Bab 1
Kalung Tidak Bisa
Dipasangkan pada Penyihir
Dinding di kantor kepala biro pusat dihiasi dengan deretan bingkai foto. Foto-foto itu menampilkan wajah para anggota Dua Keluarga Bangsawan Besar. Semua memiliki mata emas yang tampak seperti mata kucing, menimbulkan kesan menyeramkan. Namun, mencopot foto-foto tersebut jelas tidak diizinkan.
“Selamat, Rogue. Kau harus berterima kasih padaku!”
Begitu dipanggil masuk, atasan Rogue, Velladonna Villard, langsung menyambutnya dengan suara lantang.
Velladonna adalah kepala cabang ibu kota kekaisaran Irale. Gelar itu bukan hanya formalitas; ia selalu dikenal dengan caranya yang tiba-tiba dalam menyampaikan sesuatu.
“Terima kasih,” jawab Rogue sambil memberi hormat sebagai formalitas.
Melihat itu, Velladonna menyibakkan rambut pirang bergelombangnya dengan penuh gaya.
“Aku pribadi yang merekomendasikanmu, tahu? Sekalipun kau punya banyak prestasi, promosi ini tak akan berjalan semudah itu tanpa aku. Keluarga Drakenia sangat ketat dalam menilai kemampuan.”
Nada suaranya manis berlebihan, seperti gula yang terlalu banyak dituangkan.
Dua kancing di bagian atas bajunya terbuka, memperlihatkan pakaian dalam yang mencolok. Rumor mengatakan bahwa ia mencapai posisi ini melalui pesona dan rayuan. Namun, posisi ini jelas tak mungkin dipegang oleh seseorang yang hanya mengandalkan tipu daya tanpa kemampuan nyata.
Biro Investigasi Kejahatan Sihir berada di bawah kendali Keluarga Drakenia, salah satu dari Dua Keluarga Bangsawan Besar. Dengan filosofi meritokrasi yang ketat, mereka tak memberi toleransi pada ketidakmampuan. Banyak kasus di mana pejabat biro yang terlibat korupsi dikirim ke tanah es yang terpencil.
“Ya,” jawab Rogue tanpa ekspresi sambil mengangguk.
“Harusnya kau lebih berterima kasih!”
“Terima kasih.”
“Lagi!”
Rogue mengalihkan pandangannya agar tidak menatap Velladonna secara langsung. Ia berharap wajahnya tidak menunjukkan ekspresi kesal.
“…Terima kasih.”
“Ah, kamu menggemaskan sekali! Aku ingin sekali memakanmu!” Velladonna berkata sambil meletakkan tangan di pipinya.
Velladonna tampaknya memiliki ketertarikan pada Rogue. Dengan posisinya, ia telah banyak membantu Rogue, termasuk dalam urusan promosi ini. Menghindari konflik dengannya adalah keputusan yang bijak.
Rogue mengalihkan pandangannya ke jendela, melihat pantulan dirinya di kaca di belakang Velladonna. Dengan mata sipit, bibir yang masih menunjukkan jejak masa muda, dan postur yang sering menjadi bahan ejekan di sekolah pelatihan, ia tidak terlihat seperti seorang penyidik kriminal. Mantel berbulu yang dikenakannya adalah usaha untuk memberikan kesan mengintimidasi pada penjahat.
“Rogue, kau juga ingin dimakan olehku, bukan? Gaooo!”
Saat Velladonna mengambil sikap seperti seekor singa, Rogue dengan tenang berkata.
“Harap berhenti bercanda, Direktur.”
“Ara, begitu kah?”
“Ya.”
“Tapi, kau pasti ingin sedikit saja, bukan? Katakan, iya?”
“Tidak, Direktur. Jadi mari lanjutkan ke hal berikutnya.”
“Serius sekali! Semua pria adalah binatang buas. Jika diberi umpan di depan mereka, mereka hanya akan melompat-lompat seperti kelinci kelaparan.”
“Maaf, Direktur, apa tadi?”
“Tidak ada apa-apa.”
Velladonna mengerucutkan bibirnya, terlihat sangat tidak cocok dengannya. Saat Rogue berpura-pura tidak melihat, perangkat komunikasi di meja Velladonna berbunyi.
“Ya, ini Velladonna. Halo~!” jawabnya dengan suara manja seperti biasa.
“Begitu, ya? Ada korban lagi.”
Velladonna mengangguk sambil berbicara. Mungkin ia sedang berbicara dengan atasannya—seseorang di tingkatan yang bahkan tak pernah Rogue temui. Karena itu, Rogue tetap diam sambil memperhatikan.
“Baiklah, Velladonna pamit. Terima kasih, sampai jumpa… dasar, menyebalkan sekali.”
Tiba-tiba suara rendah keluar dari mulut Velladonna, membuat Rogue terkejut.
“Ada apa, Direktur?”
“Bukan urusanmu, Rogue,” jawabnya sambil menopang dagu dengan ekspresi lesu, memainkan tempat pena di meja seperti anak kecil. Ia tampak terganggu oleh tugas sulit yang diberikan padanya, bahkan bergumam keras, “Ah, merepotkan sekali.”
Ketika Rogue tetap tak bereaksi, sesuatu di jendela menarik perhatiannya—pantulan cahaya dari layar di meja Velladonna. Sebuah dokumen investigasi tampak sekilas di sana. Meski hanya sesaat, Rogue tahu apa itu.
(Apa mungkin ada hubungannya dengan ‘Life Stealer’…)
Kasus ini sedang menjadi pembicaraan publik. Informasi tentangnya telah sampai ke telinga Rogue.
Sekitar dua bulan lalu, mayat aneh ditemukan di distrik komersial Dilo. Identitasnya mudah dikenali dari kartu identitas yang dibawanya.
Jim Foley, pria 25 tahun, seorang pekerja kantoran tanpa catatan kriminal. Seorang warga yang baik. Bahkan setelah penyelidikan, tak ditemukan siapa pun yang menyimpan dendam terhadapnya. Jim juga tidak memiliki riwayat penyakit serius. Singkatnya, ia sehat.
Namun, Jim ditemukan tewas di sebuah gang dengan kondisi “mati tua”.
Kulitnya mengering seperti mumi, tubuhnya kurus kering, dan wajahnya begitu terdistorsi oleh rasa takut serta penderitaan sehingga bahkan keluarganya sulit mengenalinya.
Meski tak ada jejak sihir yang ditemukan di lokasi, biro menganggap ini kasus pembunuhan. Tidak mungkin seseorang berusia 25 tahun mati karena “usia tua” tanpa adanya pengaruh sihir.
Pelaku yang dapat menggunakan sihir untuk menyebabkan kematian karena penuaan ini diberi julukan ‘Life Stealer'. Namun, hingga kini, pelaku masih belum ditemukan.
“Yah, kalau Direktur bilang itu bukan urusan saya, saya tak akan memikirkannya lagi,” kata Rogue dengan santai.
Bagaimanapun, mulai besok, ia tak akan lagi terlibat langsung di lapangan. Jika pun ada hubungannya dengan kasus ini, itu hanya akan melalui anak buahnya. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Namun, saat ia berpikir demikian, Velladonna tiba-tiba berhenti mengeluh dan mulai menatapnya.
“Ada apa, Direktur?” tanya Rogue.
Dengan senyum licik, Velladonna berkata,
“Hei, Rogue? Tadi kau berpikir ini bukan urusanmu, bukan?”
“...Tidak.”
“Kurasa ini ada hubungannya denganmu.”
Velladonna tertawa kecil seolah menikmati kebingungan Rogue.
“Ceritakan saja, Direktur,” kata Rogue.
“Eh, kau benar-benar ingin tahu?”
“Tidak. Tidak perlu.”
Ketika hendak mengganti topik pembicaraan, tiba-tiba saja Velladonna menundukkan wajah dan mulai mengguncangkan bahunya. Sejak tadi, ia jelas-jelas sedang berada dalam suasana hati yang sangat baik—bahkan seolah sengaja menunjukannya kepada Rogue.
Apa yang sedang ia rencanakan?
Atau mungkin, rencananya sudah terlaksana, dan ia kini sedang tertawa puas karena bersiap untuk mengungkapkan segalanya?
Begitu pemikiran itu melintas, Velladonna berdiri sambil dengan dramatis menyibakkan rambutnya, kemudian berkata dengan lantang:
“Tempat penugasan barumu adalah Pulau Nabako! Selamat, Agen Rogue!”
Ia bertepuk tangan dengan meriah.
“Apa?”
Suara tak sopan meluncur keluar dari mulut Rogue tanpa bisa dicegah. Namun Velladonna tetap melanjutkan tanpa peduli.
“Pulau Nabako itu tempat yang menyenangkan, lho! Minumannya enak, makanannya enak, dan... oh, tentu saja, minumannya itu luar biasa enak!”
Pulau Nabako?
Wajah Rogue memucat seketika.
Pulau itu hanyalah sebuah tempat terpencil dengan penduduk tak lebih dari lima ratus orang, yang dikenal sebagai pulau ‘kaya akan alam.’ Perjalanan dari daratan utama ke pulau itu memakan waktu 30 menit menggunakan kapal.
Bayangkan saja, pulau kecil seperti itu, apa mungkin ada kejahatan yang perlu diusut?
Tidak. Bahkan hanya untuk bertemu dengan seorang pelanggar hukum pun mungkin tidak akan terjadi. Penugasan ke sana jelas-jelas adalah sebuah pembuangan.
Gambaran dirinya bertugas di Pulau Nabako mulai terbentuk dalam benaknya:
Membantu para lansia dengan tugas-tugas berat, menerima suguhan makanan ringan dari mereka, dan menjalani hari-hari yang membosankan dari pagi hingga malam tanpa ada kejadian berarti. Dan pada akhirnya, ia akan mulai menerima situasi itu sebagai sesuatu yang tak bisa dihindari.
Semakin membayangkannya, semakin jelas betapa suramnya prospek hidup di Pulau Nabako. Suaranya pun terdengar bergetar karena gugup.
“Direktur, saya tidak bisa menerima keputusan ini. Tolong berikan alasannya—”
“Oh, ayolah. Ada pepatah yang bilang, ‘hidup akan indah kalau kita sudah terbiasa dengan tempat tinggal baru,’ kan? Lagipula, di sana katanya ada pembunuh berantai yang muncul setiap malam, lho!”
“Tidak mungkin.”
“Tentu saja itu bohong,” potong Velladonna sambil tersenyum. Senyumannya mirip seperti seorang ibu yang sedang menikmati tingkah laku anaknya yang masih kecil.
Di saat itu juga, Rogue menyadari kalau semua perlawanannya adalah sia-sia.
“Apakah tidak ada cara untuk mengubah keputusan ini?”
Ia bertanya dengan suara yang setengah menyerah.
Velladonna meletakkan ujung jari telunjuknya ke bibir yang berwarna merah karena lipstik, lalu berkata,
“Hmm... kalau kamu memelas seperti itu, aku jadi ingin mempertimbangkannya, lho~”
Pandangan Velladonna pun mulai menjelajahi tubuh Rogue dari atas hingga ke bawah, dengan sengaja memperlambat dan mempercepat tatapannya di beberapa bagian. Ia bahkan menjilat bibirnya sambil perlahan-lahan meniupkan napas ke arah telinga Rogue.
Melihat wajah Rogue yang semakin pucat, senyuman Velladonna menjadi semakin lebar.
“Mungkin aku bisa melakukannya, tapi sayangnya, ada pilihan lain untukmu.”
“Pilihan lain apa?”
Rogue bertanya dengan suara yang nyaris putus asa.
“Apakah kamu pernah mendengar tentang Divisi Keenam?”
“Divisi Keenam?”
Rogue secara refleks mengulang kata-kata itu.
Di dalam kota utama Ireil, hanya ada lima divisi. Ia belum pernah mendengar adanya Divisi Keenam sebelumnya.
“Direktur, apakah Anda sedang berbicara serius?”
“Tentu saja. Memangnya aku terlihat seperti sedang bercanda?”
“Kalau begitu, mengapa saya tidak pernah mendengar soal ini sebelumnya?”
“Karena itu memang rahasia. Hanya orang-orang penting seperti diriku yang tahu tentang keberadaannya. Tapi percayalah, divisi itu benar-benar ada.”
Penjelasan itu masih terasa tidak masuk akal bagi Rogue.
Namun Velladonna, yang jelas-jelas tidak peduli dengan kebingungan Rogue, mengetukkan jarinya di meja kerjanya sambil berkata,
“Divisi itu didirikan secara rahasia untuk menangani kasus-kasus yang sangat khusus—kasus-kasus yang tidak bisa diselesaikan oleh divisi biasa.”
“Saya mengerti...”
“Dan, kamu akan ditugaskan ke sana sebagai Kepala divisi sementara. Bagaimana? Bukankah itu tawaran yang sangat bagus?”
Jika itu benar, maka ini bukan sekadar tawaran bagus—ini adalah promosi besar. Sebagai Kepala Divisi, ia akan memegang kendali penuh atas ratusan agen dan menjauhkan diri dari hiruk-pikuk dunia investigasi lapangan.
Namun, Rogue merasa ada sesuatu yang tidak beres.
“Tentu saja, saya sangat menghargai tawaran ini. Tapi, bolehkah saya bertanya sesuatu?”
“Tentu saja. Apa yang ingin kamu ketahui?”
“Tugas khusus yang dimaksud tadi... apa sebenarnya tugas saya di sana?”
Ia bertanya dengan nada penuh kecurigaan.
Mendengar itu, Velladonna tersenyum lebar seperti anak kecil yang baru saja berhasil menjahili temannya. Ia pun duduk kembali di kursinya dengan gerakan dramatis, lalu berkata,
“Kamu benar-benar cerdas, ya. Tepat sekali. Tugasmu adalah menangkap The Life Stealer.”
Ia menyebut nama itu dengan santainya, namun maknanya menghantam Rogue seperti pukulan keras.
Velladonna melanjutkan dengan nada manis yang beracun,
“Bagaimana? Kalau tidak mau, kamu selalu bisa memilih Pulau Nabako. Para penduduk lansia pasti akan menyambutmu dengan tangan terbuka~”
Ia berkata sambil menyilangkan kakinya dengan anggun, tatapan penuh kemenangan menghiasi wajahnya.
Menolak berarti menerima kenyataan itu. Velladonna terkenal dengan keputusannya yang cepat, dan Rogue sudah melihat banyak orang yang menjadi korban dari kecepatan itu. Ia tidak bisa membiarkan dirinya menjadi contoh yang sama.
“Direktur,”
Dengan suara berat, ia membuka mulut, sementara Velladonna memiringkan kepalanya.
“Hmm?”
“Di mana lokasi kantor tersebut?”
Pada akhirnya, itulah yang ia katakan.
※※※
Kekaisaran yang menduduki bagian selatan benua Dean memiliki ibu kota bernama Ireil, yang bentuknya menyerupai bulan sabit. Terletak di ujung benua, Ireil adalah pusat perdagangan internasional sekaligus jantung ekonomi Kekaisaran. Kota itu terdiri dari sembilan distrik yaitu laut di sebelah barat, kawasan bisnis dengan gedung-gedung tinggi di tengah, dan perbukitan yang menghubungkan ke pedalaman di utara.
Sekitar 20 menit berkendara dari markas besar biro investigasi, bukit tersebut membawa Rogue menjauh dari hiruk-pikuk kota menuju kawasan perumahan mewah. Bangunan yang menjadi tujuannya terletak di pinggiran daerah tersebut.
Bangunan itu menyerupai sebuah gereja—atau setidaknya, terlihat seperti itu. Sulur-sulur tanaman menjalar di seluruh bangunan, dindingnya terkelupas, dan keseluruhan tempat itu hampir seperti reruntuhan. Jika tidak diberitahu sebelumnya, Rogue mungkin tidak akan pernah mengira bahwa inilah tempat yang dimaksud.
Namun, seberapa usang pun tampilan luarnya, hal itu tidak menjadi masalah besar. Velladonna menyebutkan bahwa Divisi Keenam ini berada di bawah tanah. Alasannya adalah untuk menjaga kerahasiaan, meskipun Rogue merasa ada sesuatu yang mencurigakan di balik itu.
Begitu memasuki bangunan, langkahnya terhenti.
Di dinding mimbar gereja itu, ada sebuah pintu di sisi kiri. Sebuah pintu besi, seperti dipasang secara paksa di tengah gereja yang sudah rapuh.
Tiba-tiba terdengar suara.
“Agen Rogue Makabesta, apa itu benar?”
Suara itu terdengar seperti suara seorang gadis. Mungkin ada pengeras suara tersembunyi di suatu tempat.
“Ya, benar,” jawab Rogue.
Tak lama kemudian, suara itu membalas:
“Tolong tetap berada di tempat. Kami akan melakukan verifikasi identitas.”
Tidak ada siapa pun yang muncul. Kemungkinan besar ada kamera tersembunyi yang mengawasi. Rogue hanya bisa menunggu sesuai perintah.
Tiba-tiba, pintu di dinding mimbar bergerak, bergeser dengan mulus ke dalam dinding tanpa suara sedikit pun. Di balik pintu itu, terlihat sebuah elevator.
“Verifikasi selesai. Silahkan masuk,” suara itu kembali terdengar.
Rogue melangkah naik ke mimbar, berjalan ke arah pintu besi, lalu masuk ke dalam elevator yang kini terbuka. Interior elevator itu terasa sangat luas, cukup untuk lebih dari satu orang, dengan dinding, lantai, dan langit-langit berwarna putih bersih—sangat kontras dengan kondisi luar yang rusak.
Suara itu tidak memberikan instruksi lebih lanjut, jadi Rogue menekan tombol dan menunggu. Namun, seiring pintu elevator tertutup, rasa sesak mulai muncul di dadanya.
(Apakah ini keputusan yang benar?)
Bekerja di bawah tanah, bagi seorang Detektif, adalah hal yang aneh. Jika ia hanya seorang pegawai kantor, mungkin itu wajar. Namun sebagai penyidik lapangan, tempat seperti ini seharusnya bukan lokasi ideal.
Waktu terasa berjalan lama. Ia merasakan sensasi melayang yang tak kunjung berhenti, membuatnya bertanya-tanya seberapa jauh ia telah turun. Akhirnya, elevator berhenti, dan pintunya terbuka.
“Selamat datang,” suara gadis tadi terdengar lagi.
Ketika Rogue melangkah keluar, pemandangan yang terbentang di hadapannya sangat mengejutkan. Sebuah ruangan luas dengan meja bundar dan beberapa kursi di tengahnya. Beberapa orang duduk di sana. Ruangan ini terlihat seperti aula besar yang di design modern dengan lantai berlapis marmer, pagar kaca mengelilingi balkon lantai atas, dan dinding tanpa noda ataupun kerusakan. Tidak ada tanda-tanda lusuh atau tua seperti di bagian luar bangunan.
Namun ada sesuatu yang mengganggu pikiran Rogue.
“Di mana para penyidik lainnya?”
Ia melihat sekeliling, namun hanya ada gadis-gadis muda. Beberapa duduk di kursi, ada yang bersandar pada dinding sambil membaca buku, dan beberapa lagi tampak bercakap-cakap di balkon lantai atas. Tidak ada seorang pun yang terlihat seperti penyidik profesional.
Ketika melangkah lebih jauh ke dalam aula, seorang gadis berkacamata berdiri menantinya. Kulitnya pucat, dengan lingkaran hitam di bawah matanya, memberi kesan sakit meskipun wajahnya cantik.
“Selamat datang di Divisi Keenam, Agen Rogue. Nama saya Rico Raina. Saya adalah petugas administrasi di sini. Jika Anda membutuhkan sesuatu, jangan ragu untuk mengatakannya,” kata gadis itu sambil membungkuk dengan sopan.
Namun ada sesuatu dalam ucapannya yang membuat Rogue merasa aneh.
“Agen Rogue?”
Bukankah ia seharusnya dipanggil Kepala Divisi?
“Rogue saja tidak masalah. Senang bertemu denganmu, Rico-san. Tapi, ada beberapa hal yang ingin kutanyakan.”
“Silahkan,” jawab Rico tanpa ekspresi.
“Apakah tempat ini benar-benar Divisi Keenam?”
Rogue melontarkan pertanyaan itu sambil kembali melihat sekeliling. Semua orang yang ia lihat tadi, baik yang duduk, bersandar, maupun berbicara di balkon, semuanya adalah gadis muda. Ada dua belas orang, dan tidak satu pun dari mereka terlihat seperti penyidik atau pegawai biro investigasi.
Rico mengangguk.
“Ya, ini adalah Divisi Keenam.”
“Aku diberitahu bahwa aku akan menjadi Kepala Divisi di sini. Tapi di mana penyidik lainnya? Apakah mereka semua sedang berada di lapangan?”
“Tidak. Di Divisi Keenam, satu-satunya penyidik yang memiliki kewenangan adalah Anda. Dalam pengertian itu, Anda adalah Kepala Divisi di sini, Agen Rogue,” jawab Rico dengan tenang, menatap Rogue dengan mata yang dingin.
Kata-kata itu membuat Rogue merasa pusing.
“Lalu, siapa orang-orang ini?” ia bertanya sambil menunjuk ke arah gadis-gadis lainnya.
“Mereka adalah tahanan.”
“Tahanan?”
Mengapa ada tahanan di dalam markas investigasi? Ribuan pertanyaan muncul di kepala Rogue, namun ia menahannya dan hanya menanyakan hal yang paling penting.
“Aku dikirim ke sini oleh Direktur untuk menyelidiki kasus Life Stealer. Tugasku adalah melakukan investigasi, bukan mengurus tahanan. Apakah aku benar-benar bisa bekerja di sini?”
Dengan suara rendah, ia mencoba mengintimidasi Rico. Namun gadis itu tetap tak tergoyahkan.
“Tidak perlu khawatir. Memang mereka tahanan, tetapi mereka adalah tahanan yang istimewa. Izinkan saya memperkenalkan mereka kepada Anda. Mari, ikut saya.”
Dengan langkah mantap, mereka berdua berjalan menuju para gadis yang sedang berkumpul di dalam ruangan.
Riko, dengan cara yang nyaris seperti mengikuti naskah yang telah ditentukan, melangkah tanpa ragu. Sementara itu, ekspresi wajah Rogue menunjukkan rasa tidak senang. Dia mengikuti di belakang Riko, tetapi semakin mereka melangkah, rasa curiga yang mengganjal di hati Rogue semakin kuat.
Akhirnya, mereka berhenti di depan seorang gadis yang duduk sendiri di sebuah meja bundar. Gadis itu tampak tidak peduli, bahkan menutup matanya seolah sedang tidur. Napasnya teratur seperti orang yang tertidur nyenyak. Meski begitu, Riko tetap membuka mulut untuk memperkenalkannya.
“Namanya adalah Miselia. Dia ahli dalam sihir gangguan mental, memiliki kemampuan untuk mengubah manusia menjadi boneka. Nama identifikasinya adalah Puppet Fiend. Di masa lalu, dia pernah menyerang keluarga kerajaan, dan pada saat itu, seluruh penjaga istana di sekitarnya telah berubah menjadi boneka kendalinya.”
Rogue mengamati gadis itu. Miselia terlihat begitu santai, duduk dengan kaki bersilang, menopang dagunya dengan satu tangan. Rambut putih panjangnya menjuntai ke bawah, menutupi meja dan kakinya. Dia mengenakan jaket putih dan rok putih, membuat kesan warna putih mendominasi penampilannya. Selain itu, dia terlihat seperti gadis biasa tanpa ada hal yang mencolok.
Namun, Rogue tidak bisa mengabaikan rasa gelisah yang menggerayangi dalam dirinya. Ia tahu betul perasaan ini. Penampilan gadis itu mungkin terlihat biasa saja, tetapi ada sesuatu yang tidak beres. Ketika pikiran ini mulai muncul, suara Riko kembali terdengar di telinganya.
“Selain itu, hukuman pemenggalan khusus terhadapnya telah ditetapkan selama enam ribu tahun oleh Dewan Bangsawan. Dan—”
Jantung Rogue berdegup kencang.
“Dia adalah Penyihir ke-13.”
Kata terakhir itu membuat semua kecemasan Rogue menjadi kenyataan.
“Apa yang baru saja kau katakan?” suara Rogue terdengar serak.
Riko menatapnya sambil memiringkan kepalanya,
“Apakah ada yang salah dengan ucapanku? Informasi ini seharusnya sudah diajarkan di akademi pelatihan penyidik.”
“Ya... aku tahu itu,” jawab Rogue sambil mengepalkan tangannya.
“Kalau begitu, apa ada masalah dengan Penyihir Miselia?”
“…Penyihir seharusnya berada di Andevars... kenapa dia ada di sini?”
Dengan santai, Riko mengangkat tangan kirinya dan menunjuk ke arah lantai atas gedung itu.
“Penjara benteng, maksud Anda? Anda tidak perlu khawatir. Tempat ini juga merupakan salah satu fasilitas Andevars. Sama seperti yang lain, tempat ini dilindungi dengan sihir pertahanan dan pengacau tingkat tinggi. Selain itu, sistem pengawasan tercanggih juga telah dipasang, sehingga tidak mungkin ada penyusup yang dapat masuk.”
“Bukan itu yang kumaksud!” Rogue menaikkan suaranya tanpa sadar.
“Kenapa dia bisa dengan santainya berkeliaran bebas di sini?!”
Rogue menatap Riko dengan sorot mata tajam, merasa bahwa gadis ini tidak memahami bahaya yang ada di depan mereka.
Penyihir bukanlah manusia biasa. Mereka adalah makhluk abadi yang menyatu dengan sihir, makhluk yang lebih menyerupai bencana berjalan daripada manusia. Dalam sejarah, mereka telah membawa malapetaka ke seluruh kerajaan, menghancurkan kota, menyebabkan kerusuhan yang menewaskan puluhan ribu orang, bahkan menculik ribuan orang dalam semalam.
Namun, masyarakat modern tampaknya telah melupakan bahaya ini. Mereka menganggap penyihir tidak lebih dari cerita dongeng untuk menakut-nakuti anak-anak agar berperilaku baik. Semua bencana itu sekarang hanya dianggap sebagai kisah dari masa lalu yang jauh.
Saat Rogue berusaha menenangkan pikirannya, suara Riko kembali terdengar.
“Tampaknya Miselia sudah bangun.”
Rogue tersentak dan melihat gadis bernama Miselia perlahan membuka matanya. Bulu matanya yang panjang bergerak naik-turun beberapa kali sebelum akhirnya ia sepenuhnya membuka mata.
“Sepertinya aku terlalu lama tenggelam dalam tidur,” gumam Miselia pelan, seolah berbicara kepada dirinya sendiri. Setelah itu, ia menatap langsung ke arah Rogue.
Mata biru yang dalam itu seperti samudra tak berujung. Rogue merasakan dirinya tenggelam, seolah-olah diseret ke kedalaman lautan, di mana tak ada seorang pun yang bisa menyelamatkannya. Perasaan tak berdaya menguasainya.
Rogue berusaha mengalihkan pandangannya, tetapi kini ia menyadari sesuatu yang aneh dari wajah Miselia. Wajah itu terlalu sempurna, seperti boneka buatan tangan. Rambut putih panjangnya memantulkan cahaya, bersinar seperti mahkota. Seandainya keadaannya berbeda, dia mungkin bisa dianggap sebagai sosok yang layak dipuja banyak orang.
Namun, Rogue menyadari dirinya tanpa sadar mundur beberapa langkah.
“Tak perlu takut,” suara Miselia terdengar lembut namun dingin.
“Kita sama-sama manusia, bukan?”
Gadis berambut putih itu tersenyum manis dengan suara jernih yang memikat. Senyuman itu begitu santai dan ramah, hingga Rogue tertegun untuk beberapa saat. Namun, perlahan rasa malu dan amarah menggelegak dalam dirinya.
“…Manusia, katamu? Kalian para penyihir itu—”
“Yah, tahan sebentar. Bagaimana kalau kita selesaikan perkenalan dulu?” Gadis itu memotong ucapannya dengan nada santai. “Namaku Miselia. Aku tahanan negara. Siapa namamu?”
Rogue menggertakkan giginya, menahan amarah, lalu menjawab dengan nada datar, “…Rogue. Rogue Macabesta.”
Sekali lagi, gadis itu tersenyum lembut. “Hmm, Rogue. Kau ditempatkan di Divisi Keenam, bukan? Bagaimana kesanmu sejauh ini? Misalnya, kau ingin mendorong si Velladonna itu dari tebing?”
Rogue butuh waktu untuk mencerna ucapan itu. “…Oi, dari mana kau, seorang penyihir, tahu tentang Kepala Divisi kami?”
Di Andevars, para penyihir seharusnya tidak memiliki akses informasi dari dunia luar. Mereka diperlakukan seperti orang mati, sepenuhnya terputus dari segala sesuatu. Namun, ucapan Miselia seolah menyiratkan bahwa dia mengenal Velladonna secara pribadi.
“Hm,” Miselia mengerutkan alisnya yang indah, lalu menoleh ke arah Riko. “Riko, apakah kau belum memberi tahu si anak baru ini apa pun?”
(Mengetahui apa?)
Rogue mencoba menyela, “Hei, tunggu—” tapi Riko hanya menatap Miselia sambil memiringkan kepalanya.
“Oh, benarkah? Aku mengira Velladonna sudah memberi tahu semuanya sebelum dia tiba di sini.”
Keduanya berbicara seolah memiliki pemahaman bersama. Setelah tampaknya mencapai kesepakatan, Riko menoleh ke arah Rogue.
“Tampaknya ada sedikit kesalahpahaman. Aku akan menjelaskan sekarang. Divisi Keenam adalah tim yang bekerja sama dengan para penyihir besar. Tugasmu sebagai penyidik adalah memimpin mereka dan menyelesaikan kasus.”
Napas Rogue tertahan. Bekerja sama dengan penyihir?
Apa mereka sudah gila?
Dia segera memahami alasannya. Kasus pembunuhan yang sulit dipecahkan, tekanan yang terus meningkat dari atasan Velladonna, dan sistem meritokrasi di biro investigasi yang tidak memberikan ruang untuk kesalahan. Velladonna hanya memanfaatkan apa yang bisa dia gunakan, terutama orang seperti Rogue yang sulit dia kendalikan.
Jika saja dia tidak menerima tawaran promosi itu, mungkin dia tidak akan berada di situasi ini sekarang.
Penyesalan menghantui pikirannya.
Ketika dunia mulai terasa suram, suara Riko memecah lamunannya.
“Maaf, tapi bisakah aku melanjutkan?”
Dengan berat hati, Rogue mengangguk. “…Masih ada apa lagi?”
“Ini instruksi langsung dari Velladonna. Sebenarnya, aku ingin menyampaikannya nanti, tetapi sebaiknya aku sampaikan sekarang.”
“…Lakukan saja.”
“’Halo, Rogue! Apa kabar? Ini Velladonna yang kau cintai!’” Riko tiba-tiba berbicara dengan nada manis yang keterlaluan.
“Apa-apaan itu?”
“Itu pesan dari Velladonna. Dia memintaku menyampaikannya secara lisan.”
“…Aku tidak peduli. Lanjutkan saja.”
Riko melanjutkan, “’Kali ini, aku ingin kau memimpin para penyihir itu untuk menyelidiki kasus Death Taker. Oh, ya, sebelumnya sudah ada penyidik lain yang bertugas di sana, tetapi dia membuat para penyihir itu marah. Tapi, aku tidak bisa membiarkan penyelidikan terbengkalai. Jadi, aku pikir... siapa lagi kalau bukan bintang harapan kita, Rogue, yang bisa mengatasinya? Ingat ini, Rogue! Selesaikan kasus itu secepat mungkin. Kalau tidak... kau akan tinggal bersama para penyihir itu selamanya. Oh, sudah waktunya rapat! Sampai jumpa!’ Begitulah isi pesannya.”
Setelah selesai berbicara, Riko membungkuk hormat. “Mulai hari ini, Anda resmi menjabat sebagai Kepala Divisi Keenam. Selamat bertugas, Detektif Rogue.”
Di dalam pikirannya, Rogue menghujani Velladonna dengan segala jenis umpatan yang bisa dia bayangkan.
Jika memungkinkan, dia bahkan ingin memukul Velladonna saat itu juga. Tidak ada kata-kata yang cukup untuk menggambarkan betapa tidak adil situasi ini.
Saat itu, Rogue menyadari gadis berambut putih itu tersenyum lembut ke arahnya.
“Sudah tenang?” tanyanya.
“Ya, sangat tenang,” jawab Rogue dengan nada sinis.
Namun, senyum Miselia tetap tidak berubah.
Dari arah para penyihir lain, terdengar suara yang mencemooh. “Lagi-lagi pola yang sama, ya?” Ada nada simpatik dalam ucapan itu, seolah situasi ini sering terjadi.
Rogue menoleh sedikit, memperhatikan para penyihir itu.
Melihat reaksinya, Miselia mengangguk kecil. “Kebanyakan orang yang datang ke sini memang dipaksa, sama sepertimu. Tapi baru kali ini ada yang datang tanpa tahu apa-apa sebelumnya.”
Kemarahan Rogue pada Velladonna semakin memuncak.
“Kau tampaknya tahu banyak soal ini,” katanya dengan suara rendah.
“Tentu saja,” jawab Miselia santai. “Bagaimanapun, akhir-akhir ini akulah yang bertugas sebagai ‘partner’ di sini.”
“’Partner’?” tanya Rogue, penasaran.
“Itu istilah sederhananya. Dalam penyelidikan, para penyihir akan bertindak sebagai mitra penyidik. Di sini, sistemnya sukarela, dan saat ini, akulah yang mengambil peran itu.”
Miselia berdiri dari kursinya. Rambut panjangnya tergerai ringan, dan sebelum Rogue sadar, tangan gadis itu sudah terulur ke arahnya.
“Senang bekerja sama denganmu.”
“…Ya,” jawab Rogue akhirnya. Dia melepaskan sarung tangan dan menjabat tangan Miselia.
Dia mengira tangan itu akan terasa dingin seperti mayat, tetapi ternyata cukup hangat, meskipun sedikit lebih dingin dari tubuhnya sendiri. Gadis ini memang tampaknya masih hidup, seperti yang diklaimnya.
Rogue mulai merasa sedikit lebih tenang. Namun, ketenangan itu buyar ketika suara dari arah para penyihir terdengar lagi.
“Miselia, kapan kau akan membunuhnya?”
“Apa?” Rogue langsung menarik tangannya, merasa tubuhnya menegang.
“Apa maksudnya itu?” tanyanya dengan nada tajam.
“Maafkan dia, dia hanya suka menakut-nakuti orang.” ujar Miselia dengan tenang.
“Jangan bohong! Kau bahkan membuat penyidik sebelumnya bunuh diri!” suara lain menyela.
Miselia tertawa kecil, seperti anak kecil yang tertangkap basah sedang berbohong.
“Itu tidak disengaja. Aku tidak membunuh mereka dengan sengaja.”
──Pembohong!
──Dasar tak tahu malu!
──Kepribadianmu benar-benar buruk!
Suara-suara penuh ejekan itu terus terdengar, membuat Rogue hanya bisa menatap dengan ekspresi campur aduk.
Para penyihir menyoraki dengan tawa mengejek, sementara Rogue merasa seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Seorang detektif sampai bunuh diri? Situasi seburuk apa yang bisa membuat hal itu terjadi?
Menghadapkan dirinya pada Rico, Rogue berbicara dengan tegas,
“Ini tidak mungkin, Rico-san. Bekerja dengan pembunuh? Aku tidak akan melakukannya. Biarkan aku menghubungi kepala biro.”
“Tolong jangan khawatir, Detektif Rogue. Mereka semua dilengkapi dengan alat pengaman. Silahkan lihat leher mereka,” jawab Rico dengan tenang.
Seperti yang diperintahkan Rico, Rogue menatap leher gadis berkulit putih itu. Sebuah choker hitam melingkar di sana. Ketika ia melihat ke seluruh aula, ia menyadari bahwa setiap penyihir di ruangan itu mengenakan choker serupa di leher mereka.
Rico melanjutkan penjelasannya,
“Ini disebut ‘kalung leher.’”
Tl/n : bingung ngasih namanya, jadi biar memperjelas tl nya jadi kalung leher saja, bentuknya mirip collar anjing pokoknya.
“Kalung leher’?”
“Ini adalah salah satu jenis alat sihir. Alat ini akan langsung mengakhiri nyawa pemakainya jika salah satu dari tiga kondisi berikut terpenuhi. Pertama, jika mereka melakukan pembunuhan langsung. Kedua, jika mereka keluar dari area yang diizinkan, yang batasannya adalah wilayah Kekaisaran. Bahkan jika sebagian tubuh mereka melewati batas, itu akan memicu alat ini. Ketiga...”
Gadis berkulit putih itu memotong penjelasan Rico dengan senyum sinis,
“Yang ketiga, jika benda itu mendeteksi sihir yang melebihi batas yang diizinkan. Karena itu, kami hanya dapat menggunakan sihir setingkat anak kecil. Sangat menyedihkan, bukan?”
Ia tertawa kecil seolah-olah itu hal yang lucu.
“Tunggu sebentar. Tapi mereka tetap bisa menggunakan tangan mereka, bukan? Bahkan tanpa sihir, mereka masih punya banyak cara,” kata Rogue.
Ia memikirkan berbagai kemungkinan seperti menggunakan ujung pena, pisau, bahkan gigi mereka sendiri bisa menjadi senjata mematikan. Kalung leher itu terlihat seperti perhiasan biasa—apa benar benda itu cukup kuat?
“Detektif, izinkan saya menjelaskan,” Rico menjelaskan dengan suara tegas,
“Kalung leher ini tidak dapat dilepaskan. Selama pemakainya masih hidup, alat ini tidak akan berhenti menjalankan fungsinya. Bahkan senjata magis sekalipun tidak dapat menghancurkannya.”
“Ini percakapan yang cukup ketat,” gumam Rogue, sementara gadis berkulit putih itu mengangguk dengan antusias.
“Jadi, kalian ingin aku merasa aman hanya karena alat itu? Sungguh sulit dipercaya,” balas Rogue. Ia memandang gadis itu dengan tatapan tajam.
“Dan kau, kau tadi disebut-sebut telah membuat seorang Detektif bunuh diri. Kenapa kau tidak mati juga? Bukankah itu termasuk membunuh?”
Dengan nada tenang namun menyindir, gadis itu menjawab,
“Terkadang, hanya beberapa kata saja sudah cukup untuk membuat seseorang memutuskan mengakhiri hidupnya, Rogue-kun. Kau tahu, ucapan yang tidak disengaja bisa menjadi pemicu yang fatal.”
“Jangan mencoba membodohiku.”
Dengan nada seolah menjelaskan hal yang sepele, gadis itu menjawab,
“Jika bunuh diri dihitung, maka biro tidak akan bisa menggunakan kami. Ada banyak orang yang cukup putus asa untuk mengakhiri hidup mereka jika mereka bisa menghukum kami dengan cara itu.”
“Itu alasanmu?”
“Apa kau tidak setuju?”
“Tentu saja aku tidak setuju. Siapa yang mau bekerja dengan penyihir seperti dirimu?”
“Sayang sekali. Padahal aku berharap kita bisa bekerja sama dengan baik,” kata gadis itu sambil tersenyum lembut, seolah-olah tidak terpengaruh oleh penolakan Rogue.
“Jangan coba-coba berbohong, penyihir,”
Namun, gadis itu malah memberikan kedipan genit sambil berkata,
“Tidak kok, itu beneran, tahu. Orang sepertimu lah tipe yang aku suka.”
Rogue mendesah panjang dalam hatinya.
“Aku tidak peduli.”
Gadis itu tersenyum lebih lebar.
“Ara, kau tidak tahu? Aku sebenarnya tidak terlalu buruk untuk diajak bekerja sama.”
“Apa hubungan itu dengan wajahmu? Berhenti membuang waktu.”
“Sungguh keras kepala,” keluh gadis itu sambil berpura-pura terluka.
“Siapa yang kau bilang keras kepala──”
Sebelum Rogue sempat menyelesaikan perkataannya, suara Rico kembali memanggil,
“Apakah waktumu masih cukup, Detektif? Kita memiliki misi yang harus segera diselesaikan sesuai perintah kepala Biro.”
Rogue tersentak kembali ke realitas. Benar, ada kasus yang harus diselesaikan. Tapi bagaimana bisa dia bekerja dalam kondisi seperti ini?
“Jika aku tahu ada penyihir di sini, aku tidak akan pernah datang kemari,” gumamnya dengan getir.
Rico hanya menatapnya dengan tenang dan berkata,
“Benarkah? Padahal, tadi kau terlihat cukup akrab dengan mereka.”
Rogue mengerang pelan dan membalikkan tubuh, memunggungi Rico dan gadis penyihir itu. Tidak ada pilihan lain. Kabur berarti menjemput hukuman yang lebih buruk. Bekerja di sini mungkin buruk, tapi setidaknya dia masih bisa menyelidiki kasus.
Dengan napas panjang, dia berteriak,
“Kalian semua! Rapat penyelidikan, sekarang juga!”
Namun, aula itu tetap sunyi. Tak seorang pun penyihir menjawab seruan Rogue. Bahkan, mereka tetap melakukan aktivitas mereka masing-masing seolah-olah tidak mendengar apa pun.
“Oi, apa kalian tidak mendengarku? Bukankah kalian pakai kalung leher itu?”
Suara Rogue semakin keras, namun para penyihir tetap acuh tak acuh. Bahkan, dia merasa seperti ditertawakan oleh mereka.
Sementara dia terdiam, gadis berkulit putih itu mendekat dan berbicara dengan nada santai,
“Rogue-kun, kami hanya membantu biro karena kami ingin. Kalau kami tidak berminat, tidak ada yang bisa memaksa kami, bahkan dengan kalung leher ini.”
Rogue mengepalkan tinjunya.
“Sial...”
“Jangan terlalu keras pada dirimu, Rogue-kun. Bersamaku, kasus ini akan terasa menyenangkan.”
Ketika gadis itu menepuk bahunya dengan akrab, Rogue langsung menepis tangannya. Dalam hatinya, dia kembali mengutuk situasi ini.
※※※
Kota utama selalu dipenuhi kebisingan. Klakson kendaraan terus-menerus berbunyi, dan jalanan penuh sesak dengan mobil-mobil yang perlahan bergerak. Tapi suasana itu tidak bisa mengalihkan pikirannya. Bekerja dengan penyihir, dan langsung di hari pertama penugasannya? Masa depan terlihat suram.
“Jangan terlalu dingin begitu,” ujar gadis penyihir itu dari kursi penumpang.
“Tutup mulut. Kau tahu di mana posisimu, bukan?” balas Rogue tanpa menoleh.
“Jangan begitu, Rogue-kun. Kita ini tim, bukan?”
“Tim apanya. Aku tidak butuh bantuanmu.”
“Benarkah? Bukankah kenaikan pangkatmu juga bergantung pada kasus ini?”
“Itu bukan urusanmu!”
“Oh, sungguh? Aku rasa itu sedikit ada hubungannya denganku, bukan?”
“Kau...” Rogue hampir kehilangan kesabaran.
Miselia—si penyihir—menyikut pinggang Rogue, hampir membuat mobil yang dikendarai Rogue menabrak pohon jalanan di trotoar. Dengan cepat, Rogue memutar setir untuk kembali ke jalur yang benar.
“Jangan bercanda, penyihir. Kau tahu berapa biaya perawatan mobil ini?”
“Apa peduliku? Itu bukan urusanku,”
“Kau benar-benar gila.”
Komentar Rogue hanya membuat Miselia tertawa terbahak-bahak. Bahkan di dalam perjalanan, penyihir itu terus tertawa, seolah mereka sedang pergi piknik.
(Penyihir yang suka tertawa...)
Namun, meskipun Miselia tampak ceria, dia tetaplah seorang penyihir. Rogue tidak bisa membiarkan dirinya lengah. Tanpa berkata-kata lagi, dia memilih untuk diam dan fokus menyetir. Ketika mereka sampai di Distrik Lima, kawasan komersial Dilo, Rogue mengarahkan mobil ke jalan belakang, di mana garis polisi terlihat melintang. Ia memarkir mobil agak jauh dari lokasi.
Hujan baru saja reda, meninggalkan genangan air di mana-mana. Lorong yang sempit ini terasa dingin karena sinar matahari tidak sampai ke sini. Tembok-temboknya penuh dengan coretan cat semprot yang berantakan.
Rogue turun dari mobil.
“Kita sampai.”
“Kerja bagus, Rogue-kun,” sahut Miselia sambil tetap duduk di kursi penumpang, menyodorkan tangan kanannya ke depan seolah meminta bantuan.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Rogue dengan nada datar.
“Tidak bisakah kau menuntun wanita turun dari mobil? Bukankah itu hal yang sopan dilakukan?”
“...”
Rogue hampir yakin bahwa Miselia ini hanyalah aktris yang disewa oleh Velladonna, bosnya, untuk mengerjainya. Namun, itu mustahil.
“Omong kosong. Kau tidak meminta itu ketika kita naik mobil tadi.”
“Alasan itu tidak relevan. Hanya karena aku tidak meminta sebelumnya, bukan berarti aku tidak bisa memintanya sekarang.”
“Berhenti mencari alasan. Kalau kau tidak turun sekarang, aku akan meninggalkanmu di sini.”
“Dasar tidak sopan,” gumam Miselia sambil akhirnya keluar dari mobil, berjalan dengan langkah santai yang angkuh.
“Baiklah! Mari kita mulai penyelidikannya!” serunya dengan suara keras.
“Jaga mulutmu. Kau tidak punya peran apa pun di sini,”
Di dekat garis polisi, seorang petugas terlihat berjaga. Rogue mendekatinya dan menunjukkan identitasnya.
“Aku Rogue, agen investigasi langsung di bawah arahan kepala Cabang Irel. Ini adalah rekan kerja ku, spesialis jejak sihir.”
“Dimengerti, Tuan. Silahkan masuk,” jawab petugas itu sambil memberi hormat.
Velladonna telah memberinya identitas palsu, memastikan bahwa fakta Miselia adalah seorang penyihir tidak akan diketahui publik. Rogue menyetujuinya dengan alasan agar tidak menarim perhatian orang.
Saat Rogue mendekati kantong mayat di lokasi kejadian itu, ia membelalak kaget. Kantong itu tampak seperti kosong, seolah tidak ada tubuh di dalamnya.
Wajahnya mengeras, lalu ia membuka ritsleting kantong itu.
“Ini menjijikkan…”
Isi kantong mayat itu adalah seorang bayi, tanpa rambut sedikit pun. Tubuh mungil itu terbungkus mantel yang jauh lebih besar dari ukuran tubuhnya, dengan tatapan kosong yang menatap hampa ke depan.
“Crime Futa, seorang pria tua berusia delapan puluh tahun dan pemilik toko bunga. Tes DNA dan sidik jari menunjukkan ini adalah dirinya,” jelas petugas yang berdiri di dekatnya.
Semua jejak delapan puluh tahun kehidupan Crime Futa telah lenyap tanpa jejak.
“Fenomena yang menarik,” komentar Miselia yang tiba-tiba muncul di sebelahnya.
“Seorang pemuda menua dengan cepat, sementara seorang lansia berubah menjadi bayi. Ini adalah sihir yang luar biasa. Bagaimana menurutmu, Rogue-kun?”
Rogue mengabaikannya, mengamati sekitar lokasi dengan cermat.
“Korban tidak menunjukkan tanda-tanda perlawanan. Jika pelaku berhasil menghapus semua jejak ini, dia pasti butuh waktu lama untuk melakukannya.”
“Lalu?” tanya Miselia sambil menunggu dengan senyum di bibirnya.
“Lokasi ini terlalu terbuka. Siapa pun bisa melihat ke sini kapan saja. Pelaku pasti membunuh korban di tempat lain, mempersiapkan tubuhnya, lalu memindahkannya ke sini.”
Miselia bertepuk tangan pelan. “Analisis yang bagus. Kau cukup berbakat. Tapi pertanyaannya adalah, bagaimana mereka memindahkan tubuh ke sini?”
“Bukan itu masalahnya,” balas Rogue.
“Oh? Benarkah?”
Tanpa menggubris, Rogue berjalan ke arah tembok yang penuh coretan.
“Pelaku keluar masuk dari sini,”
Tembok itu penuh dengan grafiti warna-warni. Miselia berjalan mendekat dengan langkah santai.
“Boleh aku tahu alasannya?”
“Itu adalah Rune Translokasi. Dengan rune ini, pelaku bisa memindahkan tubuh korban dengan mudah. Coretan ini hanyalah cara untuk menyembunyikan rune tersebut.”
Miselia kembali bertepuk tangan.
“Hebat. Jadi, kita hanya perlu menghapus grafiti ini, kan?”
Rogue mengeluarkan ponselnya, hendak menghubungi laboratorium forensik untuk meminta bantuan. Namun, Miselia menghentikannya.
“Jangan repot-repot. Aku bisa membersihkannya dengan sihirku,”
“Tidak perlu,”
“Oh? Kau tidak suka menggunakan sihir, ya?” Miselia menatapnya dengan tajam.
“Aku tidak butuh bantuanmu,” balas Rogue dingin, meskipun pikirannya mulai tertekan oleh dorongan Miselia.
“Yah, kalau kau berubah pikiran, aku masih di sini, Rogue-kun. Aku akan membantumu kapan saja,”
Wajah penuh tipu muslihat—itu satu-satunya cara untuk menggambarkan ekspresi Miselia saat itu.
Meskipun amarah bergejolak di dalam dadanya, Rogue menahannya. Memang, ini bukan saatnya bersikeras pada harga dirinya. Semakin cepat kasus ini terselesaikan, semakin baik. Bukan hanya untuk Rogue, tapi juga untuk semua orang.
Dengan mulut yang terasa seberat gunung, Rogue akhirnya berkata,
“…Gunakan sihirmu.”
“Haha,” Miselia tertawa pelan sambil menghela napas,
“Baiklah,” jawabnya sambil mengulurkan tangan kirinya secara diagonal ke bawah, sehingga punggung tangannya menghadap ke atas.
“Apa yang kau lakukan?”
“Ciumlah di sini,” kata Miselia sambil menunjuk punggung tangannya.
“Oh, dan aku ingin kau berlutut serta mengucapkan kata-kata terima kasih. Lakukan dalam satu menit.”
“Apa?”
Kepala Rogue langsung kosong.
Apa yang sebenarnya dikatakan orang ini di depan lokasi pembunuhan?
“Ada masalah, Rogue-kun?” tanya Miselia sambil tersenyum licik.
“Tentu saja ada masalah!”
“Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan kasus ini! Untuk apa semua ini dilakukan?”
“Rogue-kun,”
Miselia melangkah maju selangkah, membuat Rogue mundur satu langkah.
“Menurutmu, apakah seseorang membutuhkan alasan untuk bertindak? Bahkan untuk hal yang sederhana, tanpa alasan semuanya menjadi menyebalkan.”
“Jadi?”
Miselia melangkah lebih dekat, sementara Rogue terus mundur hingga punggungnya menyentuh dinding.
“Sejujurnya, aku tidak peduli apakah kasus ini terpecahkan atau tidak. Satu-satunya hal yang aku inginkan dari penyelidikan ini adalah ‘keseruan.’ Jika kau bisa memberiku itu, aku akan membantu apa pun yang kau butuhkan.”
Tatapan Miselia menyipit seolah sedang menguji, sambil mengulurkan tangan dengan gaya yang lebih dramatis.
“…Keseruan, katamu?”
Rogue mundur lagi, tapi dinding di belakangnya menghentikan langkahnya. Dia tak bisa bergerak lebih jauh, dan kini dia hanya bisa menatap mata Miselia yang bersinar terang.
“Tepat sekali. Kau mengerti, bukan?”
“…Tidak bisa dimengerti sama sekali.”
“Kalau begitu, negosiasi batal?”
“…Aku tidak bilang begitu.”
“Hmm, tapi kau sepertinya tidak antusias. Mungkin aku harus membatalkannya.”
Miselia tersenyum licik.
“…Tunggu, aku akan melakukannya selain itu. Beri aku alternatif.”
“Hmm, mari kita pikirkan…” kata Miselia sambil berpura-pura berpikir, menatap ke atas. Akhirnya dia menunjuk pipi kanannya dengan jari.
“Bagaimana kalau di sini? Lebih lembut dibanding punggung tangan, bukan?”
“Ini buukan masalah kelembutannya!” balas Rogue frustrasi.
“Oh? Kalau begitu, mungkin tempat yang lebih keras? Bagaimana kalau di dahiku? Itu mungkin lebih mudah untukmu.”
“────────”
Rogue kehilangan kata-kata. Namun pada saat yang sama, dia menyadari sesuatu. Miselia tidak hanya ingin membuat seorang penyidik berlutut. Miselia ingin melihat seseorang menderita atau ragu-ragu. Itu adalah bentuk “keseruan” yang ia cari.
“Dasar… sialan…” gumam Rogue, menahan amarah.
Tetapi, meskipun dia menyadarinya, Rogue tak bisa melawan lebih jauh. Apa pun yang dia lakukan, hasilnya tetap akan mengarah pada penghinaan. Lagi pula, jika mereka terlalu lama di sana, polisi bisa saja datang memeriksa.
Sambil mengeluh, Rogue akhirnya berlutut di satu kaki.
(Aku benar-benar harus mencium ini? Sekarang, di sini?)
Dari dekat, tangan Miselia tampak putih bersih, tetapi ada sedikit rona kemerahan yang hidup, membuatnya terlihat seperti makhluk bernyawa.
(Demi penyelidikan…)
Rogue meyakinkan dirinya sendiri. Dia tahu ini adalah keharusan. Tetapi, tidak peduli seberapa keras dia mencoba, itu tetap terasa mustahil untuk diterima.
Amarah memenuhi kepalanya. Kenapa dia harus berlutut di hadapan seorang penyihir? Kenapa dia sampai terjebak melakukan hal itu? Dia menatap tajam ke arah sumber masalahnya—Miselia.
“Wah, ekspresimu bagus sekali, Rogue-kun. Memang benar, penderitaan anak muda adalah makanan yang manis,” kata Miselia sambil tertawa hingga air mata keluar dari matanya. Dia bahkan menepuk bahu Rogue seolah memberinya semangat, yang hanya membuat Rogue semakin kesal.
“Aku akan membuatmu menyesal… aku pastikan itu.”
“Aku menunggu itu, Rogue-kun.”
“Sial… Lagipula kau juga masih muda! Apa maksudmu dengan penderitaan anak muda?”
“Kalau menurutmu aku terlihat muda, itu hal yang bagus,”
Saat itulah Rogue sadar.
(Tentu saja… penyihir tidak menua.)
“Tapi itu tidak penting. aku akan tepati janjiku. Kemarilah,” ujar Miselia, kini dengan wajah yang lebih serius.
Dia berdiri di depan dinding dan mulai melafalkan mantra,
“Daging mati yang tinggal di malam abadi, hancurlah menjadi debu dan lenyaplah.”
Melalui mantranya, sihir mulai bekerja. Fenomena terjadi. Dinding di depannya mulai bersinar terang, dan setelah cahaya memudar, cairan hitam seperti lumpur mengalir dari dinding itu. Ketika semua lumpur itu hilang, dinding yang bersih tanpa coretan tersisa di sana.
“Sudah selesai,” kata Miselia.
“…Kau bilang kekuatan magismu hanya selevel anak kecil, bukan?” tanya Rogue.
Dalam sihir, hubungan antara kekuatan magis dan teknik sering kali dibandingkan dengan pertunjukan boneka. Menggerakkan beberapa “boneka” membutuhkan banyak “tangan.” Begitu pula dengan sihir yang kompleks—itu membutuhkan banyak kekuatan magis. Tapi Miselia berhasil melakukannya meskipun dia memiliki kekuatan selevel anak kecil.
“Yah, itu karena aku sangat ahli dalam mengendalikan sihir. Kau boleh memujiku,” katanya, tersenyum sombong.
“…”
Rogue mengabaikan omong kosong itu dan fokus pada dinding dihadapannya.
Di sana, ada sebuah pola “pindah-ruang” yang terukir. Garis-garis merah membentuk pola geometris, beberapa di antaranya bahkan tidak dikenali oleh Rogue. Itu adalah ukiran yang sangat rumit. Namun, ada bagian yang sengaja dihapus—mungkin dilakukan oleh pelaku. Dalam kondisi itu, pola tersebut tidak bisa berfungsi.
(…Pelaku ini benar-benar berhati-hati,)
“Tapi, meskipun gerbang ini tidak berfungsi, kita bisa menganalisisnya untuk menemukan tujuan akhirnya.”
“Tunggu, Rogue-kun. Kau lupa siapa aku? Aku ini seorang penyihir, ingat? Mengembalikan ukiran seperti ini adalah hal sepele bagiku,”
“Benarkah?”
“Untuk apa aku berbohong? Mari selesaikan ini. ‘Mengalirlah dan meluaplah, darah di antara arteri bumi!’”
Kata-kata Miselia mulai bekerja. Goresan mantra di dinding berpendar merah, seolah-olah hidup dan mulai berdenyut.
(Dia bahkan menggunakan sihir pemulihan... dengan mudahnya)
“Sekarang kita bisa melompat. Ayo, kita intip wajah pelakunya,” kata Miselia dengan nada penuh semangat.
“Tunggu sebentar. Aku akan memanggil bala bantuan,” balas Rogue.
Namun, sebelum ia bisa beranjak, Miselia meraih pergelangan tangannya. Kenapa?
“Jangan lakukan hal yang membosankan, Rogue-kun. Kita tangkap saja dia berdua. Bukankah itu lebih seru?”
Rogue langsung merasa firasat buruk.
Senyum Miselia semakin melebar.
“Kau—”
Sebelum Rogue sempat menyelesaikan kalimatnya, Miselia sudah melompat ke arah dinding. Rogue, yang terseret oleh genggamannya, mendapati dirinya berada di tempat lain ketika membuka mata.
Cahaya dalam ruangan itu remang-remang. Ada kursi dan meja abu-abu, lantai yang penuh dengan kotak kardus, serta lampu neon yang berkedip-kedip sekarat. Rak-rak di sekelilingnya penuh dengan botol narkotika ilegal yang baunya khas, memenuhi udara dengan aroma menyengat.
“Apa-apaan?! Bagaimana kalian bisa masuk?!”
Seorang pria bertubuh gemuk mengenakan pakaian kerja berdiri di sana. Di tangan kirinya, ia memegang botol.
Mata mereka saling bertemu.
Wajah pria itu berubah, dari keterkejutan menjadi tekad yang kuat. Ia merogoh saku kanan dengan tangan kosong, mengeluarkan pistol hitam berkilau.
Moncong senjata itu diarahkan tepat ke kepala Rogue.
Rogue menelan rasa marahnya terhadap Miselia, mengepalkan tangannya, dan bersiap.
Bang!
Suara tembakan menggema. Rogue menggerakkan kepalanya ke kiri, peluru itu mengenai botol di belakangnya yang pecah berkeping-keping. Rogue melangkah maju, mendekatkan dirinya pada pria itu. Jarak nol.
Sebuah pukulan telak ke ulu hati si pria. Tubuh gemuknya terlipat, mulutnya terbuka tanpa suara, tubuhnya bergetar hebat. Ia memiringkan kepalanya ke belakang, kehilangan kesadaran, dan akhirnya ambruk ke arah Rogue.
“Berat—!”
Seluruh berat tubuh pria itu menekan Rogue. Dalam posisi yang canggung, Rogue mencoba menopangnya. Ia tidak bisa membiarkan tubuh pria itu jatuh ke lantai begitu saja, meskipun pria itu adalah seorang kriminal. Dengan susah payah, ia menopang tubuh pria itu, dengan sumpah serapah sambil melawan rasa lelah di tubuhnya.
“Oh, luar biasa sekali, Rogue-kun! Mengalahkan pria sebesar itu dalam satu pukulan. Hebat!” Miselia bertepuk tangan, berdiri santai di belakangnya.
“Kau! Jangan hanya menonton saja! Bantu aku membaringkannya!”
“Ah, maaf, aku terlalu lemah untuk membantu. Maaf, ya,” jawab Miselia dengan nada polos yang sangat menyebalkan.
“Omong kosong! Jangan berpura-pura lemah!”
“Sungguh, aku mendukungmu dari sini. Semangat, Rogue-kun!”
“Kau brengseeeek!!”
Dengan sisa tenaga di otot-ototnya yang sudah menjerit, Rogue memindahkan pria itu ke dinding, membiarkan punggungnya bersandar. Setelah memastikan pria itu aman, Rogue sendiri jatuh terduduk di lantai, napasnya terengah-engah.
“Fiuh... fiuh...”
“Jangan istirahat dulu, Rogue-kun. Kita punya sumber informasi berharga di sini. Saatnya untuk sesi wawancara,”
“Kau bahkan tidak membantuku sedikit pun... Dasar parasit!”
Dengan malas, Rogue bangkit lagi, lalu mengamankan pistol pria itu. Setelah memastikan situasi terkendali, ia menatap wajah pria yang mulai sadar, kemudian menepuk pipinya.
“Hei, bangun.”
“Ugh...”
pria itu mulai membuka matanya samar-samar.
“Kau akan segera dijebloskan ke penjara. Tapi sebelum itu, aku ingin bertanya. Kau yang membunuh Crime, kan?”
Pria itu mengalihkan pandangannya.
“...Aku tidak akan bicara.”
“Jangan membuang-buang waktuku. Ada goresan mantra di TKP yang terhubung langsung ke tempat ini.”
Pria itu tetap bungkam.
Rogue menghela napas, lalu menatap sekeliling.
“Narkoba sebanyak ini akan disita. Kau tahu berapa tahun kau akan dihukum karena ini? Tapi kalau kau bicara, mungkin aku bisa sedikit memberi keringanan.”
“...Aku tidak tahu apa-apa.”
Rogue berdiri, menatap pria itu dalam diam. Ekspresi pria itu tidak menunjukkan rasa bersalah.
(Bukan dia)
“Kau melindungi seseorang, ya?”
“—!”
Mata pria itu bergerak tak tenang, keringat dingin mulai membasahi dahinya. Rogue menoleh ke arah kursi di sisi meja lalu menunjuknya.
“Kursi itu terlalu rendah untukmu. Ada tamu yang datang, bukan?”
“...Aku tidak tahu.”
“Berapa banyak orang yang terlibat? Apakah dia perempuan?”
“...”
Pria itu menundukkan kepala, bibirnya terkunci rapat.
(Sudah cukup. Ini hanya buang-buang waktu saja.)
“Bangun. Kita bawa dia ke kantor polisi. Interogasinya kita lanjutkan di sana,” kata Rogue.
Ia membantu pria itu berdiri, lalu melangkah ke arah goresan mantra di dinding. Tapi Miselia tidak ikut bergerak.
“Hei, bantu aku bawa dia,” kata Rogue, berbalik.
“Hmm... sepertinya ini membosankan.”
“Apa katamu?”
“Bukankah ada cara yang lebih dramatis untuk mendapatkan informasi? Seperti... penyiksaan, misalnya.”
Nada suaranya begitu santai, namun membuat Rogue geram.
“Jangan bodoh! Itu melanggar hukum!”
“Hukum, ya? Itu memang penting. Tapi, Rogue-kun...”
Miselia mengangkat jari telunjuknya, menggoyangkannya ke kiri dan kanan sambil tersenyum.
“Aku tidak punya kewajiban untuk mematuhi hukum. Aku ini seorang penyihir, kau ingat?”
Senyum Miselia begitu cerah, begitu alami, seolah-olah ia berbicara tentang cuaca. Namun suasana berubah drastis. Seakan-akan lantai tempat Rogue berdiri berubah menjadi panggung eksekusi. Ia merasa ngeri.
Miselia mengangkat lengannya ke atas dengan gerakan yang anggun, seperti seorang aktor di panggung.
“Baiklah, Rogue-kun. Mari kita mulai pertunjukan boneka-nya.”
Dengan satu jentikan jari, semuanya berubah.
“Apa-apaan ini? Apa yang terjadi!?”
Teriakan panik terdengar di dekat Rogue, memaksanya menoleh.
Tangan kiri pria itu perlahan terangkat, namun gerakannya aneh, seperti ditarik oleh benang tak terlihat. Tangan itu berayun kaku ke kiri dan ke kanan, seperti boneka yang digerakkan oleh dalang.
“T-tanganku! Kalian berdua yang melakukan ini, ya!?”
Pria itu mencoba menahan tangan kirinya dengan tangan kanan, tapi tidak ada gunanya. Sebaliknya, tangan kanannya pun mulai bergerak aneh.
“Tenanglah. Ini tidak akan berlangsung lama—yah, tergantung pada dirimu sendiri.”
Tangan kanan pria itu, seolah-olah melawan kehendaknya, mencubit ujung kuku telunjuk di tangan kiri. Gerakannya perlahan namun pasti, seperti seseorang yang bersiap melakukan sesuatu yang mengerikan.
“J-jangan! Jangan lakukan ini!” teriak pria itu, wajahnya memucat.
Namun, Miselia itu hanya menjawab dengan nada santai,
“Pertama, kita akan mulai dengan mencabut kuku-kuku mu. Kau bisa melakukannya sendiri, bukan?”
“Tidak, hentika—”
“Crakk!”
Suara tajam itu menggema di udara.
“Aaaahhhhh—!”
Teriakan itu pecah, namun seolah tak sanggup keluar dengan sempurna. Mata pria itu membelalak, tubuhnya gemetar hebat, dan wajahnya basah oleh keringat dingin. Ini bukan sekadar rasa sakit karena kukunya dicabut, tetapi rasa sakit karena melakukannya sendiri. Sesuatu yang bahkan tidak dapat dibayangkan.
Sementara itu, Rogue berbalik dan menatap tajam ke arah Miselia.
“…Hentikan sekarang juga. Kalau tidak, aku akan mengirimmu kembali ke penjara.”
“Oya?”
Tatapan santai sang penyihir perlahan beralih ke Rogue, dengan senyum yang masih menghiasi wajahnya.
“Tinggal beberapa kali lagi, dan dia pasti akan mulai bicara. Kau benar-benar ingin menghentikan ini?”
“…Aku tidak pernah meminta hal seperti ini.”
“Metode ini jauh lebih efisien, kau tahu?”
“…Sudah kukatakan, hentikan.”
“Ah, ini soal harga diri sebagai detektif, ya? Jangan khawatir, di sini hanya ada kita. Tidak akan ada yang tahu, bahkan jika kau mengorbankan pria ini untuk mendapatkan jawaban.”
“…Aku tidak akan tunduk pada omongan penyihir.”
Mendengar itu, Miselia mengangguk kecil sambil menatap tajam ke arahnya.
“Begitu. Jadi kau benar-benar ingin menyelamatkannya, ya?”
Suaranya berubah—rendah, dingin, dan berat. Bersamaan dengan itu, tubuh Rogue berhenti bergerak, seakan-akan seluruh tubuhnya membeku. Bahkan matanya tak bisa digerakkan. Hanya ludah di mulutnya yang masih bisa ditelan.
(Kena.)
Dia tahu, ini adalah sihir. Tapi dia tidak merasakan apa pun sebelumnya. Bagaimana ini bisa terjadi?
Sementara dia berusaha berpikir, suara Miselia terdengar di belakangnya.
“Apa yang akan kau alami adalah hal yang seharusnya dia alami.”
Suaranya penuh keceriaan, kontras dengan apa yang dikatakannya.
Pandangannya menangkap sebuah gergaji yang dipegang sang penyihir.
“Dengan ini, kita akan memotong satu lengan dan satu kaki,” katanya sambil memperlihatkan bor listrik.
“Setelah itu, aku akan membuat lubang di perutmu sebanyak yang aku mau,” lanjutnya dengan nada santai, kali ini menunjukkan kapak kecil.
“Dan terakhir, aku akan memecahkan kepalamu.”
Kalimat itu terdengar seperti daftar menu kematian. Rasanya mustahil untuk dipercaya, tetapi otak Rogue tahu ini bukan lelucon.
Ketika dia mencoba menggigit lidahnya untuk setidaknya membuat perlawanan terakhir, suara Miselia kembali terdengar di dekat telinganya.
“Ara, jangan bodoh. Kau ini bonekaku sekarang.”
Miselia meletakkan dagunya di bahu Rogue, sambil menatapnya dari samping dengan senyum penuh teka-teki.
“Yah, lakukan saja sampai selesai, ya?”
Dengan kata-kata itu, tubuh Rogue bergerak sendiri. Tangan kanannya menggenggam gagang gergaji yang dipaksa ke tangannya, lalu meletakkan mata gergaji pada sendi siku kirinya. Tanpa ragu, gerakannya menarik gergaji ke atas dan ke bawah.
Darah menyembur seperti manik-manik merah, memercik ke udara dan jatuh ke lantai seperti hujan. Setiap manik itu menghasilkan suara, seperti seseorang yang sedang berteriak.
“Tunggu! Aku akan bicara! Tolong hentikan!”
◇
“Hah…?”
Rogue terbangun, tubuhnya tergeletak di lantai dingin dengan pipi menempel di permukaan yang keras.
“Oh, selamat pagi,”
Suara riang terdengar dari arah kursi.
Dia menoleh dan melihat gadis penyihir itu duduk santai, menggoyangkan kursi beroda sambil tertawa kecil.
“Benar-benar tidur siang yang panjang, ya. Aku hampir bosan menunggumu.”
“Apa yang kau bicarakan?”
Rogue buru-buru bangkit, dan Miselia menghentikan kursinya sambil tersenyum lebar.
“Yah, aku hanya mengatakan bahwa itu semua hanyalah mimpi. Kalian berdua tadi sedang bermain dalam mimpi yang sudah aku atur. Jangan khawatir, isinya sama kok—aku pastikan semuanya adil.”
“Mimpi…?”
Rogue menyentuh lengannya. Tidak ada rasa sakit, tidak ada luka. Namun ingatan tentang rasa sakit itu begitu jelas.
“Apa yang baru saja kau lakukan?”
Miselia terkikik, terlihat puas.
“Aku hanya memberikan sedikit kejutan. Kau menikmatinya, bukan?”
Miselia tertawa, sementara Rogue menatap tajam ke arahnya, kemudian memandang pria yang tergolek di sudut ruangan. Pria itu meringkuk, memeluk tangan kirinya, dan mengeluarkan suara lemah.
“Yah, jangan pasang wajah menakutkan seperti itu. Aku hanya bercanda. Informasinya sudah kudapatkan.”
“…Bukankah aku sudah bilang untuk menghentikan penyiksaan itu?”
“Penyiksaan? Ah, tidak mungkin. Itu hanya mimpi, sekedar mimpi saja. Lagipula, aku sudah menahan diri, kau tahu?”
“Menahan diri?”
“Benar. Aku memutuskan untuk mengakhiri sihir itu ketika dia menyerah. Tapi, aku juga bisa saja tidak melakukannya, bukan? Aku bisa melanjutkan sampai dia kehilangan kepribadiannya sepenuhnya. Atau…”
Miselia turun dari kursinya dan mendekati pria yang masih terbaring. Dengan satu jari, dia menyentuh pelipis pria itu.
Pria itu langsung berteriak.
“T-tunggu! Aku sudah bilang akan bicara! Kau melanggar janji!”
“Tenanglah. Ini hanya demonstrasi kecil.”
“Tunggu! Janga—aaaaaaaahhhhh!”
Rogue hanya bisa terpaku saat Miselia menarik jarinya kembali. Pria tersebut berhenti berteriak dan terkulai lemas seperti boneka.
“Ini adalah Pembacaan Ingatan. Dengan ini, aku bisa membaca kehidupan seseorang. Tapi ada kekurangannya—kalau aku langsung menyentuh ingatannya, semuanya bisa bercampur aduk dan rusak, seperti menyusun puzzle dengan mata tertutup. Sekarang, aku hanya membaca sedikit saja, jadi dia hanya kehilangan kesadaran. Tapi kalau aku teruskan, dia akan jadi boneka yang sempurna. Paham maksudku? Aku masih memilih cara yang lebih lunak.”
“…”
Rogue merasakan kekalahan yang tak terkatakan. Miselia seolah mengatakan bahwa dia bisa menyelesaikan kasus kapan saja, dengan cara apa pun yang dia pilih.
“Bagaimana, Rogue-kun? Ingin mempertimbangkan untuk tak lagi memilih cara yang lunak?”
Tatapan Miselia seolah menguji, matanya menyipit.
“…Hentikan. Ingatannya bisa hancur, bukan?”
“Oh, kau baik sekali.”
“…Diam kau.”
Sulit untuk menerima semua ini. Bukan hanya kepada penyihir yang menganggap rasa sakit orang lain sebagai alat, tetapi juga kepada dirinya sendiri, yang sempat merasa takut pada metode itu.
(Dasar bajingan.)
Sambil meludahkan umpatan dalam hati, Rogue mencoba membangunkan pria yang kehilangan kesadaran. Namun, sesuatu membuatnya terkejut.
“…Dia tidak kehilangan kukunya.”
“…Sejak kapan? Sejak kapan ini hanya mimpi?” bisiknya, penuh kebingungan.
“Sejak kau mulai berbicara soal hukum, wahai si tukang tidur.”
“Apa… kenapa…”
“Ah, apa kau berharap aku benar-benar mencabut kukunya? Kalau itu yang kau inginkan, aku bisa melakukannya sekarang.”
Seolah dadanya dipukul, Rogue terdiam.
“…Dasar penyihir.”
“Memang begitulah aku.”
Miselia mendekat, tersenyum seperti biasanya.
“Ngomong-ngomong, tahu apa yang paling aku nikmati?”
Rogue tidak menjawab. Sebagai gantinya, dia menatap Miselia dari balik bahunya.
“Melihat seseorang sepertimu jatuh ke dalam kegelapan. Bersiaplah, Rogue-kun.”
Miselia tersenyum, wajahnya begitu indah hingga membuat bulu kuduk berdiri.
※※※
Lampu menyala di ruangan yang gelap gulita.
The Death Taker baru saja kembali dari perjalanannya. Dia menatap mangsanya yang pagi tadi dia tangkap. Semuanya tampak normal. Tidak ada tanda-tanda seseorang masuk ke ruangan ini.
—Bagaimanapun, tempat ini tidak akan pernah ditemukan siapa pun.
Mangsa itu tampak lelah, tetapi tatapan pemberontaknya tidak hilang. Dia masih menatap The Death Taker dengan penuh kebencian.
Itu tidak baik, pikir The Death Taker. Dia tidak berniat menjadi musuh. Maka dia berkata dengan lembut:
“Jangan khawatir, kau ini beruntung.”
Mangsa itu tampak bingung. The Death Taker bisa merasakannya.
“Kau memiliki peran penting. Sebuah peran untuk mengubah dunia.”
Tatapan mata mangsa itu berubah, seolah dia berpikir dirinya akan selamat. Tapi, salah paham seperti ini tidak baik. Maka, The Death Taker memutuskan untuk memberitahu kebenaran.
“Peranmu adalah menua. Bertahan sampai kau layu, sampai hidupmu habis. Itulah takdirmu.”
Mangsa itu mengerang, bahkan dengan mulut yang dibekap rapat. Saat The Death Taker mengulurkan tangan, suara erangan itu masih terus terdengar.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.