Kurasu de Nibanme ni Kawaii Onnanoko to Tomodachi ni Natta Chap 4 V7

Ndrii
0

Bab 4

Perasaan Sang Gadis




Selama liburan musim panas, kami bertiga bermain seperti layaknya remaja SMA pada umumnya. Namun, ketika September berlalu dan Oktober pun tiba, musim gugur semakin terasa dalam keseharian kami. Seiring dengan itu, kami mulai sadar bahwa kami tidak bisa terus-menerus bersantai seperti sebelumnya.


Meskipun sudah bersiap untuk ujian tengah semester yang akan dimulai tiga minggu lagi, satu hal yang tak terduga menunggu di atas meja kami.


【Formulir Survei Jalur Karier】


Kami sebenarnya pernah mengisi formulir serupa saat kelas satu, tetapi waktu itu hanya untuk memilih mata pelajaran antara jurusan IPA atau IPS untuk kelas dua. Kali ini, pertanyaan yang diajukan lebih mendalam:


Universitas yang diinginkan (hingga pilihan ketiga).


Apakah ada pekerjaan yang ingin ditekuni di masa depan? (Jika bisa, sebutkan secara spesifik).



Tentu saja, isian ini masih bisa diubah saat kelas tiga nanti. 


Namun, menentukan visi masa depan sejak dini bukanlah hal yang buruk, terutama karena beberapa universitas memiliki syarat ujian masuk dengan dua atau tiga mata pelajaran saja. Jika nilaimu bagus, kamu bahkan bisa mengincar jalur rekomendasi.


Mungkin karena hal ini, suasana kelas saat kegiatan SHR (Short Home Room) kali ini terasa lebih serius daripada biasanya.


“Batas pengumpulan formulir ini adalah minggu depan. Jadi, diskusikan dengan baik bersama orang tua kalian sebelum mengisinya. Oh, dan perlu diingat, hasilnya akan digunakan saat ujian tengah semester nanti,” ujar wali kelas kami.


Alasan utama mengapa suasana serius ini terasa adalah karena setelah ujian tengah semester, akan ada sesi pertemuan tiga pihak antara siswa, orang tua, dan guru. 


Mereka akan mendiskusikan hasil ujian, pilihan jalur karier, dan bahkan kemungkinan untuk beralih dari jurusan IPA ke IPS atau sebaliknya. Bagi siswa dengan nilai akademis rendah, pertemuan ini mungkin menjadi hal yang tidak menyenangkan. Namun, ada satu keuntungan, yaitu selama periode tersebut hanya ada jam pelajaran pagi, sehingga mereka bisa pulang lebih cepat jika tidak ada jadwal pertemuan.


“Jadi, tentang jalur karier ini...” gumamku sambil memandang kertas di tanganku. 


Meskipun harus mengisi semua kolom sebelum minggu depan, aku merasa bingung bagaimana menuliskannya.


Pilihan pertamaku sudah jelas, yaitu universitas negeri ternama K University, yang terkenal dengan standar tinggi dan tingkat kesulitan ujian yang luar biasa. 


Dari sekolah kami, setiap tahunnya hanya ada satu atau dua orang yang berhasil lolos seleksi.


Berdasarkan peringkat hasil ujian rutin, aku harus berada dalam sepuluh besar untuk memenuhi standar tersebut. Dengan kata lain, hanya siswa berprestasi seperti Nakamura-san dan Umi yang punya peluang besar untuk lolos. 


Alasan mengapa aku dan Umi bisa berpacaran dengan cukup bebas adalah karena kami berjanji kepada Sora-san untuk menjaga prestasi kami agar tetap berada di level tersebut. 


Jika prestasiku menurun, kami tidak akan dilarang pacaran, tapi lebih ke kebebasan seperti bermain hingga larut malam atau berlibur bersama seperti saat musim panas pasti akan dibatasi.


Kami paham bahwa untuk menikmati kebebasan, kami harus memenuhi tanggung jawab terlebih dahulu. Hubungan kami dibangun dengan kesepakatan itu... setidaknya secara teori.


“Nee, Yama-chan, Nagisa-chan, kalian sudah punya pilihan universitas atau belum? Aku sendiri bingung karena belum pernah memikirkan hal ini sebelumnya,” tanya Amami-san.


“Aku mungkin akan memilih sekolah kejuruan. Aku tertarik dengan bidang desain busana, Bagaimana denganmu, Nagi-chan?” jawab Yamashita-san dengan santai.


“Aku sih belum tahu... Eh, tunggu, Nagi-chan? Itu panggilan buatku?”


“Tentu saja. Kamu kan Nagisa, jadi kupanggil Nagi-chan. Kalau tidak suka, aku bisa cari nama panggilan lain,” kata Yamashita-san sambil tersenyum jahil.


“Terserah,” jawab Arae-san sambil mendengus.


“Yay, kamu berhasil, Yama-chan! Kalau begitu, aku juga akan mulai memanggilmu begitu.”


“Kamu jangan ikut-ikutan!” potong Arae-san cepat.


“Eeh, kenapa?”


“tidak usah, cukup Yamashita saja,” jawabnya ketus.


Amami-san dan kawan-kawannya dari kelas 2-10 tampaknya selalu ramai dan ceria. Dari tiga orang tersebut, hanya Yamashita-san yang sudah menemukan apa yang ingin ia lakukan di masa depan. Prestasi akademis Arae-san yang cukup baik kemungkinan besar akan membawanya ke jalur universitas. Namun, yang menjadi perhatian adalah Amami-san.


Saat kelas mulai kosong dan siswa-siswa lain meninggalkan ruangan, Amami-san menghampiriku.


“Maki-kun, bagaimana denganmu? Sudah bisa mengisi formulir survei jalur karier?” tanyanya dengan suara lembut.


“Hanya pilihan pertama saja. Selebihnya, aku masih bingung,”


“Fufufu, kalau begitu kita sama ya,” Amami-san tertawa kecil.


Kami berdua saling memperlihatkan formulir survei jalur karier yang hampir kosong dan hanya bisa tertawa pahit. Mungkin saja Umi dari kelas sebelah, serta Nitta-san dan Nozomi dari kelas lain, juga mengalami kebingungan yang serupa.


“Oh! Ngomong-ngomong, Maki-kun, setelah ini kamu punya rencana selain bersama Umi?” tanya Amami-san tiba-tiba.


“Aku tidak ada jadwal kerja paruh waktu hari ini, jadi sepertinya tidak ada rencana khusus. Mungkin aku akan mencoba mengisi formulir ini saja,” jawabku sambil menunjuk formulir survei.


“Nah, aku punya ide bagus! Bagaimana kalau kita saling mengisi survei jalur karier kita?”


“Maksudmu, aku yang menulis untukmu dan sebaliknya, kamu mengisi punyaku serta punya Umi?”


“Benar sekali! Hehehe, senang deh kalau kamu bisa mengerti dengan cepat,”


Memang tidak terpuji jika menyerahkan pengisian survei jalur karier pada orang lain sepenuhnya, tetapi meminta pendapat dari perspektif orang lain untuk bahan pertimbangan mungkin tidak buruk. 


Meski memiliki impian sendiri itu penting, terkadang pendapat orang lain bisa membuka lebih banyak pilihan ketika kita dihadapkan pada kenyataan yang tak sesuai harapan. 


Namun, sepertinya Amami-san tidak terlalu memikirkan hal itu secara mendalam.


“Kalau begitu, kita bisa coba mengerjakannya besok saat belajar bersama. Mungkin dengan begitu kita bisa lebih jelas mengenai arah yang ingin kita tuju, sehingga bisa lebih fokus dalam belajar,”


“.........”


“Eh, Amami-san?” 


Aku heran melihatnya yang tiba-tiba terdiam dengan mulut terbuka.


Ternyata, ini hanya ide spontan dari Amami-san tanpa banyak dipikirkan. Karena sudah terlanjur mengusulkan, ia pasti merasa sulit untuk membatalkannya.


“Masih bisa lho, kalau sekarang kamu mau berubah pikiran.” ujarku mencoba memberinya kesempatan untuk mundur.


“tidak perlu! Aku tidak akan menarik kata-kataku. Sampaikan saja pada Umi!”


“Bagaimana dengan Nitta-san?”


“Umm... iya, sampaikan juga padanya,”


“Oke, kalau begitu aku akan mengatur jadwalnya,”


Aku segera memberi tahu Umi tentang rencana ini sebelum Amami-san berubah pikiran.


(Asanagi) “Bagus sekali, Maki.” 


(Asanagi) “Hmm, kurasa aku akan membuat Yuu sedikit pusing kali ini...” 


(Maehara) “Karena belajar di rumahku, tolong jangan terlalu keras padanya ya.”


Setelah memastikan jadwal dengan Nitta-san dan Nozomi, mereka sepakat untuk membiarkan formulir tetap kosong hingga akhir pekan. 


Ide spontan dari Amami-san ini mungkin bisa menjadi topik pembicaraan yang menyenangkan dan lebih mudah bagi mereka berdua. Aku berharap, dengan akhir pekan sebagai kesempatan, hubungan mereka bisa membaik.


※※※


Pov Amami-san Yuu

“Aduh... Apa yang sebenarnya sedang kulakukan?” gumamku pada diri sendiri.


Aku tahu ada rencana belajar bersama akhir pekan ini, dan awalnya aku berencana untuk tidak ikut. Meskipun aku tidak terlalu suka belajar, aku sangat menikmati belajar bersama teman-teman. Aku tidak pernah suka belajar sendiri. Aku suka saat kami bisa bertanya, saling mengajari, istirahat sambil makan camilan, dan bercanda bersama. 


Sejak musim gugur tahun lalu, sesi belajar bersama kami berlima sudah menjadi rutinitas yang sangat berarti bagiku. Nilai ujian memang penting, tapi yang lebih berharga adalah waktu yang kuhabiskan bersama mereka.


Namun, akhir-akhir ini suasana sudah tidak seperti dulu lagi. Setiap kali aku berada di tengah-tengah kelompok, rasanya suasana menjadi tidak nyaman. Saat Umi atau Maki-kun melihatku dengan pandangan khawatir, aku jadi merasa bersalah.


Aku tahu, aku harus memperbaiki hubunganku dengan Nina. Biasanya, Nina selalu menjaga jarak dan tidak terlalu ikut campur dalam masalah pribadi orang lain. 


Tapi kali ini, ia keras kepala dan terus terang menyampaikan pendapatnya padaku. Saat malam festival kembang api, dengan ekspresi yang serius, Nina mengatakan bahwa ia ingin bicara denganku. Aku masih mengingat setiap kata yang diucapkannya dengan jelas.


“Yuu-chi, kamu seharusnya lebih menghargai dirimu sendiri. Kenapa kamu harus menahan perasaanmu? tidak ada yang salah dengan mencintai seseorang, siapapun itu!”


Kata-katanya masih terngiang-ngiang dalam benakku.


Aku tidak sepenuhnya tidak memahami perasaan Nina saat dia mengatakannya. Beberapa waktu yang lalu, aku juga sependapat dengannya. Cinta adalah perasaan yang luar biasa, dan menahan perasaan itu hanya akan sia-sia. Karena itulah, selama ini, aku selalu dengan sungguh-sungguh mendengarkan setiap pengakuan yang kuterima, lalu dengan hati-hati menolaknya. Menurutku, itu adalah bentuk penghargaan paling minimum yang bisa kuberikan kepada orang yang berani mengungkapkan perasaannya padaku.


Namun, kali ini berbeda.


“…Meski begitu, aku harus menahan perasaan ini. Sekalipun sudah ketahuan oleh semua orang, perasaan ini tidak boleh diucapkan,”


Jika Nina saja sudah menyadarinya, maka pasti teman-teman dekatku juga sudah tahu. Mungkin, bahkan sudah banyak orang yang mengetahuinya. Tetapi, selama aku bisa menahan diri untuk tidak mengatakan ‘kata-kata itu’ kepada dia atau teman dekatku, mungkin semuanya akan tetap berjalan seperti biasa. Mereka yang baik hati mungkin akan berpura-pura tidak tahu.


Bagiku, mereka berdua adalah orang yang sangat penting. 


Sahabatku yang sangat berharga, dan seseorang yang sangat ia sayangi. Aku sangat takut hubungan ini akan hancur karenanya.


Meski demikian, setiap kali melihat dirinya, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak berbicara dengannya. Dia hanya menganggapku sebagai “teman biasa,” dan terkadang sikapnya sedikit kasar. Namun, mungkin karena aku belum pernah diperlakukan seperti itu oleh seorang pria, justru hal itu terasa menyenangkan dan segar bagiku.


“Aku rasa, tak apa kalau sekedar berbicara sebentar lagi,” pikirku. 


Dan sebelum aku menyadarinya, aku sudah melampaui batas yang kubuat sendiri. Aku selalu saja kelewat ceria, dan kali ini, sifat cerobohku itu membuatku kesal pada diri sendiri.


Beberapa waktu yang lalu, semua ini tidak akan menjadi masalah. 


Bagiku, dia adalah “pacar sahabatku,” dan baginya, aku hanyalah “sahabat dari pacarnya.” tidak ada perasaan lain yang terlibat. Namun sekarang, situasinya berbeda. Aku tidak bisa berhenti memikirkan dirinya. 


Jika sahabatku tahu tentang perasaanku ini, dia pasti tidak akan memaafkanku. Jika aku tetap melakukan hal-hal yang membuat suasana jadi tidak enak, meskipun aku sudah menyadari perasaanku, mungkin saat itu…


“…Aku akan memutus hubungan,”


Aku ingat jelas saat kata-kata itu terucap dari mulut sahabatku, aku merasa seperti jantungku berhenti dan hanya bisa berdiri terpaku. Dia segera mengoreksi ucapannya, mengatakan bahwa itu hanya lelucon. Namun, sebagai sahabatnya, aku tahu. Itu bukan lelucon maupun kebohongan, itu adalah perasaan jujur dari hatinya.


Dia menganggap “dia” sangat penting dalam hidupnya. Dalam satu tahun saja, dia sudah menjadi sosok yang begitu berarti baginya, bahkan melebihi diriku sebagai sahabatnya. Aku sempat merasa cemburu melihat sahabatku semakin tenggelam dalam perasaannya pada orang tersebut. 


Awalnya, aku tidak mengerti mengapa dia bisa begitu tergila-gila. Namun, setelah aku mengenal dirinya lebih dalam sebagai teman, aku mengerti. Semakin lama mengenalnya, semakin banyak hal yang menarik darinya yang sebelumnya tidak terlihat, dan tanpa sadar, aku terjebak dalam pesonanya. 


Ketika aku menyadari perasaanku yang semakin dalam, rasanya sudah terlambat untuk menarik diri.


Saat ini, momen-momen ketika kami berlima berkumpul adalah hal yang paling aku sukai. Aku, Umi, Nina, Seki-kun… dan Maki-kun. Aku ingin tetap menjadi teman baik bahkan setelah kelulusan SMA, aku tidak ingin menghancurkan hubungan ini. 


Oleh karena itu, aku harus menekan perasaanku dan melupakannya.


Namun, di balik semua itu, apa yang sebenarnya sedang kulakukan? Apa yang sebenarnya ingin kulakukan?


◆   ✧ ₊ ✦ ₊ ✧   ◆


Pov Maehara Maki

Akhir pekan pun tiba. Pada hari Jumat setelah sekolah, seperti yang telah dijanjikan, kami berlima pun berkumpul. Seperti biasa, kami mampir ke minimarket untuk membeli camilan dan minuman sebelum menuju rumahku, tempat kami mengadakan sesi belajar bersama.


Terakhir kali kami mengadakan sesi belajar bersama seperti ini adalah sebelum ujian akhir semester pertama, yaitu sekitar awal Juli. 


Jadi, sudah sekitar dua setengah bulan sejak terakhir kali kami berkumpul dengan formasi ini. Kali ini, tujuan utama adalah persiapan menghadapi ujian tengah semester serta mengisi formulir rencana karir yang harus dikumpulkan minggu depan. 


Namun, di balik semua itu, ada masalah pribadi yang ingin aku selesaikan juga. Tentu saja, masalah antara Nitta-san dan Amami-san.


“Nee, Asanagi, apa kamu sudah punya rencana masa depan? Mungkin menjadi istri ketua?”


“Melanjutkan pendidikan. Lalu bagaimana denganmu?”


“Aku bercanda saja soal menjadi istri orang kaya yang tampan. Rencanaku sih mungkin melanjutkan kuliah. Sebenarnya, bos di tempat kerja paruh waktuku menawarkan posisi sebagai karyawan tetap setelah lulus SMA, tapi aku rasa masih ingin bersenang-senang sedikit lebih lama.”


“Universitas itu tempat belajar, tahu… Lalu bagaimana dengan kamu, Yuu? Sudah bicara dengan paman dan bibi soal rencana masa depanmu?”


“Iya, sudah. Mengingat nilai-nilaiku yang biasa saja, aku mungkin akan masuk sekolah kejuruan kalau ingin melanjutkan studi. Kalau memutuskan bekerja, mungkin akan masuk ke perusahaan kenalan ibu.”


“Ah, koneksi ya? Hebat sekali, Yuu. Kalau itu kenalan Eri-san, pasti perusahaan agensi hiburan, kan?”


“Eh? Ah, iya, benar. Dulu ibuku pernah bekerja di sana. Mereka menawarkan pekerjaan di bagian belakang panggung jika aku tertarik.”


“Di balik layar? Padahal menurutku, kamu lebih cocok di depan layar. Dengan wajah imutmu, aku tidak akan heran kalau kamu debut sebagai idol. Iya, kan, Asanagi?”


Umi menatap Nitta-san sekilas sebelum menjawab. 


“Yah, aku tidak tahu... dunia hiburan itu tidaklah mudah, jadi meskipun itu Yuu, mungkin akan tetap sulit.”


“Benarkah? Tapi menurutku kamu bisa melakukannya dengan baik, Yuu-chi.”


“Ahaha... kamu terlalu memujiku, Nina-chan.”


Sejak insiden di mal outlet, keduanya—Nitta-san dan Amami-san—berusaha keras untuk tidak membuat kami merasa tidak nyaman saat berkumpul bersama. 


Namun, meskipun mereka mencoba bersikap normal saat ada kami berlima, kenyataannya suasana tetap canggung. Bahkan ketika Umi berusaha mencairkan suasana, percakapan mereka sering kali terhenti di tengah-tengah, dan keheningan yang kaku pun kembali hadir. 


Melihat hal ini, Nozomi menyenggol lenganku dengan pelan.


“(Anu, Maki,)” bisik Nozomi.


“(Iya, kenapa?)”


“(Dengan suasana begini, apa kita benar-benar bisa belajar?)”


“(Entah bisa atau tidak, yang jelas kita harus mencobanya.)”


Dengan suasana yang masih agak canggung, kami berlima memasuki ruang tamu rumahku. 


Ibu berangkat kerja lebih lambat dari biasanya pagi ini, jadi ruangannya sedikit berantakan. Namun, karena sudah terbiasa, tidak ada yang terlalu mempermasalahkannya.


Di atas meja ruang tamu, kami meletakkan formulir rencana karir yang masih kosong, kecuali bagian nama. Sebelum mulai belajar untuk ujian, kami memutuskan untuk mengisi formulir ini terlebih dahulu.


“Oh, ketua juga memilih Universitas K sebagai tujuan. Lalu, impian masa depanmu adalah menjadi menantu keluarga Asanagi, ya?”


“Itu belum tentu. Kalau bisa, aku lebih memilih menjadi pegawai negeri. Meskipun beberapa bagian mungkin sangat sibuk, pekerjaannya cukup stabil.”


“Cukup konservatif, ya… Tapi memang terdengar seperti ketua,” komentar Nina sambil tersenyum. 


“Lalu, bagaimana dengan Asanagi… Eh, serius? Guru? Kamu mau jadi guru sekolah?”


“Kenapa? Apa aneh jika aku tertarik menjadi guru sekolah?”


Ini pertama kali aku mendengar tentang hal ini. Sepertinya dia menuliskannya sebagai pilihan paling masuk akal. 


Namun, jika dipikir-pikir, profesi guru memang cocok untuknya. Amami-san juga setuju, terlihat dari anggukannya yang penuh semangat.


“Guru sekolah! Menurutku itu target yang sangat bagus, Umi. Kamu selalu sabar mengajar orang seperti aku yang malas, dan cara mengajarmu mudah dimengerti.”


“Benarkah? Bagaimana menurutmu, Maki?”


“Iya, aku juga berpikir itu pilihan yang baik. Aku bisa membayangkanmu berdiri di depan kelas sebagai guru. Pasti menarik untuk dilihat.”


“Benarkah? Kalau begitu, mungkin itu akan menjadi pilihanku. Hehe,”


Melihat reaksi Umi, aku teringat pada wali kelas kami, Yagisawa-sensei, yang kadang-kadang mengeluh tentang kesibukan pekerjaannya. 


Memang, menjadi guru bukanlah pekerjaan yang mudah, tetapi itu adalah profesi yang sangat dibutuhkan dan penuh dengan tantangan yang layak dihadapi.


Di formulir rencana karir yang aku isi, aku hanya menuliskan tujuan yang sangat umum: “menjadi pegawai negeri.” Rasanya agak memalukan dibandingkan dengan teman-temanku.


“Ketua ingin jadi pegawai negeri, Asanagi ingin jadi guru... Dan tadi, kamu sempat menulis ‘pemain baseball profesional’, kan, Seki?”


“Wah, kapan kamu sempat melihat itu?!” Nozomi terkejut dan mencoba menutupi rasa malunya.


“Jadi, kamu memang berencana menjadi pemain profesional, ya,” aku menimpali sambil tersenyum.


Sebagai seseorang yang sangat mencintai baseball (dalam arti positif), jawaban Nozomi tidak mengherankan bagiku. Aku bahkan merasa itu adalah tujuan yang bagus untuknya.


“Kalau kalian ingin menertawakan, silahkan saja,”


“Aku tidak akan menertawakanmu. Itu tujuan yang hebat,” jawabku tegas.


Meski menjadi pemain profesional bukanlah hal yang mudah, kami tidak memiliki hak untuk meremehkan impian seseorang. 


Jika sejak awal kami hanya memilih jalur yang realistis, maka impian besar seperti milik Nozomi adalah sesuatu yang patut dihargai. Karena jika tidak mencoba, kita bahkan tidak akan sampai di garis awal.


“Maki benar, Nozomi-kun! Kalau ada yang meremehkan impianmu, buktikan bahwa mereka salah, Iya kan, Nina-chan?” seru Amami-san dengan semangat.


“Yah, aku tidak bermaksud meremehkan. Maaf kalau membuatmu kesal tadi,” jawab Nitta-san sambil tersenyum tipis.


Nozomi tampak ingin mengulang kembali menuliskan impiannya sebagai pemain baseball profesional. Namun, saat hendak menuliskannya, dia tiba-tiba terdiam, seolah terkejut akan sesuatu.


“Eh? Nozomi-kun, ada apa?” tanya Amami-san sambil melambai-lambaikan tangan di depan wajah Nozomi yang masih terpaku. 


Wajah Nozomi memerah, dan dia tidak memberikan respons.


“Teman-teman, Nozomi-kun tiba-tiba membeku,” ujar Amami-san cemas.


“Tunggu dulu, Yuu. Kamu barusan memanggil dia ‘Nozomi’, ya?” Umi mengernyit, menyadari sesuatu.


“Eh? Apa itu aneh? Aku biasa memanggil kalian dengan nama, seperti Maki, Umi, dan Nina. Jadi, aku pikir, tidak adil kalau hanya memanggilnya dengan nama belakang,” jawab Amami-san polos.


Meskipun aku terkejut dengan perubahan ini, alasannya sangat masuk akal. Sebelumnya, hubungan antara Amami-san dan Nozomi dimulai dengan konteks “menolak” dan “ditolak,” sehingga Amami-san menjaga jarak dengannya. 


Namun seiring berjalannya waktu, mereka semakin akrab sebagai teman, dan saat itulah Amami-san mulai memanggilnya dengan nama depan. 


Bagi Nozomi, yang masih menyukai Amami-san setelah ditolak, dipanggil dengan nama depan oleh orang yang ia sukai adalah sesuatu yang sangat membahagiakan.


“Maaf, Amami-san, aku hanya terkejut mendengarnya,” 


Akhirnya Nozomi berbicara dengan senyum malu-malu.


“Oh, kamu sudah kembali, Nozomi-kun. Eh, apa itu sesuatu yang mengejutkan?” Amami-san tampak bingung.


Amami-san mungkin tidak menyadari arti penting dari perubahan panggilan ini bagi Nozomi. Meski dia sudah memanggilku dengan nama depan “Maki,” dan mungkin dalam pikirannya itu hanya tanda bahwa dia menganggap kami sebagai teman dekat. Tapi bagi Nozomi, ini adalah langkah besar dalam hubungan mereka.


“Nozomi, selamat ya,” kataku dengan senyum simpul.


“Hah? Oh, iya, terima kasih. Setelah Natal, aku merasa Amami-san terus menjaga jarak dariku, jadi aku senang melihat perubahan ini,” kata Nozomi, terlihat bersemangat. 


Ia bahkan berkali-kali mencolek pinggangku di bawah meja, menandakan bahwa dia benar-benar bahagia.


Aku yakin Nozomi akan hidup dengan kebahagiaan ini untuk sementara waktu.


Namun, di tengah suasana yang hangat ini, Nitta-san menatap Amami-san dengan ekspresi agak kesal dan tampak tidak senang.


“Aku benar-benar tidak tahu lagi,” gumam Nitta-san sambil memutar matanya.


“Nina-chan? Kamu bilang apa tadi?” tanya Amami-san.


“tidak kok. Lagipula, kita sudah hampir selesai mengisi formulir rencana karir, jadi ayo mulai sesi belajar. Aku benar-benar harus berusaha kali ini, atau orangtuaku bakal marah,” kata Nitta-san.


“Kamu seharusnya selalu berusaha, Nina. Kamu punya potensi, jadi kalau kamu mau, pasti bisa,” komentar Umi.


“Kalau itu mudah, aku tidak akan kesulitan begini!” Nitta-san mengeluh dengan suara keras.


“Jangan bilang itu dengan ekspresi banggamu,” balas Umi sambil tertawa.


Setelah itu, sesi belajar kami berlangsung dengan sangat lancar. Aku sebagai pengajar merasa puas melihat kemajuan teman-temanku. Namun, sepanjang sesi dan sampai saat kami semua pulang, Nitta-san dan Amami-san tidak berbicara satu sama lain. Dan bahkan, mereka menghindari untuk bertatap mata.


Setelah Amami-san dan yang lainnya pulang, aku dan Umi yang masih tinggal di rumahku mulai merapikan meja. Sambil membereskan piring dan gelas, aku bergumam pelan pada Umi.


“Sepertinya, semuanya semakin memburuk, ya,”


“Iya... Rasanya seperti terjebak dalam perangkap semut,”


Meskipun kami ingin memperbaiki keadaan dan kembali seperti dulu, semakin kami berusaha, semakin hubungan di antara lima orang kami terasa canggung. 


Rasa canggung itu malah semakin memperlebar jurang di antara kami. Pada akhirnya, kami hanya bisa menunggu waktu yang tepat untuk memperbaikinya. 


Kami berdua memutuskan untuk menjalani hari-hari seperti biasa, bahkan mungkin sampai membuat orang lain iri karena terlihat begitu mesra.


Namun, meskipun begitu, rasanya sulit untuk bersikap santai ketika dua teman dekat kami sedang mengalami kesulitan seperti ini. Baik aku maupun Umi merasa cemas.


Sejak hari itu, kesempatan untuk berkumpul berlima di sekolah mulai semakin jarang. Kami, yang sebelumnya selalu berkelompok, kini lebih sering bertindak terpisah. Hanya aku dan Umi yang masih selalu bersama, seperti biasa. 


Umi tetap menjemputku setiap pagi, kami berjalan menuju sekolah sambil bercakap-cakap santai, dan kadang kami bercanda begitu mesra hingga tanpa sadar membuat ibuku yang baru selesai kerja malam terbangun karena kebisingan kami.


Namun, ketika kami keluar rumah dan mulai berjalan di sepanjang jalan menuju sekolah, kenyataan pahit kembali menghampiri kami.


“Umi, bagaimana dengan Amami-san dan Nitta-san?”


“Yuu bilang, ‘Maaf.’ Dan Nina tidak mengirim kabar sama sekali,” jawab Umi sambil menghela napas.


“Jadi, keadaannya semakin memburuk, ya,”


Biasanya, kami berempat (tanpa Nozomi yang selalu mengikuti latihan pagi) pergi ke sekolah bersama. Namun, sudah dua hingga tiga minggu belakangan ini, Amami-san dan Nitta-san tidak bisa diajak berkumpul, dan akhirnya aku dan Umi terpaksa berangkat berdua saja. 


Awalnya, mereka berdua masih memberikan alasan yang cukup masuk akal, seperti ada janji dengan teman sekelas lain atau urusan kelas yang mendadak. Setiap pesan mereka selalu diakhiri dengan kata ‘maaf’ atau ‘lain kali aku ikut,’ tapi waktu terus berjalan dan tidak ada perubahan.


Minggu lalu, karena merasa frustrasi dengan situasi ini, kami mencoba menjemput mereka satu per satu. Kami mengunjungi rumah Amami-san lebih awal dan pergi bersama untuk menjemput Nitta-san. 


Pada saat itu, mereka berdua ikut bersama kami tanpa banyak bicara, namun suasana di antara kami terasa begitu berat dan penuh kecanggungan. Rasa itu masih membekas dan sulit untuk dilupakan.


Di sekolah, meskipun mereka tampak normal saat bersama kami, dalam hal diskusi ujian atau memberi saran pelajaran, mereka tidak menunjukkan masalah apapun. Namun, aku tetap merasa ada yang tidak beres.


Aku mengeluarkan ponsel dan membuka ruang obrolan grup kami yang biasa. Aku mulai mengetik pesan.


(Maehara) “Selamat pagi semuanya.”


(Asanagi) “Selamat pagi!”


(Asanagi) “Eh, aku di sebelahmu, lho.”


(Seki) “Pagi, kalian berdua kerja keras dari pagi ya.”


(Maehara) “Selamat pagi, Nozomi.”


(Asanagi) “Iya. Gimana, belajar sendirian, lancar?”


(Seki) “Lumayan, sih. Berkat kalian, aku mulai paham pelajaran sedikit demi sedikit.”


(Maehara) “Wah, jadi kami sudah tidak diperlukan lagi, ya? Senang sih dengarnya, tapi juga agak sedih.”


(Asanagi) “Selamat atas kelulusanmu.”


(Seki) “Jangan begitu dong, aku masih butuh bantuan kalian sampai lulus SMA.”


(Asanagi) “Maki, bagaimana menurutmu?”


(Maehara) “Ya, begitu deh.”


(Seki) “Kalian berdua jahat sekali.”


(Maehara) “Santai saja, selama kami masih punya waktu, kami akan selalu membantumu.”


(Maehara) “Setidaknya sampai ujian tengah semester kali ini selesai, ya.”


(Seki) “Iya, terima kasih banyak.”


(Seki) “Sampai jumpa nanti sore.”


(Maehara) “Oke, semangat semuanya.”


(Asanagi) “Sampai nanti.”


Ruang obrolan ini dibuat untuk lima orang agar bisa berbincang bersama, namun kini hanya Nozomi yang aktif membalas pesan kami, sedangkan dua orang lainnya bahkan tidak membuka atau membaca pesan. 


Mereka tidak sedang bertengkar dengan kami bertiga, tapi entah kenapa mereka mencoba menghindari grup dan memilih menjaga jarak. 


Mereka mungkin merasa tidak enak jika hanya bergaul dengan kami bertiga dan mengabaikan satu sama lain, jadi akhirnya mereka memutuskan untuk menjauh dari kami semua.


Jika benar begitu, Amami-san dan Nitta-san memang terlalu baik hati dan terlalu serius dalam menghadapi situasi ini.


Meskipun Amami-san mulai sedikit menjauh dari kami semua, saat di kelas, dia masih berbicara denganku seperti biasa. Bagaimanapun juga, kami tetaplah teman sekelas. 


Hari ini, Amami-san datang ke kelas sedikit terlambat, sendirian. Waktu sudah hampir memasuki jam pelajaran, tapi tidak seperti biasanya. Biasanya, dia akan datang tergesa-gesa dengan rambut yang belum rapi akibat bangun kesiangan. Namun, hari ini penampilannya sangat rapi, seperti sudah dipersiapkan sebelumnya. Jelas sekali, dia sedang berusaha menghindari bertemu dengan kami.


“Selamat pagi, Amami-san,”


“Eh?! Oh, selamat pagi, Maki-kun! Maaf ya, aku terlambat sedikit karena belajar untuk ujian hingga larut malam,”


“Begitu ya... Aku tidak terlalu banyak membantumu kemarin. Apa kamu bisa mengatasinya?”


“Iya, aku sudah banyak dibantu Umi dan juga ayahku,” jawabnya sambil tersenyum.


Dari luar, percakapan ini terlihat seperti obrolan biasa di pagi hari, namun aku merasa ada yang janggal. Mungkin terdengar kasar jika aku mengatakan ini, tapi dia terlihat terlalu serius. 


Tidak ada kesan bercanda atau santai seperti biasanya. Kalimat seperti “belajar hingga larut malam dan dibantu ayah” bukanlah sesuatu yang sering kudengar dari Amami-san, yang terkenal tidak suka belajar.


Biasanya, di situasi seperti ini, dia akan mengeluh dengan nada manja:


“Ah, bagaimana ini, Maki-kun?! Aku berusaha belajar semalaman, tapi malah ketiduran saat menghafal kosakata bahasa Inggris! Begitu terbangun, hari sudah pagi, dan akhirnya aku menangis meminta bantuan ayahku untuk belajar cepat-cepat.”


Begitulah biasanya. Tapi, hari ini berbeda. Mungkin karena pembicaraan kami saat belajar bersama beberapa waktu lalu, di mana kami membahas tentang masa depan dan rencana pendidikan. Bisa jadi Amami-san berusaha memperbaiki dirinya, yang mana hal itu patut dipuji. Namun, aku merasa cara ini tidak sepenuhnya baik untuknya.


“Yah, gurunya sebentar lagi datang, aku kembali ke tempat dudukku dulu, ya,” katanya sambil tersenyum kecil.


“Oh, baiklah. Semoga sukses di ujian,”


“Iya, kamu juga,” jawabnya sambil tersenyum tipis, lalu kembali ke tempat duduknya.


Meskipun aku sudah berusaha bertindak seperti biasa dan hanya khawatir sebagai seorang teman, mengapa rasanya jarak antara kami semakin jauh? 


Melihat Amami-san berbicara dan bercanda dengan teman-teman barunya seperti Yamashita-san dan Arae-san di sudut ruangan, aku merasakan nostalgia, seolah-olah kami kembali ke masa lalu ketika kami belum dekat.


“Selamat pagi, Yuu-chan! Eh, sebentar lagi akan ada sesi konsultasi tiga pihak, kamu sudah memutuskan mau lanjut ke mana? Pasti mau lanjut kuliah, kan?” tanya Yamashita-san.


“Ah, iya... sepertinya begitu,” jawab Amami-san sambil tersenyum malu.


“Eh? Apa mungkin kamu akan masuk universitas yang sama dengan Nagi-chan, di F University?” tambah Yamashita-san.


“Oi, Yamashita! Jangan sembarangan menyebarkan informasi pribadi orang lain begitu,” potong Arae-san dengan cepat.


“Eh, kupikir itu sudah hal yang terbuka untuk dibicarakan,” jawab Yamashita-san sambil tertawa.


“Diamlah! Kamu jangan bicara lebih banyak lagi,” bentak Arae.


“Hahaha, Nagi-chan memang tidak pernah jujur, ya. Jadi, apa impian masa depanmu, Nagi-chan? Kamu suka binatang, kan? Mungkin ingin jadi dokter hewan? Di F University ada fakultas kedokteran hewan juga, kan?”


“Lalu, bagaimana dengan kamu sendiri?” balas Amami-san dengan senyum tipis.


“Aku? Hmm... rahasia deh,” jawabnya sambil tersenyum misterius.


“Kupukul kamu nanti! Awas saja kalau aku benar-benar marah hari ini,” gerutu Arae-san, sementara Yamashita-san berusaha menenangkan.


Tepat saat bel berbunyi, Yagisawa-sensei masuk ke kelas dan mereka pun mengakhiri obrolan pagi mereka. Namun, ada satu hal yang membuatku penasaran. Saat kami belajar bersama kemarin, kami sempat berdiskusi tentang rencana masa depan dan universitas pilihan kami. Namun, Amami-san tidak pernah menyebutkan rencananya dengan jelas. Bahkan kepada Umi, Nitta-san, atau kepadaku, dia tidak pernah mengungkapkan keinginannya untuk masa depan.


Aku hanya bisa bertanya-tanya, pilihan apa yang sebenarnya sudah dia buat, dan kenapa dia menyimpannya sendiri.


Ujian tengah semester yang berlangsung selama dua hari akhirnya selesai tanpa hambatan (setidaknya bagiku). Namun, meski satu tantangan telah berlalu, kami para siswa masih belum bisa bersantai, karena masih ada satu agenda besar yang menunggu di depan mata, yaitu rapat tiga pihak (siswa, orang tua, dan guru) yang akan segera diadakan.


Setiap siswa diberikan waktu tiga puluh menit untuk rapat ini. Bagi sebagian orang, tiga puluh menit mungkin terasa singkat, namun bagi sebagian lainnya bisa terasa lama. 


Bagiku sendiri, ini bukanlah waktu yang nyaman untuk dihabiskan. Jadwal rapat ditentukan berdasarkan formulir survei pilihan karier yang telah kami serahkan sebelumnya. Jadwalku ditempatkan pada hari pertama di slot waktu yang cukup awal. Melihat daftar waktu yang dibagikan oleh Yagisawa-sensei, aku bisa merasakan adanya pola dalam penempatan waktu ini. 


Bagian awal diisi oleh siswa yang memiliki nilai di bawah rata-rata kelas, dan bagian akhir diisi oleh siswa yang memiliki nilai di atas rata-rata. 


Tampaknya, para guru sengaja mengatur agar siswa-siswi yang diperkirakan akan memakan waktu lebih lama ditempatkan di bagian awal, dan siswa yang diskusinya cenderung singkat ditempatkan di bagian akhir, sehingga jadwal tidak akan tertunda.


Tentu saja, yang menyadari pola ini lebih dulu bukanlah aku, melainkan Umi yang baru saja melihat jadwal rapatku.


“Jadi, begitu ya. Makanya aku dan Amami-san dapat jadwal di hari yang sama,”


“Iya, karena posisi peringkat Yuu jauh di bawah rata-rata kelas, sedangkan kamu, Maki, berada di posisi teratas. Dengan nilai seperti itu, sepertinya baik Yagisawa-sensei maupun Masaki-obaasan tidak akan banyak berkomentar,”


“Entahlah. Meskipun begitu, aku berusaha agar mereka tidak punya alasan untuk mengeluh,”


Hasil lengkap dari ujian tengah semester memang belum keluar, tapi berdasarkan nilainya, aku cukup optimis bisa meraih peringkat yang bagus. 


Jika ada hal yang mungkin dipertanyakan, itu adalah pilihan universitas yang kutulis. Aku mencantumkan hanya satu pilihan, yaitu K University, meskipun ada risiko harus menunda kuliah setahun jika tidak bisa kuliah di universitas yang sama dengan Umi. Aku sudah membicarakan ini dengan ibuku, jadi kami sudah sepakat, dan seharusnya Yagisawa-sensei tidak akan menentang keputusan kami.


Rapat tiga pihak untuk Umi juga dijadwalkan pada hari pertama, bersamaan dengan jadwal rapatku dan Amami-san. Dengan begitu, ibu kami masing-masing akan hadir di sekolah pada waktu yang hampir bersamaan. 


Meskipun kecil kemungkinan untuk terjadi pertemuan yang tidak disengaja seperti saat di pusat perbelanjaan beberapa waktu lalu, kali ini suasananya berbeda karena mereka datang untuk menghadiri rapat tiga pihak, bukan untuk bersantai atau berbicara panjang lebar. Ibuku sendiri hanya mengambil cuti setengah hari, jadi dia harus segera kembali bekerja setelah urusan selesai.


Dari situ, aku jadi penasaran tentang jadwal rapat tiga pihak Nitta-san dan Nozomi. Karena jadwal kerja orang tua mereka yang tidak memungkinkan, mereka berdua harus mengatur waktu khusus di luar jadwal yang ditentukan untuk mengadakan rapat tersebut.


Setelah selesai berbicara dengan Umi lewat telepon, aku kembali memperhatikan penjelasan Yagisawa-sensei di depan kelas. Guru kami sedang menjelaskan tentang hasil survei pilihan karier yang kami kumpulkan sebelum ujian tengah semester. Ternyata, ada beberapa siswa yang mengalami masalah dalam mengisi formulir tersebut.


“Jadi, bagi yang namanya saya sebutkan, harap segera ke ruang guru setelah ini untuk mengambil formulirnya. Bagi yang mengisi secara sembarangan, diskusikan kembali dengan orang tua kalian sebelum mengembalikan formulir ini saat rapat tiga pihak nanti,” jelasnya.


Setelah memberikan sedikit penjelasan, Yagisawa-sensei mulai memanggil nama-nama siswa yang harus mengambil formulir. Sebagian besar dari mereka adalah siswa laki-laki yang nilai akademiknya rendah. Namun, yang membuatku terkejut adalah saat nama terakhir yang disebut adalah seorang siswi.


“Dan terakhir, Amami-san,” panggil Yagisawa-sensei.


“Ya, saya di sini,” jawab Amami-san sambil berdiri.


Seluruh perhatian kelas langsung tertuju padanya. 


Aku tahu bahwa sebelumnya Amami-san sempat berbicara dengan Yamashita-san dan Arae-san mengenai pilihan kariernya, jadi aku mengira dia sudah mengisi formulir dengan benar. 


Tapi, melihat ekspresinya yang seolah sudah menduga bahwa namanya akan dipanggil, aku mulai merasa ada sesuatu yang tidak biasa. Bahkan Yamashita-san dan Arae-san yang duduk di depan dan belakang Amami-san pun tampak terkejut dengan kejadian ini.


Tentu saja, aku juga merasa sama terkejutnya.


Setelah guru keluar dari kelas, Yamashita-san yang khawatir mendekati Amami-san yang tampak lesu.


“Yuu-chan, kamu baik-baik saja?”


“Eh? Ah, iya, aku baik-baik saja. Aku sebenarnya sudah mengisinya dengan benar, tapi mungkin terlihat seperti bercanda... hahaha,” jawab Amami-san sambil berusaha tertawa, meski terlihat jelas kalau ia sedang memaksakan diri.


Melihat tingkah Amami-san yang seperti itu, Arae-san, yang duduk tepat di belakangnya, mengernyitkan dahi. 


Meskipun dia tidak menunjukkan rasa khawatir seperti Yamashita-san, dari pandangan matanya jelas terlihat bahwa dia memikirkan keadaan Amami-san. Buktinya, dia terus menatap ke arahku dengan tatapan penuh arti. Aku hanya menggelengkan kepala, memberitahu bahwa aku juga tidak tahu apa yang terjadi.


“Yah, aku harus pergi ke ruang guru sekarang. Yama-chan, Nagisa-chan, sampai ketemu lagi,” kata Amami-san, mencoba mengakhiri pembicaraan dengan terburu-buru, lalu segera menuju pintu keluar kelas.


“Yuu-chan, tunggu sebentar...” 


Yamashita-san mencoba menahan Amami-san, mengulurkan tangannya. Namun, Arae-san yang berdiri di belakangnya dengan lembut menahan tangan Yamashita-san.


“Yamashita, biarkan dulu sekarang.”


“Tapi, Nagi-chan...”


“tidak apa-apa. Ayo kita pulang sekarang.”


“Ugh... baiklah.”


Arae-san menepuk pundak Yamashita-san dengan lembut, mengisyaratkan agar mereka segera pulang. Meskipun terlihat dingin di depan Amami-san, ketika orang-orang di sekitar sudah pergi, Arae-san menunjukkan sisi kepribadian yang lebih lembut dan dapat diandalkan, menjadi semacam pemimpin informal di kelas kami. Meski sebenarnya, kami tidak punya pemimpin yang resmi.


“Oi, Maehara,”


“Ada apa, Arae-san?”


“tidak, tidak ada apa-apa.”


Meskipun dia bilang “tidak ada apa-apa”, dari gerak tubuhnya jelas dia meminta bantuanku untuk mengurus Amami-san. Aku tidak keberatan menuruti permintaannya, tapi aku berharap dia bisa mengatakannya secara langsung. Namun, jika aku mengatakan itu, dia pasti akan memelototiku, jadi aku hanya mengangguk pelan sebagai tanda bahwa aku mengerti.


“Osu, Maki~ Aku sudah selesai. Ayo pulang bersama... eh, kenapa di sini ada kamu juga, Arae-san?” Umi tiba-tiba muncul, terlihat terkejut melihat Arae-san di depannya.


“Astaga, ternyata Asanagi Umi.”


“Kamu sendiri kenapa di sini, Arae Nagisa?”


Kebetulan, Umi yang datang untuk menjemputku setelah jam pelajaran bertemu langsung dengan Arae-san. Semua orang di kelas tahu kalau mereka berdua sering cekcok, jadi suasana di sekitar kami menjadi tegang, termasuk aku dan Yamashita-san. Tapi kali ini, sepertinya Arae-san tidak tertarik untuk melanjutkan perselisihan, mungkin karena masih memikirkan keadaan Amami-san.


“Maaf, aku mau lewat. Kamu bisa minggir sedikit?” pinta Arae-san dengan nada datar.


“Oh, ya. Silahkan lewat...”


“Terima kasih. Yamashita, ayo kita pulang sekarang.”


“Baiklah. Sampai jumpa, Maehara-kun. Tolong jaga Yuu-chan ya.”


“Iya, aku akan cek ke ruang guru nanti.”


“Terima kasih. Sampai besok, ya.”


Setelah Arae-san dan Yamashita-san pergi, Umi melihat mereka dengan bingung, lalu menoleh padaku.


“Apa yang sebenarnya terjadi, Maki?”


“Kita bicara sambil jalan saja. Aku jelasin di jalan,” kataku sambil mengajaknya keluar kelas. 


Aku dan Umi tidak menuju ke pintu keluar, melainkan ke ruang guru, tempat di mana Amami-san mungkin berada. 


Sambil berjalan, aku menceritakan kejadian yang baru saja terjadi pada Umi.


“Kenapa Yuu bisa seperti itu? Kamu tidak tahu apa-apa soal ini, Maki?”


“tidak, aku juga tidak tahu apa yang terjadi. Aku bahkan baru tahu tadi dari Yamashita-san dan Arae-san. Apa kamu punya firasat tentang hal ini?”


“tidak juga. Akhir-akhir ini Yuu makin tertutup, bahkan pada teman-teman dekat seperti Sanae atau Manaka. Aku juga sudah coba menghubunginya beberapa kali, bahkan pernah mengadakan pertemuan kecil dengan teman lama kami, tapi Yuu kelihatan tidak terlalu menikmati seperti dulu.”


Padahal awalnya hanya ada masalah antara Yuu dan Nitta-san, tapi semakin lama semakin banyak keretakan yang muncul di antara mereka.


“Jadi, kamu mau menjemput Yuu ke ruang guru, tapi apa kamu tahu harus bilang apa nanti? Aku juga bingung harus bicara apa.”


“Kamu bisa ngomong apa yang ingin kamu sampaikan. Kalau kamu merasa frustrasi, sampaikan saja. Kalau kamu marah, tak masalah untuk marah.”


“Begitu ya? Tapi kalau nanti malah jadi bertengkar?”


“Kalau terjadi pertengkaran, ya biarkan saja. Ruang guru kan dekat dengan ruang OSIS. Kita bisa minta Nakamu-san atau Takizawa-kun untuk mengosongkan ruangan jika diperlukan.”


“Benar juga. Situasi seperti ini pernah terjadi beberapa kali, ya,” ujar Umi dengan senyum tipis, mengingat kejadian-kejadian serupa di masa lalu.


Aku tidak mengatakan bahwa bertengkar itu adalah hal yang baik, tetapi tidak diragukan lagi bahwa ada kalanya hanya dengan bersikap terlalu berhati-hati tidak akan menyelesaikan apa pun. 


Jika masalah ini semakin melibatkan Umi, hubungan di antara lima orang ini bisa semakin berantakan. Namun, jika hanya diam saja dan mengawasi, hasil akhirnya kemungkinan besar akan sama. Mungkin sudah saatnya untuk mengambil tindakan.


“Umi, mau kugenggam tanganmu?” 


“tidak, tidak perlu. Cukup kamu jaga aku dari belakang saja.”


Saat kami mendekati ruang guru, Amami-san kebetulan baru saja keluar setelah urusannya selesai. Dengan suara yang sangat pelan dan lemah, dia berkata, “Permisi,” sambil membungkukkan kepala sedikit.


“Yuu...” 


“Umi, dan Maki-kun juga...” 


“Amami-san, kami datang menjemputmu. Ayo pulang bersama-sama.” 


“……”


Biasanya, Amami-san akan menjawab dengan ceria, “Ya, ayo pulang!” tetapi kali ini dia hanya menundukkan kepala, menghindari pandangan kami.


“Maaf, hari ini aku ingin pulang sendiri.”


Akhirnya, setelah susah payah mengeluarkan kata-kata tersebut, Amami-san mencoba melewati kami. Namun, kami tidak setega itu untuk membiarkannya pergi begitu saja.


“Nee, Yuu.” 


“……” 


“Kita kan sahabat, bukan? Atau hanya aku yang menganggapmu seperti itu?” 


“……” 


“Ingat tidak? Tahun lalu, kamu yang bilang padaku untuk tidak lagi melakukan hal seperti ini. Kamu bilang, mari kita berdamai. Kamu ingat? Apa itu hanya kebohongan?” 


“aku tidak bohong... tapi...” 


“Kalau begitu, tolong jelaskan. Aku tidak memintamu untuk menceritakannya kepada semua orang. Cukup ceritakan padaku... Atau jika kamu merasa sulit bercerita padaku, ceritakan pada Maki, Sanae, atau Manaka. Siapa saja. Aku ingin mendengar langsung dari mulutmu, bukan dari mulut Nina.” 


“Umi...” 


“Aku mohon, Yuu.” 


“……”


Amami-san sempat menatap ke arah kami sejenak, namun kemudian segera menunduk kembali, sambil menggelengkan kepala.


“Maaf. Aku senang kalian khawatir padaku, tapi... aku tidak bisa memberitahukan ini. Aku tidak mau mengatakannya.” 


“Yuu...”


Ucapan yang dulu membuat jarak antara Umi dan Amami-san pada musim gugur tahun lalu, kini terucap dari mulut Amami-san.


“Jadi, maaf. Hari ini biarkan aku pulang sendiri. Beri aku sedikit waktu lagi. Hanya sebentar lagi, aku pasti bisa kembali seperti biasanya. Aku akan berusaha.” 


“Amami-san...” 


“Kalau begitu, sampai jumpa kalian berdua.”


Setelah menolak uluran tangan kami, Amami-san akhirnya benar-benar pergi dari hadapan kami. 


Setelah mengucapkan, “Sampai jumpa,” sepertinya dia sempat menggumamkan sesuatu, namun suara itu tertelan oleh keramaian sekitar dan suara bel, sehingga aku maupun Umi tidak bisa mendengarnya.


“Katanya ‘tunggu sebentar lagi’, tapi... apakah benar semuanya akan selesai hanya dengan menunggu? Apa kamu benar-benar yakin akan hal itu?” 


“Umi...” 


“Maki, karena tes nya sudah selesai, bagaimana kalau kita ke arcade atau karaoke? Aku ingin bersenang-senang, agar merasa lebih baik.” 


“Tentu, aku akan menemanimu selama yang kamu mau.” 


“…Ya.”


Dengan kata “terima kasih,” Umi menggenggam tanganku erat. Sepertinya masalah dengan Amami-san sangat membebani pikiran Umi, tapi di sini aku harus berusaha mendukungnya. 


Tidak seperti tahun lalu, kali ini Umi memiliki aku di sisinya. Aku akan berada di sampingnya, memeluknya saat dia merasa sedih, dan meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Musim dingin tahun lalu, Umi banyak membantuku (bahkan hingga sekarang kadang-kadang). Maka, sekarang giliranku untuk melakukan hal yang sama untuknya. Itu cukup untuk Umi saat ini.


Namun, bagaimana dengan Amami-san?


Selain kami, Amami-san juga memiliki banyak teman. Di kelas kami, ada Yamashita-san dan Arae-san, serta teman-teman sekelas lainnya. Di luar sekolah, ada Nitori-san dan Houjou-san. Dan tentu saja, orang tuanya yang tampaknya akan mendengarkan dengan baik setiap keluh kesahnya.


Namun, Amami-san menolak semuanya dan berusaha menanggung segalanya sendirian. Karena Amami-san mudah menunjukkan perasaan melalui sikap dan ekspresinya, hampir semua orang pasti sudah menyadari ada yang berbeda dari dirinya. Dan mereka semua khawatir. Jika ada masalah, mereka ingin sedikit memberi semangat atau membantu mengatasi masalahnya. 


Terkadang, berkat keceriaan Amami-san yang terlalu terang, semua orang pasti pernah merasa terbantu olehnya. Namun, meskipun begitu, dia sendiri tidak menginginkan bantuan.


Apakah benar-benar tidak ada yang bisa kulakukan?


◆   ✧ ₊ ✦ ₊ ✧   ◆


Saat aku berjalan pulang bersama Umi, aku memikirkan ucapan Amami-san sesaat sebelum dia pergi. Meski aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas, aku bisa menebak sedikit dari gerakan bibirnya. ...Aku ingat pernah mendengar kata-kata yang hampir sama dari orang yang berbeda tahun lalu.


── Maaf, Umi. Aku orang yang jahat.


Ternyata, untuk mengetahui perasaan sebenarnya dari dirinya, masih ada banyak halangan yang harus dilalui.


Hubungan dengan Nitta-san, survei jalur karir, dan bahkan hubungan dengan Umi yang kembali retak── dengan berbagai masalah terkait Amami-san yang belum terselesaikan, akhirnya kami sampai pada hari konsultasi tiga pihak.


Pada pagi hari, ada pelajaran biasa, namun setelah itu, karena pengaruh dari konsultasi tiga pihak, beberapa kegiatan ekstrakurikuler juga dibatalkan. 


Suasana di dalam sekolah menjadi hening seperti saat liburan, namun ada ketegangan tertentu karena akan membahas topik-topik sensitif tentang masa depan masing-masing siswa, menciptakan suasana yang unik.


Saat di SMP, kami juga pernah mengikuti konsultasi tiga pihak, namun berbeda dengan yang fokus pada masuk SMA, kali ini akan ada diskusi mengenai kemungkinan melanjutkan ke dunia kerja, jadi Yagisawa-sensei yang akan menemui orang tua pun mengenakan jas yang jarang dia pakai, terlihat sering melihat jam tangannya.


“Amami-san, aku akan menunggu di dalam kelas terlebih dahulu. Begitu orang tuamu datang, masuklah bersama mereka. Setelah pertemuan selesai, tolong beri petunjuk untuk Maehara-kun yang berikutnya.” 


“Y-Ya...”


Kemudian, hanya aku dan Amami-san yang tersisa di luar ruang kelas. Umi juga sempat tinggal sebentar, namun karena ada perintah untuk tidak menunggu lebih dari 30 menit sebelum jadwal dimulai, Umi kembali ke rumah terlebih dahulu dan akan kembali dengan mobil bersama Sora-san.


Setelah selesai dengan pertemuannya, aku akan pulang bersama mereka dan makan malam bersama (rencananya).


“…………” 


“…………”


Kami duduk di kursi yang ada di depan ruang kelas, menunggu kedatangan orang tua kami masing-masing, namun tidak ada percakapan di antara kami. 


Meskipun sebelumnya kami pernah berada dalam situasi hanya berdua, kami hanya sedikit berbicara, namun kali ini suasana sangat canggung karena situasinya sudah berbeda.


“Anu, Amami-san?” 


“…A-apa?” 


“Eri-san belum datang ya?” “Iya, memang. Biasanya dia sudah datang lebih awal, mungkin terjebak macet.” “Ah, bisa jadi.” 


“…………”


Sudah lama rasanya aku berharap seseorang datang dalam situasi seperti ini. Karena kami berdua sulit untuk melarikan diri dari situasi ini, mungkin ini saat yang tepat untuk bertanya tentang banyak hal yang terjadi, namun aku merasa sulit untuk memulai percakapan, karena aku tidak yakin apakah aku seharusnya melakukannya sendirian.


“…Maki-kun, tidak mau bertanya?” 


“Eh?” 


“Survei jalur karir. ...Tentang itu, maksudku.” 


“…Bolehkah aku bertanya?” 


“Karena pada akhirnya, pasti akan ketahuan juga. ...Mama kalau sedang memberi nasihat, suaranya sering dibesar-besarkan.” 


“Ah, begitu ya...”


Karena Amami-san yang mengungkapkan hal itu, kemungkinan besar pertemuannya akan memakan waktu lebih lama. Sepertinya aku harus memberitahukan sedikit dengan hati-hati kepada ibunya yang akan datang setelah ini.


“Kenapa kamu tidak mengisi formulir survei itu?” 


“…Hehe.” 


“tidak sama sekali?” 


“…Iya. Meskipun kalau menulis sembarangan untuk sekolah tinggi atau universitas yang sesuai dengan kemampuanku sekarang bisa, tapi aku tidak suka begitu. Aku hanya ingin menulis ‘tidak ada pilihan’ saja.” 


“Begitu ya...”


Amami-san yang jujur dan canggung memang sangat mencerminkan dirinya, tetapi meskipun begitu, bahkan Yagisawa-sensei pun tidak akan cukup lunak untuk menerima “tidak ada pilihan” begitu saja. 


Mengapa dia hanya bisa menulis “tidak ada pilihan”? 


Mungkin sekarang aku bisa bertanya mengenai alasan itu, tapi sepertinya itu akan menjadi cerita lain lagi.


Terlihat dengan jelas Eri-san yang melangkah cepat di sepanjang koridor, rambut panjangnya yang berwarna coklat keemasan bergoyang-goyang. 


...Dan entah mengapa, kali ini dia berjalan dengan ibuku.


“Ah! Mama, kita hampir terlambat!” 


“Maaf, Yuu, sebenarnya aku sudah tiba lebih awal di parkiran, tapi kebetulan bertemu dengan Masaki-san dan kami jadi terlibat obrolan panjang. Benar, kan?” 


“Ya, benar. Kami berbicara tentang masa lalu… pokoknya, maafkan kami kalau mengganggu.” 


“Masa lalu…? Ya, pokoknya kita sudah kehabisan waktu, kita harus masuk sekarang. Gurunya sedang menunggu.” 


“Benar. Maki-kun, Masaki-san, sampai nanti.”


Dengan suasana yang agak terburu-buru, Amami-san dan ibunya masuk ke ruang kelas tempat Yagisawa-sensei menunggu. Tepat pada waktu yang dijadwalkan, pertemuan tiga pihak pertama dimulai.


“Nah, Maki. Lama tidak bersama seperti ini, berduaan dengan ibu di sekolah, ya?” 


“Sejak SMP ya… Ngomong-ngomong, kelihatannya kalian berdua sangat asyik mengobrol tadi. Kalian ngobrol tentang apa sih?” 


“Seperti yang aku bilang tadi, tentang masa lalu. Tepatnya, masa sebelum Eri-san menikah.” 


“Ah… Benar, Eri-san dulu kan sempat jadi selebriti, ya?” 


“Betul. Waktu kita ketemu di outlet mall beberapa waktu lalu, aku merasa seperti pernah melihatnya di suatu tempat. Jadi, aku sempat memeriksa beberapa arsip di ruang data perusahaan. Lihat ini.” 


“…Benar, ini Eri-san, ya?”


Ibu mengeluarkan sebuah majalah fashion dari tasnya. Di sampul majalah itu, jelas terlihat Eri-san. 


Sepertinya nama “Eri” adalah nama panggung yang digunakan dulu, dan wajahnya, meskipun warna rambutnya berbeda, sangat mirip dengan Amami-san, anaknya.


“…Dia cantik, ya. Cantik dan terlihat keren.” 


“Betul. Aku juga pikir begitu. Tapi dia bilang, ‘Ada banyak orang yang lebih cantik dari ini kok,’ dan merendah.” 


Mungkin karena aku merasa sedikit bias sebagai keluarga, tapi jika dibandingkan dengan para selebriti dan model yang aktif di televisi atau media lainnya saat ini, Eri-san di sampul majalah itu tampak begitu bersinar.


Namun, menurut cerita ibu, karier Eri-san tidak selalu berjalan mulus. 


Setelah bertemu dengan Hayato-san, ayah dari Amami-san, Eri-san memutuskan untuk pensiun dari dunia model dan selebriti. 


Dengan kata lain, mungkin ketika Eri-san bertemu dengan ibu yang baru saja mengetahui (atau menyelidiki) tentang masa lalunya, dia merasa senang dan sedikit terbawa suasana.


Eri-san mungkin juga bisa memahami perasaan Amami-san yang kini kesulitan membayangkan masa depannya, karena dia pun pasti pernah melalui banyak pergulatan batin di masa muda.


‘......’ 


‘────’ 


‘…………’


Aku tidak bisa mendengar dengan jelas, namun di balik pintu, seperti apa ya kira-kira percakapan mereka bertiga? Sudah sekitar sepuluh menit sejak pertemuan tiga pihak Amami-san dimulai, dan sejauh ini suasananya sangat tenang. tidak ada tanda-tanda seperti apa yang dikhawatirkan oleh Amami-san sebelumnya, seperti nasihat atau ceramah panjang.


Nilai ujian tengah semester Amami-san juga tidak terlalu buruk (aku tanya langsung padanya), jadi sepertinya kekhawatiran Amami-san itu hanya berlebihan saja.


Namun, sebelum memikirkan kekhawatiran Amami-san, aku harus mulai khawatir tentang diriku sendiri.


“Maki, aku hanya ingin memastikan, kamu benar-benar hanya fokus ke K University, kan? tidak ada cadangan universitas lain?” 


“Ya. Kalau kuliah di universitas yang berbeda dengan Umi, rasanya tidak ada gunanya.” 


Meskipun jika aku menurunkan sedikit stabdar ku dan memilih universitas negeri atau swasta yang terkenal, masih banyak pilihan yang tersisa. 


Tentu saja, dalam pertemuan mendatang, Yagisawa-sensei akan menawarkan saran seperti “Bagaimana kalau mencoba universitas lain?” Dan aku juga paham bahwa, berdasarkan profesi yang ingin aku geluti (atau yang menarik minatku), tidak perlu terlalu berfokus pada K University yang merupakan universitas negeri dengan tingkat kesulitan tinggi.


Namun, kami juga, dengan cara kami sendiri, memiliki alasan untuk tetap berpegang pada K University.


“Anu, Ibu.”


“Ada apa? Kenapa wajahmu serius sekali?”


“Sebenarnya aku selalu merasa cukup serius, tapi… itu urusan lain. Begini, kalau aku berhasil diterima langsung ke K University, ada satu hal yang ingin aku minta—”


“tidak boleh.”


“Hah... aku belum mengatakan apapun!”


“Karena aku sudah tahu persis apa yang sedang kamu pikirkan… kan? Eh, Sora-san, kamu juga setuju, kan?”


“Hah? Sora-san?”


Ibu menggerakkan bibirnya dengan cepat, sambil menunjuk ke belakangku. Aku pun menoleh, dan


“─Halo, Maki-kun. Sepertinya kalian sedang membicarakan sesuatu yang menarik?”


“...Dasar Maki, bodoh.”


Sora-san tersenyum lebar dan melambaikan tangan padaku, sementara di sampingnya, Umi terlihat memerah dan mengalihkan pandangannya.


“Eh… kalian berdua sejak kapan ada di sini?”


“Hehe, baru saja kok. Jadi? Kalau kamu diterima di K University, apa yang ingin kalian minta pada kami berdua?”


“Ah… em, begini...”


Awalnya, aku hanya ingin memberitahu Ibu dengan lembut tentang niatku, tetapi kini situasinya menjadi berbeda. 


Ini ada kaitannya dengan kehidupan kami ke depannya nanti, jadi setidaknya aku berencana untuk memberitahunya sebelum akhir tahun, dan aku sudah berdiskusi dengan Umi tentang ini… 


Namun, rasanya tempat dan waktu seperti ini tidak tepat untuk membicarakannya.



…Selain itu, sepertinya Ibu sudah bisa membaca pikiranku dengan sangat baik.


“…Untuk sementara, aku akan ceritakan semuanya saat makan malam nanti.”


“Baiklah. Umi, apakah kamu setuju?”


“...Ya, aku hanya mengikuti Maki saja.”


Jawaban Umi sudah cukup jelas, tapi masalah seperti ini tidak boleh setengah-setengah. 


Meskipun rencana ini maju lebih cepat dari yang diharapkan, mungkin lebih baik untuk mengungkapkannya sementara Ibu masih mendengarkan kami.


Seperti saat perjalanan sebelumnya, kami tidak berharap permintaan kami langsung dikabulkan. 


Setelah itu, kami akan menunggu giliran kami dengan tenang tanpa mengganggu pertemuan tiga pihak yang sedang berlangsung.


Sekitar tiga puluh menit sudah berlalu sejak pertemuan tiga pihak Amami-san dimulai—seharusnya sudah waktunya giliran kami.


“...Eri-san dan yang lainnya sepertinya agak terlambat, ya.”


“Benar, sepertinya mereka agak lama.”


Sudah lebih dari satu menit, dua menit—Ibu pasti tahu bahwa terkadang pertemuan bisa sedikit terlambat tergantung pada isinya, tapi ini mungkin juga kebiasaan profesionalnya.


Sementara itu, pertemuan untuk kelas sebelah, yang semua siswanya berprestasi tinggi, berjalan lancar tanpa hambatan.


“──Asanagi-san, silahkan masuk.”


“Ah, iya… Ibu, tidak apa-apa kalau kita masuk lebih awal?”


“Ya, tapi sebelum itu, aku perlu ke toilet sebentar...”


Seharusnya aku yang pertama, tetapi mungkin karena pertemuan sebelumnya selesai lebih cepat, giliran Umi untuk masuk dulu.


Melihat Ibu yang mulai sering menatap jam tangannya, sepertinya ia juga mulai merasa cemas tentang waktu.


──Ah, Yuu! Tunggu!


──Amami-san!


Begitu suara Eri-san dan Yagisawa-sensei terdengar di ruang kelas, pintu terbuka dengan keras, dan Amami-san keluar dengan cepat, tanpa menunggu mereka berdua berhenti, ia pun berlari menuju suatu tempat.


…Sepertinya mereka berkata sesuatu yang sangat keras tentang masa depan, yang membuat Amami-san merasa sangat tertekan. 


Meskipun ia sudah mempersiapkan dirinya setelah kesulitan menulis formulir survei masa depan, mungkin karena situasi khusus di ruang kelas yang luas, ia merasa semakin terbebani oleh situasi itu.


Karena ini terjadi begitu mendadak, aku tidak bisa sepenuhnya memahami situasinya, tapi aku merasa tidak baik membiarkan dia pergi sendirian.


“Amami-san!”


“Yuu!”


“…!”

Aku merasa seperti langkah Amami-san sempat mengarah ke sini sejenak setelah mendengar suara kami, tapi sepertinya dia berubah pikiran dan berbalik, melangkah menjauh.


“…Maaf, aku butuh waktu untuk menenangkan diri.”


Setelah mengatakan itu, ia meninggalkan kami dan berlari dengan sangat cepat.


“Dasar bodoh… Maki, apa yang harus kita lakukan? Aku ingin mengejarnya, tapi kita masih ada pertemuan tiga pihak…”


Biasanya, kami pasti akan langsung mengejarnya, tapi kali ini, karena sudah ada jadwal yang harus kami ikuti, kami terpaksa menunggu giliran.


Dengan waktu yang semakin mendekati, aku harusnya segera dipanggil, dan aku rasa, bagi gurunya juga tidak ingin pertemuan ini diundur lebih jauh dari jadwal.


Memikirkan kenyamanan orang lain, mungkin sebaiknya kami menunda urusan dengan Amami-san dan mencari dia setelah pertemuan ini selesai… tapi, apakah itu benar-benar keputusan yang tepat?


Apakah kita bisa membiarkan Amami-san mendinginkan kepalanya sendirian begitu saja?


“…Ibu, bisa mengobrol sebentar dengan Yagisawa-sensei? Aku akan segera kembali.”


“Hah? Maksudnya, Maehara-kun? Lalu, apa fungsi dari pertemuan tiga pihak ini?”


“Tenang saja, saya akan kembali dalam sekitar lima belas menit.”


Meski seharusnya tidak boleh ada perubahan dari pertemuan tiga pihak menjadi hanya dua pihak, aku merasa tidak enak membiarkan Amami-san begitu saja.


…Seperti saat itu, dengan Umi tahun lalu.


“Maki, kalau begitu aku juga──”


“tidak, Umi. Kamu lanjutkan pertemuanmu dulu. Setelah itu, kamu bisa menyusulku, aku akan mencari Amami-san dan memberitahumu.”


“Baiklah, aku akan selesai dalam lima menit.”


Ibu dan Sora-san yang mendengarkan kami hanya bisa memberikan ekspresi terkejut, tetapi mereka tidak berkata apa-apa, jadi aku anggap ini sebagai izin.


Mungkin akan ada ceramah nantinya, tapi itu setelah aku menyelesaikan urusanku dengan Amami-san.


“Anu, Eri-san, maaf, tapi tolong tunggu di sini dulu.”


“…Maki-kun, maaf ya sudah membuat kalian terlibat dalam urusan keluarga.”


“tidak apa-apa, karena kami adalah teman. …Ibu, sampaikan saja apa yang tadi kamu katakan kepada gurunya.”


“Aku mengerti, tapi pastikan kamu kembali tepat waktu ya.”


“Ya, aku janji. Umi, aku pergi dulu ya.”


“Selamat jalan. Aku serahkan sahabatku padamu.”


Setelah mendapat dorongan dari Ibu dan Umi, aku segera berlari kecil ke dalam gedung untuk mencari Amami-san, yang sepertinya telah pergi entah ke mana.


Memang sulit mencari satu orang di gedung yang sebesar ini, tapi Amami-san mudah dikenali, jadi itu tidak akan menjadi masalah.


…Selain itu, aku juga sudah memiliki beberapa tempat yang kira-kira akan ia tuju.


“Karena kelas satu dan tiga masih sedang belajar, dia pasti tidak ada di lantai ini... Tempat yang tidak banyak orang dan bisa membuatnya menyendiri... mungkin...”


Aku mulai memeriksa beberapa tempat yang biasanya Amami-san kunjungi.


Tempat pertama yang terlintas di pikiranku adalah ruang penyimpanan yang biasa kami pakai saat makan siang bersama lima orang, atau mungkin ruang OSIS yang sering ia gunakan akhir-akhir ini.


Meskipun di ruang OSIS ada Nakamura-san, yang berarti Amami-san tidak akan benar-benar sendirian, dia mungkin bisa menyendiri di sudut ruangan untuk menenangkan diri.


Aku mulai berkeliling mencari Amami-san, dan akhirnya tiba di depan ruang OSIS.


“…Nakamura-san, ini Maehara.”


“Hm! Oh, selamat datang. Setelah Amami-chan dan sekarang kamu, hari ini banyak tamu ya.”


“Amami-san ke ruang OSIS, ya?”


“Eh? Iya, dia bilang ingin ke atap dan memohon kepadaku untuk memberikan kunci. Aku bilang kalau kami di OSIS sudah membuka kunci atap untuk bersih-bersih, jadi dia bisa pergi kapan saja.”


“Begitu… Terima kasih banyak atas informasinya.”


“Oh, ya, tidak masalah.”


Aku sebelumnya sudah mengesampingkan atap sebagai tempat tujuan karena biasanya terkunci, tapi untuk menenangkan diri di tempat yang terbuka dengan angin yang segar mungkin itu pilihan yang tepat.


Setelah menyelesaikan urusannya, aku memberitahukan Nakamura-san untuk memberiku waktu dan segera bergegas menuju atap. 


Sepertinya sudah cukup lama sejak terakhir kali aku ke sana, waktu festival budaya tahun lalu.


Saat itu, aku hanya bersama Umi. Rasanya sedikit lebih dingin dibandingkan sekarang, dan kami berdua saling menggenggam tangan untuk menghangatkan diri... sebuah kenangan yang tak terlupakan.


Begitu pintu atap terbuka, aku melihat Amami-san berdiri sendirian di tengah-tengah atap sekolah.


“…Amami-san.”


“Eh! Maki-kun…”


“Aku mengkhawatirkanmu, jadi aku mengejarmu. …Maaf, aku memang suka ikut campur.”


“tidak apa-apa, aku sudah tahu kamu memang seperti itu.”


“Aku tidak merasa tersinggung… Anu, bisa kita bicara sebentar?”


“…Iya.”


Karena sudah berjanji untuk kembali dalam lima belas menit, waktu yang tersisa hanya sekitar lima menit lagi, tetapi… ya, mungkin tambahan lima menit lagi masih bisa dimaklumi.


Aku mengirim pesan kepada Umi, memberitahunya bahwa aku menemukan Amami-san di atap sekolah, dan kemudian mendekati Amami-san yang sedang berdiri di dekatku.


“Maaf,kalau tiba-tiba menanyakan hal seperti ini… tapi, bagaimana pertemuan tiga pihaknya?”


“Maki-kun, kamu tanya itu ya? …Itu benar-benar buruk. Aku dimarahi habis-habisan oleh sensei dan ibuku. Yah, semua itu memang kesalahanku, jadi aku tidak bisa mengatakan apa-apa, ahaha.”


Amami-san tertawa kecil dengan ekspresi yang tampak sedih, lalu menundukkan bahunya dengan lesu.


Waktu pertemuannya hanya tiga puluh menit, tapi baginya, setiap menit dan detik itu pasti terasa panjang dan menyakitkan.


“…Aku tidak bisa menulis apapun. Tentu saja aku sudah mencoba berpikir, dan aku juga berkonsultasi dengan mama dan yang lain. Tapi… sampai saat ini, aku masih tidak tahu.”


“…tidak tahu apa yang ingin dilakukan?”


“…………”


Amami-san menundukkan kepala dan hanya menggelengkan kepala perlahan.


Aku berpikir bahwa mungkin dia tidak bisa membayangkan jalan hidupnya sebagai orang dewasa, tapi tampaknya bukan itu masalahnya.


Setelah berpikir sebentar, aku memutuskan untuk mengubah pertanyaanku.


“Amami-san, tidak perlu bicara, tapi bolehkah kamu hanya mengangguk atau menggelengkan kepala?”


“……”


Amami-san mengangguk pelan.


“Jadi, bukan berarti kamu tidak punya keinginan sama sekali?”


Dia mengangguk.


“Kalau begitu, adakah sesuatu yang ingin kamu coba, atau pekerjaan yang menarik minatmu?”


Dia mengangguk.


“Tapi, adakah alasan pribadi yang membuatmu tidak bisa menuliskannya?”


Dia mengangguk lagi.


“Apakah itu karena nilai-nilai buruk atau semacamnya?”


…Dia menggelengkan kepala.


“Apakah itu disebabkan oleh hal-hal selain survei jalur pendidikan?”


………Dia mengangguk.


Ada sedikit jeda sebelum dia mengangguk, tapi aku merasa lega karena akhirnya dia menjawab dengan jujur.


“Jadi, saat ini masalahmu bukan soal rencana masa depan atau jalur pendidikan, ya?”


Dia mengangguk.


“…Terima kasih sudah menjawab pertanyaanku.”


Dia menggelengkan kepala.


“Jangan merasa harus mengikuti instruksi lagi.”


“Eh, aku pikir aku masih harus melanjutkannya… Maki-kun, kamu jahat.”


Meskipun dia masih menundukkan kepala, aku bisa melihat ekspresi cemberut di wajahnya, yang menunjukkan bahwa perlahan suasana hatinya mulai membaik.


“…Aku sudah tahu dengan jelas perasaanku. Apa yang benar-benar ingin aku lakukan, bagaimana aku ingin semuanya berjalan…”


“…Apakah itu juga yang dikatakan oleh Nitta-san?”


“Ya. …Aku sering bertengkar dengan Nina-chan tentang hal ini.”


Ternyata, semua ini saling berhubungan dengan satu sama lain.


Nitta-san pasti sudah menyadari lebih cepat tentang “perasaan sebenarnya” Amami-san,


Dan memberi nasihat, “Jika kamu punya masalah, sebaiknya katakan dengan jujur.”


Amami-san juga sepertinya sudah mengerti itu dalam pikirannya.


Namun, ada alasan tertentu dalam diri Amami-san yang tidak bisa dia lepaskan. Selama perasaan itu belum terselesaikan, dia tidak bisa melangkah maju… meskipun ini hanya dugaan samar-samar, sepertinya begitulah.


“Aku juga tidak suka keadaan seperti ini. Aku ingin pergi ke sekolah bersama Nina-chan lagi, makan siang bersama, bermain setelah sekolah… tentu saja, bersama teman-teman yang lain juga.”


“…Tapi, sekarang kamu masih tidak bisa mengatakan apapun?”


“Ya.”


“Meski kamu sudah tahu perasaanmu?”


“…Ya.”


Amami-san sangat keras kepala, tapi itu hanya menunjukkan bahwa tekadnya sangat kuat.


Dari anggukan kepalanya yang lebih dalam dan pasti, aku bisa merasakannya.


“Terima kasih sudah mengkhawatirkanku, Maki-kun. …Tapi, aku minta maaf.”


“Jadi, kamu belum bisa mengatakannya?”


“Ya. Aku merasa bersalah pada yang lain, tapi… aku sudah memutuskan.”


“Aku mengerti. Jadi, aku tidak akan bertanya lagi.”


“…Eh?”


Amami-san tampaknya terkejut karena aku mundur begitu saja, mulutnya sedikit terbuka setengah dan matanya berkedip-kedip beberapa kali.


“Eh, eh... serius?”


“Ya. Aku akan sabar menunggu sampai Amami-san bisa mencerna perasaanmu dengan caramu sendiri dan memberitahukan kepada kami. Tentu saja, itu hanya keputusan dari diriku saja, jadi aku tidak akan memaksakan hal ini kepada Umi atau Nitta-san. Itu urusan masing-masing.”


Jika niat Amami-san sudah bulat, maka aku rasa tidak ada yang bisa kulakukan. 


Lagi pula, yang perlu aku lakukan sekarang adalah mengajak Amami-san menuju tempat Eri-san, bukan menyelesaikan masalahnya.


Tentu saja, itu bukan berarti aku menyerah pada Amami-san, tapi kadang-kadang, tergantung pada situasinya, ada kalanya kita harus belajar untuk menyerah untuk sementara waktu.


“Kalau Maki-kun bilang begitu, aku bersyukur... Tapi, mungkin ini akan memakan waktu yang sangat lama, lho? Bisa jadi, sampai kita lulus SMA, aku akan tetap seperti ini...”


“tidak apa-apa, kan? Setelah lulus SMA pun, kita berlima tetap akan menjadi teman. Lagipula, Amami-san juga pasti punya niat untuk berdamai suatu saat nanti, bukan?”


“Ah, tentu saja! Meskipun kita berpisah setelah lulus, aku tetap ingin berteman dengan kalian semua!”


“Kalau begitu, itu sudah cukup. Selama Amami-san berpikir seperti itu, kami juga akan tetap menganggap Amami-san sebagai teman.”


Memang benar, semakin jarang kita bertemu, semakin kita akan menjadi jauh satu sama lain. Seiring berjalannya waktu dan perubahan hubungan antar individu, mungkin peringkat prioritas akan berubah. Teman dari masa sekolah, pada akhirnya, mungkin hanya seperti itu.


Namun, jika perasaan kita terhadap ‘teman’ tidak pudar, meskipun setelah lulus kita mengambil jalan yang berbeda-beda, selama kita tetap terhubung…


Dengan satu dorongan kecil, kita bisa kembali menjadi ‘teman’ kapan saja.


Setidaknya, itulah yang aku percayai.


“Begitu, ya... Bukankah itu egois? Berbohong pada perasaan sendiri, bertengkar dengan sahabat, merusak suasana... Dan tetap menginginkan untuk ‘tetap berteman’, itu sesuatu yang pengecut, kan—Aduh!”


“Ah, maaf, Amami-san, sakitkah? Aku rasa aku sudah berusaha pelan-pelan.”


“tidak, tidak apa-apa. Aku hanya sedikit terkejut... Maki-kun, barusan kamu menjentik dahiku?”


“Iya, ini jentikan khas Asanagi—karena sering dilakukan padaku, tubuhku jadi otomatis ingat caranya.”


Aku melakukan jentikan pada Amami-san dengan tujuan untuk menenangkan dirinya yang semakin terikat oleh rasa bersalah. Aku tahu aku belum bisa menahan kekuatan jentikan seperti yang dilakukan Umi, tetapi sepertinya cukup efektif untuk menenangkan Amami-san.


Ternyata, Amami-san juga keras kepala, dan meski aku hanya menjentiknya sedikit, jariku yang menyentuh dahinya masih terasa sakit.


“Tadi Amami-san bilang ‘berbohong pada perasaan sendiri...’, tapi menurutku itu sedikit keliru.”


“Keliru, ya? Kenapa Maki-kun berpikir begitu?”


“Karena, menurutku, kalau Amami-san berbohong pada perasaanmu, itu pasti ada alasan yang cukup jelas. ‘Perasaan sebenarnya’ itu bisa melukai kita atau orang lain—itu juga bagian dari ‘perasaan sebenarnya’, bukan? Bisa dibilang, itu adalah perasaan yang lain, atau lebih tepatnya. Mungkin aku tidak bisa menjelaskannya dengan baik.”


“Perasaan yang lain, perasaan sebenarnya...”


Aku percaya bahwa ‘perasaan sebenarnya’ tidak selalu satu. Itulah yang kupelajari, mungkin dari interaksiku dengan Umi dan Amami-san tahun lalu.


‘—Aku suka, tapi juga benci.’


Itulah kata-kata yang diungkapkan Umi kepada Amami-san, saat ia berusaha jujur pada perasaannya. Mereka telah bersama sejak lama, sudah seperti kakak-adik, namun tanpa disadari, Umi merasa rendah diri karena Amami-san yang berbakat dan bisa melakukan segalanya tanpa usaha.


Suka, tapi juga benci. Benci, tapi juga suka. Perasaan ini mirip dengan apa yang aku rasakan.


Perasaan diri sendiri itu penting, tapi perasaan orang lain juga penting.


Amami-san juga merasakannya, sama seperti Umi.


tidak pengecut, tidak rendahan, dan juga tidak istimewa.


Hanya seorang gadis yang baik hati dan lebih peduli pada orang lain daripada dirinya sendiri.


“Karena itu, aku ingin menunggu sampai Amami-san menemukan jawabannya sendiri. Apakah akan memprioritaskan ‘perasaan sebenarnya’ ataukah ‘perasaan lain’. …Jika keduanya bukan kebohongan, aku akan menghormati pilihan Amami-san.”


Sepertinya aku pernah mengatakan hal yang serupa kepada Umi, namun itu wajar mengingat keduanya sangat mirip.


Meskipun penampilan dan keahlian mereka berbeda, pada dasarnya keduanya memiliki hati yang sangat peduli terhadap teman... tidak, mereka terlalu baik hati, dan keduanya juga memiliki sifat pemalu dan cenderung kesepian.


“Untuk saat ini, begitulah dariku. ...Ada pertemuan yang harus kuhadiri, jadi aku harus kembali, tapi bagaimana denganmu, Amami-san? Ingin tetap tinggal di sini sebentar lagi?”


“…………”


Mungkin Amami-san hanya ingin sedikit waktu untuk berpikir sendirian. Tentu saja, itu tidak masalah. Amami-san bebas melakukan apapun yang ia inginkan.


“Baiklah, kalau begitu. Aku akan pergi dulu, jadi kalau sudah merasa cukup, hubungi Nakamura-san, ya──”


“──Maki-kun.”


“Eh? Ada apa, Amami-san?”


──Gyutt.


Saat aku menoleh mendengar suara Amami-san memanggilku, yang pertama kali masuk ke pandanganku adalah rambut pirang Amami-san yang indah, bergoyang lembut.


Aroma manis yang samar tercium, menyentuh indera penciumanku.


“……Eh?”


“Maafkan aku, Maki-kun. ...Sepertinya, aku benar-benar tidak bisa melakukannya.”



“Amami-san, eh, kalau bisa, tolong mundur sedikit... Aku akan sangat berterima kasih jika begitu...”


“Ya, tidak masalah. Aku mengerti dengan baik. Meskipun seperti ini, aku hanya akan membuatmu semakin kesulitan, tapi...”


Dengan kekuatan yang tiba-tiba, Amami-san memelukku, dan di telingaku, dengan suara yang lemah, ia berbisik.


“Tolong, aku mohon. Biarkan aku tetap seperti ini sedikit lebih lama.”


“Amami-san...”


Amami-san yang menyembunyikan wajahnya di dadaku dan bertingkah seperti sedang meminta perhatian, membuatku hanya bisa berdiri terpaku, tidak tahu harus berbuat apa.


 














Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !