Bab 2
Kalung Tidak Cocok
untuk Penyihir
Pria yang ditangkap itu bernama Zack Knoll. Profesinya penjual barang ilegal—seseorang yang ahli menghindari hukum terkait narkotika.
Meskipun Zack tak memberikan lebih dari apa yang terungkap dalam interogasi awal, dia akhirnya berbicara tentang dirinya sendiri, meski dengan suara pelan dan sulit dipahami.
Dia mengakui bahwa di ruangan tersebut, dia memproduksi narkoba ilegal.
Dia juga mengatakan bahwa dirinya adalah seorang mantan prajurit perang yang tak bisa mendapatkan pekerjaan lain, sehingga terpaksa melakukan itu.
Dia sangat membutuhkan uang, katanya.
Dia bersikeras tak mengenal korban.
Soal cap teleportasi ruang, dia mengklaim bahwa itu mungkin ulah salah satu pelanggannya—alasan yang terdengar lemah, mengingat sistem keamanan ruangan tersebut begitu ketat.
Interogasi dilakukan di kantor polisi wilayah setempat. Setelah mendapatkan informasi, Zack dimasukkan ke dalam penjara, dan Rogue bersama timnya kembali ke Kantor Polisi Divisi Keenam. Saat mereka menunggu lift turun, Miselia mulai membeberkan informasi yang didapatkannya.
“Zack Knoll bilang dia pernah dihampiri oleh seorang anak kecil. Anak itu, katanya, meminta dia membuatkan cap itu. Oh, dan anak itu juga tahu bahwa Zack adalah mantan tentara. Zack pikir anak itu mungkin anak dari keluarga militer.”
“Militer, ya... Baiklah, kita bisa telusuri arah itu.”
“Kau punya petunjuk?”
Rogue mengangguk pelan. Tak ada kabar tentang insiden yang melibatkan militer belakangan ini. Informasi semacam itu pasti sudah ditutupi. Jadi, jika ingin menyelidikinya, mereka harus menggali masa lalu.
“…Kau tahu tentang Perang Penyucian?” tanyanya.
Miselia menatap jauh seolah mengingat sesuatu, kemudian menjawab,
“Ah, Perang Penyucian. Dulu memang ada perang semacam itu. Seiring umurku yang bertambah, ingatanku juga semakin kabur.”
“Umur? Kau ini seperti orang tua saja. Sebenarnya berapa umurmu?”
“Seribu dua ratus tahun.”
“…Serius?”
Pengetahuan Rogue tentang perang itu tidak banyak.
Itu terjadi pada masa awal sihir mulai dikenal oleh masyarakat umum di seluruh dunia.
Perang itu dipicu oleh negara agama Segmed, yang menyatakan, “Sihir adalah karunia besar dari Tuhan, dan kelas bawah tidak diizinkan untuk menggunakannya.” Dengan dalih itu, Segmed melancarkan perang terhadap negara tetangganya.
Kekaisaran, yang memiliki Dua Keluarga Bangsawan Besar, mengirim pasukan untuk membantu negara tetangga dan menghancurkan Segmed. Namun, keterlibatan militer yang terlalu masif dari Dua Keluarga Bangsawan Besar menuai kecaman, baik dari negara lain maupun dari rakyat mereka sendiri.
Setelah perang itu berakhir, unit yang terlibat dalam Perang Penyucian dibubarkan. Semua data terkait mereka dihapus demi perlindungan privasi, sehingga bahkan penyidik sekalipun tidak dapat mengakses informasi tentang mereka.
“Sudah sampai.”
Saat Miselia berkata demikian, pintu lift terbuka.
Cahaya menyambut mereka, dan Rico sudah menunggu di depan. Ketika melihat Rogue dan Miselia, dia menyapa,
“Selamat datang kembali, Penyidik Rogue, Miselia.”
Untuk pertama kalinya, ucapan itu membuat Rogue merasa lega. Ada perasaan aneh—seolah dia benar-benar merasa pulang. Dan orang yang membuatnya merasa seperti itu sedang berbicara santai dengan Rico.
“Yahalo, Rico. Apa kabar?”
“Biasa saja.”
“Oh?”
Rico menunjuk ke arah aula dengan tangannya.
“Aku sibuk melayani para penyihir.”
Apa yang Rico katakan memang benar. Di aula, beberapa penyihir tampak bersantai. Ada yang bermain kartu, ada yang makan, dan ada juga yang asyik mengobrol. Semua tampak menikmati waktu luang mereka.
Namun, saat Rogue dan Miselia melangkah masuk ke tengah aula, semua aktivitas itu berhenti.
Semua mata tanpa ekspresi menatap mereka, seperti tamu tak diundang yang baru saja muncul.
Mereka tampak bertanya dalam diam—“Kenapa kalian masih hidup?”
Suasana menjadi tegang. Rogue bisa merasakan bulu kuduknya berdiri. Perasaan lega yang dia rasakan beberapa detik lalu hilang begitu saja.
“Eh, ada apa ini? Kenapa kalian semua memasang wajah seperti itu?” Miselia pura-pura heran, jelas sengaja memprovokasi.
Saat Rogue masih merasa tegang, sebuah suara datang dari atas.
“Kalian masih hidup karena dia tidak membunuhmu!”
Ketika Rogue mendongak, dia melihat sesosok bayangan melompati pagar. Bayangan itu berputar beberapa kali di udara sebelum mendarat di depan Rogue dan Miselia. Dari ketinggian beberapa meter, sosok itu mendarat tanpa kehilangan keseimbangan.
Itu seorang gadis.
Dia mengenakan jaket dengan paku di bahunya dan memakai kacamata hitam. Tapi tubuhnya kecil, lebih pendek satu kepala dari Rogue, sehingga dia tampak seperti anak kecil yang bermain peran. Tentu saja, di lehernya tergantung kalung yang sama seperti milik Miselia.
—Apa anak seperti ini juga penyihir?
Ketika Rogue berpikir demikian, Miselia tersenyum cerah dan berkata,
“Hai, Humafu. Bagaimana kabarmu?”
“Oi, kau! Kenapa kau tidak membunuh pendatang baru itu? Kau tahu aku bertaruh dia akan mati, kan?”
Gadis berkacamata hitam itu menggeram dengan suara berat, tapi Miselia tetap tenang.
“Oh, ya? Sepertinya aku lupa. Mungkin karena usiaku yang tua.”
“Sialan kau!”
Gadis itu meraih leher Miselia dengan tangan kanannya, lalu mengangkatnya ke udara. Kekuatannya luar biasa. Bahkan tanpa terlihat berusaha keras, dia berhasil mengangkat tubuh Miselia hingga kedua kakinya terayun di udara.
“Humafu, mudah marah adalah kebiasaan burukmu.”
Sambil mengayunkan kakinya, Miselia berkata dengan santai.
“Dan kau punya kebiasaan buruk mengucapkan hal yang membuat orang marah. Akan kupatahkan leher kecilmu ini.”
Tiba-tiba, Miselia melirik dan mengedipkan mata ke arah Rogue. Gadis berkacamata hitam itu jelas melihatnya.
“Apa itu barusan?” Gadis itu bertanya tajam.
Miselia tersenyum bangga dan berkata,
“Singkat saja, Rogue dan aku sekarang berteman. Jadi dia akan menegur anak nakal sepertimu untukku.”
“Oh, begitu ya…”
Nada suara gadis itu menjadi semakin rendah. Dia menatap Rogue dengan tajam, memperlihatkan gigi taringnya yang runcing.
(Dasar bajingan! Dia menyeretku ke masalah ini!)
“Baiklah, kau mati duluan!”
Ucapan yang terlontar dengan begitu ringan itu seolah mengabaikan fakta bahwa ada kalung yang membatasi hidupnya. Cara berpikirnya benar-benar aneh. Membunuh seseorang artinya mengarah ke kematiannya, namun dia tetap mengatakan hal itu tanpa ragu.
Jika persuasi tidak akan berhasil, maka tidak ada pilihan lain selain bersiap menghadapi situasi ini.
“…Lepaskan dia,” kata Rogue dengan nada tegas sambil menatap tajam ke arahnya.
Jika dipikir-pikir lagi, Rogue pernah berhadapan dengan banyak orang berandal seperti ini. Apa bedanya kali ini? Meski dia seorang penyihir, dibandingkan dengan Miselia, gadis ini tidak terasa menakutkan sama sekali.
“Hei, kau… berani-beraninya menantangku dengan tatapan seperti itu?”
Gadis itu—yang dipanggil Humafu—melangkah mendekat ke arah Rogue. Dia tampak terbakar amarah, hingga tanpa sadar melepaskan pegangan pada Miselia. Rogue bisa melihat Miselia terlempar ke lantai.
Humafu menyelipkan kedua tangannya ke dalam celah pakaiannya, lalu menarik keluar dua bilah pisau buah yang tampak sederhana.
“Aku suka senjata murah seperti ini. Dengan ini, aku sudah membunuh ratusan orang. Kau juga mau coba rasakan tajamnya senjata murahan ini?”
Humafu mengarahkan salah satu pisaunya ke sebuah meja bundar, lalu berkata,
“<Mesin>.”
Dalam sekejap, kilatan perak berpendar di udara. Semua kaki meja terpotong habis. Meja itu jatuh ke lantai dengan suara keras, menggema di seluruh ruangan.
Gerakan Humafu begitu cepat hingga Rogue hampir tidak bisa melihatnya. Namun saat dia melihat pisau yang kembali ke tangan Humafu, Rogue mulai memahami apa yang baru saja terjadi.
Dua pisau buah itu melayang beberapa centimeter di atas tangan Humafu. Pisau-pisau itu bergerak dengan presisi, seperti capung yang terbang, dan memotong kaki meja dengan mudah.
Penguasaan sihir manipulasi benda seperti ini adalah sesuatu yang belum pernah Rogue lihat sebelumnya. Nalarnya memancarkan sinyal bahaya, mendesaknya untuk segera melarikan diri. Namun, ketika dia melirik ke belakang, pintu itu masih terkunci rapat.
“Sialan.”
Humafu perlahan menatap Rogue, berjalan mendekatinya.
Miselia hanya berdiri menonton. Rico jelas tidak dalam kondisi untuk bertarung. Tidak ada seorang pun yang akan membantu.
Rogue mengepalkan tinjunya, bersiap dengan apapun yang akan terjadi.
(Tak ada pilihan lain… harus kulakukan!)
Sambil berjalan, Humafu berbicara,
“Rasakan… tajamnya senjata murahan ini.”
“Apa?”
“Kau juga… rasakan tajamnya senjata murahan ini.”
“Sudah kubilang, aku sudah mendengarnya—”
“Tajamnya… senjata murahan… fuuuah…”
Ada sesuatu yang aneh. Humafu terus-menerus menguap.
“Senjata… mu-rahan… faaah…”
Kemudian, saat dia mencoba menggosok matanya, tangannya malah menyentuh kacamata hitam yang dipakainya. Kacamata itu jatuh ke lantai, memperlihatkan matanya.
Mata itu terlihat seperti milik seorang putri dari keluarga bangsawan, tenang dan lembut. Namun kini matanya merah dan berlinang air mata, bercampur dengan kantuk berat, seolah dia tidak terbiasa begadang sepanjang malam.
Rogue, yang terpaku oleh pemandangan itu, berkata,
“Kau… mengantuk?”
“Diam… aku tidak mengantuuuk…”
Humafu melemparkan pisaunya, tetapi lemparannya begitu lambat sehingga mudah dihindari. Pisau itu melayang dengan lintasan yang tak stabil, lalu terbang ke arah yang salah. Humafu pun kehilangan keseimbangan dan mulai jatuh ke depan.
Meski Rogue tidak punya kewajiban untuk membantu, dia tetap menangkap gadis itu.
“Aku… ngantuk…”
“Apa-apaan dia ini…”
Saat Rogue bergumam sambil memegang tubuhnya, suara Rico terdengar,
“Humafu—identitasnya menurut Dewan Bangsawan adalah <Binatang Tak Tidur>; dia penyihir ketujuh. Dia memiliki kondisi tubuh yang memaksa untuk membunuh agar bisa tidur. Sejak dia dipenjara, dia terus-menerus mengalami kurang tidur.”
Melihat Humafu, jelas bahwa dia benar-benar mengantuk. Dia terus menguap, matanya tertutup sedikit, lalu mendadak terbuka lagi. Hal ini terjadi berulang-ulang dalam pelukan Rogue.
“Hei, kau menghalangiku.”
“Aku ngantuuuk… tidur…”
“Aku ini bukan bantalmu. Lepaskan aku sekarang juga.”
“Tidaaakkk maaauuu… aku tidur di siniii…”
Humafu memeluk Rogue erat-erat, menggelengkan kepala dengan keras.
Rico, yang tampak lega, berkata,
“Dia sedang masuk fase tantrum. Sekarang saatnya untuk memisahkan dia.”
Dengan gerakan yang terlatih, Rico mengambil Humafu dari Rogue dan menyeretnya ke lantai.
Rogue tanpa sadar mendesah kagum.
“Rico, bagaimana kau bisa bertahan bekerja di tempat seperti ini? Aku benar-benar salut padamu.”
“Saya senang Anda akhirnya memahaminya,” jawab Rico dengan sedikit menaikkan sudut bibirnya, seolah tersenyum. Setelah memberikan salam kecil, dia membawa Humafu ke ujung aula.
Melihat mereka menghilang, kemarahan Rogue terhadap Miselia mulai muncul kembali.
“...Beraninya kau menyeretku ke dalam masalah ini.”
Nada suaranya jauh lebih tajam dari yang dia bayangkan. Miselia, yang masih terbaring di lantai, menjawab,
“Maaf, maaf. Tapi, Rogue-kun, kau benar-benar bisa diandalkan. Kau terlihat sangat keren tadi.”
“Jangan bicara omong kosong.”
“Tidak, aku serius. Kau benar-benar keren. Aku bahkan ingin keluar ke kota dan memamerkanmu. ‘Rogue-kun ku ini sangat luar biasa,’ begitu kira-kira.”
“Jangan menghinaku. Kau bisa menggunakan sihir mimpimu atau apa pun itu, dan menyelamatkan dirimu sendiri.”
“Hmm, itu sulit dilakukan,” kata Miselia sambil mulai bangkit. Kali ini, ekspresi serius muncul di wajahnya, membuat Rogue sedikit terkejut.
“...Apa yang sulit dilakukan?”
“Dengan adanya kalung ini, aku tak bisa menggunakan sihir itu terlalu lama. Begitu dia mencengkeram leherku, aku sudah kalah.”
“...Lalu kenapa kau malah memulai pertengkaran?”
“Karena menarik,” jawab Miselia, tersenyum malu-malu sambil memamerkan giginya.
“Menarik? Jadi kau sering melakukan hal seperti ini?”
“Lebih dari yang bisa dihitung oleh jari tangan dan kakimu.”
Rogue menghela napas panjang.
“Kau benar-benar tak punya kemampuan belajar, ya.”
“Seperti kata pepatah, manusia melupakan rasa panas setelah makanan melewati tenggorokan. Mengingat masa lalu itu hanya pekerjaan orang bodoh.”
“Itu kau sendiri yang sedang kau bicarakan, bukan?”
Saat itu, terdengar suara keras sesuatu terjatuh ke lantai.
“Ah, kenapa kau bisa berbicara dengan Miselia?”
Sebuah suara panik memotong pembicaraan mereka.
“...Apa?”
Rogue menoleh dan melihat seorang gadis baru di ruangan itu. Rambutnya cokelat kusam, mengenakan pakaian biarawati. Jarinya yang menunjuk ke arah Rogue bergetar, dan di kakinya tergeletak sebuah buku yang tampaknya baru saja dia jatuhkan.
“K-kau baik-baik saja? Apakah kau terluka? Apa kepalamu baik-baik saja?”
Gadis itu terlihat sangat tidak cocok dengan tempat ini. Matanya bergerak ke sana kemari, dan telinganya memerah—tidak ada tanda-tanda kepercayaan diri atau kebanggaan sebagai penyihir.
Terkejut oleh reaksinya, Rogue menjawab dengan canggung,
“Yah, aku tidak terluka…”
Namun gadis itu masih tampak gelisah, seolah-olah dia bahkan tidak mendengar apa yang Rogue katakan.
“Oh, kau harus menyebutkan namamu dulu supaya kami tahu siapa kau. Jangan lupa perkenalan khas itu,” ujar Miselia dengan senyum mengejek.
“B-baiklah. Aku adalah…”
Gadis itu tiba-tiba menempelkan tangan kirinya ke pinggang, sementara tangan kanannya diangkat dengan pose salam kemenangan. Jari-jari yang terbungkus sarung tangan membentuk simbol peace di dekat matanya.
“Aku adalah <Sang Perawan Suci> Catherine! Penyihir ketiga dengan tenggat eksekusi selama tiga ribu delapan ratus tahun! Gemetarlah ketakutanmu, Rogue McCavesta!”
“Aa...”
Rogue tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Terlebih lagi, orang yang melakukan itu tampak malu sendiri. Mata hijau zamrudnya hampir berlinang air mata, dan kulit putihnya memerah seperti direndam air panas. Sambil tetap mempertahankan pose, tubuhnya bergetar halus.
Jika Catherine melakukannya dengan penuh percaya diri, mungkin Rogue bisa mengerti. Namun, dengan pose yang setengah-setengah seperti itu, Rogue pun tak bisa membelanya.
“De-penyidik Rogue!? A-Aku adalah ‘Sang Perawan Suci’ Catherine! Penyihir ketiga yang masa eksekusinya adalah tiga ribu delapan ratus tahun!”
Mungkin mengira aku tidak mendengar, Catherine mengulang kalimat yang sama.
“Sudah cukup,” jawabku sambil menghela napas.
Angin dari ventilasi berhembus perlahan.
“O-oh, baiklah,” katanya sambil menurunkan lengannya dan menunduk. Lalu, dengan tatapan tajam, dia melirik Miselia yang berdiri di dekatku.
“...Miselia.”
“Oh? Ada apa? Wajahmu seperti habis diracuni saja.”
“Itu karena kau telah menipuku!”
“Menipu? Wah, tuduhan yang buruk sekali. Aku hanya bilang kalau dengan pose itu, mungkin si pendatang baru akan takut padamu.”
“Karena kau, aku... aku jadi seperti ini!”
“Yah, bukankah itu bagus? Setidaknya kau tak perlu repot memperkenalkan diri. Oh, Rogue-kun, Catherine memang seperti ini. Ayo, kita pergi.”
“Tunggu, Penyidik Rogue! Aku tidak seperti ini sebenarnya! Aku jauh lebih kompeten daripada kelihatannya!”
Catherine berkata dengan suara nyaris putus asa.
“Tidak, kau memang seperti itu,” kata Miselia sambil menghela napas.
“Dulu katanya kau sangat hebat, tapi sekarang malah menjadi seperti ini. Waktu memang kejam, ya.”
“Diam, Miselia! Penyidik Rogue, aku ingin ikut dalam penyelidikan ini! Bisakah kau memberiku informasi?”
“Hah... Baiklah, ayo pergi.”
“Eh...?” Catherine tampak seperti orang yang kehilangan harapan.
“Oh, kalau aku terus mendengarkannya, kita tidak akan pernah selesai,” kata Miselia sambil mengangkat bahu.
“Bukan kau yang kumaksud.”
“Apa?” Miselia terlihat bingung, ekspresi yang jarang kulihat. Dalam hati aku merasa puas.
“Ikuti aku, kita akan bicara di tempat lain, jauh darinya.”
“De-penyidik Rogue!” Catherine langsung memancarkan senyum penuh harapan.
Namun Miselia protes. “Kenapa aku dikecualikan!? Ini tidak masuk akal! Aku protes keras!”
“Protes? Apa yang kau maksud dengan protes? Kalau kau ada di sini, kita takkan pernah selesai berbicara! Kenapa kau selalu suka mengganggu orang lain?”
Miselia menyibakkan rambut perak panjangnya dengan penuh percaya diri dan berkata, “Tentu saja! Mengganggu orang lain adalah tujuan hidupku.”
“Buang saja tujuan hidupmu itu.”
“Ah, tidak pantas sekali kau berkata begitu, Rogue-kun. Hidup ini memang tentang saling mengancam dan...”
“Ayo pergi, Penyidik Rogue!” Catherine memotong dengan tegas.
“Kita pergi sekarang,”
“Rogue-kun!? Hei!” Miselia berteriak kesal.
※※※
Mereka pindah ke sebuah ruangan kosong dengan meja di dalamnya. Miselia sempat ngotot mengikuti kami, tetapi setelah aku mengabaikannya habis-habisan, dia akhirnya pergi dengan wajah cemberut. Aku yakin itu hanya pura-pura.
“Te-terima kasih, tuan Penyidik. Kau telah menyelamatkanku,” kata Catherine dengan nada menyesal.
Matanya yang hijau dan wajahnya yang terbilang cantik seharusnya memancarkan wibawa, tetapi alisnya yang melengkung ke bawah malah merusak kesan itu. Kalung di lehernya terlihat seperti aksesoris murahan yang dikenakan oleh seorang gadis pemalu yang terobsesi pada band punk.
“Aku tidak suka dia. Dia selalu menggangguku,”
“Dari lubuk hatiku, aku bersimpati padamu. Aku pun tidak tahan dengan dia,”
“Be-benarkah?”
“Ya, tapi mari kita tinggalkan pembahasan tentangnya. Ini adalah dokumen penyelidikan,” Kata Rogue sambil membentangkan beberapa dokumen yang telah dicetak.
“Begitu, ya.” Catherine mulai membaca dokumen dengan serius.
“Apakah kau juga terlibat saat penyelidikan ini dipegang oleh penyidik sebelumnya?”
“...”
“Hei, kau mendengar pertanyaanku?”
“A-aku dengar,” jawab Catherine, tiba-tiba menangis.
“Oi? Kenapa kau menangis?”
“So-soalnya... Penyidik sebelumnya adalah orang yang sangat baik. Tapi Miselia membuatnya bunuh diri... Padahal aku pikir kami sudah berteman... Hiks...”
“A-aku minta maaf. Sepertinya aku menanyakan hal yang salah.”
“Tidak apa-apa. Jangan khawatirkan aku,” katanya sambil menghapus air matanya.
“Oh, tapi aku belum sempat mengembalikan buku yang kupinjam darinya... Huuuu!”
“Bagaimana aku bisa tidak khawatir!”
Rogue berdeham untuk mengembalikan suasana ke arah yang lebih serius.
“Jadi, kau setuju untuk membantu penyelidikan ini, kan? Orang-orang lain tampaknya tidak ingin terlibat denganku.”
“Tentu saja,” jawab Catherine sambil menghapus sisa air matanya dengan sapu tangan.
“Aku tidak bisa membiarkan pelaku kejahatan sekejam ini berkeliaran begitu saja.”
Ekspresi lemahnya tadi hilang, tergantikan oleh tekad yang bulat. Namun, Rogue masih ragu.
“...Apa kau serius dengan pernyataanmu itu?”
“Serius soal apa?”
“Soal pelaku kejahatan yang kejam itu. Aku tidak tahu apa yang pernah kau lakukan sebelumnya, tetapi mereka yang seperti Miselia—mereka tampaknya hanya mencari alasan untuk melukai orang lain. Aku tak masalah jika kau ingin membantu, tetapi aku tidak ingin penyelidikan ini digunakan sebagai alasan untuk memenuhi ambisi pribadimu.”
Rogue menunggu respon nya. Akankah dia membantah dengan marah? Atau menangis lagi seperti sebelumnya? Atau, mungkin, memperlihatkan sisi aslinya sebagai penyihir? Setelah sekitar sepuluh detik, Catherine tiba-tiba menyipitkan matanya.
“Kau ini orang baik, ya,”
“Apa maksudmu?”
“Karena kau masih mau memastikan niatku. Biasanya orang tidak akan peduli dan langsung memberi tugas kepada penyihir.”
“...Tapi itu tidak membuatku jadi ‘orang baik,’ kan?”
“Kau memang orang baik. Aku bisa merasakannya!”
Rogue sedikit terguncang.
Berbeda dengan Miselia dan para penyihir lainnya yang memiliki sikap “tidak peduli terhadap orang lain”, Catherine tampak benar-benar tidak berbahaya.
(Tidak... Memikirkan hal itu terlalu ceroboh.)
Semua yang ada di sini adalah penyihir. Tidak mungkin ada penyihir yang tidak berbahaya. Penyihir selalu membawa kehancuran bagi manusia.
Rogue pun bertanya,
“Hei, apa kau pernah berpikir untuk keluar dari sini?”
“Tentu saja. Saat masih ditahan di Andevers, aku juga memikirkannya. Bahkan di sini, setiap malam aku selalu memikirkannya.”
(Lihat kan? Akhirnya mereka hanya ingin keluar saja.)
Catherine menundukkan alisnya dan melanjutkan,
“Tahu tidak, Tuan Penyidik? Kalau kami, para penyihir, membantu dalam penyelidikan, kami bisa mendapatkan pengampunan.”
Sepertinya meski penyihir tidak bekerja secara cuma-ca, tetap ada bentuk imbalan untuk mereka.
“Apa yang mereka berikan?”
“Seperti boneka, buku... Oh! Kadang-kadang makan malamnya jadi lebih mewah!”
“Kenapa rasanya itu seperti eksploitasi?”
“Bukan begitu! Setiap hari Jumat kami bisa menonton televisi!”
“......”
“Dan kalau kami benar-benar berprestasi, kami bahkan bisa mendapatkan apa yang kami inginkan. Misalnya—dibebaskan dari sini.”
“Apa itu benar-benar mungkin?”
Pernyataan mengejutkan itu membuat Rogue terperangah. Catherine tersenyum masam.
“Hampir mustahil. Bahkan Miselia belum pernah dibebaskan. Satu-satunya cara adalah dengan memberikan jasa besar, seperti menyelamatkan negara. Hanya dengan itu, Dua Bangsawan Agung mungkin akan bergerak.”
“Dan aku rasa tidak akan tinggal di Kekaisaran, bukan?”
“Benar. Hanya dalam bentuk pengasingan ke luar negeri. Kami akan dibawa dengan mata tertutup ke tempat yang tidak diketahui, tanpa uang, dan tetap mengenakan kalung ini.”
“Keadaan yang benar-benar kejam.”
“Sudah sepantasnya. Penyihir pantas mendapatkan apapun hukuman mereka. Karena kami adalah makhluk jahat.”
“......Jadi kau pun menganggap dirimu seperti itu?”
Catherine mengangguk pelan.
“...Aku dulunya ingin membantu orang-orang. Aku menggunakan sihirku untuk menolong siapa pun yang membutuhkan di seluruh Kekaisaran. Tapi suatu hari, aku gagal.”
Rogue tetap diam, mendengarkan kelanjutan ceritanya.
“Insiden itu melibatkan banyak orang. Jumlahnya begitu banyak, aku bahkan tidak bisa mengingatnya. Dalam situasi itu, sihirku... gagal.”
Suaranya nyaris tak terdengar, seperti ia memeras kata-kata itu dari tenggorokannya. Catherine membalikkan tubuhnya, menghindari tatapan Rogue.
“Maaf... Aku malah menceritakan hal yang tidak penting. Kita tidak punya waktu untuk ini, kan?”
“...Ya.”
Apakah itu sebuah kebohongan atau kenyataan, Rogue tidak bisa memutuskannya. Ia malah berpikir, apakah semua penyihir disebut sebagai penyihir karena benar-benar jahat?
Apakah dalam kasus seperti Catherine, di mana kecelakaan tak disengaja merugikan Kekaisaran, moralitas seseorang diabaikan begitu saja?
Kepribadian para penyihir yang buruk seperti Miselia jauh lebih mudah dipahami. Dengan begitu, Rogue bisa dengan yakin menganggap mereka sebagai sosok yang benar-benar jahat.
“Penyidik Rogue, aku akan mulai dari kalangan militer. Terima kasih sudah mendengarkan ceritaku...”
Setelah mendengar kata-kata Catherine, Rogue membuat keputusan yang bahkan ia sendiri tak percaya.
“Di Distrik Tiga, ada seorang informan bernama Daniel yang sering berada di ‘Pop Mart’. Dia semacam pengintai yang gemar mengumpulkan skandal militer. Katakan saja aku yang menyuruhmu ke sana, dia pasti akan berbicara.”
“Eh?”
Catherine berkedip, tampak kebingungan.
(Apa yang kulakukan?)
Rogue mencaci dirinya dalam hati. Memberitahu penyihir, seorang kriminal, tentang sumber informasi penyelidikan adalah tindakan yang tak masuk akal. Tapi dia tetap melakukannya.
“Sialan...”
“Ah! Aku tahu! Agar kita bisa membagi tugas, kan? Tuan Penyidik, terima kasih!”
Tiba-tiba, Catherine memeluknya.
Sensasi lembut dan hangat yang tak disangka menyelimuti tubuhnya.
“Eh...!”
Semua pikirannya berhenti. Apa yang baru saja terjadi? Apa yang menyentuh Rogue saat ini?
“Wah, wajah Anda merah sekali! Kenapa begitu?”
“Lepaskan...!”
“Lepaskan? Maksudnya apa?”
Catherine malah mendekatkan telinganya ke mulut Rogue untuk mendengar lebih jelas. Rambutnya begitu dekat, bahkan aroma sabun menyeruak di udara.
Upaya Rogue sia-sia. Catherine baru melepaskannya satu menit kemudian.
※※※
Lima menit setelah itu, Miselia masuk ke ruangan Rogue. Begitu membuka pintu, dia berhenti sejenak, mengendus-endus udara seperti anjing, lalu bergumam.
“Ah, ini merepotkan.”
“...Apa maksudmu?” tanya Rogue lemas.
“Masalahku sendiri. Banyak hal terjadi,” jawab Miselia dengan santai.
“Baiklah, Rogue-kun! Sekarang pengganggu sudah pergi, kita bisa lanjutkan penyelidikannya!”
“Aku tidak mau lagi bekerja denganmu.”
“Mana bisa aku membiarkanmu istirahat? Meski hubungan kita singkat, aku harap kau sudah memahami itu.”
“Dengar, penyihir. Manusia tidak bisa begitu saja saling memahami.”
“Kalau begitu, aku akan berusaha lebih keras. Kita harus saling mengenal lebih baik!”
“Diam kau!”
“Responmu cukup kasar, Rogue-kun!”
Rogue merasa sedikit puas. Itu balasan yang pantas.
Miselia memutar-mutar rambutnya dengan jari dan berkata dengan nada malas,
“Hasil analisis obat-obatan yang disita dari Zack Knoll sudah keluar.”
“Secepat itu? Di sini kan tidak ada ahli forensik. Siapa yang melakukannya?”
“Tentu saja kami, para penyihir.”
“...Jangan-jangan kau mencuri barang bukti itu?”
“Jangan menuduh sembarangan. Aku hanya meminjamnya sebentar. Lagipula, sedikit saja tidak akan jadi masalah, kan?”
“Itu jelas masalah besar!”
“Polisi terlalu lambat untuk diandalkan.”
“Oi, Angene! Ini saatnya kau muncul!” kata Miselia sambil memanggil ke arah ventilasi.
Rogue mendongakkan wajahnya dan bersiap siaga.
“…Jangan bilang dia keluar dari situ?”
“Memanggilku?”
Suara bisikan terdengar di telinganya, membuat Rogue berteriak.
“Oooh!?”
Ketika ia berbalik, seorang gadis sudah menempel erat di punggungnya. Rogue melompat mundur, menjaga jarak, dan menatap gadis itu dengan saksama. Dia cukup tinggi hingga Rogue harus mendongak untuk melihat wajahnya. Gadis itu mengenakan jubah panjang, dengan rambut yang menutupi mata kanannya, dan auranya menyerupai hantu dengan sikapnya yang tenang seperti ranting willow.
Miselia membuka mulutnya untuk memberi penjelasan.
“Ini ‘Worker' Angene. Ahli dalam membuat bom, meracuni, memeriksa mayat, meretas, dan banyak lagi hobi lainnya. Di sini, dia biasanya bertugas sebagai analis. Menurut Dewan Bangsawan, dia adalah Penyihir nomor satu.”
“Jadi, kenapa tadi kau sengaja mengejutkanku!?”
“Xixixi, Miselia, orang ini sangat berisik.”
“Benarkan?”
“Hei, aku bisa menghajarmu!”
Rogue menatap mereka dengan tajam, tapi Miselia justru mengejek.
“Ayo, ayo, coba saja kalau bisa! Aku tunggu!”
Dengan susah payah, Rogue menahan amarahnya. Dia kemudian bertanya kepada penyihir baru ini.
“…Apa hasil analisisnya?”
Angene menjawab sambil tersenyum kecil.
“Xixixi, campuran obat penguat otot, penguat sihir, pereda nyeri, dan berbagai bahan lain yang diracik menjadi minuman spesial. Jika diminum, kau bisa bergerak tanpa tidur selama seminggu penuh. Rasanya seperti mereka sedang mencoba menciptakan pahlawan super. Xixixi!”
Angene membungkukkan tubuh tinggi langsingnya sambil tertawa, suara tawanya terdengar menyeramkan.
“Obat untuk menciptakan pahlawan super, ya… Benar-benar seperti sedang mempersiapkan kejahatan berikutnya,” komentar Rogue.
Miselia mengangguk.
“Mungkin begitu. Bisa jadi semua yang sebelumnya hanya latihan. Kalau korban sihir mereka hanya dibuang sembarangan di gang belakang seperti itu, tanpa dekorasi apapun, jelas para korban itu hanya dianggap sepele. Mereka tidak lebih dari kelinci percobaan.”
Meskipun perkiraannya menyebalkan, apa yang dikatakan Miselia memang masuk akal.
Pelaku tidak berusaha menutupi jejaknya dengan baik, seolah ingin korban-korban itu ditemukan.
Rogue bertanya lagi kepada Angene.
“Apakah Zack Knoll menyiapkan obat itu dalam jumlah banyak?”
“Tidak, hanya satu. Beberapa bahan didapat dari luar negeri, tapi setelah aku meretas server dan memeriksa riwayat pembeliannya, ini pertama kalinya dia membuatnya. Xixixi, mungkin ini hadiah untuk temannya. Indah sekali persahabatan mereka. Xixixi.”
Setelah tertawa menyeramkan, Angene berbalik. Dia berjalan menuju pintu dengan langkah ringan yang nyaris tak bersuara meskipun memakai sepatu berhak tinggi.
“Kau mau ke mana?”
“Pulang, tentu saja. Tugas sudah selesai. Xixixi, sisanya kuserahkan padamu.”
Suaranya yang dingin dan tawa aneh itu menghilang bersamaan dengan pintu yang tertutup.
“…Apa penyihir selalu segampang itu menyerahkan semuanya?” gumam Rogue.
Miselia menjawab sambil tersenyum.
“Dia memang seperti itu. Kebanyakan waktunya dihabiskan di kamar, katanya untuk meneliti sihir.”
“Penelitian sihir? Kau yakin itu tidak berbahaya?”
“Entahlah. Tapi aku rasa aman-aman saja.”
“Bodohnya diriku bertanya padamu....”
Rogue hanya bisa menarik napas panjang. Setidaknya, selama ‘kalung’ sihir itu masih berfungsi, mereka seharusnya aman.
Namun, tetap ada rasa was-was di dalam hatinya. Ia kembali menatap berkas-berkas kasus Zack Knoll di tangannya. Dalam tiga hari, pria itu dijadwalkan keluar dari tahanan. Hingga saat ini, apakah dia akan diadili atau tidak masih belum diputuskan. Yang jelas, Zack tahu banyak tentang ‘Lifetaker’, dan akan lebih berguna jika dilepaskan.
Masalahnya, bagaimana membuat pria itu bicara?
Rogue menatap foto Zack Knoll yang diambil di dalam tahanan—pria dengan wajah masam. Saat itu, Miselia mendekat dan mengintip dari belakang bahunya.
“Menurutku, menyiksanya akan menjadi cara tercepat. Dia sudah berhasil ditangkap sekali.”
“…Itu tidak akan terjadi.”
“Kalau begitu, apa rencanamu?”
“Dia rela mempertaruhkan nyawanya demi seorang teman. Pasti dia juga sudah bersiap menghadapi ‘Pembaca Ingatan’. Tidak ada cara lain selain mengumpulkan bukti dengan kerja keras.”
“Baiklah, kalau begitu. Selamat bekerja, teman kecilku.”
Nada Miselia terdengar mengejek, membuat Rogue merasa makin kesal.
“Kita cari teman Zack Knoll ini. Persiapkan dirimu.”
“Siap, teman sejatiku.”
“…Kau bukan temanku.”
※※※
Di Distrik Lima, ada sebuah klub bernama ‘West’ yang dikelola oleh seorang kriminal kecil bernama Michael. Rogue cukup mengenalnya; Michael ahli dalam menilai orang-orang berbahaya dan tahu kapan harus merendahkan diri jika situasi mengancam.
Rogue dan Miselia dipandu oleh penjaga menuju ruang VIP di lantai dua. Dari balik dinding kaca ruangan itu, mereka bisa melihat para pengunjung yang menikmati pesta di bawah.
“Aku tidak mengerti apa menyenangkannya dari menari,”
Michael, dengan gigi emasnya yang mencolok, tertawa.
“Hehe, mereka itu mabuk suasana, Rogue. Kalau sudah mabuk, apa pun terasa menyenangkan.”
Michael duduk di sofa dengan gaya sok penting. Saat pandangannya tertuju pada Miselia, matanya terlihat menilai.
“Silahkan duduk bersama teman Anda. Minuman juga sudah disiapkan.”
Namun, Rogue langsung memotong.
“Tidak perlu. Kau pasti sibuk, jadi kita langsung keintinya saja. Ada mantan tentara yang berhubungan dengan Zack Knoll, terutama yang punya anak. Kau tahu siapa itu?”
“Oh, begitu ya. Tapi, Rogue, bisnis kami sedang sulit belakangan ini, jadi—”
“Jangan mengada-ada. Jawab saja pertanyaanku. Aku tidak tertarik bernegosiasi denganmu.”
Michael terkekeh, gigi emasnya berkilau.
“Haha, baiklah. Darah dingin Rogue masih seperti biasanya.”
“Kalau kau tahu itu, cepatlah bicara. Aku tak punya waktu untuk permainanmu.”
Berhadapan dengan orang seperti Michael, cara terbaik adalah tidak memberinya kesempatan berbicara terlalu banyak. Meskipun hanya seorang penjahat kecil, mereka adalah ahli dalam memutarbalikkan situasi demi keuntungan mereka sendiri. Cara paling efektif adalah menggunakan otoritas dan kekuatan untuk menundukkan mereka.
“Baiklah, kalau informasi yang kudengar dari anak buahku cukup buatmu,” ucap Michael.
“Katakan saja.”
“Dia juga seorang mantan tentara, seangkatan dengan Zack Knoll. Dia sering bercerita tentang Zack, katanya dia dulu sangat serius dalam hidupnya, jadi cukup mengejutkan melihat Zack beralih menjadi pengedar barang illegal.”
“Ya, aku juga cukup kaget. Lalu, siapa orangnya?”
Michael mengangkat bahu.
“Dia berhenti bulan lalu. Katanya mau pulang kampung.”
“Ke mana? Dia punya anak?”
“Setahuku tidak. Kalau dia belum pindah, seharusnya dia ada di sebuah pulau kecil bernama Harbin, di seberang laut. Kau tahu tempat itu?”
“Tidak. Apakah dia masih bisa dihubungi?”
“Sayangnya tidak, aku tidak punya kewajiban menjaga urusan orang yang sudah berhenti bekerja.” jawab Michael sambil tersenyum.
“Michael. Kalau masalah ini sampai merepotkan kami, aku akan kembali ke tempatmu.”
“Hehe, aku tidak menyembunyikan apa-apa, kok. Bisnis kecil seperti kami hanya bisa bertahan karena kemurahan hati penyidik sepertimu.”
“Bagus kalau kau sadar. Lalu, siapa namanya? Kalau ada foto atau apa pun, berikan padaku.”
Michael memanggil penjaganya, yang segera keluar dan kembali membawa dokumen.
“Ini daftar nama staff kami, karna tidak ada yang perlu kami sembunyikan.” katanya dengan senyum kecil.
“Kita lihat saja nanti,”
“Perlu kuperbanyakkan salinannya?”
“Tidak perlu.”
Michael lalu menoleh ke arah Miselia.
“Ngomong-ngomong, siapa wanita ini?”
“Kau tak perlu tahu.”
“Ah, begitu ya,” ujar Michael, meski matanya tetap memandang Miselia dengan tatapan curiga. Miselia hanya tersenyum padanya.
“Sampai sini saja urusan kami,”
“Kalian sudah mau pergi?”
“Ya. Seperti katamu, kami tak ada yang disembunyikan.”
Saat mereka keluar dari klub, langit sudah gelap, dan bulan menggantung di langit yang suram. Rogue dan Miselia masuk ke mobil, bersiap meninggalkan parkiran.
“Rogue-kun, barusan kau terlihat seperti Penyidik sungguhan. Hebat juga, ya.” Miselia membuka pembicaraan dengan nada ringan
“Diam.”
“Tapi, rasanya kita seperti kembali ke titik awal lagi, ya.” lanjut Miselia sambil memandang keluar jendela,
“…Ya,”
Fakta bahwa target mereka berada di luar negeri membuat segalanya lebih sulit. Namun, bukan itu saja yang membuat Rogue merasa investigasi mereka kembali ke awal.
“Sepertinya kemungkinan bahwa Lifetaker adalah anak seorang tentara tidak terlalu kuat.”
“Oh? Itu juga yang kupikirkan, boleh tahu kenapa kau berpikir begitu?”
“Bukan karena omongan Michael tadi, tapi aku teringat kasus serupa yang pernah kutangani. Dulu aku menangkap seorang penyihir bernama Second Allen. Dia ahli menggunakan sihir perubahan bentuk, dan menyamar sebagai orang lain bernama Allen untuk mengacaukan penyelidikan. Bahkan, dia menyembunyikan simbol sihir di dalam giginya agar tidak terdeteksi.”
“Menaruh simbol di tubuh sendiri memang sudah biasa. Tapi di gigi? Bagaimana caranya?”
“Dia menggunakan laser untuk memahatnya. Dia punya rekan penjual alat-alat canggih.”
Miselia mengangguk pelan.
“Teknologi modern benar-benar mengesankan, ya. Jadi kau pikir Lifetaker juga begitu?”
“Ya. Dia bisa memanipulasi usia korbannya—membuat mereka jadi bayi atau orang tua sebelum membunuhnya. Kalau begitu, kemungkinan besar dia juga menggunakan sihir itu pada dirinya sendiri untuk terlihat seperti anak-anak.”
“Begitu, ya. Jadi Zack Knoll menyembunyikan fakta ini, atau dia memang tidak tahu.”
Miselia bertepuk tangan kecil.
“Hebat, Rogue-kun. Kesimpulanmu cocok dengan dugaanku.”
“Diam.”
“Tapi, boleh aku tepuk-tepuk kepalamu? Kerja bagus, kau memang pintar.” Miselia melanjutkan dengan nada usil
“Jangan coba-coba. Lebih baik pikirkan langkah kita selanjutnya.”
“Baiklah, tapi aku punya ide lain.”
“Dan apa itu?”
“Barusan aku bilang kita kembali ke titik awal, kan? Tapi sebenarnya mungkin tidak sepenuhnya begitu.”
Rogue menghentikan mobil di lampu merah, sementara seorang wanita tua perlahan menyebrang di depan mereka.
“Maksudmu?”
“Lifetaker memilih menyamar jadi anak-anak, kan? Kenapa? Kalau tujuannya untuk mengacaukan penyelidikan, bukankah lebih efektif menyamar jadi pria dewasa seperti kebanyakan orang di kota ini?”
“Itu benar, tapi…”
“Aku punya alasan yang lebih masuk akal. Kau mau tahu?”
Miselia menatap Rogue dengan mata berbinar, seolah meminta sesuatu.
“Aku sedang menyetir. Cepat katakan.”
Ketika lampu lalu lintas berubah hijau, Rogue langsung tancap gas, membuat Miselia hampir terjatuh ke depan. “Guh!” keluhnya. Rogue hanya tersenyum sinis.
Setelah menegakkan duduknya, Miselia berbicara dengan nada serius.
“Menurutku, dia sengaja memancing kita. Dia ingin kita mengejarnya.”
“Mengapa dia melakukan itu?”
“Untuk melawan balik. Lifetaker mungkin ingin mengeliminasi siapa pun yang menyelidikinya. Dalam hal ini, kita adalah target yang jelas—Penyidik yang mencari keluarga tentara.”
“Dia ingin melawan Penyidik?”
“Itulah kemungkinannya.”
Sulit untuk percaya bahwa seorang kriminal akan sengaja menargetkan Penyidik. Itu tindakan bunuh diri yang hanya akan membuat semua penyidik negara memburunya.
“Aku tidak peduli. Kalau dia datang, aku akan menyambutnya.”
“Itu yang ingin kudengar,”
Miselia tersenyum puas, lalu mulai berpura-pura bertinju di kursi penumpang.
“Berhenti main-main.”
“Lihat ini! Aku punya gerakan baru. Apa kau tidak terkesan?”
“Tidak. Kau hanya membuat mobilnya bergoyang. Hentikan.”
“Kau ini tidak bisa diajak bercanda. Apa kita tidak bisa mengobrol lebih banyak?”
“Kita sudah berbicara terlalu banyak.”
“Buatku itu belum cukup. Ayo, kita bicara sampai suaramu habis!”
“Ngomong sendiri saja. Kau kan pandai melakukan itu.”
“Tentu saja! Aku bisa bicara sendirian selamanya, tahu!”
Miselia mendekatkan mulutnya ke telinga Rogue.
“Kalau begitu, aku akan terus berbicara sendiri seperti ini di dekat telingamu. Kau tidak keberatan, kan?”
“Apa yang—”
Hembusan napas hangat menyentuh telinganya.
Sesaat kemudian, gumaman Miselia, seperti mantra, mengalir tanpa henti. Sensasi geli membuat seluruh tubuh Rogue merinding, pipinya mulai memanas. Namun, bukan hanya karena itu. Isi dari gumaman itu sangat tidak penting, begitu tidak berharga, hingga semakin lama ia mendengarnya, kesadarannya mulai memudar. Ketika pandangannya hampir berbalik ke atas, Rogue mendorong Miselia dengan bahunya.
“Baiklah! Aku akan bekerjasama! Hentikan itu sekarang juga!”
“Benarkah? Aku senang mendengarnya,” ujar Miselia, namun gumamannya masih berlanjut.
“Sekarang juga!”
“Kau terlalu banyak meminta.”
“Kau tidak pantas mengatakan itu!”
Dengan sepenuh hati Rogue membalas, namun Miselia hanya bersikap seolah tidak tahu apa-apa. “Padahal aku ini termasuk orang yang rendah hati,” katanya dengan nada memancing. Rogue hanya membalasnya dengan menggeretakkan giginya.
(Penyihir ini benar-benar membuat kesal.)
“Jadi, apa yang akan kita lakukan selanjutnya?”
Miselia bertanya tanpa memedulikan ekspresi kesal Rogue.
“Walau sudah buntu, bukan berarti kita tidak melakukan apa-apa, bukan?”
“Tunggu sebentar.”
“Oh? Kau punya ide?”
Rogue tidak menjawab, hanya mengambil perangkat komunikasinya.
“Kita ubah tujuan kita.”
※※※
Hampir tengah malam. Meski begitu, para staff di Biro Investigasi tetap bekerja tanpa henti. Dari jendela Kantor Wilayah Ketiga tempat Rogue dulu bekerja, terlihat cahaya oranye samar. Karena sudah menyampaikan maksud sebelumnya, ia bisa masuk tanpa hambatan. Beberapa Penyidik dan petugas administrasi memandangnya tanpa ragu, tetapi ia memilih mengabaikannya.
Tujuannya adalah ruang arsip di lantai bawah tanah. Bersama Miselia, Rogue segera masuk, disambut oleh deretan file yang memenuhi dinding.
“Ketika buntu, lihat arsip lama. Begitu, kan?”
Miselia memandangi file-file itu dengan penuh minat.
“Lalu, apa yang kita cari?”
“Kau ingat gerbang teleportasi yang ada di tempat Zack Knoll, kan? Kita cari tahu apakah pernah ada kasus yang menggunakan gerbang serupa.”
Rogue menjelaskan sambil mengeluarkan file dari rak. Jawabannya adalah suara kaget dari Miselia.
“Dari semua ini?”
“Tentu saja.”
“Rajin sekali, ya.”
“Kenapa kau terdengar seperti penonton? Kau juga harus ikut.”
“Berapa kali harus kujelaskan? Aku ini lemah. Lihat tangan halusku ini, seperti ikan kecil. Aku tidak bisa melakukan pekerjaan berat.” Miselia menggulung lengan bajunya.
“Baru saja kau membanggakan kemampuanmu. Jangan terus-terusan berbohong.”
“Kau memanggilku pembohong? Jangan begitu. Aku benci pembohong. Mendengar kalimat itu saja aku bisa gatal-gatal.”
“Kau baru saja berbohong lagi.”
Merasa tak sanggup lagi meladeni Miselia, Rogue memilih fokus pada pekerjaannya. Ukiran pada gerbang teleportasi itu memiliki ciri khas yang mudah dikenali. Jika pernah digunakan untuk kejahatan, itu akan langsung terlihat. File-file tersebut diatur berdasarkan tahun, dan Rogue mulai menyisirnya satu per satu. Ketika sepersepuluh file selesai, Miselia akhirnya bergabung. Dari kejauhan, ia mulai memeriksa file dengan serius sambil berbicara.
“Sudah tengah malam. Kau mau terus begini sampai pagi?”
“Sampai aku menemukan jawabannya.”
“Semangat sekali.”
“Gerbang teleportasi itu belum terdaftar di sistem. Kita harus memeriksanya secara manual.”
“Kau tidak ingin membungkus diri dengan selimut hangat?”
“Itu hanya keinginanmu saja.”
Keras kepala sekali, umpat Miselia. Namun, meski ia suka bercanda, pekerjaannya dilakukan dengan efisien. Ia membolak-balik halaman file dengan cepat, bahkan lebih cepat daripada Rogue. Hanya dengan sekali lihat, seolah ia langsung memahami isinya.
“Kau yakin sudah memeriksa dengan benar?”
“Ini tidak sulit bagiku. Lebih mudah daripada menyusun enam tingkat menara kartu.”
“Perbandingan macam apa itu?”
Saat Rogue menunduk memeriksa file, tiba-tiba ia berhenti.
“Tunggu, aku menemukan sesuatu.”
Ia memanggil Miselia.
“Satu bulan lalu, ada kasus seseorang dengan ketergantungan obat yang mengukir simbol teleportasi di dinding gedung. Ukiran itu kacau dan tidak berfungsi, jadi kasusnya tidak besar. Tapi, apakah ini ada hubungannya dengan Zack Knoll?”
“Jelaskan lebih lanjut.”
“Seorang pecandu tidak punya alasan untuk menggambar simbol semacam itu. Zack Knoll adalah pengedar. Mungkin dia memerintahkan pelanggannya untuk mengukir simbol itu dengan tujuan tertentu.”
“Lalu?”
“Motifnya belum jelas. Tapi ini adalah petunjuk. Kita harus memeriksa orang itu.”
Rogue mengembalikan file ke tempatnya dan bersiap pergi, tetapi Miselia tiba-tiba berdiri di jalannya.
“Apa yang kau lakukan?”
“Membantumu,” jawab Miselia dengan senyum.
“Minggir.”
“Rogue-kun, aku hanya ingin menghemat waktumu. Lihat ini.”
Miselia menarik file dari rak terdekat. Di dalamnya terdapat foto gerbang teleportasi milik Zack Knoll.
“Ini…!”
“Sepertinya dugaanmu benar. Ada enam belas orang lain yang tertangkap karena memasang gerbang teleportasi ilegal. Mau memeriksa detailnya? Aku bisa menunjukkan di mana.”
Miselia mengembalikan file itu ke tempatnya, sementara Rogue menatapnya bingung.
“Apa yang kau ketahui?”
“Tidak ada. Aku hanya mengira-ngira, seperti yang kau lakukan.”
“Jelaskan dengan jelas!”
“Tenang saja. Kau akan segera melihat ‘sesuatu’ terjadi,” ujar Miselia sambil menepuk bahu Rogue dan berjalan melewatinya.
Rogue memandang punggung Miselia yang bersandar santai di dinding. Meski menyebut ini sebagai dugaan, cara Miselia bicara menunjukkan kepastian.
“Jangan membuang-buang waktuku.”
Saat penyihir itu berjalan mendekati Rogue, ia berkata dengan tenang,
“Tenang saja. Tidak akan terjadi apa-apa di sini. Tapi sebaiknya kau bersiap-siap untuk pergi.”
Entah sejak kapan, kunci mobil telah berada di tangannya. Miselia memainkannya sejenak sebelum melemparkannya ke arah Rogue. Dengan cepat, Rogue menangkapnya dengan tangan kanan.
Namun, saat itu juga, ponsel di saku Rogue bergetar. Dia segera mengeluarkannya dan menjawab panggilan tersebut.
“Penyidik Rogue!”
Suara yang begitu keras hingga gendang telinga Rogue terasa bergetar. Nada suaranya terdengar panik, tapi Rogue mengenalnya. Itu adalah suara Catherine, penyihir ketiga dengan kode identifikasi The Saint.
“Catherine, apa itu kau?”
“Benar! Penyidik Rogue, berkat informasi darimu, aku berhasil melacak keberadaan pelaku! Aku sedang mengintai markas mereka sekarang!”
(Pelaku? Markas? Apa yang dikatakan Catherine benar?)
“Tunggu, di mana lokasimu!?”
“Di Distrik Perdagangan Diro, Jalan Barat Ketiga, dekat klinik gigi, rumah beratap merah! Aku mengintai dari bangunan terdekat!”
“Hei, dengarkan aku—”
“Mobil pelaku baru saja tiba! Aku tutup panggilan ini.”
“Tunggu!”
Sambungan terputus.
“Dasar bodoh!” aku memaki sambil menggertakkan gigi.
“Sepertinya itu jebakan, tidak mungkin The Executioner muncul semudah itu. Jebakan mereka malah menangkap Catherine.” kata Miselia dengan santai, sambil menyilangkan tangannya.
Rogue menatap Miselia dengan tajam.
“Apa ini semua ulahmu?”
“Mana mungkin. Aku hanya menebak saja, pikirkan baik-baik. Kenapa pelaku memasang portal teleportasi? Dengan begitu banyak penyidik di mana-mana, wajar mereka memastikan cara melarikan diri. Portal seperti itu sangat berguna untuk kabur, atau bahkan untuk memancing korbannya.” jawabnya sambil mengangkat bahu.
Miselia mengetukkan jarinya ke lehernya, tepat di pembuluh darah, sambil tersenyum.
Memang masuk akal. Sebagai kaki tangan The Executioner, Zack Knoll pasti memiliki motif memasang portal teleportasi. Masalahnya adalah informasi Rogue justru menempatkan Catherine dalam bahaya.
Rogue meraih gagang pintu ruangan arsip, namun suara Miselia terdengar dari belakang.
“Kau mau menyelamatkannya?”
“Itu sudah jelas!” seru Rogue tanpa ragu.
Rogue membuka pintu dan berlari keluar. Tapi langkah Miselia tetap mengikuti di belakang Rogue. Meski dia mempercepat langkah, suara itu tetap membayangi.
“Bukan hal yang bijak. Biarkan saja dia dibunuh oleh The Executioner.”
“Diam!” bentak Rogue hampir menabrak seorang staff di koridor.
Rogue menghindar, tapi kehilangan keseimbangan dan hampir jatuh. Ketika menahan tubuhnga dengan tangan di dinding, Miselia muncul tepat di depan wajah Rogue, menatap dengan pandangan tajam dari bawah.
“Kau sudah tenang?” tanyanya lembut.
“Dengar baik-baik. Aku tetap akan menyelamatkannya.”
“Sudah kukatakan berkali-kali, ini keputusan yang buruk. Catherine adalah penyihir. Di balik wajah manis itu, dia hanyalah seekor binatang. Tidak ada gunanya bersikap baik padanya.”
“Kau juga penyihir, bukan?”
“Benar sekali, Penyidik Rogue.”
“Kau sendiri yang membuatku berkata begitu!”
Miselia terkikik pelan, senyumnya merekah.
“Benar, kau benar sekali. Karena itu, aku akan menceritakan sesuatu yang menarik. Ini tentang seorang penyihir yang pasti kau kenal. Dia luar biasa, tahu? Di antara para penyihir di Divisi Keenam, dia adalah yang paling banyak membunuh dan melukai manusia.”
“Kau dan dia mungkin tak jauh berbeda.”
“Tidak sama sekali. Kami sangat berbeda, mau dengar lanjutannya?”
“Terserah.”
Dengan enggan Rogue mendengarkan ceritanya sambil tetap berjalan menuju pintu keluar kantor.
“Penyihir ini memiliki hubungan yang luar biasa dengan sihir. Setiap kali dia menginginkan sesuatu, sihir akan datang kepadanya dari dimensi lain. Seperti kau yang belajar kata-kata dan norma, dia belajar berbagai macam sihir. Kau percaya? Dia telah menguasai lebih dari sepuluh ribu jenis sihir.”
Miselia tertawa kecil sambil terus berbicara dengan nada riang.
“Dia menggunakan kekuatannya untuk menyelamatkan orang. Orang-orang mempercayainya. Mereka merasa aman setiap kali dia ada.”
“Lalu?” tanya Roguesingkat.
“Dia mengkhianati semua orang yang mempercayainya.”
“Kenapa?”
“Ada gunung berapi di dekat kotanya yang mulai aktif. Jika meletus, itu akan menjadi bencana besar. Orang-orang memanggilnya, karena mereka yakin dia bisa menghentikan letusan itu. Tapi—”
Miselia mendekat, berbicara dengan suara pelan.
“Dia gagal. Atau lebih tepatnya, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia tidak bisa menggunakan sihirnya. Alasannya? Entah mungkin karena tekanan. Bagaimanapun, itu adalah kampung halamannya.”
Rogue memasukkan kartu akses ke pembaca di pintu keluar, dan angin malam yang dingin menyambutku. Saat Rogue menyipitkan mata karena hembusan angin, Miselia kembali mendekat, menatapnya dengan pandangan tajam sambil tersenyum.
“Apa pendapatmu setelah mendengar cerita ini? Menurutmu, penyihir butuh diselamatkan?”
Tatapan biru itumenembusk Rogue, seolah mencoba membaca isi hatinya. Rogue mengalihkan pandangan, lalu menjawab dengan tegas.
“Aku tidak peduli.”
Tanpa menunggu jawaban, Rogue melangkah keluar menuju malam yang gelap.
※※※
Mobil memasuki halaman rumah dan berhenti. Dari dalam mobil keluar sesosok tubuh kecil. Itu adalah Yudic. Dia mengenakan mantel abu-abu dan topi yang menutupi wajahnya. Catherine mengintip dari balik pagar rumah dan berbisik dalam hati, “Roh kecil, bisakah kau melepaskan topinya?”
Tentu saja, tidak ada roh semacam itu. Di masa lalu, ketika penelitian tentang sihir belum berkembang, Catherine biasa menyebut kekuatan sihirnya sebagai roh kecil. Bahkan sekarang, dia tetap menyebutnya demikian, karena menurutnya itu membuatnya terdengar lebih seperti Sang Santa.
Dengan gumaman pelan, sihir mulai bekerja untuk Catherine. Bagi matanya, itu tampak seperti bola-bola cahaya yang berkumpul, menyerang topi Yudic dan menjatuhkannya ke tanah. Dari sudut pandang orang lain, itu akan terlihat seperti topi itu tertiup angin.
Mengendalikan sihir dengan kehendaknya adalah sesuatu yang mudah bagi Catherine. Dia tidak memerlukan mantra rumit atau ukiran sihir. Cukup dengan mengucapkan kata-kata.
Yudic membungkuk untuk mengambil topinya.
(Sebentar lagi wajahnya akan...) pikir Catherine penuh antusias.
Namun, wajah Yudic tertutup kain, hanya menyisakan lubang kecil untuk matanya yang keemasan. Mata itu bergerak cepat, langsung menatap ke arah Catherine.
── Ketahuan.
Saat itu juga, bola-bola cahaya di sekitar Catherine mulai bergerak, mengepung rumah.
(Kenapa!?)
Namun, itu bukan tanpa perintah. Ketika dia melihat lebih dekat, Catherine menyadari bahwa di sekeliling rumah ada ukiran-ukiran yang hampir tidak terlihat, menyatu dengan warna tanah.
“Awww!”
Rasa sakit tajam menyerang punggung Catherine. Ketika dia menoleh, dinding putih transparan telah tumbuh di sekitar rumah, seperti melindungi dan memenjarakan mereka. Dinding itu tampak berkilauan seperti cairan, bergoyang saat dilihat. Ketika Catherine menyentuhnya dengan hati-hati, rasa sakit seperti terbakar langsung menyengat jari-jarinya.
(Ini...)
“Ini adalah zona anti-sihir. Dinding ini memastikan tidak ada yang bisa melarikan diri dari dalam,” sebuah suara teredam terdengar.
Yudic sudah berdiri tegak, menatap Catherine.
“A-apa kau akan membunuhku?” tanya Catherine.
“Aku tidak ingin membunuh orang sepertimu. Tapi pada akhirnya, itulah yang akan terjadi,” jawab Yudic.
“Aku akan menangkapmu! Bersiaplah!” teriak Catherine dengan penuh keyakinan.
Namun, Yudic hanya memandangnya dengan tatapan meremehkan. Itu memberikan Catherine sedikit celah. Dengan kemampuannya, Catherine mampu memanipulasi sihir, bahkan mengganggu sihir milik orang lain.
(Roh kecil, berhenti!) Catherine berusaha menghentikan dinding itu.
Namun, tidak ada yang terjadi. Dinding transparan itu tetap ada, mengepung mereka.
“K-kenapa!?”
Yudic tertawa, bahunya terangkat saat dia menertawakan Catherine.
“Di dalam zona ini, semua energi sihir difokuskan menjadi dinding. Apa pun yang ingin kau lakukan, itu tidak akan berhasil,” jelasnya.
Catherine menatapnya tajam, tetapi Yudic terus tertawa.
“Aku tidak akan mendekatimu. Aku tidak ingin meninggalkan bukti apa pun,” katanya sambil mengeluarkan pemantik api dari sakunya. Dia menjatuhkan pemantik itu ke rerumputan di depannya, yang langsung terbakar dengan cepat, seolah dilumuri minyak.
“Jangan khawatir, kau akan selamat. Kalau kau benar-benar seorang penyihir sejati.”
Yudic berjalan menuju bayangan rumah. Saat dia berbelok di sudut, tubuh kecilnya lenyap dari pandangan.
“Tunggu!” teriak Catherine sambil mengejarnya. Tapi saat dia tiba, tidak ada siapa pun di sana.
(Bagaimana mungkin? Bukankah sihir tidak bisa digunakan di sini?) pikirnya sambil melihat sekeliling.
Dia hanya menemukan dinding rumah tanpa tempat untuk bersembunyi.
“Tidak mungkin...”
Suara rumput yang terbakar terdengar semakin keras. Seluruh halaman telah berubah menjadi merah menyala.
Masuk ke dalam rumah tidak akan banyak membantu. Mungkin dia bisa mengisi bak mandi dengan air untuk bertahan sebentar──tapi Catherine menghentikan pikirannya di situ.
(Ini adalah penebusan... untuk mereka.)
Dia mengingat orang-orang di kampung halamannya yang telah mati karena dirinya.
Karena Catherine tidak menyelamatkan mereka, meskipun dia adalah satu-satunya yang bisa.
Setiap kali dia menutup mata, kenangan itu muncul dengan jelas seolah baru saja terjadi.
kota yang dihancurkan oleh lava, orang-orang yang tersapu seperti istana pasir diterjang ombak.
Rasa sakit menusuk dadanya. Pasti mereka juga merasa sakit, takut──dan Catherine tidak melakukan apa pun untuk membantu mereka.
“Aku pantas mati.”
Api sudah semakin dekat. Ketika Catherine hendak menyeka air matanya, namun, sosok hitam tiba-tiba muncul dari tengah kobaran api dan menerjang ke arahnya.
Sosok itu memeluk Catherine, menariknya keluar dari lingkaran api.
“K-kenapa...?”
“Kenapa kau menyelamatkanku? Aku ini seorang penyihir... Tuan Penyidik...”
“...Seharusnya aku yang bertanya,” jawab Rogue sambil menghela napas panjang. Tubuhnya basah kuyup, air menetes dari rambutnya.
“Aku meminjam selang dari rumah terdekat, ini bisa sedikit melindungi dari api. Cepat, kita harus keluar.” ujar Rogue sambil menyampirkan jaketnya ke Catherine.
“T-tidak mungkin. Pelakunya bilang itu adalah dinding yang sama sekali tidak bisa dilewati. Selain itu, sihir tidak bisa digunakan di sini.”
“…Serius?”
Rogue tampak panik. Dia membuka pintu rumah, masuk sebentar, lalu segera keluar lagi.
“Tidak bisa. Katup utama air sudah dimatikan. Sial! Semuanya sudah direncanakan sejak awal!”
Melihat Rogue mengumpat dengan gusar, Catherine merasa bersalah hingga dadanya terasa sesak. Dia menundukkan kepala.
“…Maafkan aku, tuan Penyidik.”
“Bukan sesuatu yang memerlukan permintamaafan darimu.”
“…Tapi...”
“Aku datang ke sini atas kemauanku sendiri. Tidak ada alasan untukmu meminta maaf.”
“…Penyidik…”
“Sudahlah, jangan mengeluh lagi. Kita harus fokus mencari cara untuk keluar dari sini. Pelakunya tadi ada di sini, bukan? Bagaimana dia bisa keluar?”
“Aku tidak tahu. Dia bersembunyi di balik dinding itu, lalu tiba-tiba menghilang...”
Rogue mendecakan lidahnya, lalu mulai meraba-raba dinding seolah mencari sesuatu.
“…Pasti ada… sesuatu...”
“Bagaimana kalau kita meminta bantuan Miselia?”
“Apa?”
Wajah Rogue langsung menunjukkan ketidaksukaan yang amat jelas.
“Dia bahkan tidak berniat datang ke sini. Sekarang dia mungkin sedang bersantai di dalam mobilnya.”
“Bukan itu maksudku,” jawab Catherine.
“Maksudku, kita bisa meminta Miselia memikirkan cara untuk keluar dari sini.”
“Kau serius? Tidak mungkin dia mau membantu kita begitu saja.”
“Aku tidak tahu. Tapi, sejauh yang kulihat, dia sepertinya paling menyukaimu dibandingkan penyidik-penyidik sebelumnya. Aku belum pernah melihat Miselia terlihat begitu senang saat berbicara dengan seorang penyidik.”
Miselia, sang penyihir, terkenal kejam. Dia tidak ragu-ragu membuang orang yang tidak menarik baginya. Dengan senyuman palsu di wajah, dia akan mendorong orang-orang itu ke jurang tanpa keraguan sedikit pun. Namun, menurut Catherine, sikapnya terhadap Rogue terasa berbeda.
Catherine tidak peduli apa yang akan terjadi padanya. Namun, dia ingin menyelamatkan penyidik di hadapannya ini.
“Percayalah pada Miselia. Aku yang akan bernegosiasi dengannya.”
Rogue menyerahkan perangkat komunikasinya kepada Catherine. Pada dering pertama, Miselia mengangkat panggilan itu.
“Miselia.”
“Oh, bukankah ini Catherine? Bagaimana kabarmu?”
Nada bicara Miselia yang santai membuat Rogue semakin kesal. Tapi dia tahu, Miselia adalah satu-satunya harapan mereka.
“Kami terjebak, dikelilingi oleh dinding, dan tidak bisa keluar.”
“Gunakan saja sihirmu untuk keluar. Teleportasi, penembusan tanah, atau kalau tidak, gunakan sihir melayang untuk melewati dinding. Bukankah kau punya banyak pilihan?”
“Tidak mungkin. Sihir sudah disegel di tempat ini.”
“Yah, itu masalah besar. Sayangnya, aku tidak bisa membantu. Aku angkat tangan.”
“Miselia... kalau begini dia akan mati.”
Suara tawa terdengar dari seberang.
“Dia mati demi dirimu. Aku sudah melarangnya, tahu.”
“—Tolonglah, sifatmu benar-benar menjijikkan.”
“Kau lebih menjijikkan.”
Catherine mengepalkan tangannya dengan erat.
“Tolong bantu kami. Kalau itu kau, pasti ada cara untuk keluar dari sini, bukan?”
“Yah, bahkan aku membutuhkan waktu. Paling tidak, tiga hari.”
“Jangan bercanda!”
“Maaf, aku tidak bermaksud bercanda. Tapi entah kenapa, melihatmu membuatku ingin terus menggodamu. Mungkin karena julukan Saint itu, atau apalah itu. Benar-benar tidak cocok denganmu.”
“Miselia!”
“Aku suka orang yang jujur. Tapi aku tidak suka kau, Catherine. Kau tahu kenapa? Karena kau hanyalah seorang penyihir malang yang bahkan tidak bisa menyelamatkan siapa pun.”
Catherine sudah tidak tahan lagi. Rogue segera merebut perangkat itu dari tangannya dan berkata,
“Kau tidak berhak berkata seperti itu.”
“Semua tergantung situasi, waktu, dan orang, tahu.”
“Apa kau punya dendam pada Catherine?”
“Tidak juga. Tapi kau? Sebentar lagi akan mati kalau tetap di sana. Pada akhirnya, kau akan membenci dirinya. Itu wajar, kau tahu. Kebanyakan orang akan melakukannya. Tapi karena kita pernah bekerja sama, aku akan memberimu pilihan—”
“—Cukup, diam.”
Rogue memotong ucapannya.
Dia sudah muak. Semua ucapan Miselia membuatnya makin marah. Dipaksa untuk menyerah, disuruh untuk meninggalkan seseorang, atau menerima takdir buruk begitu saja—semuanya membuatnya ingin melawan.
“Aku akan melakukan apa pun. Jadi tolong, selamatkan kami!”
Keheningan langsung menyelimuti. Seolah suara napas, gesekan pakaian, atau bahkan keberadaan Miselia menghilang. Hanya pada saat itu Rogue menyadari Catherine menatapnya dengan mata terbelalak dan mulut sedikit terbuka. Baru kemudian Rogue menyadari apa yang telah dia lakukan.
Dia baru saja membentak seorang penyihir.
Namun, pikirannya yang terbakar emosi masih sama. Dia berbicara ke perangkat yang hening itu.
“Halo? Kau dengar aku?”
Tidak ada jawaban. Dia sempat mengira panggilan terputus, tapi akhirnya suara itu kembali.
“...Aku mendengarmu. Sungguh mengejutkan. Sepertinya kau sudah melupakan rasa sakit waktu itu.”
Meskipun penuh dengan nada sarkasme, Rogue tidak peduli.
“Jadi, apa jawabanmu?”
“Kau bilang apa saja, kan? Benar-benar apa saja. Misalnya—”
“Jangan bertele-tele. Katakan saja.”
“Rogue, kenapa kau begitu keras kepala ingin menyelamatkan dia? Apa kau jatuh cinta padanya?”
“Tidak. Aku hanya benci orang sepertimu.”
“Aku sering mendengar itu. Tapi hanya itu alasannya?”
“Itu lebih dari cukup.”
Suara Rogue semakin rendah, seolah menekan sesuatu yang berat.
“Melihat orang-orang seperti kalian menang adalah hal yang paling kubenci. Lebih baik aku mati... daripada harus menyerah pada kalian!”
Penglihatan menjadi merah, disertai suara seperti kaca yang pecah. Mungkin layar perangkatnya retak. Di sudut pandangnya, api mulai menjilat-jilat. Meski begitu, jika mendengarkan dengan saksama, suara napas samar terdengar. Lalu, suara Miselia terdengar lagi,
“...Kalau begitu, aku akan menghancurkan jiwamu. Aku akan mengubahmu menjadi boneka yang bisa mematuhi semua perintah. Lalu, aku akan menempatkanmu di Divisi Keenam. Dengan begitu, kami bisa bergerak sebebas mungkin. Apa itu yang kau inginkan?”
“Lakukanlah, penyihir. Coba saja kalau berani! Lakukan!”
Jawaban itu keluar hampir secara refleks. Dia tidak memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Yang ada dalam dirinya hanyalah kemarahan terhadap penyihir ini.
“Baiklah! Kalau begitu, mari kita keluar dari sini! Jika ini adalah ruang di mana sihir tidak bisa digunakan, maka sudah jelas bagaimana metode pelarian si Lifetaker. Pasti ada jalan rahasia di suatu tempat. Mungkin semacam penutup lubang seperti saluran pembuangan. Dengan itu, dia bisa bergerak di bawah tanah dan keluar di jalan raya. Jalannya pasti tidak panjang. Cobalah cari di sekitar permukaan tanah di dekat dinding penghalang sihir itu.”
Tanpa menunggu lama, Catherine berlari dan mulai meraba-raba permukaan tanah dengan posisi seperti merangkak. Tak lama kemudian, dia berseru,
“Aku menemukannya!”
Di tempat yang ditumbuhi rumput liar, Catherine mencabut rumput-rumput tersebut satu per satu, memperlihatkan sebuah penutup dengan pola kamuflase.
Rogue memasukkan perangkat komunikasinya ke dalam saku tanpa memutus panggilan, lalu memegang penutup itu. Dengan satu gerakan, penutup terbuka, memperlihatkan sebuah tangga.
Dari dalam saku terdengar suara Miselia.
“Sepertinya kalian sudah menemukannya.”
Ketika menoleh ke belakang, api sudah melahap rumah, dan satu-satunya tempat yang belum terbakar adalah tempat mereka berdiri sekarang.
Rogue menyuruh Catherine untuk turun lebih dulu. Ia sendiri mengikuti, menuruni tangga itu. Panas yang membakar kulit mendadak menghilang, tergantikan dengan hawa dingin yang menusuk. Saat kakinya akhirnya menyentuh tanah, mereka menemukan sebuah lorong sempit yang hanya cukup untuk satu orang berjalan.
Mereka berjalan menyusuri lorong itu. Catherine kembali memegang tangga dan berhenti sejenak.
“...Maafkan aku, tuan Penyidik Rogue. Semua ini terjadi karena kelalaianku.”
“Aku sudah mendengarnya tadi.”
“Iya, benar...”
Dengan suara lirih, dia kembali menaiki tangga. Ketika membuka penutup di atasnya, sosok Miselia sudah menunggu mereka.
“Kalian berdua benar-benar bau asap.”
Senyumnya yang lembut tak berubah.
※※※
Setelah melapor kepada polisi dan pemadam kebakaran, mereka masuk ke dalam mobil. Namun, ketiganya terdiam disepanjang perjalanan. Rogue tak berniat untuk berbicara, Catherine tampak jelas tenggelam dalam rasa bersalah, sementara Miselia hanya tersenyum tanpa mengatakan apapun. Mungkin, untuk pertama kalinya, dia menjaga sikap. Meski begitu, sikapnya yang seperti itu tetap membuat Rogue kesal.
(Penyihir busuk... Aku tahu dia menyebalkan, tapi sampai segitunya!)
Di tengah kobaran api, Miselia tetap tega melemparkan kata-kata pedas kepada Catherine dengan niat yang jelas buruk. Rogue tidak bisa memaafkan itu.
Bagaimana bisa dia mengatakan hal seperti itu?
“Hey—”
“Ehm—”
Suara Rogue dan Miselia tumpang tindih.
“Bicara saja lebih dulu.”
“Kau saja duluan.”
Miselia menggelengkan kepala.
“Aku ingin mendengar yang darimu dulu. Apa yang ingin kukatakan tidak terlalu penting.”
“Baik, aku akan bicara. Kau harus meminta maaf kepada Catherine.”
Catherine terkejut, mendongakkan kepalanya.
“Tuan Penyidik, tidak apa-apa. Aku tidak merasa...”
“Tidak, aku yang keberatan. Dia harus meminta maaf.”
“Baiklah. Maaf, Catherine. Aku sungguh minta maaf. Meski kau mungkin tidak akan percaya, aku benar-benar menyesalinya.”
Rogue terkejut melihat betapa mudahnya Miselia menundukkan kepala.
“...Kau serius menyesalinya?”
Sulit dipercaya. Ini bukan lelucon seperti biasanya?
Ekspresi Miselia tersembunyi di balik bayangan.
“Aku tahu itu sulit dipercaya, tapi aku serius.”
“Aku tidak percaya. Tiba-tiba berubah pikiran? Apa yang kau rencanakan sekarang?”
“Aku juga bisa introspeksi. Aku mengakui kalau tadi aku kelewatan. Aku telah melampaui batas.”
Dia menutup matanya sejenak.
“Itu lebih dari sekadar melampaui batas.”
“Tuan Penyidik, sudah cukup. Ini semua salahku. Aku pantas menerima ucapan Miselia.”
“Tapi—”
“Aku ini penyihir, tuan Penyidik. Aku tidak pantas dihibur oleh manusia biasa.”
Nada Catherine yang dingin membuat Rogue terdiam. Kali ini, wajah Catherine menunjukkan kekuatan yang biasanya tidak terlihat.
(Dia bisa menunjukkan ekspresi seperti itu?)
“Kalau itu maumu, terserah apa maumu.”
Setelah Rogue mengalah, suasana dalam mobil menjadi berat. Di tengah kesunyian itu, Miselia, dengan nada ceria seperti biasa, berbicara lagi. Sikapnya yang tadi serius seakan lenyap.
“Oh, iya! Saat kalian melarikan diri tadi, aku sempat berjalan-jalan di sekitar lokasi. Aku menemukan sesuatu yang menarik.”
Dia menunjukkan layar perangkatnya kepada Rogue, yang meliriknya dari bahunya.
Sebuah simbol sihir transfer—gerbang transfer sihir—terukir di bawah pohon. Ukurannya sebesar bola basket. Dalam sihir ukiran, ukuran simbol menentukan jangkauan efeknya. Dengan ukuran seperti itu, hanya anak kecil yang bisa melaluinya. Namun,
(Kalau itu Lifetaker, dia pasti bisa...)
Lifetaker kemungkinan menggunakan jalur rahasia itu, lalu melarikan diri melalui gerbang transfer ini.
“Mungkin mereka sudah menggunakan Zack Knoll untuk mengukir ini selama berbulan-bulan. Satu demi satu, lambat laun, gerbang-gerbang transfer ini dibuat di seluruh kota.”
Miselia menyimpan perangkatnya kembali ke dalam saku.
“Mau kembali ke ruang arsip dan mencari data lagi?”
Rogue menggelengkan kepala.
Gerbang-gerbang ini tampaknya sudah selesai dibuat. Memeriksanya tidak akan membantu. Sekarang, mereka seperti menghadapi permainan tanpa akhir.
Pikiran Rogue dipenuhi dengan satu hal, yaitu saat ini, mereka butuh lebih banyak orang, bukan hanya sekadar petunjuk.
Misalnya, jika ada tiga ratus orang yang dikerahkan untuk menggeledah seluruh kota, pelaku pasti akan terpojok. Namun, langkah seperti itu tidak bisa diambil selama ada para penyihir yang terlibat dalam penyelidikan.
(Lalu, apa yang harus kulakukan?)
“Nee, Rogue-kun?”
“Apa?”
Nada bicaranya secara tak sadar terdengar kasar. Namun, Miselia tampaknya tidak mempermasalahkan hal itu.
“Tidak, hanya ingin membahas soal permintaan yang kuajukan kepadamu tadi.”
Rogue hampir lupa, atau mungkin sengaja melupakannya.
Menghancurkan pikiran. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan itu?
Jika metode itu melanggar peraturan ‘kalung', mungkin Rogue masih bisa selamat. Tapi Miselia, yang sudah menghancurkan banyak penyidik sebelumnya, tentu saja tak akan mengabaikan hal itu. Perut Rogue mulai terasa sakit saat ia membayangkan kemungkinan-kemungkinan itu. Lalu, Miselia berkata,
“Kita bicarakan nanti di kantor. Bagaimana, Rogue-kun?”
“…Baiklah.”
Itu jawaban terbaik yang bisa dia berikan.
※※※
Ketika mereka kembali ke Kantor Cabang Keenam, suasana terasa berbeda. Para penyihir yang sebelumnya tampak tidak peduli kini memandang Rogue dengan sorot mata tajam, seolah-olah sedang menguliti dirinya. Beberapa bahkan menunjuknya sambil berbisik.
(Apa-apaan ini?)
Dengan rasa penasaran, Rogue berjalan masuk. Di kepalanya berkecamuk berbagai bayangan buruk. Kapan Miselia akan mulai menyerangnya? Jenis sihir apa yang akan digunakan padanya?
“Kami kembali,” kata Miselia.
Pandangan para penyihir kini terarah padanya.
“Hmm? Ada sesuatu yang menempel padaku? Ah, sudahlah. Ngomong-ngomong, aku ingin mengumumkan sesuatu.”
(Selesai sudah. Dia akan mengatakannya di depan mereka semua.)
Rogue bersiap menghadapi hal terburuk, tetapi—
“Aku memutuskan untuk bekerja sama sepenuhnya dengan penyidik ini. Aku akan menggunakan seluruh kemampuan dan keahlianku untuk membantunya.”
Rogue merasa seperti dikhianati oleh realitas.
Kantor itu menjadi sunyi, seolah-olah semua orang secara serempak berhenti berbicara. Apa yang sebenarnya baru saja dikatakan Miselia? Kerja sama? Apa maksudnya? Dengan bingung dan marah, Rogue berteriak,
“Hah? Apa maksudmu? Ini terlalu tiba-tiba! Kau selalu menghalangi pekerjaanku, dan sekarang kau bicara soal kerja sama?”
“Oh, jadi kau tidak butuh bantuanku? Atau mungkin kau lebih memilih aku menghancurkan pikiranmu? Kalau itu yang kau inginkan, aku bisa melakukannya sekarang. Gratis, lho.”
“Itulah yang kubilang! Aku tak mengerti maksudmu!”
“Hei, Penyidik, mulai besok aku juga bakal kerja. Ya, kalau lagi mood,” kata Humafu sambil menyandarkan tubuhnya di kursi, tanpa menoleh sedikit pun.
“Apa?!”
Penyihir lainnya pun mulai bersuara:
“Kalau begitu, aku ikut bantu!”
“Serahkan arsipnya padaku. Aku selesaikan dalam lima menit!”
Kepala Rogue rasanya mau pecah. Ia merasa dipermainkan, dikelilingi oleh para penyihir yang pura-pura antusias. Saat ia memutar-mutar pandangan, ia melihat Angene berdiri dengan senyum penuh arti, sambil memegang sesuatu yang kecil dan berbentuk persegi di antara jari-jarinya.
(Itu… perangkat penyadap?)
Angene menekan sebuah tombol, dan terdengarlah suara Rogue sendiri: “Apa? Apa maksudmu?”
(Mereka menyadapku?)
Rogue panik memeriksa tubuhnya. Ia menemukan sebuah benda kecil seperti lalat menempel di bagian dalam kerah bajunya.
(Kapan mereka memasangnya? Oh, pasti saat itu…)
Ketika Angene mendekatinya dari belakang—saat itu Rogue terlalu lengah untuk menyadarinya.
“Xixixi, kau terlalu ceroboh, kami semua mendengarkan aksi pelarianmu. Seru sekali, bukan?”
“Kau tahu soal ini?” tanya Rogue, menoleh ke Miselia.
“Tentu saja. Tapi aku tidak merasa perlu memberitahumu,” jawab Miselia dengan santai.
Semua orang tampaknya sudah tahu, kecuali Catherine, yang masih terlihat kebingungan dengan situasi tersebut.
“Kau cukup menarik, Penyidik, jadi, aku memutuskan untuk bermain-main denganmu. Tapi ingat, kalau kau jadi membosankan, aku akan langsung menyingkirkanmu.” kata Humafu sambil menurunkan kacamata hitamnya, menatap Rogue dengan mata yang mengantuk.
“Semua ini… hanya sandiwara?”
Miselia menggelengkan kepalanya.
“Tidak semuanya. Aku hanya ingin memastikan sesuatu. Setiap penyidik yang datang ke sini akan diuji. Aku adalah penguji mereka. Dan selamat, Rogue-kun, kau satu-satunya yang lulus.”
Miselia melirik Catherine.
“Tentu saja, Catherine tidak tahu apa-apa. Dia tidak bisa melakukan intrik semacam ini.”
“Ka… kalian kejam sekali…” ujar Catherine dengan ekspresi tak percaya.
“Kejam? Tentu tidak. Semua orang di sini sangat menghargaimu, mereka hanya terlalu malu untuk mengatakannya.”
“Omong kosong!”
“Bukan, itu suara hati mereka. Dengarkan saja.”
“Jangan mempermainkan aku!”
“Benar sekali, kau bukan mainan. Kau hanya… sedikit ceroboh,” kata Miselia dengan senyum kecil.
Catherine memandangnya dengan tatapan dingin.
“Untung aku yang menjadi korban. Kali ini aku hanya akan memberikan ceramah, tidak lebih.”
“Bagus sekali. Tapi mungkin ceramahnya nanti saja, Catherine. Ada hal yang ingin disampaikan oleh Rogue-kun, bukan?”
Miselia menatap Rogue. Ia membuka mulut, tapi tidak tahu apa yang harus dikatakan. Segala sesuatu terasa kacau. Haruskah ia merasa lega karena selamat, atau marah karena dipermainkan?
“Aku… tidak mengerti. Kenapa semua ini harus dilakukan?”
“Sudah kubilang, kan? Karena kami mencari sesuatu yang menyenangkan. Tak perlu berpikir terlalu rumit.”
“Kalian rela membahayakan nyawa rekan kalian sendiri hanya demi ‘kesenangan’?”
“Kau benar-benar belum mengenal para penyihir, ya,” jawab Miselia sambil tersenyum penuh arti.
Miselia meletakkan tangan di dagunya dan berkata,
“Kami telah menyatu dengan sihir, sehingga menjadi abadi. Dengan kata lain, kami memiliki daya hidup yang jauh lebih besar. Jadi, kami tidak ‘rapuh’ seperti yang terlihat.”
“Tetap saja... Kalian masih bisa mati, kan? Apa kalian bisa bertahan hidup meskipun seluruh tubuh berubah jadi abu?”
“Siapa tahu? Aku belum pernah mengalaminya, jadi aku tidak tahu.”
“Jadi, pada akhirnya, kalian tetap bisa mati.”
“Kau ini benar-benar mementingkan kebersihan, ya. Penyihir adalah makhluk yang bisa mempertaruhkan nyawanya dalam sebuah permainan. Itu bukan sesuatu yang perlu kau khawatirkan.”
“…”
Rogue merasa tidak puas. Kata-kata Miselia bertentangan dengan etika yang ia pegang teguh.
“Kau tersinggung?” tanya Miselia.
“Coba ceritakan hal ini kepada warga kota. Mereka pasti akan memiliki respons yang sama sepertiku.”
“Haha, itu benar sekali.”
“Hmph.”
Rogue memalingkan wajahnya dengan kesal. Namun, Miselia hanya tersenyum, dan dengan langkah ringan, ia berjalan mendekat sambil membunyikan suara sepatunya. Kemudian, ia berputar ke depan Rogue, menghadangnya.
“Yah, yang perlu kau lakukan hanyalah…”
“Apa?”
Nada bicara Rogue jelas menunjukkan ketidaksenangan. Tapi Miselia, dengan mata yang menyipit, tampak menikmati suasana ini, seolah-olah dia sangat terhibur dengan respons Rogue.
“Hanya terus bertingkah seperti biasa, berlari ke sana kemari, dan menunjukkan pemandangan menarik untukku. Aku mengandalkanmu.”
Setelah berkata demikian, Miselia mengulurkan tangannya ke arah Rogue.
Rogue menatap tajam tangan itu. Tangan putih yang ramping, namun dengan tangan seperti itu, sudah tak terhitung berapa nyawa yang sudah dihabisinya. Itu adalah tangan yang tak seharusnya dipegang. Seperti sebuah kontrak dengan iblis—sekali menandatanganinya, jelas akhir yang menjijikkan menanti.
Namun,
“Kali ini kau tidak berbohong, kan?”
Rogue akhirnya menggenggam tangan Miselia.
“Kalau kau mau melihat aksiku yang menarik, aku akan menunjukkannya sebanyak yang kau mau. Tapi sebagai gantinya, aku minta bantuan kalian.”
“Dasar terlalu berhati-hati,” gumam Miselia sambil tersenyum kecut.
“Sudah seharusnya. Aku sudah berkali-kali hampir mati, tahu,” balas Rogue.
“Yah, tunggu saja. Ketika kami serius, kau akan terkesan.”
※※※
“Jadi, begini. Kalau kalian melihat tanda ini, hancurkan. Coret sampai tidak berbentuk lagi, buat tanda itu tak berguna sama sekali,” perintah Rogue sambil menunjukkan selebaran bergambar tanda yang dimaksud.
Di hadapannya, ada sekitar dua puluh pemuda berpakaian lusuh. Wajah mereka menunjukkan campuran ekspresi, sebagian terlihat tak peduli, sebagian lagi seperti bingung apakah harus mendengarkan.
“Hei, Humafu. Apa mereka ini bisa dipercaya?” bisik Rogue dengan curiga.
“Tenang saja. Mereka semua adalah anak buahku. Apa pun yang aku perintahkan, mereka akan menurut,” jawab Humafu dengan percaya diri.
Lokasi mereka saat ini adalah sebuah pabrik tekstil tua yang terlantar di pinggiran distrik kelima, tempat persembunyian geng jalanan. Humafu yang membawa mereka ke sini, katanya ia punya rencana. Rogue, yang kini menyamar dengan pakaian biasa, tak bisa menahan rasa cemas.
“Kau yakin ingin memberikan informasi penyelidikan pada para penjahat ini?” tanya Rogue lagi.
“Ini hanya soal ‘vandalisme’, kan? Lagipula, sekalipun mereka tahu itu adalah tanda teleportasi, mereka tidak akan bisa memanfaatkannya,” jawab Humafu dengan yakin.
Rogue hanya bisa mengerutkan kening.
(Mereka ini memang hanya berandalan, tapi tetap saja mereka kriminal. Apa benar ini ide yang bagus?)
“Kau tidak percaya pada mereka, ya, Penyidik?” Humafu menatapnya dengan seringai.
“Yah... tidak sepenuhnya,” jawab Rogue dengan jujur.
“Kalau begitu, perhatikan baik-baik. Aku akan buktikan bahwa mereka bisa diandalkan.”
Humafu melangkah ke depan, mendekati barisan anak buahnya. Dengan tangan di pinggang, ia berteriak,
“Dengar, kalian semua! Kerjakan ini dengan benar! Kalau ada yang berani macam-macam, aku akan membunuh kalian!”
Ruangan itu langsung dipenuhi bisik-bisik.
“Kalian tahu aku tidak main-main, kan? Kalau aku bilang aku akan melakukannya, aku akan benar-benar melakukannya. Jadi, pikirkan baik-baik apa yang harus kalian lakukan.”
Beberapa dari mereka tampak gemetar, namun tak satu pun berani melawan. Jelas sekali bahwa rasa takut pada Humafu telah tertanam dalam diri mereka. Humafu mengangguk puas, hendak kembali ke arah Rogue ketika sebuah suara tiba-tiba terdengar.
“Kau pikir kami semua harus tunduk padamu, hah? Hanya karena kau perempuan, bukan berarti kau tak bisa dilawan!”
Seorang pria kekar melangkah maju dari kerumunan, mendorong teman-temannya ke samping, dan mengarahkan pistol ke Humafu.
Rogue refleks ingin bergerak, tapi Humafu menghentikannya dengan sebuah isyarat tangan.
“Tenang saja,” katanya santai sambil berjalan mendekati pria itu.
Humafu memandang pria tersebut dengan tajam.
“Kau bilang apa tadi?”
“Jangan mendekat! Aku tidak takut padamu!”
Tembakan dilepaskan, tapi peluru hanya mengenai dinding tua pabrik.
“Kau meleset. Mungkin kau harus menembak dari jarak lebih dekat.”
Dengan kecepatan luar biasa, Humafu mendekat, meraih tangan pria itu, dan mengarahkan moncong pistol ke dahinya sendiri.
“Nah, sekarang tembak. Kali ini jangan meleset.”
“Ap-apa-apaan kau ini?!”
“Tembak.”
Humafu tersenyum kejam, memperlihatkan giginya.
Dor!
Kepala Humafu terdorong ke belakang oleh peluru yang ditembakkan. Rogue nyaris berseru, tapi Humafu tetap berdiri.
Tubuhnya perlahan kembali tegak, rambutnya yang terurai bergoyang, dan ia menggerakkan lehernya seperti menunjukkan bahwa ia baik-baik saja.
“A-a-apa...”
Pria itu terduduk, ketakutan.
“Kau pendatang baru, ya? Rupanya kau belum tahu betapa seriusnya aku. Lain kali, pastikan kau diajari tentang aku terlebih dahulu.”
Dua bilah pisau buah tiba-tiba meluncur dari tangan Humafu, menghancurkan pistol di tangan pria itu hingga serpihan-serpihan kecil jatuh ke lantai.
“Aku tidak main-main soal ‘membunuh’, tahu?” kata Humafu dengan dingin.
Sementara para geng berdiri terpaku, Humafu menepuk pundak Rogue.
“Ayo pergi. Aku ngantuk banget.”
“Kau... tidak apa-apa?”
“Lihat sendiri.”
Humafu menyibakkan poni, menunjukkan dahinya yang bersih tanpa bekas luka.
“Bagaimana mungkin?” tanya Rogue bingung.
“Aku dikutuk.”
“Oleh siapa?”
“Siapa saja tidak penting. Yang jelas, aku tidak bisa mati.”
Humafu membuka pintu dengan menendangnya, lalu melemparkan sesuatu dari mulutnya ke tangannya. Itu adalah peluru yang tadi ditembakkan ke dahinya.
Dengan seringai, ia melirik Rogue dan melempar peluru berdarah itu ke lantai.
“Buat menakut-nakuti orang, kutukan ini cukup berguna.”
“...Tapi bagaimana caranya peluru itu bisa keluar dari mulutmu?”
“Ya jelas lewat otak, dong.”
“…”
Rogue hanya bisa terdiam bingung. Sambil memikirkan hasil misi ini, ia memasuki mobil dan menyalakan mesin.
“Kalau geng itu bekerja dengan benar, tanda teleportasi akan dinetralkan. Kalau itu terjadi, jalan keluar si Pembawa Maut juga tertutup. Tapi...”
“Tapi?” Humafu bertanya sambil memasang sabuk pengaman.
“Dia membunuh secara acak. Kita tidak bisa memprediksi korban berikutnya. Dan sampai kita menangkapnya, jumlah korban akan terus bertambah.”
“Hmm, begitu ya,” gumam Humafu, lalu menguap lebar.
Humafu menguap besar, kepalanya terguncang hingga membentur dashboard, lalu ia terdiam tak bergerak.
“Hei, bangun!”
“Aku tidak tidur... hanya ngantuk... nyam nyam...”
“Kelihatannya kau hanya butuh lima detik lagi buat beneran tidur.”
“Nyam... ha!” Humafu tiba-tiba mengangkat wajahnya.
“Di mana ini? Rumah?”
“Hah... Aku mulai ragu apa benar kau tidak bisa tidur,” balas Rogue.
“Jelas tidak bisa! Aku tidak tidur selama lima ratus tahun. Lagipula, bukannya kita sedang menyelidiki sesuatu? Jangan banyak omong dan fokus nyetir!”
“......”
“Kerja sama ini udah langkah besar buatku. Jangan bikin aku menyesal, ya.”
“......”
(Tenang... tenang. Bagaimanapun dia ini penyihir.)
Rogue menarik napas dalam-dalam. Di kursi sebelahnya, Humafu duduk dengan santai, tangan disilangkan di dada, bersandar dengan arogan.
Rupanya, memiliki mental yang bisa menyebut gangster sebagai “anak buah” membuat seseorang seperti ini.
“... Andai saja ada pola dalam memilih korban,” gumam Rogue pelan.
Itu memang masalah utamanya.
Di dunia yang penuh dengan pengguna sihir perubahan wujud, bukti fisik seperti residu sihir atau rekaman kamera pengawas adalah kunci. Namun, jika wujud asli pelaku tidak diketahui, semua upaya itu menjadi percuma. Biasanya, hubungan korban dengan lingkungannya dapat menjadi petunjuk, tetapi jika pembunuhan dilakukan secara acak, analisis semacam itu pun sia-sia.
(Harus mulai dari mana...) Rogue merenung dengan alis berkerut, sampai tiba-tiba Humafu berkata, “Nih.”
Dengan malas, dia menunjukkan layar perangkatnya ke arah Rogue. Di layar itu terlihat peta kota dengan enam titik merah bercahaya. Titik-titik itu tersebar merata, tersusun rapi tanpa tumpang tindih.
“Apa ini?”
“Lokasi pembunuhan korban. Jadi kemungkinan besar itu markas pelaku.”
Rogue hampir menabrak seseorang karena terkejut. Ia menoleh ke Humafu yang tampak santai sambil berkata, “Hati-hati kalau nyetir, dong.”
“Jangan asal ngomong hal yang penting seperti itu!”
“Ngomongnya gimana aja sama aja, kan?”
“Ngomong-ngomong, kapan kau sempat menemukan petunjuk ini? Bukannya kau terus bersamaku tadi?”
“Tenang aja. Kan penyelidikan kita jadi maju, jadi hargai aku sedikit, meski sebenarnya yang melakukannya adalah Angene.” Humafu menambahkan dengan suara kecil,
“Itu kan kerjaan orang lain!”
Humafu menguap lagi, kali ini dengan gaya yang sangat dibuat-buat.
Rogue menatapnya, setengah kagum setengah kesal.
“Jadi, gimana sebenarnya kau menemukannya?”
“Analisis properti kosong yang disewa pakai nama palsu, terus kirim virus buat nyadap data. Hasilnya, kita bikin daftar lokasi yang mencurigakan.”
“... Kalian ini benar-benar main hantam aja, ya.”
Rogue merasa aneh sekaligus terkagum-kagum. Sebagai seorang penyihir, Humafu dan kelompoknya memang punya keahlian yang membuat penyelidikan polisi biasa terasa sia-sia. Dalam hati, ia tak bisa memungkiri bahwa penyihir benar-benar menguasai permainan ini.
“Penyihir itu tidak kenal kata ‘tidak mungkin’, polisi,” suara Humafu menggema di telinganya.
“Kalian hanya bisa ketakutan.”
“...... Tidak mungkin.” Rogue memaksa dirinya menjawab, meski terasa berat.
Humafu mendengus pelan. “Begitu ya? Kalau gitu, lihat ini.”
Ia melepas kacamata hitamnya, membuka kelopak mata, dan menatap Rogue. Mata Humafu sebenarnya indah, lembut seperti mata anak kucing. Sayangnya, mata itu lebih tampak seperti orang yang kurang tidur ketimbang sosok yang menakutkan. Matanya berkilau lembut terkena cahaya matahari, tanpa memberikan kesan intimidasi sama sekali.
“......”
Rogue menahan tawa. Mata itu sungguh tak sesuai dengan kesan seram yang diupayakannya.
“Ingat baik-baik, hidupmu itu mudah sekali kuhancurkan,” ancam Humafu dengan nada yang dipaksakan seram.
“... Iya iya.” Rogue menoleh ke depan, mencoba fokus kembali pada jalan.
“Jangan kabur kalau aku ngomong!”
Humafu mencondongkan tubuh, mendekatkan wajahnya ke Rogue. Meski alisnya berkerut tajam dan wajahnya penuh ancaman, matanya yang mirip anak kucing malah membuat ancamannya tidak terasa sama sekali. Rogue harus berjuang keras untuk tidak tertawa.
“Semua orang akhirnya jadi seperti itu. Tidak ada yang bisa menolakku.”
“... Tentu saja.”
Rogue mengembalikan perhatiannya ke jalan. Ia hanya bisa berharap perjalanan ini tidak berujung pada hal-hal aneh lainnya.
※※※
Di depan ruangan tempat para penyihir tinggal, Rogue berdiri bersandar di dinding. Sudah tiga puluh menit ia menunggu. Sambil menahan kantuk, ia memeriksa email di ponselnya hingga pintu akhirnya terbuka.
“Maaf lama menunggu. Tidur itu musuh terbesarku,” ujar Miselia sambil menghela napas.
“Sejak peradaban dimulai, tidur sudah jadi masalah besar. Sungguh, manusia tak pernah bisa lepas darinya.”
“hanya kau yang berpikir seperti itu,” balas Rogue sambil mengerutkan dahi.
Ia tidak berniat berlama-lama mendengarkan ocehan Miselia, jadi ia mulai berjalan dan langsung membicarakan penyelidikan.
“Menurutmu, ada kemungkinan kita masih bisa menemukan mayat?”
“Kemungkinannya kecil.”
“Meski begitu, tetap harus dicari.”
“Benar sekali. Sudah menghubungi penyihir lain?”
“Sebentar lagi. Tapi aku ragu mereka mau nurut.”
Miselia tersenyum tipis. “Meragukan mereka? Aku sudah bilang mereka lulus ujian, kan?”
“Ujian ketahanan mainan, maksudnya.”
“Kau cukup pandai bercanda. Tampaknya kau sadar betul posisi dirimu.”
“Aku lebih suka tidak menyadarinya.”
Rogue menekan tombol lift yang akan membawa mereka ke lantai lain dalam kantor cabang mereka.
Lift itu tampak terlalu besar mengingat hanya ada dua belas orang yang tinggal di sana. Bukan hanya lift, tapi segala sesuatu di kantor cabang keenam tampak sangat terawat, seolah-olah untuk menyambut tamu penting. Bisa diduga, ini semua dilakukan demi menyenangkan para penyihir. Namun, cara mereka menggunakan anggaran seperti ini benar-benar membuat seseorang ingin mengajukan protes.
“Yah, kekhawatiranmu memang masuk akal, Rogue-kun,” kata Miselia sambil mengetuk-ngetukkan kakinya mengikuti irama.
“Penyihir yang patuh dan suci seperti diriku tentu akan bekerja sama dengan baik. Tapi tidak semua penyihir seperti itu.”
“Apanya yang suci dan patuh?”
“Dari satu pandangan saja sudah jelas, bukan?”
Dengan bangga, ia meletakkan kedua tangannya di pinggang. Namun, yang terlihat hanyalah senyum mencurigakan dari seorang penyihir yang penuh tipu daya.
Rogue memandangnya dengan tatapan datar. “Terserah kau saja,” ujarnya dingin.
“Sudah mulai mengakui kebenaranku, ya?”
“Ngomong saja sesukamu.”
“Kalau begitu, biar kuberitahu. Tidak perlu khawatir. Setengah dari kami adalah tipe yang akan bekerja sama dengan baik. Tapi, setengahnya lagi adalah tipe yang jauh lebih gelap dibandingkan denganku, yang bersih dan suci. Bahkan mendekat saja bisa membuatmu tercemar. Jadi, sebaiknya kau hati-hati.”
“Cara menjelaskanmu membuatku ragu apakah kau serius atau tidak.”
“Tentu saja aku serius. Ini adalah peringatan tulus tanpa motif tersembunyi. Aku hanya ingin kau panjang umur. Ngomong-ngomong, berapa besar uang pensiunmu?”
“Siapa juga yang akan bertahan sejauh itu,” gerutu Rogue.
Miselia menghela napas dengan gaya yang berlebihan.
“Ah, tampaknya kami harus menunggu korban berikutnya datang. Betapa menyedihkannya.”
“Korban yang menyedihkan ini rasanya ingin marah, tahu!”
“Ini peringatan kedua. Marah itu buruk bagi kesehatan. Kau harus lebih sering tersenyum,” ucapnya sambil menggunakan kedua jari telunjuknya untuk memaksa bibirnya tersenyum.
Di saat yang bersamaan, lift pun tiba, dan pintunya terbuka perlahan.
Rogue berdiri di sebelah Miselia sambil berpikir, Siapa sebenarnya yang membuat kesehatanku semakin buruk?
Salah satu persembunyian Lifetaker yang telah diidentifikasi berada di Distrik Enam, sebuah kawasan kelas menengah di selatan Diro. Lokasinya adalah sebuah sekolah dasar yang sudah lama ditutup. Sebuah papan bertuliskan, “Properti Pribadi, Dilarang Masuk,” dipasang mencolok di halaman sekolah. Rumput liar tumbuh tak terawat, dan taman bermain penuh lumpur serta debu, kehilangan warna aslinya.
Saat melangkah melintasi halaman yang basah oleh embun pagi, celana Rogue pun menjadi basah. Begitu masuk ke dalam gedung sekolah, aroma kematian yang pekat langsung menyambutnya.
“Bau ini... Korbannya tidak hanya satu atau dua orang,” pikirnya.
Ada delapan kelas di sekolah itu, dan dari setiap ruang kelas, bau yang sama tercium.
“Aku akan membukanya,” kata Rogue sambil membuka pintu salah satu kelas.
Pintu yang berkarat itu sulit untuk dibuka. Bahkan sebelum pintu terbuka sepenuhnya, ia sudah bisa melihat tubuh yang tak bernyawa di dalamnya.
Sebuah tubuh yang hampir seluruh dagingnya telah mengelupas, menyisakan tulang belulang.
Mayat itu diikat ke kursi besi dengan tali, kepalanya tertunduk lemas. Potongan kecil daging yang masih tersisa dipenuhi lalat, menambah bau busuk di ruangan itu.
“Wow, sambutan yang luar biasa,” komentar Miselia sambil bersiul.
Apakah Lifetaker sengaja meninggalkan mayat ini untuk ditemukan? Atau mungkin mayat ini dimanfaatkan sebagai jebakan, seperti di gang sebelumnya.
Saat berjalan lebih jauh, ia melihat coretan berbentuk lingkaran sihir di papan tulis belakang kelas—sebuah gerbang teleportasi. Tampaknya mereka memanfaatkan benda-benda yang ada di lokasi ini.
“Dasar bajingan hemat anggaran,” gumam Rogue dengan nada muak.
“Atau bisa juga disebut pelit,” kata Miselia sambil tersenyum sinis.
“Yuk, kita lanjut ke ruangan berikutnya.”
Di setiap kelas yang mereka datangi, mereka menemukan mayat. Meskipun hal seperti ini bukan hal baru bagi seorang penyelidik seperti Rogue, wajahnya tetap saja semakin tegang setiap kali melihatnya. Rasanya seperti berada di tempat pembuangan sampah manusia.
Setelah selesai memeriksa semua kelas, mereka keluar dari gedung sekolah. Sebuah pesan masuk ke terminal Rogue. Pesan itu dari para penyihir lainnya, memberitahukan bahwa mereka juga telah menemukan mayat dan gerbang teleportasi. Tidak ada hal mencurigakan lainnya, sehingga mereka memutuskan untuk kembali ke markas.
Miselia yang ikut membaca pesan itu berkata, “Kalau begitu, mari kita pulang. Setidaknya ada hasil, walaupun agak menjijikkan.”
“Memang hasil yang menyebalkan,” balas Rogue dengan nada berat.
Ketika mobil melaju menjauh dari sekolah, Miselia tiba-tiba berkata, “Aku punya hal penting untuk disampaikan.”
“Apa lagi sekarang?” tanya Rogue dengan tatapan curiga.
“Kita berhasil menemukan persembunyian dan gerbang teleportasi. Situasi jadi lebih baik, bukan? Tapi karena itu, kau jadi lebih sering bergerak ke sana kemari.”
“Yah, begitulah kerja penyelidik,” jawab Rogue santai.
“Benarkah? Jangan bilang kau tidak menyadari perubahan dalam dirimu sendiri?”
“Apa maksudmu?”
Dengan ekspresi penuh misteri, Miselia menyentuh dagunya dengan jari telunjuk,
“Kalau begitu, biar saja. Aku hanya ingin memastikan kau tidak akan menyesal nanti.”
“Apa maksudmu? Jangan-jangan kau merencanakan sesuatu lagi?” tanya Rogue dengan gugup, merasa telapak tangannya mulai berkeringat.
“Rencanakan sesuatu? Mana mungkin. Aku hanya ingin mengingatkanmu sedikit,” jawab Miselia sambil tertawa kecil.
“Sebentar lagi tengah hari, dan itu artinya kadar gula dalam tubuh kita semakin menipis. Kau tahu apa akibatnya? Otak kita jadi kurang aktif. Nah, di sana ada kafe. Ayo, kita mampir!”
Rogue melirik ke arah kafe, merenungkan ucapan Miselia, lalu memutuskan bahwa itu tidak penting. Kafe itu berlalu begitu saja dari pandangan mereka.
“Kalau begitu, bagaimana dengan restoran burger itu? Jumlah kalori harian yang dibutuhkan pria dewasa adalah 2.200 kalori. Kita bisa mengisi kekurangan kalori dengan burger dan milkshake.”
Restoran burger itu pun berlalu tanpa berhenti.
Pembuluh darah di pelipis Rogue mulai berdenyut. Ketika Miselia mulai bicara tentang bahan dasar donat, kesabarannya pun habis.
“Tahan sedikit, bisa tidak?! Apa kau ini anak kecil?!”
“Tentu saja aku sudah dewasa. Aku kan sudah bilang, aku ini seribu dua ratus tahun! Tapi bahkan setelah hidup selama itu, ada hal-hal yang tetap sulit untuk ditahan. Kau juga akan mengerti suatu hari nanti.”
“Berhenti mengoceh hal-hal dangkal seperti itu!” balas Rogue dengan nada frustrasi.
Sambil menggenggam setir, Rogue merogoh konsol tengah mobil dengan tangan kirinya, mengeluarkan sekotak permen karet, dan melemparkannya ke arah Miselia.
“Kunyah ini saja. Jangan buang-buang waktu.”
“Rogue, ini permen rasa mint. Aku mau yang manis.”
“Diam!”
Saat ia membentak, Rogue melihat seorang suster yang dikenalnya berdiri di trotoar, sedang berbicara dengan seorang wanita tua yang juga mengenakan pakaian suster.
(Ada masalah di sana?)
Rogue menepikan mobilnya ke pinggir jalan dan mengamati mereka.
“Ja-jadi, maksud saya, saya bukan bagian dari gereja,” Catherine berkata gugup.
“Kalau begitu, kenapa kau memakai pakaian suster seperti itu?” tanya wanita tua itu.
“Itu... karena ini identitas saya... yah, saya seorang saintess,” jawab Catherine ragu-ragu.
“Apa maksudmu saintess? Kau mengolok-olok kami, ya?” wanita tua itu mendengus.
“Ehhh!?”
Melihat Catherine semakin kebingungan, Rogue akhirnya membuka jendela mobilnya dan berseru,
“Hei!”
Catherine terkejut dan menoleh ke arahnya.
“Maafkan dia. Dia hanya suka memakai pakaian seperti itu, bukan bermaksud berpura-pura menjadi suster gereja. Mohon pengertiannya.”
Wanita tua itu mengomel sebentar sebelum pergi, kembali ke gereja yang terletak tak jauh dari tempat itu.
“Terima kasih... Aku sungguh berterima kasih,” Catherine berkata lemas saat masuk ke kursi belakang mobil.
“Aku sedang memeriksa rumah kosong, tapi begitu keluar, langsung dihentikan oleh orang gereja...”
“Kerja bagus. Sebagai hadiah, aku akan memberimu cokelat. Rogue-kun, mana cokelatnya?”
“Tidak ada,” Rogue menjawab singkat, lalu menoleh pada Catherine. “Ada yang kau temukan?”
“Ada lingkaran teleportasi yang terukir di lantai. Bagaimana denganmu?”
“Sama. Ada tambahan, yaitu mayat,” kata Rogue.
“Benar-benar pemandangan yang buruk. Catherine, kau seharusnya ikut tadi,” sindir Miselia.
“Kau ini!” Catherine berseru sambil menjulurkan tangannya dari kursi belakang, menjewer telinga Miselia. “Kenapa kau selalu bicara hal-hal jahat!?”
“Rogue, Catherine sedang menyerangku! Aku butuh bantuan!” Miselia meratap.
Rogue memilih diam.
“Telingaku dijewer! Sakit! Kenapa aku diperlakukan seperti ini?” Miselia terus mengeluh.
“Ini bentuk peringatan! Aku sudah bilang akan menegurmu, bukan?” Catherine menjawab dengan tegas.
“Ini bukan teguran, ini serangan! Sebagai saintess, bukankah kau harus menggunakan kata-kata untuk membimbingku?”
“Kalau aku membiarkanmu bicara, justru hatiku yang terluka!”
“Oh, aku baru sadar kau cukup kuat. Ini sakit sekali, sampai membuatku hampir menangis.”
“Menangislah! Malah lebih baik kalau kau menangis!”
Miselia pura-pura mengelus dada, berkata,
“Wah, ada yang memiliki hati yang begitu bengkok di sini. Hari ini mungkin aku akan dihabisi.”
“Apa kau ini bodoh?” Rogue mendengus sambil terus menyetir.
“Miselia, aku rasa telingamu tidak akan copot meski dijewer,” kata Rogue akhirnya.
“Kalau telingaku sampai copot, kau akan menyesal, Rogue-kun. Kau pasti tidak akan bisa tidur setiap malam karena memikirkannya.”
“Aku akan tidur nyenyak, tenang saja.”
“Kejam sekali! Tidakkah kau punya hati, Rogue-kun?”
Perseteruan mereka yang konyol itu terus berlangsung sampai mobil tiba di depan kantor Divisi Keenam. Catherine akhirnya melepaskan jewerannya, sementara Miselia mulai mengeluh hal lain. Rogue menghela napas panjang. Benar-benar tidak bisa diatur, kedua orang ini.
Namun, para penyihir ini tetap berhasil menyelesaikan tugas mereka dengan baik. Mereka menemukan barang bukti berupa senjata dan menghancurkan perangkap lingkaran teleportasi yang dipasang oleh Lifetaker. Hasil kerja mereka membuat anggota divisi lain bisa ikut menginvestigasi lokasi tersebut. Bahkan strategi dengan mengandalkan geng jalanan untuk menghancurkan lingkaran teleportasi melalui “grafiti teror” terbukti efektif.
Salah satu hasil penting adalah peningkatan jumlah penampakan Lifetaker di kamera pengawas dan laporan dari warga. Ciri khas yang mencolok adalah mata emas mereka, seperti yang Catherine temukan sebelumnya. Semuanya menunjukkan bahwa hari untuk menangkap Lifetaker semakin dekat.
Di malam hari, Rogue berbaring di ranjang ruang istirahat, mengepalkan tangan ke udara. Namun ketukan di pintu memecah pikirannya.
“Masuk,” katanya.
“P-permisi...” Catherine masuk perlahan.
“Ada apa?”
“Eh... anu...” Catherine berdiri canggung di depan pintu.
“Kenapa tidak duduk dulu?” tanya Rogue.
“Ah, baik...”
Catherine akhirnya duduk di sebuah bantal, masih beberapa langkah dari Rogue.
“Ada yang ingin kau bicarakan?”
“Eh... bicarakan? Maksud ku...”
Catherine tampak gelisah, membuka mulut untuk berbicara namun tidak mengeluarkan suara. Setelah beberapa saat, ia akhirnya berkata,
“Ah! Terimakasih untuk kerja kerasnya hari ini! Kita berhasil membuat kemajuan dalam penyelidikan.”
“Iya,” jawab Rogue singkat.
“Syukurlah, benar-benar kemajuan yang bagus...”
“Iya.”
Catherine terlihat semakin gugup, menunduk sambil berkedip dengan sangat cepat.
“Eh, anu! Maaf soal kejadian dengan Miselia. Ujian semacam itu sungguh tidak menyenangkan, bukan?”
“Sudahlah, tidak perlu dibahas lagi. Hasilnya, kita jadi bisa melanjutkan penyelidikan.”
“Be-benar juga... syukurlah kalau begitu.”
Dia menghela napas lega, meski wajahnya masih tampak canggung. Rogue hanya menatapnya sambil menunggu apa lagi yang akan dia katakan.
Catherine mengerang pelan, “Uuh...”
“Ada lagi yang ingin kau bicarakan? Aku pikir sudah waktunya tidur,” kata Rogue.
Mendengar itu, Catherine dengan tergesa menjawab,
“Ada! Aku punya sesuatu yang ingin kubicarakan!”
Namun, setelah menyadari dirinya berbicara dengan suara keras, wajahnya memerah.
“Maaf...”
“Tak masalah.”
Tidak ada orang lain di dekat mereka. Selain Catherine dan Rogue, hanya Rico, rekan kerja Rogue, yang berada di tempat itu. Catherine menundukkan pandangannya ke tangannya sendiri.
“Kenapa kau menjadi seorang penyidik?” tanyanya tiba-tiba.
Rogue memandang Catherine dengan alis terangkat, bertanya-tanya apa maksud pertanyaannya. Wajah Catherine terlihat serius, tanpa sedikit pun senyuman.
“Apa gunanya kau tahu?”
“Karena... kau telah menyelamatkanku. Padahal kau sama sekali tidak mendapat keuntungan darinya. Aku yang tak bisa menyelamatkan siapa pun merasa ingin membalas budi. Kalau ada sesuatu yang kau inginkan, aku ingin mewujudkannya untukmu.”
Rogue terdiam, menghela napas singkat, lalu menundukkan pandangan. Kata-kata Catherine membuatnya sedikit terguncang, tapi dia berusaha tetap tenang. Catherine tampaknya tidak berniat memaksanya menjawab. Namun, dia juga tidak menunjukkan tanda-tanda akan pergi.
Hening sesaat menyelimuti ruangan. Mereka hanya mendengar suara napas masing-masing, waktu terasa melambat, dan Rogue, yang merasa suasananya tak tertahankan, akhirnya membuka mulut.
“…Tidak ada alasan istimewa. Semua terjadi begitu saja.”
“Begitu saja?”
“Ya. Aku tidak punya tujuan besar. Aku jadi penyidik hanya karena aku mampu. Itu saja.”
Rogue bangkit dari tempat tidur, berdiri, dan berkata,
“Kau tak butuh alasan mulia untuk menjadi penyidik. Kau hanya perlu bekerja setiap hari. Nah, kita selesai di sini. Besok kita harus bangun pagi.”
Catherine ikut berdiri dan berjalan ke arah pintu keluar. Ketika dia memegang gagang pintu, senyumnya akhirnya muncul.
“Aku ada di pihakmu, Rogue. Jika kau memiliki keinginan, katakan kapan saja.”
Setelah itu, Catherine meninggalkan ruangan.
Tiga hari kemudian
Di ruang rapat, papan tulis putih dipenuhi diagram jalur portal teleportasi yang ditemukan, foto-foto korban, dan berbagai catatan. Rogue berdiri di depan papan, mengetuknya dengan jari dari waktu ke waktu sambil menjelaskan informasi kepada para penyihir yang setuju untuk bekerja sama.
Mereka menyimak penjelasan Rogue dengan sikap santai—ada yang bersandar di dinding, ada yang memutar-mutar kursi kantor, namun tetap mendengarkan. Meskipun mereka tampak tidak serius, Rogue merasa lega karena mereka tetap memperhatikan.
“Kebanyakan portal teleportasi di kota sudah dihancurkan. Tempat persembunyian pelaku juga telah kita awasi menggunakan personel polisi. Jika ini masih belum cukup, maka si Lifetaker memang lebih lihai dari kami. Tapi satu hal pasti yaitu kita semakin dekat dengan pelakunya.”
Setelah mendengar kesimpulan Rogue, para penyihir mulai meninggalkan ruangan. Beberapa penyihir pergi dengan tertib, meskipun salah satu dari mereka, Humafu, nyaris terjatuh dari kursi sebelum Catherine menariknya sambil mengomel, “Berjalan yang benar, dong!”
“Bagus sekali, Rogue,” kata Miselia.
“Semoga saja begitu,” jawab Rogue.
“Kenapa terdengar ada keraguan?”
“Karena tiba-tiba jadi buruk. Semua ini gara-gara kau.”
“Bagaimana mungkin? Aku ini penyembuh suasana hati, tahu.”
“Lebih seperti perusak suasana hati.”
Rogue melirik ke arah Angene, yang berdiri di sudut ruangan. Sejak tadi dia diam seperti bayangan hantu. Penampilannya memang menyeramkan, tapi setidaknya dia jauh lebih dapat diandalkan daripada Miselia.
“Bagaimana dengan laporan yang kuminta?” tanya Rogue.
Angene mengangguk pelan, tubuhnya yang tinggi bergerak dengan cara yang sedikit mengerikan.
“Aku sudah memeriksanya, mau dengar?” katanya dengan suara lembut.
“Tentu saja.”
“Orang dengan iris emas yang kau cari... tidak ada di database Kekaisaran.”
“Apa?” Rogue terkejut.
“Ya, tidak ada satu pun.”
“…Begitu, ya.”
“Namun, ini hanya berlaku untuk data yang terdaftar di database. Bukan berarti tidak ada orang seperti itu di kota. Ada banyak orang yang irisnya tidak terdaftar. Jadi jangan putus asa, ya.” lanjut Angene.
Rogue mendengarkan dengan ekspresi masam. Harapannya yang besar pupus, tapi dia mencoba untuk tetap tenang.
“Ngomong-ngomong, Rogue-kun, apa kau punya teman dengan mata berwarna emas?” sela Miselia.
“Seingatku, tidak.”
Rogue berpikir sejenak, memeriksa ingatannya.
“Benar, tidak ada,” tambahnya.
“Benarkah? Aneh sekali. Dalam hidupku yang panjang ini, aku juga belum pernah bertemu dengan seseorang yang memiliki mata emas,” kata Miselia dengan nada mendalam, seolah hal itu sangat luar biasa.
“Memangnya apa yang kau pikirkan?” Rogue memandang Miselia dengan mata menyipit.
“Apa maksudmu?”
“Aku yakin kau punya sesuatu untuk dikatakan. Katakan saja.”
“Seperti yang diharapkan dari Rogue-kun! Kau sangat memahami diriku.”
“Tak usah basa-basi. Cepat bicara.”
Miselia mengambil spidol dari papan tulis dan mulai menggambar sesuatu. Beberapa detik kemudian, dia menyelesaikan sketsa wajah yang menyerupai bulldog lucu.
“Pelaku, Lifetaker, masih bebas berkeliaran. Ada kemungkinan kita melewatkan tempat persembunyiannya. Jadi bagaimana kalau kita mewawancarai dia lagi?” katanya dengan penuh percaya diri.
“Siapa itu?” tanya Rogue sambil menatap gambar di papan tulis.
“Eh?” Miselia tampak bingung.
Miselia menepuk gambar wajah bulldog yang dia gambar dengan gagang pena.
“Jelas sekali siapa ini, kan?”
“Aku tidak pernah melihat orang seperti itu.”
“Bo-bohong! Rogue-kun, kau kehilangan ingatan, ya!? Zack Knoll! Dia orang yang kita temukan saat penyelidikan pertama kita! Masa kau tidak ingat? Aku baru saja menggambarnya!” Miselia berkata dengan wajah cemas yang jarang terlihat darinya.
“Eh? Makhluk ini?”
“Eh.”
Miselia terdiam, membeku di tempatnya.
(Apa mungkin…)
Rogue akhirnya memahami kesalahpahaman ini.
“Jangan-jangan… kau pikir kau pintar menggambar, ya?”
“T-tidak, Rogue-kun! A-apa yang kau bicarakan!?”
“Ugh, bahkan simpanse pun mungkin bisa menggambar lebih bagus dari ini,” ujar Anjene sambil berbisik.
“Tuh kan.”
“T-tidak! Aku tidak mau mengakuinya! Kalau aku tidak mengakuinya, gambarku akan tetap terlihat bagus di mataku!”
Sambil berpikir kalau dia pasti akan terus mengungkit hal ini, Rogue berkata, “Yah, lupakan saja soal itu.”
“Kau kejam sekali, Rogue-kun!?”
Rogue merendahkan suaranya.
“Menurutmu Zack Knoll akan buka mulut? Orang seperti dia lebih baik mati daripada bicara.”
Nada serius Rogue membuat Miselia yang tadi ribut mendadak menyipitkan mata.
“Dia akan bicara.”
“Kenapa kau begitu yakin?”
“Karena ada aku di sini. Serahkan saja padaku, Rogue-kun. Tanpa sihir sekalipun, aku bisa membuat dia bicara.”
※※※
Rumah Zack Knoll yang berada di Distrik Enam tampak sangat tua.
Tidak ada lift, hanya tangga. Cahaya lampu neon yang hampir putus menyinari mereka dari atas saat menaiki tangga.
Ketika mencapai lantai istirahat, Rogue bertanya,
“Menurutmu dia akan melawan?”
“Sepertinya tidak, tapi tetap saja, lebih baik berjaga-jaga.”
Mereka sampai di lantai dua, di depan kamar nomor tiga—kamar Zack Knoll. Rogue merasa lega karena itu bukan lantai teratas.
Rogue menekan bel pintu nomor tiga. Tidak lama kemudian terdengar langkah kaki, dan pintu terbuka.
Zack Knoll yang terlihat mengantuk, mungkin baru saja tidur siang, mencoba berkata, “Tunggu sebentar…” lalu tersentak. Ekspresinya berubah drastis saat melihat Miselia, wajahnya menjadi pucat.
“…Kalian…”
Rogue merasa kasihan, tapi dia tidak peduli dan berkata,
“Sepertinya kita tidak perlu memperkenalkan diri. Aku hanya punya beberapa pertanyaan. Ini tidak akan lama.”
“…Aku sudah memberitahu semuanya.”
“Tidak semuanya, kan?” ujar Rogue sambil melirik Miselia.
“Benar. Zack, semua yang kau sembunyikan sudah kami ketahui. Kami hanya ingin memverifikasi kebenarannya. Kau akan bekerja sama, bukan?”
Miselia berkata dengan percaya diri, seolah dia tidak berbohong sama sekali.
“…Masuklah.”
Zack Knoll memberi isyarat dengan tangannya.
“Permisi,” kata Miselia dengan riang.
Kamar Zack Knoll penuh dengan buku yang bertumpuk di mana-mana, membuat hampir tidak ada ruang untuk melangkah.
Mereka berhati-hati agar tidak menjatuhkan tumpukan buku. Zack Knoll menuju dapur dan membawa teh untuk Rogue dan Miselia.
“Teh murahan, sih.”
“Terima kasih.”
Miselia langsung meminumnya sampai habis tanpa ragu.
“Ah, terima kasih. Baiklah, mari kita mulai.”
Ekspresi Zack Knoll yang awalnya keras mulai berubah.
“Kau melindungi seseorang, kan?”
“Aku tidak melindungi siapa pun…”
“Ah, sudahlah, Zack. Semua sudah selesai. Kau hanya mantan prajurit biasa. Tugas ini terlalu berat untukmu. Kami di sini untuk membebaskanmu dari beban itu.” Nada suara Miselia tiba-tiba menjadi lembut dan menenangkan.
Zack Knoll tampak gelisah. Matanya melirik ke segala arah seolah mencari bantuan, lalu kembali menatap Miselia. Dengan suara bergetar, dia berkata,
“T-tidak, aku tidak tahu apa-apa.”
“Pasti berat bagimu. Tapi semua sudah selesai.”
“Ini hanya gertakan! K-kau tidak tahu apa-apa!” Zack Knoll menendang tumpukan buku dengan marah.
Miselia, dengan alisnya menurun, terlihat penuh simpati.
“Aku mengerti. Ketika diperintah oleh orang-orang yang sangat berkuasa, tidak mungkin untuk menolak. Ini bukan salahmu, ini salah situasinya.”
“Apa!?” Zack Knoll membuka matanya lebar-lebar.
“Diperintah oleh salah satu dari ‘Dua Bangsawan Besar’ itu seperti ditimpa meteor. Tapi sekarang—” Miselia mengangkat alisnya dan menepuk dadanya dengan bangga.
“—kau tidak perlu khawatir lagi! Kami akan membebaskanmu! Aku janji!”
Tubuh Zack Knoll mulai gemetar. Dia jatuh berlutut dan menundukkan kepala.
“…’Itu’ adalah iblis. Bukan manusia.”
“Benar sekali. ‘Dia’ memang punya kepribadian yang sangat buruk, ya.”
“…Aku mencoba menolak membuat portal teleportasi. Bahkan obat peningkat kekuatan sihir…”
“Setidaknya kau sudah mencoba menolak. Itu luar biasa.”
“…Tapi aku tidak bisa melawan karena aku takut kehilangan nyawaku… Apakah Chronos akan tertangkap?” Dengan suara cemas, Zack Knoll bertanya.
(Jadi, pelakunya adalah Chronos!)
“Sejujurnya, divisi kami didirikan untuk menangani orang-orang besar yang tidak bisa ditangani oleh penyelidik biasa. Jadi jangan khawatir. Kau bebas sekarang.”
“B-bebas…”
Zack Knoll menutup wajahnya dengan tangan besarnya dan mulai menangis dengan keras. Sama sekali tidak terlihat seperti mantan prajurit.
(Dia benar-benar berhasil.)
Hanya dengan kata-kata, Miselia berhasil membuat Zack Knoll mengungkapkan segalanya. Zack benar-benar percaya bahwa Miselia tahu semuanya.
Sambil menepuk bahu Zack Knoll dengan lembut, Miselia berkata,
“Kami sudah bisa menangkap dia, tapi kami ingin menyelesaikan semuanya dengan cepat. Bisakah kau mencatat lokasi portal utama yang sudah kau buat?”
Ketika Zack menatap Miselia, dia mengangkat alisnya dengan ekspresi ramah.
“Tapi tidak perlu terburu-buru. Lakukan saja dengan santai. Kami akan kembali bekerja dulu.”
Saat hendak pergi, Zack Knoll berdiri dan dengan tergesa-gesa meraih selembar kertas dari sekitarnya, lalu menempelkannya ke dinding.
“Tunggu sebentar!”
“Ah, tidak perlu buru-buru.”
“Setan itu telah mempermainkanku habis-habisan! Aku tidak akan puas kalau tidak melakukan ini!”
Setelah Zack Knoll menulis dengan kecepatan luar biasa, dia menyerahkan catatan itu. Mata Zack tidak lepas dari Miselia sampai catatan itu tersimpan di saku, seolah dia sedang memandang seorang dewi.
“Catatanmu sudah diterima, kalau begitu, kami akan pergi sekarang. Terima kasih atas kerjasamamu.”
“Na-nama Anda siapa?”
“Lilia.”
“Terima kasih! Miss Lilia! Karena Anda, aku... aku!”
(Sungguh pemandangan yang mengharukan.)
mereka meninggalkan ruangan sambil diantar oleh Zack Knoll. Saat menuruni tangga, Rogue bertanya kepada Miselia,
“Itu semua hanya gertakan?”
“Bukan gertakan, lebih tepatnya intuisi. Aku sudah menduga siapa pelakunya, sebelum datang ke sini, aku sudah memperkirakan pelakunya adalah salah satu dari ‘Dua Keluarga Besar’.” jawab Miselia.
“Bagaimana caranya kau tahu?”
“Data iris mata yang tidak terdaftar di basis data itu mencurigakan. Selama ini kita mengira pelakunya adalah anggota militer, tapi kalau dia memang militer, datanya pasti terdaftar di sana.”
“Tapi itu saja tidak cukup untuk memastikan ‘Dua Keluarga Besar’, kan?”
“Masih ingat hari ketika Catherine hampir dibakar hidup-hidup? Aku menanyainya secara detail tentang kejadian itu. Menurutnya, Lifetaker memanggilnya ‘penyihir.’ Bahkan menunjukkan tanda-tanda mengetahui masa lalunya—bukankah itu aneh? Informasi tentang kita, para penyihir, sangat rahasia bahkan untuk para penyidik. Tapi kenapa Lifetaker tahu? Kenapa dia langsung mengenali Catherine sebagai penyihir hanya dengan melihat wajahnya?”
“Itu karena—”
Rogue teringat sesuatu yang pernah dikatakan oleh Velladonna sebelum mereka tiba di Divisi Enam.
“Orang penting sepertiku tahu tentang itu, tentunya.”
Para penyidik, kecuali mereka yang berada di tingkat kepala biro, tidak mungkin mengetahui tentang para penyihir. Tidak mungkin seorang tentara biasa tahu tentang keberadaan mereka.
“Tentu saja, hanya dengan kedudukan saja, para pejabat tinggi pemerintah juga mungkin tahu tentang kita, jadi itu belum cukup untuk memastikan,” lanjut Miselia. “Tapi…”
“Iris mata,” gumam Rogue.
Saat itu, dia merasa bodoh karena tidak menyadarinya sebelumnya.
Bukti sudah ada di ruang kepala biro seperti foto-foto Dua Keluarga Besar. Semua anggota keluarga itu memiliki iris berwarna emas. Dia bahkan sempat merasa ngeri karena keunikan tersebut.
Melihat perubahan ekspresi Rogue, Miselia mengangguk.
“Tepat. Tidak ada yang bisa menghapus data biologis mereka selain orang dari ‘Dua Keluarga Besar.’ Meski aku belum tahu siapa pelakunya, untungnya, dia salah paham, jadi kita berhasil.” kata Miselia sambil menunjuk ke arah apartemen Zack Knoll dengan ibu jarinya.
“Bagaimana kau tahu pelakunya laki-laki?”
“Itu sepenuhnya tebakan. Kalau ternyata perempuan, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.”
“...Kau benar-benar beruntung.”
“Betul sekali.”
Mereka akhirnya sampai di mobil.
Rogue merasa kelelahan dan berdiri di depan pintu mobil sambil menatap langit. Tubuhnya terasa panas, mungkin akibat ketegangan selama penyelidikan. Namun, dia merasa tidak terlalu buruk.
Setelah masuk ke mobil, Rogue tidak langsung menyalakan mesin.
“Tunggu sebentar. Aku akan menghubungi kepala biro,” katanya sambil menempelkan perangkat komunikasi ke telinganya.
Setelah sekitar sepuluh panggilan, Velladonna akhirnya menjawab.
“Halo, Rogue. Bagaimana? Ada perkembangan? Kapan kalian kembali?”
“Direktur, Saya ingin bertanya sesuatu.”
“Hm?”
“Ada seseorang bernama Chronos di antara Dua Keluarga Besar?”
“Haah…”
Setelah menarik napas panjang, Velladonna menjawab, “Ada.”
Rogue hampir melompat kegirangan. Dia menatap Miselia dengan wajah berseri-seri. Miselia, yang awalnya terkejut, akhirnya membalas senyuman Rogue. “Kau berhasil, Rogue-kun,” bisiknya dengan suara pelan. Rogue merasa aneh dengan tingkahnya sendiri.
“Rogue?”
“Ah, iya! … Jangan terkejut. Orang bernama Chronos itu adalah Lifetaker—”
“Benar. Aku sudah tahu.”
“Apa?”
Apa yang baru saja dia dengar?
“Kerja bagus, Rogue,” puji Velladonna. Nada manis khasnya menghilang, digantikan oleh suara yang serius.
“Apa maksud Anda, Direktur?”
“Chronos Drakenia—ya, dia memang si Lifetaker. Kami sudah mengetahuinya. Dia memang masalah besar bagi kami. Siapa sangka seorang pembunuh muncul dari ‘Dua Keluarga Besar’.”
“Lalu kenapa Anda tidak menghentikannya?”
“Ada alasan tertentu, pertama, Dua Keluarga Besar saling bermusuhan. Biro Investigasi Kejahatan Magis kita berada di bawah komando Keluarga Drakenia. Tapi Chronos berasal dari keluarga tersebut. Jika salah satu anggota mereka ditangkap, itu akan menjadi aib besar bagi mereka. Keluarga Rigton pasti akan memanfaatkannya. Dan itu harus dicegah.”
“Jadi Anda membiarkan seorang penjahat bebas berkeliaran?”
“Itu tidak benar, satu-satunya cara adalah menggunakan tim investigasi yang tidak tercatat—yaitu kalian, Divisi Enam. Kita tidak bisa membiarkan masyarakat tahu bahwa kita memelihara para penyihir secara rahasia. Jika Chronos ditangkap, baik Rigton maupun Drakenia akan menyangkal keterlibatan mereka.”
“Jadi Anda tahu, tapi sengaja diam saja?”
“Benar. Jika biro ini secara terbuka menyelidiki kasus ini, itu akan dianggap sebagai pengkhianatan terhadap Keluarga Drakenia dan memberi peluang kepada Keluarga Rigton. Karena itu, hanya kalian yang bisa menangani ini.”
“Saya mengerti,” jawab Rogue.
Saat itu, dia menyadari suaranya gemetar.
“Chronos mencuri sihir rahasia milik Keluarga Drakenia dan melarikan diri, sihir itu digunakan untuk memperpanjang usia kepala keluarga Dua Keluarga Besar. Efeknya memungkinkan pemiliknya memanipulasi waktu biologis, termasuk mempercepat penuaan atau kembali muda. Selain itu, ada juga sihir mematikan yang katanya dicuri, dan jika itu benar, karierku bisa tamat.”
Lalu terdengar sesuatu yang mirip keluhan.
“Meski begitu, bayangkan saja, mencuri seni rahasia hanya untuk melakukan kejahatan. Benar-benar sia-sia.”
“……Iya.”
“Rogue, aku sangat berterima kasih padamu. Rasanya aku ingin mengundangmu makan malam secara pribadi. Yah, terlepas dari itu, setelah kasus ini selesai, aku akan menyiapkan posisi untukmu di jajaran pejabat. Kerjamu sungguh luar biasa. Semoga kasus ini segera terpecahkan.”
Sambungan telepon terputus.
Ada perasaan tak terlukiskan yang berputar-putar dalam dada Rogue.
Yang terlintas di pikiranny adalah para korban Executioner. Jika biro investigasi sungguh-sungguh menanganinya tanpa memedulikan konflik kekuasaan, bukankah kasus ini sudah selesai sejak lama?
Rogue memukul setir dengan tangannya, membunyikan klakson tanpa sengaja. Suara klakson menggema di kawasan perumahan.
“……Maaf.”
Suara itu terdengar seperti bukan miliknya sendiri.
Bukankah tugas seorang penyidik adalah menangkap penjahat?
Setidaknya, itulah alasan Rogue menjadi seorang penyidik. Dia tidak menjadi penyidik untuk membiarkan penjahat lolos hanya demi kepentingan seseorang, harga diri, atau uang. Jika itu yang harus diperjuangkan, dia takkan pernah memilih jalan ini.
Namun, tiba-tiba dia berpikir:
──Apakah itu benar?
Di sebelahnya ada seorang penjahat. Penjahat yang luar biasa kuatnya.
Apakah dia bisa membiarkan orang ini tak tersentuh?
“Semangatlah, Rogue-kun. Kasus ini akan segera selesai, bukan?”
Suara penyemangat itu datang dari si penyihir yang menjadi kunci utama dalam pikirannya.
“Ini adalah hasil kerja kerasmu. Kau patut bangga.”
Nada tenangnya membuat emosi Rogue semakin memuncak. Tidak hanya itu, dia juga marah pada dirinya sendiri—pada kenyataan bahwa dia sedang dihibur oleh seorang penyihir.
Penyihir adalah kejahatan.
Dan itu tidak boleh berubah.
Namun, saat berpikir begitu, dia mendapati dirinya hampir meledak karena emosi yang meluap-luap.
“Berapa banyak orang yang sudah mati karena ucapan manismu itu, penyihir?”
Dia melontarkan kebencian, dan anehnya itu membuat perasaannya lebih ringan.
“Kasus ini akan selesai? Oh, memang akan selesai. Tapi semuanya sudah terlambat dari dulu.”
Kebenciannya terhadap penyihir itu semakin meningkat.
“Kau tahu, kan? Orang yang mati tidak akan pernah hidup kembali.”
Dalam amarahnya, dia bahkan membawa hal-hal yang seharusnya tidak diungkapkan, hanya untuk menyakiti si penyihir.
“Kalian para penyihir telah membunuh orang tuaku. Bukan hanya mereka. Tetangga, teman-teman di sekolah, guru, kerabat—semuanya mati dalam penderitaan yang luar biasa. Sudah cukup, bukan? Pernahkah kalian membayangkan bagaimana rasanya hidup seseorang yang hancur begitu saja? Orang tua yang wajahnya tidak lagi seperti orang tua. Kau bisa mengerti itu? Mereka yang kemarin masih tertawa, tiba-tiba berubah seperti orang asing. Hei, apa yang seharusnya aku lakukan? Beritahu aku. Kau pasti pernah melakukan hal serupa, bukan?”
Kata-katanya berhenti.
Rogue segera merasa hampa.
“Hah… itu tidak ada hubungannya, ya? Bagi kalian, manusia hanya mainan belaka.”
Saat menatap penyihir itu dengan mata keruh, dia mendapati wajahnya tetap tersenyum seperti biasa. Tidak ada sedikit pun tanda terguncang oleh kata-kata Rogue. Seperti yang dia duga, penyihir memang bukan manusia.
Ketika dia hendak mengalihkan pandangannya, suara si penyihir memecah keheningan.
“Aku, tahu, aku tidak menyukai orang-orang munafik. Tapi sayangnya, dunia ini dipenuhi dengan mereka. Hanya sedikit orang yang berani mengatakan sesuatu itu salah.”
“……Lalu kenapa dengan itu?”
“Dari sudut pandangku, kau terlihat melakukan hal yang benar.”
“……Omong kosongmu tidak ada artinya.”
“Begitukah? Kalau kau tahu itu, kenapa kau masih di sini, seperti ini?”
Miselia mencengkeram dagu Rogue, memaksa wajahnya menghadap ke arahnya.
“Ugh!?”
“Yang seharusnya kau lakukan sekarang adalah berbagi informasi dengan semua orang dan secepatnya menangkap pelakunya, bukan?”
Mata biru Miselia menatap tajam ke arah Rogue, bukan dengan kemarahan, melainkan hanya memantulkan dirinya sendiri.
“……Lucu sekali. Penyihir sepertimu malah menceramahiku?”
“Jangan salah paham. Aku hanya menyampaikan fakta.”
“……Apa yang kau sebut fakta? Apa?”
Ada sesuatu yang panas mendesak naik dari tenggorokan Rogue. Dia mencoba menahannya, tetapi itu mustahil.
“Apa yang kau sebut hasil kerja!? Aku tidak butuh penghiburan! Jangan mencoba menghiburku! Penyihir seperti kau hanya membuatku semakin kesal!”
Rogue menepis tangan Miselia yang mencengkeram dagunya.
Bunyi plak terdengar jelas.
“Ah...”
Ketika melihat kulit tangan Miselia yang memerah, kata-kata tak sengaja meluncur dari mulutnya.
“Maaf──”
“Tidak apa-apa. Apa yang kau katakan memang benar.”
Miselia menggelengkan kepalanya.
“Tapi menurutku, lebih baik kau berhenti membuang waktu dengan sia-sia. Saat kita mempersempit jaringan, tidak ada jaminan bahwa Executioner tidak akan bertindak nekat.”
Meskipun dia seorang penyihir—meskipun dia jelas-jelas penyihir—Rogue tiba-tiba merasa Miselia terlihat seperti seorang penyidik. Lebih tepatnya, seperti seorang penyidik veteran yang sedang menasihati juniornya yang sedang dilanda dilema dan terluka.
“Aku baru saja menamparmu! Setidaknya aku harus──”
“Ditampar? Aku? Apakah begitu?”
Miselia memiringkan kepala seolah tidak tahu apa-apa. Dia bahkan tidak memberi ruang untuk membantah.
Rogue merasa sangat menyedihkan.
Perebutan kekuasaan di tingkat atas itu sama sekali tidak ada hubungannya dengannya. Namun, setelah mengetahui kebenaran, mengapa dia malah ragu? Padahal dia tahu apa yang seharusnya dia lakukan.
Saat itu, sesuatu menyentuh kepala Rogue. Dari sensasinya, itu seperti… tangan?
“Kau sudah berusaha keras.”
Saat Miselia berkata begitu, dia mengusap kepala Rogue perlahan, seperti sedang membelai rambutnya dengan ujung jarinya. Rasanya tidak buruk—bahkan sebaliknya, ada rasa nyaman yang tidak dia duga.
Rogue membeku karena reaksinya sendiri, tetapi suara Miselia kembali menyusul.
“Kau sudah bekerja dengan sangat baik. Itulah sebabnya aku memutuskan untuk bekerja sama denganmu. Kalau itu orang lain, aku tidak akan melakukannya.”
“…Berhenti. Itu memalukan.”
Rogue mencoba menyingkirkan tangan Miselia yang membelainya, tetapi dengan nada yang licik, Miselia berkata,
“Kalau ingin aku berhenti, bagaimana kalau kau menepisnya lagi, seperti tadi?”
Ucapan itu sangat menyebalkan.
“…Aku tidak bisa menolaknya, bukan?”
Saat Rogue memalingkan wajahnya, Miselia tertawa kecil.
“Fufu, terimalah saja, Rogue-kun.”
“…Diam kau.”
“Oh, telingamu merah sekali. Hahaha!”
Rogue mengerutkan alisnya dalam-dalam. Alih-alih membalas, dia memejamkan matanya.
Apakah dia benar-benar seorang penyihir?
Dia bilang telah membunuh lima penyidik sebelumnya. Rogue tahu dia pernah membawa bencana bagi Kekaisaran. Dia juga tahu Miselia pernah melakukan penyiksaan, dan ucapannya seringkali kejam. Tapi sejauh ini, Rogue bahkan tidak terluka sedikit pun olehnya. Itu membuatnya mulai meragukan apakah Miselia benar-benar penyihir. Apakah dia benar-benar bersalah?
Bukan karena dia terpengaruh—
Tapi entah kenapa, Rogue merasa ingin tetap dibiarkan seperti ini, hanya untuk sementara waktu.
Lagi pula, setelah kasus ini selesai, dia akan meninggalkan Divisi keenam.
※※※
Sebuah bengkel pengecatan di perbatasan antara Distrik Lima dan Distrik Enam—itulah yang tertulis di catatan yang dikirimkan oleh Zack Knoll. Tidak seperti tempat persembunyian sebelumnya, bangunan ini tampak rapi. Pintu gulung di bagian depan sudah terbuka, tetapi bagian dalamnya gelap dan tidak terlihat jelas.
Rogue memberikan isyarat kepada Catherine di sebelahnya untuk menuju pintu belakang, lalu dia sendiri melewati pintu gulung itu dan masuk ke dalam sendirian.
Begitu masuk, dia langsung melihat sesosok bayangan di pojok ruangan. Dari kedua matanya yang berkilauan seperti mata kucing, Rogue tahu itu adalah seseorang dari kalangan bangsawan—mata emas yang hanya dimiliki oleh mereka. Menahan debaran di dadanya, dia melangkah dengan hati-hati, hingga suara seorang pria menyapanya.
“Halo, selamat siang.”
Suara pria itu terdengar akrab, seolah sudah lama mengenal.
“Kita bertemu langsung untuk pertama kalinya, ya? Aku sudah banyak mendengar tentangmu, Penyidik Rogue Macabesta.”
“Angkat tanganmu dan hadapkan tubuh ke dinding,” kata Rogue tanpa menanggapi sapaan itu.
Pria itu hanya tertawa kecil, lalu terdengar suara sakelar yang dinyalakan. Lampu menyala, membuat Rogue silau sejenak.
“Aku sudah menunggu lama. Aku ingin melihat sendiri seperti apa rupa orang yang mengejarku.”
Di depan Rogue, dengan tangan masih di sakelar lampu, berdiri Executioner—Chronos Drakenia.
Pria muda dengan wajah tampan itu menatap Rogue dengan matanya yang berwarna emas sambil menyunggingkan senyum lembut di bibirnya.
“Angkat tanganmu,” ulang Rogue sekali lagi.
“Ini momen yang sudah lama dinantikan, bukan? Pertemuan antara tersangka dan penyidik. Jangan terburu-buru, nikmati dulu,” ujar Chronos dengan santai sambil melepaskan tangannya dari sakelar lampu dan berjalan dengan langkah tenang mendekat ke arah Rogue.
“Ayo, kita bicara,” katanya.
“Apa maksudmu?”
“Kadang, kita tidak bisa memahami sesuatu tanpa berbicara. Jika kau mendengar alasanku, mungkin pandanganmu akan berubah,” ucap Chronos sambil berhenti sekitar lima meter dari Rogue.
Dari penampilannya, tidak terlihat dia membawa senjata. Namun, Rogue tahu bahwa jika Chronos telah menanamkan rune pada tubuhnya, dia tetap bisa menyerang kapan saja tanpa senjata. Chronos membuka kedua tangannya, menunjukkan bahwa dia tidak bersenjata, dan berkata,
“Pernahkah kau mendengar cerita jika kau berbuat jahat, sang Penyihir akan datang?”
Rogue membeku sejenak.
Dia sama sekali tidak mengerti mengapa Chronos membawa cerita itu di tengah situasi seperti ini. Bukankah itu hanya—
“...dongeng anak-anak,” jawab Rogue dingin.
Cerita itu hanyalah alat untuk menakut-nakuti anak-anak. Tidak ada hubungannya dengan penyihir sungguhan. Namun, Chronos mengangguk perlahan.
“Benar, itu memang dongeng. Tapi, bagaimana jika dongeng itu bisa menjadi kenyataan?”
“Apa maksudmu?”
“Coba pikirkan lagi. Dongeng itu menjadi hanya sekadar cerita karena ancaman penyihir telah terlupakan. Peristiwa itu terlalu jauh untuk dirasakan oleh manusia modern. Tapi, jika penyihir benar-benar ada di zaman ini, siapa yang akan berani menertawakan cerita itu?”
Nada suara Chronos penuh keyakinan, seperti seseorang yang sudah merencanakan segalanya. Rogue tidak bisa sepenuhnya menyangkal itu. Dia tahu kebenaran di balik eksistensi penyihir.
Chronos melanjutkan, “Kejahatan tidak akan pernah hilang—jadi, Penyidik-san, bagaimana jika jumlah kejahatan itu kita kendalikan? Jika ada satu kekuatan absolut yang memastikan setiap pelaku kejahatan mendapatkan balasannya, dunia akan belajar untuk takut. Dengan ketakutan itu, kejahatan akan menurun dengan sendirinya.”
“Itu tujuanmu?” tanya Rogue dengan nada dingin.
“Benar. Untuk itulah aku melakukan pembunuhan ini. Bisa dibilang, ini adalah upayaku untuk menghidupkan kembali era Penyihir. Dunia pasti akan menjadi tempat yang lebih baik.”
Rogue merasa berbicara dengan Chronos adalah kesalahan. Logika pria itu benar-benar tidak masuk akal dan mustahil diterima.
Tapi, benarkah itu?
Bagaimana jika para penyihir di Divisi Enam tidak menggunakan kalung kendali mereka? Jika kekuatan besar mereka dilepaskan, bukankah teori Chronos mungkin saja berhasil?
Rogue menepis pikiran itu dengan cepat. Tidak, itu tidak mungkin diterima. Berapa banyak nyawa tak berdosa yang harus dikorbankan sebelum rencana gila ini berhasil?
Melihat Rogue terdiam, Chronos tersenyum dan berkata, “Aku yakin rencana ini akan berhasil. Aku bahkan ingin kau bergabung denganku, Penyidik Rogue.”
Sambil berkata demikian, Chronos menyentuh lengan kirinya. Gerakannya terlihat aneh, seperti seseorang yang menyentuh benda berbahaya.
—Sihir rahasia milik dua keluarga bangsawan besar. Seperti yang dikatakan Velladonna, kekuatan itu menyatu dengan kulit penggunanya dan menjadi semakin kuat.
“Penyihir menyatu dengan sihir mereka. Jika itu tercapai, hampir semua syarat untuk kekuatan absolut terpenuhi. Tentu saja, aku belum sempurna. Aku hanya bisa menyatukannya pada kulitku. Tapi, suatu hari aku akan menjadi penyihir sejati. Ketika itu terjadi, era Penyihir akan kembali. Kau akan melihat hasil kerjaku...”
Chronos berhenti berbicara. Dia menyadari kehadiran Catherine yang berdiri di belakangnya, memegang pistol, dengan ekspresi menahan emosi.
“Jangan bergerak,” perintah Catherine dengan suara yang sedikit bergetar.
Chronos memandangnya dengan penuh minat dan berkata, “Oh, jadi kau adalah penyihir yang waktu itu selamat? Syukurlah kau hidup. Aku tidak ingin seorang penyihir mati sia-sia.”
“Tidak ada yang perlu kubicarakan denganmu,” jawab Catherine dingin.
Chronos, dengan senyum lebar, mengulurkan tangannya. “Bagaimana? Kau tidak ingin membantuku? Jika kau, sebagai penyihir, bergabung denganku, dunia akan berubah dengan cepat. Bagaimana, Saintess? Apakah kau ingin menyelamatkan seseorang lagi?”
Wajah Catherine berubah. Rogue, yang sudah dipenuhi amarah, langsung membuang tangan Chronos dan mengeluarkan borgol. Dia menatap Chronos dengan tatapan tajam penuh kebencian.
“Aku menangkapmu,” katanya dingin.
Chronos, meski tangannya diborgol, hanya tersenyum. “Kapan saja kau ingin bergabung, aku akan menunggumu. Aku orang yang sabar.”
“Berhenti bicara, aku benar-benar ingin menghajarmu sekarang.” kata Rogue dengan nada muak.
※※※
“—Baik. Terima kasih atas informasinya.”
Rogue menutup panggilan dengan Velladonna. Semua penyihir di ruang rapat memandangnya.
Dengan suara yang jelas dan tegas, Rogue berkata, “Besok, Executioner akan diserahkan kepada perwakilan dari dua keluarga bangsawan besar. Aku tidak tahu apakah dia akan mendapat pengadilan yang adil atau tidak. Tapi, bagaimanapun juga—kasus ini selesai. Terima kasih atas kerja sama kalian.”
Para penyihir langsung ribut.
──Kasih hadiah lebih banyak!
──Bayar kami lebih mahal!
──Ayo, buatkan kami bantal di pangkuanmu!
“Baik, baik! Aku akan mengurus semuanya, jadi diamlah dulu, bisakah kalian tenang untuk sekali saja?” kata Rogue sambil menghela napas panjang.
“Penyidik... apa benar kau akan pergi?” tanya Catherine. Dia memandang Rogue seperti anak anjing yang mencoba menghentikan pemiliknya pergi.
Rogue terdiam sejenak, lalu berkata dengan tegas, “—Ya. Itu memang sudah rencana awalnya.”
“Tapi, tapi, kau bisa tetap di Divisi keenam. Kau masih bisa menyelidiki kasus di sini tanpa harus pindah, bukan?”
“’Orang serakah tidak akan bertahan lama.’”
“Apa maksudmu?”
Melihat Catherine yang bingung, Rogue menjelaskan, “Itu peringatan yang sering diberikan kepada penyidik pemula. Artinya, jika kau ingin sesuatu, sebaiknya kau keluar sebelum kau mati. Tidak ada yang bisa menjamin nyawamu.”
“Itu...” Catherine mencoba membalas, tetapi kehilangan kata-kata.
Catherine terdiam, seolah sudah dapat menebak apa yang akan dikatakan berikutnya.
“Direktur telah menyiapkan posisi sebagai manajer untukku. Itu berarti aku tidak sepenuhnya meninggalkan lapangan, tapi jelas lebih aman dibandingkan baku tembak dengan para penjahat. Singkatnya, aku sudah muak dengan kehidupan di lapangan.”
Catherine menunduk, terlihat kecewa. Rogue mengacak-acak rambutnya dengan kesal.
“Yah… kupikir itu hal yang masuk akal. Kau kan hanya manusia biasa. Berbeda dengan kami. Sebaiknya menjauh sebelum terlambat.” Humafu berkata sambil menguap, kepalanya bergoyang lesu.
“Ada benarnya juga.”
Miselia menoleh ke arah Rogue, wajahnya terlihat serius.
“Kalau bisa kabur, kaburlah sekarang, karena pintunya tidak akan selalu terbuka. Besok, setelah Chronos diserahkan, lupakan saja keberadaan tempat ini. Lebih baik mulai pikirkan di mana kau akan makan siang berikutnya.”
“…Ya.”
Rogue mengangguk tanpa ekspresi. Miselia berbicara dengan nada biasa, tetapi Rogue masih teringat bagaimana ia membelai rambutnya di dalam mobil tempo hari. Betapa kontrasnya itu dengan sikap Miselia yang sekarang. Bagaimana ia bisa begitu tenang? Apa yang sebenarnya terjadi?
Miselia kemudian mengangkat tangan tinggi-tinggi dan berkata dengan nada ceria,
“Semuanya, mari kita beri penghormatan kepada pendatang baru di divisi keenam yang berhasil selamat! Ayo, beri dia tepuk tangan yang meriah~.”
Ia memimpin para penyihir untuk bertepuk tangan.
Humafu bertepuk tangan sambil menguap. Catherine, yang terlihat seperti akan menangis, ikut bertepuk tangan dengan keras. Angene merekahkan senyum nakal, sementara Rico, petugas administrasi, bertepuk tangan dengan malu-malu dari kejauhan.
Rogue merasa risih dengan semua perhatian itu, sehingga ia membalikkan badan, membelakangi mereka. Di belakangnya, Miselia berkata, “Lihat tuh, dia jadi malu. Ayo, semuanya, beri lebih banyak tepuk tangan!”
Sialan mereka semua, pikir Rogue.
Tak lama, Rico datang membawa pizza besar. Ia meletakkannya di atas meja, memotong-motong, dan membagikannya. Selain itu, ia juga membawa beberapa botol anggur.
Apa ini semacam pesta perayaan karena kasus telah selesai? Sulit dipercaya para penyihir ini punya ide seperti itu.
Sebelum ia sempat memprotes, sebuah gelas diberikan padanya, dan ia didorong masuk ke dalam lingkaran. Miselia menuangkan anggur ke dalam gelasnya. Semua mata para penyihir menatap Rogue, penuh harap.
“Ber-bersulang…”
Mau tak mau, Rogue mengangkat gelasnya.
※※※
Setelah acara perpisahan selesai, pakaian Rogue terlihat acak-acakan. Ia berjalan ke kamar mandi untuk mencuci muka, mencoba mengembalikan fokusnya. Waktu bersenang-senang sudah selesai.
Ia masih memiliki urusan yang harus diselesaikan.
Ia berjalan menuju sel tempat Chronos ditahan. Di dalam sel, Chronos duduk di tepi ranjang, tubuhnya condong ke depan dengan mata terpejam.
“Yo.”
Chronos membuka satu matanya, menatap Rogue.
“Ah, kau. Ada apa mencariku?”
“Zack Knoll. Kau mengancamnya, bukan? Bagaimana caranya?”
“Oh, dia. Aku hanya mengatakan bahwa jika dia tidak membantuku memasang gerbang teleportasi, aku akan membocorkan tentang pembantaian yang pernah dilakukannya kepada keluarga dan temannya. Itu saja.” Chronos tersenyum tipis.
Chronos melanjutkan dengan nada ringan,
“Aku mendapatkan catatan perang pembersihan di mana dia membantai Desa Mizica. Padahal, itu sama sekali tidak berkaitan dengan operasi militer. Seharusnya tidak ada alasan untuk menyerang desa itu, tapi ya, dia melakukannya begitu saja. Sepertinya dia sangat menyesalinya, jadi aku hanya perlu sedikit mengungkit-ungkitnya.”
Chronos membuka kedua matanya dan menatap Rogue.
“Kasihan memang. Dia sebenarnya orang yang malang.”
Rogue tak bisa menyembunyikan rasa muaknya. Ia tahu Chronos tidak benar-benar bersimpati. Lebih baik percakapan ini diselesaikan secepatnya.
“Ada orang lain yang membantumu selain Zack Knoll. Kalau tidak, mustahil kau bisa memasang cap magis sebanyak itu.”
“Aku tidak suka terlalu banyak melibatkan orang lain. Hanya dia yang kubutuhkan.”
“Jangan berlagak bodoh. Semua akan terungkap pada waktunya.”
“Kalau kau tidak percaya, ya sudahlah. Aku menyerah.”
“…Kau terlihat santai sekali. Kau pikir Drakenia akan memaafkanmu?”
Rogue mengepalkan tangan di belakang punggung, mencoba menahan amarah.
“Apa boleh buat. Mungkin mereka akan memaafkanku, mungkin juga tidak.” Chronos menyibakkan rambutnya, menatap Rogue dengan kedua matanya.
(Dia…)
Matanya sama seperti milik para penyihir, begitu dingin dan penuh rasa superioritas. Seolah-olah manusia hanyalah makhluk tak berarti di matanya.
Punggung Rogue merinding.
Meski berada dalam tahanan, Chronos belum menyerah.
(Apa yang direncanakan orang ini?)
“Kau terlalu baik memikirkan keselamatanku, tetapi apakah kau sendiri baik-baik saja?”
“Apa maksudmu?”
Chronos mengangkat alisnya dengan ekspresi seolah tulus prihatin.
“Ketika aku berada di Drakenia, aku mendengar sebuah cerita. Katanya, setiap petugas yang ditugaskan ke divisi keenam pasti dibunuh.”
Rogue tertegun. Lalu ia terkekeh kecil.
“Aku juga mendengar rumor itu, tapi buktinya tidak ada yang terjadi padaku. Itu hanya omong kosong.”
Chronos menggelengkan kepalanya dengan ekspresi sedih.
“Membunuh selama masa tugas memang tidak masuk akal. Kalau mereka membunuhmu, penyihir-penyihir itu akan kehilangan kebebasannya. Tidak, pembunuhan dilakukan setelah tugas selesai.”
Jantung Rogue berdegup kencang.
“Apa yang kau bicarakan?”
Chronos tersenyum tipis.
“Tadi malam, Miselia datang menemuiku. Kau tahu apa yang dia katakan? Katanya, begitu kau melangkah keluar dari markas, dia akan menembak kepalamu. Jadi, hati-hati saja.”
“Itu… bohong!”
Mulutnya terasa kering.
Miselia? Membunuhku?
Wajahnya terbayang di benak Rogue. Senyumnya, tawanya, dan caranya membelai kepala Rogue. Semua itu tidak masuk akal.
“Menyedihkan memang, tapi mereka adalah penyihir. Membunuh manusia itu mudah bagi mereka.” Chronos berkata dengan nada iba.
(Tidak. Bukan itu. Ada yang tidak beres.)
(Apa yang salah?)
“…Kalung.”
Seolah rangkaian listrik terhubung, kata-kata keluar begitu saja dari mulutnya.
Kalung Collar milik para penyihir. Mengapa ia bisa melupakannya? Selama Collar itu ada, penyihir tidak bisa membunuh manusia. Jika mereka melakukannya, mereka sendiri juga akan mati. Jadi, bagaimana mungkin Miselia akan membunuh Rogue?
“Kau berbohong—!”
Rogue hendak berteriak kepada Chronos, namun tubuhnya terjatuh, kedua lututnya menghantam lantai. Kakinya terasa lemas, dan pandangannya mulai kabur.
(Apa yang terjadi…?)
Kesadarannya mulai memudar, seolah-olah ia tenggelam dalam mimpi. Jika ia menutup matanya, ia pasti akan tertidur seketika.
“Terima kasih, kau sudah sangat membantu!”
Terdengar suara ceria Chronos.
Bersamaan dengan itu, ia merasakan seseorang berjalan mendekat.
Rogue berusaha mengangkat kepalanya dengan sisa-sisa tenaga yang ia miliki.
Sebuah bayangan berdiri di hadapannya, menatapnya dari atas. Wajahnya sulit terlihat karena silau cahaya dari lampu di belakangnya.
Lalu, bayangan itu melangkah maju, dan wajahnya tampak jelas, seolah tirai tersingkap.
“Maafkan aku.”
Itu Catherine.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.