Kurasu de Nibanme ni Kawaii Onnanoko to Tomodachi ni Natta Prolog 2 V7

Ndrii
0

Prolog

Hei, bagaimana jika denganku?



Setelah berakhirnya periode festival olahraga yang berlangsung dari libur musim panas hingga awal semester dua, kini masuklah kami ke hari sekolah biasa.


Selama ini, hawa panas terasa tak jauh beda dengan musim panas, tetapi mulai minggu ini, suhu mendadak turun, memberi cuaca yang lebih nyaman. Awal musim gugur yang sesungguhnya, begitu kata peramal cuaca di TV.


“Yo, aku datang menjemputmu seperti biasa. Hihi, seperti biasa rambutmu acak-acakan ya.”


“Baru saja bangun, sih… Umi, boleh, ya? Tolong rapikan rambutku lagi hari ini?”


“Hihi, boleh saja. Maki memang anak manja.”


Musim berganti dari panas menuju sejuknya musim gugur, tetapi hubungan kami tetap sama, seperti biasanya. 


Kami menghabiskan pagi bersama hingga waktu berangkat sekolah, dan di sore hari, kami menghabiskan waktu di rumah salah satu dari kami, atau terkadang mampir ke supermarket atau apotek untuk membeli kebutuhan kecil.


Aku rasa, selama ini kami berdua sudah bisa dibilang sukses menjadi pasangan yang serasi, tanpa pernah ada pertengkaran.


“Hmm… hari ini agak susah diatur, ya. Maki, aku pakai sedikit wax, ya. Sekalian aku buat gaya rambut yang aku suka, boleh?”


“Boleh, asal jangan sampai melanggar aturan sekolah.”


Sejak bertemu Umi, kemampuan komunikasiku membaik pesat, dan belakangan ini, penampilanku juga perlahan berubah menjadi lebih rapi… atau setidaknya menurutku begitu. Kantung mata akibat sering begadang juga sudah mulai menghilang sedikit demi sedikit, dan rambutku yang sekarang tertata rapi memberi kesan yang jauh lebih bersih dibanding sebelumnya.


Tentu, aku tahu masih banyak hal yang harus aku perbaiki, seperti kebiasaan hidup dan kemampuan fisik. Tetapi, mengingat kondisiku setahun lalu, kurasa aku sudah boleh memberikan nilai yang cukup untuk diriku sendiri.


…Dan semua ini, tentu saja, berkat kekasihku yang kini ada di hadapanku.


“Hm? Maki, kenapa? Kenapa menatapku? Terpesona karena aku terlalu cantik?”


“Bukan… maksudku, aku hanya… merasa sangat beruntung saja.”


“Karena aku kekasihmu?”


“Y-ya, begitu.”


“Hihi, ya benar sekali. Memang sulit, lho, menemukan pacar yang perhatian, cantik, dan sangat mencintai kekasihnya seperti aku. Hehe.”


Meski sudah sering mendengar kata-kata itu sejak kami mulai berpacaran, Umi selalu tersipu dan tersenyum bahagia setiap kali mendengarnya, seakan ini adalah pertama kalinya. Aku sangat menyukai ekspresi wajahnya yang sedikit memerah, dengan senyum malu-malu yang penuh candaan itu. Bahkan ketika seharian harus menjalani pelajaran yang tidak kusukai, atau merasa kesepian karena harus terpisah di kelas yang berbeda, semua bisa kutanggung sampai pulang sekolah asal ada momen ini.


Bagi diriku, “Asanagi Umi” sudah menjadi bagian penting dalam keseharianku, keberadaannya bagaikan kebutuhan yang tak bisa terpisahkan dari hidupku.


“Sebentar, aku pakai sedikit hair dryer… ya, sudah rapi. Aku siapkan kopi dulu, jadi cepat ganti seragammu ya, Maki.”


“Iya… tapi, sebelum itu…”


“Hm? Apa?”


Saat Umi memandangku dengan ekspresi bingung, aku menunjukkan layar ponselku kepadanya.


“(Maehara) Umi, um…”


“(Maehara) Bolehkah… aku menciummu?”


“Hmm…”


Setelah membaca pesan yang kutulis di layar, wajah Umi perlahan berubah menjadi sedikit nakal.


“Hm? Apaan sih?”


“Tidak ada apa-apa. Kalau Maki memaksa, sih, aku tidak keberatan… tapi…”


“…Tapi?”


“Hari ini, aku ingin Maki bilang secara langsung, tanpa berbisik di telinga seperti biasanya. Tatap aku, dan katakan dengan jelas.”


“Itu… memang benar, sih…”


Meski kami sudah tak terhitung berapa kali berciuman, meminta izin seperti ini tetap saja membuatku merasa malu.


Sejak bertemu dengan Umi, aku merasa sudah tumbuh dewasa secara batin, namun ketika melihat diriku yang masih manja padanya seperti anak kecil, aku justru merasa khawatir bahwa mungkin aku malah semakin kekanak-kanakan.


…tapi, karena hal ini membuat Umi menjadi sangat senang, aku akan terus seperti ini selama Umi tidak memintaku untuk berhenti.


“Baiklah, kita lanjutkan yang tadi, Maki, apa yang ingin kamu lakukan?”


“...umm, di pipi saja cukup, jadi, aku ingin mencium Umi…”


Saat aku hendak mengucapkan itu, tiba-tiba wajah Umi mendekat ke arahku.


—Chuu.


Selama beberapa saat bibir kami saling bersentuhan, kemudian terpisah sebelum sempat meninggalkan kesan lebih lama.


“...Anu, Umi-san”


“Ehehe, hari ini aku yang memulainya duluan. Maaf ya, apa itu mengejutkanmu?”


“...tidak masalah sih”


Namun, jantungku masih berdebar-debar akibat kejutan dari Umi.


Dia benar-benar membuatku bermain di telapak tangannya, Umi selalu saja curang.


…tetapi, meskipun begitu, aku sangat menyayangi Umi.


“Ayo, kita sudah berciuman, cepat ganti baju. …Atau, kamu ingin bermesraan lebih lama?”


“Waktu kita sudah tidak banyak, aku akan bersiap-siap. …Oh, dan ingat saja nanti sepulang sekolah.”


“Fufu, baiklah, aku akan menunggu dengan penuh harap.”


Begitulah, meski hanya sebentar di pagi hari, kami berdua selalu berhasil menjadi pasangan yang sangat mesra, kemudian pergi ke sekolah seperti biasa. 


Sampai bulan lalu, kami sempat tidak bergandengan tangan karena khawatir akan keringat, tapi mulai sekarang hal itu mungkin tidak akan menjadi masalah lagi.


Saat aku menggenggam tangan Umi dengan erat, dia tertawa kecil lalu menyelipkan jarinya di antara jariku.


“Umi”


“Apa?”


“Ini waktunya ya? Sejak saat kita pertama kali menjadi ‘teman’?”


“Iya, benar. …Begitu menyenangkan, hingga waktu berlalu begitu cepat. Bagaimana denganmu, Maki?”


“Perasaanku juga sama. Satu tahun yang sangat menyenangkan dan terasa begitu cepat.”


Saat aku mengingat kembali semua yang telah terjadi, rasanya waktu yang ada tidak pernah cukup untuk menceritakan semua kenangan yang kami lalui.


Selama enam belas tahun sebelum bertemu Umi, kejadian yang meninggalkan kesan mendalam bagiku, bisa kuhitung dengan satu tangan. 


Namun, dalam satu tahun sejak bertemu dengannya, aku memiliki begitu banyak kenangan yang terekam jelas dalam ingatan, bahkan untuk hal-hal kecil sekalipun.


Aku dulu tidak begitu paham apa itu “kenangan” karena aku selalu menjalani masa remaja dalam kesendirian. Baik di rumah maupun di sekolah, tidak ada siapa pun di sekitarku, hanya pemandangan kosong yang terbentang di depanku.


Tidak ada benda atau orang yang bisa aku kaitkan dalam ingatan.


Namun, kini aku memiliki kekasih yang sangat berharga, Umi, dan juga teman-teman yang penting seperti Amami-san, Nitta-san, dan Nozomi.


Di pesta Natal, Umi tampil anggun dalam gaun yang indah, saat mengenakan kimono, dia menggenggam tanganku dengan erat, saat menerima hadiah ulang tahun dariku, wajahnya merona merah hingga ke telinga, dan bahkan saat dia memakai baju renang. 


Kalau saja dia tidak ada di sisiku, aku mungkin tidak akan bisa mengalami semua ini.


“Terima kasih, Umi, sudah menjadi… teman… tidak, terima kasih sudah menjadi kekasihku.”


“Iya. Bersyukurlah lebih banyak lagi… hehe. Aku juga, terima kasih ya, sudah menjadi teman… tidak, sudah menjadi kekasihku.”


“Iya. Nanti malam Natal, kita harus merayakannya lagi.”


“Sudah satu tahun sejak kita bersama, ya? Tapi sebelum itu, kita juga harus merayakan satu tahun persahabatan kita.”


“Iya, kita harus merayakan keduanya dengan baik.”


Entah kami akan merayakan seperti biasa atau mungkin mencoba sesuatu yang lebih istimewa, yang jelas kami harus melakukan sesuatu untuk merayakannya.


Kami mungkin akan mendiskusikan rencana perayaan ini bersama-sama, dan itu pun sudah cukup membuatku bersemangat.


Mulai sekarang, aku akan terus menumpuk kenangan bersama Umi.


◆   ✧ ₊ ✦ ₊ ✧   ◆



Kami berjalan perlahan di jalan menuju sekolah, diterangi sinar lembut matahari pagi yang sedikit lebih hangat. Pagi itu adalah pagi yang cerah, udara segar di bawah langit musim gugur.


“—Senpai, selamat pagi.”


“Eh?”


Saat berjalan di jalan utama menuju sekolah, tiba-tiba terdengar suara dari belakang yang memanggilku.


Aku menoleh dan melihat dua siswa laki-laki berdiri di sana. Mereka memanggilku “senpai,” jadi mungkin mereka adalah siswa kelas satu.


“Ah, umm…”


“Maaf, kami tiba-tiba menyapa senpai. Kami yang saat lomba jalan tiga kaki pernah satu tim dengan senpai…”


“Ah! Pagi! Maaf, aku tidak menyadarinya.”


“Tidak apa-apa, malah kami yang minta maaf kalau membuat senpai terkejut.”


Kami saling menunduk sopan, menciptakan suasana yang agak canggung. Namun, aku merasa senang ketika dipanggil oleh adik kelas seperti ini.


Meski festival olahraga lalu sempat memicu desas-desus aneh karena kecerobohan kami, aku tetap merasa bersyukur bisa bertemu dan berkenalan dengan orang-orang seperti mereka.


“…Maki, kamu senang, ya?”


“Iya.”


Setelah melepas kedua adik kelas yang kembali melanjutkan perjalanan mereka, aku dan Umi pun mengubah arah menuju jalan yang berlawanan dari sekolah. 


Ini adalah kebiasaan kami untuk bertemu Amami-san dan Nitta-san yang biasanya datang belakangan.


Kupikir, persahabatanku dengan Amami-san dan Nitta-san sudah berlangsung cukup lama. Berawal dari hubunganku dengan Umi, aku mulai akrab dengan keduanya. Terutama Amami-san yang merupakan sahabat baik Umi, tapi aku tak pernah menyangka aku bisa berbicara akrab dengan Nitta-san seperti sekarang.


Awalnya, bahkan aku tidak yakin apakah dia mengingatku sebagai teman sekelas. Dia lebih terlihat sebagai “teman dari Amami-san” daripada seseorang yang aku kenal baik. Sungguh, ikatan yang terbentuk ini terasa begitu aneh, namun menyenangkan.


Tentu saja, kepribadian baik Nitta-san juga berperan dalam hal ini.


Saat aku memikirkan hal ini, aku melihat Nitta-san dengan ponytail yang khas, berlari kecil ke arah kami. Biasanya, dia datang bersama Amami-san, tapi hari ini dia datang sendirian, sesuatu yang jarang terjadi.


“—Osu, pasangan bodoh. Cuaca hari ini sejuk, tapi kalian tetap saja panas, ya?”


“Nina, kamu ini… Eh, tapi mana Yuu? Bukannya kalian selalu bersama?”


“Hm? Oh, iya. Aku sudah menghubunginya tadi, tapi katanya, ‘Aku ketiduran, jadi pergi duluan saja…’ Ini buktinya.”


Di layar ponsel Nitta-san, terlihat pesan dari Amami-san yang tampak menyesal, ditemani dengan stiker anjing yang meminta maaf.


‘(Amami) Maaf, Nina-chan…’


‘(Amami-san) Aku ketiduran. Ini sudah tidur untuk kedua kalinya.’


‘(Amami-san) Mungkin aku akan hampir terlambat, jadi kalian duluan saja.’


‘(Amami-san) Oh, sampaikan salamku untuk Umi dan Maki-kun ya…’


“Yuu… Dia tidak menghubungiku sama sekali.”


“Mungkin dia terburu-buru? Jadi, hari ini kita bertiga saja ya. Kalau menunggu Yuu, nanti kita malah yang terlambat.”


“Benar juga. Yah, Amami-san akan baik-baik saja sendiri, kurasa.”


Meskipun Amami-san sekarang sudah kelas dua, kebiasaannya bangun kesiangan belum banyak berubah. Meski frekuensinya berkurang dibandingkan tahun lalu, dia tetap sering terlihat berlari ke kelas tepat sebelum bel berbunyi.


…dan, anehnya, dia selalu tiba tanpa tampak kelelahan sedikit pun. Amami-san tetaplah Amami-san yang kukenal.


Setelah mengetahui keadaan Amami-san, kami bertiga pun melanjutkan perjalanan ke sekolah. 


Biasanya kami berempat, di mana aku dan Umi sebagai pasangan berjalan di depan, diikuti Amami-san dan Nitta-san di belakang.


“…Nitta-san”


“Ya? Ada apa?”


“Hari ini, kamu ada di sebelahku, ya?”


“Iya, hari ini kan aku tidak ada teman ngobrol. Ketua, hari ini kamu beruntung, dikelilingi dua bunga, nih. Bikin iri aja kan?”


“Bukan seperti aku yang menginginkannya…”


Padahal dia bisa memilih untuk berjalan di samping Umi, namun entah kenapa Nitta-san malah berada di sebelahku, membuat posisiku berada di tengah-tengah antara Nitta-san dan Umi.


Di satu sisi, ada Umi yang merupakan kekasihku, jadi tidak ada masalah. Namun di sisi lain, ada Nitta-san, dan ini membuatku merasa sedikit canggung.


“…Nina, kamu agak terlalu dekat dengan Maki, ya?”


“Begitukah? Tapi kalau kita terlalu berjauhan, nanti malah mengganggu orang yang lewat.”


Kami berjalan di sepanjang trotoar di pinggir jalan utama, yang lebarnya tidak terlalu luas. Ada beberapa siswa yang terburu-buru karena tugas pagi, latihan klub, atau urusan lain, jadi sudah menjadi kesepakatan tak tertulis bahwa kami meninggalkan satu jalur agar orang lain bisa lewat, mirip dengan jalur cepat di jalan tol.


Jadi, apa yang dikatakan Nitta-san sebenarnya masuk akal… namun tetap saja.


“Ah, ketua. Ada sepeda di belakang.”


“Hah? Oh, i-iya…”


Nitta-san mendekat ke arahku untuk memberi ruang bagi siswa yang bersepeda lewat.


Pada saat yang sama, wajah Umi, yang sedang bergandengan tangan denganku di sisi lain, berubah sedikit cemberut.


“Ninaaa?”


“Tidak, tidak. Aku hanya menghindar agar tidak tertabrak sepeda.”


“…Lalu, kenapa tanganmu menggenggam lengan Maki?”


Seperti yang ditunjuk oleh Umi, saat ini kedua tangan Nitta-san mencengkeram lengan seragamku dengan kuat.


Sepeda itu sudah berlalu, jadi seharusnya dia bisa segera melepaskannya, namun…


“Ah, maaf, maaf. Sudah kebiasaan.”


“Kebiasaan…? Tapi Nitta-san, kamu biasanya tidak melakukan ini, kan?… Dan Umi, tolong jangan cubit pinggangku.”


“…Hmph.”


Umi akhirnya melonggarkan cubitannya, meski jarinya masih mencengkeram lemak di pinggangku.


Mungkin bagi Nitta-san ini hanya sekadar iseng, namun dia belum pernah menunjukkan kedekatan fisik seperti ini denganku sebelumnya.


Bagaimanapun juga, jelas ada yang berbeda dari biasanya.


“…Nitta-san, kamu kenapa?”


“Hm? Ada apa, ketua? Jangan tatap aku terus, seram, tahu.”


“Siapa yang membuatku begini? Maksudku, kamu kelihatan berbeda dari biasanya, jadi… apa ada sesuatu yang terjadi?”


“Oh, ya. Aku ditolak setelah menyatakan perasaanku pada Takizawa-kun saat festival olahraga kemarin.”


“Apa?”


“APA?”


Dari mulut Nitta-san, keluar berita mengejutkan yang langsung membuat aku dan Umi terdiam.


Tak heran jika dia bertingkah aneh.


“Kamu menyatakan perasaan pada Takizawa-kun? Nina, kamu serius?”


“Seriuslah. Tidak mungkin aku bohong tentang hal semacam ini.”


“…Kalau begitu, apa Yuu tahu soal ini?”


“Belum. Kalian berdua adalah yang pertama kukasih tahu.”


“Kamu ini… benar-benar…”


Aku memang sempat melihat beberapa pasangan menyatakan perasaan mereka setelah festival olahraga, tapi tak pernah menyangka kalau salah satu dari mereka adalah dua orang yang kukenal baik.


Apakah Nitta-san sebenarnya merasa sedikit kesepian belakangan ini karena hal itu?


Namun, kalau begitu, kenapa dia mendekat padaku? Rasanya tidak seperti Nitta-san yang kukenal.


“Oh iya, ketua, Sabtu ini kamu ada acara selain jalan dengan Umi?”


“Hah? Belum ada rencana khusus sih… Nitta-san, kamu ada rencana?”


“Yep. Hari itu ada festival kembang api di pusat kota, kan? Tahun lalu dibatalkan karena cuaca buruk, jadi aku ingin pergi tahun ini.”


“Maaf, aku belum dua tahun di sini, jadi aku tidak tahu… Umi, kamu tahu soal ini?”


“Iya, ada kok. Lokasinya agak jauh, tapi ini tempat yang terkenal. Semua orang di sini pasti pernah dengar. Kebanyakan siswa di sekitar sini pernah ke sana setidaknya sekali.”


Menurut Umi, festival kembang api itu diadakan di taman besar dengan kolam besar di pusat kota. Bahkan stasiun TV lokal sering meliputnya, jadi ini acara yang cukup terkenal.


Kemungkinan besar akan sangat ramai nanti, dan mungkin kami malah tidak bisa menikmati kembang apinya dengan nyaman.


“…Ketua, tidak perlu terlalu memikirkannya, tahu.”


“Aku tidak suka keramaian…”


Melihat kembang api yang besar menghiasi langit dari jarak dekat memang tidak buruk, namun, secara pribadi, bagiku hal-hal kecil seperti kembang api sederhana yang kami lakukan pada liburan musim panas lalu sudah lebih dari cukup.


“Nah, ayolah. Anggap saja kamu menghibur teman yang sedang patah hati.”


“Meskipun kamu bilang begitu… Apa kamu sudah bicara dengan Amami-san atau yang lainnya tentang ini?”


“Tidak, tidak juga. Aku hanya mengajak kamu saja, Ketua.”


“Hah?”


Dengan ekspresi bingung, aku dan Umi sama-sama mengernyitkan dahi mendengar jawaban Nitta-san yang menurutnya begitu wajar. 


Kupikir dia mengajak semua orang ke festival kembang api. Biasanya kami pergi berlima, dan kalau jadwalnya pas, mungkin kami akan mengajak Nakamura-san atau Takizawa juga, agar lebih ramai.


Tempat seperti festival akan lebih baik jika dikunjungi dalam kelompok, dan seharusnya Nitta-san juga memahami hal itu.


“Nina, maksudmu, kamu tidak sedang mencoba mengajak pacarku untuk berkencan, kan?”


“… Yah, hasilnya memang begitu, sepertinya.”


“Apa? Nitta-san, kamu mengajakku?”


“Iya. Entah kenapa aku merasa ingin bicara berdua saja dengan Ketua. Dan festival kembang api rasanya cocok untuk itu.”


“Aku benar-benar tidak mengerti…”


Ajakan tak terduga dari Nitta-san membuatku terdiam, dan bahkan Umi di sebelahku tampak tidak tahu harus bereaksi seperti apa.


Mengajak Nitta-san yang sedang patah hati untuk bersenang-senang mungkin tidak menjadi masalah. Bagaimanapun, dia adalah teman yang penting bagi kami, sama seperti Amami-san atau Nozomi. Namun, niatnya untuk pergi berdua denganku terasa aneh.


“Ketua… Maaf kalau ini mengganggumu yang lagi bersama pacar, tapi…”


“Kalau kamu merasa begitu, bukankah sebaiknya kamu menahan diri saja…”


“Nah, itu yang agak sulit bagiku.”


Tanpa gentar oleh tatapan Umi yang penuh ketidaksenangan, Nitta-san menatapku dan berkata dengan nada penuh keyakinan.


“Ketua. Tolong, maukah kamu… pergi kencan denganku?”


Siapa sangka, tahun yang baru bagi aku dan Umi akan dimulai dengan cara seperti ini.















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !