Kurasu de Nibanme ni Kawaii Onnanoko to Tomodachi ni Natta epilog 1 V7

Ndrii
0

Epilog 1

Tidak Ada yang bisa Mengalahkan Amami Yuu




Beberapa hari setelah malam panjang di mana kami berlima berbincang hingga larut malam, tiba hari libur yang kutunggu-tunggu.


Pagi-pagi sekali, tepat pukul enam. Udara pagi terasa dingin, mengingatkan bahwa musim untuk kembali merindukan selimut favoritku telah tiba.


Aku mematikan alarm yang berbunyi, lalu menghabiskan sekitar lima menit di atas ranjang, menggerakkan tubuh pelan-pelan sebelum bangkit untuk menyiapkan sarapan. Meskipun lebih awal daripada biasanya, ini adalah waktu di mana ibuku biasanya baru pulang setelah bekerja semalaman, jadi saat aku punya rencana keluar pagi-pagi seperti hari ini, aku kadang menyiapkan sesuatu untuk menyambutnya sebagai bentuk terima kasih.


“Selamat pagi, Ibu. Pulang kerja?”


“Oh, Maki, kamu bangun pagi sekali hari ini. Apa hari ini hari yang kamu bilang mau pergi itu?”


“Iya. Aku akan pergi agak jauh, mungkin pulang agak malam nanti. Ini, kopinya. Terima kasih sudah bekerja keras sampai larut.”


“Terima kasih, ya. Sebenarnya aku mau langsung tidur, tapi kalau sudah disiapkan begini, aku makan dulu saja.”


Setelah memberikan secangkir kopi hitam panas untuk Ibu, aku kembali ke kamarku untuk bersiap-siap. Aku menyiramkan air dingin ke wajahku untuk menyegarkan diri, lalu merapikan rambut dengan sisir. Ganti baju dari piyama ke pakaian yang sudah kusiapkan sejak kemarin malam.


“Ya, lumayan rapi, kurasa.”


Aku memakai kaos T-shirt yang dibelikan Nitta-san sebagai hadiah ulang tahun, lalu mengenakan kardigan lengan panjang sebagai pelapisnya, serta celana jeans biasa. Penampilan yang sederhana, tetapi aku merasa tidak ingin terlalu mencolok. Ke depannya, mungkin aku akan mencoba menambahkan aksesoris untuk memberikan sedikit variasi pada gaya pakaian, perlahan-lahan saja. 


Kurasa, rasa penasaran tentang fashion mulai muncul dalam diriku.


Aku merapikan rambut dengan sedikit wax, tidak terlalu banyak agar tidak terlalu kaku. Meski masih ada waktu sekitar sepuluh menit sebelum berangkat, rasanya aku tidak bisa tenang saat ini dan memilih untuk segera pergi saja.


“Kamu mau pergi sekarang? Hati-hati di jalan, ya, dan semoga menyenangkan!”


“Iya, nanti aku kabari sebelum pulang.”


“Makan malam gimana?”


“Aku akan makan di luar, jadi tidak perlu disiapkan.”


“Begitu, ya. Kalau begitu, hari ini aku pesan makanan saja. Ada pizza yang lagi populer, namanya Pizza Rocket, katanya enak.”


“Populer katanya, tapi yang ngomong hanya Ibu sendiri. Ya, silahkan saja.”


Setelah mengucapkan “Aku berangkat,” aku keluar dari apartemen dan mulai berjalan menuju stasiun. Meski aku selalu malas saat harus bangun pagi untuk sekolah, ada sesuatu yang menyenangkan dari suasana pagi hari di akhir pekan. Udara segar, jalanan sepi, dan langit cerah tanpa awan di pagi musim gugur. Aku merasa hari yang ramai, atau mungkin terlalu ramai, akan segera dimulai.


Sesuai dengan yang sudah kuberitahu pada Ibu, hari ini aku akan naik kereta untuk pergi ke kota sebelah. Meskipun perjalanannya tidak terlalu lama, rasanya seperti sebuah petualangan kecil. Tujuanku adalah sebuah taman hiburan yang ramai dikunjungi orang-orang dari daerah setempat. Rencana hari ini adalah masuk tepat saat taman buka, lalu bermain sepuasnya hingga taman tutup. Uniknya, kami tidak berkumpul di stasiun, tetapi langsung bertemu di lokasi.


Saat aku mengusulkan untuk berangkat bersama dari stasiun, dia berkata,


“Kalau begitu, rasanya kurang seperti kencan!”


Itulah alasan kenapa hari ini kami menuju lokasi secara terpisah. Seperti yang sudah bisa ditebak dari tujuan hari ini dan bagaimana aku mempersiapkan diri, hari ini bukan hanya sekadar pergi ke taman hiburan untuk bersenang-senang, tetapi juga untuk kencan. Dan orang yang kutemui hari ini adalah Amami-san.


Benar.


Malam itu, setelah kami berlima berbincang serius, aku memutuskan untuk mendengarkan saran dari Umi. Jadi sekarang, aku sedang dalam perjalanan menuju taman hiburan di mana Amami-san sudah menunggu.


Karena ini hari libur, kereta pagi ini cukup lengang. Setelah naik turun beberapa kereta selama sekitar satu jam, aku tiba di stasiun tujuan. Begitu keluar dari gerbang, pemandangan besar sebuah bianglala menarik perhatianku. Dari informasi yang kucari sebelumnya, bianglala ini termasuk yang terbesar di Jepang. Dengan jumlah wahana yang begitu banyak, sepertinya satu hari penuh di sini tidak akan cukup untuk menikmati semuanya.


“Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku ke taman hiburan… atau mungkin, aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kalinya.”


Aku menatap bianglala yang berputar perlahan di kejauhan. Perasaan gugup bercampur dengan antusiasme. Hari ini akan menjadi hari yang sangat berkesan, aku yakin itu.


Saat aku melamun, teringat foto-foto masa kecilku yang tersimpan di album keluarga, tiba-tiba pandanganku menjadi gelap. 


“Siapa aku~?”


Suara ceria yang cerah memecah kesunyian. 


“Err... Maaf, siapa ini? Mau main-main? Kalau tidak segera pergi, aku telepon polisi ya?”


“Ke-kejam sekali, Maki-kun! Ini aku, Amami Yuu!”


“Oh, rupanya Amami-san.”


“Ugh, kamu sudah tahu dari awal ternyata!”


Begitu cahaya kembali, di depanku sudah berdiri Amami-san dengan pipi yang mengembung, tampak sedikit kesal. Tentu saja, sejak awal aku sudah tahu itu dia.


“Selamat pagi, Amami-san. Apa aku membuatmu menunggu?”


“Sedikit. Tapi aku datang lebih awal, jadi hanya sebentar kok. Aku terlalu bersemangat sejak kemarin malam, sampai susah tidur, lalu bangun pagi-pagi sekali. Jadinya malah datang lebih cepat.”


“Begitu ya. Berarti sama seperti aku.”


Hari ini, jelas terlihat bahwa Amami-san sangat mempersiapkan dirinya. Dengan pakaian berwarna cokelat yang serasi dengan musim gugur, ia terlihat sangat elegan. Dari topi yang serasi dengan warna rambut pirangnya hingga detail kecil seperti warna lengan baju yang mengintip dari balik jaketnya, semuanya tertata dengan baik. Penampilannya benar-benar untuk kencan.


“Ehehe, gimana penampilanku hari ini, Maki-kun? Apa pendapatmu?”


“Yah, aku bisa merasakan kamu sangat berusaha hari ini.”


“Benar, tapi bukan itu yang kumaksud... hmph, sudah lah! Maki-kun, kamu jahil! Eh, Nee, bantu aku menegur dia dong!”


Amami-san lalu mengalihkan perhatian ke seseorang yang berdiri di belakangnya — pacarku, Asanagi Umi.


Saat aku menoleh, di sana berdiri Umi dengan wajah sedikit canggung.


“Pagi, Umi. Kalau kita naik kereta yang sama, kenapa tidak mengajak bicara?”


“Kalau begitu, katanya, ‘rasa kencannya jadi berkurang.’ Entahlah, itu sih menurut Yuu.”


Hari ini, aku seharusnya hanya berkencan dengan Amami-san. Namun, ternyata dia juga mengajak Umi untuk ikut bersama kami.


“Maki dan Umi, aku ingin kita bertiga menghabiskan waktu bersama di kencan ini!”


Begitulah solusi Amami-san untuk membuat kami semua tersenyum. Ia menjelaskan rencananya:


“Seperti yang Umi inginkan, aku akan kencan dengan Maki. Tapi, aku juga ingin Umi ikut. Dengan begitu, Maki tidak akan merasa bersalah atau tertekan.”


Tidak ada yang mengalah sepenuhnya, tetapi juga tidak ada yang mendominasi. Kedua belah pihak sedikit mengalah dan berbagi kebahagiaan bersama.


Meski ada kekhawatiran dari Nitta-san, yang berpendapat bahwa mungkin kami berdua akan merasa terluka dengan cara ini, baik aku maupun Umi punya perasaan yang sama.


Namun, jawaban Amami-san adalah.... 


“Itu urusanku! Aku akan memastikan semuanya berjalan lancar!”


Dengan jawaban khasnya yang penuh semangat, kami sepakat untuk mencobanya, dan itulah yang membawa kami ke hari ini.


“Ehehe, Umi, kamu terlihat sangat imut hari ini! Benar-benar yang terbaik! Kamu yang paling imut di dunia!”


“Eh, itu kamu, Yuu, yang lebih imut. Kamu sangat manis hari ini...”


“Yay, Umi memujiku! Aku juga sayang kamu, Umi!”


“Ah, berhenti memelukku begitu... Hei, bukannya sekarang sudah saatnya taman buka? Kamu bilang mau banyak bermain hari ini, kan?”


“Oh iya! Umi, Maki-kun, kita akan bermain sepuasnya hari ini ya!”


Dengan Amami-san yang penuh semangat menarik tanganku, kami bertiga masuk ke taman hiburan. Kami berjalan beriringan, dengan aku dan Umi di kedua sisi Amami-san. Melihat kami bertiga bersama mungkin adalah pemandangan yang cukup aneh bagi orang lain.


“Yuu, apa kamu benar-benar ingin aku ikut hari ini? Aku merasa hanya akan mengganggu.”


“Umi, kamu masih membahas itu? Aku sudah bilang, aku ingin bermain bersama kalian berdua. Kalau hanya Maki-kun, aku tidak akan bersenang-senang. Kamu juga harus ada di sini.”


Jujur pada perasaan cinta itu penting, tapi menghargai persahabatan juga sama pentingnya. Tidak bisa memilih salah satu, maka mengapa tidak jadi serakah saja, pikir Amami Yuu. 


Meski kedengarannya sangat egois, kami pun tak bisa banyak membantah, karena sebelumnya kami juga telah menuntut hal yang sama darinya.


Amami-san ingin tetap menjadi teman seperti biasa, namun juga ingin lebih dekat dengan aku (atau mungkin Umi). 


Tahun lalu, ketika kami bertengkar, aku meminta hal yang sama padanya, dan kami berdamai. 


Siapa yang menyangka, sepasang kekasih yang sudah baikan malah sekarang harus menghadapi situasi serupa lagi.


“Aku sempat berpikir kalau aku sudah cukup bahagia dengan melihat kalian berdua bahagia, tapi aku sadar, itu hanya alasan. Sebenarnya, aku juga merasa kesepian. Rasanya curang kalau kalian berdua terlihat begitu bahagia tanpa mengajakku. Aku ingin seperti dulu lagi, bisa manja pada Umi, dan aku juga ingin lebih dekat dengan Maki-kun. Aku tahu itu mustahil, tapi...”


Amami-san menatapku dan Umi dengan senyum getir. Meski begitu, kami sadar bahwa ada batasan yang tidak bisa kami lewati. Kami, Maki dan Umi, adalah pasangan kekasih, sedangkan Amami-san hanya seorang teman dekat bagi kami. Kami tahu akan ada dinding besar yang memisahkan kami.


“...karena itu,” lanjut Amami-san dengan nada serius, 


“Aku ingin menikmati hari ini sepuasnya. Aku ingin menghabiskan waktu ini bersama sahabat yang kucintai dan pria yang pertama kali kusukai. Aku ingin momen ini menjadi kenangan manis yang bisa aku ingat dengan tawa, tanpa penyesalan, saat aku dewasa nanti.”


“Amami-san...”


“Yuu...”


Dengan mata biru jernihnya yang seperti permata, Amami-san menatap kami berdua. Rasanya, dia terlihat begitu cerah dan mempesona di bawah sinar matahari musim gugur.


Ketika Amami-san sudah memutuskan sesuatu, dia akan melakukannya dengan sepenuh hati. Dan jika dia datang dengan keputusan seperti itu, maka kami juga harus menghadapinya dengan serius. Amami-san selalu menciptakan suasana di mana kami tidak bisa menolaknya. Dalam hal ini, aku merasa kami berdua mungkin tidak akan pernah bisa mengalahkan Amami-san.


“Umi,”


“Iya. Kalau kamu sudah sejauh ini berkata begitu, Yuu, buktikanlah. Buat kami merasa kalau hari ini adalah hari yang menyenangkan. Dan kalau kamu bisa melakukan itu...”


“Kalau begitu, bolehkah aku menyukai Maki-kun sedikit lebih lama?”


“Itu... emm...”


“Haha, aku hanya bercanda kok. Kamu benar-benar khawatir ya, Umi. Kamu imut sekali!”


“.......”


“He-hey, Umi, ini kan baru permulaan hari. Tenang dulu ya.”


“Grr... Yuu, awas saja kau nanti.”


“Kyaa~ Umi, kamu menyeramkan!”


Amami-san menarik kami dengan penuh semangat, seperti biasa.


“Ehehe, kencan bersama orang-orang yang kusayangi ini benar-benar menyenangkan!”


Dengan senyum yang lebih cerah dari matahari musim gugur, dia berjalan di depan kami. Tanpa dia sadari, aku dan Umi perlahan mulai tersenyum tipis di belakangnya.

 














Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !