Kurasu de Nibanme ni Kawaii Onnanoko to Tomodachi ni Natta Prolog 1 V7

Ndrii
0

Prolog




※※※

Pov Nitta Nina

“──Aku pulang,” gumamku pelan di depan pintu sambil masuk ke rumah. 


Ini adalah rumah kecil yang kutinggali bersama kedua orang tua dan kakak perempuanku, tapi meskipun sempit, tetap membuatku merasa lega setiap kali pulang.


Aku memasukkan sepatu loafer ku dengan sembarangan ke dalam rak sepatu dan berjalan ke ruang tamu yang menyala terang seakan tertarik oleh cahaya. 


Setelah melepas blazer seragam dan kaus kaki, serta meletakkan tas di atas meja, aku menghampiri kakakku yang sedang bersantai di sofa sambil menonton televisi.


“Ah, capek banget... Nee, Yuna-nee, masih ada es krim di kulkas, kan?” tanyaku.


“Hmm, tidak ada. Yang terakhir lagi kumakan sekarang,” jawabnya sambil mengangkat es krimnya.


“...Oh, begitu.”


Padahal itu es krim yang kubeli dengan uang sakuku sendiri, tapi kalau dibiarkan begitu saja, selalu diambil olehnya. 


Waktu kecil, kami sering bertengkar karena hal seperti ini, tetapi sekarang aku sudah pasrah dan berpikir mungkin ini juga sedikit salahku karena membiarkannya begitu saja.


Kalau tidak ada, ya sudah, tinggal beli lagi nanti. Untuk sementara, aku menahan hausku dengan teh barley dingin. Aku sudah tak punya energi atau semangat untuk pergi ke minimarket atau supermarket saat ini.


“Nina, wajahmu hari ini benar-benar terlihat lelah. Tadi ada festival olahraga, kan? Bagaimana?”


“Yah, kau bisa tahu hanya dengan melihat wajahku, kan? Melelahkan,”


Festival olahraga yang diadakan dua tahun sekali itu memang sangat menyenangkan, tapi begitu perlombaan selesai dan kami harus merapikan semuanya, kelelahan langsung terasa. 


Badanku terasa lengket karena keringat dan debu dari lapangan, dan itu sangat tidak nyaman.


Rasanya, aku ingin langsung masuk ke kamar mandi dan membersihkan semuanya. 


Hari ini memang banyak hal yang terjadi dan ada yang terselesaikan, tapi ada juga yang sepertinya akan menimbulkan masalah lain nantinya.


“Yuna-nee, aku mau mengisi air di bak mandi. Kamu mau mandi duluan?”


“Tidak, aku masih harus belajar, jadi kamu duluan saja. Oh, kata Ibu, makan malamnya sudah ada di panci, tinggal hangatkan kari dan masak nasi sesuai selera.”


“Baiklah, aku duluan, ya.”


Setelah melihat kakakku kembali ke kamarnya untuk belajar, aku memulai persiapan mandi dan mencuci. Karena orang tua kami selalu berangkat bekerja sejak pagi, aku dan Yuna-nee yang bertanggung jawab mengurus pekerjaan rumah sebisa mungkin, termasuk membersihkan dan mencuci. Tapi pekerjaan kami hanya sebatas yang minimal saja, tidak sampai bisa dibanggakan.


Memang, aku tak pernah memamerkannya pada siapa pun.


Aku melemparkan seragam olahraga dan pakaian dalam yang kotor karena pasir dan keringat ke dalam mesin cuci, menekan tombol start, lalu menuju kamar mandi. Meskipun bak mandinya belum sepenuhnya terisi, aku bisa mencuci rambut dan badanku dengan shower terlebih dahulu.


Kadang Yuna-nee mengatakan agar aku tidak terlalu tergesa-gesa. Mungkin aku memang punya sisi yang sedikit tidak sabaran.


“Wajahku... benar-benar terlihat lelah, ya?” gumamku sambil menyentuh wajahku yang terpantul di cermin setelah membersihkan busa sampo.


Di mataku, wajah polos ini masih terlihat biasa saja, lumayan imut (meskipun agak aneh kalau aku yang mengatakannya sendiri), tapi mungkin ada yang bisa melihat perbedaan ini.


Bukan hanya Yuna-nee, tapi mungkin juga orang-orang terdekatku.


“Haaah...”


Aku menarik napas panjang sambil berendam di bak mandi yang telah terisi penuh, mencoba mengeluarkan semua kelelahan hari ini. Aku tidak suka berendam terlalu lama karena takut kepanasan, tapi aku suka momen mandi ini.


Waktu berendam adalah saat yang tenang, tempat di mana aku bisa menikmati kesendirian. 


Terkadang, aku juga butuh waktu untuk merenung sendirian.


“Aku sudah tahu, tapi tetap saja... tidak berhasil, ya...”


Sambil menatap ke langit-langit, aku teringat tentang patah hati yang baru saja kualami hari ini.



Setelah selesai membereskan festival olahraga dan selesai juga acara perpisahan kelompok biru, aku diam-diam menyampaikan perasaanku yang sebenarnya kepada seorang anak laki-laki.

Takizawa Souji-kun.

Dia masih kelas satu tapi sudah menjadi wakil ketua OSIS, luar biasa aktif baik di belakang layar maupun dalam pertandingan selama festival olahraga. Selain itu, dia adalah salah satu cowok paling tampan yang pernah kulihat, sangat mendekati sosok ideal di mataku.

“──Maaf, Nitta-senpai. Aku menyukai Mio-senpai.”

Kata-kata yang baru kudengar sekitar satu jam yang lalu terus berputar di kepalaku, berulang-ulang.

Sebenarnya, aku sudah tahu kalau aku akan ditolak. Di hatinya, sudah ada seorang gadis istimewa bernama Nakamura-san, dan mereka bahkan sudah menjadi pasangan. 

Aku tahu ini sia-sia, dan sudah berusaha mempersiapkan diri. Tapi tetap saja, saat ditolak dengan begitu jelas, aku tetap merasa kecewa berat.

…Meskipun begitu, aku sama sekali tidak menyesali keputusanku untuk mengungkapkan perasaanku.

“Yu-chi… anak itu, kira-kira apa yang akan dia lakukan?”

Setelah cukup merasa sedih, pikiranku malah beralih ke salah satu sahabat dekatku.

Dia sangat cantik, seakan bersinar seperti matahari. Seindah apapun aku berusaha menggapainya, dia adalah gadis yang terlihat seperti karakter yang keluar langsung dari cerita dongeng.

Namun bahkan dirinya yang secerah dan sehebat apapun usahanya, tetap tidak bisa mendapatkan semua yang diinginkannya.

“Jadi, cinta pertama gadis itu adalah pacar sahabatnya sendiri… Ya, sulit memang untuk tidak merasa bimbang dalam situasi seperti itu.”

Meski dia belum pernah mengakuinya, aku bisa melihat bahwa cinta pertamanya adalah Maehara-chi. Ekspresi, gerak-gerik, dan caranya bicara saat bersama Maehara-chi sangat mirip dengan diriku saat berada di depan Takizawa-kun.

Secara pribadi, aku tidak terlalu memahami mengapa Maehara-chi bisa menarik banyak perhatian, tapi aku juga tidak heran. Dia memang punya sedikit masalah dalam bersosialisasi, terutama karena dia nyaris tidak punya teman sebelumnya, tapi setelah mengobrol, dia ternyata cukup humoris dan ada sisi baik yang membuatnya disukai.

Karena itu, ketika aku tahu Asanagi mulai berpacaran dengan Maehara-chi, aku sama sekali tidak terkejut. Begitu pula ketika Yu-chi, sahabat Asanagi, diam-diam memiliki perasaan yang sama.

“Nee, Yu-chi… atau lebih tepatnya, Amami Yuu. Apa kau benar-benar baik-baik saja dengan semua ini?”

Aku teringat gumamanku kepada Yuu-chi tempo hari. Pendekatan terhadap cinta memang berbeda-beda bagi tiap orang, dan bagaimana dia memutuskan adalah kebebasannya. Dia boleh saja menyerah diam-diam seperti yang kulakukan, atau membiarkan cinta bertepuk sebelah tangan hingga hari kelulusan dan memudar dengan sendirinya.

Aku tak punya hak, mungkin juga tak layak, untuk ikut campur dalam kisah cintanya. 

Aku mengerti itu.

… Tapi, meskipun aku mengerti…













Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !