Bab 1
Malam yang Panjang
di Musim Gugur
Pertama-tama, kami memutuskan untuk pergi ke festival kembang api.
Tentu saja, aku tidak pergi berdua dengan Nitta-san, tetapi berlima seperti biasa. Aku juga sempat mengajak Nakumura-san dan Takizawa, tapi mereka sudah punya rencana untuk pergi berpasangan, jadi mereka menolak dengan sopan.
Festival kembang api ini diadakan saat musim panas yang terik akan segera berakhir.
Selain kembang api, acara ini juga memiliki berbagai kegiatan di panggung khusus, yang membuatku cukup menantikan akhir pekan ini—tapi, tentu saja, jika bukan karena soal Nitta-san.
“—Festival kembang api? Dengan semua orang? Ya! Tentu saja aku mau ikut! Ngomong-ngomong, tahun lalu festival ini dibatalkan karena hujan lebat. Senang sekali, ya! Ini pertama kalinya kita semua pergi ke festival sejak masuk SMA,” kata Amami-san bersemangat saat aku memberitahunya tentang rencana akhir pekan kami.
Meski ia sempat mengabari Nitta-san kalau akan terlambat karena tidur lagi, Amami-san tiba-tiba muncul lima menit sebelum bel masuk berbunyi dengan wajah segar tanpa sedikit pun terlihat kelelahan.
Sekali lagi, aku kagum dengannya, di mana ia menyimpan energi sebesar itu?
“Ngomong-ngomong, gimana dengan Nagi-chan dan Yama-chan? Ayo kita ajak juga, mumpung semua orang bisa ikut.”
“Kenapa aku harus ikut sama kalian, sih? Lagian, aku juga tidak tertarik.”
“Maaf, aku udah janji mau pergi bareng teman-teman yang lain. Oh, dan Arae-san juga bukan tidak tertarik. Dia juga mau pergi bareng teman sekelasnya yang lain,” jelas Yamashita-san.
“Oh, begitu, ya. Maaf, Nagi-chan?”
“Serius, kalau kamu tidak berhenti ngomong seperti gitu, aku bakal beneran memukulmu.”
Arae-san, Yamashita-san, dan banyak teman sekelas kami lainnya memang punya rencana untuk menghadiri festival itu. Mungkin saja kami bakal ketemu orang-orang yang tak terduga di sana.
“Kalau begitu, aku akan mempersiapkan yukata untuk hari itu. Mama punya banyak koleksi, jadi aku bisa meminjamkannya buat Umi dan Nina. …Eh, kenapa, sih, kamu kelihatan kurang bersemangat, Maki-kun?”
“Tidak ada, aku hanya kepikiran betapa ramainya nanti. Aku tidak tahan kalau di tempat ramai, sama seperti ketika mabuk kendaraan.”
Sebenarnya, masalah utama yang aku khawatirkan adalah hal yang lain. Apakah aku harus menceritakan tentang percakapanku dengan Nitta-san pada Amami-san?
Tadi, Nitta-san bilang ia tidak keberatan jika aku membagikan cerita ini, karena menurutnya tak ada yang perlu disembunyikan. Jadi, pilihan ada di tanganku dan Umi… dan akhirnya, kami membahasnya lewat pesan singkat.
“(Maehara) Bagaimana menurutmu, Umi, sebaiknya gimana?”
“(Asanagi) Huh. Si Nina itu sebenarnya mikirin apa, ya.”
“(Asanagi) Dia keliatan tegas banget soal itu, padahal biasanya tidak begitu.”
“(Asanagi) Tapi, itu terserah kamu mau cerita atau tidak.”
“(Maehara) Menurutmu kita tidak usah cerita aja?”
“(Asanagi) Sementara ini, iya. Bukan karena ada alasan tertentu, sih.”
“(Asanagi) Tapi aku punya perasaan tidak enak aja.”
“(Maehara) Hmm, bisa jadi. Apalagi seperti waktu kita di pantai kemarin, Nitta-san kelihatannya serius soal cinta.”
“(Asanagi) Iya kan? Nah, bagaimanapun aku tidak punya hak untuk melarang kamu menceritakannya.”
Sebelum Amami-san sampai di sekolah, kami sudah membahas soal ini, dan Umi tampaknya merasa tidak nyaman dengan perilaku Nitta-san.
Menurut Amami-san, jika tahu seseorang sudah berpacaran atau setidaknya saling suka, tidak baik untuk membuat mereka terpisah.
Pendapatnya bukanlah sesuatu yang salah, dan bahkan bisa dibilang kebanyakan orang akan setuju dengan pandangan itu. Aku pun mengerti bahwa dalam cinta, kita hanya bisa memilih satu orang dan sebisa mungkin membuat orang itu memilih kita juga.
Namun, jika hanya karena alasan itu aku bisa dengan mudah menyerah, mungkin dari awal aku memang tidak benar-benar menyukainya.
Bagaimana sebenarnya perasaan Nitta-san padaku, akupun tidak mengerti. Tapi, dengan mengajakku pergi berduaan saja, wajar jika ada yang salah paham. Sepertinya, untuk saat ini, aku sebaiknya mengikuti saran Umi.
“Nee, gimana soal waktu kumpulnya? Festival kembang apinya mulai jam tujuh malam, jadi kita harus sampai di sana sore hari untuk mencari tempat yang pas. Kalau begitu, Umi dan Nina bisa ke rumahku dari siang…” Amami-san sudah sangat antusias merencanakan jadwal untuk hari itu, mengingat festival ini hanya setahun sekali.
Melihat betapa bersemangatnya Amami-san, aku merasa tidak ada salahnya mengikuti saran Umi untuk tidak menimbulkan keributan yang tidak perlu.
Satu-satunya kekhawatiranku hanyalah Nitta-san pada hari H nanti.
Biasanya, dia berperan sebagai penyeimbang di antara kami berlima, tapi kali ini bisa saja situasinya berbeda.
Mudah-mudahan, insiden seperti tadi pagi tidak terjadi lagi.
“…Maki-kun?”
“Hah? Oh, maaf, aku tadi ngelamun. Ada apa tadi?”
“Begini, aku sangat senang kamu mengajakku ke festival kembang api, tapi apa kamu yakin tidak apa-apa? Kalau kamu mau pergi berdua saja dengan Umi, aku tidak keberatan.”
“Ah, tidak apa-apa. Masih banyak waktu lain untuk aku bisa pergi berduaan dengan Umi. Lagi pula, lebih aman kalau kita pergi bersama-sama, apalagi akan ada banyak pengunjung dari luar kota. Selain itu, aku memang ingin menikmati acara ini bersama yang lainnya.”
Banyaknya orang yang hadir bisa saja menimbulkan masalah, terutama bagi Amami-san atau Umi yang mungkin saja akan menarik perhatian.
Aku tidak mau ambil resiko mereka diganggu oleh orang-orang yang tidak sopan.
“Kalau begitu, kalau kamu berubah pikiran dan ingin pergi berdua saja dengan Umi, tinggal bilang saja, ya. Ini kan hampir satu tahun sejak kalian pertama kali bertemu, jadi momen spesial ini seharusnya kalian rayakan.”
“Terima kasih atas perhatiannya. …Dan cukup mengejutkan juga, kamu masih ingat kapan kami pertama kali mulai dekat.”
“Tentu saja. Kamu itu teman laki-laki pertamaku yang bisa aku ajak bicara dengan nyaman, Maki-kun.”
“…Serius?”
“Iya. Aku memang pernah bicara dengan anak laki-laki lain, dan pernah pergi dengan yang lain, tapi mereka biasanya… cara mereka menatapku membuatku tidak nyaman.”
“Ah, begitu, ya.”
Meskipun Amami-san mudah akrab dengan orang lain, ternyata ia punya pandangan yang baik untuk menilai orang, serta insting yang cukup tajam dalam menghindari situasi yang tidak aman.
Sebagai salah satu gadis paling populer di sekolah, aku bisa memahami mengapa banyak yang ingin dekat dengannya, bahkan berharap menjadi lebih dari sekadar teman. Tapi mendekatinya dengan niat seperti itu rasanya kurang sopan.
Memiliki penampilan yang menarik dan kemampuan atletik tidak selalu membawa kebahagiaan, justru kadang membawa kesulitan tersendiri.
Jika seseorang benar-benar memahami sisi ini, tentu jarak di antara mereka dan Amami-san akan semakin dekat.
“Itulah kenapa, aku senang bisa berteman denganmu, Maki-kun.”
“Oh, begitu? Ya, aku senang kalau kamu merasa begitu.”
“Iya. Hehe, meskipun aku hanyalah pelengkap dari Umi, tetap saja senang bisa berteman denganmu. Jabat tangan sebagai tanda pertemanan kita.”
“Hah? Oh, iya, tentu. Senang berteman denganmu.”
Begitu aku mengulurkan tangan, Amami-san menyambutnya dan menggenggam erat dengan kedua tangannya. Rasanya ini pertama kalinya aku menyentuh Amami-san—tangan yang lembut, putih, sedikit basah oleh keringat, dan agak dingin.
“Tanganmu hangat sekali, ya, Maki-kun. Pantas saja Umi selalu…”
“Eh? Amami-san?”
“Oh, maaf, Maki-kun. Aku jadi ngelantur lagi… Eh, kita harus cepat kembali ke tempat duduk, sebentar lagi pelajaran akan segera dimulai. Soal festival kembang api, kita bahas lagi saat istirahat makan siang, ya.”
“Baiklah… aku tunggu.”
Setelah melepaskan genggamannya pada tanganku dengan enggan, Amami-san bergegas kembali ke kelompoknya bersama Arae-san dan Yamashita-san.
“──Baiklah, selamat pagi semuanya~. Aku akan mengecek absensi kalian, jadi semuanya cepat-cepat duduk di tempatnya, ya~. Maehara-kun, jangan hanya berdiri melamun di situ. Oh, sekalian pimpin salam, ya?”
“Baik. ...Semua, berdiri, salam!”
Saat pertemuan singkat pagi dimulai tepat waktu, aku tanpa sadar menoleh ke arah Amami-san. Kupikir yang terlihat berbeda pagi ini hanyalah Nitta-san, tapi tampaknya Amami-san juga sedang menghadapi masalahnya sendiri. Dengan diam-diam, seperti biasa, aku mengeluarkan ponsel dari saku.
“(Maehara) Umi”
“(Asanagi) Ya, ada apa?”
“(Maehara) … Apa yang harus kita lakukan?”
“(Asanagi) Untuk sekarang, kita bicarakan pelan-pelan setelah pulang sekolah saja, ya?”
“(Maehara) Aku mengerti, terima kasih.”
Punya pacar yang selalu cepat memahami situasi seperti ini benar-benar sesuatu yang sangat berharga.
Setelah kejadian di festival olahraga, sikap Amami-san tidak berubah, dan kini ada juga masalah dengan Nitta-san. Rencananya akhir pekan ini akan ada festival kembang api…
Semoga saja tidak ada masalah yang terjadi. Tapi, apakah itu terlalu berlebihan untuk kami harapkan sekarang?
◆ ✧ ₊ ✦ ₊ ✧ ◆
Hari Sabtu minggu ini, kami akan pergi ke festival kembang api bersama-sama, tapi tentunya, aku tidak melupakan rencana untuk menghabiskan waktu berduaan dengan Umi. Sekitar waktu-waktu seperti inilah, setahun yang lalu, aku dan Umi pertama kali menjadi teman.
Hubungan kami dimulai ketika ia mengajakku bicara saat aku sedang memilih-milih film sendirian di toko rental pada Jumat sore sepulang sekolah.
“──Aku menemukan teman satu hobi. Semoga kita bisa berteman dengan baik. Haha, bercanda.”
Tepat setahun yang lalu, kartu perkenalan dari “Asanagi Umi” yang ia berikan masih tersimpan rapi di laci meja belajarku. Kenangan tentang pertemuan pertama kami menjadi salah satu harta berharga bagiku. Di akhir pekan kedua musim gugur sejak aku bertemu Umi, kegiatan kami seolah sudah ditentukan.
“──Nee, Maki, menurutmu yang mana yang bagus? Mungkin lebih baik kembali ke awal dan memilih film hiu B-grade, ya?”
“Tentu saja. Kalau tidak salah... film pertama yang kita tonton bersama itu...”
“’Piranha Shark’ dan ‘Kung Fu Shark’. Haha, sudah setahun berlalu, tapi Yuu dan Nina masih tidak bisa mengikuti obrolan kita ini, ya.”
“Ya, memang cukup sulit, kan?”
Di toko rental favorit kami yang sudah terasa akrab, aku dan Umi berdiri berdampingan, sambil menatap sampul film-film dengan judul aneh dan menikmati obrolan yang hanya bisa dipahami oleh kami berdua.
Pada saat-saat seperti ini, baik Amami-san, Nitta-san, maupun Nozomi tidak bisa ikut masuk ke dalam percakapan kami.
Obrolan rahasia yang hanya bisa dimengerti oleh kami berdua. Momen ketika kami bercanda dan tertawa bersama, terasa sangat menyenangkan dan menenangkan bagiku.
“Kalau dipikir-pikir lagi, dulu kita berdua agak aneh, ya. Kamu mengajakku, gadis yang hampir baru kamu kenal di kelas, untuk main ke rumahmu, dan aku juga mengikutimu tanpa pikir panjang.”
“Kita terlalu asyik mengobrol sampai-sampai pulang pagi.”
“Haha, ya, ada kejadian itu juga. Saat dibangunkan oleh bibi Masaki, aku sempat kaget. Kita memang sudah melalui banyak hal, ya.”
“Iya... tapi semua itu menyenangkan.”
“Ya, karena aku bersamamu, Maki.”
“Aku juga, karena bersama denganmu, Umi.”
Di tempat penuh kenangan di mana semuanya dimulai, aku dan Umi menyusun memori demi memori.
Berawal dari kartu perkenalan yang kuambil secara spontan saat itu, aku mulai mengenal gadis bernama Asanagi Umi, dan sedikit demi sedikit, aku pun jatuh cinta padanya lebih dari siapa pun.
Saat mengingat kembali suasana canggung saat perkenalan di awal masuk SMA, rasanya masih seperti trauma tersendiri, tetapi aku sama sekali tidak menyesalinya. Karena, dari perkenalan itu, aku bisa berteman dengan Umi, gadis yang begitu manis.
“Maki, ada yang mau aku bicarakan.”
“Hm? Apa itu?”
“Agak terlambat untuk mengatakannya, tapi...”
“Tidak apa-apa, katakan saja.”
“...Mungkin aku ingin pergi ke festival kembang api hanya berdua saja denganmu.”
Sambil berkata begitu, Umi menggenggam tanganku erat-erat.
Merayakan satu tahun persahabatan dengan pergi berdua ke festival kembang api terasa sangat istimewa. Mungkin ini terdengar biasa saja, tapi sama seperti pasangan anak sekolah lainnya, kami juga adalah sepasang kekasih biasa yang ingin menikmati waktu bersama. Meski biasanya kami hanya bersantai di rumah, sesekali kami juga ingin melakukan hal yang romantis seperti ini.
“Lalu, bagaimana kalau sekarang kita batalkan saja dan pergi berdua? Amami-san bilang dia tidak masalah dengan itu.”
“Haha, sebenarnya aku juga dibilang begitu. Sangat menggambarkan Yuu sekali, ya.”
“Meskipun semuanya sudah punya rencana masing-masing, Amami-san pasti bisa menyiasatinya.”
“Atau mungkin lebih tepatnya, semuanya akan berakhir sesuai rencana begitu Yuu yang mengurusnya.”
Membatalkan rencana satu hari sebelum pergi mungkin terdengar merepotkan bagi orang lain, tetapi anehnya, jika Amami-san yang mengaturnya, semuanya akan tetap berjalan lancar. Saat Amami-san meminta bantuan, Nozomi dan Nitta-san, bahkan teman-teman lain, pasti akan menerimanya dengan senang hati.
Aku dan Umi mungkin tidak akan bisa melakukannya sebaik itu.
“Terima kasih, ya, Maki. Sudah mendengarkanku.”
“Jadi, tetap tidak jadi batal, ya?”
“Tentu saja. Meskipun Yuu berkata begitu, yang paling menantikan hari esok itu sebenarnya dia sendiri.”
Seperti kata Umi, meskipun Amami-san tampak memikirkan kami, dia pasti akan kecewa jika kami benar-benar membatalkannya.
Meskipun kami lebih suka memprioritaskan waktu berdua, kami juga tidak bisa mengabaikan waktu bersama teman-teman, terutama Amami-san dan yang lainnya, yang selalu mendukung dan menjaga hubungan kami.
“Kalau begitu, hari ini kita istirahat saja dulu, ya, supaya besok lebih siap.”
“Haha, iya. Abaikan saja kalau ada yang bilang kita melakukan hal yang sama terus.”
“Terima kasih. ...Hehe.”
“Hihi.”
Sambil bercanda, kami memilih dua film dari sekian banyak pilihan yang ada. Kedua film itu adalah sekuel yang populer (di kalangan tertentu) dengan judul yang langsung membuat kami merasa penasaran melihat keseriusan para pembuatnya.
Setelah menyelesaikan pembayaran di kasir, kami keluar dari toko rental dan menuju supermarket langganan kami. Biasanya kami memesan makanan dari tempat kerjaku, tetapi menurut Eimi-senpai, hari ini manajer salah mengatur jadwal sehingga staffnya sangat sedikit, jadi akan lebih baik jika kami tidak memesan dari sana.
Kami pun bimbang, apakah cukup membeli makanan siap saji atau memasak sendiri.
“Eh... oh, lihat ini, ada sushi yang diberi diskon setengah harga. Selama ini kita sering makan junk food, mungkin kali ini kita bisa coba makan sushi dengan sup miso... eh? Umi, kenapa?”
“Maki, lihat deh anak-anak itu.”
“Apa? Mana?”
“Itu, di tempat parkir, ada beberapa anak kecil yang pakai yukata. Sepertinya masih SD, ya?”
Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Umi, dan melihat beberapa anak kecil yang tampaknya sedang berkumpul dan bercanda dengan riang, mungkin sedang menunggu teman-teman mereka.
Anak laki-laki di antara mereka memakai pakaian biasa, tetapi seperti yang Umi katakan, beberapa anak perempuan mengenakan yukata yang indah.
Melihat mereka dalam balutan yukata di waktu sore menjelang malam ini, mudah ditebak kemana tujuan mereka.
“...Maki,” ucap Umi.
“Umi, jangan-jangan kamu sedang memikirkan sesuatu yang aneh?”
“Ara, tidak ada kok. Aku hanya penasaran sedikit. Aku pikir menarik juga kalau kita ikuti mereka untuk tahu ke mana mereka pergi.”
“...Yang seperti itu, biasanya disebut ide aneh, kau tahu.”
Umi sepertinya sudah bisa menebak, mungkin mereka akan pergi ke sebuah festival kecil. Entah festival yang diadakan oleh warga setempat atau acara yang lebih umum tapi diadakan secara berkala dan terbuka untuk umum.
Sudah beberapa waktu aku tinggal di kota ini, tapi masih banyak acara daerah yang tidak aku ketahui kalau tidak mencari tahu dengan sungguh-sungguh.
Walau kemungkinannya sia-sia, kadang kegiatan semacam ini bisa cukup menarik juga, terutama karena Umi terlihat sangat antusias kali ini.
“Tapi, daripada mengikuti mereka, mungkin lebih baik kita tanyakan saja secara langsung. Kalau aku yang mengikuti mereka dari belakang, pasti bakalan dilaporin,”
“Aku tidak merasa kamu akan terlihat menyeramkan seperti itu... tapi, mungkin memang benar juga, ya. Kalau begitu, Maki saja yang bertanya.”
“Eh?”
Tanpa ragu, Umi menepuk punggungku, seolah menyuruhku maju ke depan untuk bertanya pada anak-anak itu.
“…Aku yang bertanya?”
“Iya. Kan tadi Maki yang bilang lebih baik kita tanya langsung.”
“Iya sih... tapi rasanya aku jadi seperti terjebak di sini.”
“Sudahlah, sebelum anak-anak itu pergi.”
Akhirnya, aku menghentikan kegiatan belanjanya sebentar dan mendekati kerumunan anak-anak SD itu.
Ada sedikit rasa khawatir kalau mereka akan menekan alarm keamanan saat aku mulai bicara, tetapi Umi juga mengikutiku dari belakang untuk berjaga-jaga.
“Anu… kalian semua, boleh tanya sebentar?”
Anak-anak itu langsung memandangiku dengan ekspresi curiga begitu mendengar suaraku. Mungkin mereka anak-anak kelas atas di sekolah dasar, tetapi mereka terlihat sedikit waspada padaku.
“Kakak, ada perlu apa?”
“Oh, maaf ya kalau mengejutkan kalian. Aku tidak ingin menegur ataupun melapor ke orang dewasa. Aku hanya ingin bertanya, kok.”
Rasanya nada bicaraku terdengar seperti alasan yang membuat mereka semakin curiga, karena raut wajah mereka justru terlihat lebih waspada.
“Umi... tolong bantu.”
“Terima kasih atas usahanya. Biar aku yang lanjutkan.”
Melihat situasi kurang baik, Umi segera maju mendampingiku.
“Maaf ya kalau membuat kalian terkejut. Kami siswa dari SMA di dekat gunung sana, dan tidak terlalu mengetahui tentang acara di sekitar sini. Aku lihat beberapa dari kalian pakai yukata. Ada acara di sekitar sini, ya?”
“Oh... iya, ada kak.”
Anak laki-laki yang semula menatapku dengan curiga itu langsung tampak canggung dan memerah ketika Umi tersenyum padanya dengan lembut.
Meski tampaknya dia senang diajak bicara oleh kakak perempuan yang cantik, sayangnya posisi disamping Umi sudah diambil sejak lama.
“Ada festival kembang api di kuil kecil sekitar sepuluh menit naik bis dari sini. Ada banyak kios seperti takoyaki dan yakisoba, jadi kami mau pergi bersama teman-teman. Bahkan wali kelas kami juga ikut datang, jadi ada orang dewasa yang akan mengawasi.”
“Wah, kamu keren sekali, ya, sudah sebaik ini padahal masih SD.”
“Ah... tidak juga sih.”
Dalam hati aku berusaha menahan rasa cemburu. Melihat Umi dengan lembut mengusap kepala anak itu, perasaan ingin memilikinya sendirian makin membesar.
Aku yang malah dicurigai anak-anak SD dan kini cemburu seperti anak kecil... Sungguh, siapa sebenarnya yang lebih kekanak-kanakan di sini?
“Maki, maaf menunggu. Sepertinya tidak masalah kalau kita ikut ke sana. Jadi, bagaimana?”
“Aku sih, terserah saja.”
“Haha, Maki, jangan-jangan kamu cemburu, ya?”
“...”
“Ayo, jangan cemberut begitu. Orang yang aku sayang tetap kamu, kok. Sekarang dan seterusnya.”
“Maaf, ya, jadi cowok yang merepotkan.”
“Tidak apa-apa. Sudah lama aku tidak melihat Maki yang cemburu begini, jadi anggap saja impas, ya.”
Setelah mendapat informasi berharga, kami kembali ke dalam toko sebentar untuk membeli minuman dan memutuskan untuk makan malam dari jajanan festival.
Saat kami menaiki bis menuju arah kuil, kebetulan bertepatan dengan jam sibuk sore, sehingga sayangnya semua kursi sudah terisi penuh.
“Umi, pegang erat-erat kearahku, nanti ada sedikit goncangan,”
“Hmm, Maki mulai terdengar semakin bisa diandalkan, ya. Hebat,” ujar Umi sambil tersenyum, bukannya berpegangan pada tali bis, ia malah menyandarkan tubuhnya ke arahku dengan senang.
Beberapa anak SD yang naik bis bersama kami tadi terus memandang kami dari belakang, membuatku merasa sedikit malu.
Setelah sekitar sepuluh menit bergoyang di tengah kepadatan bis, akhirnya kami tiba di halte depan kuil tempat festival diadakan.
Lentera-lentera yang bersinar hangat di sepanjang jalan menyambut kedatangan pengunjung, dan di jalan setapak menuju aula utama, aroma manis dan gurih dari berbagai kios makanan tercium begitu menggugah selera.
Jam segini memang sudah saatnya makan malam. Meski senang bisa menikmati festival, sepertinya kami harus mengisi perut dulu.
“Hmm, wangi sekali... Walau harusnya aku tidak boleh terlalu boros, setiap kali ke festival, pasti aku kebanyakan beli ini-itu, dan ujung-ujungnya nanti menyesal saat melihat timbangan besok paginya,” keluh Umi.
“Nah, karena mungkin kita akan makan seperti ini juga besok, malam ini kita coba batasi, ya. Banyak pilihan sih, kamu mau beli apa, Umi?”
“Hmm... Takoyaki satu porsi, yakisoba, ikayaki pasti harus beli, kan? Terus sate sapi, karaage... ah, kalau festival, choco banana dan apel karamel juga, dong. Karena masih panas, habis itu bisa pakai es serut buat pencuci mulut.”
“Kita barusan bilang mau menahan diri, kan? Yah, kalau begitu, biar kita atur lagi besok.”
Akhirnya, sambil mencari-cari alasan untuk tidak terlalu memikirkan besok, kami memutuskan membeli makanan sebanyak yang kami inginkan tanpa membatasi anggaran. Meski harga di festival sedikit lebih mahal, suasana gembira membuat uang di dompet kami terasa cepat habis.
“Maki, nih, takoyakinya. A~a…”
“A~a….”
“Gimana, enak?”
“Sebenernya... sih, biasa aja. Tapi kalau dimakan di sini, rasanya jadi lebih nikmat, ya?”
“Aku ngerti. Suasana tempat dan udara di sekeliling juga bikin makanan jadi lebih enak, ya.”
Ketika makan sendirian seperti pizza atau ayam goreng mungkin tetap enak, tetapi menikmati makanan bersama seseorang dan di tempat tertentu membuat pengalaman itu lebih spesial.
Aku sendiri pun pernah mengalami masa di mana setiap makanan terasa hambar. Walaupun tetap bisa merasakan rasa asin atau gurih, tak ada kelezatan yang membuatnya berkesan.
Namun, bersama Umi seperti sekarang, semua makanan terasa lebih nikmat. Bahkan kalaupun kami salah pilih dan makanannya kurang enak, bisa jadi kenangan lucu yang membuat kami tertawa.
Suasana meriah festival, dan orang yang kusayangi di sampingku. Dengan semua itu, makanan apapun terasa istimewa. Aku menikmati rasa saus takoyaki yang memenuhi mulutku.
Dengan tangan penuh makanan ringan, kami perlahan memasuki halaman kuil. Di tengah lapangan yang luas, terdapat panggung yang sudah didirikan, dan dari percakapan orang-orang di sekitarnya, tampaknya akan ada acara tarian sebentar lagi.
“Maki, mumpung di sini, kita ikut sebentar, yuk,” ajak Umi.
“Boleh aja sih... Hanya aku tidak terlalu bisa menari.”
“Tenang aja, di acara begini cukup ikuti irama aja. Lihat, sepertinya sebentar lagi bakalan dimulai, yuk.”
“B-baiklah.”
Saat kami bergabung dalam kerumunan warga sekitar, suara musik mulai terdengar dari alat pengeras suara di panggung. Suara drum yang berdetak mengiringi orang-orang yang mulai menari mengelilingi panggung.
“Ayo, Maki, sini!”
“Um, seperti… ini?”
“Iya, bener. Tuh, kamu bisa kok kalau mau.”
Kami berhadapan sambil berpegangan tangan, melompat sesuai irama, dan mengikuti gerakan orang di sekitar.
Tarian ini mungkin bukan tarian tradisional dengan gerakan atau irama yang seragam, tapi selama semua orang menikmatinya, itu sudah cukup.
Di festival yang atmosfernya begitu santai seperti ini, mungkin tidak ada salahnya ikut menikmati dengan cara yang lepas.
Setelah sekitar sepuluh menit menari dengan gerakan acak, kami merasa cukup puas dan keluar dari lingkaran tarian, kemudian menuju ke tempat yang lebih sepi di balik bangunan.
“Spontan ikut anak-anak tadi, tapi ternyata seru juga, ya. Walaupun, mungkin kita sedikit merebut acara mereka, agak merasa bersalah sih,”
“Benar juga. Kalau begitu, tahun depan kita ajak juga Amami-san dan yang lainnya. Walaupun kita bakal jadi siswa kelas tiga dan harus bersiap untuk ujian masuk universitas, rasanya boleh lah sesekali untuk refreshing,”
“Sebagai penyegaran, ya... Tapi, ya ampun, tahun depan kita sudah jadi siswa kelas tiga, ya.”
“...Iya. Setelah lulus, kita bakal dianggap benar-benar dewasa.”
Dunia orang dewasa, yang dulu tidak bisa kubayangkan saat masih SD, kini semakin dekat.
Saat dewasa nanti, banyak hal yang dulu tidak bisa kulakukan akhirnya akan bebas kulakukan. Minum alkohol atau merokok memang masih harus menunggu sampai umur dua puluh, tapi hal lainnya kebanyakan sudah diperbolehkan. Kami bahkan sudah bisa mendapat hak pilih, dianggap sebagai anggota masyarakat secara penuh.
“Umi, kamu sudah memikirkan soal rencana masa depan? Kalau soal kuliah, kita memang berencana masuk universitas yang sama, tapi setelah itu?”
“Hm... aku sih ada beberapa bidang yang menarik, tapi selama bisa hidup bahagia bersama Maki, itu sudah cukup buatku. Bersama selamanya,”
“Selamanya... itu maksudnya, eh, pernikahan… atau semacamnya?”
“...Bagaimana, ya?” katanya sambil berpura-pura tidak tahu, tapi aku yakin Umi juga pasti mempertimbangkan masa depannya denganku.
Aku pun, meski belum pernah mengungkapkannya secara langsung, selalu memikirkan hal yang sama.
“Maki, kamu… mau menikah denganku?”
“…………Uh, itu...”
“Eh, jangan mengelak! Jawab yang jelas, dong!” katanya sambil mencubit kedua pipiku.
Meski hanya sebatas candaan antar pasangan, cubitannya kali ini terasa sedikit lebih kuat dari biasanya, namun tetap dalam batas wajar.
“Oke, kalau begitu… boleh aku jujur?”
“Tentu. Jangan-jangan kamu belum sampai berpikir sejauh itu?”
“Bukan begitu, sih…”
“Lalu?”
“Yang kumaksud… yah, kalau saja bisa menikah sekarang…”
“Eh?”
Memang secara hukum belum memungkinkan, tapi secara perasaan, keinginan itu sangat kuat. Kalau waktunya tepat dan Umi juga sudah siap, mungkin, kalau suatu saat dia datang dengan surat pernikahan di tangannya sambil berkata, “Tanda tangan di sini,” aku mungkin tidak akan ragu untuk menuliskan namaku.
Tentu saja, nama teman kami, Nozomi, akan kupilih sebagai saksi.
“He-hee… Jadi begitu, ya?”
“Iya. Begitulah.”
“………”
“………?”
“Ayolah, bilang sesuatu. Aku kan sudah berusaha jujur.”
“Ma-maaf, tapi tiba-tiba aku jadi merasa malu.”
Jadi, seandainya tak ada halangan dan Umi juga menyetujuinya, kami mungkin sudah bisa menjadi suami istri mulai tahun depan…
Suami istri, tahun depan.
Begitu aku menyadari kata-kata itu, pipiku langsung terasa panas. Tentu saja, pipi Umi di sebelahku juga sama.
“Umi, um…”
“I-iya?”
“Sementara, perasaan itu yang ingin kusampaikan. Jadi, bagaimana kalau nanti kita bahas lagi?”
“Ya… benar juga. Aku juga akan memberikan jawabanku nanti, saat waktunya tiba.”
“………”
“………”
“Sepertinya… lebih baik kita segera pulang, ya?”
“Iya. Sayang film yang kita pinjam kalau tidak segera ditonton.”
Jika terus berada di sini, mungkin perasaan kami akan makin tak terkendali.
Maka, kami memutuskan untuk kembali ke rumahku agar bisa menenangkan diri.
Meskipun menyenangkan bisa menikmati momen berdua dalam suasana festival yang langka dan penuh nuansa tak biasa, mungkin kami perlu sedikit menahan diri di lain kesempatan.
Awalnya, pembicaraan kami hanya seputar rencana masa depan, tetapi entah bagaimana, topiknya tiba-tiba berubah menjadi soal pernikahan dan lamaran.
Meski terlihat cukup dewasa dalam banyak hal, kami berdua cenderung “lepas kendali” saat membicarakan soal hubungan.
Begitulah caraku dan Umi, menjalani keseharian dalam kisah cinta ini.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.