Kurasu de Nibanme ni Kawaii Onnanoko to Tomodachi ni Natta epilog 2 V7

Ndrii
0

Epilog 2

Akhir Cinta Pertama




Pov Amami Yuu

Mengapa waktu terasa begitu cepat berlalu ketika kita bersenang-senang?


Sore hari yang dihabiskan bersama teman-teman, akhir pekan yang diisi dengan bermain-main di kota—semakin menyenangkan momen itu, semakin cepat waktu berlalu begitu saja. Saat aku menutup mata sejenak, tiba-tiba saja satu hari telah berakhir.


Hari ini benar-benar sangat menyenangkan.


“Fuwaah~ Banyak orang di sini, jadi kita tidak bisa mencoba semuanya, tapi sepertinya kita sudah cukup banyak menaiki wahana. Kita bahkan naik roller coaster sampai dua kali. Meski begitu, rasanya masih kurang,” kataku sambil meregangkan badan.


“Sudah cukup kok... Aku sudah kelelahan,” sahut Umi dengan wajah lelah.


“…Aku juga merasa mau mati,” ujar Maki dengan nada lelah.


Selain saat istirahat makan siang, kami nyaris tidak berhenti berkeliling taman bermain ini sepanjang hari. Umi dan Maki yang mengikutiku tampaknya sudah benar-benar kehabisan tenaga. Mereka sempat menantangku dengan mengatakan, “Coba buat kami bersenang-senang,” dan aku jadi terlalu semangat, mungkin sedikit berlebihan. Aku harus mengakui, sedikit menyesal karenanya.


“Jadi, bagaimana menurut kalian hari ini? Apakah kalian senang?” tanyaku dengan senyuman.


“Capek,” jawab mereka berdua serempak.


“Aku tahu kalian lelah. Tapi bukan itu yang kumaksud,” aku menggoda mereka sedikit.


“Tadi…sangat menyenangkan,” jawab Maki.


“…Iya, menyenangkan,” sambung Umi dengan lirih.


Mendengar jawaban dari mereka berdua, aku merasa puas. Meski terlihat kelelahan, aku tahu mereka benar-benar menikmatinya. Kami bertiga tertawa bersama dengan tulus sepanjang hari. Setidaknya, itulah yang kulihat.


Suara pengumuman penutupan taman bermain mulai terdengar saat langit mulai memerah di waktu senja. Waktu hingga pintu taman benar-benar tertutup hanya tersisa sekitar tiga puluh menit lagi. Pengunjung yang sebelumnya memenuhi taman kini mulai bersiap-siap pulang.


Kami pun harus segera pulang. Namun sebelum itu, ada satu hal yang belum aku selesaikan.


“Maki-kun,” panggilku dengan suara pelan namun tegas.


Aku sudah memutuskan. Sebenarnya, aku seharusnya mengatakannya saat Maki masih bersemangat tadi. Tapi, keberanian itu baru muncul sekarang, di saat-saat terakhir.


“Ada apa, Amami-san?”


“Bagaimana kalau kita naik bianglala sebelum pulang? Hanya berdua saja,” ajakku sambil menatap Maki.


“Hanya kita berdua?” tanya Maki dengan ragu.


“…Iya,” jawabku, mengangguk pelan.


Sejak tadi, kami selalu bersama Umi. Tapi kali ini, aku ingin hanya berdua dengan Maki. Apa yang akan aku tunjukkan nanti, Umi tidak boleh melihatnya. Dan aku yakin, Umi sendiri pun mungkin tidak ingin melihatnya.


Menyadari suasana hatiku, Umi memberikan anggukan kecil, seolah menyetujui permintaanku.


“Maki, tak apa. Pergilah bersamanya,” kata Umi sambil tersenyum.


“Umi... apa ini benar-benar tidak apa-apa?” tanya Maki dengan sedikit keraguan.


“Jujur, aku juga ingin ikut naik. Tapi kakiku sudah lelah, tidak sanggup berdiri lagi. Aku akan menunggu di sini saja, kalian pergilah untuk mengakhiri hari ini. Mungkin ini kesempatan terakhir seperti ini,” jawab Umi dengan suara lembut namun tegas.


Sepertinya Maki sudah mengerti maksudnya. Meskipun sebenarnya Umi pasti tidak suka dengan hal ini, dia terlalu baik kepadaku. 


Maka, aku memutuskan, ini akan menjadi kali terakhir aku memanjakan diriku.


“Ayo, Maki-kun,” ajakku.


“…Iya,” jawab Maki sambil mengangguk pelan.


Bersama Maki yang menyetujui permintaan terakhirku, kami berjalan menuju bianglala. Meskipun waktu operasi sudah sedikit lewat, petugas wanita di sana melihat kami berdua dan, mungkin salah paham, memberikan izin sebagai “pengecualian khusus”. Rasanya sedikit tidak enak, tapi kami tetap menaikinya.


“Amami-san, ayo naik,”


“Ya, terima kasih,”


Pintu gondola tertutup, menciptakan ruang kecil yang hanya diisi kami berdua. Untuk menyelesaikan satu putaran penuh, diperlukan sekitar lima belas menit. Dalam waktu itu, aku harus menyelesaikan segalanya—mengakhiri cinta pertamaku.


“Wah… kita naik cukup tinggi,”


“Maki-kun, apa kamu takut ketinggian? Maaf ya, kalau aku memaksamu naik,”


“Tidak apa-apa. Aku juga sebenarnya ingin naik setidaknya sekali. Lihatlah, Umi kelihatan sangat kecil dari sini,”


“Iya, benar. Umi, lihatlah ke sini! Kami ada di sini!”


Waktu yang tersisa sedikit. Dengan mata yang mulai berkaca-kaca, aku mempersiapkan diriku untuk mengucapkan kata-kata yang sudah lama kupendam dalam hati. 


Hari ini, di bianglala yang mengelilingi taman bermain yang indah, aku akan mengucapkan selamat tinggal pada cinta pertamaku.


Aku melambaikan tangan dengan semangat ke arah Umi yang duduk di bangku taman. Saat aku memicingkan mata, kulihat Umi membalas lambaian itu, meski hanya sedikit. Perasaan lega menjalar di hatiku.


Umi, terima kasih.


Aku mengucapkannya dalam hati, lalu menghadap kembali ke arah Maki. Cahaya matahari yang oranye menyinari pegunungan di kejauhan, dan pemandangan kota terlihat begitu indah dari ketinggian. Namun, saat ini, aku tidak bisa menikmati pemandangan itu sepenuhnya. Mungkin, lain kali aku akan melakukannya. Saat aku datang ke sini lagi, aku bertanya-tanya, siapa yang akan ada di sebelahku? Sekarang, aku belum tahu.


“Maehara Maki-kun,” aku memanggilnya dengan tegas.


“...Iya,” jawabnya sambil menatapku.


“Aku menyukaimu. Sangat suka. Bukan hanya sebagai teman, tapi sebagai seorang laki-laki. Aku jatuh cinta padamu,”


Meski aku berhasil mengatakannya dengan lancar, jantungku berdetak begitu kencang, lebih dari yang kuduga. Padahal aku sudah tahu hasilnya, aku sudah bisa membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, tubuhku seakan masih berharap pada kemungkinan kecil yang mungkin terjadi.


…Aku benar-benar bodoh, bukan?


Meski tahu ini adalah hal yang bodoh, aku tetap melanjutkan kata-kata yang sudah kupersiapkan sejak lama.


“...Maukah kamu jadi pacarku?”


“...Maaf.”


...Oh.


Tanpa jeda, tanpa kesempatan bagiku untuk mempersiapkan hati, dia langsung menolak. Aku yang sudah merepotkan banyak orang sepanjang hari, dan kini harus menerima kenyataan pahit. Dalam hitungan detik setelah mengungkapkan perasaanku, cinta pertamaku berakhir dengan jelas dan tegas.


“...Hehe, aku memang sudah menduganya. Aku tetap ditolak, ya,”


“Iya... Perasaanmu membuatku senang, tapi aku tetap merasa kalau Amami-san adalah teman yang berharga,”


“Aku tahu. Terima kasih, Maki-kun. Sudah dengan jelas menolakku,”


Meskipun saat mendengar penolakannya, hatiku terasa berat, tapi setelah mengutarakan semuanya, perasaan sesak yang selama ini ada di dadaku seakan terangkat. Hatiku terasa sedikit lega.


Baguslah. Dengan ini, aku bisa melangkah maju.


“Maki-kun,”


“Ada apa?”


“Pemandangannya indah, ya.”


“Iya. Lain kali kita harus melihat ini juga bersama Umi,”


“Benar. Lain kali, kalian berdua saja yang melihatnya,”


“Tidak, Amami-san, Lain kali, kita lihat bersama-sama bertiga lagi, ya.”


“...Apa boleh?”


“Tentu saja. Tiga orang pasti lebih menyenangkan daripada hanya berdua,”


Ah, begitu ya. Sekarang aku ingat kenapa aku jatuh cinta pada orang ini.


“Terima kasih, Amami-san. Hari ini sangat menyenangkan,”


“...Sama-sama,”


Kupikir dengan begini aku bisa melupakannya sepenuhnya, tapi Maki benar-benar jahat.


Aku memang mengatakan kalau perasaanku terasa lebih lega? Tapi sebenarnya tidak juga. Aku menarik kembali kata-kataku. Meskipun aku sudah tahu hasilnya, meskipun aku sudah siap menerimanya...


Ternyata ditolak rasanya lebih menyakitkan dari yang kubayangkan.


◆   ✧ ₊ ✦ ₊ ✧   ◆


Pov Nitta Nina

Setelah makan malam dengan kari sisa kemarin, aku memutuskan pergi ke rumah Yuu sendiri. Bukan karena dia memintaku datang, tetapi karena aku tahu apa yang dia rencanakan hari ini. Meski seharusnya aku membiarkannya sendirian, jauh dalam hati, aku ingin berada di sana untuk menyambutnya.


Aku tahu apa yang akan dia lakukan hari ini. Itulah mengapa, aku ingin meminta maaf kepadanya. Semua ini dimulai dari egoku, dan aku ingin mengakhiri semua ini dengan caraku sendiri.


Setibanya di rumah keluarga Amami, aku meminta izin kepada Eri-san untuk menunggu Yuu di depan rumah. 


Malam itu terasa sunyi senyap, hanya terdengar suara serangga dari kejauhan. Aku duduk di teras tanpa memainkan ponsel, hanya menunggu dengan tenang sahabatku, Yuu, pulang.


Apa yang sebaiknya aku katakan padanya saat dia tiba?


—“Kamu sudah berjuang keras.”


—“Ayo pergi karaoke sekarang.”


—“Tadi di taman bermain, kamu bersenang-senang, kan?”


Aku bertanya-tanya dalam hati, sambil menunggu bayangan sahabatku muncul di kegelapan malam.


Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Meskipun mungkin tidak ada kata-kata yang salah, semuanya terasa tidak tepat. 


Bagaimana caranya aku bisa berada di sisinya, menghiburnya dengan benar? Aku tak pernah merasa begitu bingung seperti ini sebelumnya.


“──Nina-chan?”


“Eh! ...Yuu-chi,”


Sementara aku tenggelam dalam pikiranku, Yuu tiba-tiba muncul, berlari ke arahku dengan wajah yang penuh kekhawatiran.


“Nina-chan, kamu menangis?”


“Kenapa aku harus menangis? Lagipula, Yuu-chi, bukankah kamu juga sedang menangis sekarang?”


“...Iya. Di depan mereka berdua aku berusaha menahannya, tapi saat sendirian, aku tak bisa lagi menahannya,”


...Jadi begitu.


Yuu telah memenuhi janjinya. Dia sudah mengungkapkan perasaannya pada Maehara dengan penuh ketulusan, dan hasilnya...


“...Maaf,” bisikku, merasa bersalah.


“Kenapa minta maaf? Aku malah bersyukur Nina-chan yang menyadarkanku. Aku senang akhirnya bisa mengungkapkan perasaanku.”


“Tapi... aku membuatmu merasa terluka,”


Aku ingin mengatakannya, tapi suaraku tertahan. Air mata mulai mengalir deras dari mataku. Padahal aku yang memaksa dia untuk melakukan ini, tapi sekarang aku yang menangis.


…Betapa bodohnya aku.


“Licik, Nina-chan. Aku sudah berusaha menahan tangis dan mencoba tersenyum saat bilang ‘Aku pulang’, tapi semuanya sia-sia sekarang.”


“...Maaf, maafkan aku, Yuu-chi.”


“...Uwaaaa!”


Dengan kata-kata maafku sebagai pemicu, Yuu tiba-tiba memelukku erat dan menangis terisak-isak di dadaku. Eri-san yang sempat keluar dari pintu depan rumah karena khawatir, mengintip sebentar. 


Setelah melihat kami berdua dalam pelukan, dia tampak mengerti situasinya dan perlahan masuk kembali ke rumah bersama Rocky, anjing keluarga yang juga tampak khawatir.


“Nina-chan, aku ditolak... dengan mudah, tanpa basa-basi...”


“Yuu-chi, kamu sudah berusaha keras. Kamu hebat.”


“Iya. Aku benar-benar sudah berusaha. Puji aku terus,” katanya sambil terisak.


“Kamu luar biasa, Yuu-chi. Hari ini, kamu adalah orang paling hebat di dunia. Siapa pun yang bilang sebaliknya, akan aku lawan.”


“Terima kasih, Nina-chan... Terima kasih banyak. Dan maafkan aku.”


Selama ini, aku selalu berpikir bahwa Yuu adalah seseorang yang hidup di dunia yang berbeda dariku. Dengan kecantikan dan bakat alami yang dimilikinya, dia seperti magnet kebahagiaan. 


Tapi ternyata, aku salah. Dia adalah gadis biasa, sama seperti diriku. Dia jatuh cinta dengan cara yang sangat normal, dan mengalami patah hati seperti diriku. Dia hanyalah seorang gadis biasa yang menangis karena cintanya ditolak.


“Yuu-chi, bagaimana kalau besok kita pergi karaoke? Ayo ajak Arae, Yamashita-san, lalu kalau mereka sedang luang, ajak juga Nitori-san dan Hojou-san. Ayo kita semua berkumpul.”


“Fufu, ide yang bagus. Seperti klub para korban patah hati,”


“Kalau begitu, artinya hanya kita berdua yang masuk klub itu.”


Setelah menangis sepuasnya, kami berdua tertawa sedikit. Aku tidak tahu apakah pilihan ini adalah yang terbaik. Mungkin ada cara yang lebih baik untuk melakukannya. Namun, aku merasa ini sudah cukup bagi kami berdua.


Mungkin butuh waktu untuk kembali seperti semula, tetapi...


Aku yakin suatu hari nanti, kami akan bisa tertawa bersama lagi seperti biasa.















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !