Bab 3.
Rekan Tidak
Menyisakan Impian
Lorong bawah tanah itu jauh dari kata nyaman. Dindingnya dipenuhi dengan coretan-coretan tak senonoh, dan udara yang menusuk tulang membuat suasana semakin tak menyenangkan. Rogue berdiri sendirian, menghela napas dalam-dalam.
Sudah lima hari sejak penyelidikan dimulai.
Serangan bertubi-tubi menggunakan “bom” akhirnya mereda, meskipun hanya sementara.
Apakah itu karena kehabisan amunisi, atau mereka tengah merencanakan sesuatu yang lain? Rogue ingin percaya pada kemungkinan pertama, tapi harapannya kecil.
Sejauh ini, bahkan dugaan sang penyihir tidak menghasilkan petunjuk baru. Ia telah menelusuri berbagai cerita rakyat dari kaum bangsawan hingga reruntuhan di dalam dan luar kota, tapi tidak ada yang mengarah pada hubungan dengan sihir. Semuanya nihil.
Kemudian, pada pagi hari kelima, sebuah panggilan dari Velladonna datang.
“Haloo, Rogue. Apa kabar?”
“Ada urusan apa, Direktur?” jawab Rogue datar.
“Dingin sekali kau ini. Tapi, baiklah, aku langsung saja ke intinya. Bangsawan itu sedang marah besar.”
“Mereka mendesak kita?” Rogue menduga.
“Kurang lebih begitu. Meski sebenarnya, aku tak peduli. Tapi, sudah lama mereka tak pernah semarah ini.”
“Demi menjaga gengsi mereka, seperti biasa, bukan?”
“Atau, kalau kau mau menyebutnya, itu hanyalah kebanggaan kosong.”
“Meski begitu, kemarahan mereka tidak akan membuat bukti baru tiba-tiba muncul.”
“Benar sekali. Bagaimanapun, aku akan mencari cara untuk menenangkan mereka. Jadi, kau tak perlu terlalu memikirkan soal waktu.”
“Dimengerti. Ada hal lain?”
“Tidak banyak, tapi ada sedikit peringatan. Berhati-hatilah dengan ‘anjing kecil’ itu.”
“Anjing kecil?”
Alis Rogue berkerut mendengar kata itu.
“Maksudku, Orlock dari unit eksekusi,” jelas Velladonna.
“Wanita itu cukup terkenal di kalangan ‘atas’. Dia menjadi pemimpin termuda dan telah menghabisi musuh-musuh Rigton tanpa ragu. Kalau diberi perintah, dia akan melakukan apa saja—pembunuhan, penyiksaan, semuanya. Bahkan ada desas-desus bahwa dia pernah melenyapkan seorang jurnalis yang menulis kritik tentang Rigton. Kau tahu, Rigton dan Drakenia saling bermusuhan. Jadi, kalau dia mencoba menawarkan kerja sama, jangan menyetujuinya.”
“Dari awal Saya memang tak berniat menyetujuinya. Tapi, terima kasih atas peringatannya.”
Percakapan itu selesai.
Bukan kemarahan para bangsawan yang membuat Rogue khawatir, tapi memanfaatkan setiap kesempatan adalah hal yang wajib. Karena itulah ia menghubungi Marionette Demon.
Pukul sepuluh malam—sepuluh menit setelah Rogue tiba di lokasi, langkah kaki terdengar dari tangga di pintu masuk terowongan. Ketika ia menoleh, seorang penyihir berdiri di tengah tangga, menatap ke arahnya.
“Kau terlambat,” kata Rogue.
“Kau memang ketat sekali. Sedikit terlambat bukanlah masalah besar.”
Sambil berkata demikian, Miselia mengisyaratkan agar Rogue mengikutinya.
“Ayo, antar aku ke mobilmu. Donat-donat itu pasti sudah menungguku, bukan?”
※※※
Dari bawah tanah, mereka menuju permukaan. Meski sudah larut malam, jalanan masih saja ramai.
Miselia menutupi rambut panjangnya yang putih dengan topi dan wig hitam, tetapi wajahnya tetap mencuri perhatian banyak orang. Apalagi berjalan bersama pria dengan ekspresi muram seperti Rogue. Ia khawatir akan bertemu orang yang dikenalnya.
Ketika mereka sampai di area parkir, Rogue akhirnya merasa lega setelah masuk ke dalam mobil.
“...Ini,” katanya sambil menyerahkan sekotak donat berwarna-warni—enam buah—kepada Miselia.
“Hmm, memang sudah seharusnya aku menerimanya, Rogue-kun,” ujar Miselia.
Seperti sedang memeriksa uang palsu, ia menatap donat-donat itu lekat-lekat sebelum memangkunya.
Ia segera mengambil satu dan mulai memakannya.
“Kau memang rakus,” kata Rogue.
“Kau tak membelikannya untukku waktu itu.”
Dengan setengah donat di tangannya, Miselia menjawab santai.
“Itu karena aku sedang bertugas. Dan sekarang, kau benar-benar akan menghabiskan semuanya?”
“Ini adalah bayaranku. Jangan harap kau mendapatkan sepotong pun.”
“Lagipula aku tidak mau,” balas Rogue, lalu menyalakan mesin mobil.
Ketika mobil mulai melaju perlahan ke jalan besar, Miselia membuka pembicaraan.
“Soal pertanyaanmu, Rogue-kun. Kalau tidak salah, itu tentang bagaimana seseorang yang telah menyatu dengan sihir bisa dikendalikan, benar kan?”
Itu memang inti yang ingin diketahui Rogue.
Bagaimana korban-korban tanpa kesadaran itu bisa dipaksa bertindak sesuai kehendak pelakunya.
Saat mobil mulai melaju lebih cepat, Miselia menghabiskan donat ketiganya dan menjawab,
“Cara termudah adalah intervensi mental. Kau sudah melihatnya, bukan?”
“Ya, tapi kupikir itu hanya karena kau bisa melakukannya,” balas Rogue.
Miselia tertawa kecil mendengar itu.
“Memang, levelnya lebih rendah, tapi orang lain juga bisa melakukannya. Mereka hanya perlu menyisipkan tindakan tertentu sebelumnya—seperti mengarahkan korban ke lokasi tertentu, bahkan melakukan percakapan ringan.”
“Jadi, Chronos memberikan perintah kepada para korban sebelum mereka diubah menjadi bom?”
“Benar. Aku rasa ada tujuan lain di balik ini selain hanya mengganggu penyelidikanmu.”
“Kalau kau yang melakukannya, apa yang akan terjadi?”
“Oh, hasilnya pasti luar biasa. Kau lupa nama panggilanku?”
Sambil mengunyah manisannya, Miselia mengangkat jari telunjuk.
“Sihirku berbeda. Tak ada yang bisa menyadari atau mematahkan efeknya. Saat mereka menyadarinya, semuanya sudah terlambat.”
Rogue hanya bisa menatapnya dengan ekspresi rumit. Membebaskan penyihir ini, apakah benar keputusan yang tepat?
“...Baiklah. Itu cukup membantu. Terima kasih.”
“Dengan senang hati, Rogue-kun,” jawab Miselia.
Setelah menelan sisa donatnya, ia tiba-tiba melepas topi dan wig-nya.
“Berada di sini seperti ini, aku jadi teringat waktu kita bekerja sama dulu.”
Rogue sempat terdiam, tak tahu harus berkata apa.
“...Ya, kurasa begitu.”
Sambil mengemudi, ia mencuri pandang ke wajah Miselia. Sang penyihir tersenyum, terlihat seperti tanpa maksud apa-apa, tapi mungkin juga sedang menyimpan pikiran tertentu.
Miselia sedikit memiringkan kepalanya dan bertanya,
“Bagaimana belakangan ini? Waktu itu aku belum sempat bertanya. Apa kau hampir dibunuh penyihir lain selama aku tak ada?”
“Tidak, kurasa...”
Jawaban yang setengah hati itu membuat Miselia terkekeh pelan.
“Begitu ya. Rupanya kau mulai paham bagaimana menghadapi penyihir.”
“...Mungkin itu hanya kebetulan.”
“Jangan merendah begitu. Aku sendiri cukup bosan, kau tahu. Tak ada teman bermain. Aku sampai mengobrol dengan orang asing di stasiun.”
“Apa yang kau lakukan...” Rogue hanya bisa mendesah mendengarnya.
Tanpa sadar, ketegangan di tubuhnya mengendur.
Betapa bebasnya orang ini.
“Jangan salahkan aku kalau kau dipukul.”
“Kalau itu terjadi, aku akan menerimanya dengan lapang dada,” jawab Miselia.
“Ah, buka mulutmu sebentar.”
Tanpa berpikir, Rogue membuka mulutnya sambil melirik ke samping. Dia melihat sang penyihir, yang dengan santainya berkata “Aaah,” sambil mendekatkan donat yang sudah dimakan setengahnya ke dalam mulut Rogue.
“…Miselia.”
“Hmm? Ada apa? Apa kau ingin menolak kebaikan yang kuberikan ini, wahai pemuda malang yang tak bisa mencicipi donat? Ini adalah bentuk belas kasihku.”
“...Bukan itu maksudku. Lagipula, aku yang membeli donat itu.”
Meski ingin protes, sang penyihir hanya berkata,
“Astaga, apakah seorang penyidik sepertimu masih merasa malu dengan hal-hal seperti ini? Kau benar-benar tak berubah. Ayo, jangan melamun. Kalau kau tak fokus, nanti kau malah menabrak sesuatu.”
Karena dirinya disindir sebagai “penyidik,” Rogue tak bisa membantah. Akhirnya, dia menerima donat yang disodorkan dan menggigitnya. Terlalu manis. Gula pasir terasa kasar di mulutnya, meninggalkan rasa lengket yang mengganggu.
(Sial, ini benar-benar manis) pikirnya.
Ketika pintu gerbang taman alam mulai terlihat, Rogue memperlambat laju mobil. Karena mereka tak diizinkan masuk ke dalam, dia memarkirkan mobil di tepi jalan yang sepi.
“Anginnya kencang,” ujar Miselia.
Benar, pepohonan yang mengelilingi taman itu bergoyang-goyang karena angin malam. Saat itulah Rogue melihat senyum Miselia memudar.
Di bawah cahaya redup, dia tampak seperti boneka yang duduk sendirian.
Ketika Rogue berkedip, senyum itu sudah kembali. Sang penyihir menoleh padanya, mengangkat alis seolah tak menyadari dirinya diperhatikan, lalu membuka pintu mobil dan melangkah menuju gerbang taman.
Ah…
Tanpa sadar, Rogue mengulurkan tangan.
Di belakang sang penyihir, sesuatu yang tampak seperti “gerbang” muncul.
“Aku hanya ingin tahu. Tentang hal-hal yang tak kuketahui…”
Genangan darah, tumpukan mayat.
Tentu saja, itu semua tidak nyata. Tak ada darah, tak ada mayat, tak ada gerbang mistis di depan mata. Hanya pintu masuk taman biasa. Tapi pemandangan itu membangkitkan kenangan buruk Rogue.
Kau terlalu memikirkannya, katanya pada dirinya sendiri sambil keluar dari mobil.
(Semua itu hanya ada di kepalaku. Tidak ada alasan untuk membiarkan hal ini menghantui pikiranku sejauh ini. Dia mengepalkan tangan kanannya dengan keras, hingga rasa sakit menusuknya. Lihat, ini adalah kenyataan. Buang saja semua pikiran konyol itu.)
Angin malam menerbangkan rambut putih Miselia.
Dia melambai, menunggunya di depan gerbang.
(Pikirkan. Dia sudah menyelamatkan nyawaku. Ini bukan sekadar bantuan kecil seperti menyelesaikan tugas sekolah. Dia menyelamatkan hidupku. Bisakah orang brengsek melakukannya? Alasan aku melepaskan “kalung” itu juga karena hal yang sama. Apa mencari seseorang adalah sesuatu yang “buruk”? Ingat betapa lega dan bersyukurnya aku saat itu. Aku tahu, aku tahu dia orang yang bisa dipercaya.)
Dia melonggarkan genggamannya.
(Lupakan saja.)
(Lupakan, dan semuanya akan baik-baik saja—untukku dan untuknya.)
“...Apa aku harus melupakan ini?”
Suaranya tenggelam oleh suara angin, tak sampai ke telinga sang penyihir.
Ketika Rogue mendekat ke gerbang, Miselia tersenyum hangat, seolah menyambutnya kembali.
“Mari kita lakukan olahraga ringan setelah makan, Rogue-kun.”
“...Hei.”
Dia memotong ucapan Miselia.
“Jika aku memintamu sesuatu, kau akan mendengarkan?”
Penyihir itu mengangkat bahu santai.
“Tergantung apa permintaannya.”
Rogue menarik napas pendek sebelum berkata,
“Jangan lagi melakukan kejahatan.”
Miselia memiringkan kepalanya, lalu tersenyum.
“Permintaan yang tidak spesifik. ‘Kejahatan’ seperti apa yang kau maksud? Pembunuhan? Berapa lama? Ini terlalu tidak jelas.”
“Aku tidak ingin memasang ‘kalung’ lagi padamu.”
Miselia memperhatikan wajah Rogue dengan mata birunya yang tajam.
Rogue sadar, ini hanyalah keinginannya—sebuah keinginan naif agar mantan rekannya tidak menjadi seseorang yang jahat.
Sungguh harapan kekanak-kanakan.
Namun… setelah menatap Rogue cukup lama, Miselia akhirnya berkata,
“Baiklah.”
Dengan santai dia mengangguk.
“Selama-lamanya mungkin sulit bagiku, tapi aku akan mengingat ini selama seratus tahun ke depan. Aku berjanji tidak akan melakukan kejahatan selama itu.”
Jawaban itu terdengar terlalu enteng.
“...Serius?”
“Ini permintaan darimu. Perlu konfirmasi lain?”
Miselia tersenyum menggoda.
“...Kupikir kau akan menolaknya.”
“Rupanya aku kurang dipercaya, ya.”
“Kau bukan tipe yang patuh pada aturan orang lain.”
“Yah, terkadang aku bisa mempertimbangkan sesuatu, apa kau keberatan?” jawab Miselia santai.
Rogue menggeleng.
“Bagus. Janji sudah dibuat, bukan?”
“...Jangan lupa itu.”
“Ish, aku sungguh merasa tak dipercaya.”
Namun, wajah Miselia sama sekali tak menunjukkan kekecewaan.
Di dalam taman, mereka berjalan menyusuri danau.
Pada siang hari, jalur ini biasa digunakan warga sekitar untuk jogging. Miselia melangkah ringan di depan, seperti seorang anak kecil.
“Kau pernah dikejar-kejar oleh orang dewasa yang marah?” tanyanya tiba-tiba.
“Tidak.”
“Sayang sekali. Kalau pernah, kau akan mengerti rasanya. Waktu itu, rasanya seperti terpojok di tepi jurang. Bahkan ibuku sendiri ikut memusuhiku. Seluruh rumah berubah jadi lawanku.”
Rumah besar—itu masa lalu sang penyihir sebelum menjadi seperti sekarang. Rogue pernah mendengar dia berasal dari keluarga terpandang.
Dengan wajah seolah-olah dia sedang memerankan tokoh tragis, Miselia melanjutkan,
“Padahal, aku hanya menggambar kumis di potret keluarga. Bukankah itu hanya kenakalan kecil yang menggemaskan? Tapi ayahku sampai-sampai membawa kapak! Bayangkan kalau aku tidak menghindar, apa yang akan terjadi?”
“Itu karena semua kenakalanmu yang lain,” jawab Rogue datar.
“Ah, benar juga. Aku tidak memikirkannya.”
“Sepertinya kamu tidak terlalu serius dengan itu,” ujar sebuah suara yang jelas-jelas tidak terdengar serius.
“Yah, meskipun begitu, lihat saja kaki ini. Tak ada yang bisa menandinginya. Lagipula, waktu itu aku hanya dihukum tidak mendapat makan malam.” Sang penyihir menepuk kakinya sendiri dengan bangga.
“Ngomong-ngomong, bagaimana kalau kamu mencoba melawanku?” lanjutnya
“Kalau aku paksakan, aku bisa memuntahkan donat tadi.”
“Kamu meremehkan kemampuan pencernaanku. Donat itu sudah sepenuhnya lenyap.”
“Setelah sampai sejauh ini, aku tidak berniat berlari…”
“Baiklah, kita mulai!”
Tiba-tiba sang penyihir memutar tubuhnya dan berlari. Kecepatan yang ditunjukkannya membuat mata melotot tak percaya. Meskipun sering berbicara omong kosong, kecepatan ini nyata.
Dengan terpaksa Rogue mengejarnya, tetapi jarak di antara mereka tidak pernah berkurang. Sang penyihir, yang tampaknya tidak lebih kuat darinya, tetap tak terkejar.
Mereka akhirnya tiba di jembatan yang melintasi danau. Dengan langkah ringan, Miselia berhenti di tengah jembatan.
“Aku menang,” katanya, dengan suara penuh kemenangan.
Sambil terengah-engah, Rogue meletakkan tangan di lutut. “Kita bahkan tidak menentukan sampai di mana harus berlari…”
“Lho? Bukannya kamu bilang tidak ingin berlari tadi?”
Ia tampak sangat santai, sementara Rogue merasakan ketidakadilan yang luar biasa.
“Begitu sudah mulai, itu cerita lain. Lagipula, kamu curang—kamu mulai tiga meter di depanku.”
“Oh, oh, bahkan seorang Rogue Penyiduk sepertimu bisa mengeluh seperti itu?”
“Itu bukan keluhan, itu protes yang sah.”
Rogue menghela napas panjang, mencoba menguasai diri. Angin yang tadinya kencang kini mulai reda.
Sambil memandangi danau yang memantulkan bayangan pepohonan, Rogue melirik sang penyihir. Miselia menyadari pandangan Rogue dan menyeringai tipis.
“Tempat ini cukup bagus, ya?” tanya Miselia.
Rogue mengangguk setuju.
“Seribu dua ratus tahun lalu, tentu saja, tempat seperti ini tidak ada. Luar biasa, bukan? Aku harap kalian semua tetap seperti ini.”
“Bahkan kamu bisa khawatir tentang masa depan?” tanya Rogue.
“Tentu saja. Kita tinggal di dunia yang sama. Ketika laba-laba membuat sarang di halamanmu, kamu pasti akan penasaran apakah sarangnya akan bertahan, bukan?”
“...Aku tidak begitu peduli.”
“Kalau aku, sangat peduli. Ketika Charlotte si laba-laba janda berhasil menyelesaikan hidupnya yang penuh tantangan, aku sampai menangis.”
Rogue memandangnya dengan tatapan skeptis. Semua itu terdengar seperti kebohongan.
“Itu benar-benar terjadi, lho!”
“Hebat sekali kamu bisa bicara dengan wajah datar seperti itu…”
Sang penyihir hanya tertawa kecil sambil menyisir rambut putihnya yang panjang. Lalu, ia memiringkan kepalanya sedikit ke arah Rogue.
“Nanti kalau kamu mati, aku akan membagikan air mataku yang paling berharga untukmu.”
Rogue menghela napas panjang, mencoba menahan komentar sarkastik, lalu mengalihkan pandangan kembali ke danau. Bayangan pepohonan yang tadinya stabil kini tampak mulai bergoyang.
Tiba-tiba, angin membawa aroma besi yang tajam. Rogue menoleh dan mendapati senyum di wajah sang penyihir semakin lebar, seperti sedang menikmati sesuatu.
“Sepertinya kita kedatangan tamu yang tidak diundang,” katanya pelan.
Di sisi kanan jembatan, seorang wanita dengan setelan jas gelap berjalan ke arah mereka berdua. Tangannya menyentuh gagang pedang tipis di pinggangnya, gerakannya terlihat ringan tetapi waspada. Ketika Rogue menoleh ke arah kiri, seorang ksatria dengan baju zirah berat dan pedang besar terlihat mendekat dari arah lain.
“Selamat malam, Penyidik Rogue,” sapa wanita itu.
“Orlock…!” Rogue mendesis, mengenali wajahnya.
“Menarik sekali. Rambut putih dan mata biru—apakah itu Puppet Demon yang ada di sana? Tapi, aneh. Puppet Demon sudah seharusnya mati, bukan?”
Dengan santai, wanita bernama Orlock itu menarik pedang di pinggangnya. Sebilah demonic sword yang berkilauan keluar dari sarungnya.
“Ngomong-ngomong, itu hanya lelucon. Sejak pertama kali kita bertemu, aku sudah mencurigaimu. Profil para penyihir sudah kuhafal di luar kepala. Kalau ingin menyamar, setidaknya ubahlah struktur tulang wajahmu.”
Sang penyihir, yang mendengar pernyataan itu, menjawab dengan nada santai, “Jadi, apa maksudmu? Kamu datang ke sini untuk bertarung denganku?”
“Benar sekali,” jawab Orlock tanpa ragu.
“Aku sarankan untuk tidak melakukannya. Kamu tidak memilih untuk dilahirkan sebagai seorang pemburu penyihir, bukan? Jangan sia-siakan hidupmu yang pendek.”
“Terima kasih atas perhatianmu. Tapi aku tidak bisa membiarkan seorang penyihir tanpa collar berkeliaran sesuka hati.”
Sang penyihir menoleh ke arah Rogue, wajahnya penuh kepura-puraan prihatin.
“Dia keras kepala sekali, ya, Rogue-kun?” katanya.
Orlock mengangkat pedangnya, bersiap menyerang.
“Aku tidak pernah punya kesempatan melawan penyihir dengan collar. Kalian dilindungi oleh kerajaan—atau lebih tepatnya, oleh salah satu dari dua keluarga bangsawan besar. Collar itu sendiri adalah perlindungan besar. Tapi sekarang, melihatmu tanpa collar, aku merasa ini adalah kesempatan yang tidak boleh kulewatkan.”
Sang penyihir tersenyum tipis, lalu berkata, “Baiklah. Tapi, Orlock, bukankah nenek moyangmu pernah mengingatkan? Jangan melihat langsung ke mataku.”
“Sudah kubuat persiapan,” jawab Orlock sambil tetap menatap mata sang penyihir. Namun, pupil matanya tampak melebar sesaat sebelum kembali normal.
“Hm, jadi kamu mengutak-atik matamu untuk melindungi dirimu, ya? Itu usaha yang bagus, tapi masih terlalu lemah. Kurasa aku bisa mengubahmu menjadi boneka dalam waktu kurang dari satu detik.”
“Tapi kau tidak bisa mengubah dua orang sekaligus, bukan? Saat itu juga, asistenku akan menebas lehermu.”
Sang penyihir mengangkat bahu sambil tersenyum sinis.
“Kalian terlalu mudah membuang nyawa. Tidak ada kesenangan dalam bertarung dengan kalian.”
Miselia menepuk bahu Rogue, menyuruhnya untuk mundur hingga ke pinggir jembatan.
“Tunggu, Miselia—”
“Sudahlah, Rogue-kun. Biarkan aku menunjukkan kekuatan seorang penyihir tanpa collar. Kamu cukup berdiri di sana dan menyaksikan. Jangan khawatir, aku akan membiarkannya tetap hidup.”
Sambil mengangkat lengannya dengan anggun, Miselia menatap kedua musuhnya.
“Datanglah bersamaan. Aku akan meladeni kalian sesuai cara kalian.”
Angin bertiup.
Daun-daun kemerahan dari pepohonan melekat di dada Rogue, lalu danau di belakangnya “meledak.” Seolah-olah sebuah ranjau air telah dipasang, menciptakan lubang besar yang menganga. Semburan air melonjak tinggi, melampaui pepohonan di sekitarnya.
Itu adalah akibat dari tebasan pedang ksatria berzirah. Serangan tersebut nyaris mengenai kepala sang penyihir, lalu menghantam danau hingga membelahnya.
Ketika Rogue menatap dengan mata terbelalak, ia menangkap gerakan di sudut pandangnya.
Orlock telah entah bagaimana bergerak ke belakang sang penyihir. Hampir saja ia berseru, tapi tertahan. Penyihir itu tampaknya tidak menyadarinya, matanya masih tertuju pada ksatria berzirah.
Shingg─
Pedang tipis itu menerobos rambut putih sang penyihir, nyaris menembus tengkuknya. Namun pada detik berikutnya, lengan kanan Orlock terputus. Dari siku ke bawah, lengannya terpotong bersih, masih menggenggam “Demon Sword” itu. Potongan tersebut melayang melewati kepala sang penyihir, berputar-putar di udara.
“Menarik sekali.”
Sang penyihir melemparkan pandangan sekilas ke arah Orlock sambil membuat gerakan seperti gunting dengan jari-jarinya.
Orlock melompat mundur, dan seolah berganti peran, ksatria berzirah menerjang ke depan. Dengan pedang besar yang diayunkan tinggi, ia bersiap menghantam sang penyihir dengan kekuatan luar biasa. Rambut depan penyihir itu melayang terkena angin serangan.
Namun, itu saja.
Ksatria berzirah itu tiba-tiba berhenti, tubuhnya bergetar kecil seperti ditahan oleh kekuatan tak terlihat. Dengan posisi pedang terangkat tinggi, ia membeku di tempat. Sama seperti sebelumnya.
Sang penyihir telah melakukan sesuatu, meski metode atau asal-usulnya sama sekali tak terlihat. Meskipun ksatria itu begitu dekat, sang penyihir tetap tak terluka.
Ketika Rogue tertegun, suara sang penyihir memecah keheningan.
“Lalu, bagaimana sekarang?”
Penyihir itu membuka telapak tangannya, menadahkan ke atas. Tepat pada saat itu, lengan terputus Orlock jatuh, seolah sengaja diarahkan ke tangannya.
“──────Mau melanjutkan?”
“Tentu saja tidak. Pertarungan ini sudah selesai. Meski sangat mengecewakan, saya harus mengakui kekalahan ini.”
Kata-kata Orlock bertentangan dengan senyumannya. Itu adalah senyuman sempurna. Jika tidak tahu lebih baik, seseorang akan mengira ia sedang bercakap santai dengan seorang teman.
Namun, keringat menetes dari dagu Orlock, jatuh ke tanah.
Sang penyihir, yang masih memegang lengan kanan Orlock, berkata,
“Kelihatannya cukup menyakitkan, ya. Jadi, bagian itu tidak diperbaiki?”
“Kalau diperbaiki, itu akan membuat penilaian saya melemah. Sebagai seorang pemimpin, pikiran yang jernih adalah hal mutlak.”
Darah hampir tak mengalir dari luka di lengan Orlock. Apakah ini juga hasil dari modifikasi tubuh mereka?
“Prinsip yang mulia. Namun, apakah itu bisa tercapai, itu masalah lain.”
Sang penyihir memandang lengan itu sejenak, lalu tiba-tiba melemparnya ke arah Orlock.
“Ini kukembalikan. Cepat sambungkan kembali dengan sihirmu, atau pergi ke dokter. Aku mencoba memotongnya dengan ‘rapi.’ Tapi, semakin lama kau menunda, semakin buruk hasilnya.”
“Terimakasih atas perhatiannya.”
Tanpa perubahan ekspresi, Orlock menangkap lengannya sendiri. Lalu tanpa ragu, ia menekan potongan lengan itu ke sikunya.
Rogue terperanjat. Apa benar lengan itu akan kembali menyatu hanya dengan itu?
Dan itu benar. Dalam beberapa detik, Orlock telah menggerakkan jari-jarinya. Ia melepas tangan kiri yang menyangga lengannya, lalu mengayunkannya ke atas dan ke bawah untuk memastikannya berfungsi. Hanya butuh sekitar sepuluh detik.
“Orlock. Kau masih berniat untuk mengejarnya?”
Rogue memanggil, matanya tajam mengawasi. Orlock memalingkan wajahnya, tertawa kering.
“Tentu saja, itu akan saya lakukan... tapi setelah misi ini selesai.” katanya.
“Aku selalu menyambutmu kapan saja,” sela sang penyihir.
Pada saat itu, ksatria berzirah yang tampaknya membeku tadi mulai bergerak lagi. Dengan suara berderit, ia perlahan mengayunkan pedangnya ke arah sang penyihir.
“Mengejutkan. Aku sudah menggantungmu dengan ‘benang,’ tapi kau cukup tangguh juga.”
Sang penyihir tersenyum lebar dengan rasa puas, lalu mengayunkan tangannya ke udara.
“Hentikan. Kita pergi sekarang.”
Suara Orlock terdengar tegas.
Ksatria berzirah itu berhenti lagi, mematuhi perintah tanpa ragu. Meski tetap memancarkan aura membunuh, ia menyarungkan pedangnya kembali ke punggungnya.
※※※
Dalam perjalanan kembali ke mobil, Rogue tak henti-hentinya bertanya pada penyihir itu.
“Mereka menemukanmu. Apa kau yakin tidak apa-apa?”
“Tentu saja. Dia sendiri bilang akan menunggu sampai kasus ini selesai.”
Sang penyihir menjawab dengan nada santai.
“Bukan itu maksudku. Pasukan eksekutor tidak hanya terdiri dari dua orang. Bagaimana kalau dia memberitahu yang lain?”
“Kalau itu terjadi, ya, itu akan merepotkan.”
“Kau bicara seolah itu bukan urusanmu.”
Rogue hampir berteriak marah, tapi sang penyihir menyela.
“Sebenarnya, merekalah yang seperti memakai ‘Collar.’ Bahkan lebih dari kami. Mereka terikat pada darah, hukum, dan pemilik mereka. Tak semudah itu bagi mereka untuk menyentuh seorang penyihir.”
“Jadi, mereka butuh izin untuk memburu penyihir?”
“Tepat sekali, Rogue-kun.”
Sang penyihir mengangguk.
“Faktanya, yang kemungkinan akan dihukum atas insiden ini justru Orlock. Dia telah menginjak kesepakatan antara keluarga Drakenia dan Riggton. Tindakannya benar-benar sembrono.”
Rogue bergumam tak percaya.
“Tapi dia tidak ragu sedikit pun...”
“Yah, aku rasa tidak akan seperti itu.”
“Apa yang kau tahu tentang dia?”
“Ikatan yang tercipta lewat pertarungan, tentu saja.”
“Omong kosong.”
Rogue mendesah panjang. Jika situasi genting benar-benar datang, apa yang akan ia lakukan?
Setelah sampai di mobil, ia bertanya apakah penyihir itu ingin diantar. Tapi sang penyihir menggelengkan kepala.
Rogue kembali sendiri ke divisi keenam dari taman alam itu. Malam itu, ia tidur nyenyak tanpa bermimpi.
Pesan itu datang pagi-pagi sekali keesokan harinya.
※※※
“────Ketemu!”
Rekaman suara dari kamera pengawas yang disita bergema di ruangan itu. Suara yang sudah diputar berkali-kali. Mendengarkannya, orang-orang yang berkumpul di sana menggumamkan berbagai pendapat.
Ledakan keempat terjadi di gang yang berjarak sepuluh blok dari Stralid Museum. Korban kali ini adalah seorang pria berusia empat puluhan bernama Jamie, yang tinggal di sebuah apartemen di sekitar lokasi. Ledakan tersebut menyebabkan dua korban luka berat.
“Yah, kalau dia bilang ‘menemukan sesuatu’, mungkin dia menemukan sesuatu yang berguna, bukan?”
Fumafu berkata sambil menopang dagunya.
“Apakah itu mungkin ‘kunci’?”
Catherine, yang berdiri di depan papan tulis bersama Rogue, tampak mengerutkan alisnya, terlihat khawatir. Rogue menghentikan proyektor dan berkata,
“Kalau dihubungkan dengan pesan-pesan sebelumnya, bisa jadi begitu... Mungkin mereka menemukan petunjuk untuk merekonstruksi era penyihir.”
Kemungkinan besar itu adalah hasil dari penggabungan sihir berulang kali. Namun, ada sesuatu yang mengganjal. Ada perbedaan dibandingkan dengan kejadian-kejadian sebelumnya.
“Kenapa Chronos mengubah gaya bahasa dalam pesannya kali ini?”
“Benar juga,” Catherine berkata sambil menyentuhkan ujung jarinya ke dagu.
“Pesan sebelumnya seperti, ‘Berikanlah kunci keselamatan!’ atau ‘Kami akan datang ke sana!’ Pesan yang lebih dramatis. Kalau hanya ingin mengatakan ‘menemukan sesuatu’, kenapa tidak dibuat seperti pesan-pesan lainnya?”
Pesan sebelumnya memiliki sifat eksibisionis, seolah-olah ingin memamerkan kejahatan mereka dan menakut-nakuti Rogue serta timnya. Namun, pesan kali ini terasa berbeda. Pesannya seolah menyampaikan sesuatu yang memiliki makna lain.
Jika pesan itu memang sengaja disampaikan, pasti ada maksud tertentu. Tetapi... apa maksudnya? Apakah itu benar-benar terkait dengan ‘kunci’?
Saat itu, pintu mendadak terbuka. Ketika Rogue menoleh, ia terkejut hingga matanya membelalak.
Seseorang berdiri di sana dengan mengenakan kemeja, celana panjang hitam, dan jas lab putih. Rambut panjang berwarna ungu muda yang biasanya terurai kini diikat rapi ke belakang. Sosok itu bahkan memakai dasi. Itu adalah Angene, ‘The Worker'.
“Fufufu, maaf membuat kalian menunggu.”
Awalnya diberitahukan akan terlambat, tapi penampilannya yang seperti ini membuatnya sulit dikenali.
“Eh... ada apa dengan penampilanmu?”
“Fufufu. Aku baru saja pergi ke rumah mayat.”
Angene menutup pintu ruang rapat sambil tersenyum kecil.
Penampilannya cukup masuk akal jika ia pergi ke kamar mayat. Tapi Rogue sulit membayangkan penyihir ini menggunakan kereta bawah tanah atau taksi menuju kamar mayat di Distrik Tiga. Bagaimana caranya ia sampai ke sana?
Tanpa memedulikan pertanyaan Rogue, Angene berjalan ke depan papan tulis. Ia menempelkan empat foto di sana. Foto-foto itu adalah wajah para korban ledakan. Dua dari mereka masih muda, sementara dua lainnya berusia menengah.
“Bagaimana perkembangan penyelidikan, Penyidik?” tanya Angene.
“Dari yang kami tahu sejauh ini, situasinya semakin buruk.”
“Fufufu, kalau begitu aku membawa informasi baru.”
“Informasi baru?” tanya Rogue.
Angene, tanpa basa-basi, melanjutkan,
“Singkatnya, mereka tidak pernah ada.”
“Tidak pernah ada? Apa maksudmu?”
“Fufufu. Semua dokumen mereka, seperti SIM dan kartu identitas lainnya, semuanya palsu. Satu-satunya yang ‘asli’ hanyalah kartu keluarga, itu pun milik orang lain. Mereka tidak memiliki data diri mereka sendiri.”
Sambil tertawa kecil, Angene menambahkan,
“Kadang-kadang mayat seperti ini muncul di rumah duka, tapi orang-orang ini benar-benar luar biasa.”
“‘Hineri’ ya... Itu menjelaskan kenapa tidak ada keluarga yang mengakuinya,” gumam Rogue.
“Hineri?” Catherine tampak bingung.
Rogue menjelaskan,
“Hineri adalah istilah untuk tindakan mengambil identitas orang lain dan berpura-pura menjadi mereka. Biasanya, korbannya adalah orang yang hilang atau telah meninggal.”
“Jadi, maksudnya para korban ledakan itu sebenarnya terlibat dalam kejahatan seperti itu?”
“Sepertinya begitu. Mereka mungkin bahkan membunuh untuk mendapatkan identitas itu. Dalam kasus Hineri, cara seperti itu tidak jarang terjadi.”
“Betapa mengerikannya...” gumam Catherine dengan wajah muram.
“Lalu, tempat mereka dijadikan bom, bagaimana itu terjadi?” tanya Rogue pada Angene.
Angene mengeluarkan sebuah Alkitab dari sakunya dan meletakkannya di depan Fumafu, yang sedang mengantuk.
Fumafu terbangun seketika.
“Apa ini? Kau menyuruhku pergi ke gereja?”
“Fufufu... Tentu saja bukan,” Angene tertawa kecil.
Kemudian ia menjelaskan,
“Informasi ini aku dapatkan dari server polisi. Dalam beberapa tahun terakhir, ada aktivitas penyelundupan imigran ilegal yang cukup besar di Elrail. Polisi sudah berusaha mengungkapnya, tapi operasi itu didalangi oleh sebuah universitas milik gereja, jadi mereka kesulitan untuk bertindak. Fufufu, Penyidik, kau tahu universitas yang kumaksud?”
Sebuah universitas milik gereja—tentu saja Rogue tahu apa yang dimaksud.
“Universitas tempat John Brown kuliah?”
“Tepat sekali.”
Angene mengangguk,
“Tiga korban lainnya juga terkait dengan universitas itu. ‘Dicky’ adalah lulusan universitas tersebut. Sedangkan ‘Willie Martinez’ dan ‘Jamie’ adalah relawan dalam program ibadah yang diadakan oleh gereja untuk institusi pendidikan. Mereka juga diketahui pernah muncul di universitas tempat John belajar. Jadi, jawabannya sudah jelas, bukan? Di mana Chronos bertemu dengan mereka.”
Karena John Brown sudah keluar setahun lalu, dan tidak mungkin orang luar bisa menggunakan ruang kelas atau aula universitas tanpa meninggalkan jejak.
Jawaban yang lebih masuk akal adalah...
“....di kapel.” gumam Rogue.
Angene tersenyum lebar. “Itulah dugaanku.”
“Kalau begitu, kita harus memeriksa semua kapel di kota ini. Cepat atau lambat, seseorang akan membuat kesalahan.”
“Fufufu. Tidak perlu repot-repot menyisir setiap kapel. Aku sudah mempersempit lokasinya.”
Rogue tanpa sadar mengedipkan mata.
“Serius...?”
“Serius. Fufufu. Syukurlah kamu tidak buang-buang waktu.”
Bingung adalah kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan saat itu. Terlalu cepat. Kecepatan ini membuat Rogue berpikir, apakah hanya dengan satu penyihir ini, kasus ini sudah bisa diselesaikan. Saat melihat para penyihir lainnya, Fumafu terlihat bosan dengan dagu menempel di meja, sementara Catherine tampak terkejut dengan ekspresi heran.
“...Untuk sekarang, beri tahu aku namanya.”
“Gereja San Arila. Selamat jalan. Aku akan menunggu di sini.”
Setelah mengatakan itu, Angene langsung meninggalkan ruang rapat tanpa basa-basi.
“...Begitu katanya.”
“Hah. Sombong sekali.”
Fumafu bersungut-sungut sambil menyandarkan siku di atas Alkitab. Mungkin dia merasa bahwa prestasinya telah direbut.
“Jadi, bagaimana, Penyidik? Aku siap kapan saja.”
“Ya. Setelah aku menghubungi kepala biro, kita akan bergerak.”
“Akhirnya, waktuku beraksi telah tiba!”
Fumafu berkata demikian sambil membuat Alkitab di tangannya berputar dengan kecepatan tinggi.
※※※
“Berita baik, ya. Apakah ini berarti kasusnya akan segera selesai?”
Di ujung telepon, suara Velladonna terdengar riang.
“Belum tentu. Lagipula, keberadaan Chronos belum dikonfirmasi.”
“Ya, benar juga. Tapi hati-hati, ya. Mungkin saja ada jebakan seperti sebelumnya.”
Itu memang sudah diperkirakan. Perangkap Lifetaker hampir merenggut nyawa Rogue sebelumnya.
Untuk misi ini, Fumafu dipilih sebagai garda depan. Dengan kemampuan penyihir abadi yang bisa menyembuhkan luka seketika, jebakan apapun menjadi tidak berarti padanya.
※※※
14:20
Mobil berhenti di depan Gereja San Arila. Rogue mendongak, melihat dinding luar gereja. Sebuah katedral berbentuk kubah dengan menara lonceng di sisi barat. Di bawahnya, terdapat sebuah ruang bawah tanah yang berfungsi sebagai ossuarium. Di tengah keramaian klakson dan gedung-gedung tinggi di sekitarnya, gereja itu tetap mempertahankan kehadiran yang mencolok.
Mereka masuk ke dalam katedral terlebih dahulu.
Langit-langitnya sangat tinggi, dihiasi ukiran yang indah. Cahaya matahari siang menembus kaca patri, memancar ke dalam gereja. Di depan, ada sebuah organ besar yang megah. Namun—
Tidak ada siapa-siapa.
“Sudah kabur?”
Fumafu bertanya dengan nada kecewa. Mungkin dia berharap Chronos langsung menyerang begitu mereka masuk. Bahkan Rogue pun merasa ada kemungkinan itu.
“...Mungkin mereka menyadari kedatangan kita lalu bersembunyi.”
Rogue menjawab sambil memeriksa barisan kursi jemaat. Namun, usaha itu sia-sia. Tidak ada tempat yang cukup untuk bersembunyi.
Ada kemungkinan mereka menggunakan sihir untuk membuat diri mereka tidak terlihat—seperti yang dilakukan Chronos sebelumnya. Tapi, jika itu yang terjadi, pasti ada suara napas yang terdengar. Sihir itu tidak sepenuhnya menghilangkan keberadaan.
“Bagaimana sekarang, Penyidik?”
Catherine bertanya.
“...Kita periksa menara lonceng. Ayo.”
Mereka keluar dari katedral dan berjalan menuju menara di sisi barat. Pintu menara terbuka, di dalamnya ada satu lift. Tidak ada tangga, mungkin lift ini dirancang untuk menghubungkan lonceng di atas dan ossuarium di bawah.
Rogue memutuskan untuk memeriksa bawah tanah terlebih dahulu. Dia menekan tombol lift, dan pintu segera terbuka. Mereka bertiga masuk. Fumafu berdiri di depan dengan dua pisau melayang di sekelilingnya, sementara Catherine menyalakan api kecil di ujung jarinya.
Pintu lift terbuka.
Gelap.
Cahaya dari lift hanya cukup untuk menerangi sekitar tiga meter di depan mereka. Sisanya adalah kegelapan mutlak.
“Tempat persembunyian yang sempurna, kan?”
Fumafu terdengar bersemangat. Suaranya bergema di ruang itu, menunjukkan bahwa ruangan tersebut sangat luas.
Saat pintu lift mulai menutup, Rogue menahannya dengan tangan kiri.
“Catherine, bisa kau terangkan tempat ini?”
“Kenapa? Beri saja mereka sedikit keuntungan. Semuanya akan selesai terlalu cepat.”
Fumafu terlihat kesal, memasukkan tangannya ke dalam saku.
“Ini bukan waktunya main-main,” Catherine memperingatkan.
“Justru main-main itu lebih menyenangkan. Kau tidak mengerti.”
“...Kalau begitu, mau ku usap saja? Kau pasti tidak ingin tidur di sini, kan?”
Fumafu mendecakkan lidah.
“Tch. Baiklah, lakukan saja.”
Catherine berjalan ke depan Fumafu dan berkata, “Roh api, terangi kami.”
Seketika, cahaya meluas seperti kipas, mengusir kegelapan. Ruangan itu tampak. Sebuah ruang besar dengan diameter lebih dari 25 meter. Pilar-pilar berdiri berjajar, lantainya dilapisi marmer.
Namun, yang mengejutkan adalah beberapa pilar memiliki tubuh manusia yang terikat dengan rantai. Ada yang memiliki sumbu keluar dari wajahnya seperti ‘bom’ sebelumnya, ada pula yang tangan dan kakinya terpelintir seperti tali. Tidak ada suara napas—mereka tampak sudah mati.
Apakah Chronos berhubungan dengan lebih banyak orang daripada empat korban sebelumnya?
Identitas mereka tidak bisa dipastikan. Bisa saja mereka adalah pelaku Hinery, atau mungkin hanya warga sipil biasa. Tapi Rogue tidak punya waktu untuk memeriksa.
Dengan hati-hati, mereka melanjutkan langkah, melewati deretan pilar. Bau kematian memenuhi udara, membuat perasaan tidak nyaman. Rogue mengingat serangan di rumah Dicky, merasa waspada terhadap jebakan serupa.
Ketika mereka menghitung lebih dari sepuluh jasad, mereka akhirnya sampai di ujung ruangan. Tidak ada jebakan yang terlihat sepanjang jalan.
Namun, semuanya terasa janggal.
Terlalu sepi.
Di dinding ujung ruangan, Rogue melihat sesuatu yang aneh. Ada pola seperti ornamen di permukaannya, dengan celah samar di tengah.
“Ini... pintu rahasia.”
Rogue meletakkan kedua tangannya di dinding dan mendorongnya. Ada reaksi.
Saat celah itu terbuka, sebuah kegelapan pekat terlihat di baliknya.
Seketika, perasaan dingin menjalar di tulang punggungnya.
Dia pernah merasakan ini sebelumnya.
Mimpi buruk yang pernah dilihatnya.
‘Gerbang.’
Suara gesekan batu terdengar, dinding perlahan terbelah menjadi dua. Cahaya dari sisi mereka mulai menyusup ke sisi seberang dinding, mengungkap apa yang tersembunyi di baliknya.
───Tidak mungkin.
Cahaya itu jatuh pada jasad Chronos Drakenia.
Rogue mendekat perlahan dengan langkah goyah, lalu berlutut di samping jasad tersebut.
Apa yang sedang terjadi?
Pembunuh berantai dari dua keluarga bangsawan besar itu tampak seperti ‘bom’ lainnya, bersandar pada pilar. Kedua kakinya terentang ke lantai, sementara mata emas khasnya terbuka lebar. Namun, rongga matanya terlihat cekung dan pipinya sangat tirus. Dari mulutnya yang setengah terbuka, butiran-butiran seperti pasir keluar perlahan.
Ketika butiran itu jatuh ke tangan Rogue, ia merasakan detak jantungnya berdentam keras.
Butiran itu sama sekali tidak terlihat seperti sesuatu yang bisa dihasilkan oleh tubuh manusia. Saat Rogue terus memperhatikannya, lengan kanan Chronos tiba-tiba terlepas dari bahunya. Dari bagian yang terputus, terlihat apa yang ada di dalamnya. Bukan daging, bukan darah—hanya butiran pasir yang memenuhi ruang di dalamnya.
Semua ini tampak seperti...
“Time manipulation...?”
Sebuah suara terdengar.
Rogue menoleh ke belakang dan melihat dua penyihir berdiri di belakangnya. Catherine tampak khawatir, alisnya berkerut tajam, sementara Fumafu berdiri dengan tangan terlipat dan bibir membentuk garis datar.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.