Gakkkou ichi no bishoujo to shin'yū dōshi no ren'ai sōdan ni notte itara Chapter 1

Ndrii
0

Chapter 1

Diperhatikan Oleh Boss Paling Populer 




Apa yang paling tidak disukai oleh seorang siswa SMA biasa seperti aku saat menjalani kehidupan sekolah? Jawabannya adalah waktu istirahat. Mungkin dengan mengatakan ini, orang-orang akan berpikir aku dibully atau menjadi seorang penyendiri, tapi bukan itu masalahnya. Saat ini, aku termasuk dalam kelompok anak laki-laki teratas dalam hirarki kelas. Mungkin kalian berpikir aku menderita karena menjadi bahan lelucon atau pesuruh, tapi juga bukan itu masalahnya. Tentu saja, aku bukan anggota inti dari kelompok teratas ini atau memiliki status yang begitu tinggi. Jujur saja, penampilanku benar-benar terlihat seperti orang yang paling rendah di kelompok ini, seorang karakter penyendiri. Jadi, jika harus menggambarkan posisiku, kata ini sangat cocok. Ya... aku hanyalah udara.


"Entah kenapa rasanya tidak puas," gerutu dengan suara kuat seorang teman sekelas di sampingku. Namanya Hirasawa Leo. Dengan rambut cokelat terang alami dan wajah tampan dengan hidung mancung, ditambah postur tinggi dan kaki yang panjang, kata "bishōnen" (pria tampan) sangat cocok untuknya. Dia yang sekarang duduk santai di atas mejaku bisa dibilang sebagai salah satu siswa laki-laki paling populer di kelas, bahkan di sekolah. Tidak hanya wajahnya, tapi dia juga berbakat dalam olahraga dan nilainya bagus. Sebagai orang biasa, aku hanya bisa iri padanya.


"Ada apa, Leo?"


Leo adalah sosok yang bisa disebut sebagai pusat kelas, dan anak laki-laki yang mendekatinya juga berada di tingkat teratas hirarki kelas. Ada Sato dari klub sepak bola, Suzuki dari klub tenis, dan Tanaka dari klub baseball. Semua laki-laki yang mendekati Leo memiliki sifat extrivert dan merupakan playboy yang berpengalaman dalam menjalin hubungan dengan perempuan sejak SD.


"Entahlah, rasanya ada sesuatu yang pengen kulakukan tapi aku tidak bisa mengingatnya. Padahal tinggal sedikit lagi."


"Ah, aku tahu perasaan itu."


"Iya, iya, aku juga pernah mengalami hal yang sama baru-baru ini."


Begitu Leo berbicara, anak laki-laki lainnya mulai mengoceh mengikutinya. Ini bisa dibilang dasar dari percakapan kelompok ini. Jadi, percakapan terjadi di sekitarku, dan secara alami semua orang mengalihkan pandangan mereka ke arah orang yang berbicara. Dan ketika percakapan seperti ini berlanjut, tiba-tiba suara seorang anak perempuan terdengar dari arah yang tak terduga.


"Nee, nee, Leo!"


Pandangan semua orang beralih ke anak perempuan itu. Wajar saja jika kelompok teratas didekati oleh anak perempuan. Kali ini, gyaru terkenal di kelas menatap Leo dengan pandangan penuh kekaguman.


"Kemarin kita berdua pergi menonton pertandingan klub basket lho!"


"Hm? Oh."


"Sumpah keren banget. Tembakan Leo pas pertandingan berakhir. Keren banget! Iya kan?"


"Iya, iya! Benar-benar hebat! Leo keren banget!"


"Ah, terima kasih."


Leo menjawab dengan agak dingin. Sebagai ace klub basket, Leo tampil luar biasa dalam pertandingan latihan kemarin. Dia menarik perhatian dan kekaguman dari anak-anak perempuan sekelas yang menonton. Sebenarnya, banyak anak perempuan yang menyukai Leo sampai-sampai ada fan club untuknya. Gyaru sekelas ini sepertinya menyukai Leo dan sering mengajaknya bicara.


"Hari ini, ayo kita pergi main! Ke karaoke gitu!"


"Banyak banget cewek yang pengen main sama Leo lho." Gyaru-gyaru itu terus mendesak. Meski kata-kata mereka ringan, mereka menarik dan berpenampilan serta bergaya bagus. Jika aku yang didekati gadis-gadis seperti itu, wajahku pasti akan memerah. Tapi Leo menguap dan sepertinya tidak terlalu mendengarkan pembicaraan mereka.


"Maaf, aku sibuk dengan kegiatan klub. Lain kali ya."


"Eeh, kok nolak terus sih! Kalau gitu, aku bakal coba ajak Alisa juga deh."


Mendengar nama itu, anak laki-laki selain Leo mulai ribut.


"Dia bakal datang?"


"Serius? Aku juga mau ikut!"


"Hei. Jangan seenaknya pakai namaku."


Seolah merespon nama itu, suara anak perempuan lain terdengar. Seorang gadis dengan wajah kesal mendekati anak laki-laki itu sambil menatap mereka dengan pandangan merendahkan. Ah, dia adalah gadis paling populer di sekolah ini.


"Maaf, maaf. Tapi kalau Alisa ikut, mungkin Leo juga bakal..."


Anak laki-laki selain Leo menatap gadis itu dengan pandangan terpesona.


"Kalau cuman perempuan aja mungkin tidak apa-apa, tapi kalau ada laki-laki, aku menolak."


Gadis cantik itu langsung menolak permintaan para gyaru. Yah, aku belum pernah mendengar dia bermain bersama anak laki-laki.


Nama gadis itu adalah Asahina Alisa.


Rambut platinum blonde dan mata emerald birunya bersinar bahkan dari kejauhan, dan jika dilihat tanpa bias, wajahnya jauh lebih cantik daripada idol-idol yang sering muncul di TV. Tangan dan kakinya yang tanpa cacat memiliki proporsi model yang langsing, dengan lekuk tubuh yang tepat di tempat yang tepat. Senyumnya yang sesekali terlihat luar biasa manis. Keluarganya juga dikabarkan mengelola sebuah perusahaan, menjadikannya putri seorang CEO kaya raya. Sebagai tambahan, kemampuan fisiknya juga tinggi, menunjukkan bakat luar biasa dalam apapun yang dia lakukan. Tentu saja, dia juga peringkat satu di angakatnn. Kesempurnaan sampai tingkat ini bahkan terasa berlebihan. Bisa dibilang lebih dari setengah anak laki-laki di sekolah jatuh cinta padanya. Kalau tidak salah, tiga anak laki-laki di sini juga menyukai Asahina-san.


“Hei Asahina. Minggu depan ada pertandingan sepak bola! Ka-kalau kamu mau, datanglah untuk menonton!” 


“Asahina-san, kalau karaoke tidak bisa... Seenggaknya makan bareng aja!”


“Maaf, tapi aku skip. Aku sibuk.”


Namun, seolah-olah dia bisa melihat perasaan cinta para anak laki-laki itu, dia menolak mereka dengan tegas. Sungguh menyedihkan.


“Aduh, Alisa ini...”


Melihat sikap Asahina-san, gadis bertubuh mungil di sebelahnya, Otsuki-san, menegurnya dengan lembut. Kelompok perempuan ini adalah kelompok teratas dengan Asahina Alisa sebagai pusatnya.


Untuk laki-laki ada Leo. Untuk perempuan ada Asahina-san. Bisa dibilang mereka berdua yang paling berpengaruh di kelas. Orang-orang yang selalu menjadi pusat perhatian memang selalu unggul dalam penampilan dan memiliki kekuatan bicara. Meskipun mereka tidak selalu mengatakan hal-hal yang menarik, tetapi setiap kata-kata mereka memiliki pesona yang berbeda. Jika Leo berbicara, itu akan menjadi topik pembicaraan, dan jika Asahina-san berbicara, itu akan menjadi pendapat dari pihak perempuan. Aku rasa itulah yang disebut sebagai karisma. Tidak diragukan lagi, kelas ini... Bahkan mungkin seluruh angkatan ini berputar di sekitar mereka berdua.


“Alisa, dengarkan juga dong~! Leo benar-benar hebat lho!”


Matoba-san, seorang gyaru yang menyukai Leo, mengangkat tangannya dengan berlebihan.


“Pertandingan basket kemarin. Sisa waktu 10 detik, tertinggal satu poin. Begitu sekolah kita berhasil merebut bola, Leo mulai berlari, menerima operan di detik-detik terakhir dan melakukan tembakan! Dia mencetak poin pas pertandingan berakhir dan membalikkan keadaan! Apa ya istilahnya...”


“Buzzer beater, kan?”


“Ah iya, itu dia!”


Matoba-san mengangguk besar menanggapi komentar Suzuki. Memang benar, Leo sangat luar biasa di pertandingan kemarin.


“Dia benar-benar keren! Aku jadi jatuh cinta lagi... Iya kan!”


Matoba-san bergelayut di lengan Leo, seolah-olah ingin menempelkan dadanya.


Pendekatan yang begitu terang-terangan. Memang hebat gyaru yang extrovert, bisa mendekati laki-laki yang disukainya dengan begitu agresif. Melihat bagaimana mereka berusaha menaklukkan laki-laki yang mereka sukai dengan cara seperti ini, aku jadi belajar sesuatu. Meskipun aku tidak akan menirunya.


“Ah, tidak ada yang istimewa kok.”


Leo mengibas-ngibaskan tangannya dengan tidak suka, melepaskan diri.


“Aku juga berpikir itu hebat lho. Sampai-sampai aku berteriak tanpa sadar!”


Miyoshi-san menimpali, seolah ingin berbagi perasaan dengan Matoba-san. Dua gyaru extrovert ini memuji-muji Leo. Tapi meski begitu, ekspresi Leo tetap tidak berubah.


“Lagian, yang lebih hebat itu Ryoua yang berhasil merebut bola dan memulai serangan.”


“Jangan merendah dong! Leo memang hebat!”


“Memang pantas jadi ace klub basket!”


Sementara Leo tidak merespon pendekatan para gadis, anak laki-laki di sekitarnya malah memuji-mujinya. Dengan keributan seperti ini, semua orang jadi tahu betapa hebatnya Leo. Leo memang hebat. Akhir-akhir ini aku sering sekali mendengar kata-kata seperti “Leo memang hebat ya”.


“Wah, kalau bisa menang dengan permainan kayak gitu, memang hebat ya.”


“Benar juga.” Karena isi pembicaraannya memang luar biasa, bahkan Asahina-san dan Otsuki-san ikut memuji dengan tulus. Kalau yang dipuji bukan Leo tapi anak laki-laki lain, pasti anak itu akan menangis saking senangnya. Pada akhirnya, jika laki-laki paling populer di sekolah berprestasi, semua orang akan memujinya. Kalau ini aku, pasti tidak akan jadi keributan seperti ini. Karena Leo adalah sosok karismatik di antara anak laki-laki, makanya dia dipuji oleh semua orang. Tapi Leo seharusnya tidak peduli dengan pujian seperti itu...


“Be-begitu ya. Terima kasih.”


Sungguh langka melihat Leo malu-malu karena kata-kata seorang gadis. Leo yang tidak pernah menunjukkan sedikitpun reaksi terhadap pendekatan banyak gadis, untuk pertama kalinya aku melihatnya malu-malu. Yah, mungkin bahkan Leo pun akan malu jika dipuji oleh Asahina-san, gadis tercantik di kelas, bahkan di sekolah. Setelah itu, pembicaraan terus berlanjut dengan Leo dan Asahina-san sebagai pusatnya. Nah, mungkin kalian sudah menyadarinya, tapi meskipun aku termasuk dalam kelompok extrivert ini, aku sama sekali tidak pernah mengeluarkan sepatah kata pun. Tentu saja. Karena aku hanyalah udara. Sejak awal, aneh rasanya aku bisa tergabung dalam kelompok extrovert ini. Aku benar-benar benci waktu istirahat ini. Tapi aku tidak bisa keluar dengan mudah.


“Ah, aku ingat!”


Tiba-tiba Leo berteriak. Lalu dia menepuk mejaku dengan keras.


“Ryouma! Kamu bilang sudah membeli volume terbaru manga yang kupinjam tempo hari kan! Biarkan aku membacanya malam ini!”


“Eh?”


“Aku pengen membacanya secepat mungkin tapi aku lupa. Itu terus mengganggu pikiranku. Syukurlah aku bisa mengingatnya!”


Semua orang menatapku dan Leo dengan ekspresi terkejut karena topik yang tiba-tiba berubah. Aku tidak menginginkan perhatian semacam ini. Dengan wajah heran, Suzuki angkat bicara.


"Leo dan Kogure... Kalian benar-benar akrab ya."


"Ya!" kata Leo.


"Aku dan Ryouma adalah teman masa kecil, jadi wajar aja kan!"


Alasan mengapa aku, Kogure Ryouma, berada dalam kelompok extrovert ini hanyalah karena aku adalah teman masa kecil dan sahabat baik Hirasawa Leo. Sejak awal aku tidak berniat bergabung dengan kelompok extrovert. Aku hanya ingin menghabiskan waktu istirahat dengan santai. Tapi setiap kali istirahat, Leo selalu datang ke kursiku, lalu anak laki-laki lain berkumpul, diikuti gadis-gadis yang menyukai Leo, dan akhirnya terbentuklah kelompok kasta atas. Tolong lakukan sesuatu dengan atmosfer aneh yang mengambang di sekitar kursiku. Ah, mereka pasti berpikir atmosfer ini karena aku. Menyedihkan.


◇◇◇


Diselamatkan oleh bel tanda pelajaran dimulai, aku menjalani kehidupan sekolah seperti biasa. Setelah sekolah usai, aku tidak bisa langsung pulang dan menikmati waktu sendirian. Karena tak lama kemudian, jendela kamar di rumah sebelah akan terbuka dengan suara keras, dan terdengar langkah kaki di atap. Mungkin kalian berpikir itu pencuri, tapi tidak mungkin. Ini adalah hal biasa, dan tak lama kemudian jendela kamarku terbuka lebar.


"Aku masuk ya."


Yang muncul adalah Hirasawa Leo. Teman sekelasku dan teman masa kecilku. Leo datang ke kamarku setiap hari. Dia datang dengan perasaan yang sama seperti saat dia mendatangi kursiku saat istirahat. Hubunganku dengan Leo, teman masa kecilku, sudah terjalin sejak sebelum kami bisa mengingat. Rumah kami bersebelahan dan keluarga kami akrab, jadi kami bisa saling mengunjungi kamar melalui atap dan jendela.


"Hei, Ryouma."


"Manga yang kamu bicarakan ada di rak buku."


"Lebih dari itu... Sniff sniff. Bau ini pasti kare kan! Biarkan aku makan!"


"Bukannya kamu sudah makan malam?"


"Kare buatan Ryouma itu dessert! Perut yang berbeda, perut yang berbeda."


Perut kami yang masih remaja dan aktif dalam klub olahraga bisa dibilang tak terbatas. Aku yang menjadikan memasak sebagai salah satu hobiku, sering memasak makan malam menggantikan orang tuaku yang sama-sama bekerja. Di antara masakanku, yang paling disukai Leo adalah nasi kare. Aku tidak menggunakan cara memasak yang khusus. Bahkan bumbu karenya pun yang dijual di toko. Sepertinya Leo menyukai kare manis buatanku.


"Kamu sudah menyiapkan bagianku juga kan?"


"Yah, kayak biasa."


"Wuhu! Ryouma memang hebat! Aku bakal membaca manga sambil menunggu."


Leo mengambil buku yang dia inginkan dari rak buku dan berbaring di tempat tidurku. Kemungkinannya 50% dia akan asyik membaca manga, dan 50% dia akan tertidur, tapi aku pergi ke dapur di lantai satu sementara Leo membaca. Aku segera memanaskan kembali panci besar kare dan menyiapkan nasi di mangkuk yang sudah kusiapkan untuk Leo. Saat itulah pintu ruangan dekat dapur terbuka.


"Nii-Nii."

(Tln : di ambil dari kata onii (kakak), mirip kek yg di overflow)


Di sana ada seorang malaikat. Adik perempuanku yang sedarah denganku, mengucek matanya dan menguap dengan mulut kecilnya. Dia berlari-lari kecil mendekatiku.


"Ada apa, Hiyori?"


"Mm, aku terbangun karena mencium bau kare buatan Nii-Nii."


"Ah, maaf sudah membangunkanmu."


Aku biasanya menidurkan Hiyori yang baru berumur lima tahun sekitar pukul 8 malam... Tapi sepertinya dia terbangun. Yah, memang adik yang jauh lebih muda itu luar biasa imut tanpa perlu bias. Senyumnya yang menggemaskan itu benar-benar tak tertahankan.


"Apakah Leo datang?"


"Ya, kayak biasa."


Hiyori naik tangga dan menerobos masuk ke kamarku.


"Leo~"


"Oh, bukankah ini Hiyori."


Begitu masuk ke kamar, Hiyori langsung memeluk Leo dari depan.


Adikku sangat dekat dengan Leo, memperlakukannya seperti kakak tetangga yang lebih tua.


"Kapan Leo akan menikah dengan Hiyori?"


"Kalau aku tidak bisa menikah, mungkin aku bakal memintamu."


"Baiklah!"


"Tidak boleh."


Aku memotong pembicaraan mereka karena mendengar kata-kata yang tidak bisa diabaikan.


"Pas Hiyori berumur 20 tahun, Leo sudah berumur 30 tahun kan. Aku tidak akan mengizinkan adikku merawat om-om kayak gitu."


"Ryouma benar-benar kejam kalau menyangkut Hiyori ya. Dasar siscon."


Aku ingin adikku bahagia. Meskipun aku tahu Leo adalah orang baik, aku tidak bisa mengabaikan perbedaan usia.


"Hiyori, kembali ke kamarmu. Ayah dan ibu bakal segera pulang."


Aku mengeluarkan Hiyori dari kamar dan memberikan kare yang kubawa kepada Leo.


"Ooh~! Baunya enak!"


"Aku juga sudah menambahkan keju."


"Hebat kayak biasanya! Kalau Ryouma perempuan, aku pasti bakal menjadikanmu pacarku."


Jujur, aku merasa mungkin aku terlalu banyak mengurusi urusannya. Jika aku atau Leo adalah perempuan, mungkin berbagai kisah cinta akan terjadi. Tapi sayangnya, hubungan aku dan Leo hanyalah sebatas teman laki-laki. Tapi jujur, aku merasa tidak apa-apa dengan itu. Kasta teratas di kelas. Aku sangat senang Leo, yang paling populer di sekolah, mengatakan bahwa aku adalah sahabatnya. Aku pikir kami akan terus menghabiskan waktu seperti ini. Setidaknya itulah yang kukira. Itulah yang kuasumsikan.


Itu terjadi ketika Leo sudah menghabiskan setengah kare buatanku.


“Hei, Ryouma.”


“Mau tambah? Tapi itu masih ada setengah kan?”


“Aku ingin berkonsultasi denganmu tentang sesuatu.”


Sebagian besar percakapan kami sebagai teman masa kecil hanyalah lelucon dan candaan. Bahkan ketika dia bilang ingin berkonsultasi, tidak pernah ada konsultasi yang serius. Jadi kupikir kali ini pasti tentang PR besok yang belum dikerjakan atau lembaran penting yang tertinggal di sekolah.


“Aku... Kayaknya aku menyukai seseorang.”


“Hee, begitu ya. Leo, sejak SD kamu populer di kalangan anak perempuan dan sering ditembak kan? Tapi kamu selalu menolak dengan alasan tidak mengerti soal cinta. Leo yang kayak gitu punya orang yang disukai... Eh? Serius?”


“...Ya.”


“...Eeeeeeeeh!?”


Mungkin hanya aku di dunia ini yang bisa terkejut sampai seperti ini. Karena Leo benar-benar tidak pernah tertarik dengan cinta sebelumnya. Dari SD hingga SMP, banyak anak perempuan yang menyukainya, tapi dia sama sekali tidak menunjukkan minat. Bahkan setelah masuk SMA, dia terus menolak berbagai pernyataan cinta dengan alasan fokus pada basket. Leo begitu tidak mengenal cinta sampai-sampai ada yang salah paham bahwa dia lebih menyukaiku daripada anak perempuan.


“Aku terus memikirkan dia.”


“Be-begitu ya. Yah... Aku terkejut.”


“Aku... Apa yang harus kulakukan?”


Rasanya anak laki-laki sekelas Leo bisa mendapatkan gadis manapun jika dia menyatakan perasaannya. Mungkin yang sulit hanyalah gadis yang setara dengan Leo. Seolah-olah ada sesuatu yang meluap di dadanya, Leo meletakkan mangkuk kare yang masih tersisa setengah di lantai, mengungkapkan perasaan cintanya.


Tidak kusangka Leo yang suka makan banyak tidak menghabiskan karenya. Aku merasa dia pasti sangat menyukai gadis itu.


“Jadi, siapa yang kamu sukai? Karena kamu berkonsultasi denganku, kamu bakal memberitahuku kan?”


“Ya, aku cuman bisa mengatakan ini pada sahabatku, Ryouma.”


Leo yang tampan dan berbakat bergantung padaku yang tidak punya keistimewaan apa-apa. Meskipun ini hal biasa, aku merasa senang dan ingin membantunya. Aku mendengarkan dengan seksama.


“Hari ini juga, setelah berbicara dengannya, jantungku berdebar. Mungkin aku benar-benar menyukainya.”


“Karena kamu bilang berbicara hari ini, apakah dia ada di kelompok anak perempuan tadi?”


Leo mengangguk. Serius... Kalau begitu, yang pertama terpikirkan adalah Matoba-san atau Miyoshi-san, gadis-gadis gyaru yang menyukai Leo. Jika Leo menyukai salah satu dari mereka, itu akan jadi cinta berbalas dan selesai dengan mudah.


“Apakah itu Matoba-san atau Miyoshi-san?”


“Kenapa harus mereka? Aku sama sekali tidak tertarik.”


Ternyata bukan ya. Tapi sepertinya Leo tidak menyadari bahwa mereka berdua menyukainya. Laki-laki populer memang bisa memilih sesuka hati ya. Padahal mereka berdua juga cantik. Kalau begitu, pasti Asahina-san, gadis paling populer di sekolah.


“Kalau begitu, bahkan untuk Leo pun mungkin akan sulit.”


“Benar juga. Saat dia tersenyum, dia manis banget, dan aku yakin sifatnya pasti baik.”


Aku merasa itu sangat tidak sopan, tapi ternyata orang yang disukai Leo bukan Asahina-san. Tidak, Asahina-san memang sangat cantik, tapi apakah sifatnya baik? Aku merasa dia sangat kejam pada anak laki-laki, dan jujur aku merasa segan padanya. Dengan takut-takut aku bertanya pada Leo, “Orang yang kamu sukai itu Asahina-san kan?”


“Hah?”


Suara yang kembali dari Leo jelas-jelas kesal.


“Sama sekali bukan. Asahina itu pasti sifatnya buruk. Aku merasa tidak cocok dengannya.”


Dia menunjukkan rasa tidak suka yang jelas. Yah, jujur... Aku sama sekali tidak punya bayangan bahwa Leo dan Asahina-san akrab. Hmm...? Jadi siapa gadis yang disukai Leo? Aku benar-benar tidak tahu.


“Itu lho... Gadis itu.”


Mungkin karena merasa tidak sabar dengan kebingunganku, Leo berkata dengan malu-malu.


“Gadis kecil yang selalu bersama Asahina.”


Saat itulah aku teringat. Ada empat orang di kelompok anak perempuan itu: Asahina-san sebagai pemimpin, Matoba-san dan Miyoshi-san dengan gaya bicara dan penampilan gyaru mereka yang mencolok. Dan yang tersisa adalah... Ya. Gadis sederhana yang selalu tersenyum kecil di belakang Asahina-san. Meskipun kesan yang ditinggalkannya tipis, aku mengingatnya. Gadis itu!


“Otsuki-san!”


◇◇◇


Keesokan paginya, setelah menyelesaikan latihan pagi klub basket, aku sendirian datang ke sini. Sebuah lapangan berumput di belakang gedung olahraga sekolah. Tempat ini memang lapangan berumput, tapi di ujungnya ada kebun bunga besar yang menjadi tempat kegiatan klub berkebun.


Dan setiap pagi, Otsuki Shizuku, anggota klub berkebun dari kelas yang sama, rajin beraktivitas di sini. Sekarang, dia mengenakan pakaian olahraga dan sedang mengurus tanah di kebun bunga. Sampai sekarang, meskipun kami sekelas, kami tidak pernah berinteraksi atau berbicara. Tapi karena dia adalah orang yang disukai Leo, ceritanya jadi berbeda.


“Otsuki-san ya.”


Jujur, kesan tentang gadis ini sangat samar. Dia selalu bersama Asahina-san, gadis karisma kelas, dan aku hanya punya bayangan Otsuki-san tersenyum atau mengangguk setuju. Dia tidak banyak mengekspresikan diri dan bukan tipe yang mencolok. Jujur, aku bahkan jarang melihat wajahnya. Lalu aku teringat percakapanku dengan Leo tadi malam.


“Apa sebaiknya aku langsung menyatakan perasaanku?”


Aku tidak bisa menyetujui pertanyaan itu. Entah kenapa Otsuki-san terlihat seperti tipe gadis yang pendiam. Jika laki-laki tampan dan ekstrovert seperti Leo tiba-tiba menyatakan perasaan, mungkin dia akan terkejut. Aku menyuruh Leo untuk menunggu dulu, dan kami sepakat bahwa aku akan mencoba berbicara dengan Otsuki-san. Meskipun ini demi sahabatku, aku jadi harus menyapa gadis yang sama sekali tidak akrab denganku. Jujur, aku tidak pandai berurusan dengan anak perempuan, dan menyapa mereka juga tidak mudah. Meskipun aku termasuk dalam kelompok extrovert, pada dasarnya aku adalah laki-laki introvert yang tidak populer. Tapi karena Leo mengandalkanku, aku ingin membantunya. Kalau aku bisa mengetahui apa yang disukai Otsuki-san atau apapun, mungkin itu bisa membantu. Tidak masalah jika aku tidak bisa berbicara dengan baik dan dibenci. Aku sendiri tidak akan terluka jika dibenci oleh anak perempuan. Aku menarik napas dalam-dalam dan perlahan mendekati Otsuki-san.


“Se-selamat pagi... Otsuki-san.”


“Eh?”


Otsuki-san yang mengenakan pakaian olahraga berbalik. Tubuh mungil dengan mata besar dan wajah cantik. Rambut berwarna madu yang diikat ponytail dengan pita merah muda yang cocok. Aku tidak terlalu tahu, tapi mungkinkah Otsuki-san sebenarnya berwajah imut? Selama ini aku tidak menyadarinya karena dia selalu tertutupi oleh Asahina-san.


“Um... Kogure-kun?”


Aku selalu berbicara dengan sopan kepada anak perempuan. Alasannya adalah karena aku merasa lebih mudah berbicara seperti itu kepada orang yang lebih tua atau anak perempuan. Otsuki-san melihat sekeliling dengan bingung. “Apakah kamu menyapaku?”


“Iya. Um, itu. A-aku selalu melihatmu... Jadi kupikir aku akan menyapa.”


“Ah... oh, begitu... ya.”


Di sini, percakapan antara aku dan Otsuki-san terhenti. Aku berhasil menyapa, tapi aku tidak tahu harus berkata apa selanjutnya. Aku ingin tahu tipe laki-laki yang disukai Otsuki-san, tapi aku tidak bisa langsung menanyakan itu. Tapi aku tidak tahu bagaimana harus mengarahkan percakapan ke sana. Aku bodoh. Saat aku sedang berpikir apa yang harus kulakukan, Otsuki-san melihat ke arah gedung olahraga.


“Um, Kogure-kun itu anggota klub basket kan? Apakah tadi latihan pagi?”


Otsuki-san lah yang mencoba mencari topik pembicaraan. Dia orang yang baik!


“Ah, iya. Tapi tidak melakukan hal yang istimewa sih... haha.”


Percakapan terhenti. Tidak, aku terlalu payah! Jika lawan bicara menyebutkan kata kunci “klub”, aku harus meresponsnya.


“Otsuki-san anggota klub berkebun kan? Apakah kalian juga menanam sayuran di sini?”


Aku tahu ada kebun sayur selain kebun bunga di sini. Otsuki-san mengangguk.


“Apa yang kalian lakukan dengan sayuran yang dihasilkan?”


“Biasanya anggota klub membawanya pulang, tapi kalau ada sisa, kami memberikannya ke kantin sekolah.”


“Aku ingat ada menu di kantin yang menggunakan sayuran dari klub berkebun.”


“Rasanya cukup enak lho. Terutama kubis yang kami tanam tahun ini, kalau ditumis rasanya sangat manis dan enak.”


“Wah. Mungkinkah Otsuki-san suka memasak?”


“Iya. Aku suka banget memasak. Apalagi ada anak yang sedang dalam masa pertumbuhan.” Aku merasa mendengar kata-kata yang agak mencurigakan, tapi kurasa tidak mungkin dia sudah punya anak, jadi mungkin maksudnya adik laki-laki atau perempuan. Hobi Otsuki-san adalah memasak. Ini informasi yang bagus, kan?


“...Ini pertama kalinya aku melihat Kogure-kun berbicara. Ternyata cara bicaramu kayak gini ya. Tidak terlalu mengejutkan, tapi... Mungkin juga mengejutkan.”


“Aku selalu berbicara kayak gini dengan guru. Saat ditunjuk di kelas pun kayak gini.”


“Memang, tapi aku tidak pernah melihatmu berbicara di antara anak laki-laki pas istirahat.”


Memang benar. Saat bersama kelompok extrovert yang berpusat pada Leo, yang kulakukan hanyalah mengangguk dan menyetujui.


“Alisa bahkan mencurigaimu sebagai pajangan.”


“Sungguh tidak sopan.”


“Fufu, maaf ya.”


“Kalau bicara soal itu, aku juga jarang melihat Otsuki-san berbicara lho.”


“Itu... Yah, dibandingkan dengan Alisa, aku...”


Otsuki-san sedikit menundukkan wajahnya, tapi saat itu bel tanda masuk berbunyi.


“Gawat, aku harus membereskan ini dan kembali ke kelas! Maaf ya Kogure-kun.”


“Aku juga minta maaf! Ah, Otsuki-san.”


Meskipun terburu-buru, Otsuki-san masih merespon panggilanku dengan “Ada apa?”. Aku merasa dia pasti orang yang sangat baik.


“Bolehkah... Aku menyapamu lagi lain kali?”


Otsuki-san membuka matanya lebar, sedikit bingung, tapi kemudian mengangguk.


“Iya, sampai jumpa lagi.”


Aku merasa dia manis saat melambaikan tangan kecilnya padaku. Meskipun waktunya singkat, aku merasa bisa berbicara lebih baik dari yang kukira. Bukankah ini langkah besar?


Seperti biasa, aku mengikuti pelajaran, dan begitu selesai, waktu istirahat tiba. Leo datang ke bangkuku, dikelilingi oleh anak laki-laki, lalu kelompok gyaru mendekat, dan terakhir, gadis tercantik di sekolah, Asahina-san, datang bersama Otsuki-san yang selalu berada di sisinya.


“......”


Percakapan berkembang, tapi aku dan Otsuki-san sama sekali tidak berbicara. Kalaupun bicara, hanya sekadar menanggapi, sambil tersenyum sopan. Saat mengamati seperti ini, aku jadi paham. Kami berdua termasuk dalam kelompok yang populer, tapi saat berbicara dalam kelompok besar, kami hanya menanggapi tanpa banyak bicara. Tapi...


“Selamat pagi, Otsuki-san.”


“Ya, selamat pagi, Kogure-kun.”


Ketika kami bertemu berdua di pagi hari, kami menjadi cerewet. Selama seminggu terakhir, setiap pagi aku mengobrol tentang hal-hal sepele dengan Otsuki-san. Tapi kami hanya berbicara normal pada saat ini saja. Begitu masuk sekolah, kami tidak pernah berdua lagi. Di sisiku ada Leo, dan di sisi Otsuki-san selalu ada Asahina-san. Mungkin aku dan Otsuki-san memiliki kesamaan. Karena itulah, kami sering cocok dalam percakapan, dan aku merasa nyaman dengan waktu pagi ini.


“Wah, ternyata Otsuki-san teman masa kecil Asahina-san ya.”


“Iya, kami tumbuh bersama sejak kecil. Dulu tinggi kami sama, tapi entah sejak kapan dia jadi lebih tinggi dariku.”


“Aku juga paham perasaan memiliki teman masa kecil yang luar biasa.”


“Kogure-kun juga teman masa kecil Hirasawa-kun, ya.”


“Menurut Otsuki-san, gimana pendapatmu tentang Leo? Ah, tidak ada maksud tertentu. Cuman murni penasaran.”


“Hmm, Hirasawa-kun... Maaf ya Kogure-kun, tapi mungkin aku agak tidak nyaman dengannya.”


“Eh? Begitu ya?”


“Seperti yang dikatakan anak-anak lain, dia memang keren, tapi bagiku mungkin terlalu menyilaukan,” kata Otsuki-san sambil tersenyum, lebih jujur dari yang kukira. “Dan jujur aja, mungkin aku sedikit takut.”


Kata-kata tanpa basa-basi itu jelas adalah kejujuran... Dan malam itu, aku harus menyampaikan kata-kata itu apa adanya kepada sahabatku.


“Aku akan jadi anak kutu buku. Rambut hitam, berkacamata, dan ransel di punggung.”


“Itu stereotip yang kejam. Lagian, cowok tampan tetap tampan apapun penampilannya, jadi percuma aja.”


Malam itu, seperti biasa Leo datang ke kamarku. Belakangan ini, aku merasa seperti mata-mata, melaporkan percakapanku dengan Otsuki-san kepada Leo. Terus terang, Otsuki-san tidak menyukai Leo. Bahkan sampai level menghindarinya. Dalam keadaan seperti ini, kalaupun menyatakan cinta, pasti akan ditolak mentah-mentah. Leo terdiam dengan mulut menganga. Sepertinya dia lebih terkejut dari yang kukira. Kebanyakan anak perempuan menyukai Leo, dan hampir tidak mungkin ada yang tidak menyukainya, tapi aku bisa sedikit memahami perasaan tidak nyaman terhadap Leo. Misalnya, seperti perasaan tidak nyamanku terhadap Asahina-san, gadis tercantik di sekolah. Ada rumor bahwa lebih dari setengah siswa laki-laki di sekolah menyukainya, tapi jujur saja aku tidak ingin mendekatinya. Anak-anak di puncak kasta terlalu bersinar, membuat mataku sakit. Dan jujur saja, ada sesuatu yang menakutkan.


“Tapi Otsuki-san ternyata anak yang baik ya.”


“Iya kan!”


Wajah Leo berseri-seri ketika aku memuji Otsuki-san.


“Dia benar-benar anak yang baik! Pagi-pagi, dia datang ke kelas lebih awal dari siapapun, membuka jendela untuk ventilasi, dan menyapu lantai. Setelah pindah kelas, dia selalu membersihkan papan tulis dengan benar dan mematikan lampu. Kalau kamu memperhatikan, kamu akan tahu betapa telatennya dia.”


“Jadi itu alasan Leo menyukai Otsuki-san?”


“Hei, kamu tahu tanaman hias di kelas kita?”


Ah, sekolah ini memang punya satu tanaman hias besar di belakang kelas. Aku tidak mengerti maksudnya, tapi...


“Kamu tahu siapa yang merawatnya?”


“Sepertinya dulu ada jadwal piket untuk menyiramnya... Eh? Apa itu sudah terlupakan?”


“Sebenarnya, sepertinya dia yang menyiramnya setiap pagi.”


“Oh, begitu ya.”


“Aku tahu itu saat latihan pagi. Aku kembali ke kelas karena ada barang yang ketinggalan, dan dia sedang menyiram tanaman itu, bahkan berbicara pada tanaman itu sambil memberinya nama. Pemandangan itu sangat imut, aku langsung terpikat.”


“Seperti kebun juga, dia memang suka merawat tanaman ya.”


“Sejak saat itu, aku jadi tergila-gila padanya. Setiap kali aku melihat sisi lain dirinya, aku semakin sadar betapa baiknya dia, dan aku benar-benar jatuh cinta.”


“Meskipun dia bekerja di kebun, pakaiannya tidak terlihat kotor, jadi kurasa dia sangat rapi. Dia bilang suka memasak, jadi pasti jago dalam pekerjaan rumah.”


“Benar sekali! Dia baik hati dan memperhatikan orang lain. Dia suka membantu dan perhatian tanpa disadari.”


“Ya, ya, mungkin cocok untuk Leo yang agak ceroboh.”


“...Tapi ternyata dia tidak menyukaiku ya.”


Dia kembali tertunduk lesu. Seingat aku, ini pasti cinta pertama Leo. Sebagai sahabat dan teman masa kecil, aku ingin membantunya agar berakhir baik. Mengingat level Leo, ini bukan cinta yang mustahil. Maaf, tapi Leo-lah yang termasuk tipe bunga di puncak gunung. Mungkin aku harus sabar menjelaskan pada Otsuki-san bahwa Leo bukan laki-laki yang perlu ditakuti. Karena itu, aku menepuk bahu Leo yang sedang duduk bersila dengan murung.


“Biar aku yang urus. Setidaknya aku akan membuat kalian duduk bersama untuk bicara.”


“Ryoumaaa...”


Melihat Leo yang menangis dan bergantung padaku, aku semakin bersemangat. Untuk mewujudkan keinginan Leo, mulai keesokan harinya, aku selalu menyapa Otsuki-san setiap pagi. Tidak hanya pagi, tapi setiap kali bertemu, aku menyapanya dan dengan santai menyebutkan tentang Leo, berusaha keras untuk menghilangkan rasa takutnya terhadap Leo. Mungkin dalam hidupku, aku belum pernah berusaha sekeras ini terhadap seorang gadis. Ini adalah hasil dari persahabatan yang memikirkan sahabat. Karena itu, aku terus menerus menyapa Otsuki-san. Tapi mungkin aku sudah berlebihan. Karena terlalu fokus pada percakapan dengan Otsuki-san, pandanganku menjadi sempit.


“Hei.”


“Eh?”


Suatu hari sepulang sekolah, seorang gadis memanggilku. Selain guru, gadis yang berbicara denganku belakangan ini hanya Otsuki-san yang sudah akrab. Mustahil ada gadis lain yang memanggilku. Terlebih lagi, yang memanggilku adalah Asahina Alisa, gadis tercantik di sekolah, jadi ini semakin tidak masuk akal. Aku yang merasa tidak nyaman dengan Asahina-san sedikit mundur. Namun, Asahina-san tidak mengubah ekspresinya dan menatapku lurus. Apa yang diinginkan gadis di puncak kasta kelas ini dariku?


“Kogure-kun, bisa bicara sebentar?”


Aku menunggu kata-kata Asahina-san sambil berusaha tidak terlihat gugup.


“Maukah kamu menemaniku sekarang? Aku dengar dari anak klub basket kalau kamu tidak ada kegiatan klub.”


“Eh, kenapa?”


Itu ajakan yang sama sekali tidak kuduga. Aku terkejut mendengar kata-kata yang sama sekali tidak kumengerti. Aku sama sekali tidak bisa memikirkan alasan kenapa Asahina-san memanggilku. Aku terus berpikir apakah aku telah melakukan kesalahan. Tapi... Aku benar-benar tidak bisa memikirkan apa-apa. Karena selama ini aku menjalani kehidupan sekolah dengan berusaha tidak terlibat dengan Asahina-san sebisa mungkin. Bertentangan dengan pikiranku, Asahina-san menatapku tajam.


“Karena Shizuku-ku yang manis...”



Suara Asahina-san jelas mengandung kemarahan.

"Kayaknya kamu mengganggu dia setiap hari... Mungkin aku perlu mendengar sedikit penjelasanmu."

Sepertinya karena terlalu sering mendekati Otsuki Shizuku, aku telah menarik perhatian sang boss.

◇◇◇

"Maaf, bisakah kamu berjalan sekitar lima meter di belakangku? Kamu tahu apa yang terjadi kalau kamu kabur, kan?"

Senyum gadis cantik itu memang indah, tapi sangat menakutkan. Tekanannya kuat, aku tidak bisa kabur. Ini benar-benar seperti pertarungan melawan boss. Gadis paling populer di sekolah, Asahina Alisa, berjalan di depan dan aku mengikutinya dari belakang. Sejujurnya aku ingin kabur, tapi jika tujuan Asahina-san adalah tentang hubunganku dengan Otsuki-san, aku semakin tidak bisa kabur.

Kami keluar dari gedung sekolah dan aku mengikuti Asahina-san. Ini bukan jalan pulang biasa, tapi aku harap dia tidak membawaku ke tempat sepi untuk mengancamku. Asahina-san tiba-tiba berhenti dan melihat ke arahku. Dia melihat sekeliling, lalu masuk ke sebuah bangunan. Sepertinya dia menyuruhku untuk mengikutinya. Aku berjalan cepat mengikutinya dan melihat sebuah kafe kecil. Dia masuk ke sana. Aku tidak tahu ada kafe di sini. Bangunannya terlihat agak kuno, mungkin sudah berdiri puluhan tahun. Area ini adalah kawasan perumahan, jadi para siswa jarang mampir. Meskipun sudah cukup lama bersekolah di sini, aku sama sekali tidak tahu tentang tempat ini. Saat masuk, aku mendengar musik penyembuhan yang menenangkan.

"Selamat datang."

Seorang pemilik kafe paruh baya menyapa dengan suara baritonnya. Asahina-san sudah ada di depan.

"Master, bolehkah kami menggunakan tempat biasa? Dia adalah temanku."

"Ya, silakan."

"Terima kasih banyak." Untuk pertama kalinya aku mendengar suara lembut Asahina-san, yang biasanya terdengar angkuh. Sepertinya dia akrab dengan pemilik kafe ini.

"Ikuti aku."

Selain kami, kebanyakan pelanggan adalah ibu-ibu. Mungkin ini adalah tempat santai tradisional untuk penduduk setempat. Meskipun bangunannya tua, tapi terawat dengan baik dan dekorasinya menarik. Ini bukan tempat yang biasa dikunjungi siswa.

"Duduklah di sini."

"Ah, baik."

Kami duduk di meja sudut, Asahina-san di bagian dalam dan aku di sisi pintu masuk. Aku berhadapan dengan Asahina-san.

"Apa?"

"Ti-tidak ada apa-apa."

Berhadapan langsung dengan Asahina Alisa dari jarak dekat, aku baru menyadari betapa luar biasanya dia. Rambut pirang platinum panjang dan mata hijau zamrud. Wajah cantik dengan hidung mancung. Aku pernah mendengar bahwa tidak semua orang blasteran itu cantik, tapi bagaimanapun juga, Asahina Ali sa sangatlah cantik. Sudah lama aku tidak bertemu dengan gadis secantik ini yang sulit untuk dilihat langsung.

"Um, kenapa aku dipanggil ke sini? Apakah tidak bisa di sekolah?"

"Ya. Tapi sebelum itu, boleh aku tanya apakah kamu tahu tentang kafe ini?"

"Tidak. Aku tidak tahu ada kafe senyaman ini di dekat sekolah."

"Begitu ya, ternyata kamu memang tidak tahu. Aku belum pernah melihat siswa lain datang ke sini selain aku. Dan aku tidak ingin mereka datang."

Asahina-san sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan meja dan melirik ke luar. Aku sedikit terganggu dengan kedekatannya, tapi mataku tertarik pada bagian tertentu dari tubuhnya. Aku merasa bersalah dan mengalihkan pandangan. Bukankah cantik dan bertubuh bagus itu curang?

"Huf, kayaknya tidak ada siapa-siapa."

Asahina-san tampaknya sangat waspada terhadap sekitarnya. Ngomong-ngomong, Asahina-san duduk di kursi paling ujung kafe. Kursi itu berada di ceruk bangunan dan tidak bisa dilihat dari luar. Aku ingat Suzuki dan Sato pernah mengatakan bahwa Asahina Alisa tidak mengikuti kegiatan klub dan pulang cepat setelah pelajaran selesai. Bahkan, dia menghilang begitu keluar dari gedung sekolah, jadi sulit untuk mengajaknya bermain setelah sekolah. Mungkinkah dia sengaja menghilang?

"Apakah kamu tidak pengen tempat ini diketahui orang lain?"

"Ya. Aku kesulitan karena di sekolah banyak yang mengajakku dengan berbagai cara."

Dia memang sangat populer. Mungkin bukan hanya orang-orang yang kukenal yang mengajaknya.

"Kamu tidak ikut kegiatan klub? Apa tudak apa-apa menghabiskan waktu sampai sore?"

"Awalnya aku berniat bergabung dengan klub berkebun seperti Shizuku, tapi saat uji coba, klub itu dibanjiri orang. Semuanya laki-laki yang mengincarku."

"Wah..."

"Aku memutuskan untuk tidak bergabung karena tidak ingin merepotkan."

Asahina-san mengangkat wajahnya, matanya menerawang jauh.

"Bahkan jika aku bersembunyi di perpustakaan, mereka tetap mengejarku. Aku tidak punya tempat di sekolah. Saat mencari tempat untuk melarikan diri, aku menemukan tempat ini."

"Begitu rupanya. Tempat Asahina-san duduk sekarang juga tidak terlihat dari luar, jadi cocok untuk menghabiskan waktu ya."

Aku merasa dia mengalami kesulitan yang lebih serius dari yang kubayangkan. Kalau begitu...

"Apakah tidak apa-apa memberitahuku tentang tempat ini?"

"Sebenarnya tidak. Aku tidak ingin memperlihatkan tempat santai ini kepada siapapun. Tapi meski begitu, aku harus berbicara denganmu."

Ternyata dia sudah memikirkan ini sejauh itu. Asahina-san menghubungiku meskipun tahu ada risiko informasi ini bisa bocor dariku ke anak laki-laki lain.

“Aku tidak akan memberitahu siapapun.”

Jika begitu, aku harus menghargai perasaannya.

“Aku berjanji. Aku tidak akan pernah membocorkan tentang tempat persembunyian Asahina-san.”

“Kenapa? Kamu tidak punya keuntungan dengan menyembunyikannya...”

“Karena temanku pernah mengalami hal serupa, jadi aku bisa memahami perasaanmu.”

Sahabatku Leo juga pernah mengalami hal serupa saat SMP. Setelah masuk SMP, wajahnya menjadi lebih maskulin dan tingginya bertambah pesat, akibatnya dia dikejar-kejar oleh siswi-siswi yang agresif. Mereka mengikutinya setiap saat, bahkan ada yang melakukan tindakan stalking. Sebagai teman masa kecil, aku juga terlibat dan itu sangat menyusahkan. Saat ada yang mengancamku dengan pisau, menyuruhku menjauhi Leo karena aku tidak sebanding dengannya, itu benar-benar menakutkan. Aku ingat protes karena mereka mengatakan itu padaku yang juga laki-laki. Pengalaman seperti itu benar-benar memperkuat mental. Aku jadi tidak mudah terguncang oleh apapun. Sebagai gantinya, aku jadi takut pada gadis-gadis yang agresif, jadi jujur saja, gadis di depanku ini juga menakutkan. Ngomong-ngomong, alasan Leo belum berpacaran dengan siapapun sampai sekarang adalah karena dia tidak percaya pada perempuan. Jika Leo yang laki-laki saja bisa dikejar-kejar seperti itu, Asahina-san yang perempuan pasti jauh lebih takut. Aku paham betul kesulitan menjadi orang populer karena melihatnya dari dekat.

“Terima kasih. Yah, kalau kamu memberitahu orang lain, mungkin bakal terjadi hal yang sangat menyakitkan padamu, jadi lebih baik kamu tetap diam.”

“Hah?”

“Mau tahu?”

“Tidak, terima kasih.”

Dia adalah gadis paling populer dan pintar di sekolah. Dia pasti sudah memikirkan semuanya. Dia pasti punya banyak cara untuk menjebakku.

“Tapi aku senang Kogure-kun adalah orang yang bisa memahami.”

Aku merasa sudut bibir Asahina-san sedikit melembut. Mungkin dia sedikit menurunkan kewaspadaannya.

“Karena kita sudah di sini, gimana kalau kita pesan sesuatu? Master.”

Asahina-san mengangkat tangannya dan pemilik kafe segera mendekat.

“Hari ini aku pesan kopi. Kogure-kun mau apa?”

“Kalau begitu, samain aja.”

Menu ada di atas meja tapi aku sama sekali belum melihatnya. Ini pertama kalinya aku ke sini, jadi lebih baik memesan yang sama dengan Asahina-san yang sudah terbiasa. Setelah memastikan pemilik kafe pergi, pembicaraan antara aku dan Asahina-san terhenti sejenak. Sebaiknya kita masuk ke pokok pembicaraan.

“Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan denganku? Ini tentang Otsuki-san, kan?”

Mata Asahina-san, yang tadi sudah melembut, kembali tajam.

“Kogure-kun, apa pendapatmu tentang Shizuku? Kayaknya kalian akrab belakangan ini. Aku dengar kamu mulai menyapanya setiap pagi.”

“Apakah aku mengganggu Otsuki-san?”

“Kalau Shizuku merasa terganggu, kamu bakal langsung masuk neraka tanpa pertanyaan.”

“Menakutkan!”

“Aku tanya sekali lagi. Apa niatmu mendekati Shizuku-ku yang berharga?”

“A-apakah... Kamu marah?”

“Aku tidak marah. Hanya saja, Shizuku adalah teman masa kecil dan sahabat terbaikku. Aku tidak akan membiarkannya direbut oleh laki-laki manapun. Kamu mengerti, kan?”

Ya, aku tidak mengerti. Tapi aku tidak bisa mengatakannya.

“Meskipun kamu terlihat tidak berbahaya, kamu berada di kelompok yang sama dengan Hirasawa Leo itu.”

“Um... Apakah Leo tidak bisa dipercaya?”

“Aku tidak suka laki-laki yang dangkal dan sombong. Hirasawa Leo adalah contoh utamanya, kan? Aku terganggu oleh pengikut-pengikutnya yang terus mengejarku.”

Mungkin yang dia maksud adalah Suzuki, Sato, dan Tanaka. Ketiga orang itu tertarik pada Asahina-san dan terus mengejarnya. Karena itu, dia memiliki prasangka terhadap Leo yang merupakan pemimpin kelompok.

“Mereka terus meminta kontak dan mengajak pergi. Sungguh menyebalkan. Biar kuberitahu, aku tidak berniat berhubungan dengan teman sekelas selama SMA dan tidak akan memberikan kontakku.”

Aku ingat mendengar bahwa Asahina-san tidak memberikan kontaknya kepada siapapun. Dia bahkan tidak ada di grup LINE kelas, mungkin hanya beberapa anak perempuan yang tahu kontaknya. Meskipun begitu, dia tetap berada di puncak kasta sosial, mungkin karena kecerdasan dan kecantikannya. Biasanya, gadis seperti ini berpacaran dengan orang dewasa atau mahasiswa.

“Jadi... Kamu benar-benar tidak punya kontak satu pun anak laki-laki di sekolah?”

“Ya, aku tidak membutuhkannya.”

Tekad yang kuat ini. Sampai seperti ini, dia jadi terlihat keren. Tapi aku sedikit kesal. Aku bisa memahami perasaan Asahina-san yang harus bersembunyi di kafe ini. Tapi...

“Leo tidak seburuk itu. Jujur aja, aku tidak senang mendengar temanku dihina. Aku harap kamu bisa memahami itu.”

Ini adalah perasaanku yang sebenarnya. Tidak masalah jika tidak dimengerti.

“Begitu ya. Hirasawa-kun adalah teman yang berharga bagimu. Aku menjelek-jelekkannya padahal tidak tahu banyak. Maafkan aku.”

Itu pernyataan yang jujur. Aku tidak menyangka dia akan meminta maaf, sehingga perasaan tidak nyamanku hilang. Sejujurnya, aku juga menganggap Asahina-san sebagai wanita yang sulit didekati, jadi mungkin kami saling berprasangka tanpa mengatakannya.

“Menghargai teman itu penting. Aku juga akan mencincang siapapun yang menghina Shizuku, dan aku ingat dulu pernah membuat menangis habis-habisan seorang anak laki-laki yang mengejek Shizuku. Sama seperti itu kan?”

“Aku tidak sampai berpikir sejauh itu sih...”

Seberapa besar sih cintanya pada Otsuki-san...

“Kembali ke topik. Alasanmu mendekati Shizuku. Aku harus tahu itu.”

Aku perlu memikirkan baik-baik bagaimana menjawab ini. Tidak boleh jujur pada Asahina-san yang memiliki perasaan negatif terhadap Leo. Itu pasti. Tapi ini bisa jadi kesempatan. Jika bos mengizinkanku mendekati Otsuki-san, aktivitasku ke depan akan lebih mudah. Jika aku bisa menyampaikan hal-hal baik tentang Leo kepada mereka berdua, pasti akhirnya mereka akan saling memahami. Karena Leo memang orang yang baik. Jadi satu-satunya yang bisa kulakukan sekarang adalah mendapatkan kepercayaannya.

“Ini memalukan, tapi... Sebenarnya aku sedikit tertarik pada Otsuki-san, dan ingin berteman dengannya.”

“Eh! Apa, apa yang membuatmu tertarik!?”

“Asahina-san?”

“Ehem. Maaf. Aku tidak bisa menyembunyikan kegembiraan karena merasa bisa berbagi rasa suka pada Shizuku yang paling imut.”

Apa sih yang dia katakan.

Aku terkejut dengan perubahan nada suaranya yang tiba-tiba. Mungkin hubungan Asahina-san dan Otsuki-san lebih dekat dari yang kubayangkan.

“Y-ya, misalnya suaranya yang lembut.”

“Iya kan! Iya kan! Setiap pagi dia membangunkanku... Suara Shizuku yang bilang ‘Alisa, bangun’ itu benar-benar menggemaskan, aku sangat menyukainya!”

“Dia membangunkanmu setiap pagi?”

Asahina-san membeku. Lalu wajahnya memerah. “A-apa masalahnya? Kami kan sesama perempuan, tidak ada yang aneh!”

“Bukan masalah aneh atau tidak, tapi dibangunin setiap pagi itu...”

“Rumah kami bersebelahan, jadi tidak masalah kan! Aku tidak bisa bangun pagi, mau gimana lagi!”

Meskipun dia marah-marah begitu... Aku memang pernah dengar kalau Asahina-san dan Otsuki-san adalah teman masa kecil yang rumahnya bersebelahan.

Yah, aku juga pergi membangunkan Leo yang tidak bisa bangun setiap pagi, jadi mungkin sama saja. Tapi kalau Leo bilang aku menggemaskan, aku pasti akan merinding.

“Apa ada yang lain?”

“Hmm, aku pikir caranya memberi nama pada tanaman hias di kelas juga menarik.”

“Iya kan! Shizuku juga memberi nama pada boneka-boneka di kamarnya! Dia bahkan memberi nama pada beruang yang kuberikan sebagai hadiah ulang tahun, nama yang terinspirasi dariku, Shizuku-tan benar-benar imut!”

“Oh, begitu ya.”

Orang ini mulai memanggil sahabatnya dengan tambahan ‘tan’.

“Lalu... Senyumnya manis dan ceria, membuat orang bersemangat.”

“Aku mengerti! Senyum Shizuku adalah garis kehidupanku! Lihat, wallpaper ponselku adalah Shizuku yang sedang tersenyum.”

Wah. Ini pertama kalinya aku melihat orang yang menjadikan sahabatnya sebagai wallpaper.

“Kalau Shizuku laki-laki, aku pasti sudah pacaran dengannya. Sebesar itulah rasa sukaku pada Shizuku!”

“Apakah Asahina-san menyukai perempuan?”

“Bukan. Aku menyukai Shizuku. Shizuku-tan adalah eksistensi yang melampaui gender.”

Dia benar-benar terobsesi. Aku mengerti, dia hanya menyukai Otsuki-san sebagai sahabat. Mungkin karena itu dia tidak suka aku muncul di dekat Otsuki-san.

“Jadi, maksudmu, aku tidak boleh mendekati Otsuki-san?”

“Bukan. Kalau kamu tidak bermaksud menyakiti Shizuku, aku akan membiarkanmu.”

“Eh, kamu akan membiarkanki?”

Reaksi yang tidak terduga. Aku pikir dia akan menyuruhku menjauhi sahabatnya.

“Kamu tidak suka? Apa Kogure-kun tipe yang ingin dihukum? Maaf, tapi cari orang lain aja.”

“Kamu bicara hal-hal yang tidak kumengerti...”

Orang ini mungkin lebih santai dari yang kukira. Tapi aku terkejut dia mengizinkanku berinteraksi dengan Otsuki-san. Yah, mungkin karena kesan tentangku tidak terlalu kuat. Tak lama kemudian, pemilik kafe membawakan kopi kami.

“Ah, aromanya sangat harum.”

“Kopi di sini memang luar biasa. Makanya aku jadi pelanggan tetap di sini.”

Dia berbicara dengan bangga. Padahal bukan dia yang menyeduh kopinya. Yah, memang begitulah ekspresi orang saat memperkenalkan sesuatu yang mereka banggakan, jadi aku akan tersenyum ramah saja. Asahina-san mengambil gula stik yang disajikan bersama kopi. Satu, dua, tiga batang.

“Hari ini aku akan menguranginya sedikit.”

“Itu yang kamu sebut sedikit...”

Bukankah itu hanya akan terasa seperti gula saja? Aneh sekali dia masih bisa bilang kopinya enak. Leo juga tidak bisa minum kopi tanpa banyak gula, jadi memasukkan banyak gula itu sendiri tidak aneh. 

“Ah... Enak. Memang kopi harus diseduh dengan siphon ya. Benar-benar kaya rasa. Kamu tahu? Kafe ini menggunakan peralatan antik.”

Asahina-san mulai menjelaskan dengan riang. Apa masih ada rasa yang bisa dirasakan setelah memasukkan gula sebanyak itu? Tiba-tiba... Aku melihat menu dan tertulis bahwa kopi hari ini adalah espresso. Berarti kopi ini bukan diseduh dengan metode siphon kan. Meskipun aku bukan ahli kopi dan tidak terlalu bisa membedakan rasanya, setidaknya aku tahu kalau itu berbeda.

“Di rumahku juga ada alat model siphon, dan Shizuku membuatkannya untukku di pagi hari libur saat mataku sulit terbuka. Sambil mengobrol tentang ingin membuka kafe saat sudah besar nanti.”

“Sungguh pagi yang elegan ya. Aku cuman minum kopi instan, aku jadi agak iri dengan gaya hidup seperti itu. Siphon itu menggunakan alat yang mirip peralatan eksperimen kimia kan? Gimana rasanya?”

“Hmm, begini...”

Seperti yang diharapkan dari gadis top di kasta sosial. Anak yang bisa menjadi pusat perhatian semua orang biasanya pandai berbicara. Itulah sebabnya orang-orang berkumpul di sekitarnya dan iri padanya. Karena aku pernah melihat Asahina-san mengajari para siswi di kelas dengan nilainya yang terbaik di angkatan, aku punya firasat seperti itu. Aku menikmati ceritanya sambil meminum espresso kopi harian. Kopi ini enak sekali. Mungkin yang terenak yang pernah kuminum. Apakah karena ada rasa manis dari kehadiran gadis cantik? Ah, bercanda.

Aku ingin minum satu gelas lagi, jadi aku menoleh ke belakang.

“Mau pesan lagi?”

Hebat sekali Master. Apa dia bisa tahu hanya dari tatapan mata?

“Ya. Tolong satu lagi kopi espresso harian hari ini.”

“Eh?”

Asahina-san mengeluarkan suara terkejut. Ah, pikirku saat itu, Asahina-san langsung menyambar menu. Bersamaan dengan itu, wajahnya memerah dengan suara ‘pop’.

“Aahh... Pa-padahal sampai kemarin kopi hariannya masih model siphon!”

Mungkin kopi di sini, meski disebut harian, sering disajikan berturut-turut. Asahina-san menatapku tajam. Meski tajam, entah kenapa terlihat lebih imut dari sebelumnya. Apakah ini sindiran? Seolah-olah berkata “Kamu menipuku!”. Padahal aku tidak bermaksud begitu.

“Yah, aku memang agak tertawa melihatmu salah paham tadi.”
“Ugh.”

“Tapi aku benar-benar menikmati cerita Asahina-san lho. Jarang bisa mendengar tentang siphon seperti itu, aku senang bisa mendengarnya.”

Tidak baik hanya tertawa saja. Lebih baik menunjukkan candaan dan pujian secara seimbang saat berbicara dengan orang lain.

“Kogure-kun, kamu ini...”

Saat itulah. Dari perut Asahina-san terdengar suara imut ‘kyuun’. Tentu saja yang mendengarnya hanya aku dan dia sendiri.

“A-aku mau ke toilet sebentar.”

Asahina-san berdiri tiba-tiba dan pergi ke belakang. Apa dia lapar ya? Tapi kukira dia lebih keren dan sempurna, ternyata agak ceroboh juga. Aku tidak menyangka dia akan menjelaskan dengan begitu percaya diri padahal salah di bagian yang penting.

“Tapi imut juga ya.”

Sungguh berharga bisa melihat langsung adegan konyol dari gadis tercantik di sekolah.

“Apakah pesanannya hanya itu saja?”

Ah, aku membuat Master menunggu. Dia tetap tenang meski ada keributan tadi. Hebat sekali.

“Asahina-san sering datang ke sini ya?”

“Ya, dia biasanya datang kecuali hari kerja.”

“Hmm. Kalau begitu, apa ada menu yang sering dia pesan?”

“Menu ini.”

“Oh. Apa ada topping seperti ini?”

Sekitar dua puluh menit kemudian, Asahina-san kembali. Dia berdiri dengan tangan terlipat, memandang ke bawah padaku yang sedang duduk.
“Ng-ngomong-ngomong, aku terlambat kembali karena tadi ada telepon. Jangan salah paham ya.”

Jadi itu yang ingin dia jelaskan. Memang dua puluh menit di toilet itu lama. Aku tidak keberatan kalau dia benar-benar buang air besar selama dua puluh menit, tapi aku mengerti perasaan gadis yang tidak ingin dianggap begitu.

“Ini pancake pesanan Anda.”

“Wah...!”

Karena Asahina-san terlambat kembali, makanan diantar bersamaan saat dia duduk. Dia bereaksi kuat pada pancake yang lembut. Ternyata benar dia suka makanan manis seperti yang kudengar. Pancake hangat dan lembut diletakkan di depan Asahina-san.

“Eh, ini... Bukan Kogure-kun yang pesan?”

“Aku yang pesan, tapi silakan Asahina-san yang makan. Aku pikir kamu tidak memesan seperti biasanya karena mempertimbangkanku.”

“Aku akan mengatakan ini.”

“Ya?”

“Mungkin tadi kamu merasa perutku berbunyi.”

“Ya, ya.”

“Itu ilusi.”

“...”

“Ma-maksudku halusinasi pendengaran.”

Dia mengoreksinya?

“Pfft.”

“Jangan tertawa!”

Reaksinya yang lucu membuatku tertawa. Aku menyuruhnya makan selagi masih hangat, dan Asahina-san dengan enggan melirik botol kecil berisi saus.

“Ini bukan honey sauce seperti biasanya... Putih?”

“Silakan dicoba.”

“Kamu tidak memasukkan yang aneh-aneh kan? Aku pernah dengar kasus seperti itu.”

“Yang menyiapkannya itu Master lho.”

Asahina-san terlihat sedikit curiga, tapi tidak mempermasalahkannya. Pada saat itu, pipi Asahina-san menggembung, ekspresi manis muncul di wajahnya.

 “Oh, apa ini? Manis banget! Tidak, ini berbeda dari biasanya. Ini seperti karamel!”

  Ekspresi tegas di wajahnya sebelumnya menghilang, dan dia mulai bermain seperti anak kecil. Dia meletakkan tanganku di pipinya dan mengagumi pancake itu seolah-olah itu benar-benar enak. Aku sudah melihatnya sekilas selama beberapa waktu sekarang, tapi aku tidak menyangka dia akan menunjukkannya dengan berani. Inilah sifat asli Asahina-san.


"Dari jumlah gula yang kamu pakai tadi, aku pikir kamu suka yang rasanya manis banget, jadi aku minta Master mencampurkan susu dan gula pasir ke honey sauce-nya."

"Ternyata cocok banget. Jangan-jangan Kogure-kun pintar memasak?"

"Ya, aku sering membuat berbagai makanan untuk teman yang suka rasa manis. Senang kamu menyukainya."

Asahina-san tiba-tiba terdiam dan menatapku lekat. Aku jadi tersenyum malu karena sikapnya itu. Lalu dia melirik ke piring yang sudah kosong dalam sekejap. Wajahnya terlihat sedikit kecewa, tapi tiba-tiba dia berdiri.

"Master! Tolong tambah pancake-nya tiga lapis lagi!"

"Tiga lapis!?"

"Aku selalu makan segini! Dengan saus seenak ini mana bisa kutahan!"

Dia menuangkan saus spesial ke tiga lapis pancake yang baru diantar dan memakannya dengan gembira.

"Gimana dengan makan malamnya nanti?"

"Tentu saja akan kumakan seperti biasa."

"Padahal sudah makan banyak pancake?"

"Kue dan makanan utama itu perutnya beda kan?"

Kupikir itu hanya berlaku saat sudah kenyang, bukan saat makan kue duluan. Asahina-san menghabiskan total empat porsi dalam sekejap.

"Aku puas. Mungkin aku akan minta Master mengingat saus ini dan memakannya setiap saat."

"Tidak kusangka kamu menghabiskan semua sausnya... Padahal rasanya manis banget tapi bisa dihabiskan ya."

"...Habisnya enak sih. Ah!"

Asahina-san tiba-tiba sadar dan gemetar.

"Uuh... Memalukan sekali memperlihatkan sikap buruk begini di depan laki-laki."

Asahina-san menutupi wajahnya malu-malu. Ternyata dia sadar juga. Yah, berkat penampilannya yang terlalu baik, keimutannya lebih menonjol daripada rasa jijik. Kalau aku pasti tidak akan terlihat seperti itu.

"Makan itu hal yang baik kok. Membuatku senang melihatnya."

"Shizuku juga bilang begitu sih... Tapi ada waktu dan tempatnya."

"Yah... Benar juga."

"Kogure-kun. Rahasiakan ya kalau aku suka makan."

Suka makan 'sedikit' ya...

"Baiklah. Aku bisa mengerti kok."

"...Ngomong-ngomong."

Asahina-san menatapku lekat lagi. Aneh ya, setiap kali kami berinteraksi begini, aku jadi sulit percaya dia gadis tercantik di sekolah. Apa ini yang disebut 'kecantikan yang mengecewakan'?

"Aku selalu penasaran... Kenapa cara bicaramu sangat sopan? Kupikir kamu pendiam karena selalu diam aja saat mengobrol dengan anak laki-laki... Tapi ternyata tidak juga."

"Diam doang itu keterlaluan ya. Yah, bicara sopan itu sudah seperti kebiasaan bagiku. Cuman ke yang lebih tua atau perempuan aja, dengan sesama laki-laki aku bicara biasa kok."

"Dengan perempuan juga tidak perlu sesopan itu kan."

"Yah... Dulu ada berbagai hal. Sejak itu aku jadi otomatis bicara sopan pada perempuan. Makanya kubilang itu kebiasaan."

"Hmm, kamu juga punya masa lalumu ya. Jadi kamu bicara sopan pada semua gadis?"

"Tentu saja tidak dengan keluarga atau sahabat dekat."

Yah, sebenarnya aku tidak punya sahabat perempuan sih. Tapi aku tidak mengatakannya karena gengsi.

"Ngomong-ngomong, tidak mau tambah pancake lagi? Katanya kamu makan banyak hal lain juga."

"Sudah ah! Kalau lebih dari ini aku tidak akan makan lagi!"

Setelah itu, percakapan antara aku dan Asahina-san terus berlanjut tanpa henti. Topik beralih ke Otsuki-san, dan Asahina-san dengan lancar menceritakan rahasia-rahasia Otsuki-san yang tidak diketahui olehku atau Leo. Betapa imut, menarik, dan sempurnanya Otsuki-san... Aku jadi mengerti kenapa dia menyebutnya 'oshi'. Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore. Terdengar bunyi 'ping' dari ponsel Asahina-san, dan dia melirik ke arahnya.

"Argh."

Suara erangan keluar, membuatku tersentak kaget. Asahina-san menelungkupkan kepalanya di meja.

"Ada apa?"

Yang terlihat di pandanganku hanyalah rambut pirang platinum Asahina-san yang terurai. Benar-benar rambut yang indah. Aku bertanya-tanya apakah aku bisa menyentuhnya kalau aku perempuan, sambil menunggu jawaban Asahina-san.

"Shizuku... Katanya dia pergi belanja dengan anggota klub berkebun hari ini, jadi dia pulang duluan."

"Eh."

"Dia lebih memilih klub berkebun daripada aku... Sedih. Shizuku-tan. Aku kesepian."

"Kamu sudah tidak berpura-pura lagi di depanku ya."

"Habisnya sudah terlanjur memperlihatkan sisi memalukanku... Sudah terlambat. Huh."

Tidak perlu bilang begitu terang-terangan juga sih. Sepertinya Asahina-san biasanya pulang bersama Otsuki-san setiap hari setelah kegiatan klub. Dia menghabiskan waktu di kafe ini, kembali ke sekolah, lalu pulang bersama Otsuki-san. Gadis tercantik di sekolah yang harus menghabiskan waktu di kafe karena tidak bisa bergabung dengan klub, menjalani kehidupan sekolah yang terbatas. Aku tidak tahu kalau dia memiliki kepribadian yang menyenangkan seperti ini.

"Hari sudah mulai gelap, gimana kalau kita pulang?"

Setelah membayar, aku dan Asahina-san keluar dari kafe. Waktu saat matahari terbenam telah berlalu. Lampu jalan mulai menyala satu per satu. Ternyata kami tinggal lebih lama dari yang kukira.

“Empat pancake memang harganya lumayan ya.”

Sebenarnya aku bisa saja mentraktir sebagai laki-laki, tapi sayangnya aku tidak bisa mengeluarkan uang empat digit untuk kue yang bahkan tidak kumakan. Aku hanya membayar bagian kopi yang kuminum.

“Padahal aku yang mengajak, jadi biar aku yang bayar kopinya juga.”

“Kalau sampai segitu sih... Tadi kamu langsung membayar, apa kamu kerja paruh waktu?”

Tadi Master bilang dia tidak datang di hari kerja.

“Ya, aku kerja paruh waktu sebagai guru les. Cuman dua kali seminggu untuk anak perempuan kenalan ayahku.”

“Guru les saat masih menjadi sisw SMA itu hebat ya... Tapi wajar sih dengan kemampuan Asahina-san.”

“Muridnya juga perempuan, jadi aku bisa santai.”

Mungkin kemampuan bicaranya yang bagus itu didapat dari pekerjaan guru les. Benar-benar iri, meski sesama perempuan tapi Asahina-san jadi guru. Nah...

“Sepertinya kita berpisah di sini ya. Akan merepotkan kalau teman sekelas melihat kita pulang bareng. Mungkin sebaiknya kita pergi ke arah berlawanan?”

Asahina-san hanya menatapku tanpa bicara. Apa aku mengatakan sesuatu yang salah?

“Rumah Kogure-kun ke arah mana, gerbang depan atau belakang?”

“Eh, arah gerbang depan.”

“Berarti sama denganku ya. Kamu naik bus kan? Ayo jalan bareng sampai halte bus.”

“Eh, boleh? Kalau ada yang melihat...”

“Jam segini tidak apa-apa kok. Kalaupun ada yang lihat, bisa bilang aja kebetulan pulang bersama teman sekelas.”

“Kalau Asahina-san tidak keberatan, aku juga tidak masalah.”

“Lagian,”

Asahina-san mulai berjalan di trotoar sambil berbicara padaku.

“Aku ingin berbicara lebih banyak dengan Kogure-kun.”

Dia tersenyum polos saat mengatakannya, membuatku terpesona oleh keimutannya. Meski matahari telah terbenam, rambut pirang platinumnya tetap bersinar. Terlihat semakin indah di bawah cahaya lampu jalan. Aku hampir terjerat oleh kecantikannya. Aku bisa memahami perasaan anak laki-laki yang menyukainya.

“Aku akan memberitahumu lebih banyak hal baik tentang Shizuku!”

Tapi sepertinya tidak ada yang tahu bahwa sebenarnya dia adalah ‘kecantikan yang mengecewakan’.

“Hahh... Asahina-san seperti misionaris untuk Otsuki-san ya.”

“Boleh juga. Mungkin aku seperti Xavier khusus untuk Shizuku.”

“Sudah level agama ya.”

Percakapan kami mengalir dengan lancar, saat itulah.

“Alisa!”

Sebuah suara menghentikan langkah kami. Aku menoleh ke seberang jalan. Seorang siswi SMA dengan seragam yang berbeda dari sekolah kami. Saat aku melihat ke arah Asahina-san, ekspresinya melembut seperti saat dia merasa nyaman.

Gadis itu menyeberang jalan dan menghampiri kami.

“Jarang sekali kita bertemu di tempat seperti ini.”

“Ada toko bagus di sekitar sini, aku sering mampir sepulang sekolah.”

Gadis dari sekolah lain yang berbicara akrab dengan Asahina-san. Rambut sebahu dan mata yang sedikit naik memberi kesan khas. Wajahnya cantik, hampir setara dengan Asahina-san di sebelahnya.

Yang paling mencolok mungkin postur tubuhnya. Tingginya hampir sama denganku yang 170 cm. Tapi lengan dan kakinya jelas lebih panjang dariku. Tapi wajah ini... Rasanya pernah kulihat. Gadis itu melirik ke arahku.

“Apa aku mengganggu?”

Dia bertanya dengan nada menggoda. Aku penasaran bagaimana reaksi Asahina-san, jadi aku melirik sekilas.

“Jangan bicara yang aneh-aneh. Kamu dan Shizuku pasti bakal tahu kalau aku dapet pacar.”

“Yah, benar juga sih.”

Meski sudah kuduga, tetap saja agak sedih mendengarnya secara langsung. Wajar saja, ada perbedaan besar antara aku dan Asahina-san. Mungkin ceritanya akan berbeda kalau aku setampan Leo.

“Tapi jarang sekali melihat Alisa yang tidak suka laki-laki berjalan bersama seorang laki-laki.”

Asahina-san tidak suka laki-laki? Tidak mungkin. Dia sangat percaya diri menghadapi laki-laki. Sulit dipercaya, tapi Asahina-san tiba-tiba melompat dan mendekati gadis itu.

“Dia itu...”

Dia berbisik pelan di telinga gadis itu.

“Hee~”

Gadis itu menatapku dengan ekspresi nakal.

“Ternyata kamu punya selera bagus ya, suka Shizuku.”

Aku jadi malu. Sepertinya kebohongan tentang aku menyukai Otsuki-san semakin menyebar. Biasanya dalam situasi seperti ini, anak perempuan akan menggoda.

“Aku Mizuhara Kokoro. Teman masa kecil Alisa dan Shizuku.”

Gadis itu tersenyum. Ternyata begitu hubungan mereka. Oh iya, nama Mizuhara Kokoro dan wajah ini... Aku baru saja melihatnya di TV. Ah benar, dia itu...

“Siswi SMA lokal yang terpilih sebagai kandidat Olimpiade renang.”

“Haha, kamu tahu banyak ya. Mungkin karena aku baru aja diwawancarai di berita.”

Aku pernah melihat berita itu. Mizuhara-san dari daerah ini menjadi topik pembicaraan karena memecahkan rekor nasional Jepang. Karena penampilannya yang bagus, dia juga populer di kalangan anak laki-laki. Aku tidak menyangka dia teman masa kecil Asahina-san. Oh iya, seragam yang dipakai Mizuhara-san adalah seragam sekolah unggulan olahraga di dekat sini.

“Kamu orang yang hebat ya...”

“Entah aku akan jadi hebat atau tidak, itu masih di masa depan. Karena berpisah dengan Shizuku, aku merasa kesepian setiap hari.”

Ternyata dia juga penggemar Otsuki-san. Kupikir Otsuki-san juga orang yang luar biasa, bisa berteman masa kecil dengan dua gadis luar biasa ini.

“Kokoro. Apa rencanamu setelah ini? Mau makan malam di rumahku?”

“Boleh aja. Tapi maaf, aku sudah ada janji. Hari ini aku akan menghabiskan waktu dengan orang itu.”

“...Begitu ya.”

“Alisa, apa kita masih harus menyembunyikannya dari Shizuku? Aku mengerti perasaan Shizuku, tapi... Aku juga...”

“Aku tahu. Tapi kumohon, tunggu sebentar lagi.”

“Baiklah. Tapi cepat atau lambat bakal ketahuan.”

Tiba-tiba mereka mulai membicarakan sesuatu yang serius. Aku membayangkan mereka sebagai trio sahabat, tapi sepertinya ada sesuatu. Mungkin karena suasana menjadi canggung, Asahina-san dan Mizuhara-san berdiri diam tanpa bicara. Sebagai orang luar, hanya ada satu hal yang bisa kukatakan.

“A-ano!”

Pandangan mereka berdua tertuju padaku.

“Bisakah kalian cerita lebih banyak tentang Otsuki-san? Kalau boleh, sambil kita berjalan pulang sekarang!”

Kedua gadis cantik itu menatapku dengan mata terbelalak kaget. Aku sadar ucapanku mungkin tidak peka situasi. Tapi... Aku harus mengatakannya. Mizuhara-san tersenyum.

“Fufu, boleh juga. Meski cuman sampai halte bus, aku bakal cerita banyak.”

Fyuh, sepertinya aku berhasil mengubah suasana. Jujur saja aku akan merasa tidak nyaman kalau harus berjalan dalam diam... Setelah ini tinggal berjalan ke halte bus lalu berpisah. Aku agak sungkan berjalan dengan dua gadis cantik ini, jadi sebaiknya aku menjaga jarak.

“Kalau gitu aku di sini ya.”

Mizuhara-san berjalan ke sebelah kiriku. Lalu Asahina-san di sebelah kananku. Kenapa aku tiba-tiba diapit oleh dua gadis cantik?

“Ayo kita jalan.”

“Karena kesempatan langka, mau bergandengan tangan?”

Tolong jangan yang itu. Setelah itu, sepanjang perjalanan ke halte bus, kedua gadis di sampingku terus menceritakan pesona Otsuki-san.

“Bus-nya sudah datang, aku duluan ya.”

Mizuhara-san berlari ke arah bus yang hampir berangkat.

“Kogure-chi, aku menantikan perkembanganmu ya.”

Entah sejak kapan aku diberi nama panggilan. Dia orang yang ceria ya. Setelah mengantar Mizuhara-san, aku dan Asahina-san menunggu bus. Sepertinya bus untuk rute kami berdua akan datang sekitar 10 menit lagi.

“Dia orang yang ceria dan ramah ya.”

“Benar. Tapi dia sudah banyak berubah. Pas SMP kami bertiga selalu bersama, tapi sejak pindah sekolah dia jadi lebih sering sendiri.”

“Asahina-san.”

“Cinta memang bisa mengubah orang ya.”

Asahina-san menghela nafas.

“Ngomong-ngomong, apa kamu bakal terus mendekati Shizuku?”

“Yah, pelan-pelan aja. Semoga bisa semakin akrab sedikit demi sedikit.”

“Lambat, itu terlalu lambat. Kamu harus bisa menyatakan cinta secepatnya!”

“Menyatakan cinta!? Itu terlalu cepat menurutku!”

Aku mendekati Otsuki-san demi sahabatku, kalau sampai menyatakan cinta bukankah itu buruk? Entah kenapa aku merasa Asahina-san memaksaku terburu-buru.

“Lagian tidak mungkin aku bisa seagresif itu sendirian.”

“Kalau gitu aku bakal membantumu. Aku bakal jadi perantara dengan Shizuku. Aku bakal membantumu biar bisa pacaran dengan Shizuku.”

Aku berpikir kenapa dia sampai sejauh itu, tapi karena sudah terlanjur berpura-pura menyukai Otsuki-san, aku tidak bisa menolak. Meski agak berat hati, aku memutuskan untuk mengangguk.

“...Tolong bantuannya.”

“Tentu saja kalau mau pacaran dengan Shizuku, kamu harus jadi orang yang pantas. Mau gimana lagi, aku bakal mengajarimu berbagai hal.”

Gawat, situasinya berkembang di luar dugaan. Sepertinya aku sudah tidak bisa kabur lagi. Kalau sampai ketahuan aku sebenarnya tidak punya perasaan pada Otsuki-san... Mungkin aku akan dicincang.

“Umm... Bantuan seperti apa? Di sekolah sulit bicara karena banyak orang, dan aku tidak bisa setiap hari karena ada kegiatan klub. Apa kita akan bertemu seminggu sekali di kafe itu?”

“Benar. Tapi itu tidak cukup. Seminggu sekali terlalu lambat.”

“Lebih dari itu tidak mungkin tanpa bertukar kontak. Tapi bertukar kontak tidak baik untuk posisi Asahina-san kan?”

“Tidak masalah kok, ini.”

Asahina-san menyodorkan ponselnya. Di layar ponsel terlihat QR code LINE yang siap untuk ditukar. Padahal aku sudah memikirkan posisinya dan berusaha tidak melakukan itu, tapi dia malah tidak peduli.

“Asahina-san, bukannya kamu bersikeras tidak bakal bertukar kontak dengan teman sekelas selama SMA?”

“Eh? Ah.”

Suara terkejut keluar dari mulut Asahina-san. Menurut pembicaraan sebelumnya, Asahina-san menolak total interaksi dengan anak laki-laki. Mengingat penampilannya, itu wajar, dan di zaman sekarang, banyak yang menganggap itu sebagai bentuk perlindungan diri. Karena itulah aku juga sungkan. Tapi orang ini sudah...

“Asahina-san ternyata agak ceroboh ya. Jangan-jangan di sekolah kamu memakai topeng kucing?”
(Tln : kalimat ungkapan yang menggambarkan seseorang berpura-pura / akting berlawanan dengan sifat aslinya)
“Tu-tunggu, jangan bilang hal yang sama dengan Shizuku!”

Ternyata Otsuki-san juga berpikir begitu. Gadis cantik yang berpura-pura sempurna tapi sebenarnya ceroboh, itulah identitas asli Asahina Alisa.

“Uuh...”

Setelah kutegur, Asahina-san menahan air mata kecewa di sudut matanya. Kukira dia akan marah, tapi ponselnya masih disodorkan, jadi sepertinya bertukar kontak masih OK. Aku memindai QR code Asahina-san dengan ponselku, dan kami selesai saling mendaftarkan di ponsel masing-masing. Tak kusangka aku akan mendapatkan kontak Asahina Alisa yang diinginkan seluruh anak laki-laki di sekolah... Kalau ketahuan, aku mungkin akan dibantai oleh anak laki-laki. Asahina-san menatap ponselnya lekat-lekat.

“Kalau dipikir-pikir, ini mungkin pertama kalinya aku memberi kontakku pada laki-laki selain keluarga.”

“Tu-tunggu, benarkah!? Kukira ponselmu penuh dengan nomor pacar di luar sekolah.”

“Fufu.”

Di bawah lampu halte bus malam yang semakin larut, Asahina Alisa tertawa dengan ponsel di dekat mulutnya.

“Aku belum pernah punya pacar. ...Lucu ya, nomor orang yang menyukai Shizuku jadi yang pertama untukku.”

Meski dia suka makan banyak, ceroboh, dan punya sifat yang agak nekat, tapi sosoknya yang seperti ini benar-benar cantik menurutku. Setelah berpisah dengan Asahina-san, aku turun di halte terdekat dan berjalan sendirian menuju rumah.

Asahina Alisa. Memang dia cantik, dan saat pertama bertemu aku berdebar-debar... Tapi entah kenapa perasaanku cepat tenang. Entah kenapa sifat dan tingkahnya terasa familiar... seperti membuat nyaman. Itu... Mirip siapa ya?

“Ou! Ryouma!”

Di depan rumah, teman masa kecilku Hirasawa Leo sedang menungguku pulang. Melihat senyum cerahnya yang biasa, perasaanku jadi ceria, tapi berubah saat melihat seragamnya.

“Le-Leo. Seragammu robek, ada apa?”

“Oh, tadi aku memanjat pohon untuk menyelamatkan kucing yang tidak bisa turun. Pas turun, tersangkut di ranting dan robek.”

“Masa sih...”

“Terus kebetulan kancingnya juga lepas, jadi tolong jahit kayak biasa ya.”

“Dasar! Leo masih aja ceroboh dan bertindak tanpa berpikir ya!”

“Terima kasih ya, Ryou-mama.”

“Hentikan itu.”

Begitulah, aku melupakan hal tentang Asahina-san dan kembali sibuk menjaga sahabatku yang berisik seperti biasa. 















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !