sudut kanan atas gedung sekolah, di balik tangga, jadi bukan lokasi yang dilewati orang untuk menuju kelas lain. Dengan kata lain, sulit untuk menarik banyak pengunjung. Panitia memang akan memasang petunjuk jalur pengunjung, tapi kemungkinan besar pengunjung akan lebih banyak menuju pameran di tempat-tempat yang lebih ramai."
"Jadi intinya, papan nama itu justru penting untuk kita, ya?"
"Kukukuku. Akhirnya kau menyadari situasi genting yang akan menentukan nasib kelas kita. Dan nasib itu tergantung pada tangan kanan kita ini—"
"Oooh... sindrom anak SMA telat datang..."
Menurutku ini bukan masalah yang sebesar itu... tapi Sarugaya tiba-tiba menggelengkan kepalanya dengan serius. Lalu, dengan sorot mata yang entah kenapa tampak lembut, ia memandang ke arah dalam kelas.
"Akhirnya semua orang mulai bersatu padu. Aku punya firasat, sesuatu yang hebat akan tercipta. Aku ingin sebanyak mungkin orang bisa melihat karya luar biasa yang sudah kita siapkan ini."
"Ya, kalau dipikir-pikir memang begitu..."
Semua orang akhirnya berkumpul untuk persiapan, dan suasana kelas mulai hidup. Dengan waktu yang tinggal sedikit menjelang festival, semangat ini harus terus dijaga.
"Maka dari itu, Tuan, bagaimana kalau kita berdua menangani pembuatan papan nama? Tapi aku harus bolak-balik ke panitia nanti."
"Ah, kalau itu sih..."
Jujur saja, aku memang sedang menganggur mencari kerjaan. Kalau ada tugas yang harus dikerjakan, mungkin itu memang tugasku.
"Kau memang hebat, Tuan! Rekan seperjuangan!"
"Yah, ini hanya pekerjaan sih. Kalau begitu, mari kita mulai pelan-pelan."
"Maaf, Tuan. Aku benar-benar merasa bersalah, tapi aku harus ke panitia sekarang... Bisakah kau mulai dulu menyiapkan bahan-bahannya? Aku percaya padamu, rekan seperjuangan!"
"Dalam lima detik, aku langsung dikhianati oleh rekan seperjuangan!? Ya ampun..."
Aku sampai membuat lelucon receh karena bingung. Tapi, mau bagaimana lagi. Akhirnya, aku sendirian memulai perjalanan mencari kardus.
*
Aku sama sekali tidak tahu, tapi ternyata dunia sedang dilanda rush festival sekolah. SMP dan SMA di sekitar sini juga sedang sibuk mempersiapkan festival mereka, dan itu membuat kardus bekas di supermarket menjadi barang rebutan. Aku sudah mencoba dua toko di dekat sekolah, tapi semua kardus bekas sudah habis. Di toko ketiga, seorang pegawai yang ramah memberitahuku bahwa para siswa dari sekolah lain sudah mengambil semua kardus terlebih dahulu.
"Serius...?"
Aku keluar dari toko sambil menghela napas. Tidak kusangka dunia sedang mengalami krisis kardus seperti ini. Dan yang lebih mengejutkan, aku ikut terseret dalam perebutan ini. Rasanya mungkin seperti karakter utama dalam manga yang tiba-tiba dipaksa ikut dalam death game. (Walau mungkin beda.) Dan biasanya, karakter seperti itu diam-diam memiliki kemampuan spesial. Keren, sih.
Tapi tanpa bahan, aku tidak bisa memulai apa-apa. Mau tak mau, aku memutuskan untuk berjalan lebih jauh dari sekolah, mencari toko lain. Matahari mulai terbenam, tapi suasana masih cukup terang. Aku melihat jam di ponselku, lalu memantapkan hati.
Setelah melewati stasiun terdekat, aku terus berjalan menuju stasiun berikutnya. Di sana, aku melihat papan nama supermarket yang tampak sedikit lusuh. Melihat jarak yang masih bisa dijangkau dengan jalan kaki untuk membawa kardus nanti, kurasa ini adalah batas terakhirku.
Aku mempercepat langkah, bersiap untuk masuk ke toko itu... tapi kemudian, di depan supermarket, mataku tertuju pada bangunan bercahaya mencolok.
Sebuah arcade.
Detak jantungku terasa lebih cepat. Ternyata ada arcade di sini. Setelah bertemu, aku tahu bahwa takdir memanggilku untuk mampir. Yah, sebentar saja tidak apa-apa, kan?
Aku meyakinkan diri bahwa ini adalah survei lapangan, untuk mengetahui apa saja mesin permainan di tempat ini. Dengan alasan itu, aku melangkah masuk ke arcade.
Seperti yang terlihat dari luar, tempat ini cukup kecil. Tidak banyak mesin prize game seperti UFO catcher. Sebagian besar adalah permainan fighting, rhythm, game bertema sejarah, dan beberapa sudut untuk permainan seperti balap kuda atau mahjong. Beberapa permainan bahkan cukup retro.
Sepertinya aku menemukan tempat yang lumayan tersembunyi.
Saat aku berkeliling arcade dengan antusias, mataku tertuju pada seseorang yang sedang bermain di mesin game fighting. Suara click-clack tombolnya terdengar begitu cepat dan memukau, seakan melukis gerakan indah dengan jemarinya.
...Hah?
Aku tanpa sadar menatap pria itu dua kali.
Dia mengenakan seragam yang sama denganku, seragam SMA Meihoku.
—Kasukabe?
Aku terkejut. Kenapa dia di sini? Tapi pertanyaan itu segera sirna ketika perhatianku tertuju pada caranya bermain.
Meskipun aku jarang memainkan game fighting, jelas terlihat bahwa kemampuannya luar biasa. Gerak jarinya cepat dan presisi, tanpa panik menggerakkan stik atau memukul tombol sembarangan. Melirik ke layar, aku melihat health bar-nya bahkan tak berkurang sedikit pun.
Jelas, Kasukabe adalah seorang gamer serius. Melihat bagaimana dia pernah menunjukkan keahliannya dalam game tembak-tembakan sebelumnya, ini bukan kejutan. Datang sendirian ke arcade juga menunjukkan betapa sukanya dia pada dunia game.
Tanpa terasa, aku terpaku menonton hingga permainan selesai. Hasilnya? Kemenangan telak bagi Kasukabe. Ia merenggangkan bahu dan memutar pinggang, tampak santai. Saat itu,
"Ah..."
Mata kami bertemu. Dia juga langsung mengenaliku, terlihat dari ekspresi terkejutnya.
Aku mengangguk kecil sebagai sapaan, dan dia membalasnya dengan melambai ringan sambil tersenyum santai. Tapi yang membuatku bingung, dia terus menoleh sambil berjalan pergi....Hei, bukannya kita sudah saling menyapa? Kenapa dia harus membuat ini seperti adegan film remaja populer?
Dengan suara bising game di sekitar, mustahil untuk berbicara dari jarak ini. Mau tak mau, aku berjalan mendekat. Kebetulan, aku juga punya beberapa hal yang ingin kutanyakan padanya.
"Jadi kau yang menatapku penuh semangat dari belakang, ya?" ucapnya begitu aku sampai.
"Dengan kemampuanmu, kupikir kau sudah terbiasa jadi pusat perhatian."
"Ya, mungkin begitu. Kau juga main game ini?" tanyanya sambil mengarahkan dagunya ke mesin game yang baru saja ia mainkan.
"Sayangnya, tidak. Game fighting bukan gayaku. Lihat saja, aku ini pendukung perdamaian," kataku santai.
"Perdamaian, ya? Aku masih ingat bagaimana matamu bersinar penuh semangat saat kita bermain air hockey. Aku pikir ini kesempatan bagus untuk membalas kekalahan waktu itu."
Game berikutnya dimulai, tapi dia tetap berbicara denganku sambil bermain. Meski begitu, sepertinya dia tidak membutuhkan banyak konsentrasi. Tangannya bergerak lincah, menghabisi lawannya dengan kombo panjang yang terlihat mudah.
"Lalu, kenapa kau ada di sini?" tanyanya tanpa melepas pandangan dari layar.
"Itu justru pertanyaanku. Aku sedang mencari kardus untuk kelas. Semua toko di dekat sekolah sudah habis."
"Begitu. Mirip denganku. Aku juga keluar dengan alasan mencari kardus... meskipun sebenarnya itu hanya alasan untuk meninggalkan kelas."
"Alasan?" tanyaku, penasaran.
"Kelasku sedang mempersiapkan drama untuk festival. Kami dibagi jadi dua kelompok: pemain dan kru. Aku termasuk pemain, jadi setelah latihan selesai, aku tidak punya banyak yang bisa dilakukan. Di sisi lain, kru juga sudah cukup banyak orang."
"Jadi kau kabur, ya?"
"Langsung ke intinya, ya. Tidak, tidak. Aku hanya berusaha agar tidak mengganggu mereka," katanya sambil tertawa kecil. Sorot matanya memantulkan cahaya dari layar game yang berkedip-kedip.
"Memilih tempat jauh dari sekolah seperti ini, apakah karena rasa bersalah?"
"Aku sudah pernah melihat arcade ini di internet, dan ingin mencobanya sejak lama. Tempat ini punya koleksi game lama yang langka. Jarang ada arcade seperti ini sekarang."
"Oh, aku setuju. Game retro dan suasana seperti ini memang unik."
"Kau mengerti juga, ya? Dan kalau ini dianggap kabur, berarti kau juga bersalah, kan?"
Dia benar. Dengan mampir ke arcade saat seharusnya mencari kardus, aku tak bisa menyangkal diriku juga melanggar tugas. Tindakan Kasukabe mungkin mencurigakan, tapi aku sama sekali tak berniat mengusutnya, dan sepertinya dia pun tak berniat melakukan itu padaku. Setelah kembali mengakhiri pertarungan dengan kemenangan telak, Kasukabe berbalik sambil tersenyum.
"Ngomong-ngomong, ini pas sekali. Aku sebenarnya ingin berbicara denganmu," katanya.
"Denganku?" tanyaku, bingung.
Dia mengangguk dan berdiri dari tempatnya. Sepertinya gamenya sudah selesai.
"Ayo, kita kembali ke tugas masing-masing," ujarnya sambil mulai berjalan menuju pintu keluar.
Nada bicaranya seperti seorang pekerja kantoran yang kembali ke meja kerja setelah rehat. Tapi "pekerjaan" yang dimaksud di sini hanyalah mengumpulkan kardus bekas, tentu saja.
Tampaknya dia ingin berbicara sambil jalan. Aku pun memutuskan mengikutinya keluar, mengingat aku juga punya pertanyaan untuknya, dan tujuan kami sebenarnya sama.
Namun, aku jadi penasaran. Apa yang sebenarnya ingin Kasukabe bicarakan denganku?
Saat keluar dari arcade, di sudut pandangku, aku sempat melihat dua
pria dari sekolah lain melintas. Tapi tak terlalu kuperhatikan. Namun tiba-tiba,
"Hei! Tunggu, kau!"
Suara berat yang terdengar kasar dan penuh tekanan menyambar punggungku.
Aku refleks menoleh. Itu dua pria dengan penampilan Yankee. Salah satunya berambut pirang hampir botak, sementara yang lain berambut panjang dengan warna cokelat terang. Keduanya mengenakan seragam sekolah, tapi memakainya dengan sangat berantakan. Telinga mereka dihiasi anting, dan rantai kalung mereka berkilauan di atas dada yang terbuka.
Apa ini? Apa aku melakukan sesuatu yang salah? Atau mereka cuma cari masalah?
Ditatap seperti ini bukan masalah besar. Kakakku, Serina, sering menatapku dengan sorot mata yang jauh lebih tajam. Bahkan aku sudah terbiasa berurusan dengan Yankee yang kadang mendekati rumah untuk bertemu dengannya.
Tapi kalau mereka mulai menggunakan kekerasan, itu masalah lain.
Aku ini pendukung perdamaian, ingat? Prinsip "lari itu menang" selalu kupahami—meski kalah pun tak masalah, asal aku bisa kabur dengan selamat.
Aku melirik Kasukabe yang berdiri sedikit di belakangku. Dia tampak terpaku, memandang kedua Yankee itu dengan ekspresi kosong. Reaksinya membuatku curiga. Saat aku kembali melihat Yankee itu, jelas bahwa pandangan mereka tertuju langsung pada Kasukabe.
"Hei, kau Kasukabe, kan?" tanya si pirang dengan nada menyindir.
Kasukabe tetap diam.
"Berubah banget, ya. Sekilas aku nggak ngenalin. Apa kabar? Gaya baru, ya? Lagi sok keren?" sambung si rambut panjang.
Kasukabe tersenyum kaku, seperti mencoba menyesuaikan diri dengan situasi.
"Ah, ya? Kurasa aku nggak banyak berubah..."
"Tunggu, itu seragam SMA Meihoku, kan? Ngapain kau sekolah di sana? Jauh banget, kan?" potong si pirang tanpa memberi Kasukabe kesempatan bicara.
"Haha, apa ini? Mau buang masa lalu, ya? Sok penting banget," ejek si rambut panjang sambil mendekati Kasukabe. Dengan dada membusung, dia mendekatkan tubuhnya, menatap wajah Kasukabe dari atas.
"Hei, kita mau ke arcade lagi, nih. Pinjami uang dong, lama nggak ketemu. Tiga juta," katanya dengan santai, tapi nada mengintimidasi.
Kasukabe tampak tak nyaman, tubuhnya sedikit menciut. Dia mengalihkan pandangannya sambil menyeringai canggung.
"Ha-ha, aku nggak bawa uang segitu banyak. Beneran."
"Ah? Kalau nggak, gimana dong?"
"Yah, aku juga nggak tahu harus gimana..."
"APA?" Dengan kasar, si rambut panjang meraih kerah seragam Kasukabe.
Aku sebenarnya berniat hanya mengamati situasi, tapi tampaknya aku harus melakukan sesuatu. Saat aku baru hendak melangkah, si pirang melangkah ke arah temannya.
"Sudahlah. Kalau dia ngadu lagi, kita bisa kena masalah. Tinggalin aja."
Rambut pirang itu meraih pergelangan tangan si rambut panjang, menariknya menjauh dari Kasukabe. Dengan klik lidah penuh kekesalan, si rambut panjang mengikuti langkah si pirang, masuk ke dalam game center.
Begitu pintu otomatis tertutup, kebisingan dari dalam gedung teredam, membuat suasana di luar mendadak sunyi.
Aku menoleh ke arah Kasukabe. Saat hendak menanyakan keadaannya, dia mengangkat tangan dengan santai, seolah mengatakan semuanya baik-baik saja, lalu mulai merapikan kerahnya yang berantakan sambil berjalan. Aku mengikuti di belakangnya.
Hening menyelimuti kami.
Entah kenapa, aku bisa merasakan bahwa Kasukabe memiliki hubungan dengan para yankee tadi—kemungkinan dia pernah dibully mereka.
Itu sungguh mengejutkan.
Dari sudut pandang Kasukabe, mungkin ini seperti rahasianya terbongkar. Situasi ini membuatku sulit memulai percakapan.
Ketegangan itu terputus ketika kami sampai di tempat parkir supermarket. Kasukabe berhenti melangkah, kemudian membuka suara.
"…Hal yang barusan, kamu bakal bilang ke Toiro-chan?"
Pertanyaan itu tak terduga. Sama sekali tidak ada niatku untuk melakukannya. Apakah dia khawatir Toiro akan menjauh darinya jika mengetahui masa lalunya sebagai korban perundungan?
"Tidak, tentu saja tidak."
Jawabanku membuatnya melanjutkan, "Tidak?" dengan nada penasaran.
"Aku tidak akan memberitahu. Dari caramu bertanya, sepertinya kamu memang tidak ingin itu diketahui, kan? Kalau begitu, aku tidak akan bilang."
Bagaimanapun, Toiro bukan tipe orang yang akan menilai Kasukabe hanya berdasarkan sesuatu seperti itu. Namun, aku juga tidak melihat alasan untuk mengungkapkan sesuatu yang ingin dia sembunyikan.
Meski begitu, kata-kataku sepertinya menyulut kemarahannya.
"Oh, begitu? Itu karena kamu merasa punya kelebihan sebagai pacarnya Toiro-chan, ya?"
Dengan tangan terlipat dan tatapan menyipit, dia menatapku tajam.
"Tidak, sama sekali bukan begitu."
"Enak sekali, ya. Punya gelar sebagai pacar gadis tercantik di sekolah. Pasti rasanya sangat menyenangkan."
Dia berkata dengan senyum tipis, nadanya seperti sedang mengejek.
Namun, hubungan ini hanya sementara. Aku tidak merasa bangga karenanya. Aku juga tidak merasa iba pada Kasukabe. Hanya saja, tidak ada gunanya membahas tentang masa lalunya yang kelam itu.
Namun, tampaknya bagi Kasukabe, itu adalah masalah hidup dan mati. Mungkin dia telah bertekad untuk menyembunyikannya di SMA Meihoku. Fakta bahwa itu bisa terungkap membuatnya panik…?
"Kamu tidak terlihat benar-benar 'menyukai' Toiro-chan," ujar Kasukabe dengan tegas.
Kata-kata itu membuat dadaku berdegup kencang. Tak pernah terlintas dalam pikiranku bahwa Kasukabe akan mengatakan hal seperti itu padaku.
Perasaanku terhadap Toiro—apakah ini yang disebut "suka" atau tidak—adalah sesuatu yang telah kupikirkan sebelumnya. Aku bahkan baru saja memutuskan beberapa hari lalu bahwa aku belum tahu jawabannya.
"Aku dengar dari Kaede," lanjut Kasukabe.
"Toiro-chan sering bercerita tentangmu. Tentang kencan kalian, tentang hal-hal baik yang kamu lakukan. Tapi aku tidak pernah melihatmu menunjukkan perasaan yang sama terhadapnya."
Mendengar itu, ada sedikit kehangatan yang mengalir di dadaku. Jadi Toiro membicarakanku seperti itu?
Namun, aku tak suka bagaimana Kasukabe menggunakan hal itu untuk menghakimiku. Dia tidak tahu apa-apa tentang situasiku dan Toiro.
"Kau sendiri tahu apa itu cinta yang sesungguhnya?" balasku tanpa sadar, dengan nada sedikit kesal.
Dia membalas tatapanku.
"Kalau begitu, antara Toiro dan Funami, siapa yang sebenarnya kamu suka? Katakan dengan jelas sekarang."
Kasukabe menelan ludah, terlihat ragu. Aku ingin tahu jawaban jujurnya, tapi dia hanya diam.
Namun, kenyataan bahwa dia tidak langsung menyebut nama Toiro cukup mengejutkan. Apakah itu berarti dia juga menyimpan perasaan pada Funami?
"…Dengan jelas, ya," gumam Kasukabe, hampir seperti sedang berbicara dengan dirinya sendiri. Tatapannya tertuju pada satu titik di tanah, wajahnya menunjukkan ekspresi penuh pemikiran.
Setelah beberapa saat, dia mengangkat wajahnya, seolah telah membuat keputusan.
"Maaf. Aku agak kehilangan kontrol tadi," ujarnya singkat, sebelum berbalik dan melangkah pergi.
"Hei, tunggu dulu!" Aku mencoba menghentikannya, tapi dia tak menghiraukanku dan terus berjalan, meninggalkan tempat itu.
*
Setelah punggung Kasukabe sepenuhnya menghilang dari pandangan, aku hanya berdiri terpaku di tempat, menatap langit sendirian. Pikiranku terasa penuh, seperti dihujani berbagai hal yang harus kupikirkan, satu per satu menyerbu otakku tanpa henti. Tidak mungkin rasanya langsung melangkah masuk ke toko untuk mengumpulkan kardus seperti biasa.
Aku menghela napas panjang, "Haaah," lalu melangkah dengan lunglai menuju semak-semak di sudut parkiran. Perkataan Kasukabe mungkin ada benarnya. Aku ingin terus berada di sampingnya, tetapi aku bukan pacar aslinya. Aku juga sadar bahwa perasaanku ini, apakah bisa disebut "suka" atau tidak, belum bisa kupastikan. Jadi, ketika Kasukabe mengatakan bahwa dia tidak merasakan "suka" dariku, seharusnya aku bisa menerima itu tanpa keberatan.
Namun, jika begitu, apa sebenarnya perasaan yang ada di dadaku ini? Jika aku tidak tahu, mengapa aku membiarkan perasaan yang membingungkan ini begitu saja tanpa jawaban?
Setiap kali aku dan Toiro melakukan hal-hal yang tampak seperti pasangan kekasih, ada debaran aneh yang tak bisa kugambarkan. Meski begitu, aku juga sering merasa ada yang janggal dengan situasi menggantung ini. Namun, selama ini aku hanya menutupi semuanya, menikmati waktu bersamanya tanpa berusaha mencari tahu lebih jauh.
Aku sadar, secara samar, bahwa aku tidak bisa terus seperti ini selamanya. Namun, pikiranku sendiri terasa sangat kusut, hingga sulit untuk menemukan ujungnya.
Mungkin langkah pertama adalah menghadapi semuanya. Mengapa aku menghindarinya? Aku harus memikirkannya, mengurai kerumitan ini, dan mencoba memahaminya.
Tanpa kusadari, matahari terbenam mulai memperkuat warnanya, menyelimuti langit dengan semburat keperakan. Aku menyipitkan mata karena silau, menatap langit yang tampak begitu jauh.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.