Bab Selingan
Cinta Pertamaku
Pada awalnya, aku mengira dia adalah anak laki-laki yang sangat pemalu. Sama seperti aku.
Nama anak laki-laki itu adalah Maehara Maki. Sejak kelas satu, kami selalu sekelas, dan sekarang kami sudah menjadi teman dekat.
Mungkin dia tidak merasa begitu, tapi aku yakin demikian. Sama seperti Umi dan Nina, dia adalah salah satu dari teman-temanku yang sangat berharga.
Namun, aku merasa bersalah karena selama beberapa waktu setelah kami masuk sekolah, aku hampir tidak pernah memperhatikannya.
Meskipun dia adalah teman sekelasku, dia bukan tipe orang yang suka terlibat dalam acara kelas, dan setelah pelajaran selesai, dia selalu langsung pulang, sehingga sulit bagiku untuk menemukan kesempatan berbicara dengannya.
Kesempatan pertama kali aku bisa berbicara dengannya secara langsung datang sekitar enam bulan setelah kami masuk sekolah, tepatnya di bulan September.
Yang menciptakan kesempatan itu adalah sahabatku, Umi. Pertemuanku dengan Umi terjadi saat kami masih di sekolah dasar. Saat itu, aku merasa sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah dan sering merasa sendirian. Namun, Umi-lah yang pertama kali menyapaku, menjadi temanku, dan mengembalikan senyum yang telah lama hilang dari wajahku.
Umi adalah gadis yang cerdas, tegas, cantik, dan selalu bekerja keras. Aku sangat berterima kasih padanya. Kesempatan untuk berbicara dengan Maki terjadi ketika aku melihat Umi sedang ditaksir oleh seorang kakak kelas.
Aku tidak ingat jelas apa yang pertama kali kami bicarakan, tetapi yang pasti, aku langsung merasa bahwa Maki memiliki aura yang aneh, berbeda dari yang lain. Sejak kecil, aku selalu bersekolah di sekolah khusus perempuan, jadi aku jarang berinteraksi dengan anak laki-laki. Tapi Maki terasa berbeda. Dia sepertinya tidak begitu tertarik padaku, tidak seperti orang lain yang biasanya akan menunjukkan rasa ingin tahunya.
Aku sempat berpikir bahwa mungkin dia merasa terganggu karena aku sering ribut di kelas. Namun, setelah berbicara dengannya, ternyata tidak begitu. Meski dia tidak banyak bicara, aku bisa merasakan bahwa dia perhatian, baik kepadaku maupun kepada Nina yang kadang bersikap kasar.
Aku segera menyadari bahwa dia adalah orang yang baik hati. Oleh karena itu, selama dia tidak membenciku, aku berharap bisa menjadi temannya. Aku tahu dia sering merasa terasing di kelas, jadi aku ingin membantu, jika mungkin, seperti Umi yang dulu membantu diriku.
Namun, ketika aku terlalu bersemangat dan memberinya kontakku, aku menyadari itu mungkin berlebihan. Aku sempat menyesal dan Nina pun menegurku, mengatakan, “Itu terlalu berlebihan, kan?” Tapi, pada akhirnya, dia tidak pernah menghubungiku, dan masalah tidak pernah muncul.
Tentu saja, sekarang aku mengerti kenapa. Saat itu, ternyata dia sudah berteman dekat dengan Umi, sahabatku. Bantuan dariku tidak lagi diperlukan.
Sahabatku, Umi, selalu selangkah lebih maju dalam segala hal. Meskipun aku telah melepaskan kesempatan untuk menjadi yang pertama dalam hidup Maki, pada akhirnya, setelah festival budaya berakhir, aku juga berhasil menjadi temannya. Tapi, aku ingat, pada awalnya dia menyebutku sebagai “temannya teman.”
Teman dari teman. Bagi aku, itu sudah sama dengan “teman”, tapi baginya, aku mungkin hanya dianggap sebagai “sekadar kenalan.” Meskipun pada saat itu aku sempat merasa kesal, rasanya menyenangkan juga diperlakukan seperti itu—sesuatu yang baru dan segar.
Setelah beberapa waktu, tepatnya setelah kejadian di malam Natal, bersama Nina dan Nozomu, aku akhirnya diakui olehnya sebagai “teman berharga”. Sementara itu, sahabatku, Umi, berubah dari “teman” menjadi “seseorang yang tak tergantikan” di hatinya.
Aku bersumpah, aku tidak pernah merasa kecewa dengan perubahan itu. Justru, aku sangat bersyukur bahwa Maki selalu ada untuk mendukung sahabatku ketika dia terluka dan merasa kesepian, tanpa aku menyadarinya. Maki juga yang memperbaiki hubungan antara aku dan Umi ketika hubungan kami sempat merenggang.
Meskipun aku sempat merasa sedikit iri karena dia mengambil posisi “terpenting” dalam hidup Umi yang dulu menjadi milikku hanya dalam beberapa bulan, aku tidak pernah bisa membenci Maki. Aku berutang budi padanya.
Aku terus mendukung hubungan mereka, menyaksikan kebahagiaan mereka dari kejauhan, terkadang membantu secara aktif, dan merasa bahagia jika sahabatku bahagia.
Namun, ketika memasuki tahun kedua, segalanya mulai berubah...
Pandangan terhadapnya mulai berubah setelah kejadian di pertandingan kelas sesaat setelah kami naik ke kelas dua.
Sejak SD hingga sekarang, aku selalu satu kelas dengan sahabatku, Umi. Namun, untuk pertama kalinya, kami dipisahkan, dan aku harus lebih banyak berjuang sendiri.
Meskipun aku sudah mempersiapkan diri untuk berpisah kelas dengan Umi, ternyata sulit bagiku. Selama ini, aku banyak bergantung padanya, dan ketika masalah muncul, aku bertengkar dengan salah satu teman sekelasku. Meski sekarang kami sudah berteman baik, dulu setiap kali bertemu, suasananya sangat tegang hingga rasanya kami bisa bertengkar kapan saja.
Saat aku merasa mentalku rapuh, Maki, temanku, datang dan membantuku. Sebelumnya, aku sering merasa tidak berdaya tanpa bantuan sahabatku, namun Maki dengan sigap menjadi penengah setiap kali ada potensi konflik. Bahkan, saat pertandingan kelas, dia berteriak sekuat tenaga untuk menyemangati tim kami, meski biasanya dia bukan tipe orang yang bersuara keras.
Bukan hanya aku, teman-teman sekelas lainnya juga mulai melihatnya dalam sudut pandang baru. Dia tampak lebih andal dan menarik secara pribadi. Aku tahu semua itu mungkin dilakukan karena dia ingin menunjukkan sisi terbaiknya kepada kekasihnya, sahabatku.
Namun, meskipun begitu, aku merasa sangat bersyukur karena dia telah menyelamatkanku. Aku ingin membalas kebaikannya, setidaknya sedikit. Ketika aku mengajaknya ke acara karaoke yang kugagas untuk merayakan keberhasilan pertandingan kelas, dia bersedia ikut.
Saat pulang dari acara karaoke, karena sahabatku pergi ke kamar mandi, aku menawarkan diri untuk menjadi bantal bagi Maki yang terlihat kelelahan. Itu adalah caraku menunjukkan rasa terima kasih.
Tanpa kusadari, tindakan itu adalah kesalahan terbesar yang kulakukan saat itu.
Dug-dug...
Untuk pertama kalinya, aku melihat wajah tidurnya dari jarak dekat. Saat itu, hatiku berdebar kencang. Perasaan itu, hingga kini, masih terpatri dalam tubuhku. Sesuatu yang ingin kulupakan, tetapi tak bisa.
Aku tak tahu apa yang sebenarnya kurasakan kala itu. Ketika Nina tiba-tiba muncul dan melihat kejadian itu, aku terkejut dan merasa sangat malu. Setelah itu, aku cepat-cepat mencari alasan untuk pergi, tetapi tubuhku terus terasa panas selama beberapa waktu.
Aku pernah bertanya pada ibuku tentang perasaan ini, tetapi dia hanya mengelus kepalaku dengan lembut tanpa menjelaskan apapun. Mungkin, dia juga bingung harus menjawab apa. Aku harus meminta maaf padanya suatu saat nanti.
Sementara aku kebingungan dengan perasaanku, dua temanku semakin dekat satu sama lain. Dari perayaan ulang tahun, liburan, hingga musim panas—menurut Nina, meskipun hanya dugaan, hubungan mereka semakin dalam.
Sekarang, sahabatku telah melangkah jauh lebih maju. Dia sudah beberapa langkah di depanku. Tapi, aku senang melihat sahabatku bahagia. Melihat mereka bahagia bersama seolah membuatku merasa ikut kebagian kebahagiaan mereka.
Namun, bersamaan dengan itu, tanpa kusadari, ada rasa sakit yang menusuk di dada. Pada awalnya, aku berpikir itu karena kesedihan melihat mereka perlahan menjauh dariku. Aku takut setelah lulus dari sekolah, kami akan mengambil jalan yang berbeda, dan itu membuatku cemas.
Namun, bukan itu alasannya. Memang, berpisah dengan mereka membuatku sedih, tetapi pertemanan kami tidak akan berakhir hanya karena itu. Aku yakin, jika aku mengatakan bahwa aku merindukan mereka, mereka pasti akan datang menemuiku.
Dalam hati, aku tahu sejak awal. Meski aku tidak pernah memiliki pengalaman dalam cinta, aku punya gambaran. Seharusnya, aku bisa memahami perasaanku lebih cepat.
Namun, aku berpura-pura tidak menyadarinya. Aku menutup hati dan menghabiskan hari-hariku seolah-olah perasaan itu tidak ada.
Aku merasa harus melakukannya. Karena ketika aku sadar, anak laki-laki yang selalu ada di pusat pandanganku adalah kekasih dari sahabatku.
Meskipun aku tidak berpengalaman dalam hal cinta, aku tahu bahwa perasaan itu salah. Dua orang yang paling penting dan berharga bagiku adalah sahabat dan temanku, dan aku sangat berharap mereka selalu bahagia bersama. Tetapi di sisi lain, aku tidak bisa berhenti memikirkan dia.
Aku tahu dia tidak pernah memikirkan diriku. Di matanya, hanya ada satu orang yang selalu menjadi pusat perhatiannya, yaitu sahabatku, ‘Umi’ yang sangat berharga.
Namun, jika saja... aku diizinkan untuk sedikit egois—tidak, itu tidak mungkin. Aku harus menyimpan perasaan ini dalam-dalam di dalam hatiku, agar tak ada satu pun yang mengetahuinya.
Apa yang akan terjadi jika mereka, atau lebih tepatnya sahabatku, mengetahui perasaanku? Aku tak bisa membayangkan hal-hal yang baik akan terjadi. Hubungan kami, yang perlahan kembali seperti dulu, bisa hancur seketika. Aku tidak ingin hal itu terjadi.
Lalu, mengapa aku bisa jatuh cinta padanya?
Bahkan aku, yang selama ini tak peka dengan perasaan cinta, tak bisa mengelak lagi setelah semua ini.
Aku, Amami Yuu, telah jatuh cinta pada Maehara Maki. Pada kekasih sahabat terbaikku, Asanagi Umi.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.