Bab 2
Malam Festival
Kembang Api
Keesokan harinya, setelah kami berdua menikmati suasana festival lebih awal, akhirnya tiba saatnya acara utama, yaitu festival kembang api. Waktu berkumpulnya adalah sore hari, dan sekarang masih pagi.
Meskipun aku dan Nozomi bisa bersantai sejenak, lain halnya dengan ketiga teman perempuan kami. Mereka akan berkumpul di rumah Amami-san untuk mempersiapkan penampilan mereka dan memastikan semuanya sempurna sebelum menghadiri festival kembang api.
“Yup, sudah waktunya aku pergi ke rumah Yuu. Maki, sampai ketemu beberapa jam lagi ya.”
“Sampai jumpa! Aku akan menunggu melihatmu dalam balutan yukata nanti.”
“Maki, dasar nakal.”
“Lah, kenapa jadi begitu?”
“Hehe, aku akan berusaha tampil cantik, jadi nanti jangan lupa puji aku ya. Oh iya, kalau sudah siap, aku akan kirim foto selfie dulu.”
“Foto itu pasti akan aku simpan dengan baik.”
“Dasar mesum.”
“Yah, aku tidak bisa membantah itu, sih.”
Sejak mulai berkencan dengan Umi, galeri fotoku semakin banyak berisi foto-foto dirinya yang menggemaskan.
Mulai dari penampilan cantiknya saat memakai kimono di Tahun Baru, hingga foto dengan aksesoris rambut yang kuberikan di hari ulang tahunnya.
Ada juga foto-fotonya saat kami pergi kencan atau bahkan ketika dia mengenakan pakaian renang di liburan terakhir kami.
Tentu saja, aku tidak pernah memintanya secara langsung, tetapi Umi sendiri yang mengirimkannya dengan berkata, “Kamu pasti senang kalau punya ini, kan?”
Meski Umi selalu ada di sisiku, melihat foto dirinya yang tersimpan rapi di ponselku memberikan kebahagiaan tersendiri. Saat tidak bisa bersamanya atau ketika aku sendirian sebelum tidur, aku sering menatap fotonya dan senyum-senyum sendiri.
Meskipun mungkin terlihat aneh dari sudut pandang orang lain, ini adalah rutinitas rahasiaku yang aku nikmati setiap hari. Oh, dan Umi sudah mengetahuinya sejak awal. Saat aku mengaku, dia berkata, “Maki, kamu itu agak menyeramkan, tahu,” tapi sejak saat itu, dia malah lebih sering mengirimkan fotonya.
Sepertinya selama hanya aku yang melihat, dia tidak keberatan. Betapa beruntungnya aku memiliki pacar yang pengertian seperti dirinya.
“Hmm, kalau begitu, aku berangkat dulu. Oh, tunggu... aduh, kenapa ada telepon di saat seperti ini sih? Dasar kakak yang tidak peka.”
“Kenapa, Umi? Ada apa?”
“Ah, tidak ada apa-apa. Ini telepon dari kakak.”
“Dari Riku-san? Itu cukup langka.”
Di layar ponsel Umi, tertulis jelas nama “Asanagi Riku”.
Sudah sekitar dua bulan sejak Riku-san pergi bekerja di penginapan keluarga “Shimizu”.
Baik aku maupun Umi belum pernah mendengar kabar langsung darinya selama ini, jadi panggilan ini membuat kami sedikit cemas. Tapi, kami tahu dari Sora-san, bahwa dia mengabari secara rutin dan tampaknya baik-baik saja. Jadi, seharusnya ini bukan kabar buruk.
“Umi, sebaiknya kamu jawab dulu panggilannya.”
“Ya, baiklah. Halo, Kak? Kalau tidak ada urusan penting, aku akan tutup ya.”
“Dia menelepon karena pasti ada keperluan, kan...”
Meskipun Riku-san sudah serius bekerja, sikap dingin Umi terhadap kakaknya masih sama seperti biasa.
Dari nada suara Riku-san yang terdengar melalui telepon, sepertinya dia menjalani kehidupan baru di sana tanpa ada masalah, dan itu cukup melegakan.
“Apa? Di mana aku sekarang? Tentu saja aku sedang di rumah Maki... Hah? Ada apa? Ya ampun, Kakak, selalu saja begini... Maki, nih, Kakak mau bicara denganmu.”
“Eh? Aku yang harus menjawab?”
“Ya, katanya ada yang ingin dibicarakan denganmu.”
Aku menerima ponsel dari Umi dan mengaktifkan mode speaker, lalu mulai berbicara dengan Riku-san di ujung telepon.
“Halo, Riku-san?”
“Halo, Maki. Lama tidak berjumpa. Sudah dua bulan sejak terakhir kali, ya? Bagaimana, si bodoh satu ini tidak merepotkanmu, kan?”
“Tidak, sama sekali tidak. Tapi bagaimana dengan Riku-san sendiri?”
“Aku? Sejujurnya, memang cukup melelahkan. Aku harus bangun lebih awal dari nenekku untuk belanja bahan makanan, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan berlatih memasak.”
“Namun, suaramu terdengar segar. Bagaimana hubunganmu dengan Shizuku-san?”
“... Apakah adik bodoh itu ada di dekatmu sekarang?”
“Ya, dia ada di sini, mendengarkan dengan saksama.”
“Maki, kenapa kamu membocorkan itu?”
“Dasar... selalu ikut campur urusan orang lain... Yah, begitulah. Kami berdua sibuk bekerja, jadi tidak ada hal istimewa yang terjadi seperti yang kalian harapkan.”
“Dasar pengecut.”
“Apa kau bilang, hah?”
“Hei, kalian berdua, tolong jangan berdebat di saat aku di tengah-tengah percakapan ini.”
Percakapan mereka seperti biasa—mengolok satu sama lain, namun juga terasa hangat. Sungguh melegakan mengetahui bahwa meskipun terpisah jarak, hubungan kakak-beradik itu tidak berubah sama sekali.
Namun, tampaknya hubungan Riku-san dengan Shizuku-san berjalan baik, memulai kembali hubungan dari awal. Hal ini membuatku lega, mengingat aku juga pernah memberi dorongan pada mereka.
“Ngomong-ngomong, Riku-san, tentang Reiji-kun... bagaimana kabarnya?”
“Yah... sebenarnya, aku menelepon untuk membahas itu.”
Kelihatannya, situasi ini masih cukup rumit.
“Kak, kalau pembicaraan ini memakan waktu lama, aku tutup dulu ya. Aku harus pergi ke rumah Yuu sekarang.”
“Baiklah. Maaf, Maki, bisa aku meneleponmu lagi nanti? Aku masih harus mengurus pengiriman pagi ini, mungkin setelah semuanya selesai.”
“Ya, tentu saja. Kapan saja aku siap. Semangat bekerja, Riku-san.”
“Terima kasih, Maki. Maaf merepotkanmu. Sampai nanti.”
Setelah panggilan dari Riku-san berakhir, aku dan Umi saling berpandangan sejenak. Kami berdua tampaknya memikirkan hal yang sama.
“Dasar kakak bodoh. Ayah dan Ibu sudah bilang untuk berkonsultasi kalau ada masalah.”
“Yah, Riku-san punya rasa tanggung jawab yang besar. Lagipula, dari percakapannya, sepertinya masalahnya tidak terlalu serius.”
Mungkin Riku-san hanya kesulitan dalam mendekatkan diri dengan Reiji-kun. Anak itu memang akrab denganku, tapi mengingat sifatnya yang pemalu, mungkin dia merasa canggung berhadapan dengan Riku-san yang terlihat dewasa dan serius.
Namun, karena Reiji-kun tidak membenci Riku-san, kemungkinan besar hubungan mereka akan membaik jika ada momen yang tepat.
“Pokoknya, kalau ada apa-apa, jangan lupa hubungi aku ya. Bagaimanapun juga, dia adalah keluargaku.”
“Ya. Umi, kamu memang baik.”
“B-bukan begitu! Aku hanya tidak ingin orang lain merasa terganggu saja.”
“Fufu, begitu ya.”
“Uh, dasar!”
“Eh, Umi-san? Bisa tolong berhenti mencubit pipiku? Sakit tahu.”
“Kalau begitu, aku akan mencubit pinggangmu.”
“Itu juga tidak boleh.”
Umi mungkin tampak manis di depanku, tapi dalam situasi seperti ini, sisi tsundere-nya mulai terlihat. Bagiku, sisi ini pun sangat menggemaskan.
Setelah puas bercanda dan menghabiskan waktu bersama, Umi pun berangkat ke rumah Amami-san.
Tidak lama kemudian, teleponku berdering, sepertinya Riku-san yang menelepon lagi.
Meski aku ingin menikmati waktu santai sejenak, telepon dari Riku-san adalah hal yang berbeda. Karena itulah, aku langsung menjawabnya.
“Halo, Maehara di sini.”
“Ah, halo, Maki-kun. Lama tidak berjumpa! Masih menjadi pasangan yang lengket dengan Umi-chan, ya?”
“Yah, kami baik-baik saja, terima kasih. Eh, suara ini... Shizuku-san, ya?”
“Benar! Terima kasih banyak atas bantuanmu tempo hari.”
Aku sempat terkejut mendengar suara perempuan yang bukan Riku-san, tapi langsung merasa lega saat mengetahui itu adalah Shizuku-san. Mungkin mereka sedang beristirahat bersama meski masih pagi. Setelah berbincang singkat, Shizuku-san menyerahkan telepon kepada Riku-san.
“Ya, hubunganku dan Shizuku sekarang berjalan dengan baik.”
“Senang mendengarnya. Tapi... bagaimana hubunganmu dengan Reiji-kun? Tidak terlalu dekat, ya?”
“Kamu bisa menebaknya, ya?”
“Aku juga tahu itu bukan hal yang mudah.”
Bagi Reiji-kun yang masih kecil, beradaptasi dengan lingkungan baru, teman baru, dan menerima Riku-san sebagai pacar ibunya tentu bukan hal yang mudah. Itu adalah perubahan besar dalam hidupnya.
“Kadang-kadang dia berbicara padaku, tapi pertanyaan yang sering dia ajukan biasanya tentang kamu, Maki.”
“Eh? aku?”
“Iya. Dia sering bertanya, ‘Kapan Maki-Oniichan datang lagi?’ Maksudnya itu kamu. Sepertinya dia berharap kamu akan datang jika aku yang memintanya.”
“Begitu, ya...”
Ternyata, bagi Reiji-kun, keinginannya untuk bermain denganku lebih besar daripada mendekatkan diri dengan Riku-san. Dia mungkin menganggap Riku-san hanya sebagai perantara untuk bisa bertemu denganku.
Reiji-kun memang tidak mengabaikan Riku-san. Hanya saja, saat ini dia lebih ingin bertemu denganku.
Jika sudah puas bermain denganku, dia mungkin akan mengalihkan perhatiannya ke hal lain. Saat itulah, jarak antara Riku-san dan Reiji-kun mungkin bisa teratasi.
“Jadi, aku sudah berbicara dengan Shizuku... Bagaimana kalau kita bertiga pergi jalan-jalan bersama?”
“Bagus juga itu. Apakah Riku-san akhirnya bisa mengambil libur?”
“Ya, sebenarnya mulai sore ini kami sudah libur. Kami juga libur besok, jadi kami berpikir untuk pergi ke festival kembang api. Aku dengar dari ibuku bahwa kalian juga akan pergi ke sana, bukan?”
“Iya, memang benar... Ah, jangan-jangan permintaanmu itu...”
“Benar. Aku ingin meminta bantuanmu, Maki. Aku tahu terdengar kurang baik, tapi aku ingin kamu jadi ‘umpan’ untuk Reiji-kun.”
Ini rupanya yang menjadi ‘permintaan’ dari Riku-san.
Karena mendapat hari libur, Riku-san dan Shizuku-san berpikir untuk pergi jalan-jalan bertiga agar bisa lebih dekat dengan Reiji-kun. Tentu saja, mereka juga ingin berkencan setelah sekian lama.
Namun, dengan adanya Reiji-kun, situasinya menjadi lebih rumit. Reiji-kun mungkin tidak akan menolak permintaan dari Shizuku-san, tetapi tentu lebih baik jika dia bisa menikmati pengalaman festival kembang api pertamanya tanpa merasa terpaksa.
Untuk itu, diperlukan pendekatan yang bisa membuat Reiji-kun tertarik dan bersemangat.
“Maki, bolehkah kami bertiga ikut ke festival kembang api bersamamu hari ini? Kami tahu ini mendadak dan mungkin merepotkan, tapi kami siap menanggung semua biaya makan dan minum di sana.”
Artinya, Riku-san dan Shizuku-san akan menanggung biaya makanan, minuman, dan jika ada kejadian tak terduga di festival nanti.
Aku akan membicarakan hal ini dengan yang lainnya, tapi kurasa tak akan ada yang keberatan. Mereka semua, termasuk Umi, adalah orang-orang yang terbiasa dengan kejadian mendadak dan selalu bisa menikmatinya.
“Baik, aku akan membicarakannya dengan yang lainnya dulu. Jika semuanya setuju, aku akan menghubungimu kembali. Setelah itu, Riku-san bisa mengajak Reiji-kun.”
“Terima kasih, Maki. Kami sudah sering merepotkanmu belakangan ini.”
“Aku tidak merasa dirugikan, kok. Anggap saja kita impas. Sampai bertemu beberapa jam lagi.”
“Ya, sampai jumpa nanti.”
“Maki-kun, sampai nanti.”
Setelah menutup telepon, aku segera mengirim pesan kepada Umi. Bisa saja aku meneleponnya, tetapi saat ini mungkin dia sedang berganti pakaian, jadi lebih aman mengirim pesan teks.
“(Maehara): Umi, bisa bicara sebentar?”
“(Asanagi): Mesum.”
“(Maehara): ...Maaf, apa kamu sedang berganti pakaian?”
“(Asanagi): Tidak, aku baik-baik saja. Tapi aku memang mau berganti pakaian sebentar lagi.”
“(Asanagi): Jadi, apa yang dikatakan si Kakak Bodoh itu?”
“(Maehara): Ya, tentang itu...”
Aku menjelaskan permintaan dari Riku-san dan Shizuku-san kepada Umi.
Sepertinya Umi sudah menduga hal ini sebelumnya, sehingga reaksinya cukup tenang.
“(Asanagi): Ah, jadi itu sebabnya ibuku bersikap aneh sejak tadi malam.”
“(Asanagi): Dia membeli banyak bahan makanan.”
“(Maehara): Sora-san tidak memberitahumu?”
“(Asanagi): Tidak. Tapi aku mendengar beberapa hal yang mencurigakan. Aku sempat berpikir mungkin kakak atau ayah akan datang.”
“(Asanagi): Tapi aku tidak menyangka si kakak bodoh itu akan mengajak serta Shizuku-san dan Reiji-kun juga.”
“(Maehara): Kelihatannya mereka sudah seperti keluarga, ya.”
“(Asanagi): Aku tidak menyangka Kakak akan lebih dulu membangun keluarga.”
“(Maehara): Yah, kalau dilihat dari umurnya, wajar jika Riku-san yang lebih dulu melangkah.”
“(Asanagi): Eh? Bukankah kita yang akan menikah dulu? Tahun depan, kan?”
“(Maehara): Ja-jangan bercanda begitu...”
“(Asanagi): Hehe.”
“(Asanagi): Ah, Eri-san memanggilku. Aku akan pergi ke kamar sekarang.”
“(Asanagi): Aku akan memberi tahu Yuu dan Nina, jadi kamu urus Seki, ya.”
“(Maehara): Oke, aku mengerti.”
Umi tampaknya sudah menyadari situasi ini dan dengan mudah menyetujui rencana Riku-san dan Shizuku-san.
Sekarang tinggal memastikan bahwa semua orang bisa menikmati festival kembang api nanti, termasuk Reiji-kun.
Jika hanya Riku-san yang datang sendirian, mungkin Umi masih bisa menolak, tetapi dengan kehadiran Shizuku-san dan Reiji-kun, sepertinya dia tidak bisa menolak lagi. Apalagi Umi sudah menceritakan keberadaan Reiji-kun kepada Amami-san dan Nitta-san, jadi seharusnya mereka bisa mengantisipasi dan membantu mengatasi situasi yang mungkin terjadi.
Aku, pada akhirnya, mungkin akan menjadi yang paling bertanggung jawab menjaga Reiji-kun. Karena Riku-san dan Shizuku-san akan kencan setelah sekian lama, aku ingin memberikan mereka waktu yang lebih banyak untuk menikmati kebersamaan.
Setelah mendapatkan konfirmasi dari ketiga orang tersebut, yaitu Riku-san, Shizuku-san, dan Reiji-kun, serta mendapat balasan positif dari Amami-san, Nitta-san, dan Nozomi, kami memutuskan untuk pergi bersama ke festival kembang api kali ini.
Jadi, kami akan pergi dengan total delapan orang. Jika dilihat dari jumlahnya, satu orang lebih banyak dibandingkan saat kami pergi ke pantai beberapa waktu lalu. Rasanya kelompok ini semakin besar saja.
Untuk menuju tempat festival, mengingat kemacetan yang mungkin terjadi di jalan, kami sepakat menggunakan kereta saat berangkat.
Untuk perjalanan pulang, karena diperkirakan akan cukup malam, Sora-san dan Eri-san akan menjemput kami di stasiun terdekat dengan mobil, jadi kami tidak perlu khawatir tentang itu.
Aku tiba lebih awal di stasiun dan bertemu dengan Nozomi yang sudah menunggu terlebih dahulu.
“Y-yo, Maki, kamu cepat sekali datang, padahal kita masih punya banyak waktu sebelum waktu yang disepakati,” sapa Nozomi dengan sedikit kikuk.
“Aku sudah selesai bersiap lebih awal, jadi aku tidak bisa duduk diam di rumah. Tapi kamu sendiri, seharusnya bisa datang lebih santai,”
“Aku juga berniat begitu... Tapi saat membayangkan Amami-san dalam balutan yukata, aku jadi gelisah,” jawab Nozomi sambil tersenyum kaku.
“Begitu ya, kalau begitu kita sama saja.”
“Maki, kamu benar-benar sangat mencintai Asanagi, ya,” sindir Nozomi sambil tertawa kecil.
“Ya... Dia adalah pacarku yang sangat berharga.”
Sebelum berangkat, Umi sudah mengirimkan foto selfie dengan yukata bersama Amami-san dan Nitta-san, jadi aku sudah melihatnya lebih dulu. Namun, tetap saja, aku ingin melihat langsung mereka dengan mata kepala sendiri, bukan hanya melalui layar ponsel.
Karena Umi terlihat bersemangat kali ini, aku pun memilih mengenakan pakaian tradisional Jepang. Meskipun begitu, ini bukan pakaian baru, melainkan pakaian yang dibelikan ibuku saat SMP dan tersimpan di dalam lemari selama ini. Yang membuatku terkejut, pakaiannya masih muat, seakan tubuhku tidak berubah sejak masa SMP.
“Oh ya, kakak laki-laki Asanagi... maksudnya, hari ini dia juga akan datang, kan? Tapi sepertinya mereka belum sampai,” kata Nozomi sambil melirik sekeliling.
“Ya, mereka tinggal cukup jauh, jadi mungkin akan memakan waktu yang cukup lama. Barusan mereka memberi tahu sudah tiba di rumah Umi, jadi mungkin sebentar lagi sampai... Ah, baru saja diomongin, sepertinya mereka sudah tiba.”
Aku melihat sebuah mobil yang berhenti di area penjemputan di depan stasiun. Dari dalam mobil, keluar Riku-san, Shizuku-san, dan Reiji-kun yang sedang digendong oleh Shizuku-san. Di kursi pengemudi, Sora-san melambaikan tangan kepada kami.
“Riku-san, kami di sini,”
“Oh, Maki. Shizuku, apakah Reiji-kun sudah bangun?”
“Ya, dia sudah bangun, tapi masih agak mengantuk... Reiji, ini ada Maki-Oniichan.”
“Hmm... iya,” balas Reiji dengan suara pelan.
Ini adalah pertama kalinya dalam dua setengah bulan kami bertemu dengan mereka. Terlihat jelas bahwa hubungan antara Riku-san dan Shizuku-san semakin dekat.
Mereka saling merangkul dengan tatapan lembut, benar-benar seperti pasangan suami istri yang harmonis bersama anak mereka, Reiji-kun. Melihat hal ini, aku merasa lega karena mendorong Riku-san untuk memperjelas hubungannya dengan Shizuku-san saat itu adalah keputusan yang tepat.
“Onii-chan,” panggil Reiji-kun dengan suara pelan.
“Reiji-kun, sudah lama tidak bertemu. Apa kabar?” tanyaku sambil tersenyum.
“Um... Baik,” jawabnya singkat.
Meskipun ada jeda sejenak, melihat dari ekspresinya, sepertinya dia tidak terlalu keberatan dengan situasi saat ini. Bagiku, itu sudah cukup baik.
“Ayo bermain game, Onii-chan,” ajak Reiji-kun sambil mengeluarkan konsol game portabelnya dari tas.
“Boleh, tapi hanya sebentar ya. Sebentar lagi kita akan menikmati festival kembang api,”
“Ya... Eh?” Reiji-kun tiba-tiba terdiam dan menyadari kehadiran Nozomi yang berdiri di sebelahku.
Melihat tubuh tinggi besar Nozomi dari perspektif Reiji-kun, dia segera bersembunyi di belakangku.
Sepertinya Reiji-kun masih tetap pemalu, seperti biasanya.
“Reiji-kun, ini temanku, Seki-kun. Meskipun dia tinggi, tapi dia orang yang sangat baik,” kataku sambil menepuk bahu Nozomi.
“Hai, senang bertemu denganmu, Reiji-kun. Terima kasih sudah berteman dengan Maki,” sapa Nozomi dengan senyum ramah.
“......Iya,” jawab Reiji-kun sambil mengangguk kecil, meskipun masih bersembunyi di belakangku.
Setelah menundukkan tubuhnya agar sejajar dengan tinggi mata Reiji, Nozomi terus menatapnya beberapa saja, Reiji akhirnya bergerak mendekati kami dan berdiri di antara aku dan Nozomi.
Dengan masih tampak sedikit canggung, pandangannya dan posisi tubuhnya lebih condong ke arahku, meskipun tidak ada tanda-tanda dia membenci Nozomi.
Melihat hal tersebut, Shizuku-san yang khawatir pun menghela napas lega dan mengusap dadanya.
“…Anu, Maki.”
“Eh? Ya.”
“Hanya ingin memastikan, hari ini teman dari adikku juga datang, kan?”
“Eh, maksudmu Amami-san?”
“Ah, iya. Aku harus minta maaf atas kejadian dulu.”
“…Oh, benar juga, ada kejadian itu.”
Cerita ini kembali beberapa tahun yang lalu, ketika pertama kali Umi membawa Amami-san ke rumahnya, dan kebetulan Riku-san yang berada di sana melakukan sebuah tindakan yang menimbulkan kesalahpahaman. Ternyata, dia ingin memperbaiki kesalahpahaman tersebut.
Tentu saja, semua ini bisa terlaksana jika Amami-san tidak melarikan diri dengan cepat.
Dengan perasaan cemas, kami menunggu kedatangan kelompok wanita itu selama beberapa menit.
Tiba-tiba, sebuah mobil van yang dikendarai oleh Eri-san berhenti, dan tiga orang dari kelompok Umi tiba di stasiun.
Dengan mengenakan yukata bergambar sejuk dan suara geta yang nyaring, mereka memasuki kelompok kami.
“Maki, maaf sudah menunggu. Lama, ya?”
“Sedikit. Yah, selama itu aku sempat bermain game dengan Reiji-kun, jadi rasanya cepat berlalu. Benar, kan?”
“……Mm.”
“Nah, Reiji, sapa Umi-Neechan.”
“……Selamat siang.”
“Ya. Ehehe, selamat siang~. Reiji-kun, masih ingat aku, kan?”
“Uhn… Ya.”
Ada sedikit jeda sebelum dia mengangguk, dan meskipun hal itu agak mencurigakan, Umi tertawa canggung, karena memang Reiji-kun tampaknya tidak terlalu dekat dengannya, jadi dia hanya bisa tertawa dan merespon dengan “Ahaha…”.
“……Umi, maafkan aku kalau aku memaksa.”
“Benar sekali. Yah, karena ada Shizuku-san dan Reiji-kun juga, jadi tidak bisa dihindari. …Kakak, penampilanmu sudah berubah banyak sejak kamu pindah, ya.”
“Jelas, aku bekerja di dapur, jadi tidak mungkin terus-terusan dengan rambut panjang, kan? Yah, bagi ku sih, lebih tepatnya bukan berubah, melainkan kembali ke keadaan semula.”
Seperti yang dikatakan Umi, Riku-san memang memangkas rambut panjangnya dan mencukur jenggotnya, sehingga sekarang tampil lebih bersih dan rapi. Meskipun kesan pertama masih membekas kuat, ini memang benar penampilan aslinya.
“Wah, ini pertama kalinya aku melihat kakak Umi seperti ini. Ternyata kakak Umi juga cukup tampan, ya. Jadi ini dia, si kakak yang terkenal dengan gerakan merangkak itu, ya?”
“Ni-Nina-chan… jangan ngomong begitu di depan Riku-san…”
“Ah, maaf, maaf. Sebenarnya aku tak bermaksud bicara soal itu, tapi keceplosan begitu saja…”
“Tidak, malah aku berterima kasih karena kamu yang membuka topik ini. Setelah kejadian itu, aku belum pernah bertemu dengan Amami-san lagi, jadi aku tidak sempat memperbaiki kesalahpahamannya.”
Seperti yang baru saja terucap oleh Nitta-san, peristiwa saat pertama kali Amami-san bertemu dengan Riku-san adalah kejadian yang sangat disesali.
Menurut Riku-san, kejadian tersebut terjadi karena kebetulan, ketika dia sedang sendiri di rumah dan merasa sangat bosan, dia memilih untuk merangkak di dalam rumah (??), dan saat itu Umi dan Amami-san kembali ke rumah dan bertemu dengannya, yang menyebabkan kesalahpahaman yang tidak menyenangkan.
Tentu saja, meskipun banyak yang bisa dipertanyakan dari cerita itu, Riku-san sudah sangat menyesal, jadi kami memutuskan untuk menyelesaikan masalah ini begitu saja.
“Jadi begitu, maaf Amami-san. Aku tidak bermaksud menakut-nakutimu waktu itu. Sekarang aku sudah tidak tinggal di rumah itu, jadi jangan ragu untuk berkunjung kapan saja. Adikku juga pasti senang.”
“Ya! Kalau begitu, aku akan datang tanpa ragu. Ehm, Umi? Riku-san sudah memberi izin, kan? Sekarang aku bisa datang ke kamar Umi kapan saja, ya? Benar kan?”
“…Yah, asalkan bukan setiap hari, aku sih tidak masalah. Kalau Yuu sering datang, pasti ibu juga senang.”
Setelah itu, setelah saling bertukar sapaan dan bertemu, akhirnya saat yang ditunggu-tunggu pun tiba, yaitu berangkat ke taman kota untuk melihat festival kembang api. Kami bisa saja terus berbincang lebih lama, tetapi karena dalam 30 menit ke depan kereta akan semakin padat, kami pun memutuskan untuk melanjutkan percakapan saat perjalanan nanti.
Biasanya, meskipun ini adalah jalur yang bisa dengan mudah dipenuhi penumpang di akhir pekan, kali ini cukup terlihat ramai. Meskipun tidak sampai berdesakan, kereta sudah cukup penuh dengan penumpang.
“Umi, kemarilah.”
“Ya.”
Segera setelah Umi meraih tanganku, aku menariknya ke dalam pelukanku. Kami berdiri dengan tubuh kami saling berdempetan, namun aku hanya berusaha memberikan ruang bagi penumpang lain yang mungkin membutuhkan tempat. Tidak ada niat buruk, hanya sedikit saja.
...Iya, sedikit saja.
“Maki, terima kasih sudah menyesuaikan diri denganku hari ini. Aku senang.”
“Ini kan festival kembang api, jadi aku pikir akan lebih cocok jika aku berdampingan denganmu. ...Kamu juga sangat cocok dengan pakaianmu hari ini.”
“Hehe, terima kasih.”
Yukata yang dikenakan Umi berwarna putih dengan motif bunga asagao yang berwarna-warni, memberikan kesan yang sejuk dan ceria. Rambutnya pun disanggul dengan sederhana menggunakan kanzashi, dan aku tidak bisa tidak memandang lehernya yang terlihat putih, bahkan sesekali meliriknya.
Meskipun pakaian formal seperti furisode yang dikenakannya saat acara gabungan sekolah waktu juga sangat cantik, penampilan seperti ini tidak mengurangi sedikit pun daya tarik Umi.
Melihat betapa cantik dan menawannya Umi, aku merasa tidak ingin ada orang lain yang melihatnya. Aku pun memeluknya lebih erat daripada biasanya.
“Ish, Maki, kamu memang tidak bisa diajak serius ya. ...Ehehe.”
Dengan kata-kata itu, Umi meremas dadaku dengan wajah yang menyentuh dada, seolah-olah ingin memelukku.
Kereta ini memang penuh, dan ada beberapa pasangan lain yang juga sedang berpelukan di sini, jadi kami tidak terlalu mencolok. Kami bisa sedikit berkelakuan mesra tanpa masalah.
...Tentunya, Amami-san dan Nitta-san mungkin hanya akan melihat kami dan berkata, “Kalian berdua lagi.” Dengan ekspresi bosan.
“Ah, panas sekali. Jangan-jangan hanya bagian dekat kami yang diubah jadi pemanas, ya?”
“Hehe, yah, itu wajar. Hari ini, Umi memang lebih semangat dan menghabiskan waktu lebih lama dari biasanya. Ngomong-ngomong, Maki-kun, selain soal Umi, bagaimana dengan kami? Aku dan Nina-chan juga sudah berusaha untuk tampil cantik, lho.”
“Benar itu~. Kok hanya pacarmu yang kamu puji, sih? Kurang adil, deh~.”
“Kan karena dia pacarku, jadi tentu aku lebih memperhatikan dia…”
Seperti yang diminta, aku melirik sekilas penampilan mereka berdua.
“…Ah, iya. Amami-san dan Nitta-san juga terlihat cocok… Menurutku.”
“Ketua, lihat deh… Di situ, ucapkan seperti waktu bareng Asanagi.”
Meskipun aku merasa kurang percaya diri bila membicarakan orang selain Umi, aku tetap merasakan bahwa mereka berdua tetap menunjukkan selera yang sangat baik.
Terutama Amami-san, yang tampil dengan warna cerah yang lebih mencolok, ditambah aksesori bunga matahari di rambutnya. Pakaian Nitta-san juga memiliki motif yang sejuk dan memberikan nuansa musim panas, sangat sesuai dengan karakter Amami-san yang aktif.
Bahkan, ketika Nitta-san melihat penampilan Amami-san yang mengenakan yukata, dia terus memberi isyarat jempolnya kepadaku.
Namun, ada satu orang yang terlihat sangat memperhatikan kami dari dekat.
“…Hmm, begitu ya?”
“Hm? Ehm, Shizuku-san, ada apa?”
“Ah, tidak. Meskipun tampaknya biasa saja, tapi kamu dekat dengan tiga gadis cantik ini, ya. Maki-kun, kamu ternyata cukup populer ya.”
“Begitukah…? Yah, kalau dilihat dari perspektif orang lain, mungkin bisa disalahpahami, tapi Amami-san dan Nitta-san itu hanya teman, kok.”
Memang, meskipun kedua gadis itu kini sudah sangat dekat denganku, aku merasa hal itu mungkin juga disebabkan oleh fakta bahwa aku sudah berpacaran dengan Umi.
Karena aku sudah memiliki pacar (dan terutama karena kami berdua tampak seperti pasangan yang lengket), mungkin mereka merasa lebih bebas dan bisa lebih santai ketika berbicara denganku.
“──Ah, tapi menurutku tidak begitu, sih. Sejujurnya, aku mulai berpikir kalau aku bisa pacaran dengan Ketua, lho.”
“「「「「…Eh?」」」」”
Namun, kata-kata yang tiba-tiba terlontar dari mulut Nitta-san membuat kami semua terdiam seketika.
“Ni-Nina-chan? Kenapa kamu tiba-tiba ngomong begitu?”
“Eh? Kenapa, Yuu-chi? Apa yang aku katakan sampai membuatmu terkejut?”
“Ya… apa yang kamu katakan itu… itu… itu yang tidak seharusnya dikatakan, tahu!”
Amami-san pun menoleh dengan ragu-ragu ke arah sahabatnya, Umi.
Biasanya, meskipun Umi sering kali bercanda dan memberi peringatan dengan gaya yang berlebihan, kali ini, kata-kata Nitta-san membuatnya terkejut. Bukannya marah, tapi ia seperti tampak bingung, seolah tidak tahu harus bereaksi bagaimana.
“…Memang, seperti yang dikatakan Yuu, sih. Kalau memang Nina memiliki perasaan suka terhadap Maki, aku tidak akan bisa menghargai dia yang mengungkapkan itu di depan pacarnya.”
“Benarkah? Tapi itu hanya perumpamaan saja, kok. Lagipula, aku tidak benar-benar ingin pacaran dengan Ketua, kan? Hanya saja, mungkin saja dia bisa menjadi tipe ideal, meskipun dia bukan tipeku yang sebenarnya.”
Meskipun ini hanya pembicaraan spekulatif, perbedaan antara “mengatakan” dan “tidak mengatakannya” di sini cukup besar.
Sikapku tetap sebagai “teman”, tapi di sisi lain, aku juga merasa sudah sampai pada titik di mana aku bisa menerima dia sebagai “pasangan” jika memang diperlukan. Kalau sampai hal ini dibicarakan, tentu akan sulit untuk melanjutkan hubungan seperti biasa.
Nitta-san pasti sudah bisa membayangkan situasi ini, tapi aku tidak menyangka ia akan mengungkit kembali pembicaraan kemarin dalam keadaan seperti ini.
“Yah, jangan terlalu dipikirkan. Meskipun aku mengatakan suka pada Ketua, aku tidak bermaksud meminta dia untuk putus dengan Asanagi. Aku juga tidak pernah berpikir sejauh itu. …Aku minta maaf kalau aku terlalu berlebihan. Maaf ya.”
“Mu…muuh…”
Amami-san masih tampak ingin berbicara lebih banyak, namun karena kami berada di tempat umum, dan ada juga Riku-san di sini, ia akhirnya menyerah dan menuruti keadaan.
Dengan wajah sedikit merengut, Amami-san akhirnya memilih untuk berhenti berbicara.
“Ya sudah, kalian berdua cukup berhenti sampai di sini. Hari ini kan festival kembang api, jadi jangan sampai suasana jadi canggung di awal seperti ini.”
“Tapi, Umi…”
“Terima kasih sudah khawatir, Yuu. Tapi aku baik-baik saja kok. Apapun yang dipikirkan Nina, hubungan aku dan Maki tidak akan terganggu. Kan, Maki?”
“Ya. …Sebenarnya, aku agak kaget sih.”
Bagaimana pun, pandangan Nitta-san terhadapku tidak akan mengubah sikapku.
Aku hanya menyukai Umi, dan meskipun aku menghargai orang-orang di sekitar kami, itu hanya sebagai “teman”.
Hubungan lebih dari itu, tidak akan pernah ada, baik sekarang maupun di masa depan.
Baik itu Amami-san atau Nitta-san, tidak akan ada ruang bagi mereka untuk masuk ke dalam hubungan yang kuat dan kokoh antara aku dan Umi.
“Shizuku-san, terima kasih sudah ikut bersama kami, meskipun ada ketegangan begini.”
“Ah, tidak… Setelah kembali ke rumah, kesempatan seperti ini untuk berkumpul dengan anak muda seperti kalian memang sudah lama tidak aku rasakan, jadi mungkin aku terlalu berusaha ikut campur dalam pembicaraan dan membuat keadaan menjadi canggung…”
“Shizuku-san tidak salah kok. Yang salah itu semuanya karena orang di sini.”
“Ga…gah!”
Dengan senyuman yang ceria, Umi melirik Shizuku-san, namun tangannya dengan cepat melancarkan serangan Iron Claw ke pelipis Nitta-san.
Karena tindakan Umi, suasana jadi sedikit lebih tenang, meskipun faktanya Nitta-san lah yang memulai ketegangan ini.
Biasanya, dia adalah orang yang paling memperhatikan suasana dan bisa berperan baik sebagai pelawak maupun sebagai pengingat, tapi kali ini aku merasa dia sengaja merusak suasana.
Bahkan, hari ini Nitta-san tampak lebih keras kepala daripada biasanya. Meskipun dia berpose meminta maaf, dia tidak mengubah pandangannya tentang cinta sedikit pun.
Padahal, sebelumnya, dalam festival olahraga, kami hampir selalu bersama dan bekerja sama untuk tujuan yang sama.
Aku merasa sepertinya Amami-san juga tidak banyak berinteraksi dengan Nitta-san hari ini.
Aku tidak menyangka, setelah satu minggu berlalu, suasana bisa menjadi begitu tegang. Ternyata, hubungan antar manusia itu selalu penuh dengan hal-hal yang tak terduga.
“—Kalian semua, kita hampir sampai di stasiun tujuan, jadi ayo bergerak dengan hati-hati dan pastikan jangan sampai terpisah. Kalau terpisah, langsung hubungi aku atau salah satu teman menggunakan telepon genggam, ya?”
“「「「「「…Baik」」」」」
Akhirnya, pembicaraan ini terhenti dan kami mengikuti instruksi Riku-san, perlahan turun ke platform stasiun.
Begitu kami keluar dari gerbang tiket, area stasiun sudah penuh sesak dengan orang-orang yang datang untuk melihat festival kembang api. Beberapa staff yang tampaknya merupakan panitia acara itu berteriak dengan keras melalui pengeras suara, berusaha keras mengatur arus manusia.
“Umi, bagaimana kalau kita tetap dekat supaya tidak terpisah?”
“Ya. …Ah, jangan terlalu sering melihat tengkukku, itu memalukan.”
“…Iya,aku tahu.”
Setelah mendapat peringatan dengan tegas, kami pun bergerak bersama mengikuti aliran manusia. Kami mengelilingi Reiji-kun, dengan semua orang menjaga jarak, melindunginya. Di depan, ada Nozomi, sementara di belakang, ada Riku-san yang bertubuh tinggi.
Agar tidak terpisah, masing-masing kami memegang pakaian atau tubuh orang yang berada dekat di sebelah kami.
Saat kami bergerak perlahan, seseorang dengan lembut menyentuh punggungku.
“Ah, Maki-kun.”
“Ada apa, Amami-san?”
“Uhm, eh… Aku bingung, sebaiknya aku pegang bagian mana dari bajumu?”
Amami-san, yang berada tepat di belakangku, tampak ragu-ragu mengarahkan tangannya. Dia tahu kalau aku sangat sensitif terhadap rasa geli, jadi dia sepertinya berusaha mencari tempat yang tidak mengganggu.
“Hmm… Bisa pegang ujung atau lengan bajuku, yang mudah dipegang saja… Tapi karena kerumunan ini cukup padat, sepertinya lebih baik pegang punggungku dengan kuat. Lagipula, aku juga seperti ini.”
Tentu saja, aku erat memeluk Umi dari belakang, dengan tubuh kami saling menempel. Dengan begini, aku bisa fokus pada aroma Umi dan menghindari mabuk kerumunan.
…Tapi, sejak tadi, aku mendengar bisikan “mesum” yang masuk ke telingaku.
“Jadi, kalau begitu, kalau kamu bilang begitu, aku akan mengikuti─kyaa!?”
“Eh! Wah!”
Ketika Amami-san dengan gugup memegang bahuku dengan kedua tangannya, aku merasakan sensasi yang sangat lembut di punggungku, bersama dengan teriakan terkejut darinya.
“Ma-maaf, Maki-kun. Tadi aku tiba-tiba didorong dari belakang, jadi refleks saja... Ni-Nina-chan, jangan dorong aku tiba-tiba begitu. Aku jadi kaget!”
“Ah, maaf ya, Yuu-chi. Sepertinya ada seseorang di belakang kita yang bergerak secara paksa, jadi aku tidak bisa menahan diri.”
“Oh, begitu. Maaf, Nina-chan, aku jadi salah paham.”
“Tenang saja. Asanagi-Oniisan, jaga kami dengan baik, ya?”
“Hah? A-ah, iya…”
Meskipun Nitta-san mengatakan hal itu kepada Riku-san, dia tampak kurang puas dan terus melihat ke arah belakang sambil menggelengkan kepala, seperti tidak yakin dengan apa yang terjadi. Karena aku juga menghadap ke depan, aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
(“Hei, Umi.”)
(“Hah… Sepertinya Nina sengaja mendorong Yuu.”)
Aku dan Umi menatap curiga ke arah Nitta-san, tetapi dia tampak tidak peduli dan malah sibuk menikmati dekorasi iluminasi kota yang dipasang untuk festival kembang api. Meskipun baru saja mendapat hukuman dari Umi, dia tidak terlihat gentar sedikit pun. Hari ini, Nitta-san tampaknya cukup sulit dihadapi.
Setelah berjalan perlahan dalam antrean, akhirnya kami tiba di taman kota tempat diadakannya festival kembang api setelah sekitar tiga puluh menitan.
Taman ini memiliki kolam besar yang menutupi lebih dari setengah luasnya, menjadikannya salah satu yang terbesar di wilayah kami. Karena itu, festival kembang api dapat diadakan tanpa mengganggu lingkungan sekitarnya, sehingga banyak pengunjung dari luar kota yang datang untuk menikmati acara ini, menurut informasi dari Umi yang merupakan warga lokal.
“…Mama, aku lapar.”
“Benar juga, Reiji. Kamu tidak banyak makan di rumah nenek tadi, ya? Nee, Rik-kun, bagaimana kalau aku pergi membeli makanan dulu? Tolong jagakan tempat dan perhatikan Reiji sebentar.”
“Oh, oke. Kalau sudah selesai belanja, langsung datang ke sini. Kalau kamu tersesat, aku akan datang menjemputmu.”
Meskipun kata “nenek” yang disebutkan Shizuku-san membuat kami sedikit terkejut, aku dan Umi memutuskan untuk mengabaikannya sementara.
Kalau dipikir-pikir, jika Riku-san menikahi Shizuku-san, maka Sora-san akan menjadi “nenek” bagi Reiji-kun, dan Daichi-san akan menjadi “kakek”.
Beberapa bulan lalu, mereka hampir tidak berkomunikasi, bahkan hubungan sebagai teman masa kecil hampir terputus. Namun, ketika kedua belah pihak menjadi jujur, hubungan mereka bisa berkembang dengan cepat. Jarak yang pernah memisahkan mereka tiba-tiba saja menghilang, sementara yang awalnya dekat bisa saja menjauh.
Aku dan Umi berharap untuk menghindari hal-hal seperti itu dalam hubungan kami. Biarlah orang lain menganggap kami pasangan yang terlalu mesra. Aku ingin selalu berada di sisi Umi, baik dalam hati maupun fisik.
“Nee, Maki. Bagaimana kalau kita ikut membantu Shizuku-san? Akan lebih efisien jika bertiga.”
“Ya. Shizuku-san, kami akan menemanimu.”
“Fufu, terima kasih. Ayo, kita berangkat sekarang.”
Dengan Riku-san dan Amami-san menjaga tempat serta Reiji, kami bertiga langsung menuju area dengan deretan kios makanan.
Kios-kios yang mengelilingi pinggir kolam menawarkan berbagai macam makanan, mulai dari hidangan klasik seperti yakisoba dan takoyaki hingga makanan yang lebih unik seperti ramen, steak, dan hidangan Cina. Banyak restoran terkenal yang membuka kios khusus untuk acara ini, meskipun harga makanannya sedikit lebih mahal, antrean panjang sudah terlihat di beberapa kios populer.
“Biasanya kita makan masakan rumahan, jadi bagaimana kalau kali ini kita makan makanan cepat saji seperti hamburger atau ayam goreng? Maki-kun, pilih apa saja yang kamu mau, ini traktiran kami.”
“Terima kasih. Umi, kamu mau pilih apa?”
“Hmm… Aku ingin mencoba makanan dari toko terkenal, tapi kalau harus antre lama, nanti keburu kembang apinya mulai... Ah, Maki, toko tempat kamu bekerja tidak buka kios di sini, kan? Pizza tempat kamu bekerja punya beberapa cabang di kota ini, bukan?”
“Oh iya, tunggu sebentar. Aku akan telepon manajer-san dulu.”
Meskipun ditraktir, tidak baik bagi kami, lima remaja yang sedang lapar, untuk memilih makanan tanpa memikirkan harga. Riku-san mungkin akan membayar semuanya, tapi dia baru saja mendapatkan pekerjaan baru, jadi sebaiknya kita menghemat pengeluaran.
Setelah menghubungi tempat kerjaku, ternyata toko pizza kami juga membuka kios khusus di acara ini, dan manajer-san bahkan akan datang membantu nanti.
Manajer-san di tempat kerja mengatakan akan mengurus semuanya, jadi kami bisa mendapatkan diskon harga karyawan.
“Oh, bagus juga itu. Kalau begitu, aku akan antre di kios hamburger ini. Kalian berdua urus yang di sana, ya. Untuk minumannya, aku pilih yang standar saja, bagaimana kalau Coca-Cola?”
“Aku dan Umi sih tidak masalah. Oh iya, bagaimana dengan yang lain...”
Aku langsung bertanya di grup chat mengenai minuman yang mereka inginkan.
(Maehara): “Hei, semuanya. Mau minuman apa?”
(Amami): “Aku mau jus jeruk!”
(Nitta): “Hmm, aku pilih es teh. Oh, jangan lupa tambahkan gula cairnya ya.”
(Seki): “Aku mau es kopi. Hitam saja.”
(Nitta): “Wah, Seki sok-sokan dewasa.”
(Seki): “Diam kau!”
(Amami): “Riku-san mau teh, dan Reiji minta soda melon.”
(Asanagi): “Oke, aku sampaikan pada Shizuku-san.”
(Amami): “Kalau kami sudah dapat tempat, nanti kami kabari, ya.”
“Kurang lebih begitulah.”
“Oke. Fufu, kalau melihat obrolan seperti ini, aku jadi teringat masa lalu. Teman-teman SMA... Sekarang mereka sedang apa ya?”
“Shizuku-san tidak pernah berhubungan lagi dengan teman-teman sekolah? Kamu kan sangat extrovert, tidak seperti kakakku yang kaku. Pasti dulu punya banyak teman dekat atau sahabat, kan?”
“Yah, dulu aku memang punya banyak teman, dan sering bermain bersama, tapi setelah masuk universitas, semuanya perlahan terputus. Aku menikah cukup muda, jadi hal itu juga berpengaruh.”
Sering terdengar bahwa teman-teman semasa sekolah adalah teman seumur hidup, namun bagiku, itu sangat tergantung pada situasi masing-masing.
Lingkungan baru, pekerjaan, dan keluarga. Ketika kita berusaha menyesuaikan diri dengan hal-hal tersebut, hubungan yang dulu dekat sering kali menjauh. Mungkin itu hal yang biasa terjadi.
Hal ini bisa saja terjadi pada kami di masa depan.
“Itu sebabnya, kalian berdua jangan sampai sepertiku. Hargailah teman-teman yang sekarang dekat dengan kalian. Kadang-kadang kalian mungkin merasa sibuk dengan urusan sendiri, tapi selama kalian tidak menjauh, ikatan itu akan selalu ada.”
“Ya... Kami mengerti.”
Kata-kata Shizuku-san, yang tampaknya dipenuhi dengan pengalaman dan penyesalan dari masa lalu, terdengar begitu tulus. Sebagai nasihat dari seseorang yang lebih berpengalaman, kami berdua harus mengingatnya baik-baik.
“Fufu, maaf kalau aku jadi terkesan sedang memberikan ceramah. Sudahlah, lupakan obrolan suram ini, ayo kita nikmati festival ini dengan penuh semangat. Sekarang, kalian berdua cepat pergi membeli makanan!”
“Baiklah, sampai nanti.”
“Shizuku-san, tolong jaga baik-baik kakak bodoh itu, ya.”
Setelah melambaikan tangan dengan senyum ramah, aku dan Umi menuju kios pizza tempat aku bekerja, “Pizza Rocket”. Ketika tiba di lokasi, kami langsung terkejut melihat banyaknya pengunjung. Semakin mendekati waktu kembang api, semakin padat pula orang-orang yang berlalu lalang.
Langit sudah mulai gelap, jadi kami harus berhati-hati agar tidak terpisah.
Aku menggenggam tangan Umi erat-erat, dan kami berdua perlahan menembus kerumunan sambil tetap saling terhubung.
“Hei, Maki.”
“Ada apa?”
“Tentang cerita Shizuku-san tadi…”
“Ya, aku tahu.”
“Kita berlima sekarang ini, sebenarnya dalam situasi yang cukup rapuh, ya.”
“Mungkin saja.”
Meski kelihatannya kami tampak akur, tapi sebenarnya ada ketegangan yang jelas terlihat, terutama antara Amami-san dan Nitta-san.
Kami tidak lagi bisa mengklaim bahwa hubungan kami harmonis seperti dulu. Penyebab utamanya mungkin adalah perubahan sikap Nitta-san terhadapku setelah festival olahraga. Entah kenapa, dia tiba-tiba menjadi sedikit tidak memberiku ruang dan penuh perhatian padaku.
Pasti ada alasan mengapa Nitta-san bersikap seperti itu. Melihat karakternya selama ini, dia selalu terang-terangan mengaku sebagai seseorang yang hanya tertarik pada pria tampan. Jadi, sulit bagiku untuk percaya bahwa dia tiba-tiba berubah pikiran dan mulai menyukaiku.
Selain itu, pasti ada alasan besar lainnya—bahkan jika itu berisiko merusak hubungannya yang akrab dengan Amami-san, Nitta-san pasti memiliki alasan mengapa dia ingin melakukan hal itu.
“Pada akhirnya, mungkin yang bisa kita lakukan sekarang hanyalah mengamati mereka berdua dari jauh... Aku ingin sekali mendamaikan mereka, tetapi jika kita memaksakan keadaan, mungkin hanya akan menyisakan rasa tidak nyaman.”
“Itu benar. Padahal aku pikir semuanya sudah kembali normal, teman-teman baru juga sudah bertambah, dan semuanya berjalan lancar... Tapi, kenapa rasanya sulit sekali, ya?”
Pada musim gugur tahun lalu, Amami-san dan Umi sudah berdamai. Kemudian, hubungan dengan Nitori-san dan Houjo-san juga pulih, bahkan setelah naik ke kelas dua, kami juga berhasil menjalin hubungan baik dengan teman-teman di kelas 2-11, termasuk Nakamura-san. Namun, tepat saat itu, sikap Nitta-san mulai membuat suasana menjadi tidak menentu.
Meskipun masalah ini tidak berkaitan langsung dengan Umi, karena dia adalah gadis yang sangat baik hati, aku yakin dia diam-diam memikirkan dan mengkhawatirkan hubungan kedua temannya itu. Sebagai pacarnya, aku ingin selalu ada di samping Umi dan memberinya dukungan.
“Umi...”
“Ada apa?”
“Tenang saja. Aku akan selalu ada di sampingmu.”
“...Iya.”
Aku berbalik dan memeluk Umi erat-erat yang tampak khawatir. Aku bisa merasakan tatapan orang-orang yang lewat, tapi aku tidak peduli saat ini.
“Maaf ya, Maki. Aku selalu mengandalkanmu.”
“Tidak apa-apa. Aku sendiri sudah banyak dibantu selama ini. Jadi sekarang giliran aku yang berusaha. Meskipun, apa yang bisa aku lakukan mungkin hanya sedikit.”
“Kalau begitu, bisakah kamu menghiburku sebentar?”
“Baiklah, dengan senang hati.”
Apa pun yang terjadi, aku akan selalu menjadi pendukung Umi. Aku berbisik lembut di telinganya, berusaha membuat tubuh Umi yang tegang menjadi lebih rileks.
“...Terima kasih, Maki. Aku sudah merasa lebih baik.”
“Benarkah? Padahal aku tidak keberatan jika kita tetap seperti ini sedikit lebih lama.”
“Maki mesum. Aku tahu kok, gerakan tanganmu saat menghiburku tadi agak nakal.”
“Ketahuan ya... Aduh! Hei, jangan main serang tiba-tiba dengan jentikan dahi seperti itu!”
“Itu salahmu sendiri, Maki... Hihi.”
Namun, sepertinya itu cukup untuk mengembalikan suasana hati Umi. Walaupun aku sering dimanja oleh Umi, pada saat seperti ini, ternyata menghabiskan waktu dengan orang yang disukai memang yang terbaik.
Setelah beberapa menit berjalan kembali, akhirnya aku melihat papan tanda yang sudah sangat akrab bagiku.
Seperti yang diduga, momen seperti ini merupakan peluang besar untuk berjualan. Selain kios biasa, mereka juga membawa mobil dapur dengan logo toko yang terpampang jelas.
Kami mengantri sebentar, dan saat itu seorang wanita mendekati kami dengan langkah cepat. “Halo, Maki! Umi-chan juga, sedang menikmati festival kembang api, ya?”
“Eh, ini kan Eimi-senpai! Dimana Manajer-san?”
“Ah, manajer-san sedang di toko bersama ibu-ibu paruh waktu. Sebenarnya dia ingin datang membantu di sini, tapi aku memohon dengan sangat agar dia mengizinkanku datang ke festival. Aku juga ingin menikmati kembang api!”
“Manajer-san kasihan sekali...”
Ketika berbicara lewat telepon sebelumnya, aku bisa mendengar nada gembira dari suara manajer-san, jadi mungkin dia juga ingin datang ke festival ini. Nanti saat aku kembali bekerja, aku harus menyemangatinya. Tapi ya, begitulah Eimi-senpai—dia memang terkenal nekat dan berani.
“Jadi, kalian mau pesan apa? Aku sudah diberitahu oleh manajer-san bahwa kamu akan datang, jadi aku sudah menyiapkan beberapa rekomendasi.”
Karena keterbatasan bahan, menunya memang tidak sebanyak di toko. Tapi menu andalan tetap tersedia, jadi aku memutuskan untuk memesan beberapa yang aman saja. Aku dan Umi mungkin tidak masalah, tapi aku tidak ingin memberi Amami-san dan teman-teman yang lain pizza dengan banyak bawang putih atau ekstra keju.
Agar semua bisa makan bersama dengan nyaman, aku memesan dua hingga tiga pizza ukuran besar, ditambah dengan beberapa makanan sampingan seperti ayam goreng, kentang goreng, onion ring, dan coleslaw. Aku menerima pesanan itu dari Eimi-senpai.
“Nah, ini pesanan kalian. Maaf menunggu lama ya!”
“Terima kasih. Oh iya, senpai, boleh tanya sesuatu?”
“Eh? Apa? Kalau soal ukuran tiga lingkaran tubuhku, bukankah aku sudah pernah membisikkan diam-diam padamu?”
“Pertama kali aku mendengarnya...”
Meskipun maksudnya hanya bercanda, aku berharap senpai tidak mengucapkan hal seperti itu saat Umi berada tepat di sebelahku.
Umi tampaknya tidak mempermasalahkannya... atau begitu kelihatannya, tetapi aku merasakan cubitan yang cukup kuat di pinggangku. Sakit.
“Ahaha, maaf, maaf. Jadi, ada apa? Apa ini pembicaraan yang cukup serius?”
“Itu tergantung pada penilaian senpai... Tapi, hanya sekadar perumpamaan, misalnya. Kalau senpai menyukai seseorang yang sudah memiliki pacar atau menyukai orang lain, apa yang akan senpai lakukan?”
“Aku akan merebutnya!”
“Jawaban langsung ya ternyata.”
“Ya, tentu saja. Semakin baik orangnya, semakin tinggi pula persaingannya, kan? Tapi tentu saja, semua itu dalam batas kewajaran. Jadi, kamu mengerti maksudku, kan?”
“Iya, mengerti.”
Dengan kata lain, selama masih dalam batas cinta yang sehat, ia akan tetap berusaha mengejarnya. Jawaban ini sudah kuduga, dan memang sangat mencerminkan kepribadian Eimi-senpai.
“Yah, setiap orang punya cara masing-masing dalam urusan cinta. Menurutku, selama kamu tidak merasa menyesal karena ‘seandainya saat itu aku begini...’, maka tidak masalah apa pun yang kamu lakukan. Lebih baik menyesal karena sudah mencoba daripada menyesal karena tidak melakukannya. Tapi tentu saja, saat aku mengatakan ‘melakukannya’, bukan dalam arti yang lain, ya.”
“Tanpa dijelaskan pun, aku sudah mengerti, kok...”
Jawaban Eimi-senpai yang selalu menambahkan kalimat tidak perlu, namun pembicaraan kali ini cukup membantu, dan aku juga merasa setuju dengan pandangannya. Lebih baik menyesal karena telah mencoba daripada menyesal karena tidak bertindak sama sekali. Pemikiran positif ini tidak hanya berlaku dalam cinta, tetapi juga dalam banyak aspek kehidupan.
“Pokoknya, terima kasih sudah mendengarkan. Semoga sukses dengan pekerjaannya, senpai.”
“Tentu saja! Dan kamu, Maki, ingat besok kamu masuk shift, jangan sampai bolos, ya! Umi-chan, awasi Maki dengan baik.”
“Serahkan padaku. Aku akan memastikan Maki bekerja keras agar bisa mengumpulkan uang untuk kencan kami. Tapi, jangan terlalu memaksakan diri, ya, Maki.”
“Iya, aku akan berusaha semampuku.”
Setelah membayar pesanan dan mengucapkan terima kasih kepada Eimi-senpai, kami perlahan kembali ke arah semula. Kami bertemu kembali dengan Shizuku-san, yang tampaknya sudah menyelesaikan belanjaannya. Katanya, baru saja ada kabar bahwa lokasi untuk menonton kembang api sudah ditentukan.
Kami segera menuju tempat itu untuk bertemu dengan yang lain dan menikmati kembang api yang akan menghiasi langit malam musim gugur. Namun, saat kami bertemu dengan Shizuku-san, ada seseorang yang berdiri di sebelahnya—Riku-san.
“Eh... Tunggu sebentar.”
“Ada apa?”
“Kenapa kakak ada di sini bersama Shizuku-san? Bagaimana dengan Reiji-kun? Jangan bilang kalau kakak meninggalkannya begitu saja...”
“Mana mungkin! Hanya saja, aku merasa khawatir meninggalkan Shizuku sendirian...”
Menurut penjelasan Riku-san, dia awalnya menemani Amami-san dan yang lainnya mencari tempat, namun dia merasa khawatir dan memutuskan untuk mengikuti Shizuku-san dari belakang. Untungnya, teman-teman lain sudah menawarkan diri untuk menjaga Reiji-kun, jadi tidak perlu khawatir soal itu.
“Fufu, Umi-chan, jangan marah seperti itu. Rik-kun ini khawatir aku akan digoda pria lain, jadi dia tidak bisa tenang dan akhirnya mengejarku ke sini. Rik-kun memang manja dan suka cemburu, ya. Ayo, sini, aku elus-elus.”
Pada awalnya aku mengira ada masalah serius, tetapi ternyata alasannya sangat manis dan membuatku tersenyum. Sikap cemas dan cemburu ini memang ciri khas keluarga Asanagi yang sangat mirip satu sama lain. Meskipun mereka berdua mungkin akan membantah keras jika aku mengatakan hal ini.
“Tapi, buktinya saat aku mengecek tadi, ada pria yang berusaha mendekatimu. Bahkan ada beberapa yang melirikmu dari jauh.”
“Benarkah? Kurasa tidak banyak yang mau menggoda wanita seusia aku yang sudah punya anak kecil seperti ini.”
Meskipun Shizuku-san merendah, kekhawatiran Riku-san mungkin tidak sepenuhnya salah. Meski usianya sudah mendekati akhir dua puluhan, Shizuku-san memiliki penampilan yang sangat cantik dan bisa saja dianggap lebih muda empat atau lima tahun. Ketika berdiri bersama Riku-san yang tinggi, mereka terlihat sangat serasi seperti pasangan ideal.
“Yah, bagaimanapun juga, ayo kita pergi ke tempat yang sudah disiapkan. Reiji-kun pasti sudah kelaparan karena menunggu.”
“Benar. Tempatnya memang agak jauh dari danau, tetapi pemandangannya bagus, dan dekat dengan toilet, jadi cukup nyaman.”
Setelah mendapatkan arahan dari Riku-san, kami segera menuju lokasi yang telah disiapkan. Di sana, kami melihat Amami-san dan teman-teman lainnya melambai dari atas terpal biru. Reiji-kun tampak duduk tenang di samping Nitta-san dan Nozomi, asyik bermain game sambil menunggu kedatangan kami.
“Selamat datang kembali, Maki-Oniichan,” ujar Reiji-kun yang segera meletakkan konsol game-nya dan berlari kecil menghampiriku.
Saat aku mengusap kepalanya, wajahnya yang semula tampak sedikit tegang langsung berubah menjadi lebih lembut.
“Maaf ya, lama menunggu. Apa kamu merasa kesepian saat aku dan ibumu tidak ada?”
“Umm... tidak juga. Soalnya ada Kakak-kakak di sini.”
Pandangan Reiji-kun tertuju pada Amami-san dan yang lainnya, yang tersenyum melihatnya. Mereka tampaknya telah menjaga dan menghibur Reiji-kun dengan baik selama kami pergi.
“Benarkah? Kalau begitu, Kakak senang mendengarnya,” kata Amami-san sambil tersenyum.
“Meski begitu, aku menang terus saat main game,” balas Reiji-kun.
“Itu karena kamu yang hebat, Reiji-kun! Aku bukan pemain yang lemah, kok!”
“Ngomong apa, itu hanya alasan!”
“Huh! Aku serius, lho!”
“Nee, Yuu-chi, masa kamu serius bersaing dengan anak berusia empat tahun?”
Reiji-kun, yang pada awalnya malu-malu dan bersembunyi di belakangku atau Shizuku-san, sekarang tampak lebih akrab dengan mereka. Amami-san dan Nitta-san terus mengusap kepalanya, dan Reiji-kun tidak tampak canggung atau malu lagi.
Sesuai dugaan, kelompok Amami-san yang dikenal ramah dan mudah bergaul berhasil menyesuaikan diri dengan cepat, bahkan dalam mengurus anak kecil. Shizuku-san pun tampak lega melihat putranya yang bertingkah seperti biasa.
“Selamat malam, para penonton! Dengan ini, kami umumkan dimulainya acara Festival Kembang Api ke-32 Kota Joto. Untuk pembukaan, kami akan menyalakan kembang api ukuran besar!”
Begitu pengumuman terdengar, tepuk tangan penonton bergemuruh. Inilah saat yang dinanti, dimulainya festival kembang api.
“Sepertinya akan segera dimulai. Maki, selanjutnya kami serahkan padamu.”
“Hah? Aku yang harus memimpin? Umm, baiklah. Sambil menikmati kembang api, ayo kita makan pizza dan bersulang! Kampai!”
“Kampai!”
Kami mengangkat minuman yang sudah dipesan, dan di saat yang sama, terdengar bunyi letusan keras “DOOM!” yang diikuti oleh cahaya warna-warni yang menghiasi langit malam. Meskipun hanya berlangsung beberapa detik, kembang api yang mekar di langit malam itu begitu indah dan memikat semua mata yang menatapnya. Suara ledakan yang menggema dan aroma mesiu yang terbawa angin memberikan sensasi yang tersisa dalam tubuh kami, seolah menegaskan betapa megahnya pertunjukan ini.
“Maki, indah sekali ya,” ujar Umi yang berdiri di sampingku.
“Iya, sangat indah,”
“Lalu, bagaimana menurutmu tentang aku?”
“Secara pribadi, aku lebih menyukai Umi.”
“Fufu, begitu ya. Tapi untuk saat ini, aku izinkan kamu menikmati kembang api juga.”
“Terima kasih banyak atas izinmu... Hihihi.”
“Hihihi.”
Di bawah pancaran kembang api yang terus menerangi langit malam, aku dan Umi saling berpegangan tangan, merapatkan diri, dan mencoba mengabadikan momen ini dalam ingatan kami.
Sesekali, aku melirik teman-teman lain. Amami-san dan Nitta-san, yang sempat menunjukkan ketegangan dalam hubungan mereka, tampak menikmati pemandangan di langit malam. Nozomi, yang tadinya bingung melihat mereka, kini ikut terpana oleh indahnya kembang api.
Di sisi lain, Riku-san dan Shizuku-san, yang sengaja datang dari jauh untuk ikut bergabung bersama kami, berdiri berdekatan dengan Reiji-kun di antara mereka.
Meski semua sibuk menikmati pemandangan di langit, suasana malam ini terasa tenang dan damai. Rasanya aku ingin waktu ini terus berjalan selamanya. Sambil menggenggam tangan kekasihku, aku berdoa agar momen ini tak pernah berakhir.
Selama sekitar dua jam, kami terpesona oleh berbagai macam kembang api—dari yang besar hingga yang berbentuk Niagara dan Star Mine—yang diledakkan oleh para ahli. Setiap tembakan kembang api memiliki keindahan dan keunikannya sendiri.
Dan pada akhirnya, pesta kembang api ditutup dengan letusan yang luar biasa, memenuhi langit dengan cahaya yang megah. Saat suara gemuruh terakhir mereda, tepuk tangan meriah dari para penonton kembali bergema, menandakan selesainya festival kembang api yang memukau ini.
Saat pengumuman bahwa semua rangkaian acara telah berakhir disampaikan, orang-orang yang tadinya berhenti untuk menikmati kembang api mulai bergerak lagi dalam arus besar. Meskipun menuju tempat acara saja sudah cukup sulit, waktu di mana semua orang pulang bersamaan seperti ini jelas merupakan bagian yang paling berat. Bis-bis sementara yang datang satu per satu untuk mengangkut penumpang ke berbagai daerah tampak penuh sesak, dan antrian untuk naik pun mengular panjang.
Kami sendiri akan pulang dengan kereta, namun situasinya tidak jauh berbeda. Stasiun pasti dipadati oleh orang-orang yang ingin pulang pada waktu yang sama. Meski mengikuti festival kembang api pertama bersama teman-teman ini sangat menyenangkan dan menjadi kenangan indah selama masa SMA, memikirkan perjalanan pulang yang ramai membuatku sedikit merasa enggan.
“Umi, aku mau pergi ke toilet sebentar,”
“OK, pergilah. Tapi... kamu yakin bisa sendiri? Dalam dua arti, maksudku,” jawab Umi dengan nada menggoda.
“Maksudmu apa? Jangan khawatir, aku tidak akan tersesat,”
Untuk menghindari kepadatan dan ketidaknyamanan selama perjalanan pulang, aku memutuskan untuk ke toilet sebelum meninggalkan tempat acara. Antrian di toilet pun tidak kalah panjangnya, dan kemungkinan besar akan memakan waktu cukup lama. Namun, mungkin saja kepadatan orang-orang sedikit berkurang saat aku selesai nanti.
“Tunggu, Maki. Bolehkah aku ikut?”
“Ah, Riku-san! Tentu saja, silahkan,” jawabku dengan sedikit terkejut namun senang.
Riku-san menyusulku, dan kami bersama-sama mengantri di barisan terakhir. Ini adalah pertama kalinya kami berbicara berdua sejak “konsultasi cinta” terakhir kali. Pada awalnya, aku merasa kurang nyaman dengan sikap Riku-san yang terkesan dingin, tetapi sekarang, aku justru merasakan kehadirannya sangat mendukung.
“Jadi, bagaimana acara kembang api pertama bersama Shizuku-san dan Reiji-kun?”
“Kurasa, acara ini berjalan dengan baik... Terutama karena sudah lama aku tidak bisa berkencan dengan Shizuku. Tapi yang lebih penting adalah hubungan dengan Reiji-kun,”
“Apakah hubungan kalian semakin dekat?”
“Ya. Itu berkat Shizuku yang selalu berusaha mendekatkan kami. Hari ini, untuk pertama kalinya aku bisa menggendong Reiji-kun di pundakku... Rasanya sangat bahagia.”
Aku diam-diam mengamati momen itu tadi. Karena anak-anak sulit melihat kembang api yang terhalang oleh kerumunan orang dewasa, Riku-san, yang paling tinggi di antara kami, dengan tenang mengangkat Reiji-kun di pundaknya. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan karena suara kembang api yang keras menghalangi pendengaranku. Mungkin saja mereka hanya terdiam karena sifat pemalu keduanya.
Namun, yang kulihat adalah Riku-san yang dengan hati-hati menopang Reiji-kun agar tidak jatuh, dan Reiji-kun yang berpegangan erat pada kepala Riku-san agar tidak terjatuh. Hanya dengan melihat mereka seperti itu, aku yakin Shizuku-san pasti merasa senang dan puas.
“Yah, inilah hasil dari usahaku hari ini. Awalnya, aku berniat menghabiskan hari di rumah untuk bersantai dan menghilangkan rasa lelah setelah bekerja... Tapi, hari ini jelas lebih bermakna dari itu. Maki, terima kasih banyak. Baiklah, aku akan kembali ke tempat Shizuku dan yang lainnya.”
“Lho, Riku-san tidak jadi ke toilet?” tanyaku sedikit bingung.
“Ah, tidak. Sebenarnya, aku hanya ingin mengobrol sebentar denganmu. Kalau ada apa-apa, jangan ragu untuk menghubungiku. Kalau kamu meminta bantuan, aku akan mencoba sekuat tenaga untuk membantumu,” ujar Riku-san sambil tersenyum.
“Terima kasih banyak, Riku-san... atau, mungkin lebih tepatnya, Kakak Ipar.”
“Apa? Uh... bukankah itu terlalu cepat? Ya, sebenarnya terserah kamu kalau ingin memanggilku begitu, sih.”
“Kalau begitu, mungkin nanti, jika aku merasa ingin,” jawabku sambil tersenyum canggung.
Aku mencoba memanggilnya dengan sebutan “Kakak Ipar”, tetapi kurasa akan butuh waktu cukup lama sampai panggilan itu terasa akrab di antara kami. Ayah mertua, ibu mertua, dan kakak ipar... Ternyata, masih banyak rintangan yang harus kulewati untuk semakin mendekatkan diriku dengan keluarga Asanagi.
Setelah berpisah dengan Riku-san, sekitar sepuluh menit kemudian, giliranku akhirnya tiba. Aku segera menyelesaikan urusanku dan keluar dari toilet umum.
“Ah, lega rasanya. Setidaknya, sampai tiba di rumah nanti, aku tidak perlu khawatir,” gumamku.
Sejujurnya, sejak pertengahan acara kembang api tadi, aku sudah sedikit menahan diri. Dengan begini, aku tidak akan kesulitan saat berada di dalam kereta pulang nanti. Meskipun sedikit tidak nyaman membicarakannya, pada acara besar seperti festival kembang api ini, menjaga kondisi fisik adalah hal yang penting.
“Baiklah, sudah sedikit terlambat. Sekarang saatnya aku kembali ke tempat yang lain... Hm?”
Saat ingin memeriksa waktu di ponselku, sebuah pesan dari Umi muncul tepat di saat itu.
“(Asanagi) Maki, sudah selesai urusan di toiletnya?”
“(Maehara) Iya, baru saja selesai.”
“(Maehara) Sampaikan ke yang lain kalau aku akan segera kembali.”
“(Asanagi) Siap.”
“(Asanagi) Ngomong-ngomong, Maki, mau tanya sesuatu nih.”
“(Asanagi) Apakah kamu melihat Nina di sekitar sini?”
“(Maehara) Nitta-san?”
“(Maehara) Dengan kerumunan sebesar ini... Apa dia tersesat?”
“(Asanagi) Tidak separah itu sih, hanya saja...”
Menurut cerita Umi, tak lama setelah aku meninggalkan kelompok untuk pergi ke toilet, Amami-san menyadari bahwa Nitta-san juga menghilang. Di grup chat para gadis, Nitta-san sempat mengirim pesan bahwa dia pergi ke toilet, jadi mereka berpikir dia akan segera kembali. Namun, kekhawatiran Umi dan yang lainnya tidak sepenuhnya tidak berdasar.
“(Asanagi) Pokoknya kamu cepat kembali ke sini.”
“(Asanagi) Kalau kamu juga hilang, situasinya bakal jadi tambah rumit.”
“(Maehara) Iya, benar juga.”
Meski penasaran dengan keberadaan Nitta-san, aku memutuskan untuk kembali ke kelompok lebih dulu. Bukan karena aku takut merepotkan orang lain, tapi karena aku tidak ingin membuat Umi semakin khawatir.
“Kalau dia memang hanya pergi ke toilet, seharusnya dia ada di sekitar sini...” pikirku.
Toilet umum terdekat dari tempat kami berada adalah di sini, jadi seharusnya Nitta-san juga akan datang ke sini jika tidak ada masalah.
Sambil berjalan kembali ke arah Umi dan yang lainnya, aku secara sekilas mengamati antrian wanita yang menunggu di depan toilet, berusaha mencari sosok Nitta-san tanpa terlihat mencurigakan.
“Hm? Itu... Jangan-jangan...”
Dari sudut pandanganku, aku melihat sosok dengan rambut kuncir kuda berwarna terang yang sangat familiar. Ujung rambutnya sedikit bergelombang, dihiasi dengan scrunchie berwarna biru yang sudah menjadi ciri khas Nitta-san. Wajahnya tidak terlihat jelas karena terhalang kerumunan, jadi ada kemungkinan itu orang lain. Namun, mengingat kekhawatiran yang ada, aku merasa harus memastikannya.
“Umi bilang untuk segera kembali, tapi... sebaiknya aku beri tahu mereka dulu.”
Saat aku hendak mengirim pesan ke grup chat bahwa aku mungkin melihat sosok Nitta-san, tiba-tiba ada seseorang yang menyentuh ponselku dari belakang. Sekilas, aku mengira ini percobaan pencurian, tetapi saat aku melihat siapa yang melakukannya, ternyata orang itu cukup mengejutkan.
“Eh? Tunggu, apa yang kamu lakukan...?” tanyaku bingung.
“Ketua, tahan dulu sebentar,” ujar suara yang kukenal.
“Nitta-san?”
“Akhirnya ketemu juga. Ketua, aku mengejarmu dari tadi, tapi kamu malah pergi ke mana-mana,” kata Nitta-san dengan nada kesal.
“Harusnya aku yang bilang begitu,” balasku.
“Hah? Apa maksudmu?”
Sebelum aku sempat mengirim pesan, Nitta-san tiba-tiba muncul dan menghentikan tanganku. Melihat ekspresinya yang bingung, sepertinya dia tidak menyadari situasi yang terjadi. Maka, aku pun menceritakan padanya apa yang disampaikan oleh Umi barusan.
“Oh, begitu ya? Kupikir karena aku sudah mengirim pesan, semuanya baik-baik saja... Aku jadi merasa bersalah pada mereka,” ujarnya sambil tersenyum kecut.
“Sebaiknya nanti kamu minta maaf. Aku akan memberi tahu mereka kalau kamu sudah ditemukan.”
“Ya, tapi sebelum itu, bisakah aku meminta waktumu sebentar? Sebenarnya aku mengejarmu karena ingin bicara denganmu,” kata Nitta-san dengan sedikit mendesak.
“Kamu ingin bicara berdua denganku?”
“Tepat sekali. Ketua memang cepat tanggap kali ini,”
“Bagian ‘kali ini’ itu tidak perlu sebenarnya,”
Entah kenapa, hari ini aku sering diajak berbicara secara rahasia, baik oleh Riku-san maupun oleh Nitta-san. Namun, aku sebenarnya juga memiliki banyak hal yang ingin kutanyakan pada Nitta-san, jadi kesempatan ini tidak sepenuhnya buruk bagiku.
Aku memberi tahu yang lain bahwa Nitta-san sudah ditemukan dan kami akan segera kembali. Namun, sebelum itu, aku memutuskan untuk berbicara empat mata dengannya selama beberapa menit.
“Jadi, Nitta-san,”
“Ada apa? Kamu juga punya sesuatu yang ingin dibicarakan denganku?”
“Iya. Aku ingin tahu... kenapa kamu mengatakan hal itu padaku waktu itu?”
“Maksudmu ajakan untuk pergi ke festival kembang api berduaan?”
“Iya, benar. Sebenarnya, apa yang terjadi saat di festival olahraga?”
Setelah acara penutupan festival olahraga, Nitta-san mengaku bahwa dia sempat menyatakan perasaannya kepada Takizawa, namun ditolak. Dari apa yang dia ceritakan, hal itu tampaknya memang benar adanya. Sejak pagi, terlihat jelas bahwa dia sedang tidak bersemangat, dan aku yakin perasaan ingin dihibur itu bukanlah kebohongan.
Namun, yang membuatku bingung adalah kenapa dia kemudian mendekatiku setelah itu.
Nitta-san sepertinya tidak memandangku sebagai lawan jenis. Dia hanya menganggapku sebagai teman. Oleh karena itu, yang ingin kutanyakan adalah apa yang sebenarnya terjadi dalam pikirannya setelah festival olahraga. Aku merasa bahwa alasan di balik tindakan Nitta-san kali ini tersembunyi di sana.
“Oke, sekarang giliranku untuk bertanya... tapi sebelumnya,”
“Apa?”
“Menurutmu, kamu orang yang bisa menjaga rahasia?”
“Menurutku iya, tapi kalau soal Umi, aku tidak yakin bisa menahan diri,”
“Haha, benar juga. Aku juga tidak berharap banyak soal itu.”
“Jadi, bolehkah aku menceritakan ini pada Umi nanti?”
“Terserah. Tapi, sekarang ini, aku belum ingin orang lain tahu,” ujarnya dengan senyum kecut.
Aku bisa merasakan bahwa dia belum siap untuk berbagi cerita ini dengan siapa pun. Melihatnya tersenyum dengan ekspresi yang sedikit bingung, aku mulai merasa bahwa masalah ini tidak sesederhana yang terlihat.
Pembicaraan kami terhenti sejenak, dan kami berjalan mengitari taman yang mulai sepi. Area kios yang sebelumnya ramai kini sudah ditutup, mengembalikan suasana taman malam yang tenang dan sunyi.
“Nee, Maehara-chi,” panggilnya tiba-tiba.
“Eh? Kamu baru saja memanggilku apa?”
“Apa? Kamu kan memang Maehara-chi. Apakah aneh kalau aku memanggilmu begitu?”
“Maaf. Sudah lama sejak terakhir kali kamu memanggilku dengan nama itu, jadi aku sedikit terkejut,”
Biasanya, saat Nitta-san memanggilku dengan namaku, itu berarti dia ingin membicarakan sesuatu yang serius. Pertama kali dia melakukannya adalah Desember tahun lalu, saat secara kebetulan kami bertemu di restoran keluarga yang sama pada hari aku menemui ayahku. Dari pertemuan itulah aku merasa mulai terjalin ikatan dengan Nitta-san.
“Kembali ke pertanyaan tadi,”
“Iya, lanjutkan.”
“Kalau orang yang kamu suka sudah punya pacar, apa yang akan kamu lakukan?”
“Hmm... itu pertanyaan yang sulit,”
Beberapa jam lalu, aku menanyakan hal yang sama pada Eimi-senpai. Namun, jika aku yang mendapatkan pertanyaan seperti itu, aku tidak yakin apa yang akan aku jawab. Itu adalah masalah yang tidak mudah untuk diputuskan begitu saja. Jika orang yang kita sukai sudah punya pacar, apa yang harus kita lakukan?
“Aku tidak tahu,”
“Kamu tidak tahu? Maksudmu, ada dua kemungkinan, bukan? Menyerah dengan lapang dada atau mencoba membuatnya berpaling padamu, bahkan jika itu berarti melakukan sesuatu yang curang?”
“Tidak, mungkin bukan keduanya,” jawabku sambil menggeleng.
Nitta-san menatapku bingung, namun aku hanya bisa menjawab seperti itu berdasarkan perasaanku saat ini.
“Kadang-kadang aku membayangkan, bagaimana jika suatu hari Umi menemukan seseorang yang dia sukai. Aku senang Umi menyukaiku, dan aku berusaha keras untuk membalas perasaannya sebisa mungkin. Tapi terkadang, aku merasa takut,”
“Benarkah? Aku rasa kalian akan baik-baik saja, tapi kalau ada yang ingin kamu bicarakan, aku siap mendengarkan,” kata Nitta-san sambil tersenyum.
“Terima kasih. Tapi jika itu terjadi, aku mungkin akan merasa tidak suka dengan kedua pilihan itu. Baik menyerah dengan lapang dada, maupun berusaha mendapatkan hatinya dengan cara yang tidak jujur,”
Aku benar-benar mencintai Umi. Mungkin terlalu berlebihan untuk mengatakan bahwa aku mencintainya lebih dari siapa pun di dunia ini, tapi perasaanku padanya sangatlah kuat.
Aku sangat mencintainya hingga tidak ingin begitu saja menyerah. Dialah yang mengajarkan kepadaku betapa menyenangkannya menghabiskan waktu bersama teman-teman, dan betapa indahnya mencintai seseorang.
Karena itu, sulit bagiku untuk menerima begitu saja dan melupakan perasaanku dengan mudah. Namun, jika aku mencintainya sedalam itu, apakah aku harus bertindak seperti Eimi-senpai atau Nitta-san? Hal itu juga menjadi pertimbangan yang rumit bagiku.
“Aku tidak ingin menyerah pada orang yang kusukai, tapi jika demikian, aku merasa itu terlalu egois dan tidak memikirkan perasaan orang lain,” ucapku lirih.
“Jadi, kamu tidak tahu jawabannya?”
“Kurang lebih begitu,”
Mungkin tidak ada jawaban yang sempurna untuk pertanyaan semacam ini. Justru karena itulah semua orang merasa bingung dan terus memikirkannya.
“Hah, seperti yang kuduga, kamu memang orang bodoh yang terlalu baik hati, Maehara-chi,” kata Nitta-san sambil tersenyum.
“Tapi menyebutku bodoh itu berlebihan, bukan?”
“Tidak, kamu memang bodoh. Itu sudah pasti,” balasnya sambil tertawa kecil.
Nitta-san tertawa seperti biasanya, dengan senyum yang akrab dan ceria. Meskipun pada akhirnya dia tidak memberitahuku apa-apa tentang masalah yang sebenarnya, aku merasa mungkin lain kali dia akan siap untuk berbagi.
Dia tadi mengatakan bahwa untuk saat ini dia belum ingin berbicara. Namun, siapa tahu, mungkin besok pikirannya akan berubah. Jadi, untuk sekarang, aku hanya bisa menunggu hingga Nitta-san bersedia mendekat dan bercerita.
“Yah, sepertinya waktu kita sudah habis. Terima kasih sudah mau mendengarkan ceritaku hari ini, Ketua. Sebagai imbalannya, aku akan mengajakmu kencan lain kali. Tentu saja, semuanya kamu yang traktir,” ucapnya bercanda.
“Tidak, aku hanya akan melakukan hal semacam itu bersama Umi,”
“Cih, membosankan sekali,” keluhnya sambil tertawa ringan.
Dengan sikap main-main seperti itu, Nitta-san segera kembali bergabung dengan teman-teman lainnya.
“Hei, Nina-chi, kamu kemana saja selama ini? Kami semua khawatir, tahu!”
“Nina, kamu baik-baik saja? Tidak ada yang terjadi, kan?”
“Iya, aku baik-baik saja. Tadi aku hampir saja diajak kencan oleh mahasiswa yang lewat, tapi untungnya aku bertemu Ketua dan menggunakannya sebagai umpan untuk melarikan diri,” jawabnya dengan nada bercanda.
“Astaga, Nitta-san... Jangan terlalu mengarang cerita seperti itu. Nanti Amami-san benar-benar percaya,”
Meskipun ada sedikit insiden kecil, akhirnya semua orang berkumpul kembali. Kami hanya tinggal menaiki kereta untuk pulang ke rumah. Langit sudah sepenuhnya gelap, tetapi karena menunggu hingga keramaian berkurang, kami bisa pulang dengan lebih santai dan duduk nyaman di dalam kereta.
“Mari kita pulang, Maki.”
“Iya,”
Sambil berjalan menuju stasiun, aku memperhatikan kelompok yang berjalan di depan kami dengan penuh semangat.
“Nee Yuu-chi, setelah sampai stasiun dan kita berpisah, bagaimana kalau kita pulang bersama? Atau, lebih baik aku ikut menumpang mobil Eri-san saja,”
“Boleh saja. Aku akan minta tolong ibuku mengantar sampai rumahmu juga. Oh iya, bagaimana denganmu, Seki-kun?”
“Ah, tidak perlu. Aku harus pulang ke arah yang berlawanan, dan lagi, sepedaku juga ada di sini,” jawab Seki sambil menggaruk kepala.
“Hah, kamu kelihatan agak kecewa, Seki,”
“Ti-tidak, tidak kok!”
Di depan kami, Amami-san, Nitta-san, dan Nozomi berjalan dengan riang. Sementara itu, di barisan paling depan, ada Riku-san dan Shizuku-san yang terlihat mesra. Reiji-kun yang kelelahan tertidur dalam gendongan mereka.
Melihat dari luar, semua tampak bahagia, seolah mereka menikmati hari-hari yang damai dan penuh kebahagiaan.
Bagi siapa pun yang tidak tahu cerita di baliknya, kami mungkin terlihat seperti kelompok yang menjalani hidup tanpa masalah. Dan tentunya, aku yang saat ini menggenggam tangan gadis yang sangat kucintai, juga terlihat seperti itu.
Namun, aku tahu bahwa kenyataannya tidak seindah kelihatannya.
Di balik senyuman yang tenang, setiap orang pasti memiliki pergulatan batin, entah itu dari masa lalu atau sedang berlangsung saat ini. Namun, meski begitu, mereka tetap menjalani hari-hari seperti biasanya.
“Maki, kamu kenapa? Sepertinya tadi kamu sedang melamun sambil memperhatikan semua orang,”
“Ah, tidak, aku hanya berpikir... semua orang pasti sedang berusaha keras dalam menjalani hidup mereka.”
“Hehe, apa sih kamu. Sudah jelas, bukan? Dalam belajar, bekerja, atau hubungan dengan orang lain... meskipun hanya menjalani keseharian seperti biasa, setiap orang pasti sedang berusaha keras. Begitu juga denganmu, Maki.”
“Benarkah begitu? Menurutmu, aku bisa berusaha sama kerasnya seperti yang lain?”
“Tentu saja. Aku akan menjaminnya sepenuh hati,” ucap Umi sambil tersenyum.
“Iya. Terima kasih, Umi.”
Aku mengucapkan terima kasih atas dukungan dari gadis yang sangat kucintai, dan mempercepat langkah agar tidak tertinggal dari rombongan yang berjalan di depan kami. Agar bisa menjalani hari-hari seperti biasa, sama seperti mereka semua.
◆ ✧ ₊ ✦ ₊ ✧ ◆
Pov Nitta Nina
“Baiklah, kalau begitu, kita bubar di sini saja,” kata Maehara, yang berperan sebagai pemimpin hari ini, setelah memastikan semua dari delapan orang sudah keluar dari gerbang tiket.
Meskipun semua ini berawal dari idenya yang spontan, hasilnya kami bisa menikmati festival kembang api yang menyenangkan.
Melihat situasi seperti ini, aku menyadari bahwa Maehara memang menjadi sosok yang menyatukan kelompok kami yang beranggotakan lima orang.
Meskipun dia selalu merendah, mungkin jika bukan karena ajakannya, kami tidak akan bisa berkumpul seperti ini. Karena perbuatanku di tempo hari, aku tahu bahwa saat ini tidak ada satu pun dari mereka yang mungkin akan mengikutiku.
“Kalau begitu, kami pulang dulu ya,” ucap Maehara dan pasangan Asanagi sambil melambaikan tangan. Asanagi-Oniisan yang baru bergabung secara mendadak juga ikut kembali ke rumah Asanagi bersama mereka.
Aku tidak mengerti kenapa Maehara ikut ke rumah Asanagi, tapi sepertinya itu sudah hal biasa bagi mereka.
“Umi, Maki-kun, sampai jumpa lagi! Ah, dan juga Riku-san, Shizuku-san, serta Reiji-kun!”
Dari delapan orang, lima orang sudah pergi, meninggalkan aku, Yuu-chi, dan Seki di tempat itu. Karena Maehara dan Asanagi selalu lengket satu sama lain, saat kami berlima, kelompok biasanya terbagi seperti ini. Aku selalu berusaha mencairkan suasana dan menghindari ketegangan di antara mereka berdua yang memiliki hubungan masa lalu sebagai pasangan yang pernah saling suka.
Meskipun aku menyukai suasana bercanda dan berbincang sambil berdebat dengan Seki, saat ini rasanya agak canggung jika berdua saja dengan Yuu-chi.
“Kalau begitu, aku pulang duluan. Oh iya, Amami-san, kimono yang kamu pakai hari ini sangat... ya, sangat indah. Warnanya cerah dan mencerminkan dirimu,” kata Seki sambil sedikit tersipu.
“Hehe, terima kasih, Seki-kun. Nina-chan juga sangat cantik, bukan? Aku sedikit membantunya memilih baju hari ini,”
“Begitu ya. Yah, kamu juga lumayan bagus hari ini,”
“Sudah ya, Seki. Kamu sudah selesai di sini, jadi cepatlah pulang,”
“Hah, baiklah. Aku juga capek hari ini, jadi aku akan pulang dan tidur. Sampai jumpa,”
“Sampai jumpa lagi di sekolah, Seki-kun!”
“Sampai jumpa!”
Meskipun aku seolah mengusir Seki, dalam hati aku berharap dia tetap tinggal sedikit lebih lama. Mobil yang akan menjemput kami belum tiba.
“Kita tinggal berdua saja, ya, Nina-chan,”
“Iya, tadi ramai sekali, tapi sekarang tiba-tiba jadi sepi,” jawabku sambil tertawa pelan.
Suasana ini mengingatkanku pada kembang api yang tadi meledak di langit dan menghilang begitu saja. Saat itu, aku hanya perlu menatap ke langit tanpa berpikir apa-apa.
“Indah sekali, ya.”
“Luar biasa, ya.”
Dua jam yang kami habiskan bersama terasa berlalu begitu cepat saat kami mengobrol dengan kata-kata sederhana seperti anak-anak sekolah dasar, namun sekarang, beberapa menit ini terasa sangat lambat.
Mungkin suasana yang tadinya penuh dengan obrolan ringan dan ceria berubah menjadi canggung karena salah satu dari kami, yang membuat atmosfer menjadi berbeda.
Saat ini juga, aku ingin sekali menarik lehernya dan memberinya ceramah panjang.
...Tentu saja, itu hanya terjadi dalam pikiranku saja, karena kalau aku benar-benar melakukannya, aku hanya akan dianggap aneh.
“Nee, Yuu-chi.”
“Eh? A, u-um, ada apa?”
“...Festival kembang api tadi menyenankan, bukan?”
“Ya, benar. Aku ingin pergi lagi tahun depan. ...Lagi, bersama yang lainnya.”
“...Iya, benar.”
Hanya berbicara dengan teman saja, namun mengapa aku merasa begitu terhambat dalam berbicara?
Waktu yang telah dipersiapkan hanya untuk berdua, begitu pas dan cocok.
Aku sudah tahu apa yang Yuu-chi ingin tanyakan padaku.
Suara Yuu-chi yang sesekali melirik wajahku, seolah-olah akan terdengar kapan saja.
──Kenapa kamu mengatakan hal seperti itu pada Maki-kun?
Untuk tidak membuat Maehara dan Asanagi khawatir lebih banyak, meskipun kelihatannya kami bertingkah seolah baik-baik saja, aku yakin Yuu-chi pasti sudah lama marah padaku.
Mungkin, sejak liburan musim panas, hingga saat ini. Dalam hatinya, pasti sudah lama.
Aku sengaja menimbulkan ketegangan antara dua kelompok yang sudah sangat terikat oleh ikatan yang kuat—Nakamura-san, Takizawa-kun, dan Maehara serta Asanagi—dengan tindakan yang kuulang-ulang tanpa rasa bersalah.
Mereka yang tidak terlibat langsung hanya bisa tertawa canggung, tapi aku rasa Maehara dan Asanagi benar-benar tidak bisa menahan diri atas apa yang kulakukan pada mereka.
Aku yang tidak terlalu peduli dengan diriku sendiri, namun sangat sensitif terhadap teman-temanku. Aku selalu berusaha lebih peduli pada mereka, meskipun itu seharusnya tidak perlu.
Itulah yang aku sukai dari Yuu-chi──Amami Yuu, sisi itu yang aku sukai.
Namun, di sisi lain, aku juga membencinya.
“Yuu-chi, tidak ada yang ingin kamu tanyakan?”
“Eh?”
“Kenapa aku mengganggu teman-temanmu yang penting?”
“...!”
Tiba-tiba, ekspresi wajah Yuu-chi sangat jelas menunjukkan rasa ketegangan.
Dia berusaha menyembunyikan kebingungannya, tapi begitu terlihat jelas, aku tidak bisa menahan tawa kecil.
Melihat itu, Yuu-chi menatapku dengan wajah yang jelas menunjukkan ketidaksenangan. Wajahnya kali ini bukanlah ekspresi cemberut seperti biasa, melainkan benar-benar marah.
Aku merasa sepertinya aku pernah melihat ekspresi yang sama setelah festival olahraga kemarin.
Begitu sudah seperti ini, tidak ada lagi yang bisa dijadikan lelucon. Tidak ada jalan mundur.
“Nina-chan, kenapa kamu tertawa?”
“Maaf, Yuu-chi. Tapi wajahmu sangat jelas menunjukkan ‘kena deh’.”
“...Aku sama sekali tidak tahu apa yang kamu maksud.”
“Benarkah, kamu pura-pura tidak tahu? Itu tidak seperti Yuu-chi biasanga.”
“Eh! Iya itu karena, itu—ah, tidak, tidak ada apa-apa.”
Meskipun sudah jelas terbongkar, Yuu-chi tetap berusaha berpura-pura tidak tahu.
Bahkan jika aku sudah tahu, dan bahkan jika teman dekatku itu sudah menyadarinya, satu kalimat terakhir itu tetap disembunyikan dalam hati.
Begitulah cara Amami Yuu memilih untuk menghadapinya.
...Bagi diriku, itu adalah cara yang paling aku harap Yuu-chi tidak pilih.
“Kalau begitu, Yuu-chi, bolehkah aku bertanya balik?”
“...Tidak boleh.”
“Kenapa?”
“Tidak boleh ya tidak boleh.”
“Jangan bertindak seperti anak kecil. Bukankah kita sudah SMA?”
“...Aku tidak mau dibilang begitu olehmu.”
Akhirnya, dia tidak memanggilku “Nina-chan” lagi. Setelah berteman cukup lama, aku merasa seperti kembali ke titik awal.
...Apa yang sebenarnya aku lakukan?
Kenapa aku tidak bisa berbicara dengan santai seperti biasanya?
Seharusnya aku hanya perlu menyembunyikan perasaanku dan mengikuti arus percakapan, agar hubungan kami tetap damai, setidaknya dari kelihatannya.
Namun, saat melihat Amami Yuu──tidak, melihat “Yuu-chi”, aku tidak bisa berhenti serius. Aku tidak bisa membiarkannya begitu saja, dan akhirnya berusaha ikut campur yang tidak perlu.
“Nee, Yuu-chi.”
“.........Apa?”
Aku menarik napas kecil, lalu melontarkan pertanyaan yang sangat penting.
『──────────────────』
Melihat ekspresi wajahnya pada saat itu, aku kembali berpikir.
Amami Yuu, apakah kamu benar-benar yakin dengan pilihanmu──?
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.