Bab 7
Hari Terpanjang Kami
Beberapa waktu sebelumnya, setelah mempertimbangkan berbagai hal, aku memutuskan untuk menghubungi seseorang dan menekan nama yang terdaftar di smartphone-ku.
“Riku Asanagi.”
Meskipun dia pernah mengatakan kalau aku bisa berkonsultasi kapan saja, aku tidak menyangka harus meminta saran dari Riku-san—apalagi mengenai masalah percintaan, bukan soal pelajaran atau rencana masa depan. Namun, di antara orang-orang yang kukenal saat ini, hanya sedikit yang bisa diajak bicara secara mendalam tentang masalah ini.
Aku berpikir, jika menghubungi Riku-san, mungkin aku juga bisa mendapatkan masukan dari Shizuku-san melalui koneksinya.
Dengan sedikit keraguan, aku mengirim pesan, dan secara mengejutkan balasannya datang dengan cepat.
(Maehara) “Selamat siang, Riku-san.”
(Asanagi Riku) “Oh, Maki, ya? Sudah lama tidak bertemu ya.”
(Asanagi Riku) “Meskipun, terakhir kita bertemu saat festival kembang api, jadi sebenarnya tidak terlalu lama.”
(Asanagi Riku) “Jadi, ada apa?”
(Maehara) “Sebenarnya...”
(Maehara) “Begini, saat ini aku sedang bertengkar dengan Umi karena suatu hal.”
(Asanagi Riku) “Kamu dan si bodoh itu bertengkar?”
(Asanagi Riku) “Maaf, tapi aku yakin ini pasti karena ulah si bodoh itu, kan?”
(Maehara) “Ya, sebenarnya ini kesalahan kedua belah pihak...”
(Asanagi Riku) “Baiklah, ceritakan secara rinci padaku.”
(Maehara) “Terima kasih. Apakah pekerjaan mu tidak terganggu?”
(Asanagi Riku) “Memang sibuk.”
(Asanagi Riku) “Tapi aku tetap harus mendengarkan masalah Maki, bukan?”
(Maehara) “Terima kasih banyak, Riku-san.”
Aku menjelaskan semuanya kepada Riku-san setelah ia setuju untuk mendengarkan kisah panjangku. Karena dia sedang bekerja, balasan darinya baru datang sekitar satu jam kemudian.
(Asanagi Riku) “Anu, Maki.”
(Maehara) “Ya?”
(Asanagi Riku) “Setelah mendengar ceritamu, aku paham situasinya.”
(Asanagi Riku) “Menurutku, 100 persen bukan salahmu, kok.”
(Maehara) “Riku-san berpikir begitu?”
(Asanagi Riku) “Ya, aku juga sudah membicarakannya dengan Shizuku... Ah, aku boleh cerita ke dia, kan? Kalau tidak, maaf.”
(Maehara) “Tidak masalah. Lalu, apa kata Shizuku-san?”
(Asanagi Riku) “Dia hanya tersenyum pahit dan berkata, ‘Ah, masa muda memang indah.’”
(Maehara) “Yah, kalau hanya mendengar ceritanya saja, mungkin reaksi itu wajar.”
(Maehara) “Tapi aku benar-benar serius memikirkan masalah ini, dan tidak bisa menganggapnya sepele.”
(Asanagi Riku) “Aku mengerti perasaanmu.”
(Asanagi Riku) “Shizuku juga bilang, ‘Maaf ya,’ dari sebelahku.”
(Maehara) “Kelihatannya kalian berdua sangat akur, ya.”
(Asanagi Riku) “Ehhh, memang begitulah kami~”
(Maehara) “? Um, Riku-san?”
(Asanagi Riku) “Maaf.”
(Asanagi Riku) “Tadi pesan ku direbut sebentar.”
(Asanagi Riku) “ponsel-ku diambil paksa, lebih tepatnya.”
(Maehara) “Oh, begitu ya.”
Rasanya seperti menerima sindiran halus, tapi mari kita kesampingkan hal itu dulu.
Dari percakapan dengan Riku-san, sepertinya Shizuku-san memandang masalah ini dengan optimis.
Namun, aku sendiri belum memiliki pengalaman hidup yang cukup untuk bisa bersikap dewasa seperti itu. Aku senang bisa mendapat saran di tengah kesibukannya, tapi membayangkan keduanya saling bercanda di seberang sana membuatku sedikit cemburu. Aku pun ingin bisa seperti itu dengan Umi.
(Asanagi Riku) “Bagaimanapun, dalam masalah ini, aku sepenuhnya berada di pihakmu.”
(Asanagi Riku) “Nanti aku akan menegur si bodoh itu.”
(Asanagi Riku) “Meskipun aku tidak tahu kapan bisa melakukannya karena pekerjaanku sangat sibuk.”
(Maehara) “Cukup mendengar hal itu saja sudah membuatku lega. Terima kasih.”
(Maehara) “Maaf juga sudah merepotkan Shizuku-san.”
(Asanagi Riku) “Tidak apa-apa, jangan dipikirkan.”
(Asanagi Riku) “Kalau ada apa-apa lagi, jangan ragu untuk menghubungi kami.”
(Maehara) “Baik, kalau begitu lain kali aku akan membuat ruang obrolan grup bertiga agar bisa lebih mudah berkomunikasi.”
(Asanagi Riku) “...Dimengerti.”
(Maehara) “Selamat bekerja, Riku-san. Terima kasih sudah meluangkan waktu.”
◆ ✧ ₊ ✦ ₊ ✧ ◆
Pagi tadi, aku sempat diam-diam menghubungi Riku-san untuk meminta nasihat. Memang, Riku-san berjanji akan menegur adiknya, Umi, dengan berkata, “Nanti aku akan memberitahunya secara langsung.” Tapi aku sama sekali tidak menyangka kalau dia akan langsung menepati janji itu di hari yang sama.
“Kenapa terkejut begitu, Maki?”
“Ah, maaf... Tapi, aku tidak menyangka Riku-san akan datang hari ini...”
“Tentu saja aku akan langsung datang. Kamu adalah seseorang yang sangat berjasa bagiku. Sudah sewajarnya aku membantu ketika kamu sedang dalam kesulitan, bukan?”
Mungkin itu benar, tapi untuk datang ke sini dengan menempuh perjalanan beberapa jam menggunakan mobil kerja, ini bukan tindakan yang dilakukan oleh orang biasa.
Melihat betapa antusiasnya Riku-san, semua orang di sekitar, termasuk Amami-san dan Nitta-san, terdiam dengan mulut setengah terbuka, tampak kebingungan dan sedikit terkejut—kecuali adiknya, Umi.
“Hei, Kakak Bodoh, apa yang kamu lakukan di sini? Bagaimana dengan pekerjaanmu? Jangan-jangan kamu membolos, ya?”
“Jangan khawatir. Hari ini pekerjaanku tidak terlalu padat, jadi aku sudah menyelesaikan sebagian besar tugas untuk siang hari. Tapi, seharusnya aku yang bertanya padamu, Umi.”
Riku-san menepuk kepala Umi dengan lembut, lalu melanjutkan.
“Apa yang kamu lakukan? Kamu membuat Maki—tidak, bukan hanya Maki, tapi semua orang di sini kesulitan.”
“Diam. Apa yang kamu tahu tentang diriku?”
“Jelas aku tidak tahu. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang ada di kepalamu saat kamu memaksa pacarmu untuk berkencan dengan gadis lain. Dan ketika semuanya tidak berjalan sesuai keinginanmu, kamu bertingkah seperti anak kecil yang merajuk.”
Entah karena hubungan keluarga atau karena benar-benar marah, Riku-san menegur Umi tanpa ragu dengan kata-kata yang tajam.
“Umi, kamu memanggilku ‘Kakak Bodoh’ tadi, kan? Kalau begitu, kamu lebih bodoh dariku. Dasar adik yang sangat bodoh.”
“Jangan sok tahu, Kak! Lepaskan aku!”
Umi berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman Riku-san, tapi kali ini dia tampak benar-benar marah, dan meskipun Umi berusaha sekuat tenaga, tangan Riku-san tidak bergeming sedikit pun. Meskipun dia baru beberapa bulan kembali bekerja, tampaknya Riku-san sudah mendapatkan kembali kekuatan fisiknya.
“Ugh, Kakak yang dulu hanya pengangguran bisa sekuat ini... Yuu, Nina, tolong bantu aku...”
“Eh? Umm... Nina-chan, bagaimana ini? Apa yang harus kita lakukan?”
“Yah, ini masalah keluarga, jadi sebaiknya kita lihat dulu perkembangannya.”
“Nina, kamu serius?”
“Jangan khawatir. Kalau situasinya semakin parah, aku pasti akan membantu. Tapi kurasa dengan kakakmu, itu tidak perlu dikhawatirkan.”
“Oh, ya, benar juga.”
“Yuu, bahkan kamu juga...”
“Maaf ya, Umi. Tapi sebaiknya kamu mendengarkan dulu apa yang kakakmu katakan.”
Melihat Nitta-san yang mundur, Amami-san pun mengikuti dengan ragu. Umi yang melihat ini akhirnya menyerah dan berhenti melawan.
“Kak...”
“Apa?”
“Aku mengerti, jadi tolong lepaskan tanganmu. Aku akan mendengarkan dan bicara baik-baik.”
“Baiklah.”
Setelah Riku-san melepaskan tangannya, Umi dengan kesal merapikan rambutnya yang berantakan. Dia kemudian menatapku dengan tatapan kesal.
“Maki...”
“Ya?”
“Memberitahu kakakku tentang ini, itu licik sekali.”
“Maaf. Aku hanya merasa sangat khawatir.”
“Dasar bodoh.”
Dia memalingkan wajahnya dariku, jadi aku tidak bisa melihat ekspresinya. Namun, dari nada bicaranya, meskipun terdengar kesal, aku merasa dia tidak benar-benar marah.
Tak lama kemudian, Riku-san mulai menginterogasi.
“Baiklah, kita tidak punya banyak waktu, jadi aku akan langsung bertanya. Umi, kenapa bisa sampai terjadi hal seperti ini? Kamu sendiri sebenarnya tidak suka, kan? Kamu yang sangat mencintai Maki.”
“..........”
“Ayo, katakan yang sebenarnya. Kamu bilang akan bicara baik-baik, bukan? Atau itu hanya kebohongan?”
“Tentu saja aku tidak suka! Aku benci! Aku sangat benci jika Maki pergi berkencan dengan gadis lain. Membayangkannya saja sudah membuatku mual.”
Meski memperhatikan keberadaan kami yang berada di sekelilingnya, Umi mulai mengungkapkan perasaannya kepada Riku-san, kakaknya sendiri.
“Kalau kamu sebegitu tidak sukanya, kenapa kamu justru membuat Maki dan Amami-san melakukannya? Kamu pasti punya alasan, kan?”
“Itu karena...”
Setelah sedikit ragu, Umi akhirnya menghela napas dan mulai menjelaskan.
“Aku merasa telah berbuat curang selama ini.”
“Curang?”
“Iya. Mungkin lebih tepatnya, aku merasa tidak adil... yah, seperti itulah.”
Curang dan tidak adil—benarkah Umi melakukan hal semacam itu? Aku tidak punya ingatan yang bisa mengaitkan hal tersebut, namun saat ini yang bisa kulakukan hanyalah mendengarkan apa yang ingin ia katakan.
“Sejak Maki menjadi pacarku... atau bahkan sebelum itu, aku sudah melakukan hal-hal yang sangat berani, bahkan mengejutkanku sendiri. Aku sengaja mendekatkan diri padanya, melakukan kontak fisik, dan bahkan memperlihatkan sisi diriku yang lemah tanpa pertahanan.”
“Itu... sengaja kamu lakukan?”
“Tidak semuanya sengaja, kok. Aku juga punya keinginan seperti gadis pada umumnya untuk melakukan hal-hal seperti itu dengan seorang laki-laki. Tapi tidak bisa dipungkiri, ada sedikit perhitungan juga. Saat itu, Maki tidak memiliki teman dekat lain selain aku, dan dia juga polos, baik dalam arti positif maupun negatif. Jadi, aku berpikir, jika aku melakukannya dengan benar, mungkin dia akan menjadi ‘Maki milikku saja’.”
Dugaan Umi ternyata benar, rencananya berjalan dengan baik. Keberadaan Umi membuatku melupakan rasa sepi, dan meskipun terdengar sedikit kasar, ia juga memuaskan keinginan dan rasa ingin tahu yang kumiliki sebagai seorang laki-laki.
Hati dan tubuhku, segala celah yang ada telah terisi oleh ‘Asanagi Umi’, sehingga tidak ada ruang bagi orang lain untuk masuk. Aku juga tidak merasa ada yang salah dengan situasi ini.
Tanpa Umi, aku tidak akan bisa bertahan hidup.
Dalam setahun lebih ini, tubuhku sudah terbiasa seperti itu.
Oleh karena itu, meskipun jarak antara aku dan Amami-san semakin dekat, dan meskipun dia mungkin merasakan sesuatu lebih dari sekadar teman, dalam pikiranku, Amami-san tetaplah ‘teman’.
Teman terbaik.
Dan kekasihku.
Tempat terpenting bagiku telah dikuasai sepenuhnya oleh Umi.
Kemungkinan, hal ini terjadi jauh sebelum Amami-san menyadari perasaannya terhadapku.
“Nah, Yuu,”
“Ya?”
“Karena ini sudah terlanjur terjadi, aku harus jujur padamu. Sebenarnya, sejak lama aku sudah mencurigaimu. Aku berpikir, apakah kamu menyukai Maki, atau mungkin kamu akan jatuh cinta padanya di masa depan.”
“Eh, serius? Jadi kamu juga mencurigai itu, Asanagi? Sejak kapan, tepatnya?”
“Sejak pertandingan kelas kita. Di akhir pertandingan saat Maki bersorak menyemangatimu dengan suara lantang.”
“Wah, cepat sekali... Tapi waktu itu memang, mataku berbinar-binar.”
“Ya, aku melihatnya. Aku juga pernah merasakan hal serupa saat festival budaya tahun lalu, jadi aku menjadi lebih peka terhadap hal-hal seperti itu.”
Ketika mengingat masa lalu itu, aku merasa malu, karena niatku yang baik ternyata malah membuat Umi khawatir.
“Itulah mengapa, Yuu, aku... aku minta maaf.”
“Hah? Kenapa? Apa maksudmu?”
“Kamu masih ingat, kan? Setelah pertandingan kelas, saat kita menunggu kereta pulang setelah karaoke.”
“Oh, ya. Saat itu kamu pergi ke toilet, dan aku menjaga Maki-kun yang sedang tertidur, serta membawa barang-barangnya... eh, tunggu, jadi... saat itu, kamu sengaja melakukan itu?”
“Wah, Yuu-chan, tenang dulu. Tarik napas dalam-dalam.”
Aku tidak tahu apa yang terjadi saat itu, tetapi tampaknya bagi Umi, pertempuran sudah dimulai jauh sebelum aku menyadarinya.
Ini sangat khas dari Umi.
“Maafkan aku. Tapi, ya, saat itu aku memang melakukannya dengan sengaja.”
“Jadi, kamu melihatnya...?”
“Aku mengintip dari balik pintu.”
“Aduh... Malu sekali...!”
Ketika Umi mengaku dengan wajah penuh penyesalan, Amami-san tampak semakin memerah.
Namun, jika memikirkan hal itu, aku bisa mengerti mengapa Umi bertindak seperti itu setelahnya.
Salah satu momen yang terlintas di benakku adalah saat perjalanan pulang ke kampung halaman pada bulan Juni. Setelah momen itu, keintiman antara aku dan Umi menjadi semakin jelas dan berani.
Karena merasa tidak tenang, Umi memutuskan untuk melakukan sesuatu agar 'Maehara Maki hanya bisa memikirkan dirinya saja.’ Ternyata, dalam diri Umi ada sedikit perhitungan seperti itu.
“Begitu ya, sebenarnya aku tidak begitu paham soal ini... Tapi karena merasa sudah berbuat curang pada Amami-san, kamu meminta mereka berdua untuk ‘kencan sekali saja’, begitu? Semacam penebusan dosa, gitu?” kata Riku.
Aku juga berpikiran seperti itu.
Sebagai sahabat, Umi sudah menyadari perasaan Amami-san lebih dulu daripada orang lain, tetapi dia tidak langsung menanyakannya. Sebagai gantinya, dia berusaha mencegah kemungkinan buruk—kekhawatiran kalau aku mungkin akan jatuh cinta pada Amami-san.
Namun, Umi menggeleng pelan menanggapi pertanyaan Riku.
“Yah, orang-orang biasanya memang berpikir begitu. Tapi maaf,”
“...Tidak seperti itu?”
“Iya. Tadi aku sudah bilang kan? Karena ‘tidak adil’. Itu benar-benar maksud dari ucapanku.”
“Eh? Tidak adil karena kamu merasa bersalah pada Amami-san, lalu kamu meminta agar Maki diberikan pada Amami-san agar semuanya jadi seimbang, begitu kan?”
“Bukan itu maksudnya... Maki dan Nina, kalian sudah paham kan?”
“Yah, kurasa aku mengerti sedikit,” jawab Amami-san.
“Meski aku yang bilang, Asanagi, kamu lebih kejam dari yang terlihat,” Nitta-san ikut menanggapi.
“Ya, benar... Padahal sampai tahun lalu, aku merasa tidak pernah seperti ini,” balas Umi dengan getir.
Jika jawaban Riku salah, maka hanya ada satu kemungkinan yang tersisa.
“Umi, bolehkah aku menjelaskan ini?” tanyaku.
Setelah menunggu anggukan Umi, aku pun menjelaskan pada Riku dan Amami-san yang masih tampak kebingungan.
“Karena merasa tidak adil, Umi meminta aku melakukan itu. Benar begitu, Umi?”
“...Iya.”
Mungkin terdengar sama seperti sebelumnya, tapi jika kita memahami ucapan Umi secara harfiah, sebenarnya ada perbedaan yang sangat jelas.
Karena merasa tidak adil. Dengan kata lain, dia merasa dirinya memang orang yang licik sejak awal, itulah alasan dia mengatakannya.
Saat-saat seperti ini, Umi benar-benar bisa menjadi gadis yang sangat merepotkan.
“Aku bilang pada Yuu, ‘Kamu boleh kencan dengan Maki sekali saja, setelah itu, lupakan Maki selamanya’. Sebenarnya itulah maksudku. Aku tidak pernah mempertimbangkan perasaan Yuu sedikit pun. Sejak awal, aku hanya memikirkan diriku sendiri.”
“Umi...”
“Lihat kan? Seperti yang kubilang, aku memang orang yang licik. Dari dulu aku selalu berusaha menampilkan sisi terbaikku, menyembunyikan perasaanku yang sebenarnya, dan pada akhirnya hanya membuat semua orang kerepotan... Orang sepertiku tidak layak dijadikan pacar.”
“Ti-tidak mungkin...!”
“Tidak? Haha, terima kasih, Yuu... Berkatmu, selama ini aku sangat bahagia.”
“...Eh?”
“Selamat tinggal, Yuu... dan Nina.”
“Ah! T-tunggu, Umi!”
Tanpa menunggu respon Amami-san, Umi langsung berlari menuju gerbang sekolah. Amami-san bergegas mengejarnya, namun kali ini, jarak antara mereka semakin jauh.
“Umi, kumohon, tunggu!”
Dengan tangannya terulur ke arah punggung sahabatnya yang semakin jauh, Amami-san berusaha mengejar Umi, tetapi hanya mendapat tatapan sekilas sebelum akhirnya Umi menghilang dari pandangan kami.
Bahkan Amami-san yang dikenal cepat tidak bisa mengejarnya kali ini. Umi benar-benar serius kali ini.
Selamat tinggal. Bukan berarti ‘sampai jumpa besok’, tetapi benar-benar sebuah perpisahan yang sesungguhnya.
Kami segera menghampiri Amami-san yang terjatuh dan berjongkok di tempat itu.
Tampaknya Amami-san sudah memahami arti dari ‘selamat tinggal’ Umi, dan dia terlihat sangat panik.
“Yuu-chi, kamu baik-baik saja? Tenang dulu. Coba tarik napas dalam-dalam.”
“Hah, hah... Bagaimana ini, teman-teman...? Umi... Umi akan berhenti jadi temanku. Semua ini salahku, karena aku jatuh cinta pada Maki-kun...”
“Sudah kubilang, semuanya akan baik-baik saja. Dia mungkin hanya butuh waktu sendirian untuk menenangkan pikirannya. Besok pagi, pasti akan kembali seperti biasa... Iya kan, Ketua?” ujar Nitta-san, mencoba menenangkan suasana.
“I-iya. Pernah terjadi hal serupa sebelumnya, jadi kali ini pun pasti akan baik-baik saja. Aku juga akan segera menyusulnya,” jawabku, meski dalam hati tetap khawatir dengan bagaimana situasinya akan berkembang.
Umi mungkin akan tetap menjaga hubungan kami agar terlihat baik-baik saja. Kami mungkin akan tetap berangkat ke sekolah bersama, makan siang bersama, dan jika Amami-san atau Nitta-san mengajaknya, dia pasti akan ikut dengan senyum ramah di wajahnya.
Namun, itu hanya akan menjadi ‘kelihatan akrab', bukan lagi hubungan persahabatan yang tulus seperti sebelumnya.
Bagi Amami-san, yang sangat menyayangi Umi, situasi seperti itu adalah hal yang paling menyakitkan.
“...Maaf, Maki. Ini salahku. Aku yang terlalu bersemangat dan ikut campur, akhirnya malah mengacaukan semuanya,” kata Riku-san dengan nada menyesal.
“Tidak, justru ini kesalahanku. Aku terlalu mudah berharap kalau Riku-san bisa memperbaiki semuanya antara aku dan Umi. Jika saja aku lebih sabar dan bisa menanganinya sendiri, hal ini tidak akan terjadi.”
Awalnya, aku berpikir kalau mendengar nasihat dari keluarganya, Umi akan lebih terbuka dan bisa jujur pada perasaannya. Mungkin kesalahpahaman di antara kami bisa diselesaikan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Aku malah mendorong Umi untuk mengungkapkan sisi dirinya yang paling gelap, hal-hal yang mungkin tidak perlu dia ungkapkan.
Aku terlalu mengandalkan pengalaman kami tahun lalu yang berhasil dengan baik, tapi meluapkan perasaan secara langsung seperti ini adalah pedang bermata dua. Terkadang bisa melukai orang lain, dan perasaan bersalah akibat melukai orang lain itu pun akhirnya melukai diri sendiri.
Umi, yang sebenarnya baik hati dan sangat peduli pada sahabatnya, tentu merasa sangat terluka. Seharusnya aku bisa lebih sabar, mendekatinya perlahan tanpa terburu-buru. Namun, karena rasa tidak amanku sendiri, aku malah memperparah situasi.
“Semuanya, maafkan aku. Aku harus pergi sekarang. Mungkin sudah terlambat, tapi aku harus meminta maaf pada Umi,” kataku tegas.
Aku belum yakin di mana Umi berada, tapi aku punya firasat. Jika Umi tetap menjadi gadis yang licik seperti yang dia katakan, dia pasti akan pergi ke tempat itu.
“Ketua, apa kamu yakin bisa sendiri?” tanya Nitta-san, khawatir.
“Aku akan berusaha sebaik mungkin. Nitta-san, tetaplah bersama Amami-san. Dan Riku-san, mungkin sudah saatnya kamu kembali bekerja di penginapan,” jawabku sambil menghela napas.
“Baiklah, tapi beritahu kami hasilnya nanti. Aku juga merasa harus meminta maaf padanya,” balas Riku-san.
Setelah memutuskan untuk menangani ini sendirian, aku mengucapkan selamat tinggal pada mereka.
Aku ingin memperbaiki kesalahanku sendiri, untuk teman-temanku yang berharga, dan untuk orang yang sangat kucintai.
“Kalau begitu, aku berangkat,” kataku dengan keyakinan.
“Iya, Maki-kun. Tolong jaga Umi baik-baik,” pinta Amami-san dengan nada memohon.
“Amami-san, terima kasih. Serahkan masalah Umi padaku,” lanjutku sebelum berlari menyusuri jalan yang biasa kami lewati bersama.
Menyusuri jalanan perumahan yang disinari matahari sore berwarna jingga, aku mengingat kembali kenangan saat kami bertiga, aku, Umi, dan Amami-san, berlari di jalan ini.
Aku masih ingat jelas senyum Umi yang ceria dan tangannya yang sedikit basah oleh keringat saat dia berlari sedikit lebih dulu dariku. Itu adalah kenangan musim gugur setahun yang lalu, ketika hanya dengan berpegangan tangan, detak jantungku sudah terasa begitu cepat.
Aku tidak ingin mengubah kenangan manis itu menjadi sesuatu yang pahit. Aku ingin tetap menjalin hubungan baik dengan Umi, selamanya.
Untuk saat ini, aku tidak akan memikirkan perasaan Amami-san atau Nitta-san.
Mencoba mempertimbangkan semua itu hanya akan membuat segalanya lebih rumit. Yang perlu kupikirkan sekarang adalah bagaimana aku bisa berada di sisi Umi, bagaimana aku bisa mendukung dan menjadi kekuatannya.
Apa yang bisa kulakukan untuknya?
Sambil terus berlari dan berpikir, aku menuju apartemen tempat tinggalku.
“Haah... Umi, Umi...” aku memanggil namanya berulang kali, sambil terus berlari tanpa henti hingga sampai di pintu masuk apartemenku.
Di sini, aku akan menemui Umi yang mungkin sedang menungguku.
Aku mencari di setiap sudut bagian umum dekat pintu masuk, seperti di lobi elevator atau tangga darurat, tetapi tidak menemukan sosok Umi di mana pun.
Sejenak aku berpikir kalau dugaanku salah, namun aroma samar Umi yang tertinggal di dalam elevator menuju lantai atas membuatku yakin kalau dia ada di sini.
Akhirnya, aku menemukan Umi meringkuk tak berdaya di depan pintu apartemen keluargaku.
Umi memegang kunci cadangan yang diberikan oleh ibuku, jadi dia bisa saja masuk ke dalam rumah. Namun, dia memilih tidak masuk. Sikap disiplin dan sopan seperti inilah yang menunjukkan betapa seriusnya Umi, bahkan dalam kondisi seperti ini.
“Umi, ketemu,”
“… Hehe, akhirnya ketahuan juga. Kalau pulang ke rumah dengan wajah seperti ini, nanti malah bikin Ibu khawatir,” balasnya dengan senyum getir.
Saat Umi mengangkat wajahnya, terlihat jelas bekas air mata dan ingus yang membuat wajahnya berantakan.
Aku ingin segera memeluknya, tapi mengingat kami masih di koridor apartemen, aku berusaha menahan diri.
Aku menggandengnya masuk ke dalam rumah, lalu menutup pintu dan menguncinya dengan rapat.
“Umi,”
“… Iya,”
“Kemarilah,” kataku sambil merentangkan tangan.
“… Maki,”
Begitu kami benar-benar berdua saja, tanpa aba-aba, kami saling berpelukan erat. Kami terdiam, hanya membiarkan kehangatan tubuh dan aroma satu sama lain saling menyatu. Meski hanya terpisah sehari, perasaan rindu yang terakumulasi sejak bulan lalu membuat momen ini terasa begitu nostalgia dan langka.
Aku tidak ingin melepaskan Umi lagi. Melihatnya merengek manja seperti anak kecil di pelukanku, aku merasa semakin kuat keinginanku untuk selalu melindunginya.
“Syukurlah, kamu masih menjadi gadis yang manja, Umi,”
“Iya. Maafkan aku, masih seperti ini,”
“Tidak apa-apa. Bagiku, Umi yang manja ini sangat menggemaskan,”
“…Dasar bodoh,”
Dia benar-benar melepaskan semua bebannya padaku, menenggelamkan dirinya dalam pelukanku dengan seluruh berat tubuhnya. Aroma manis yang samar, kulitnya yang lembut, tubuhnya yang ramping namun terasa halus di sentuhan. Tatapan matanya yang berkaca-kaca dan bibirnya yang sedikit basah membuatku ingin bermain-main dengannya, tapi aku menahan diri. Aku tahu, sebelum itu, kami harus berbicara.
“Anu, Umi,” panggilku dengan nada serius.
“… Hmm,”
“Tadi kamu bicara banyak dengan Riku-san, kan? Apakah semuanya benar? Atau kamu sengaja berkata begitu agar mereka membencimu?”
“…”
“Jangan khawatir. Sekarang hanya ada aku di sini, dan aku tidak akan menceritakannya pada siapa pun. Kamu aman,”
Setelah beberapa saat, Umi mengangguk pelan di pelukanku, menunjukkan tanda kalau dia siap berbicara dengan jujur.
“Begitu, ya. Jadi aku jatuh dalam rencana licikmu ya,”
“… Kamu marah?”
“Tidak juga. Lagipula, aku senang bisa lebih dekat denganmu, bahkan hingga melakukan hal-hal yang lebih intim. Aku malah merasa beruntung,”
“… Dasar Maki mesum,”
“Aku kan masih remaja laki-laki yang sehat,”
Meski dari sudut pandang Amami-san atau Nitta-san mungkin akan terlihat buruk, aku tahu kalau Umi melakukan semua ini karena dia sangat menyukaiku dan ingin aku hanya melihatnya.
Secara pribadi, aku tidak masalah, malahan merasa sangat senang.
“Apakah kamu tidak menganggapku gadis yang licik dan jahat? Tidak merasa kecewa?”
“Justru aku merasa ini sangat menggambarkan Umi sekali. Kamu selalu merasa cemburu, manja, penuh cinta, dan terkadang sulit dihadapi. Tapi kamu juga sangat cerdik dan penuh perencanaan,”
Bagi sebagian orang, sisi ini mungkin dianggap buruk. Namun bagiku, sisi manusiawi dan penuh emosi yang Umi miliki adalah hal yang sangat kusayangi.
Meskipun mungkin Umi sendiri membenci sisi ini dari dirinya, aku justru melihatnya sebagai daya tarik yang unik. Umi yang tidak segan-segan menunjukkan perasaan posesifnya padaku, membuatku merasa semakin mencintainya.
Memikirkan kalau Umi berusaha sebisa mungkin untuk membuatku sepenuhnya miliknya, entah mengapa, aku malah merasa itu sangat imut dan menggemaskan.
Mungkin hanya aku yang merasa begitu, tapi aku tidak peduli. Aku benar-benar tidak ingin melepaskannya lagi.
Jika dengan melakukan ini kecemasan Umi bisa teredam, maka aku tidak memerlukan hal lain. Aku hanya ingin membuat Umi merasa aman.
“Umi, bagaimana? Apa kamu ingin berdamai dengan yang lain?”
“Aku... tidak ingin bertemu mereka untuk sementara waktu. Aku takut menemui mereka,”
“Begitu ya. Kalau begitu, aku juga akan melakukan hal yang sama,”
“Eh?” Umi tampak kebingungan.
Aku mengeluarkan ponsel dari saku dan membuka aplikasi pesan. Dulu, sebelum bertemu Umi, riwayat pesan di ponselku hanya diisi oleh pemberitahuan dari akun resmi perusahaan. Namun kini, berbagai jejak komunikasi dengan teman-temanku tertinggal di sana.
Ada obrolan sehari-hari dengan Umi, percakapan dengan teman dekat seperti Amami-san, Nitta-san, dan Nozomi, serta grup pesan yang hanya beranggotakan kami berlima.
Di depan mata Umi, aku mulai menghapus obrolan dan kontak, kecuali yang berkaitan dengan dirinya.
“Tunggu, Maki! Apa yang kamu lakukan?” tanya Umi panik.
“Aku pikir aku juga harus memutuskan hubungan dengan mereka,”
“Hahh...!? Apa maksudmu?” Umi tampak kaget.
Dia baru saja memutuskan untuk tidak bertemu dengan Amami-san dan yang lainnya, dan aku memutuskan untuk melakukan hal yang sama. Ini adalah caraku untuk menunjukkan kalau aku akan selalu berada di sisinya, agar dia tidak merasa sendirian.
Aku tahu tindakanku mungkin dianggap tidak masuk akal oleh orang lain. Namun, mungkin mereka lupa siapa sebenarnya Maehara Maki.
Meskipun aku telah belajar berkomunikasi lebih baik, membaca suasana, dan peduli pada orang lain, sifatku yang keras kepala dan suka melawan tetap ada.
“Tidak! Kamu tidak perlu melakukan ini hanya karena diriku,”
“Mungkin memang tidak perlu, tapi dengan begini, aku hanya bisa fokus padamu,”
“Kamu sungguh ekstrem…” Umi terlihat sedikit terkejut.
Sikapku yang aneh membuatnya mundur sedikit, padahal sebelumnya kami begitu dekat. Rasanya agak menyedihkan.
“Aku mengerti, Maki. Aku tahu kamu sangat memikirkan aku, jadi tolong, berikan ponselmu padaku. Aku yang akan mengurus daftar kontaknya, oke?” kata Umi sambil mengulurkan tangan.
“Jika kamu yang akan mengurusnya, ya sudah,”
Umi meraih ponselku dengan agak paksa dan langsung membuka fitur buku telepon. “Amami Yuu, Nitta Nina, Kan Nozomi, Nakamura-san, Takizawa-kun… Kontak Kakakku juga terhapus ya, tapi itu tidak apa-apa,”
“Kamu yakin tidak apa-apa?”
“Tidak apa-apa. Kalau saja Kakakku tidak memberikan ceramah di depan semua orang, mungkin aku bisa menutupi masalah ini dengan lebih baik,” jawabnya kesal.
“Aku juga minta maaf. Aku terlalu berlebihan,”
“Iya, makanya, sebagai hukuman, kamu harus menuruti semua perintahku mulai hari ini. Setuju?”
“Baiklah, aku mengerti,”
Meski aku merasa bersalah karena belum bisa melaporkan ke Riku-san, tujuan utamaku yaitu “tetap berada di sisi Umi” tampaknya berhasil.
Mendengar Umi berkata akan menjadi bosku untuk sementara waktu, hatiku justru merasa senang.
“Jadi, Maki,” panggil Umi dengan nada lembut.
“Ya, ada apa, Umi?”
“Mulailah dengan memanjakanku sebanyak mungkin,”
“Tentu saja. Ada permintaan khusus?”
“Aku ingin melakukan ‘hal biasa’ yang selalu kita lakukan,”
“’Hal biasa’? Ah, yang itu ya,”
Karena suhu yang mulai dingin, kegiatan yang sudah lama tidak kami lakukan sejak musim semi terasa pas dilakukan sekarang.
Aku mendudukkan Umi di sofa ruang tamu, lalu mengambil selimut musim dingin dari lemari kamarku. Selimut yang sudah beberapa tahun dipakai, dengan aroma tubuhku yang sudah tercium di sana.
“Ini, Umi. Selimutnya,”
“Terima kasih,”
Dia mengambil selimut itu, lalu membungkus tubuhnya. Kemudian, sambil tersenyum, dia mengulurkan tangannya padaku.
“Maki, sini,”
Tanpa ragu, aku mendekat dan masuk ke dalam dekapannya, lalu kami berdua membungkus diri dengan satu selimut.
Kami saling mendekap erat, membiarkan tubuh kami saling menghangatkan. Ini adalah rutinitas kami yang selalu dilakukan saat musim gugur dan dingin—ritual sederhana yang hanya milik kami berdua.
“Hehe... Padahal masih bulan Oktober, tapi rasanya udah agak panas ya,”
“Benar juga. Kalau begitu, mau berhenti sebentar?”
“Tidak mau,”
“Begitu ya,”
Aku juga sebenarnya tidak ada niat untuk melepaskannya.
“Nee, Maki,”
“Ya?”
“Aku suka sekali melakukan ini. Selimut ini penuh dengan aroma Maki, membuatku merasa sangat tenang,” katanya sambil menghirup aroma selimut dengan mata terpejam.
“Aku juga suka. Saat kita seperti ini, aku hanya bisa merasakan aroma Umi, dan itu membuatku sangat tenang,”
Aku termasuk orang yang sensitif terhadap bau orang lain, tetapi aroma Umi adalah pengecualian. Sebaliknya, aroma tubuhnya justru membuatku merasa nyaman.
Wajah Umi begitu dekat denganku, dan dia tampak benar-benar tidak berdaya di dalam pelukanku. Rasanya dia akan membiarkanku melakukan apa saja sekarang.
“Kalau mau... boleh,” bisik Umi lembut di telingaku.
“Eh?” Aku terkejut.
“Jadi... boleh. Sekarang kalau kamu mau...,” Umi bergumam sambil menyentuh leherku, wajahnya memerah hingga ke leher.
“Kamu yakin?” tanyaku, nyaris tidak percaya.
“Ya... Asalkan kamu memakai ‘itu’,” balasnya sambil menatapku dengan mata penuh harap.
Wajahnya yang memerah, sorot mata yang lembut, semuanya hampir membuatku kehilangan kendali.
Jujur saja, tubuhku sudah siap sepenuhnya. Umi juga tahu itu, dia terus melirik ke arah bawah tubuhku.
Kalau dilihat dari timing-nya, mungkin ini waktu yang tepat. Jika kami menyatu tidak hanya dalam hati tapi juga secara fisik, aku yakin Umi akan merasa lebih tenang.
──Sekarang adalah saatnya.
──Lakukan.
──Buat dia bahagia.
Pikiran seperti itu berputar-putar di dalam kepalaku yang semakin panas. Umi sudah memberikan izin, mungkin sebagai pacarnya aku memang harus bertanggung jawab. Selama aku memakai ‘itu’, aku juga bisa menjaga janji yang kubuat kepada Ibu dan Sora-san. Kami masih bisa menjaga hubungan yang sesuai dengan status kami sebagai siswa SMA.
... Namun.
“Maaf, Umi,” kataku sambil mengecup lembut pipinya, lalu menjauhkan tubuhku darinya.
“Maki...,”
“Jujur saja, aku sebenarnya juga mau. Sekarang pun aku sedang berusaha menahan diri. Tapi... bisa tidak kamu berhenti menyentuh bagian bawahku seperti itu?”
“Ugh...,”
Umi mendengus kesal, tetapi dia menarik tangannya.
Sebenarnya, kalau dia sedikit lebih lama menyentuh, aku mungkin tidak bisa menahan diri lagi. Kami berdua benar-benar saling mencintai sampai sedemikian rupa.
“Ini bukan pertama kalinya kita berada di situasi seperti ini, kan? Maki, kamu merasa sekarang belum waktunya?”
“Bukan soal waktunya lagi, sebenarnya. Jujur saja, menahan diri sampai lulus SMA dalam kondisi seperti ini sangat sulit. Kamu bisa lihat sendiri, kan?”
“Benar juga...,”
Umi mengangguk sambil memandangi ‘bagian itu’ tanpa berkata apa-apa.
“Kalau begitu, boleh aku bertanya? Pasti ada alasan kenapa kamu menahan diri, kan, Maki?”
“Ya... Kalau tidak ada alasan, pasti sekarang kita sudah ada di atas tempat tidur di kamarku, bukan di sofa ini,”
Aku menahan diri untuk tidak tergoda ketika melihat Umi dengan kancing blus yang sebagian besar sudah terbuka, memperlihatkan sedikit pakaian dalam berwarna biru muda yang dia kenakan.
“Aku juga ingin tanya balik, kalau tidak keberatan. Kenapa, Umi ingin melakukan ‘itu’ denganku?”
“Alasannya... Karena aku sangat mencintaimu. Itu alasan utamaku. Tapi, kalau dipikir-pikir, ada sedikit alasan lain juga. Mungkin aku ingin merasa lebih aman dengan memiliki Maki sepenuhnya untuk diriku sendiri. Tapi hanya sedikit saja, mungkin sekitar sepuluh persen. Aku sungguh, hanya sepuluh persen,”
“Aku mengerti. Dan aku percaya padamu,”
Mungkin pemikiran ini terlalu naif, tetapi dalam hubungan asmara, aku percaya kalau ada atau tidaknya hubungan seksual merupakan elemen besar yang membedakan antara hubungan yang “istimewa” dan yang “tidak”.
Ini adalah momen yang hanya diizinkan bagi dua orang yang benar-benar telah saling mempercayai sepenuh hati.
Meskipun aku yakin kalau hati kami sudah saling terhubung, hati adalah sesuatu yang tidak terlihat, sehingga terkadang muncul rasa cemas.
Itulah sebabnya beberapa orang ingin memastikan ikatan mereka melalui tindakan yang bisa dilihat dan dirasakan, agar bisa merasa lebih tenang. Hal itu tidaklah salah, dan aku bisa memahami perasaan tersebut. Mungkin memang ada kalanya hal itu diperbolehkan.
“Seperti yang pernah kita bicarakan sebelum liburan musim panas lalu, aku ingin ‘pengalaman pertama' kita bukan dilakukan karena dorongan sesaat seperti sekarang ini. Aku ingin melakukannya dalam situasi yang lebih tepat. Bukan karena ingin menenangkan diri dari kecemasan dan mengonfirmasi ikatan yang tak terlihat, melainkan saat kita sudah benar-benar merasa tenang, 100% bahagia, dan ketika kita ingin merasakan kebahagiaan lebih dalam lagi, serta berbagi kebahagiaan itu bersama-sama,”
“Jadi, maksudmu... bukannya bercinta untuk menenangkan hati, tetapi lebih memilih untuk melakukannya ketika hati sudah tenang dan kita merasa lebih bahagia, begitu?”
“Ya, seperti itu. Maaf kalau penjelasanku terlalu panjang,”
“Fufu, tidak apa-apa. Aku sudah mengerti maksudmu... Tapi, kalau begitu, kita tidak bisa menghindari pertemuan dengannya, ya?”
“Ya... Aku harus menghadapi Amami-san dengan baik,”
Jika ingin hubungan kami lebih istimewa lagi, aku harus memutuskan apa yang akan kulakukan mengenai Amami-san. Kami harus membicarakannya dengan baik, termasuk dia dalam keputusan ini.
Sejujurnya, pernah terlintas dalam pikiranku betapa mudahnya jika aku bisa tetap bersama Umi dan Amami-san sekaligus.
Namun, aku sudah memilih untuk menggenggam tangan Umi. Aku yakin dia adalah takdirku, dan aku telah mengisi kekosongan hatiku sepenuhnya dengan dirinya. Oleh karena itu, aku harus membuat Amami-san menangis. Tanganku sudah penuh dengan keberadaan Umi, tidak ada lagi ruang untuk orang lain.
Namun, Umi tidak akan puas dengan hanya itu. Meskipun secara lisan dia telah mengucapkan perpisahan, Umi sangat menyayangi Amami-san.
Perasaan sayangnya terhadap Amami-san jauh lebih besar dibandingkan dengan perasaannya pada Nitta-san atau yang lainnya.
Amami-san harus menangis. Itu adalah satu-satunya pilihan. Aku dan Umi sama-sama menyadari hal itu.
... Meski begitu, aku berharap Amami-san bisa kembali tersenyum setelah ini. Aku ingin dia bangkit lagi, tersenyum cerah seperti matahari, dan menerangi kami dengan keceriaan yang selalu dia miliki. Aku juga berharap dia dan Umi bisa tetap menjadi sahabat baik seperti sebelumnya.
Karena itulah, kami harus memikirkannya dengan baik. Kami harus berdiskusi. Mengungkapkan perasaan satu sama lain, menyatukan pandangan, dan menciptakan masa depan di mana kami bertiga bisa tertawa dari lubuk hati yang paling dalam.
“Umi, ayo kita pergi sekarang. Kita temui Amami-san,”
“Baik... Asalkan Maki terus menggenggam tanganku,”
Langkah pertama kami adalah meminta maaf dengan sungguh-sungguh. Kami harus meminta maaf karena melibatkan mereka dalam pertengkaran kami, membuat mereka khawatir tanpa alasan. Kepada Amami-san, Nitta-san, Nozomi, dan Riku-san.
Mungkin kami akan dimarahi saat bertemu mereka. Itu sudah pasti, karena ada beberapa panggilan tak terjawab di ponselku, kemungkinan besar dari Amami-san dan Nitta-san. Pesan juga menumpuk, jumlahnya tidak sedikit.
Kami akan meminta maaf terlebih dahulu kepada semua orang yang telah membantu mempererat hubungan kami. Kemudian, barulah kami akan membicarakan hal yang lebih serius.
Aku langsung menelepon Amami-san, dan belum sempat berdering lama, teleponnya sudah diangkat.
“Amami-san,”
“…Maehara Maki,”
“Ya, itu benar,”
“Aku sangat marah sekarang. Dan Nina-chan yang ada di sampingku juga marah,”
“Maaf, aku terlalu terbawa emosi tadi,”
“Kalian akan menjelaskan semuanya, kan?”
“Iya. Umi juga akan datang bersamaku,”
“Begitu ya. Kalau begitu, aku akan menunggu kalian di bawah,”
“Eh? Di bawah... maksudnya, Amami-san, apa—”
Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Amami-san sudah memutuskan telepon.
Aku menatap Umi yang tersenyum kecil sambil mengeratkan genggamannya.
Kami tahu, kalau pembicaraan serius yang akan kami lakukan adalah langkah awal menuju hubungan yang lebih baik di antara kami bertiga.
Dari kata-katanya barusan, sepertinya Amami-san (dan Nitta-san) tidak pulang ke rumah, melainkan langsung mengejarku.
Aku merasa sangat bersalah karena telah membuat mereka khawatir dari awal hingga akhir.
“Eh? Maki, ada apa? Yuu bilang apa tadi?”
“Tidak, Amami-san dan yang lain sepertinya sudah sampai di bawah… Tapi kamarku berantakan, jadi aku bingung harus bagaimana.”
“Begitu ya. Kalau menunggu di bawah rasanya kurang pas, mungkin lebih baik bersihkan kamarnya nanti, bareng-bareng aja. Tapi ya, setelah dibereskan, pasti berantakan lagi sih, jadi rasanya sia-sia juga.”
“Ya, benar juga.”
“Benar kan.”
“「…hehe」”
Tanpa sengaja, kami tertawa bersama setelah percakapan ringan itu.
Kami yang telah membuat keributan sepanjang hari ini, akhirnya merasa semuanya akan baik-baik saja.
Kali ini, tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Kami memutuskan untuk kembali dan dibiarkan dianggap sebagai pasangan bodoh yang membuat teman-teman kami merasa geli.
Untuk sementara waktu, kami hanya perlu membersihkan jejak-jejak kami yang ada di kamar, yang menunjukkan betapa dekatnya kami, sebelum pergi menuju pintu masuk tempat Amami-san dan yang lain menunggu.
Setelah keluar dari lift dan berjalan berdua sambil bergandengan tangan, Amami-san lah yang pertama kali berlari menghampiri kami.
Dengan rambut pirangnya yang indah berkibar, dia mendekat dengan cepat dan langsung memeluk Umi seakan-akan ingin menubruknya.
“──Umi!”
“Eh! …Yuu, sakit tau, kalau peluknya terlalu kencang seperti itu.”
“Diam! Umi bodoh, kamu sudah membuatku cemas, membuatku takut kalau kita tidak bisa jadi teman lagi… Aku terus takut kalau kita tidak bisa jadi teman seperti dulu.”
“…Maaf, Yuu. Aku sering melakukan hal-hal egois, aku benar-benar minta maaf.”
“Tapi kita tetap bisa jadi teman baik, kan?”
“Tentu saja. …Tidak mungkin aku berhenti jadi temanmu begitu saja.”
“Syukurlah… Umi…!”
“Y-Yuu… Oke, aku paham, tapi pelukannya agak dikurangi sedikit, ya…”
“Tidak mau! Aku mau peluk Umi terus!”
“Uuh… Ni-na...”
“Tidak mau! Itu artinya kamu sudah membuat Yuu merasa kesepian, jadi kamu harus tahan sedikit.”
“…Baiklah, aku mengerti.”
Meskipun Umi menghela napas kecil, dia tetap membelai kepala Amami-san dengan lembut, tidak berniat melepaskan pelukannya.
Seperti menghibur anak kecil, Umi terus mengelus kepala Amami-san yang menangis sesenggukan sambil menyandarkan wajahnya di dada Umi.
Umi menunggu hingga perasaan Amami-san tenang, sementara di matanya, tampak ada butiran air mata yang mulai merembes.
“Ketua, kalau dilihat dari keadaan ini, sepertinya semuanya berhasil dengan baik. Senang, kan?”
“Ya… meskipun dengan cara yang agak kasar.”
Namun, karena kami berhasil melewati hambatan pertama ini, aku memutuskan untuk merasa senang.
Meskipun begitu, yang lebih penting bagi Umi adalah dikelilingi oleh teman-teman yang membuatnya tersenyum, dan itu membuatnya terlihat jauh lebih bahagia.
“Nee, Yuu.”
“Ada apa?”
“Ada saru permintaan. Maukah kamu mendengarnya?”
“…Umi, kamu terus minta permintaan. Tapi karena kamu teman baikku, aku akan dengar saja.”
“Terima kasih, Yuu. Maaf ya, aku sering minta bantuan. Aku ini memang orang yang menyusahkan.”
“Tidak masalah, tidak peduli kamu menyusahkan atau tidak. Aku sudah banyak dibantu oleh Umi, jadi aku harus membalasnya di saat seperti ini. …Jadi, permintaannya apa?”
“Ya… begini…”
Umi menatapku dengan penuh harap, seolah ingin memastikan aku akan mendengarkan, lalu aku mengangguk sebagai tanda setuju, mendorongnya untuk melanjutkan.
Sekarang, aku tidak sendirian dengan Umi, karena Amami-san ada di sini, dan Nitta-san juga bersama Amami-san.
Aku punya teman dan pasangan yang saling mendukung, jadi semuanya akan baik-baik saja.
“Yuu, aku ingin kita bertiga berbicara sekali lagi. Aku, kamu, dan tentang Maki.”
“Apakah… ini berarti kita akan bicara dengan semua orang yang ada di sini?”
“Iya. Panggil juga Seki. Aku ingin kita berdua dan Maki, serta Nina, semua bersama-sama.”
Meskipun masalah ini awalnya hanya melibatkan Amami-san dan Nitta-san, pada akhirnya kelima dari kami terlibat dalam berbagai cara. Semua orang terluka, meskipun dengan intensitas yang berbeda.
Sekarang setelah semuanya terungkap, hubungan kami berlima tidak akan pernah kembali seperti semula.
Fakta kalau Amami-san menyukaiku akan tetap ada, dan betapa cemburunya Umi, yang ternyata juga memiliki sisi gelap yang kadang-kadang muncul, akan tetap teringat oleh semua orang.
Begitu pula dengan kenyataan kalau Nitta-san, yang ternyata memiliki perasaan yang lebih kuat dari yang terlihat. Hubungan kami, mulai hari ini, pasti akan berubah.
Oleh karena itu, kami harus berbicara berlima, untuk langkah baru yang akan kami ambil. Agar kelak, setelah lulus dari SMA dan lanjut ke universitas, bahkan setelah memasuki dunia kerja, kami tetap bisa bertemu dan tertawa bersama saat bertemu lagi.
“…Baiklah, mari kita bicara, Umi. Semuanya sampai puas, sampai kapan pun.”
Jika Amami-san mengatakan demikian, maka aku dan Nitta-san tidak akan keberatan.
Kebetulan, kami memiliki tempat yang cukup nyaman, di mana kami bisa berbicara tanpa gangguan, tanpa ada yang menguping, dan sedikit berisik pun tidak masalah. …Meski memang sedikit berantakan, jadi aku mungkin perlu meminta bantuan untuk membersihkan.
Setelah itu, kami kembali ke ruang tamu rumah Maehara, dan menunggu sekitar tiga puluh menit.
Setelah Nozomi, yang baru selesai dari klub dan datang ke rumahku untuk bergabung, akhirnya kami sampai pada titik puncak hari ini.
Hari sudah malam, namun sebenarnya, kami baru saja sampai pada saat yang menentukan.
“…Yo, Maki. Aku datang karena kalian bilang aku diperlukan, tapi…”
“…Iya.”
“Jadi, ini situasinya seperti apa?”
Karena aku sudah memberi tahu Nozomi sebelumnya tentang isi percakapan ini, dia pasti membayangkan suasana yang serius dan tegang saat sampai di rumahku.
Melihat peristiwa sebelumnya, rasanya wajar jika suasana seperti itu muncul. Sederhananya, masalah hubungan asmara dalam grup kami yang menjadi penyebabnya.
“Yosh, aku dapat item yang bagus! Ini akan memangkas jarak dengan yang di depan… Ah! Siapa yang baru saja menyambar kepalaku dengan petir? Ah, sial—aku kehilangan item dan malah kena sniper juga…”
“Hehehe, maaf ya, Umi. Itu aku~.”
“Yuu, kenapa hanya kamu yang dapat item bagus? Gimana sih, RNG-nya aneh banget, licik, pakai remote lagi!”
“Itu sih, karena nasibmu jelek aja, Asanagi… Yay, aku finish pertama lagi dua kali berturut-turut. Kayaknya kalian berdua kurang jago main balapan deh.”
Ketika Nozomi datang ke rumahku, dia mendapati tiga orang sedang asyik bermain game balapan di layar TV besar. Bahkan, di atas meja kotatsu, ada pizza dan makanan sampingan yang kami pesan sebelumnya, ditambah camilan dan minuman soda yang kami persiapkan. Rasanya seperti kami akan mengadakan pesta malam sepanjang malam.
Kami memutuskan untuk menunggu Nozomi datang, dan menghabiskan waktu dengan bermain game, tapi suasananya ternyata lebih seru dari yang kami bayangkan.
“Ah, Nozomi-kun, selamat datang. Ini balapan terakhir, jadi tunggu sebentar saja. Umi, ini balapan terakhir, ya.”
“Hmph… Yaudah, aku kasih kalian menang kali ini.”
“Menurut urutannya, itu lebih tepatnya ‘kalian yang harus diberi kesempatan menang’, kan? Tapi aku sih, tidak masalah.”
Melihat ketiga orang itu kembali ke permainan, Nozomi kemudian menatap aku.
“Maki, aku diperlukan disini?”
“…Iya, kami memerlukanmu.”
Dari luar, tampaknya grup ini hanya sedang bermain bersama tanpa masalah, namun bagi ketiganya, mereka hanya berusaha menjaga suasana tetap hangat dan tidak terlalu canggung. Mereka belum sepenuhnya berdamai.
Orang lain tidak ada yang bisa melihatnya. Namun, jika benar-benar diperhatikan, semuanya bisa terlihat jelas.
“…Baiklah, mari kita mulai sekarang.”
“Ya.”
“Siap.”
“Ayo!”
Dengan kata-kataku, ekspresi ketiga orang yang sebelumnya sedang asyik berbicara kini berubah serius.
Agar tidak ada lagi rasa bingung yang terus berlarut-larut sampai esok hari, kami harus menyelesaikannya hari ini juga.
Begitu pula dengan wajah-wajah kami, termasuk aku, yang menunjukkan keseriusan.
“Namun, ini bukanlah hal yang mudah, kan? Yuu-chi, Asanagi, dan tentu saja, Ketua, bagaimana mungkin kalian bisa benar-benar menerima cara yang bisa memuaskan semuanya?”
Pertama-tama, mari kita pastikan posisi masing-masing sampai saat ini:
(Umi) Amami-san dan aku akan berpacaran untuk sekali saja, dan setelah itu Amami-san akan melupakan aku (sebagai gantinya, semua yang terjadi sebelumnya akan dilupakan).
(Aku) Aku tidak ingin Umi merasa tersakiti, jadi aku tidak akan pergi berkencan dengan Amami-san. Aku akan mencari cara lain untuk menyelesaikan masalah ini.
Di sini, sudah jelas ada perbedaan pendapat.
Sekarang, kita harus memikirkan apa yang Amami-san pikirkan tentang ini, bukan?
“Yuu-chi, sekarang bagaimana menurutmu? Apakah kamu tetap ingin menghargai pendapat Asanagi?”
“...Iya. Awalnya begitu, tapi...”
“Begitu... jadi sekarang pendapatmu berbeda?”
“...Iya, sedikit, sih.”
Amami-san yang dulunya lebih condong ke pihak Umi, ternyata mengalami perubahan perasaan seiring berjalannya waktu.
Dengan terus-menerus melirik kearahku dan Umi, Amami-san melanjutkan ceritanya.
“...Aku terus berpikir, kenapa ya, aku sangat suka berada di antara kita berlima? Padahal, kalau hanya sekadar teman dekat, ada Nagisa-chan atau Yama-chan, bahkan kalau bukan teman sekelas, ada Sana-chan atau Mana-chan juga. Tapi kenapa rasanya yang paling nyaman justru di sini? Kenapa aku merasa begitu terikat untuk selalu bersama kalian? Umi adalah sahabatku, Nina-chan sudah bersamaku sejak SMA, dan bahkan ada dua laki-laki di sini. Salah satunya bahkan pernah mengungkapkan perasaannya padaku, dan awalnya suasananya jadi canggung.”
Nozomi tampak diam-diam merasa terluka, tapi itu akan aku urus nanti.
Memang, ketika mendengarkan Amami-san, aku jadi semakin merasa betapa uniknya ikatan kami.
Aku berteman dengan Umi, dan dari situ Amami-san ikut bergabung, yang kemudian membuat Nitta-san yang sering bersama Amami-san juga akhirnya dekat, dan pada akhirnya Nozomi yang mulai mengagumi Amami-san juga bergabung.
Meskipun Amami-san dan Umi adalah sahabat sejati, tiga orang lainnya sebelumnya tidak memiliki hubungan atau interaksi yang berarti.
Terutama Nitta-san, yang bahkan sampai festival budaya pun masih kesulitan mengingat nama dan wajahku. Nozomi, yang sebelumnya tidak banyak berbicara denganku, tiba-tiba mengungkapkan perasaannya kepada Amami-san dan membuatnya bingung.
Biasanya, hubungan seperti ini akan terasa canggung dan tidak nyaman. Meskipun Nozomi sibuk dengan klubnya dan tidak selalu bersama kami, sejak Natal tahun lalu, dan saat liburan musim panas serta festival kembang api, ia mulai ikut dalam banyak acara besar bersama kami. Bahkan, kami ikut mendukung dirinya saat ada turnamen.
Ada sesuatu yang membuat Amami-san merasa nyaman berada bersama kami.
“Aku terus berpikir… dan akhirnya, aku rasa sekarang aku tahu jawabannya. Ketika aku melihat kalian berdua berdebat dan melihat wajah sedih kalian,”
Amami-san berkata begitu, lalu dengan lembut meraih tanganku dan Umi.
Sahabatnya yang paling berharga, dan orang yang pertama kali dia sukai dalam hidupnya.
“Maki-kun.”
“Eh? Y-ya?”
“Dan juga, Umi.”
“...Iya.”
“Ketika aku tersenyum, aku selalu ada di sisi kalian berdua. Meskipun aku sering kali merasa terpinggirkan karena kalian berdua tampak sangat mesra, itu tidak masalah. Melihat sahabat terbaikku dan teman-temanku yang aku sayang bahagia, itu sudah cukup membuatku merasa senang. Ah, tapi mungkin ini hanya perasaanku saja ya? Bagaimana dengan Nina-chan dan Nozomi-kun?”
“Ya... ada juga perasaan seperti itu.”
“Aku rasa tidak masalah.”
Seperti yang disetujui oleh Nitta-san dan Nozomi, ternyata selama ini kami bisa tetap bersama karena aku dan Umi yang terus berperilaku seperti pasangan bodoh.
Ketika kami berlima bersama, hampir selalu ada momen di mana Umi dan aku dijahili. Bagi kami, kami hanya menjalani hubungan seperti pasangan biasa, dengan serius, namun tampaknya ada perbedaan besar antara bagaimana kami melihatnya dan bagaimana orang lain memandangnya.
Tanpa sadar, kami sering kali mendapatkan tatapan hangat dari tiga orang lainnya. Kemudian, karena kami sedikit terbakar dan membalas dengan bantahan yang tidak perlu, suasana menjadi semakin aneh.
Kemudian, tanpa ada yang mengatakannya, tawa pun pecah, dan itu menyebar kepada kami semua.
“Menurutku, kalau Umi dan Maki-kun tidak tertawa, aku tidak suka. Aku tidak peduli tentang diriku. Semua ini kesalahanku, aku yang jahat. Jadi, jangan sampai kalian bertengkar lagi. Kalian harus tetap bahagia selamanya. Kalau tidak, aku tidak akan maafkan kalian. Selesai!”
“Eh, langsung selesai ya... Tapi, itu sih, perasaan Yuu-chi sekarang, ya. Pasangan bodoh itu, ngerti kan?”
“...Ya.”
“Entahlah.”
(Amami-san) Kalian berdua jangan bertengkar. Jangan pikirkan tentangku, mari kita pikirkan cara yang bisa membuat kalian berdua puas.
Pendapat Umi dan aku bertentangan, dan Amami-san mengatakan agar kami tidak bertentangan.
Dengan begitu, terciptalah sebuah segitiga yang jujur terhadap perasaan masing-masing.
Tidak boleh ada pertentangan, dan juga tidak boleh ada yang menangis, jadi tidak ada yang boleh menyerah, baik aku maupun Umi.
Untuk menyelesaikan semua ini, adakah solusi yang bisa diterapkan?
“「「「「「…………」」」」”
Kami berlima mencoba memikirkan solusi, namun hanya ada keheningan yang panjang.
“Teman-teman, bagaimana kalau kita istirahat dulu? Perut juga mulai keroncongan.”
“Iya, benar juga. Yuu, Nina, bisa bantu panaskan makanan yang dipesan tadi?”
“Siap!”
“Uhm~”
“Kalau begitu, aku dan Nozomi akan siapkan minuman. Nozomi, sudah ada, tapi mau minum apa?”
“Cola saja. Biasanya aku tidak minum, tapi rasanya pengen aja sekarang.”
Kami menjauh sejenak dari masalah yang sulit, sambil menikmati makan malam yang agak terlambat sambil menonton TV.
Pizza dan ayam yang diantar oleh Eimi-senpai enak sekali, dan cola yang dituangkan ke dalam gelas dingin dengan es memberi sensasi yang menyegarkan tenggorokan.
Namun, sepertinya kami semua, termasuk aku, tidak bisa sepenuhnya beralih dari perasaan yang ada. Kami tetap merenung, sambil makan dengan perlahan.
“Nee, Ketua.”
“Hm? Ada apa, Nitta-san?”
“Ah, tidak penting sih. Tapi, barang yang ada di bawah TV itu kok kelihatan menarik ya. Itu, jangan-jangan film hiu yang kamu suka?”
Nitta-san tiba-tiba menunjuk sebuah paket yang tersembunyi di pojok rak, di antara konsol game dan beberapa majalah yang diterbitkan oleh perusahaan ibuku.
“Ah, iya. Karena masalah hak distribusi, beberapa film lama yang tidak bisa ditayangkan di internet, kadang aku beli. Apa mungkin kamu tertarik, ya?”
“Tidak, tidak terlalu sih. Hanya saja, acara TV yang sekarang tidak menarik, jadi rasanya bisa deh coba nonton yang seperti itu.”
Karena aku dan Umi sering membicarakan film hiu, aku sempat berpikir mungkin diam-diam sudah berhasil mempengaruhi Nitta-san. Namun ternyata, itu bukan masalah besar baginya.
Namun, siapa tahu, itu adalah cara setiap orang menemukan hiburan mereka sendiri.
Aku juga mulai dengan menonton film klasik di TV dan kemudian makin mendalami film-film tersebut.
Setiap orang memiliki cara mereka sendiri menikmati hal-hal, dan aku berharap Nitta-san bisa menemukan caranya.
Aku tidak memaksakan, tetapi mungkin saja ada peluang untuk mendapatkan teman baru dalam hobi ini.
“Untuk pemula, aku rasa yang ini bisa direkomendasikan. Meski agak lama, tapi sutradara terkenal yang menggarap ini.”
“Ah, aku tahu orang itu... Hmm, sebelumnya sih aku tidak tertarik, tapi kalau dilihat-lihat, banyak juga ya judulnya... Beberapa malah kelihatannya cukup menyeramkan. Tapi, mungkin nanti aja deh. Yang aku penasaran malah film yang kamu sembunyikan di belakang.”
“Ah...”
Aku awalnya berpikir mungkin terlalu cepat untuk mengenalkan Nitta-san pada hal ini, namun ternyata Nitta-san justru lebih tertarik pada hal tersebut.
Judul-judul film yang ada lebih banyak menyerang genre yang agak konyol, yang jika aku dan Umi tonton, bisa saja kami terus membicarakannya hingga larut malam.
Tapi bagi orang yang tidak familiar, setelah lima menit pertama menonton, pasti banyak tanda tanya yang muncul di kepala mereka, dan itu pasti akan terasa aneh.
“…Kalau kamu benar-benar ingin menontonnya, bagaimana kalau kita coba?”
“Ya. Yang itu, ‘Kungfu Shark’, yang ada gantungan kunci di tas Asanagi. Ayo tonton itu.”
“Baiklah. Tapi yang aku punya adalah ‘Kungfu Shark 2’, di mana karakter utama dari film pertama yang jadi hiu itu memiliki musuh pribadi, seekor orca yang ingin membalas dendam…”
“Ah, aku tidak perlu penjelasan seperti itu.”
Dengan cuek, Nitta-san menanggapi penjelasanku dan memasukkan disk ke dalam pemutar, lalu menekan tombol play.
Begitu film dimulai, muncul suara melodi aneh dan bunyi gong dari tempat yang entah darimana, lalu hiu dengan CGI yang sangat realistis muncul di layar, melawan para nelayan setempat dan pemburu bersenjata dengan menggunakan sirip terlatih dan kungfu, menjatuhkan mereka satu per satu.
“…………Hmm, aku mengerti.”
Awalnya Nitta-san tampak tertarik dengan layar, namun setelah sekitar lima belas menit, dia mengambil remote control dan menghentikan film tersebut.
“…Sudah cukup? Sebenarnya bagian ini mulai seru dan banyak kejutan. Kualitas CGI-nya meningkat pesat sejak film pertama, dan meskipun ceritanya tidak terlalu solid, tapi ada daya tarik yang luar biasa.”
“Yah, sebenarnya aku sudah merasa kesulitan sejak menit pertama. Karena Ketua begitu penuh harapan, aku mencoba bertahan sampai batas terakhir.”
Bagi orang yang tidak tertarik pada genre ini, reaksinya memang seperti itu. Seperti Nitta-san, yang setelahnya, Amami-san dan Nozomi juga hanya diam menonton dengan tatapan kosong. Namun meskipun begitu, Nitta-san tetap tampak tenang.
“Yah, meskipun aku tidak terlalu tertarik, ada beberapa hal yang bisa dirasakan. Sejak opening, terasa banget sih kalau film ini bilang ‘Ini jenis film yang aku suka’. Mungkin itu yang ingin disampaikan. Tapi susah ya menjelaskannya.”
“Ah, iya! Benar banget, Nitta-san! Sebenarnya, ceritanya agak acak-acakan dan ada beberapa bagian yang terasa murahan, tapi semua orang di film ini sangat serius, dan mereka terlihat menikmati sekali. Ada juga commentary dari sutradaranya, di mana dia membicarakan banyak hal tentang film ini dan perasaannya, dan—”
“Maki, stop, stop. Aku tahu kamu sedang bersemangat, karena Nina sudah sedikit tertarik sama hobi kita, tapi… lihat deh, Nina sudah sedikit mundur.”
“Eh? Ah…”
Mendengar peringatan dari Umi, aku baru menyadari, dan ternyata, Nitta-san sedikit menghindar dan melihatku dengan ragu.
“Ah, haha… Ternyata Ketua juga punya sisi yang agak memaksa, ya…”
“Maafkan aku…”
Karena Nitta-san tertarik lebih dari yang aku perkirakan, aku jadi terlalu bersemangat berbicara.
Namun, Nitta-san hanya memberikan komentar yang sopan, yang aku tahu ia hanya ingin menjaga perasaan aku dan Umi. Meski begitu, dengan cara yang sama seperti berbicara dengan Umi, aku merasa agak malu.
“Maafkan aku… Tapi, setidaknya ini bisa jadi sedikit hiburan. Mungkin kita bisa kembali ke topik utama…”
“—Ah, tunggu, Maki-kun!”
Begitu aku mematikan TV dan hendak mengembalikan DVD ke dalam paketnya, tiba-tiba ada tangan lain yang meraih disk tersebut. Aku pikir tidak ada orang selain aku dan Umi yang tertarik dengan ini, namun hari ini sepertinya ada minat yang berbeda.
“Amami-san… Ada apa?”
“Maki-kun, itu… yang tadi kamu sebutkan, komentar dari sutradara? Bagaimana kalau aku mendengarkan bagian itu?”
“Hm? Oh, tentu. Tidak masalah…”
Amami-san biasanya tidak terlalu tertarik dengan jenis film seperti ini, tapi mungkin ada sesuatu yang menarik perhatiannya dalam pembicaraan antara aku dan Nitta-san barusan.
Sementara yang lainnya tampak tidak keberatan, jadi aku pun mulai memutar bagian khusus tersebut sesuai permintaan Amami-san.
Oh, dan karena sutradaranya orang asing, aku akan mengandalkan subtitle untuk mengetahui apa yang dia bicarakan.
(Sutradara) “Bagus, kan? Adegan ini keren banget, terutama saat sang protagonis (atau mungkin lebih tepat disebut begitu?) bertarung seorang diri di tengah laut melawan kawanan orca. Syuting adegan ini sangat sulit dan memakan banyak biaya, tapi itu semua sebanding.”
(Aktor 1) “Benar, sih. Sebenarnya, kenapa tidak pakai CGI buat semua adegan ini? Kenapa harus syuting kawanan orca di tengah musim dingin yang super dingin, hanya untuk satu adegan? Apa ada alasan khusus?”
(Sutradara) “Ya, tidak apa-apa kan? Saat itu aku rasa itu perlu, jadi aku tetap lakukan.”
(Aktor 2) “Sutradara, kamu tuh kalau kerja yang lainnya rapi dan hati-hati, tapi kalau urusan hiu, kok kayak tidak ada batasan, ya?”
(Sutradara) “Ya, namanya juga suka. Kalau soal yang lain, boleh deh kompromi, tapi kalau ini, aku tidak mau kompromi sama sekali. Aku memang begitu, suka banget sama ini. Uang juga hampir semua dari kantong pribadi. Ah, pokoknya harus syuting film hiburan yang datar lagi untuk cari uang buat film selanjutnya.”
(Aktor 1) “Kamu ini…”
Kalau menonton keseluruhan film ini, durasinya pasti panjang, jadi ini hanya versi ringkasnya, tapi pada dasarnya, cerita tetap sama. Sutradara hampir hanya berbicara tentang seberapa besar cintanya terhadap proyek ini—hanya itu yang dia bicarakan dengan penuh semangat.
Saat diputar bersamaan dengan filmnya, rasanya energi dan semangatnya begitu besar hingga membuat yang menonton bisa merasa terlalu terbebani.
“…Maki-kun, terima kasih. Sekarang, sudah cukup.”
Sama seperti Nitta-san sebelumnya, setelah sekitar lima belas menit, Amami-san pun berhenti menonton dan duduk dengan santai di sofa, seolah merenung.
Dia terus menggumamkan beberapa kalimat pelan, seolah mengingat sesuatu.
“Aku suka… karena dia suka. Karena dia egois. Dan dia tidak mau kompromi…”
Begitulah yang aku dengar dari gumamannya.
“Nee, Umi… Aku rasa, aku sudah tahu.”
“Tahu apa?”
“Bagaimana caranya agar semuanya tersenyum.”
“Eh…!!!”
Kata-kata Amami-san mengejutkan bukan hanya Umi, tapi juga diriku, Nitta-san, dan Nozomi. Dari ekspresinya, sepertinya penjelasan dalam komentar tadi memberi petunjuk yang membuka pikirannya, namun… siapa sangka, ternyata film hiu bisa jadi petunjuk untuk menyelesaikan masalah ini.
Kami belum tahu lebih jauh apa yang akan dia katakan, tapi intuisi Amami-san sangat bisa dipercaya. Karena bagi kami, Amami Yuu adalah pusat dari segalanya.
…Ketika dia menemukan jalannya, tak ada yang bisa menghalanginya.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.