Kurasu de Nibanme ni Kawaii Onnanoko to Tomodachi ni Natta Chap 3 V7

Ndrii
0

Bab 3

Dua Orang yang Saling Berpapasan




Setelah selesai dengan festival kembang api yang bisa dibilang berjalan lancar (?), keesokan paginya di hari Minggu, aku menghabiskan waktu sendirian di rumah dengan santai. 


Biasanya, di saat seperti ini, Umi akan berada di sampingku. Kami sering berbaring bersama di sofa atau lantai, menonton TV, membaca manga, atau kadang saling bermesraan. Tapi sayangnya, hari ini dia akan menghabiskan waktu bersama keluarganya (kecuali Daichi-san yang sedang dinas).


Sebenarnya aku juga diajak, tapi seperti yang Eimi-senpai katakan kemarin, aku harus bekerja siang ini. Jadi, dengan berat hati, aku menolak undangannya.


“──Huaa, Maki, buatkan kopi,”


“Boleh saja, tapi sebelum itu ucapkan selamat pagi dulu. Selamat pagi, Bu.”


“Ah, anakku menegurku... Selamat pagi, Maki.”


Hari ini, untuk pertama kalinya dalam waktu yang cukup lama, ibuku ada di rumah. Ia tidak pulang pada hari Jumat karena menginap di kantor, dan baru kembali pada hari Sabtu. Berkat usahanya, ia berhasil mendapatkan libur hari ini.


Saat aku sedang menyiapkan kopi dan sarapan untuknya, aku menyadari bahwa ibu melihatku dengan senyum menggoda di wajahnya.


“Kenapa tersenyum begitu?”


“Ah, tidak, aku hanya merasa kamu semakin mirip dengan Umi-chan belakangan ini. Terlihat imut.”


“Mirip dengan Umi? Masa sih...?”


“Iya benar. Coba kamu pikirkan baik-baik bagaimana perubahanmu dibandingkan tahun lalu.”


“……”


Tanpa disadari, ternyata aku telah banyak berubah dibandingkan diriku yang dulu. Aku kini tidak terlalu sering begadang, bangun pagi pada jam yang sama setiap harinya, merapikan diri, dan jika itu hari sekolah, aku bersiap-siap berangkat. Kalau itu hari libur, aku menyelesaikan pekerjaan rumah seperti membersihkan atau mencuci pakaian sebelum siang. 


Meskipun aku masih sering bermalas-malasan di sore hari, setidaknya cara aku menghabiskan hari-hariku menjadi lebih teratur dibandingkan tahun lalu.


Khususnya, sejak Umi mulai datang hampir setiap hari ke rumahku.


Setiap kali dia datang di pagi hari, dia selalu memeriksa secara tidak langsung apakah ruang tamu dan dapur sudah rapi. Apakah aku tidak meninggalkan pakaian atau tas tergeletak sembarangan? Apakah dapur dan meja makan sudah tertata dengan baik?


Meskipun dia tidak pernah mengatakan secara terang-terangan, jika semuanya terlihat rapi, Umi selalu memujiku.


“Hebat, kamu sudah berusaha keras ya,” begitu katanya sambil mengelus kepalaku. Saat dia sedang dalam suasana hati yang baik, dia bahkan menciumnya atau memberikan perhatian lebih.


“...Maki, kenapa kamu senyum-senyum sendiri?”


“Eh? Ah, tidak, aku hanya sedang berpikir saja...”


Sebenarnya, yang paling membuatku senang adalah saat Umi menunjukkan rasa senangnya. Karena aku menghabiskan waktu berdua dengannya, aku ingin menyiapkan lingkungan sebaik mungkin, dan lebih dari itu, aku ingin menunjukkan bahwa aku sudah rapi dan tertata.


Singkatnya, aku ingin membuat kesan yang baik agar dia semakin menyukaiku.


Dan itu bukanlah hal yang sulit. Aku hanya perlu mempelajari kebiasaan sehari-hari Umi yang selalu teratur, dan menirunya.


Seperti yang ibu katakan, mungkin aku memang semakin mirip dengan Umi dalam banyak hal.


Tapi tidak masalah, karena Umi adalah pacar yang sangat penting bagiku, dan di masa depan dia akan menjadi sosok yang lebih penting lagi (itu rencananya).


“Bagaimanapun juga, melihat kalian berdua yang semakin akur membuat ibu tenang. Tapi... siapa sangka gadis secantik itu bisa jadi pacar anakku.”


“Kenapa harus ada kata ‘anakmu’ yang seolah merendahkan itu?”


Aku yakin ibuku pasti terkejut saat melihatku, yang dulunya tidak memiliki banyak teman, tiba-tiba sering menghabiskan waktu di rumah dengan seseorang selain keluarga.


Apalagi, tiba-tiba aku dekat dengan seorang gadis. Ketika ibuku pulang larut malam, dia pasti terkejut melihat kami berdua tertidur bersama di sofa. Aku bisa membayangkan berbagai pikiran yang melintas di benaknya saat itu.


Sekarang mungkin bisa menjadi bahan lelucon, tapi aku merasa bersalah kepada ibuku waktu itu.


“Hampir setahun sejak aku tahu tentang Umi-chan... Ngomong-ngomong, Maki, hari minggu depan, apakah Umi-chan ada acara?”


“Hmm? Seharusnya tidak ada. Aku juga hanya kerja di hari Sabtu minggu depan. Kenapa, Bu? Apa Ibu juga libur minggu depan?”


“Sibuk sih, tapi kalau aku berusaha, mungkin bisa dapat jatah libur. Yah, mungkin bulan depan aku akan sering merepotkanmu lagi.”


Sepertinya, ibu ingin melakukan sesuatu yang spesial untuk Umi sebelum kesibukan kembali menyita waktunya hingga akhir bulan ini.


“Aku mengerti... Kurasa tidak ada masalah, tapi aku akan memastikan dengan Umi apakah dia punya rencana atau tidak.”


“Tolong ya. Oh, dan kalau bisa, ajak juga Sora-san.”


“Boleh saja... Tapi, apa yang ingin ibu lakukan dengan mengajak Sora-san juga?”


“Eh? Tentu saja kita akan jalan-jalan. Baru saja ibu memutuskan setelah melihat selebaran ini.”


“…Outlet Mall?”


Aku melihat brosur yang ada di atas meja. Di sana, terpampang foto besar sebuah pusat perbelanjaan baru yang akan dibuka di pinggiran kota.


Menariknya, tanggal pembukaan pusat perbelanjaan itu jatuh pada hari Minggu di minggu depan, tepat saat ibu berencana mengajak kami.


Meskipun letaknya cukup jauh dari rumah, sebagai tujuan belanja di akhir pekan, itu bukan pilihan yang buruk.


“Jadi kalian akan jalan-jalan. Tapi, maksudnya itu, ibu, Umi, dan Sora-san belanja bersama?”


“Bukan hanya kami bertiga, tapi kita berempat, termasuk kamu.”


“.........”


“Heh, kenapa ekspresimu seakan-akan keberatan begitu?”


“Ya, soalnya...”


Jalan-jalan di akhir pekan masih bisa aku terima, tapi mengapa harus melibatkan ibu dari kedua belah pihak?


Kalau saja pergi dengan Umi, tentu aku lebih memilih hanya berdua saja.


“Pokoknya ibu minta tolong. Kalau misalnya Umi dan Sora-san tidak bisa, ibu akan menerima saja jalan-jalan dengan kamu.”


“Sebenarnya, jalan-jalan hanya berdua dengan ibu masih lebih baik...”


Namun, karena ini permintaan langka dari ibu yang jarang punya waktu luang, sulit bagiku untuk menolaknya setelah melihat kerja kerasnya di kantor.


Maka dari itu, aku segera menghubungi Umi untuk menanyakan rencananya.


“(Maehara) Selamat pagi, Umi-san.”


“(Asanagi)Selamat pagi juga, Umi-san di sini. Ada apa? Merindukan suaraku sebelum berangkat kerja?”


“(Maehara) Hmm, tidak sepenuhnya salah, tapi ada hal lain yang ingin aku bicarakan.”


“(Asanagi)??”


Sebelum memberitahunya, aku memastikan bahwa dia tidak perlu sengaja meluangkan waktu, lalu menjelaskan tentang ajakan jalan-jalan dari ibu.


Umi pernah bilang bahwa dia ingin suatu saat bisa jalan-jalan bersama ibuku, jadi jika tidak ada acara lain, kemungkinan besar dia akan mengiyakan.


Namun, begitu aku menyebutkan bahwa rencananya melibatkan “berempat bersama Sora-san,” balasan pesan yang tadinya cepat tiba-tiba terhenti.


Setelah beberapa menit, akhirnya balasan dari Umi masuk.


“(Asanagi)Jadi, ibuku juga ikut ya...”


“(Maehara) Yah, sepertinya begitu.”


“(Asanagi)Ya...”


“(Asanagi)Sebenarnya aku tidak keberatan pergi berempat, tapi... ya, kamu tahu kan?”


“(Maehara) ...ya, aku mengerti.”


Sepertinya, Umi juga merasakan hal yang sama.


Bagi kami yang sudah menjadi siswa SMA, pergi bersama ibu dari kedua pihak tentu terasa agak aneh, ditambah lagi akan ada perasaan canggung karena orang tua akan melihat cara kami menghabiskan waktu di akhir pekan.


“(Asanagi)Kalau aku bilang ke ibuku, dia pasti akan langsung setuju dan bersiap-siap untuk acara itu.”


“(Asanagi)Saat ini, rumah sedang ramai karena Shizuku-san dan yang lain masih di sini, tapi begitu mereka pulang, aku akan kembali berdua saja dengan ibuku.”


“(Asanagi)Meski tidak terlihat, ibuku sebenarnya sangat kesepian.”


“(Maehara) Aku tahu itu. Kalian berdua memang mirip satu sama lain.”


“(Asanagi)Oh? Maki? Maksudmu apa dengan mirip satu sama lain?”


“(Maehara) Eh, tidak, hanya saja aku merasa begitu karena ibuku juga seperti itu...”


Aku menerima teguran dari Umi bahwa aku akan mendapat ceramah keesokan paginya, tetapi setidaknya aku sudah memastikan bahwa Minggu depan dia tidak memiliki acara.


Kami akan merencanakan lebih lanjut dalam beberapa hari mendatang, tapi tampaknya sesuai keinginan ibu, Minggu depan kami berempat akan pergi jalan-jalan bersama-sama (entah menyenangkan atau tidak).


Keluarga Asanagi dan keluarga Maehara telah menjalin hubungan baik hampir selama setahun. 


Berinteraksi dengan keluarga pasangan memang penting untuk menjaga hubungan berjalan dengan lancar—aku mengingatkan diriku akan hal itu dan memutuskan untuk menghadapi hari ini bersama Umi. Meski agak malu-malu, aku bertekad untuk melewati hari itu.


Rencana jalan-jalan ini pun tersusun dengan mudah tanpa kendala. Namun, dengan perasaan yang sedikit campur aduk, aku menantikan hari Minggu berikutnya. 


◆   ✧ ₊ ✦ ₊ ✧   ◆


Seperti yang kuduga, hari ini lebih banyak diatur oleh ibuku dan Sora-san. Keduanya sudah sangat bersemangat sejak sehari sebelumnya, hingga jadwal kami dari pagi hingga malam telah disusun dengan rapi. Meski mungkin kami akan dikelilingi oleh dua ibu yang antusias, aku dan Umi memutuskan untuk menerimanya sebagai bentuk bakti kepada orang tua.


“Pagi semuanya~. Maaf ya, meski awalnya aku yang mengusulkan, kita malah jadi memakai mobil kalian,”


“Tak masalah kok. Kalau menyewa mobil akan lebih mahal, lagipula, aku juga ingin sedikit bepergian jauh hari ini, Oh, Umi? Kenapa kamu tersenyum seperti itu? Ada yang salah dengan cara mengemudiku?” jawab Sora-san sambil tersenyum. 


“Ah, tidak ada, kok. Hanya saja, mohon berkendara dengan aman, ya,” balas Umi sambil tersenyum canggung.


“Eh? Aku selalu mengemudi dengan aman, lho. Kalau aku dikatakan mengemudi kasar, nanti Masaki-san bisa salah paham,” lanjut Sora-san sambil tertawa kecil.


Awalnya, rencananya kami akan menyewa mobil, tetapi berkat usulan kuat dari Sora-san, kami akhirnya berangkat dengan mobil keluarga Asanagi. 


Mengenai kemampuan mengemudi Sora-san, bisa dibilang dia cukup baik. Pernah sekali aku ikut dengannya saat pergi ke rumah sakit, dan dia mengemudi dengan sangat hati-hati, selalu mematuhi batas kecepatan. Meskipun begitu, ketika sedang lengah, terkadang dia bisa berbicara sedikit kasar.


Biasanya, Sora-san sangat ramah dan hangat padaku, tapi dari hubungan mertua dan menantu yang pernah aku saksikan saat liburan sebelumnya, tampak jelas bahwa dia cukup sering mengalami stress dalam kehidupan sehari-hari.


Aku pernah memberi tahu ibuku tentang hal ini. Dan sepertinya, ibuku yang juga sering mengemudi untuk pekerjaan, merasa simpati terhadap Sora-san. “Aku mengerti perasaannya,” ujar ibuku sambil mengangguk setuju kala itu. Tampaknya, mereka memiliki kesamaan dalam hal ini.


Yah, selama tidak terjadi kecelakaan, aku dan Umi tidak punya alasan untuk mengeluh. Akhirnya, kami duduk di kursi belakang, sementara para ibu-ibu duduk di kursi depan, dan perjalanan bersama keluarga pun dimulai.


“Ngomong-ngomong, Umi, apa kamu yakin mau pergi bersama kami? Bukankah kamu mungkin diundang oleh teman-teman seperti Yuu-chan atau Nina-chan?” tanya Sora-san.


“Ya, ada sih. Tapi sayangnya, kami juga punya kesibukan sendiri. Benar kan, Maki?” jawab Umi sambil menoleh padaku.


“Benar. Meskipun awalnya kami juga diundang, tapi Amami-san punya acara keluarga, dan Nitta-san sudah punya janji dengan teman-temannya,”


Sebagai pusat perbelanjaan baru di daerah kami, tempat ini cukup populer di kalangan siswi sekolah kami. Memang agak sulit dijangkau jika tidak menggunakan mobil, tapi bisa dicapai dengan transportasi umum seperti kereta atau bis dalam waktu sekitar satu jam. Jadi, mungkin saja kami akan bertemu dengan teman-teman sekolah di sana.


“Jarang sekali Yuu-chan tidak mengajakmu lebih dulu dalam situasi seperti ini,” ujar Sora-san.


“Awalnya aku juga berpikir begitu dan sudah siap-siap menunggu ajakan, tapi ternyata ayahnya pulang dari dinas luar kota, jadi mereka akan pergi makan enak bersama keluarga. Sedangkan Nina... Maki, bagaimana tadi katanya?”


“Kalau tidak salah, dia pergi dengan teman-teman lain. Jadi ada kemungkinan kita akan bertemu dengan mereka di sana,”


Biasanya, di sekolah kami sering terlihat bersama dalam kelompok yang sama. Namun, pada akhir pekan, kami justru sering memiliki acara masing-masing. Teman-teman seperti Amami-san, Nitta-san, dan juga Nozomi memiliki banyak teman lainnya. 


Meski aku sering merasa kesepian saat ditinggal sendiri, aku berusaha untuk tidak terlalu khawatir karena mereka selalu menyempatkan waktu untuk berkumpul bersama pada acara penting seperti liburan musim panas atau festival kembang api. Aku sangat berterima kasih untuk itu.


Perjalanan kami pun dimulai, diiringi tawa dan obrolan ringan dari ibu-ibu kami yang berada di kursi depan, sementara aku dan Umi duduk di belakang, menantikan hari yang panjang namun penuh kebersamaan ini.


Selama perjalanan di mobil, aku dan Umi terlibat dalam banyak percakapan dengan ibuku dan Sora-san. Di sisi lain, ibuku dan Sora-san juga bercerita banyak hal kepada kami. Salah satu topik yang paling mereka minati adalah kisah awal mula hubunganku dan Umi. 


Meski mereka tahu tentang hubungan kami sejak “insiden menginap,” aku sebenarnya tidak pernah menceritakan detailnya pada ibuku, dan kemungkinan besar Umi juga tidak banyak bercerita kepada ibunya.


Fakta bahwa Umi yang pertama kali mendekatiku atau aku yang tiba-tiba membawa Umi ke rumahku, tentu saja, tidak mungkin kami ceritakan dengan jujur pada orang tua kami. Begitu juga kami tidak tertarik mendengar kisah cinta orang tua kami. Maka, kami hanya menjawab seadanya, berusaha menghindari pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu.


Sambil terus mengobrol, satu jam perjalanan pun terasa cepat berlalu. Kami tiba di depan pusat perbelanjaan outlet, yang berdiri megah di tengah area yang didominasi sawah dan perumahan, dengan bangunan besar yang mirip gudang logistik serta lahan parkir yang luas.


“Eh, sudah sampai rupanya. Padahal aku masih ingin mendengarkan cerita tentang Natal kalian,” ujar Sora-san dengan senyum penuh rasa ingin tahu. 


“Kami tidak akan memberi tahu lebih banyak tentang itu.” 


“Ngomong-ngomong, sebelum makan siang, kita akan jalan-jalan sendiri-sendiri, kan?” 


“Iya, betul. Aku akan pergi berbelanja dengan Masaki-san. Kalian bisa menikmati waktu kencan, apakah itu berbelanja, menonton film di bioskop yang ada, atau bahkan berduaan di tempat tersembunyi,” kata Sora-san menggoda. 


“Tentu saja kami tidak akan melakukan hal seperti itu di tempat tersembunyi,” jawab Umi dengan wajah memerah. 


“Y-ya, kami masih bisa menahan diri,” jawabku setengah tertawa, meskipun dalam hati aku tahu kami pasti akan mencari waktu untuk berduaan.


Kami sepakat untuk bertemu lagi saat makan siang, dengan waktu dan tempat yang sudah ditentukan. Selebihnya, kami akan menghabiskan waktu terpisah.


Ibuku dan Sora-san dengan kegiatan belanjanya, sementara aku dan Umi berencana menikmati waktu kencan kami.


Masih ada sekitar tiga jam sebelum makan siang. Kami bisa berkeliling mencari pakaian musim gugur, menonton film B-grade yang kami sukai, atau mengunjungi pusat permainan dan arena bowling untuk bermain dan berkeringat sedikit. 


Karena jaraknya yang cukup jauh, mungkin kami tidak akan sering datang ke sini, tapi saat liburan seperti musim semi atau Golden Week, tempat ini bisa menjadi pilihan yang bagus untuk bersenang-senang.


“Jadi, Maki, mau ke mana dulu? Belanja dulu atau langsung nonton film?” tanya Umi penuh semangat. 


“Hmm, aku ingin berkeliling melihat-lihat, tapi sebelumnya bagaimana kalau kita istirahat dulu? Tenggorokanku kering setelah mengobrol terus tadi. Aku sedikit lelah,”


“Fufu, aku juga. Baiklah, kita istirahat dulu untuk mempersiapkan kencan kita nanti,”


Kami melihat ibu-ibu kami bergegas menuju toko merk dagang ternama yang sedang mengadakan diskon besar-besaran di hari pembukaan. Sementara itu, aku dan Umi berjalan menuju kedai kopi yang memiliki area duduk di teras terbuka. 


Meski kedai kopi itu penuh karena hari pertama pembukaan pusat perbelanjaan, kami beruntung bisa segera mendapatkan tempat duduk di teras berkat pergantian pelanggan yang cukup cepat.


“Sama seperti saat festival kembang api, banyak orang yang datang hari ini. Nina juga katanya sedang di sini bersama teman-temannya. Apakah mereka ada di sekitar sini, ya?” kata Umi sambil melihat sekeliling. 


“Mungkin saja. Mau kita kirim foto untuk mengecek?” 


“Itu ide bagus! Ayo, kita ambil foto yang bagus untuk di-posting sebagai foto kode,” kata Umi sambil menyiapkan kamera ponselnya. 


“Sudah jelas kita ini pasangan, kenapa masih harus pakai kode segala?”


Kami pun memulai kencan santai kami, menikmati waktu bersama di pusat perbelanjaan yang baru dibuka itu. Meski sederhana, kami berdua merasa senang bisa menghabiskan waktu bersama.


Mengikuti Umi yang sedang dalam suasana hati yang baik karena lama tidak pergi berbelanja bersama, aku mengirim foto kopi es krim untuk dua orang dengan Umi yang memberi tanda “peace” ke grup chat berisi lima orang teman kami.


(Asanagi)“Sedang istirahat saat ini.”


(Seki) “Wah, pagi-pagi sudah pamer aja nih. Apakah kalian sedang di outlet yang baru itu?”


(Asanagi)“Tebakanmu benar.”


(Maehara) “Ya ampun, jelas saja ketahuan.”


(Maehara) “Oh iya, Nozomi, selamat pagi. Sedang latihan di klub ya?”


(Seki) “Selamat pagi, Maki. Tidak, kami sedang dalam perjalanan untuk pertandingan latihan dengan sekolah lain.”


(Seki) “Ngomong-ngomong, kenapa hari ini kamu tidak bersama Amami-san?”


(Asanagi)“Tidak sempat memberitahunya tadi.”


(Seki) “Katakan dong! Eh, Maki, pacarmu dingin sekali padaku!”


(Maehara) “………”


(Seki) “Kamu juga, Maki!”


(Maehara) “Maaf, maaf. Umi sedang terlihat senang, jadi aku ikut-ikutan saja.”


(Seki) “Aduh, pasangan mesra ini memang…”


Respon pertama datang dari Nozomi, meskipun Amami-san dan Nitta-san juga sudah melihat pesannya, mereka tampaknya sedang sibuk sehingga tidak ikut serta dalam percakapan seperti biasanya.


(Seki) “Aku akan segera sampai di lokasi, jadi aku keluar dulu dari chat.”


(Seki) “Oh ya, jangan lupa oleh-oleh buatku ya.”


(Maehara) “Semoga sukses di pertandingan, Nozomi.”


(Asanagi)“Sampai jumpa.”


(Nitta-san): “Semangat ya!”


(Maehara) “Eh, Nitta-san tiba-tiba ikut nimbrung.”


(Asanagi)“Nina, kamu sekarang lagi di mana?”


(Nitta-san): “Masih dalam perjalanan ke sana. Kalian cepat sekali datang.”


Setelah Nozomi keluar dari grup chat, Nitta-san akhirnya ikut bergabung. Sepertinya dia sedang berada di bis, karena dia mengirimkan foto pemandangan dari jendela bis yang memperlihatkan outlet mall tempat kami berada.


(Nitta-san): “Aku harus menemani teman-temanku sekarang, jadi aku keluar dulu.”


(Nitta-san)  “Jangan khawatir, aku tidak akan mengganggu kencan kalian hari ini. Selamat bersenang-senang.”


(Nitta-san)  “Kalau ketemu kalian, aku pasti akan segera kabur.”


(Asanagi)“Terima kasih.”


(Maehara) “Tidak perlu kabur segala…”


Biasanya, situasi seperti ini berakhir dengan kami bertemu di lokasi, namun hari ini masing-masing dari kami sudah punya agenda sendiri, sehingga Nitta-san sengaja memberi ruang untuk kami berdua. 


Meski begitu, dalam hati, aku masih bertanya-tanya, kenapa minggu lalu terjadi hal yang berbeda. Sejak festival kembang api, Nitta-san menutup mulutnya rapat-rapat tentang masalah yang terjadi, dan Amami-san pun tidak ikut bercakap-cakap di grup chat kali ini.


Setelah menyelesaikan istirahat singkat, aku dan Umi memutuskan untuk melanjutkan jalan-jalan di dalam pusat perbelanjaan. Mengingat banyaknya toko yang ingin kami kunjungi, kami memutuskan untuk menghabiskan pagi dengan berbelanja pakaian dan aksesoris. Mengingat uang hasil kerja paruh waktu masih cukup banyak, aku tidak perlu khawatir jika Umi ingin membeli sesuatu yang sedikit mahal. 


Namun, aku tahu bahwa Umi lebih suka membelikanku pakaian daripada membeli sesuatu untuk dirinya sendiri. Meskipun belakangan ini aku mulai memperhatikan gaya berpakaian, koleksi pakaian yang kupunya masihlah sedikit.


“Nee, sepertinya kemeja-kemeja di sini cocok untuk kamu, Maki. nanti dicoba, ya? Dan lihat, yang ini juga kelihatan bagus, harganya juga diskon setengah,” kata Umi sambil menunjuk beberapa baju di toko.


Kami baru masuk ke toko pertama, namun Umi sudah mulai memenuhi keranjang belanja dengan pilihan pakaiannya. Biasanya, kami akan memilih pakaian yang paling kusukai setelah aku mencobanya, dan inilah cara kami menghabiskan waktu saat berbelanja bersama. Tentu saja, ini memakan waktu yang lama, dan kemungkinan besar pagi ini akan habis hanya untuk belanja.


“Umi, kamu terlihat sangat bersemangat,”


“Menurutmu begitu? Tapi sudah lama sejak terakhir kali aku memilih pakaian untukmu. Jadi, ini baru sebagian kecil saja,” 


“Sepertinya ini sudah cukup untuk berhenti berbelanja…”


Meski begitu, aku tidak bisa memungkiri kalau aku juga menikmati momen seperti ini. Waktu yang dihabiskan bersama, memilih pakaian, bercanda, dan tertawa—semua ini adalah bagian dari kenangan indah kami.


Saat sedang dalam kencan berbelanja, aku hanya bisa mengikuti kemauan Umi dan mulai mencoba pakaian yang telah dipilihkannya satu per satu. Karena sudah memasuki akhir September, pakaian yang dipilih Umi kali ini didominasi oleh koleksi musim gugur. Mulai dari cardigan tipis yang bisa dipakai di atas kaus, jaket kasual, hingga celana panjang berbahan korduroi dengan warna khas musim gugur.


Biasanya, saat musim gugur, aku lebih suka memakai hoodie saja. Jadi, kurasa kali ini Umi ingin memberiku pesan tersirat untuk berusaha lebih keras dalam berpenampilan.


“Sudah selesai coba bajunya? Boleh aku buka tirainya?”


“Silahkan… Tapi jangan memasukkan kepalamu dulu, ya,” jawabku sedikit terganggu dengan kebiasaannya yang suka mengintip.


“Hehe, aku penasaran, soalnya,”


Umi mengamati penampilanku dari ujung kepala hingga kaki setelah aku mengenakan pakaian baru tersebut.


“Hmm… menarik…”


“Bagaimana? Apakah terlihat aneh?”


Saat ini, aku sedang mencoba jaket musim gugur dengan celana panjang yang serasi. Penampilan yang rapi dan terlihat elegan, tetapi bagiku pribadi, kesannya biasa saja.


“Tidak, menurutku bagus dan keren kok. Tapi…”


“Tapi apa?”


“Hmm, rasanya kurang mencerminkan dirimu, Maki…”


Komentarnya terdengar sedikit mengambang, tapi aku bisa memahaminya. 


Sebagai seorang siswa SMA, gaya berpakaian seperti ini mungkin tidak aneh, tetapi ketika benar-benar dikenakan, ada kesan bahwa pakaian yang tampak dewasa ini tidak terlalu cocok dengan penampilanku yang masih terkesan kekanak-kanakan. Meskipun pakaian ini dari merek terkenal dan pilihan Umi sangat bagus, wajahku yang terlihat awet muda membuat gaya ini terlihat tidak sesuai.


“Yah, kurasa hoodie dengan resleting penuh ini lebih cocok untukmu. Meskipun tidak banyak perubahan, menurutku kamu terlihat lebih menggemaskan, dan aku merasa lebih nyaman berjalan bersamamu dengan gaya ini,” 


“Baiklah, aku akan memilih yang ini saja. Aku bisa memadukannya dengan kaus yang kamu berikan saat ulang tahun kemarin, kan?” 


“Oh iya, yang itu. Aku hampir lupa,”


“Eh, iya…”


Kupikir Umi akan senang saat aku menyebut kaus pemberiannya, tapi ternyata reaksinya biasa saja. Sepertinya dia tidak begitu suka jika aku sering memakai barang dari perempuan lain.


Untuk saat ini, pilihan pakaian baru sudah selesai, dan sekarang giliran Umi berbelanja. Meskipun Umi baru-baru ini membeli beberapa pakaian baru, ada satu hal yang ingin dia beli dengan uangku.


Tanganku ditarik melewati deretan toko pakaian wanita di lantai tersebut. 


Kami pun sampai di bagian toko yang terasa cukup canggung bagiku sebagai laki-laki.


“Umi, sebenarnya kita mau ke mana?”


“Kenapa memangnya?” 


“Kenapa aku tiba-tiba ada di tengah-tengah bagian pakaian dalam wanita?”


Saat ini, aku berdiri di salah satu sudut toko pakaian dalam wanita yang sangat feminin dan penuh warna, tempat yang jelas tidak biasa bagi seorang pria untuk menghabiskan waktu berlama-lama.


“Maki, pilih yang mana yang kamu suka. Kamu bebas memilih,” ujar Umi dengan senyuman usil.


“Kalimat itu, siapa pun yang mengatakannya, terdengar sangat tidak pantas, tahu,”


Sepertinya, Umi ingin membalas karena tadi dia yang memilihkan pakaian untukku, dan sekarang dia ingin aku yang memilihkan untuknya. 


Namun, bagiku, ini adalah tantangan yang terlalu sulit. Ditambah lagi, karena toko sedang ramai, mayoritas pengunjung adalah wanita, dan itu membuatku merasa tidak nyaman dengan banyaknya tatapan.


Melihat aku yang terlihat canggung, Umi malah tertawa dengan senyum penuh kejahilan.


“Haha, maaf ya. Tapi aku ingin tahu pendapatmu juga, Maki. Lagipula, kalau orang lain mungkin tidak, tapi kamu pasti akan melihatnya suatu saat nanti, kan?”


“Y-ya, sih…”


Hubunganku dengan Umi memang berjalan dengan baik, dan seiring waktu, aku mulai mengenal sisi-sisi dirinya yang tidak pernah kutahu saat kami hanya berteman. 


Detik ini pun, meskipun situasinya memalukan, aku senang melihat Umi yang sedang menikmati momen ini.


Tentu saja, sesuai dengan janji yang kubuat pada Ibuku dan Sora-san, aku dan Umi selalu menjaga batasan dan berusaha menjalani hubungan yang sehat sebagai pasangan. 


Namun, jika dipikir-pikir lagi, selain “batas terakhir” itu, hampir semua hal lainnya sudah kami lakukan.


“Jadi... kamu benar-benar membiarkan aku yang memilih?”


“Iya,” jawab Umi sambil tersenyum.


“Boleh dengan selera dan pendapatku sendiri?”


“───”


“Silahkan,” bisik Umi lembut di telingaku, hanya cukup keras untuk didengar olehku saja.


...Syukurlah Ibu dan Sora-san tidak ada di sini sekarang. Aku yakin, mereka pun tidak akan pernah menyangka bahwa kami bisa bertingkah jadi pasangan bodoh seperti ini.


“Kalau Umi sampai mengatakan begitu..., tapi kurasa kali ini aku akan melewatkannya saja.”


Umi hanya tersenyum usil mendengar jawabanku, seolah puas bisa menggodaku sejauh ini.



“Eh?”


“Jangan bilang ‘Eh’. Kalau tidak, akan ada masalah dengan akal sehat dan yang lainnya.”


“Wah, Maki jadi membayangkannya?”


“...Iya.”


“Fufu, jujur sekali. Baiklah, kali ini akan kubiarkan saja.”


“Bukan hanya kali ini, tetapi kalau bisa dipertimbangkan juga untuk ke depannya...”


“Tidak boleh~!”


Pilihan pakaian dalamnya untuk sementara ditunda hingga kesempatan berikutnya (?), dan setelah meninggalkan toko pakaian dalam wanita, kami pun menuju ke toko berikutnya.


Awalnya, kami datang ke outlet mall ini karena ajakan mendadak dari ibu, tetapi aku dan Umi, meskipun tanpa persiapan, ternyata cukup menikmati kencan belanja berdua.


Mungkin saja, ibu dan Sora-san sudah merencanakan perjalanan ini dengan tujuan itu... 


Jika benar, maka bisa dibilang mereka terlalu ikut campur, tetapi tampaknya kebiasaan ikut campur itu juga diwariskan dengan baik kepada diriku dan juga Umi. Jadi, bisa dikatakan kalau kami dan orang tua kami memang mirip satu sama lain.


Ngomong-ngomong, saat ini kedua orang tua kami sudah lebih dulu selesai berbelanja dan mulai bersantai dengan bersulang sejak pagi (Sora-san minum minuman non-alkohol karena harus menyetir).


Sungguh, mereka ibu-ibu yang menyenangkan.


“Anu, Umi, lihat sini.”


“Hm? ...Hahaha, Maki, itu apaan sih? Topeng aneh begitu~.”


“Tadi aku menemukannya di rak sana. Waktu kutanya ke pegawai, dia bilang ‘Mau coba pakai?’── Eh?”


Saat kami berhenti sejenak di sebuah toko aksesoris bergaya subkultur, kami bermain seperti anak kecil sambil tertawa bersama. Namun, tiba-tiba di sudut pandangan lewat celah topeng, aku melihat siluet yang tampaknya aku kenal.


Beberapa hari yang lalu juga terjadi hal serupa... Tapi, abaikan saja itu dulu.


“Maki?”


“Umi, lihat, gadis yang ada di sana... Apa mungkin itu Nitta-san?”


“Hah? Nina? Di mana?”


“Lihat, dia sedang duduk di sofa sana... Hari ini dia menggerai rambutnya, jadi aku sempat mengira dia hanya mirip saja.”


“...Ah, benar juga.”


Hari ini, dia tidak memakai gaya rambut ponytail seperti biasanya, tetapi postur dan wajahnya itu jelas adalah Nitta-san.


Kami tahu dari pagi kalau Nitta-san juga datang ke sini untuk jalan-jalan, jadi tidak aneh jika kebetulan bertemu.


Namun, dia terlihat sendirian dan sepertinya sedang merasa kesepian.


Hari ini, seharusnya dia datang ke sini bersama teman-temannya yang lain, tapi mungkin karena ramai, mereka terpisah di suatu waktu.


“Umi, bagaimana menurutmu?”


“Hmm, kalau dia bersama seseorang, mungkin kita bisa pura-pura tidak melihatnya, tapi...”


Dalam situasi seperti ini, rasanya terlalu dingin jika kami sebagai teman tidak menyapanya, jadi setelah berdiskusi, kami memutuskan untuk langsung menyapa Nitta-san.


“──Nina, sedang apa sendirian di sini?”


“Nitta-san, Selamat siang.”


“......”


“Eh, dia kabur!”


“Ah, tunggu dulu!”


Begitu kami memanggil Nitta-san dari belakang, dia sempat menoleh melihat kami, tetapi langsung berbalik dan pergi dengan cepat seolah ingin menghindar.


Memang, tadi pagi dia sempat bercanda mengatakan, “Kalau ketemu kalian, aku bakal langsung kabur,” jadi sebenarnya dia hanya menepati perkataannya. Tapi aku tidak menyangka dia benar-benar akan kabur.


Di saat seperti ini, entah kenapa langkah Nitta-san sangat cepat, dan dengan lincah dia bergerak menembus keramaian orang-orang tanpa kesulitan.


Apakah dia benar-benar tidak ingin bertemu kami?


“Maki, ayo kita kejar!”


“Y-ya.”


Jika dia pergi begitu saja tanpa mengatakan apa-apa, rasanya kami juga tidak bisa membiarkannya begitu saja.


Jarak kami memang sedikit jauh, tetapi karena penampilannya cukup mencolok, seharusnya tidak terlalu sulit mengejarnya.


Selain itu, Umi memang pandai mengejar orang. 


Ini sudah cerita tahun lalu, tapi aku sendiri pernah tertangkap olehnya dan langsung dibawa ke kamarnya sampai ke tempat tidur. Yah... sekarang itu menjadi kenangan yang manis.


“Nina, kamu tidak perlu menghindari kami sejauh itu, kan? Kamu sudah tidak bisa lari lagi, jadi menyerahlah dengan tenang!”


“Tapi... tapi kalian kan lebih baik menghabiskan waktu berdua saja. Biar aku jadi pengganggu yang kalian tinggalkan!”


“Memang sih kamu kadang mengganggu! Tapi aku tidak pernah menganggap kamu benar-benar pengganggu, tahu!”


“Kalau begitu, aku yang merasa kalian benar-benar mengganggu saat ini!”


Perlahan tapi pasti, jarak antara Nitta-san dan kami semakin menipis karena perbedaan stamina. Namun, Nitta-san yang bertubuh kecil dan lincah berhasil melewati lorong-lorong sempit dan kadang-kadang masuk ke dalam toko untuk mengelabui kami. Meski begitu, upayanya untuk kabur tampak sia-sia.


“Huff... betapa melelahkannya kabur dari kalian... Nanti aku akan ceritakan semuanya, jadi kumohon lepaskan aku sekarang!”


Ketika hampir kehilangan jejaknya di tengah keramaian, tiba-tiba Nitta-san terjatuh saat hendak melewati dua wanita yang baru keluar dari toko. Sambil menggosok pantatnya, Nitta-san meminta maaf pada mereka.


“Tolong tangkap Nina!”


“Oh, Umi... Baiklah, ayo sini kamu!”


“Eh, tunggu... Anda ibunya Asanagi? Dan yang satu lagi...,” kata Nina sambil melihat ke arah kedua wanita.


“Halo, kamu ingat aku? Rasanya tidak aneh kalau kamu lupa. Aku Masaki, ibu dari Maehara Maki. Senang berjumpa denganmu lagi,” sapa wanita yang ternyata adalah ibuku.


“Oh, iya... Maaf, bisa tolong lepaskan pelukannya dulu?”


Yang keluar dari toko ternyata adalah ibu dan Sora-san. Kami sudah diberi tahu bahwa mereka akan minum-minum ringan (hanya ibu, karena Sora-san harus menyetir pulang), tapi tidak disangka akan bertemu di saat yang tepat seperti ini.


“Hah... akhirnya tertangkap juga. Oh, selamat siang, Nina,” sapa Umi sambil tersenyum puas.


“Selamat siang. Hai juga, Ketua,”


Melihat Nitta-san yang sudah tertangkap dan tak punya pilihan lain, kami memutuskan untuk berbicara lebih lanjut di tangga darurat yang lebih sepi, sementara ibu dan Sora-san kembali ke toko untuk menunggu kami.


“Tapi, aku kasih tahu dulu ya, meskipun aku sudah tertangkap, aku tidak akan berbicara apa-apa. Apa istilahnya, Ketua?”


“...’Mokuhi’, mungkin?” 

Tl note : Mokuhi (Hak untuk diam) 


“Itu dia! Jadi, apa pun yang kalian tanyakan, aku akan tetap diam!” jawab Nitta-san sambil berpaling dengan sikap keras kepala.


Umi menghela napas dan menatap Nitta-san dengan senyum lelah. Meskipun mencoba menghindar, terlihat bahwa Nitta-san sebenarnya merasa senang bisa bertemu dengan kami.


“Nina,” panggil Umi dengan nada lembut.


“Apa? Kan sudah kubilang, aku akan tetap diam hari ini.”


“Itu penggunaan istilahnya agak salah, tahu... Sudahlah, begini saja. Kalau kamu belum makan siang, bagaimana kalau makan bersama kami?”


“Hah?” Nitta-san tampak terkejut mendengar ajakan itu.


“Maki, tidak masalah kan?” tanya Umi padaku.


“Tentu saja. Lagi pula, kami akan makan siang bersama ibu kami, jadi satu orang tambahan tidak akan jadi masalah.”


Jujur, kami memang khawatir dengan keadaan Nitta-san sebagai teman. Tapi jika dia tidak ingin bercerita, kami tidak akan memaksanya. Melihat Nitta-san yang tampak kesepian tadi, mungkin itulah alasan Umi mengajaknya makan bersama.


Meski hubungan kami masih terbilang baru, ada beberapa kali aku merasa Nitta-san mengganggu. Namun, lebih dari itu, aku tahu Umi hanya ingin memastikan Nitta-san tidak merasa kesepian di saat seperti ini.


Bagaimanapun juga, dia adalah teman yang penting bagi kami.


“Jadi, bagaimana? Kamu mau makan bersama kami atau tidak? Atau kamu tetap akan diam saja seperti tadi?” tanya Umi.


“Kalau kalian yang traktir, aku akan ikut makan,”


“Astaga, kamu memang selalu pintar mencari kesempatan. Baiklah, Maki, aku akan menelepon ibu sekarang. Tolong awasi dia sebentar,” ujar Umi sambil meninggalkan kami untuk menelepon.


“Baik, serahkan padaku.”


“Jangan khawatir, aku tidak akan kabur lagi. Aku sudah lelah berlari dan sekarang perutku keroncongan,”


Meski Umi memintaku untuk menahan Nitta-san, aku hanya mencubit ujung bajunya sebagai isyarat menjaga jarak dengan sopan.


“Nee, Ketua?”


“Ada apa?”


“Kamu tidak mau bertanya?”


“Apakah kamu ingin menceritakannya?”


“Tidak juga, sih.”


“Kalau begitu, aku pun tidak akan bertanya.”


“Dasar, Ketua yang sok pintar,” katanya sambil mengerucutkan bibirnya.


“Yah, terkadang aku bisa sedikit usil juga, sama seperti mu.”


“Dulu, aku pasti akan langsung menyangkal kalau dibilang sama sepertimu.”


“Tapi sekarang tidak?”


“Ya... mungkin karena kita ‘teman’, walau hanya sebatas itu.”


Kami mulai berbicara dengan nada pelan tanpa saling menatap. Suasana antara dirimu dan Nitta-san berbeda dengan ketika bersama Umi atau Sora-san, tetapi aku tidak merasa terganggu. Meskipun terkadang Nitta-san bisa menjengkelkan, percakapan seperti ini terasa lebih nyaman.


“Nitta-san, kenapa tadi kamu berbohong bilang sedang bersama teman?” tanyaku tiba-tiba.


“Kamu yakin sekali aku berbohong... siapa tahu aku memang terpisah dari teman-teman, Eh, tunggu, maaf. Itu terlalu memaksa. Lupakan saja.” balasnya ragu.


“Jadi, sebenarnya kamu datang sendirian?”


“Itu terlalu menyedihkan, ya... Sebenarnya aku datang dengan kakakku. Tapi sekarang kami memang sedang terpisah. Malu rasanya menghabiskan waktu bersama keluarga saat sudah SMA.”


“Kalau begitu, bagaimana dengan diriku yang datang dengan ibuku?”


Jika memang bersama kakaknya, tidak perlu sampai menghindari kami. Namun, apakah alasan sebenarnya hanya sebatas rasa malu?


“Ya, mari kita anggap itu alasannya,”


“Baiklah. Tapi kenapa kamu mau menceritakannya padaku? Bukannya kamu bilang hari ini ingin tetap diam?”


“Entahlah. Aku juga tidak tahu,” jawabnya sambil menghela napas kecil. Meski terlihat seperti sedang menghindar, wajah Nitta-san tampak jujur dan tidak ada kesan berbohong.


Saat aku sedang mencari kata-kata yang tepat, Umi kembali setelah menyelesaikan teleponnya.


“Maaf menunggu. Aku sudah bicara dengan ibu, dan katanya, ‘Ayo makan bersama. Ibu yang traktir, jadi ajak Nina-chan juga, ya!’”


“Wow, beruntung. Aku akan mengabari kakakku dulu,” jawab Nitta-san sambil mengeluarkan ponselnya.


“Oh, jadi kamu memang bersama kakakmu. Kamu tidak merasa bersalah meninggalkannya sendirian?” tanya Umi.


“Tidak masalah. Kami memang sudah sepakat untuk berpisah di sini. Benar, kan, Ketua?”


“Jangan menyeretku dalam ceritamu. Dan tolong hentikan kedipan matamu yang berlebihan itu.”


“Hmm, begitu.”


“Umi, soal cerita dengan kakaknya itu memang benar, tapi aku tidak tahu lebih dari itu,” jelasku cepat.


“Aku tahu, aku tidak meragukanmu, Maki... Bodoh.”


“Apa? Bodoh...”


Kata-kata Nitta-san yang tiba-tiba itu membuat Umi memandangku dengan tatapan sedikit kesal. Aku tidak merasa melakukan kesalahan apa pun, tapi entah mengapa suasana berubah canggung.


Aku hanya bisa tersenyum canggung, sambil berpikir bahwa kami akan segera makan siang bersama—dengan segala kehebohan yang menyertainya.


Jika kamu memuaskan satu pihak, maka pihak lain akan merasa dirugikan. Inilah rumitnya hubungan antarmanusia.


“Sudahlah, kalian berdua. Kita akan makan siang sebentar lagi, jadi yang akur ya—Eh, sakit! Maaf, Asanagi, aku minta maaf! Tolong lepaskan, kalau terus di-iron claw, bentuk kepalaku bisa berubah!”


“Kalau begitu, jangan mengolok-olok dari awal. Hmph, sia-sia saja aku khawatir.”


“Hehe... Tapi terima kasih ya, kalian berdua sudah mengkhawatirkanku. Aku benar-benar senang,” ucap Nitta-san dengan pipi yang sedikit memerah, tersenyum malu-malu. 


Wajahnya terlihat manis, namun berbeda dari sikapnya yang biasanya santai dan ringan. Kapan ya, hari-hari di mana kita bisa saling bercanda seperti dulu akan kembali?


Dengan bergabungnya Nitta-san, kami pun bersama-sama menuju restoran buffet Italia tempat ibu kami menunggu. Restoran ini cukup populer, terlihat dari antrean panjang di luar. Namun, karena ibu kami sudah lebih dulu mengantre, kami mungkin hanya perlu menunggu sekitar sepuluh menit sebelum bisa masuk.


“Terima kasih banyak, bibi, sudah mengundangku.”


“Fufu, tidak apa-apa. Kalian masih muda, jadi makanlah sepuasnya.”


“Baik, terima kasih... Eh, dan ibu dari Maki-kun juga, terima kasih,”


“Oh, tidak perlu panggilanku dengan begitu formal. Tapi aku penasaran, kenapa kamu memanggil Maki sebagai ‘Ketua’?”


“Itu karena, ya... ada banyak alasan,” jawab Nitta-san sambil menghindar. 


Meskipun sedikit canggung, Nitta-san tampaknya menikmati percakapan dengan ibu-ibu kami yang hangat menyambutnya. Jumlah orang yang ramai bertambah dari dua menjadi tiga, dan aku merasa semakin tersisih dari percakapan mereka.


Sementara ketiga wanita itu sibuk mengobrol dengan riang, aku dan Umi hanya bisa menunggu dengan tenang hingga akhirnya pelayan datang memanggil kami. Setelah masuk ke restoran, aroma lezat segera menyambut kami. Di dalam restoran, tampak berbagai hidangan seperti pizza yang dipanggang dengan batu bata, aneka pasta, sup, salad berwarna-warni, hingga menu yang disukai anak-anak seperti ayam goreng, kentang goreng, dan omelet. Ada juga es krim dan kue sebagai pencuci mulut.


Melihat semua hidangan lezat itu, tanpa sadar perutku mengeluarkan bunyi kecil, “Grrr.”


“Hehe, Maki, sudah lapar, ya?”


“Awalnya aku tidak merasa lapar, tapi begitu masuk ke sini... Umi, ayo kita ambil makanan bersama.”


“Ya, ayo! Nina, kamu juga bantu ambil, ya.”


“Baiklah, aku akan mengambil minuman dan sup untuk kita semua dulu.”


Sementara ibu kami tetap di meja, kami bertiga mulai mengambil beberapa makanan yang terlihat enak di piring. Kami diberi kebebasan memilih apa yang ingin kami makan, jadi kami mengambil hidangan yang menggugah selera satu per satu. 


Ada bolognese, carbonara, juga pasta pesto, lalu lasagna, ayam masak tomat, dan pizza margherita sebagai pilihan utama. Tak lupa, sedikit salad sebagai pelengkap. Meski waktu untuk buffet ini terbatas sekitar enam puluh menit, kami masih punya waktu yang cukup untuk makan sepuasnya.


Aku dan Umi yang sedang dalam masa pertumbuhan, begitu melihat berbagai hidangan lezat, rasanya sulit untuk menahan diri. Kami mengambil makanan dalam porsi besar tanpa memikirkan apa-apa lagi.


“Nee, Umi.”


“Ya?”


“Menurutku, kamu mengambil terlalu banyak.”


“Benarkah? Kan ini untuk lima orang, dan ibuku juga termasuk yang makan banyak. Lagipula, makanan penutup itu urusan belakangan.”


“Oh, begitu...”


Aku pikir aku termasuk orang yang makan banyak, tetapi dibandingkan dengan empat orang lainnya, mungkin aku tidak ada apa-apanya. Ibuku dan Sora-san memang punya nafsu makan yang besar, begitu juga Nitta-san. Meskipun tubuhnya ramping, dia termasuk yang rakus. 


Biasanya dia tipe yang menghemat makanan karena menjaga bentuk tubuh dan dompetnya, tetapi saat acara khusus seperti ini, dia sering makan banyak tanpa berpikir panjang. Kemudian, dia akan menyesal saat malam tiba dan melihat angka di timbangan.


Tampaknya semua orang punya pemikiran yang sama.


“Asanagi, Ketua, kami sudah selesai mengambil makanan di sini. Tapi kalian... wow, itu terlalu banyak untuk ronde pertama, bukan?”


“Ah, sudahlah, toh semuanya akan kita makan. Cepat, kembali ke meja sebelum antrean semakin panjang.”


“Asanagi, kamu ternyata rakus juga ya... meskipun aku juga tidak bisa berkata banyak soal itu—Eh!”


“Ah, awas!”


Saat kami selesai memilih makanan dan hendak kembali ke meja, tiba-tiba saja Nitta-san yang berjalan di depan hampir saja bertabrakan dengan seseorang yang baru keluar dari toilet. Untungnya Nitta-san menyadarinya tepat waktu, sehingga tabrakan besar bisa dihindari.


“Hah... Hampir saja,”


“Nina, kamu baik-baik saja? Jangan melamun, nanti bisa bahaya,”


“Ah, maaf... Aku tadi sedang melamun dan tanpa sadar—”


Gadis yang hampir bertabrakan dengan Nitta-san itu buru-buru menundukkan kepala dan meminta maaf. Namun begitu ia melihat wajah kami bertiga, gadis itu terlihat terkejut, mulutnya sedikit terbuka tanpa suara. Dia memakai topi lebar dan kacamata dengan bingkai cokelat. Dari penampilannya, dia tampak seumuran dengan kami. Tapi ketika aku melihat rambutnya yang khas dan mata biru yang mencolok, aku pun terkejut mengenalinya.


Awalnya, dengan gaya rambut yang diikat ke belakang serta topi dan kacamata, aku sempat tidak mengenalinya.


“Eh? Amami-san?”


“Yuu?”


“Yuu-chi?”


“Eh, anu...”


Setelah memastikan wajah kami bertiga, Amami-san menunduk sejenak, terlihat ragu.


“B-bukan, kalian salah orang! Maaf, permisi!”


“Eh? Eh?!”


Dengan suara yang familiar, Amami-san berusaha meloloskan diri melewati kami bertiga. Entah kenapa, baik Nitta-san maupun Amami-san selalu punya kebiasaan melarikan diri ketika merasa canggung. 


Namun, kali ini kami bertiga sedang membawa piring penuh makanan, jadi mengejarnya seperti tadi akan sulit.


“Amami-san, tunggu sebentar—” Aku mencoba memanggilnya saat dia hendak pergi.


“Eh, Yuu! Jangan bilang salah orang pada teman sendiri. Apa-apaan itu?”


Seseorang tiba-tiba menghentikan Amami-san yang mencoba kabur. Orang itu adalah Eri-san, yang sepertinya berada di tempat yang sama. Rupanya, Amami-san datang ke outlet mall ini bersama keluarganya untuk makan siang.


Walau cukup kebetulan, mengingat hari ini adalah hari pembukaan mall, tidaklah mengherankan jika mereka juga datang bersama keluarga.



“Le-lepasin, mama…”

“Tidak boleh. Kita mau ikut makan bersama. Ayo, kembali ke Umi-chan dan yang lain.”

“Ugh…”

Dengan sedikit didorong oleh Eri-san, Amami-san kembali ke tempat kami. Tadi dia mencoba menghindar dengan alasan yang terlalu jelas, seolah ingin mengelak dari kami. Kini dia tampak enggan menatap kami langsung.

“Eh, Yuu-chan juga datang? Kalau tahu, seharusnya bilang dari tadi dong.”

“Ah, iya... Sebenarnya aku ingin memberi tahu, tapi kupikir aku tidak mau mengganggu waktu kalian bersama.”

Menurut Amami-san, rencana makan bersama keluarganya memang sudah diputuskan sebelumnya, tapi keputusan untuk datang ke restoran ini baru dibuat kemarin. 

Karena itu, dia tidak sempat memberitahu kami. Amami-san bahkan memakai topi dan kacamata palsu, serta mengubah gaya rambutnya. Aku sempat heran, karena dia jarang melakukan hal seperti itu. Mungkin dia berharap bisa menyamar dan tidak ketahuan jika bertemu kami. Namun, warna rambut dan matanya tetap sulit untuk disembunyikan, jadi kami bisa mengenalinya dengan mudah.

“Ngomong-ngomong, kalian datang bersama Nina-chan, ya? Kupikir Nina-chan datang bersama orang lain.”

“Ah… eh, ya. Sebenarnya kami baru saja bertemu, jadi aku juga tidak tahu detailnya. Bagaimana, Nina-chan?”

“Yah, kami memang datang bersama, tapi sebelum bertemu kalian, kami sempat berdebat. Lalu kami pun berpisah dan akhirnya aku bertemu dengan Ketua dan Umi, dan sekarang begini deh.”

Nitta-san menjelaskan dengan cepat, tapi ceritanya berbeda dari yang dia katakan padaku sebelumnya. Kami semua punya rencana yang berbeda, namun akhirnya berkumpul di tempat yang sama. 

Kalau dipikir-pikir, ini cukup khas bagi kami, tapi bukan situasi yang bisa ditertawakan begitu saja.

 “Ah, benar! Nah, semuanya, jika kalian mau, maukah kalian makan bersama kami di meja kami? Karena kita semua di sini, akan lebih baik kalau begitu. Benar kan?”

“Mama… itu merepotkan Umi dan yang lainnya. Aku tidak memberitahu mama, tapi ibu nya Umi dan ibunya Maki-kun ada bersama kita hari ini.”

“Oh! Jadi Sora-san dan ibunya Maki-kun juga ada di sini. Kalau begitu, aku harus mengenalkan mereka pada suamiku. Yuu, aku akan memanggil ayahmu sekarang. Kamu duluan ke meja Umi-chan dan yang lain, ya?”

“Tunggu, mama! Maaf ya, Umi, Maki-kun. Mama kadang suka seperti ini, tidak mau mendengarkan orang lain…”

“Tidak apa-apa. Aku dan ibuku sudah mengenal sifat Eri-san. Maki, kamu bagaimana?”

“Aku tidak masalah. Lagipula, ibuku sudah sering bilang ingin bertemu Eri-san yang dulu pernah jadi artis. Jadi, kalau ibu bisa bertemu sekarang, pasti akan menyenangkan.”

Sepertinya, seperti saat di festival kembang api kemarin, suasana di sekitarku semakin ramai belakangan ini. Kami akhirnya meminta izin pada ibunya Amami-san dan ibuku, serta konfirmasi dari pelayan untuk pindah meja. 

Dengan begitu, jadilah Amami-san sekeluarga, keluarga Asanagi dan keluarga Maehara, ditambah Nitta-san, duduk di meja besar yang sama. 

Tak disangka, di tempat seperti ini kami berkumpul bersama orang tua kami (tanpa keluarga Nitta-san, tentu saja).

“Senang bertemu dengan kalian semua. Namaku Amami Eri, ibu dari Yuu. Terima kasih karena sudah mau berteman dengan putri kami.”

“Tidak, justru aku yang harus berterima kasih kepada Yuu-chan. Maaf kalau anakku ini merepotkan.”

Para orang tua yang baru bertemu untuk pertama kalinya tampak antusias mengobrol satu sama lain. Bagi diriku pribadi, melihat ibuku yang selalu sibuk kerja bisa tersenyum gembira seperti ini adalah pemandangan yang sangat langka. Sekali-kali seperti ini tidak masalah, pikirku.

Namun, berbeda dengan orang tua kami yang ceria, kami yang berada di kelompok anak-anak justru merasakan suasana yang canggung.

“…”

“…”

“Ehm, ya sudah, bagaimana kalau kita mulai makan saja? Benar begitu, Umi?”

“Iya, betul. Aku juga sudah sangat lapar.”

Kami mulai makan dengan keadaan yang masih canggung, namun suasana di antara kami berempat terasa aneh, terutama antara Nitta-san dan Amami-san.

“Yuu, tidak makan?”

“Kamu duluan saja, Nina-chan. Aku belum lapar.”

“Ah, begitu ya.”

Tanpa ada pembicaraan lebih lanjut, kami hanya sibuk menyuap makanan di hadapan kami dalam keheningan.

Tidak diragukan lagi bahwa ada sesuatu yang terjadi antara Amami-san dan Nitta-san, tetapi di depan para orang tua, aku tidak ingin membuat mereka khawatir. Ketika aku diam-diam mengeluarkan ponsel dari saku, sebuah pesan dari Umi tiba tepat pada saat itu.

(Asanagi) “Maki, kelihatan loh kalau kamu melakukan sesuatu di bawah meja.” 

(Maehara) “Maaf.” 

(Maehara) “Umi, gimana caranya kamu bisa mengetik seperti itu?” 

(Asanagi) “Blind typing.” 

(Asanagi) “Aku belajar saat sering berbalas pesan diam-diam dengan kamu.” 

(Maehara) “Hebat.” 

(Maehara) “Aku berusaha untuk tidak melihat mereka, tapi susah juga.” 

(Asanagi) “Nanti kamu akan terbiasa.” 

(Asanagi) “Lebih penting lagi, ini bagaimana ya? Tentang Yuu dan Nina.” 

(Maehara) “Iya, benar.” 

(Maehara) “Umi, kamu tahu sesuatu?” 

(Asanagi) “Hmm... kalau dipikir-pikir, mungkin ada hubungannya waktu festival kembang api selesai.” 

(Asanagi) “Sejak saat itu, kita berempat tidak pernah berangkat sekolah bersama lagi.” 

(Maehara) “Oh iya, ya?”

Aku tidak terlalu memperhatikan sebelumnya, tapi kalau dipikir-pikir lagi, dalam seminggu ini memang begitu. Kadang Amami-san datang terlambat, kadang Nitta-san lebih dulu karena tugas piket, dan kadang dia yang telat. Aku pikir itu hanya karena kebetulan jadwal kami tidak cocok. Lagi pula, Amami-san dan Nitta-san memang tipe orang yang suka datang telat, jadi aku tidak merasa ada yang aneh.

Namun, situasi tidak terduga di mana kami bertemu secara kebetulan seperti ini membuat ketegangan di antara mereka terlihat jelas. Dari situ, kesimpulan yang bisa kami ambil adalah, saat perjalanan pulang setelah festival kembang api, mungkin terjadi sesuatu yang menyebabkan retakan dalam hubungan mereka. Bisa dibilang, kemungkinan besar mereka bertengkar.

Tapi, apa penyebab pertengkaran itu?

“Yuu-chi, kita baikan saja, yuk? Kalau kita terus begini, jadi bikin yang lain khawatir. Lihat saja, Ketua sampai harus mengetik pesan diam-diam padahal kita di sini.”

“Eh? Maksudmu... Maki-kun?”

“Haha… iya, aku khawatir melihat kalian seperti ini. Kalian tidak pernah bertengkar sebelumnya, jadi wajar saja kalau aku cemas.”

Aku berusaha meniru gaya bicara Umi, tetapi sepertinya Nitta-san bisa menebaknya dengan mudah. Mungkin sudah saatnya aku bertanya langsung pada mereka berdua. Namun, sebelum itu…

“Yuu, Nina. Karena kita sudah memesan banyak makanan, dan kita belum menghabiskan apa pun, bisakah kalian bantu kami makan? Meski tidak terlalu lapar, aku yakin kalian bisa menghabiskan sedikit lagi, kan?”

“Uh, iya. Kurasa aku masih bisa makan sedikit.”

“Aku memang datang dengan niat makan gratis, jadi aku akan makan sebanyak mungkin.”

“Baiklah, terima kasih ya.”

Umi memberikan sepiring pasta yang penuh kepada mereka berdua. Tanpa banyak bicara, Amami-san dan Nitta-san mulai makan dengan tenang.

“Nitta-san, menurutmu bagaimana rasanya? Enak?”

“Cukup enak. Kamu mau coba, Ketua?”

“Sedikit saja.”

“Ambil saja piring kecilnya. Umi, kamu mau?”

“Aku juga mau.”

“Oke, nih.”

Nitta-san memindahkan beberapa sendok pasta pesto ke piring kecil kami. Biasanya, dia jarang melakukan hal seperti ini, tapi bukan berarti dia tidak bisa melakukannya. Kami biasanya yang lebih dulu bergerak, jadi dia hanya mengikuti kami tanpa berkata apa-apa.

“.........”

Sementara suasana mulai sedikit membaik, ada seorang gadis yang memandang kami dengan tatapan iri.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Amami-san menggerakkan penjepit makanan dengan riuh, seolah ingin memperlihatkan bahwa dia juga ingin membantu membagikan hidangan.

“Amami-san, bolehkah aku minta lasagna di sana? Oh, dan satu hash brown juga, tolong,”

“I-iya, tentu. Um, Umi, kamu mau juga?”

“Ya, tolong. Oh, aku punya ide. Nee, Yuu, bagaimana kalau kita bertanding siapa yang bisa makan lebih banyak? Yang kalah harus menyiapkan hidangan penutup,” 

Umi menantang dengan senyum penuh percaya diri.

“Eh? Hmm, kalau kamu mau menantangku, ya sudah... Aku mau es krim vanila dan stroberi, ditambah selai raspberry, dan banyak taburan cokelat di atasnya!”

“Wah, kamu sudah memesan hidangan penutup sebelum pertandingan dimulai? Bukankah tadi kamu bilang tidak lapar?”

“Tadinya memang tidak lapar, tapi begitu kamu bilang mau bertanding, tiba-tiba selera makanku kembali. Nina, bolehkah aku minta satu porsi tambahan ayam goreng dan pizza?”

“Maki, tambahkan juga pesanan yang sama di sini,”

“Tiba-tiba saja kita seperti memulai lomba makan... Kaloan berdua, tolong jangan terlalu berlebihan ya.”

Meski tampak seperti lelucon, Umi jelas mencoba membantu mencairkan suasana untuk Amami-san. Dan meskipun Amami-san tahu akan hal itu, atmosfer di antara mereka berdua masih terasa cukup tegang.

“Sungguh, dua orang ini seperti anak kecil. Benarkan, Ketua?” celetuk Nitta-san.

“Yah, ini sudah biasa buat mereka berdua... hehe,”

Mereka berdua selalu melakukan segala sesuatu dengan sepenuh hati. Inilah momen-momen yang biasa kami alami, yang kami rindukan, perasaan ‘seperti biasanya.’ 

Kadang ada perbedaan pendapat dan perselisihan, tapi itu bukan karena mereka saling membenci. Mereka hanya mengalami sedikit salah paham. Selama mereka saling menganggap teman yang berharga, aku yakin mereka bisa menyelesaikan masalah ini.

Perlombaan makan yang tiba-tiba dimulai antara Umi dan Amami-san berakhir dengan kemenangan tipis bagi Amami-san, yang makan satu potong ayam goreng lebih banyak. 

Kami berempat melanjutkan makan hingga hidangan habis tanpa sisa, bahkan sampai memesan tambahan ronde kedua dan ketiga. 

Kami pun menikmati hidangan penutup dan kopi dengan perut yang terasa penuh. Mungkin rasa puas ini bukan hanya karena makanannya yang enak, tetapi juga karena suasana hati yang membaik setelah seminggu penuh dengan kecanggungan.

“Yuu, ini es krim pesanannya. Vanila dengan stroberi dan tambahan topping ekstra,”

“Uwahhh, terima kasih, Umi!”

Orang tua kami yang duduk di meja sebelah melihat kami dengan senyum tipis, sementara mereka berdiskusi tentang siapa yang akan membayar tagihan.

“Jadi, aku yang bayar kali ini,”

“Tidak, justru kami yang tiba-tiba ikut bergabung harusnya yang membayar,”

Sambil mereka berdebat, kami berempat keluar dari restoran  sambil mengelus-elus perut kami yang kepenuhan. 

Kami sebenarnya berencana membicarakan hal penting setelah makan, tetapi semua sudah terlalu kenyang dan malas untuk memulai diskusi serius.

“Sungguh, kita semua sangat konyol,”

“Benar. Eh, Ketua, kenapa kamu malah ikut-ikutan perlombaan tadi?”

“Lho, kamu juga ikut-ikutan, Nitta-san,”

“Haha, suasana tadi canggung sekali, tapi sekarang malah jadi begini. Benar-benar aneh ya kita ini,”

Kami berempat duduk di bangku dan menatap langit-langit. Meskipun kami terlihat bodoh, perasaan yang ada dalam hati kami saat itu jauh dari perasaan buruk.

Dengan pikiran melayang-layang dan tanpa rencana, aku tiba-tiba bertanya, “Jadi, kenapa kalian berdua bertengkar?”

Pertanyaan itu membuat suasana sejenak hening. Nitta-san akhirnya menghela napas dan menjawab terlebih dahulu.

“Yah, kami juga punya alasan masing-masing. Benar begitu, Yuu?”

“Benar. Ada alasan yang cukup dalam,”

“Serius, kalian benar-benar tidak mau jujur? Yah, sejak masuk SMA, kalian selalu bersama-sama. Jadi, aku sudah menduga pasti ada sesuatu yang terjadi,”

Aku berharap, apa pun masalah yang terjadi di antara mereka, pada akhirnya akan terselesaikan seperti biasanya.

Seiring dengan meningkatnya waktu yang aku habiskan bersama Umi sebagai pasangan, aku juga sadar bahwa Amami-san, yang sebelumnya selalu bersama Umi, kini lebih sering menghabiskan waktu dengan Nitta-san. 

Jika dihitung secara keseluruhan, hubungan antara Umi dan Amami-san masih lebih dalam karena masa lalu mereka yang panjang. Namun, jika hanya melihat waktu belakangan ini, bisa dibilang Nitta-san lah yang paling memahami Amami-san saat ini.

“Nee, Asanagi, Ketua. Kamu tahu tidak, Yuu-chi itu benar-benar keras kepala! Aku jujur saja, dia benar-benar bodoh. Bodoh sekali!”

“A-apa? Orang yang bilang ‘bodoh’ itu justru yang bodoh! Kamu yang bodoh, Nina-chan! Kamu ini, dasar tengil, keras kepala, tidak peka!” balas Amami-san sambil terengah-engah.

“Tingkat pertengkaran mulut kalian rendah sekali,” gumamku sambil menghela napas.

Melihat situasi yang tidak terlalu tegang, aku merasa sedikit lega. Namun, rasanya masih jauh dari kata benar-benar berdamai.

“Nee, Yuu,” panggil Umi lembut.

“...Umi,” jawab Amami-san sambil menunduk.

“Apa ada hal yang tak bisa kamu katakan padaku?”

Amami-san menggelengkan kepalanya pelan, hampir tak terlihat, seolah menunjukkan ketidakmampuannya untuk menjelaskan.

“Maaf... Tapi aku...,” ujar Amami-san lirih.

“Tidak apa-apa. Aku juga membuatmu khawatir waktu itu dan memilih untuk kabur daripada mengatakannya. Jadi, kita impas, oke?” balas Umi dengan senyum penuh pengertian.

“Umi...” Amami-san tidak mengatakan apa-apa lagi, dan Umi hanya membalasnya dengan senyum tenang. 

Umi benar-benar seorang teman yang pengertian dan lembut, selalu memikirkan orang lain.

“Tapi, Yuu. Jika kamu merasa tidak mampu menanggung semuanya sendiri, kamu bisa datang padaku kapan saja. Apa pun masalahnya, aku akan selalu siap mendengarkanmu,”

“Ya, terima kasih, Umi. Tapi, kali ini aku ingin mencoba mengatasinya sendiri,”

“Begitu? Biasanya kamu selalu mengandalkanku, tapi kali ini kamu terlihat keras kepala, ya,” 

“Ya... Mungkin Nina-chan akan memanggilku bodoh lagi, tapi aku harus menyelesaikan ini sendiri. Aku pasti bisa,”

“Serius sekali, ya,” gumam Nitta-san sambil melirik Amami-san, seakan mengiyakan bahwa dia benar-benar bodoh.

Melihat interaksi mereka berdua, aku hanya bisa diam dan memperhatikan. 

Meskipun aku merasa khawatir, tapi tidak banyak yang bisa kulakukan selain mengamati dan mendukung dari jauh. Aku bertanya-tanya masalah besar apa yang sebenarnya mereka hadapi.

Setelah percakapan empat mata itu selesai, kami pun kembali ke orang tua kami yang sudah menunggu kami. 

◆   ✧ ₊ ✦ ₊ ✧   ◆

Siang itu, kami memutuskan untuk berpisah dan melanjutkan aktivitas masing-masing. Sempat ada usul dari orang tua kami untuk berkeliling fasilitas lainnya bersama-sama, tetapi karena keluarga Amami-san harus pergi karena ada urusan mendadak, kami pun akhirnya berpisah.

“Kalau begitu, sampai jumpa di sekolah,” ucap Amami-san saat berpamitan.

“Ya, sampai bertemu lagi di sekolah,”

“Bye-bye,”

“Jangan sampai terlambat masuk sekolah setelah liburan, ya. Selamat berlibur,”

Kami berpisah dengan keluarga Amami-san, sementara aku dan Umi melanjutkan rencana sore kami. 

Sebenarnya, rencana untuk memilih pakaian sudah selesai pada pagi hari, jadi sore ini kami memutuskan untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari bersama ibu kami dan Nitta-san.

“Kalau begitu, kami akan pergi ke supermarket. Bagaimana denganmu, Nitta-san? Masih belum bisa menghubungi kakakmu?”

“Ya, sepertinya dia sedang menonton film, jadi aku ikut saja. Kebetulan di rumahku juga banyak bahan makanan yang sudah habis,” jawab Nitta-san dengan santai.

Kami pun pergi ke supermarket besar di dalam kompleks outlet mall. Supermarket ini menjual berbagai produk impor dan barang dalam ukuran besar, sehingga suasananya lebih mirip gudang daripada toko biasa yang sering kami kunjungi di kota.

“Oh, daging ini sedang diskon. Maki-kun, bagaimana kalau malam ini makan malam di rumah kami? Makan yakiniku sambil minum-minum, bagaimana?” tawar ibunya Umi.

“Wah, ide bagus! Kalau begitu, aku ambil satu kotak bir kalengan ini...” jawab ibuku dengan penuh semangat.

“Huff... Ibu,” ujar aku dan Umi hampir bersamaan, sambil menghela napas panjang.

Meskipun sudah menikmati pagi dan makan siang yang memuaskan, para orang tua kami tampaknya masih bersemangat untuk menghabiskan waktu lebih banyak bersama dengan minum-minum di rumah malam ini.

Meskipun kami sudah mulai merasa lelah, para ibu kami tetap terlihat penuh energi. 

Mungkin itulah alasan mengapa ibuku bisa bekerja dengan baik dan mengapa Sora-san bisa menjadi penopang keluarga sementara Daichi-san sedang tidak ada.

“Hebat, ya. Keluargamu kelihatannya akur sekali,” ujar Nitta-san sambil melirik kami.

“Benarkah? Yah, menurutku lebih baik begitu daripada bertengkar terus. Lagipula, di rumah Nitta-san, orang tuamu kan sibuk sekali, jadi mereka jarang punya waktu untuk hal semacam ini. Mereka pekerja di perusahaan listrik, bukan?” tanyaku sambil mengingat penjelasan sebelumnya.

“Wah, kamu ingat juga ya, padahal aku hanya pernah bilang sekali dua kali. Iya, mereka itu pekerja lapangan. Sehari-hari sibuk di berbagai lokasi kerja, dan saat mereka pulang, mereka biasanya langsung istirahat karena kelelahan. Begitulah, kehidupan rumah tanggaku sekarang memang seperti itu. Aku sendiri tidak punya banyak teman dekat,” jawab Nitta-san sambil tertawa kecil.

“Jadi, pertemananmu lebih ke arah ‘luas tapi dangkal,’ ya,”

“Ya, seperti itu. Kalau dipikir-pikir, teman yang banyak hanya ada di kontak ponselku saja,”

Situasi seperti kami mungkin sangat jarang terjadi. Bahkan jika ada hubungan melalui pernikahan atau semacamnya, biasanya tidak akan melibatkan hubungan yang begitu erat seperti ini. 

Meskipun selama ini Nitta-san dikenal sebagai sosok yang mudah bergaul dan memiliki banyak koneksi di sekolah, ternyata di hari libur, ia lebih sering menghabiskan waktu sendirian.

“Makanya, belakangan ini terasa cukup segar dan menyenangkan bagiku. Setiap pagi bertemu orang yang sama, pergi ke sekolah bersama-sama. Lalu saat libur, selalu ada alasan untuk pergi keluar bersama seperti sekarang ini. Meskipun hari ini kita sempat berpisah dan menjalani aktivitas masing-masing,” jelas Nitta-san.

“Kalau kamu merasa seperti itu, seharusnya tadi kamu bilang ingin ikut bersama kami. Kalau bukan kencan, aku dan Umi juga tidak akan merasa terganggu. Bahkan Amami-san pun pasti tidak masalah,”

“Ya, kalian semua memang orang yang baik. Asanagi, Ketua, Yuu-chi, kalian semua terlalu baik sampai aku merasa terkejut. Tapi kalau soal Seki, dia agak berbeda,” ujarnya sambil tertawa kecil.

“Nozomi juga sebenarnya orang yang baik,”

Meskipun terlihat sinis pada Nozomi, Nitta-san sebenarnya peduli pada kami semua. Selama ini dia menghindari hubungan yang terlalu dalam dan tidak pernah mau terlalu terlibat dalam masalah pribadi orang lain. Tapi ketika bersama kami, ia menunjukkan sikap yang berbeda.

Ungkapan “berteman sampai bertengkar” mungkin cocok untuk menggambarkan hubungan kami. 

Jika hanya hubungan biasa yang dangkal, kami bisa saja menjaga jarak sebelum terjadi konflik. Namun Nitta-san memilih untuk tetap dekat meskipun ada potensi pertengkaran, yang menunjukkan betapa pentingnya kami baginya.

“Ya, mungkin ke depannya aku akan lebih jujur saja dan tidak terlalu berpikir berlebihan. Rasanya tidak ada cara untuk menghindari serangan perhatian dari kalian berdua,”

“Hei, itu bukan serangan perhatian atau apa pun. Ngomong-ngomong, lihat itu, ada camilan keripik kentang besar di sana. Bagaimana kalau kita beli saja? Persediaan camilan kita di rumah juga sudah mulai habis,” kata Umi sambil menunjuk rak penuh keripik kentang.

“Ini ukurannya besar sekali. Ini barang untuk kebutuhan restoran, bukan? Terlalu banyak untuk kita berdua,” balasku ragu.

“Tidak masalah, ada Yuu dan Nina juga, pasti bisa habis. Lagipula, kita bisa makan ini saat belajar bareng minggu depan. Ujian tengah semester juga sudah maki dekat,” kata Umi bersemangat.

“Tunggu, aku baru dengar soal itu sekarang,” protes Nitta-san dengan nada terkejut.

“Ya, aku juga baru bilang sekarang,” jawab Umi tanpa rasa bersalah.

Aku juga baru mendengar rencana itu. Ujian tengah semester memang masih sekitar dua minggu lagi, tetapi Umi tampaknya ingin memperbaiki hubungan antar sahabatnya secepat mungkin.

“Benar-benar ambisius... Nee, Ketua, pacarmu ini kelihatannya sedikit berlebihan. Apa tidak ada yang bisa kamu katakan padanya?”

“Semangat Umi yang berlebihan juga terlihat manis, kan?” jawabku sambil tersenyum.

“Ah, percuma saja bicara dengan kalian,” ujar Nitta-san sambil mengangkat bahu dan akhirnya menyerah.

Meskipun kadang terkesan berlebihan, selama Umi bersemangat melakukan sesuatu, aku akan mengikuti semua kemauannya. Bagiku, itulah cara terbaik untuk mendukungnya.

Rencana akhir pekan depan pun akhirnya diputuskan dengan lancar. 

Saat kami kembali melanjutkan belanja masing-masing, tiba-tiba ada seseorang yang melambai ke arah kami.

“Oi, Nina! Nina!”

Suara itu datang dari seorang wanita dengan rambut cokelat terang bergelombang dan mata yang tampak tegas. Meskipun aku belum pernah melihatnya sebelumnya, wajahnya terlihat mirip dengan Nitta-san.

“Nitta-san, sepertinya ada yang memanggilmu,”

“Ah, iya. Itu kakakku,” jawab Nitta-san dengan santai.

“Jadi itu benar kakakmu? Jadi, kamu tidak berbohong soal datang bersama seseorang,” balasku, sedikit terkejut.

“Sudah kubilang, aku tidak sampai berbohong seperti itu. Kalau aku datang sendirian naik bis ke sini, itu lebih mirip dengan sesuatu yang Ketua lakukan,”

“Aku tidak akan datang sendirian ke tempat seperti ini,” bantahku sambil tertawa.

Saat kami berbincang, kakaknya Nitta-san mendekat dengan senyum menggoda. Dia melihat ke arahku dan Nitta-san bergantian, seolah sedang salah paham dengan sesuatu.

“Nina, kenapa tiba-tiba bilang ingin jalan-jalan sendiri? Kalau ini soal kencan, kamu harusnya bilang padaku. Aku bisa membantumu, lho!” goda sang kakak.

“Astaga, kamu salah paham. Yang pacaran itu mereka berdua. Aku ini hanya ‘teman’ saja. Pacarnya orang ini adalah dia,” kata Nitta-san sambil menunjuk ke arahku dan Umi.

“Salam kenal, namaku Asanagi Umi, pacar dari Maehara Maki. Senang bertemu dengan Nitta-Oneesan,”

“Oh, maaf, maaf! Aku salah paham. Namaku Nitta Yuna, kakaknya Nina. Aku sekarang kelas tiga SMA dan sedang sibuk mempersiapkan ujian masuk perguruan tinggi... Ah, baru saja aku lupa soal itu, sekarang jadi ingat lagi... Aku stress...”

“Ah, Nitta-san, kakakmu tampaknya sangat ceria ya,”

“Kamu bisa bilang dia agak bodoh, Ketua. Tapi meskipun dia seperti ini, dia bersekolah di Shuseikan,”

“Shuseikan? Oh, itu sekolah dengan nilai rata-rata tertinggi di provinsi,”

Kakaknya Nitta-san memang terlihat ceria dan penuh semangat. Wajah mereka mirip, tetapi Kakaknya sedikit lebih tinggi, mungkin sekitar sepuluh sentimeter lebih tinggi dari Nitta-san. 

Dilihat sekilas, mereka terlihat seperti ‘saudara yang akrab,’ meskipun Nitta-san sering mengatai kakaknya, sepertinya itu hanya karena dia malu, bukan benar-benar marah.

“Ngomong-ngomong, Yuna-nee, bagaimana dengan filmnya? Bukankah baru mulai sekitar tiga puluh menit yang lalu?” tanya Nitta-san.

“Oh iya, aku memang beli tiketnya. Tapi setelah dipikir-pikir, aku ingin menghabiskan waktu lebih banyak jalan-jalan bersama Nina. Sudah lama kita tidak jalan berdua, kan? Terkejut, ya?”

“Ya, aku cukup kaget. Maaf ya, Ketua, sepertinya aku akan pergi dengan kakakku,”

“Tidak masalah, aku juga setuju kamu lebih baik menghabiskan waktu bersama keluargamu,”

Memang lebih baik jika Nitta-san menghabiskan lebih banyak waktu bersama kakaknya. 

Awalnya kami mengajak Nitta-san karena melihatnya sendirian, tapi jika ada kakaknya yang menemani, kami tidak punya alasan untuk tetap bersama mereka. 

Dengan begitu, kami pun berpisah dengan Nitta-san, sama seperti sebelumnya dengan Amami-san.

“Baiklah, sampai jumpa Ketua, Umi. Dan soal kakakku, tolong lupakan kejadian hari ini,”

“Baik, akan kupikirkan. Dan jangan lupa minggu depan ya,”

“Nina, jangan khawatir, aku akan memastikan Yuu datang minggu depan. Jadi kamu juga harus datang,”

“Hah, itu terdengar merepotkan. Tapi ya sudah, aku akan datang jika takdir mengijinkan,” jawab Nitta-san dengan nada yang agak ogah-ogahan.

Walaupun nada suaranya menunjukkan seolah-olah dia tidak berniat datang, aku yakin Nitta-san akan datang minggu depan. Hanya saja, kami masih harus menunggu jawaban dari Amami-san juga. 

Setelah mengucapkan terima kasih kepada ibu-ibu yang menemani kami, aku dan Umi keluar dari supermarket bersama.

Namun, tiba-tiba Nitta-san menoleh ke arah kami sebelum keluar.

“Hei, Umi,” panggil Nitta-san.

“Ada apa?” tanya Umi sambil menghentikan langkahnya.

“Dan kamu juga, Ketua,”

“Aku? Ada apa?”

“Aku ingin mengatakan sesuatu kepada kalian berdua...” kata Nitta-san dengan suara yang tiba-tiba serius.

Nitta-san menatap kami berdua dengan tatapan yang serius. Seolah ingin mengatakan sesuatu dengan nada bercanda seperti biasanya, namun dia hanya tersenyum pahit dan menggelengkan kepala.

“Ah, maaf... Sebenarnya, tidak ada apa-apa,”

“Eh, apa itu? Kalau sudah begitu, jadi bikin penasaran, tahu!!”

“Nitta-san, kalau memang ada sesuatu yang ingin disampaikan, lebih baik katakan saja,”

“Tidak, tidak perlu. Lagipula, ada Yuna-nee di sini,”

“Eh, kenapa begitu?” Umi mengerucutkan bibir, tampak kecewa.

“Sudahlah. Maaf ya, kalian berdua. Sampai jumpa di sekolah,” kata Nitta-san sebelum berbalik dan melangkah pergi bersama kakaknya, Yuna-san, menghilang di tengah keramaian.

Aku memandang mereka pergi dan kemudian berbisik kepada Umi, “Umi, barusan itu, sayang sekali ya.”

“Iya, tinggal sedikit lagi. Mungkin kita bisa mendengar apa yang sebenarnya ingin dia katakan,” jawab Umi dengan nada kecewa.

Kami sudah menunjukkan ketulusan kami dalam mendengarkan, dan kurasa kami hampir berhasil membuat Nitta-san membuka hatinya. Namun, karena munculnya kakaknya Nitta-san, kesempatan itu hilang begitu saja, setidaknya untuk hari ini.

Apa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh Nitta-san saat itu?

Dari apa yang terjadi selama liburan musim panas, festival olahraga sekolah, hingga festival kembang api beberapa waktu lalu, dan juga pertemuan kami hari ini. Semua momen itu seolah mengisyaratkan sesuatu yang penting.

Secara perlahan, aku dan Umi mulai memahami inti masalah yang ada di antara kami bertiga. Meski samar, sedikit demi sedikit, kami bisa meraba akar perasaan yang sebenarnya sedang dirasakan oleh Nitta-san.














Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !