Bab 4
Di Balik Akhir Musim Panas
Liburan musim panas selalu terasa berlalu dengan cepat setiap tahunnya, tetapi entah mengapa, tahun ini terasa lebih singkat dari biasanya.
Setelah menikmati waktu bermain di villa pantai minggu lalu, aku menghabiskan beberapa hari hanya bersantai di rumah sambil menikmati kesejukan, sampai akhirnya sadar bahwa hari pertama masuk sekolah telah tiba.
Karena belakangan ini aku sering tidur larut malam, bangun pagi hari ini terasa berat.
“──Selamat pagi, Maki. Ayo, duduk sini, biar aku rapikan rambutmu.”
“Ya. Ibu di mana?”
“Tante Masaki sudah berangkat tadi. Katanya dia akan pulang terlambat, jadi nggak usah siapkan makan malam.”
“Baik, aku mengerti.”
Seperti biasanya, aku menuruti perintah Umi, yang segera membereskan rambutku yang acak-acakan setelah bangun tidur.
Biasanya, rumah keluarga Maehara sedikit berantakan selama liburan musim panas karena aku sering bermalas-malasan.
Tapi tahun ini, sejak Umi sering datang di pagi hari dan membantu bersih-bersih, rumah kami jadi selalu rapi dan nyaman.
...Aku dan ibu tampaknya terlalu sering bergantung pada kebaikan Umi.
“Ok, sudah selesai. Hehe, sekarang kamu jadi lebih keren. Mulai sekolah lagi hari ini, kan? Jadi harus tampil maksimal.”
“Sekolah, ya... Hmm, Umi, bagaimana kalau kita libur satu hari lagi?”
“Ngga bisa gitu dong, sayang. Kalau kamu mau, aku bisa buatkan kopi. Sekarang cepat pakai seragammu.”
“Baiklah...”
Mulai hari ini, latihan dan persiapan untuk festival olahraga juga dimulai. Jadi, meski masih liburan, kami harus sering ke sekolah untuk latihan.
Sejak selesai libur Obon, kami akan beraktivitas dengan jadwal hampir sama seperti hari-hari biasa.
Meski tidak ada kelas seperti biasa karena ini masih liburan, memikirkan latihan di bawah terik matahari membuatku merasa sedikit terbebani.
Tapi... tentu saja, ada hal-hal yang membuat semua ini terasa lebih menyenangkan.
“Nee, Maki.”
“Ya?”
“Hari ini kamu resmi berusia tujuh belas tahun. Selamat ya. Itu pesan dari Tante Masaki.”
“Oh, dari ibu ya... Kalau dari Umi?”
“Dari aku? Hmm... sepertinya nggak ada.”
“Apa?”
“Ehehe, cuma bercanda. Tapi, kejutan dari aku nanti saja, ya?”
“Eh... baik.”
“Ups! Wajahmu merah tuh, Maki. Apa yang kamu pikirkan, hm? Setelah mendengar kata ‘kejutan’, kamu membayangkan apa, nih? Ayo, jujur pada kakak ini.”
“Eh! Ng-nggak ada apa-apa...”
“Benarkah? Jadi, kamu nggak ingin apa-apa?”
“...Aku nggak pernah bilang begitu.”
Hari ini, tanggal 6 Agustus, adalah hari ulang tahunku, Maehara Maki. Aku tidak ingat kapan terakhir kali menantikan hari ini dengan begitu antusias.
Memang, aku merayakan ulang tahunku tahun lalu, tapi saat itu, aku hanya bermain game online sendirian hingga lewat tengah malam, dan baru sadar sudah tanggal 7 Agustus.
...Mengingat itu terlalu menyakitkan, jadi lebih baik tidak perlu dibahas lebih lanjut.
Tapi tahun ini berbeda.
Sekarang, ada begitu banyak orang yang peduli padaku dan ingin merayakan hari istimewaku ini.
Ada keluargaku, teman-teman, dan... kekasihku.
Meskipun ayahku sudah tidak ada di sini dan itu memang membuatku merasa sedikit kesepian, orang-orang di sekitarku memberiku lebih dari cukup tentang cinta dan perhatian untuk mengisi kekosongan itu.
Seperti yang sudah diumumkan oleh Amami-san minggu lalu, kami akan merayakan ulang tahunku bersama yang lain di siang hari, dan sore harinya... hanya aku dan Umi berduaan saja.
Memikirkan itu saja membuat rasa malas dan bebanku menghilang begitu saja, dan aku merasa bersemangat untuk menjalani hari ini.
Namun, sebelum sampai ke momen yang kutunggu-tunggu di sore hari, ada acara festival olahraga yang semakin dekat.
Hari ini kami akan menentukan peserta untuk setiap lomba dan mengadakan pertemuan kelompok. Meski jadwal latihannya fleksibel dan bisa diatur setiap kelompok, tingkat keseriusan terlihat dari bagaimana masing-masing mempersiapkan diri.
“──Nee, Nagi-chan, kamu mau ikut lomba apa? Lari tiga kaki? Lomba seribu kaki? Atau estafet saja, karena kamu kan cepat larinya?”
“…Apa pun, asalkan bukan sama kamu.”
“Mmm~ Kenapa bilang begitu? Ayolah, ikut bareng aku, ya~. Kalau aku dan Nagi-chan kerjasama, kita pasti tak terkalahkan!”
“Kalo musuh, aku juga ada. Ada nih di sebelahku.”
“Eh? Sebelahmu? Maksudnya Yama-chan, ya? Duh, nggak boleh begitu, Nagi-chan. Masa ngomong gitu tentang teman sendiri.”
“...Kamu pasti sengaja, kan?”
“Ehehe~.”
Karena sudah terbiasa dengan interaksi di antara mereka, aku hanya mengamati sambil menuliskan namaku pada formulir peserta dua orang tiga kaki.
Walaupun kemungkinan harus ikut beberapa lomba lain karena jumlah peserta tumpang tindih dengan banyaknya lomba, namun dengan bisa berpasangan dengan Umi di lomba ini membuatku merasa siap untuk apa pun, entah itu perang tanding atau lomba tarik tambang.
“Ah, Maehara-kun juga ikut lomba dua orang tiga kaki, ya? Apa kamu mau coba kategori campuran sama Umi?”
“Yah, mungkin begitu. Kamu sendiri, Amami-san? Nggak ikut sama Arae-san?”
“Ehehe… Sebenarnya aku sudah berusaha membujuk dia, tapi Nagi-chan terlalu malu. Oh ya, bisa tolong tuliskan namaku di bagian lomba estafet juga?”
“Boleh. Arae-san, kamu biaa malu-malu.”
Arae-san mendengus kesal, “Hah, kapan aku bilang begitu? Maehara, sekalian tulis namaku dan Yama di lomba lari seratus kaki.”
“Baiklah, baiklah. Tapi kok kamu mau berpasangan sama Yamashita-san?”
“Ada masalah?”
“Nggak ada kok…”
Dengan kemampuan atletis Amami-san dan Arae-san, sebenarnya mereka bisa saja ikut lebih banyak cabang lomba, tapi masing-masing sudah punya tanggung jawab lain.
Amami-san jadi anggota panitia logistik, sementara Arae-san sibuk sebagai perwakilan kelas. Mereka juga terlibat latihan tim pendukung, jadi aku tak mau memaksa mereka terlalu jauh.
“Maehara-kun.”
“Hm? Ada apa, Amami-san? Mau kutambahkan namamu di lomba lain?”
“Ah, iya, makasih… Hmm, sebenarnya…”
Kulihat jarinya sempat menunjuk ke bagian dua orang tiga kaki, tapi entah kenapa ia berubah pikiran dan memilih lomba lari seratus kaki bersama Arae-san dan Yamashita-san.
“Serius mau ikut yang ini?”
“Iya... Aku rasa aku lebih suka bareng Nagi-chan dan Yama-chan.”
Aku menoleh sekilas ke arah Arae-san, tapi dia tidak menunjukkan tanda-tanda keberatan. Tak ada dengusan kesal atau ekspresi tidak suka, jadi sepertinya memang tak ada masalah.
Aku menghapus nama “Amami Yuu” yang sempat kutulis di bagian dua orang tiga kaki dan menuliskannya di bagian lomba lari seratus kaki.
“Terima kasih, Maehara-kun! Aku balik dulu ya.”
“Ah, iya. Aku juga...”
Ketika Amami-san kembali ke tempat duduknya, aku merasa dia sempat menunjukkan ekspresi yang sedikit muram.
“Ugh, kenapa lagi aku harus sekelompok denganmu?” keluh Arae-san dengan nada malas.
“Biarlah, Arae-san. Santai saja. Dulu waktu turnamen olahraga, kita memang payah, tapi sekarang pasti bisa.” Yamashita-san mencoba membesarkan hati temannya.
“Iya, kan? Nagi-chan, kita bakal sering latihan bareng jadi kamu nggak perlu kesepian lagi, hehe.”
“…Menyebalkan.”
“Uhuhu, Nagi-chan memang pemalu~.”
“......”
Mereka terlihat seperti biasa, saling meledek dan bercanda.
Namun, rasa mengganjal yang kurasakan tadi tak bisa sepenuhnya hilang dari pikiranku.
Sejak acara di pantai waktu itu, Amami-san terasa sedikit menjaga jarak dariku. Biasanya, dia akan langsung bilang, “Aku juga mau ikut bareng kamu, Maki-kun!” Tapi akhir-akhir ini, dia sering berubah pikiran mendadak, seperti memutuskan, “Ah, nggak usah deh.” Rasanya seperti dia sengaja menghindariku agar tidak mengganggu hubunganku dengan Umi.
Namun, caranya mengambil jarak kadang terasa canggung, sehingga justru membuat situasi jadi aneh.
“...Hei, Amami.”
“Hm? Ada apa, Nagi-chan?”
“Kau... Ah, nggak, lupakan.”
“Eh? Kenapa tiba-tiba? Kalau kayak gitu, aku jadi penasaran dong!”
“berisik, nggak penting. Lupakan saja.”
“Huu~ Nagi-chan jahat~.”
Mereka melanjutkan candaan seperti biasa, tapi rasa janggal itu terus menggelayuti pikiranku.
Bahkan Arae-san, yang mungkin paling sering memperhatikan Amami-san (meskipun aku tak berani mengatakannya dengan lantang), tampaknya menyadari ada sesuatu yang berbeda dari biasanya.
Namun, seperti biasanya, ia tidak menyinggung hal itu sama sekali.
Amami-san masih berusaha terlihat seperti biasanya di hadapan orang lain, tapi sikapnya yang mencoba menjaga jarak dariku terasa sangat kelihatan.
…Aku baru sadar, situasi seperti ini pernah terjadi juga pada musim gugur tahun lalu.
Setelah rapat kelas bulan lalu dan sedikit ‘teguran’ dari Arae-san (kalau itu bisa disebut begitu), penentuan peserta untuk setiap cabang lomba berhasil diselesaikan tanpa masalah.
Selanjutnya, semua siswa dibagi ke dalam kelompok masing-masing untuk mengikuti pertemuan besar. Meskipun hari ini hanya sekadar perkenalan antar tingkat kelas, suasana pertemuan dirancang untuk meningkatkan semangat menjelang latihan mulai esok hari.
Tiap kelompok menunjukkan cara yang berbeda dalam menciptakan atmosfer yang tepat. Ada yang membuat suasana tegang dengan teriakan khas klub olahraga, ada juga yang menghidupkan suasana dengan candaan layaknya stand-up comedy.
Setiap pendekatan mencerminkan kreativitas mereka, meskipun tujuannya tetap sama yaitu memperkuat kekompakan tim.
“──Baiklah, meskipun mayoritas siswa klub olahraga masuk ke kelompok lain, kita tetap harus berusaha sekuat mungkin untuk menang. Aku akan melakukan yang terbaik, jadi kumohon bantuan dari kalian semua. Terima kasih.”
Ketua kelompok Biru, seorang siswa kelas tiga, menundukkan kepala dengan wajah tegang.
Ucapannya yang jelas dan formal meninggalkan kesan baik padaku, namun tampaknya tidak begitu berpengaruh pada siswa kelas satu.
“──Hei, senior berambut pirang di belakang itu cantik banget, ya?”
“──Iya, itu Amami-senpai dari kelas dua, kan? Dia emang cakep.”
“──Senior-senior lainnya juga lumayan menarik. Kelompok kita kayak fokus di penampilan nih.”
Sementara wakil ketua memberikan sambutan, perhatian banyak orang tertuju pada Amami-san.
Aku tak tahu pasti apa yang terjadi belakangan ini, tapi tampaknya ia cukup populer di kalangan siswa, baik senior maupun junior, dan telah menjadi sosok bak idola sekolah.
Namun, kali ini kelompok Biru tidak hanya memiliki Amami-san.
“──Ah, itu wakil ketua OSIS yang terkenal, kan? Serius, dia keren banget.”
“──Mukanya terlalu manis! Aku bisa diabetes cuma dengan melihatnya.”
“──Takizawa-kun, aku pengen nge-ship dia.”
Percakapan para siswi itu terdengar jelas hingga membuat Takizawa, yang berdiri di barisan siswa kelas satu, tersenyum kecut.
Setelah kejadian beberapa minggu lalu, aku dan dia jadi sering bertukar pesan.
Meskipun aku belum tahu kelanjutan hubungannya dengan Nakamura-san sejak uji nyali terakhir, aku berharap semuanya berjalan lancar.
Setelah pertemuan selesai dan siswa lainnya dibubarkan, beberapa orang, termasuk Arae-san dan Amami-san, tetap tinggal untuk mempersiapkan acara utama.
“Maki-kun, aku ada rapat untuk urusan papan skor setelah ini, jadi kamu bisa berangkat duluan sama Umi. Aku bakal nyusul, paling lambat tiga puluh menit.”
“Siap. Kalau kami sudah memutuskan tempat, nanti kukirimkan peta di grup chat, ya.”
“Baik. Ngomong-ngomong, kamu lihat di mana Ooyama-kun? Aku nyari-nyari dari tadi, tapi belum ketemu.”
“Ooyama-kun? Hmm… barusan dia masih di dekatku, tapi…”
Aku melayangkan pandangan ke sekeliling, tapi tidak melihat sosoknya yang biasa memakai kacamata. Mungkinkah dia salah paham dan pulang lebih dulu? Aku mulai khawatir akan kerepotan nanti.
“…Aku di sini, kok.”
Suara dari belakang membuatku menoleh. Sekilas, aku hampir tidak mengenali siapa dia, tapi suaranya terasa familiar.
Meski tidak memakai kacamata, sosok di depanku memang tak salah lagi itu Ooyama-kun.
“Maaf, tadi frame kacamataku rusak, jadi aku ke toilet buat memperbaikinya sebisanya. Ada apa memangnya?”
“Ah, begitu ya. Maaf, Ooyama-kun. Aku sempat khawatir karena kamu tiba-tiba menghilang… Iya kan, Maki-kun?”
“Uh, iya. Maaf juga, aku nggak langsung sadar tadi karena kamu nggak pakai kacamata.”
“Hahaha... yah, kalau kacamata dilepas dari aku yang biasa-biasa saja ini, mungkin tidak ada yang tersisa,” ucap Ooyama dengan nada bercanda dan sedikit mencemooh diri sendiri.
Aku dan Amami-san hanya bisa tersenyum kecut tanpa bisa membalas apa-apa.
Meskipun di hati kecil ingin percaya bahwa penampilan bukanlah segalanya, aku tetap saja menjadikan “kacamata” sebagai ciri utama untuk mengenali Ooyama-kun. Itu bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan, terutama karena kami sudah belajar bersama sebagai teman sekelas selama ini. Seharusnya aku lebih introspektif.
“Ngomong-ngomong, Ooyama-kun, kamu yakin baik-baik saja tanpa kacamata? Kalau nggak bisa melihat dengan jelas, aku bisa bilang ke guru biar kamu pulang duluan,” tawar Amami-san dengan nada khawatir.
“Nggak masalah. Aku masih bisa melihat sedikit walau tanpa kacamata… Kalau kita telat, itu malah lebih repot. Ayo, kita berangkat sekarang.”
“Eh, tunggu, Ooyama... Maaf ya, Maki-kun, aku pergi dulu.”
“Iya, hati-hati ya.”
Amami-san tersenyum canggung, lalu segera mengejar Ooyama-kun yang sudah bergabung dengan kelompok tugas bagian papan skor.
Meskipun awalnya terasa kurang lancar, aku yakin Ooyama-kun dan Amami-san akan menyelesaikan tugas mereka dengan baik. Mereka berdua punya sikap serius, jadi aku tak terlalu khawatir soal itu.
Setelah memastikan keduanya pergi, aku kembali ke rencana semula untuk bertemu Umi. Hari ini aku ingin menikmati momen sebagai pusat perhatian dan merayakan ulang tahun ketujuhbelas bersama teman-teman.
Kami—aku, Umi, dan Nitta-san—telah tiba lebih dulu di kawasan pusat kota dan memilih salah satu dari tiga karaoke di dekat stasiun, mencari yang paling sepi.
Setelah membayar untuk ruangan lima orang, kami menunggu kedatangan Amami-san dan Nozomi, yang masih terlibat kegiatan dengan tim pendukung dari tim merah. Katanya, mereka mungkin akan terlambat sekitar satu jam.
Meskipun sedikit sunyi tanpa mereka, waktu sewa kamar cukup panjang.
Sambil menunggu semuanya berkumpul, bernyanyi dulu sepertinya ide yang bagus. Aku memang masih sedikit gugup bernyanyi di depan orang lain selain Umi, tapi apa boleh buat.
“Ini, Ketua.”
Nitta-san menyerahkan mikrofon sambil menyodorkan minuman yang tadi kami pesan.
“Uh… jadi aku yang mulai duluan?” tanyaku.
“Tentu saja. Hari ini kamu bintang utamanya, kan? Eh, Umi, Ketua ini lumayan bisa nyanyi, ya?” kata Nitta-san sambil menoleh ke Umi.
“Iya, kok. Hanya sedikit kesulitan di nada tinggi, tapi selebihnya oke. Setidaknya, di depan aku sih,” jawab Umi sambil terkekeh.
“Heh... Oke, kita rekam aja, ya.”
“Jangan, nanti aku malah makin tegang! Nitta-san, tolong jangan tunjukin videonya ke orang lain, ya.”
“Santai aja. Nggak bakal. Udah, buruan pilih lagunya.”
Aku mengambil remote dan memilih lagu terbaru dari grup musik yang sedang viral di media sosial. Biasanya, kalau Cuma berdua dengan Umi, aku lebih sering menyanyikan lagu anime atau game. Tapi sejak sering jalan berdua, aku mulai belajar untuk menyesuaikan selera.
Sambil menyimak lirik di layar, aku melirik sedikit ke arah Umi dan Nitta-san.
Umi tersenyum lembut seperti biasa, memberi tepuk tangan mengikuti irama. Sementara itu, Nitta-san sesekali menyelutuk untuk bercanda tapi tetap menghargai nyanyianku, sibuk merekam dengan kamera ponselnya.
Perbedaan sikap mereka berdua terlihat jelas, tapi keduanya punya kebaikan hati yang menenangkan.
Melihat mereka menikmati suasana, aku jadi merasa senang dan semakin bersemangat.
Apa ini yang disebut “terbawa suasana”? Atau sekadar bahagia? Entahlah, yang jelas perasaanku sedang sangat baik.
“Nee, Ketua, suaramu lumayan juga, ya. Oke, aku kirim ke Yuu-chi sekarang.”
“Berhubung Maki sudah tampil, sekarang giliran aku. Lagu apa yang kamu mau? Pastiin pilih yang kamu suka, ya,” kata Umi sambil menggoda.
“Hmm… kalau gitu, coba lagu ini,” jawabku.
Sudah lama sejak terakhir kali kami pergi karaoke bersama setelah pertandingan kelas.
Bernyanyi dengan banyak orang memang menyenangkan. Walaupun kadang aku dan Umi juga suka karaoke berdua, kegiatan itu sering beralih dari sekadar bernyanyi ke acara “berduaan romantis”.
Jadi, kalau ingin benar-benar fokus menikmati musik, pergi dengan teman-teman lebih cocok.
…Tentu saja, menikmati waktu berduaan dengan pacar di ruangan sempit dan remang-remang juga punya pesona tersendiri yang sulit ditandingi.
Setelah aku, Umi, dan Nitta-san masing-masing menyanyikan satu lagu, kami sempat bingung memilih lagu berikutnya. Saat itulah Amami-san masuk ke dalam ruangan.
“Ehehe~, maaf ya, semuanya! Tadi aku sempat mampir sebentar, jadi agak telat. Oh, dan ini untukmu, Maki-kun!”
“Hah... Ini, apa mungkin... kue?”
“Tentu saja! Ehehe, waktu aku bilang ini untuk ulang tahun temanku, mereka bahkan menambahkan pesan spesial secara gratis. Lihat, deh!”
Kami bertiga membuka kotak putih itu, dan di atas selembar cokelat terdapat tulisan dengan cokelat putih:
“Maki-kun, selamat ulang tahun!”
Pesan itu terasa sedikit kekanak-kanakan, dan sebagai siswa SMA, ada sedikit rasa malu karenanya.
Namun, karena ini pertama kalinya aku merayakan ulang tahun bersama selain keluarga, perasaan bahagia dan haru mengalahkan rasa malu itu.
Tak lama kemudian, Nozomi yang baru selesai latihan dengan tim pemandu sorak bergabung dengan kami, dan kelima orang ini memulai ‘ritual’ kami yang biasa.
Di tempat ini, kami bisa bersenang-senang sepuasnya tanpa khawatir mengganggu siapa pun, dan suara riuh penuh kebahagiaan dari keempat temanku memenuhi ruangan.
“Maki, ayo, tiup lilinnya sekaligus, ya! Fuuuh!”
“Selamat ulang tahun, Maki-kun!”
“Selamat ulang tahun, Ketua! Terus berhubungan dengan kami, ya.”
“Selamat ulang tahun, Maki. Mohon bantuannya untuk kedepannya.”
Sambil merasakan tepukan dari mereka di punggungku, aku meniup lilin-lilin di atas kue itu dengan satu tarikan napas.
Tanpa sadar, senyumku merekah.
Jika bisa, aku ingin memberi tahu diriku yang dulu—aku yang merasa kesepian dan mengira tidak butuh teman atau kekasih.
Tahun lalu, aku mungkin masih berpikir bisa bertahan sendirian, tapi sekarang, aku ingin bilang, “Lihatlah dirimu sekarang. Kamu punya teman dan kekasih yang merayakan ulang tahunmu.”
“Hmm, kuenya memang enak, tapi acara utamanya belum selesai, lho! Nina, kamu bawa itu, kan?”
“Tentu saja! Ketua, ini juga sebagai ucapan terima kasih karena selalu membantu kami.”
“Eh... Ini, mungkin...?”
“Kan hari ini ulang tahunmu. Jadi ya, sudah jelas, kan?”
“Benar! Nih, Maki-kun, hadiah dariku juga!”
Mereka memberiku kantong hadiah yang sudah dibungkus rapi. Kalau tidak salah, mereka membeli ini di toko-toko di mall dekat stasiun.
Aku sudah sangat senang hanya dengan kue, tapi ternyata mereka juga memberiku hadiah.
Karena itu, aku bertekad untuk membalasnya dengan pantas saat ulang tahun Nitta-san dan Nozomi nanti.
Ketika kubuka hadiahnya, aku menemukan T-shirt dari Amami-san dan Nitta-san, serta topi olahraga dari Nozomi. Pesan tersirat mereka jelas—agar aku mulai memperhatikan gaya berpakaian.
Aku merasa harus memanfaatkan kesempatan ini untuk belajar tentang fashion yang sesuai usiaku, bukan sekadar mengutamakan fungsi.
“Eh? Umi, kamu nggak kasih hadiah untuk Maki-kun? Kamu bawa, kan?”
“Bawa, sih, tapi... ada alasannya kenapa belum bisa kuberikan sekarang.”
“Hah? Hadiah kok perlu persiapan?”
“Iya, tinggal 90% lagi selesai, kok.”
“…”
Teman-temanku yang lain menatap Umi dengan bingung. Mereka mungkin penasaran hadiah macam apa yang dia siapkan. Aku sendiri sudah tahu, karena ibu sempat memberi petunjuk soal rencananya. Tapi, sekarang yang bisa kulakukan hanyalah menikmati perayaan ini dengan tawa, agar saat Umi memberikan hadiahnya nanti, dia bisa merasa senang juga.
Setelah bernyanyi dan bercanda tanpa henti selama tiga jam, sesi pertama perayaan ulang tahunku berakhir. Kami semua keluar dari tempat karaoke dengan puas.
Rasanya sudah lama aku tidak menggunakan suaraku sebanyak ini. Karena menjadi pusat perhatian hari ini, aku berusaha ikut menjaga suasana dan merespons antusiasme teman-temanku.
Meskipun tubuhku lelah, aku tidak menyesal telah menikmati momen ini sepenuhnya bersama mereka.
Hari itu adalah salah satu hari yang begitu menyenangkan bagiku, tapi bagian terpenting justru baru akan dimulai setelah kami tiba di rumah.
“Baiklah, Umi, Maki-kun. Sampai jumpa di sekolah besok!”
“Dasar pasangan mesra~. Besok ada latihan pagi, jadi jangan terlalu boros menghabiskan energimu, ya!”
“Kuharap kalian berdua selalu bahagia.”
Sambil mendapat ejekan terakhir dari Amami-san dan teman-teman lainnya, aku dan Umi pun berpisah dan menuju ke tempat kerjaku di Pizza Rocket.
Awalnya, kami berencana memasak sendiri makanan yang sedikit lebih istimewa, tapi karena acara karaoke tadi berlangsung meriah dan lebih lama dari yang kami duga, akhirnya kami memutuskan untuk memesan makanan di sini saja, seperti biasa.
“Selamat datang.”
“Ah, Maehara! Karaoke-nya seru, kan?”
“Ya, cukup seru. Terima kasih, Eimi-senpai, karena sudah menggantikanku jaga hari ini.”
“Untuk adik kelas yang manis, ini tidak seberapa. Jadi, mau pesan apa? Semua menu gratis mungkin agak susah, nanti manajer bisa menangis. Tapi, aku kasih diskon setengah harga, gimana?”
“Terima kasih banyak.”
Kami duduk di meja dan mulai berdiskusi santai untuk memilih makanan. Biasanya, aku akan mempertimbangkan anggaran dengan bijak, tapi karena hari ini spesial, kami tidak ragu memesan banyak.
Pizza dengan topping ayam, keju melimpah, dan bawang putih, hingga manisan sebagai penutup.
Semua kalori yang hilang saat karaoke akan kami isi kembali demi energi untuk esok hari.
...Mungkin kami memesan terlalu banyak bawang putih, tapi aku akan menjaga jarak saat bicara dengan orang lain agar tidak terlalu mengganggu. Tentu saja, dengan Umi, aku tetap ingin selalu dekat.
“Pesanan kalian sudah lengkap. Kalau ada yang kurang, kabari saja, ya. Oh iya, Umi-chan, boleh bicara sebentar?”
“Eh? Aku?”
“Ya, ada sedikit saran dari Onee-san. Sini, dekatkan telingamu.”
Saat Umi mendekat, senpai berbisik sesuatu padanya. Seketika, wajah Umi memerah seperti tomat.
“Nah, itu saja. Semangat, ya, Umi-chan. Onee-san ini mendukungmu!”
“Sudah cukup, Nakata-senpai... Maki, ayo cepat pulang!”
“Ah, iya.”
Kami pun pamit dan meninggalkan restoran. Kurasa Eimi-senpai kembali memberi saran aneh pada Umi. Dia memang senior yang baik, tapi kalau sudah urusan cinta, dia sering menyebarkan tips yang agak menyimpang dengan percaya diri. Aku harus lebih berhati-hati agar tidak membocorkan terlalu banyak hal padanya di masa depan.
“Maki, aku mau mencuci pakaian dulu sebelum makan. Kamu ganti baju duluan, ya. Setelah itu, gantian aku.”
“Baik. Tapi tunggu sebentar...”
“Ada apa? Mau aku yang ganti dulu? Atau kamu nggak bawa pakaian ganti?”
“Bukan begitu. Pakaian ganti ada, kok. Aku hanya ingin memastikan... Umi, kamu benar-benar berniat tidur di rumahku malam ini, ya?”
“Tentu saja. Hari ini aku menginap di rumahmu. Aku sudah dapat izin dari bibi Masaki. Katanya, karena ini hari ulang tahunmu, aku boleh tinggal. Bahkan aku juga sudah minta izin pada padanya.”
“Seperti biasa, kamu selalu cepat mengatur semuanya...”
Sebenarnya, aku memang berharap bisa menghabiskan waktu berdua saja sampai pagi, tapi semuanya berjalan lebih lancar dari perkiraanku.
Selama masa pacaran ini, ada beberapa momen di mana kami hampir melampaui batas (secara emosional). Tapi, sejauh ini kami berhasil menjaga hubungan tetap sehat dan bersih.
...Dan aku tahu, malam ini pun, aku harus tetap menahan diri.
Sebelum berganti pakaian, aku mengirim pesan kepada Sora-san untuk berterima kasih dan memastikan bahwa besok pagi aku akan mengantar Umi pulang serta sarapan bersama mereka.
Setelah itu, aku mengganti bajuku dengan kaus yang baru saja diberikan sebagai hadiah. Umi juga mengganti pakaiannya dengan kaus oversized dan celana pendek yang biasanya kupakai untuk tidur.
“Eh, Maki, kaus itu… Apa itu yang kamu dapat dari Yuu?”
“Iya. Kaus dari Nitta-san terlalu keren buat dipakai di rumah, rasanya sayang. Tapi yang ini lebih cocok jadi baju santai,” jawabku sambil melihat desain karakter di dada kiri kaus—karakter yang hampir identik dengan boneka beruang yang kuberikan kepada Amami-san bulan lalu.
Soal gaya, aku kurang yakin, tapi kaus ini nyaman dipakai dan ukurannya pas.
Rasanya akan jadi favoritku. Aku juga bisa merasakan perhatian Amami-san saat memilih hadiah ini—seperti memikirkan dengan serius bahwa aku akan memakainya.
“Tapi, Maki, gimana kalau kaus itu kotor karena kena makanan? Mungkin lebih baik kamu pakai lain kali aja, daripada merusaknya di hari pertama.”
“Kamu benar juga... Kalau begitu, aku pakai kaus yang sama denganmu aja. Jadi kalau kotor, nggak masalah.”
“Kaus yang ada noda tabasco itu?”
“Iya. Udah kubersihkan, tapi beberapa noda masih tersisa,” jawabku, tersenyum kecut.
Walaupun menurutku baju itu harus dipakai, reaksi Umi membuatku memutuskan untuk tidak berdebat.
Mungkin kaus ini memang tidak cocok di matanya. Tapi biasanya Umi tidak akan keberatan dan malah menggodaku dengan berkata, “Dasar norak.”
Sepertinya, ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya kali ini. Apa pun alasannya, jika Umi merasa tidak nyaman, aku akan menghargai perasaannya. Maaf, Amami-san.
Setelah berganti pakaian, aku dan Umi pun duduk untuk menikmati makan malam terlambat. Walau sudah lewat sekitar tiga puluh menit sejak kami membawa pulang makanannya, pizza ini masih hangat karena tadi baru saja selesai dipanggang.
Ayam dan kentang yang kami pesan juga telah aku masak sebentar, dan segelas cola dingin dengan es batu menambah kesegaran malam ini.
“Maki, selamat ulang tahun. Yuk, bersulang!”
“Terima kasih, Umi. Bersulang!”
Bunyi kling dari gelas kami memenuhi ruangan. Aku menikmati makan malam dengan santai—makanan berlemak dan minuman bersoda seperti ini memang sederhana, tapi menenangkan.
Di depanku, Umi tersenyum lembut, matanya berbinar saat menatapku. Kupikir, momen-momen seperti inilah yang membuat hidup lebih bermakna.
“Pizza dari tempat kerjamu enak banget, Maki?”
“Enak. Eh, Umi, sampai kapan kamu mau terus merekamku pakai ponsel?” tanyaku sambil tertawa.
“Ups, aku lupa! Oke, kalau begitu. An...”
“Oh, aku yang harus menyuapimu, ya? Baiklah. An...”
Umi menggigit potongan pizza dengan senyum puas. “Makasih, Maki. Sekarang giliranku.”
Saat di pantai minggu lalu, kami masih menahan diri karena banyak orang di sekitar. Tapi sekarang, dengan rumah kosong dan ibuku tidak akan pulang malam ini (anehnya, walaupun ini bukan akhir pekan), kami bisa bebas bercanda tanpa khawatir.
Kurasa nanti aku akan malu setengah mati kalau mengingat momen ini, tapi itulah salah satu kebiasaan baru kami sebagai pasangan—saling menggoda dengan manis.
“Baiklah, saatnya ke acara utama untuk pemberian hadiah!”
“Wah, akhirnya! Sudah siap, kan, Umi?”
“Siap! Oh, foto-foto tadi nanti bakal kutambahin, ya,” ujarnya sambil mengeluarkan sebuah album dari tas sekolahnya.
Album itu terlihat familiar—dan memang seharusnya begitu, karena isinya adalah foto masa kecilku, koleksi keluarga besar Maehara.
Album ini sudah lama tak diperbarui, dan terakhir kali diperbarui dengan foto keluarga saat Natal tahun lalu.
“Nih, buat kamu.”
“Terima kasih. Boleh aku lihat isinya?”
Aku membuka album itu perlahan, merasa sedikit melankolis. Momen-momen masa kecil, senyum keluargaku, dan kenangan lama—semua tergambar jelas di dalamnya.
“Tentu saja. Memang itu tujuan dibuatnya album foto.”
“...Benar juga.”
Seperti tahun lalu, aku mulai membuka halaman pertama, perlahan menelusuri setiap lembar dengan saksama.
Ada foto diriku yang baru lahir, tertidur lelap dalam pelukan ibuku. Di halaman berikutnya, tampak aku yang berusia tiga tahun, duduk di atas mobil-mobilan, tersenyum ceria bersama ayahku (tertulis dengan spidol di pinggir foto).
Walaupun ingatanku tentang masa-masa itu sudah memudar, semuanya adalah kenangan yang berharga bagiku.
Aku tanpa sadar mulai larut dalam nostalgia, tapi di sini hanyalah awalnya. Hadiah kejutan dari Umi baru dimulai.
Di halaman yang seharusnya kosong—karena keluargaku sudah berhenti memotretku—aku menemukan sesuatu yang tak terduga.
“Hah? Ini... aku waktu SMP, kan?”
“Iya. Bibi Masaki menemukan data ini di ponsel lamanya, jadi sekalian aku cetak. Oh, ada juga foto saat wisuda SD-mu. Lihat, di sini.”
“Padahal ibu bilang fotonya sudah tidak ada lagi…”
Foto itu diambil di depan gerbang sekolahku, saat aku mengenakan pakaian rapi.
Di masa itu, aku kurang percaya diri dengan penampilanku. Setiap kali berfoto bersama, aku selalu berusaha menghindari kamera kecuali di saat-saat yang wajib, seperti foto grup di sekolah.
Foto ini pun diambil karena ibu memintaku, dengan syarat hanya disimpan di ponsel kami. Buktinya, di foto itu aku tampak sedikit memalingkan wajah, meskipun ibu memeluk pundakku dengan hangat.
Ternyata ibu secara diam-diam tetap mengambil fotoku. Ada foto diriku tertidur di sofa dengan seragam sekolah setelah upacara, dan juga fotoku yang sedang sibuk mengerjakan pr saat ibu tidak sempat karena pekerjaan. Bahkan ada beberapa foto terbaru yang tak kusangka.
“Jadi, apa pendapatmu, Maki?”
“...Kurasa mulai sekarang aku harus lebih sering menatap kamera.”
“Hehe, iya. Bibi Masaki pasti senang. Ibu mana yang nggak suka melihat anaknya tumbuh dan berkembang?”
Aku pernah melihat album keluarga Umi sebelumnya, dan isinya jauh lebih lengkap dibandingkan punyaku. Beberapa album penuh dokumentasi kehidupannya sejak kecil.
Mungkin jika dulu aku lebih jujur dan terbuka, ibuku juga akan lebih semangat mendokumentasikan setiap momen pertumbuhanku.
Aku menekan perasaan hangat di dada dan melanjutkan membuka halaman berikutnya.
Kini, foto-foto dari momen-momen penting sejak Natal hingga sekarang mulai muncul—semua adalah bagian dari hadiah dari Umi.
Tanpa kusadari, sejak kami menjadi sepasang kekasih, kami sering sekali mengambil foto bersama. Ada foto saat Natal pertama kami, ketika kami pergi berdoa ke kuil bersama Amami-san dan Nitta-san, hingga perayaan Valentine, White Day, dan ulang tahun Umi.
Ada juga foto dari pertandingan olahraga, kunjungan Umi ke kampung halamannya, dan momen-momen di mana aku bersama teman-teman seperti Takizawa dan Nakamura-san.
Aku bisa melihat bahwa Umi sudah mempersiapkan ini sejak lama.
“Wah, kalau dilihat dari foto-foto ini, aku kelihatan seperti orang yang sangat bahagia, ya?”
“Hehe, aku nggak tahu soal ‘kebahagiaan,’ tapi hidupmu jelas sedang penuh makna. Lagipula, lihat, pacarmu ini cantik banget, kan?”
“Benar juga. Kalau sampai aku bilang tidak bahagia, mungkin aku akan kena karma.”
Foto-foto itu tertata rapi sesuai urutan waktu.
Awalnya, aku masih terlihat canggung—dengan ekspresi kaku dan sedikit kerutan di wajah. Namun, seiring waktu, aku semakin terbiasa.
Di foto-foto terbaru, aku terlihat lebih santai dan sering tersenyum alami, apalagi saat bersama Umi. Ada satu foto di mana pipi kami saling bersentuhan, menandakan betapa dekatnya hubungan kami sekarang.
...Aku terlihat sangat bahagia, hingga terasa aneh melihat diriku sendiri seperti ini.
“Ternyata, bukan cuma ibu. Kamu juga sering memotretku, ya.”
“Yup. Meski foto bersama itu menyenangkan, aku juga diam-diam suka memotret momen penting. Entah itu saat kamu tertidur atau ketika kamu fokus pada sesuatu. Semuanya terasa berharga, Maki.”
“...Terima kasih.”
Saat melihat foto yang diambil oleh Umi, aku tersadar—ternyata aku juga bisa membuat ekspresi seperti itu.
Selama ini, aku selalu merasa sedikit berbeda dari orang lain. Karena pekerjaan orang tuaku, aku sering berpindah-pindah kota, dan setiap kali pindah sekolah, aku kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Kupikir, aku akan menjalani hidup yang selalu terasa ganjil seperti ini.
Namun, kenyataannya tidak begitu.
──Sebab, aku punya teman.
Saat menyadari hal itu, perasaan yang selama ini kutahan akhirnya tak bisa lagi dibendung.
“…Maki, nih, saputangan. Mau sekalian aku tiupkan juga hidungnya?”
“Wajahku nggak sampai separah itu… Tapi, terima kasih.”
Aku mengusap air mata dengan saputangan bermotif hiu biru yang diberikan Umi. Aroma lembut tubuhnya tercium samar dari kain itu, membuatku merasa nyaman.
Sejak dulu, aku memang suka aroma Umi. Setiap kali dia berada di dekatku, kegelisahan dalam hatiku mereda, dan emosiku perlahan stabil.
“Selamat ulang tahun, Maehara Maki. Mulai sekarang dan seterusnya, biarkan aku selalu berada di sisimu, menemanimu setiap hari.”
“Iya. Kalau kamu tidak keberatan, dengan senang hati.”
Tangisku mulai mereda, dan rasa hangat perlahan menyebar di dada. Saat kusadari, tubuh kami sudah saling merapat.
“Umi.”
“Ada apa? Sini, ayo.”
“Kenapa hari ini kamu baik banget?”
“Hari ini kan hari ulang tahunmu. Aku akan manjain kamu sepuasnya.”
“Seberapa puas?”
“Hmm, kira-kira seberapa, ya?”
“Itu namanya ngerjain.”
“Haha, maaf, maaf. Soalnya wajahmu imut sekali.”
Seperti anak kecil yang merengek kepada ibunya, aku menyandarkan wajah di dadanya, dan dia membalas dengan pelukan hangat, sambil mengusap lembut kepalaku.
Momen ini adalah rahasia kecil kami, sesuatu yang tidak bisa kulakukan di depan teman atau keluargaku.
Umi memang selalu manis, tapi hari ini dia lebih memanjakanku dari biasanya.
“Rasanya aku ingin terus seperti ini… dan bolos latihan besok.”
“Kalau kamu benar-benar mau begitu, aku nggak apa-apa kok. Kita bisa bolos latihan dan malas-malasan di rumahmu seharian.”
“Itu ide bagus... Selama ada kamu, aku nggak butuh apa-apa lagi. Aku cuma mau kamu.”
“Wah, hari ini kamu manja sekali. Tapi, kalau kamu mau jadi milikku sepenuhnya, aku nggak keberatan sama sekali.”
Tentu saja, kami masih punya rasa tanggung jawab, jadi nggak mungkin tiba-tiba kabur dari sekolah atau nekat melarikan diri. Tapi setidaknya, di momen ini, kami bisa bebas mengungkapkan perasaan apa pun tanpa khawatir.
Dengan saling bergantung seperti ini, kami memulihkan semangat dan menjadikannya energi baru untuk menghadapi hari esok. Inilah cara kami sebagai sepasang kekasih.
“...Fuuuh.”
“Udah merasa lebih baik?”
“Masih ingin sedikit lebih lama sih… Tapi, kita masih punya pencuci mulut, kan?”
“Pencuci mulut… Hmm, kamu langsung mikirnya ke arah itu, ya?”
“Kenapa kamu selalu berpikir ke sana sih... M-meski sebenarnya, aku juga nggak sepenuhnya menolak. Lagi pula, hari ini ulang tahunku.”
“Hehe, benar juga. Ini kan hari spesialmu. Nah, apa yang ingin kamu minta duluan?”
“Ehh... Itu...”
Ditanya seperti ini membuat wajahku memanas. Aku tahu, hari ini mungkin dia akan mengabulkan sebagian besar permintaanku, tapi tetap saja ada batasan.
“Sudah, nggak usah malu-malu. Aku juga sudah mempersiapkan diri, kok.”
“Ma-maaf… Kalau begitu, gimana kalau… kita mandi bareng?”
“Uh… Ba-baiklah. Waktu itu kita nggak sempat 'melakukannya’ di pemandian terbuka, kan? Kali ini, biar aku yang membersihkan punggungmu… Eh, atau kalau kamu mau, bagian depan juga...”
(Tl note: gosh mikir aneh” mereka Cuma gosokin punggung :v)
“...Itu... t-terima kasih, tapi buat saat ini belum diperlukan...”
“Haha, kamu lama banget mikirnya. Tapi ya sudah, kita lihat saja nanti sesuai situasi.”
“I-iya… Aku serahkan padamu.”
Meskipun aku sudah puas dengan “hadiah” yang diberikannya, sepertinya Umi masih ingin merayakan sedikit lebih lama. Bagaimanapun, aku harus memastikan bahwa kesenangan hari ini tidak mengganggu hari esok.
◆ ✧ ₊ ✦ ₊ ✧ ◆
Keesokan harinya, aku yang sudah (entah bagaimana) berhasil melewati hari ulang tahunku disambut oleh teriknya sinar matahari musim panas. Meski sudah siap mental, begitu melangkah ke lapangan, semua tekad itu langsung luntur, dan rasanya ingin segera kabur mencari tempat teduh di dalam gedung sekolah.
“Ugh, panas banget... Kenapa orang-orang bisa semangat kumpul di sini? Umi, biar aku sembunyi di belakangmu.”
“Kayaknya nggak ada bedanya sih... Iya kan, Umi?”
“Setuju. Tapi Yuu, bisa nggak kamu agak menjauh dulu? Nempel terus malah bikin tambah panas.”
“Eeh, pelit...”
“Ini bukan soal pelit atau nggak.”
“Padahal kamu nempel terus sama Maki.”
“Itu beda. Maki itu spesial, jadi aku ijinin.”
Meski kami berada di kelas yang berbeda, saat festival olahraga seperti ini, kami tergabung dalam tim yang sama.
Jadi, di luar latihan setiap cabang, kami kemungkinan besar akan banyak menghabiskan waktu berempat. Sesuai tema festival, kami mulai bersiap dengan mengikatkan pita biru di kepala sebagai simbol tim, mempersiapkan diri untuk latihan dan pertandingan bulan depan.
Tiba-tiba, aku tergerak untuk melirik ke samping, memandangi wajah Umi. Dia tampak fokus mengenakan seragam olahraga dengan pita biru terikat di rambutnya. Apa pun yang dikenakan Umi selalu terlihat cocok. Seperti saat pertandingan antar-kelas sebelumnya, rambutnya diikat ke belakang, tapi kali ini terlihat sedikit lebih panjang.
“Kenapa, Maki?”
“Ah, nggak. Kupikir rambutmu agak memanjang, Umi.”
“Kamu sadar, ya? Ehehe, lagi ingin coba biarin sedikit lebih panjang. Nggak sampai panjang banget sih. Kamu sendiri lebih suka yang pendek atau panjang?”
“Kalau harus memilih... mungkin lebih suka yang panjang.”
“Oh? Kenapa?”
“Soalnya, rambutmu kelihatan cantik dan nggak gampang kusut.”
Tanpa pikir panjang, tanganku terulur dan menyentuh poninya dengan lembut. Aku memang sering memainkan rambut Umi saat kami berdua, dan aku sangat menikmati momen itu.
Rambutnya selalu terasa halus dan lembut, seakan sempurna. Mungkin aku merasa begitu hanya karena dia adalah gadis yang kusukai. Tapi bagiku, Umi selalu terlihat sempurna, baik fisik maupun hatinya.
“Ma... Maki, umm...”
“Ada apa?”
“Bisa... bisa nggak kamu lepasin tanganmu? Soalnya...”
“Ah...”
Tanpa sadar, aku memperlakukan Umi seperti saat kami bersama di kamar—penuh kasih sayang dan kelembutan. Namun, aku lupa bahwa kami sedang berada di tempat umum, tepat di depan Yu dan Amami-san.
“Eeh... Jadi kalian berdua semalaman di rumah Maki...?”
“Ng-nggak! Memang benar kami tidur bareng di tempat tidur yang sama, tapi itu karena ulang tahun Maki! Jadi itu spesial dan...”
“Umi, tenang. Jangan kebablasan ngomongnya.”
“Ah...”
“Eheh, jadi kalian... he-he...
”
“Yuu, tolong jangan salah paham! Dan berhenti ambil jarak begitu!”
Meskipun Umi berusaha membantah, jelas sudah terbongkar bahwa kami tak terpisahkan sejak semalam.
Sepertinya sepanjang pagi ini, aku harus menghadapi interogasi mereka berdua.
Belum mulai latihan saja, keringat sudah mengucur deras dari leherku.
Latihan hari pertama ini difokuskan pada latihan yel-yel. Para senior sudah menyiapkan konsep dan membagikan lirik lagu yang akan dinyanyikan saat yel-yel—lagu populer yang diubah liriknya khusus untuk acara ini.
“Panel untuk yel-yel juga sudah siap! Silakan diambil, ya. Ada nomor di bagian kanan atas, jadi ambil yang sesuai nomor absensi kalian,” seru panitia.
“Berat banget...”
Yamashita-san, yang bertugas menyiapkan properti, bersama Arae-san yang membantunya, datang membawa kotak besar berisi panel. Meski panel-panel itu hanya terbuat dari karton, jumlahnya yang banyak membuat mereka harus bekerja keras untuk membawanya.
◆ ✧ ₊ ✦ ₊ ✧ ◆
Menurut lagu yel-yel nya, semua orang akan menggunakan panel untuk mengekspresikan gambar atau tulisan.
“Warna panel yang harus kamu angkat berbeda sesuai dengan nomor. Jadi, sia-sia saja kalau kamu mengangkat panel dengan warna yang sama dengan orang di sebelahmu... Latihan ini akan keras, jadi bersiaplah,” kata Arae-san dengan wajah serius sambil menatap tajam ke arah kami.
Sepertinya dia telah ditunjuk sebagai pemimpin latihan untuk tim Biru, dan meskipun sikapnya terlihat tegas, itu memang sudah menjadi sifat alaminya.
Dia dikenal serius dalam menangani hal-hal seperti ini. Bahkan di hadapan kakak kelas, Arae-san tak ragu menunjukkan sikapnya yang dominan. Sikap seperti itu justru terasa sangat khas dirinya.
──“Hei, Arae-senpai benar-benar keren, ya?”
──“Iya, dia seperti sosok yang mandiri dan berwibawa. Bikin kagum banget!”
“Oi, kalian para siswa kelas satu, berhenti mengobrol! Simpan obrolan kalian untuk saat istirahat nanti!”
““Baik, maaf, Senpai!””
Siapa sangka, Arae-san ternyata punya popularitas tersembunyi di kalangan gadis-gadis kelas satu.
Meski bagi sebagian orang dia terlihat sulit didekati, bagi para junior, sosoknya lebih terasa ‘dapat diandalkan’ daripada hanya ‘menakutkan’. Entah siapa yang memutuskan hal ini, tapi dia memang orang yang tepat untuk memimpin kelompok yang terdiri dari siswa dari berbagai angkatan.
Saat tak sengaja bertatapan dengan Nakamura-san, aku merasa dia melemparkan sebuah kedipan padaku... atau mungkin hanya perasaanku saja.
Bagaimanapun, karena Arae-san sudah berusaha keras, aku juga harus berusaha semampuku dan tidak mengeluh.
“Maki, ayo kita lakukan yang terbaik hari ini.”
“Ya... Oh, tapi tolong, siang nanti jangan terlalu keras padaku, ya?”
“Fufu, bagaimana, ya~? Tapi tenang saja, aku pastikan tidak akan ada yang cedera.”
“Kenapa sepertinya kamu masih memberi celah buat hal-hal lain terjadi?”
Beruntung, kursi Umi berada tepat di belakangku, jadi rasanya aku bisa melalui latihan pagi ini tanpa kehilangan semangat.
Sore nanti, kami juga harus latihan lomba jalan dua orang dengan kaki terikat, jadi aku harus menyimpan sedikit tenaga untuk itu.
Sepertinya Arae-san menyadari percakapan kami, tapi dia hanya mendecakkan lidah sedikit dan membiarkan kami. Kurasa, saat bercanda berdua lagi nanti, aku harus lebih berhati-hati.
“──Baiklah, latihan yel-yel hari ini selesai. Kita masih punya waktu sebelum hari pertandingan, jadi pastikan kalian mengingat apa yang dipelajari hari ini.”
Dengan kata-kata Arae-san yang tegas seperti komandan militer, latihan pagi akhirnya berakhir, dan kami bersiap menikmati waktu istirahat siang.
Sesuai rencana yang sudah kubicarakan dengan Umi tadi, sesi latihan siang akan difokuskan pada latihan tiap cabang perlombaan.
Setelah musim panas berlalu, aku hampir tidak pernah keluar rumah, jadi ini kesempatan bagus untuk kembali menggerakkan tubuh. Tapi sebelum itu, waktunya mengisi perut.
“Fiuu~ Panas sekali, dan aku juga lapar. Yuk, Yuu-chi, kita langsung ke kantin atau ke koperasi saja. Kalian berdua bagaimana? Apa mau makan bento berdua sambil mesra-mesraan? Kurasa kalian membuat bento bareng tadi pagi, kan?”
“Nina, kamu ini... Yah, sebenarnya dengan cuaca sepanas ini, makan bento bisa berbahaya. Jadi, ibu menyuruh kami beli makan siang saja. Benar, kan?”
“Iya. Entah kenapa aku juga diberi uang makan siang oleh ibumu...”
Seperti yang sudah kami rencanakan, pagi tadi aku mengantar Umi dan sarapan di kediaman Asanagi. Saat membicarakan makan siang, secara tiba-tiba aku juga diberi uang oleh Sora-san.
Awalnya aku menolak, tapi menurut Sora-san, itu adalah bentuk terima kasih karena selama ini aku sudah menemani Umi di akhir pekan. Jadi, aku akhirnya menerima uang lima ratus yen darinya.
Kata Umi, “Setelah kakakku pergi, ibuku tidak punya siapa pun lagi untuk dimanja, jadi mungkin dia merasa kesepian.” Entah kenapa, aku mulai merasa seperti bagian dari keluarga Asanagi.
...Kurasa, aku tidak akan keberatan jika benar-benar menjadi bagian dari keluarga itu suatu hari nanti.
“Ketua dan pacarnya benar-benar serasi, ya... Oke, yuk kita makan siang berempat!”
“Oh, maaf, Nina, tapi aku harus pergi sebentar...”
“Hah? Kenapa, Yuu-chi? Apa kamu harus mengerjakan sesuatu?”
“Ehehe... Iya. Aku sudah mulai bekerja sejak dua atau tiga hari lalu. Tahun ini aku bertanggung jawab atas desain papan belakang untuk tim Biru.”
“Desain? Jadi kamu semacam ketua proyek?”
“Iya. Tentu saja ada senior yang membantu, tapi aku memang yang memimpin proyek ini.”
Seperti yang sudah dibuktikan selama festival budaya, kemampuan menggambar Amami-san memang tidak perlu diragukan lagi. Sepertinya para senior juga merasakan hal yang sama.
Berdasarkan informasi terpercaya dari Umi, Amami-san masih sering meluangkan waktu untuk membuat ilustrasi, dan tampaknya bakat serta sensitivitasnya semakin terasah.
“Itu sih bagus, tapi... Yuu, ini bukan karena paksaan, kan? Kamu nggak disuruh menggambar cuma karena kamu jago, kan?” tanya Umi dengan nada khawatir.
“Fufu, Umi memang suka cemas, ya? Nggak kok, aku sendiri yang minta supaya bisa ikut bantu. Nagi-chan dan Yama-chan juga lagi berjuang keras, jadi aku nggak mau ketinggalan. Tahun ini aku benar-benar mau berusaha sebaik mungkin,” jawab Amami-san sambil memperlihatkan senyumnya yang cerah, disertai gerakan menggenggam tangan seolah ingin menunjukkan kekuatannya.
Selama Amami-san melakukannya atas kemauan sendiri, kami tak punya alasan untuk ikut campur. Tugas kami hanya mendukungnya dari jauh.
“Kalau begitu, Amami Yuu, berangkat dulu, ya! Sampai ketemu lagi nanti, Umi.”
“Ya, semangat, Yuu.”
“Eh-hehe, pasti! Setelah selesai, jangan lupa puji aku banyak-banyak, ya!”
Amami-san pun berjalan sendirian menuju area kerja bagian dekorasi di belakang gedung olahraga. Sampai festival olahraga selesai, kemungkinan besar kami akan sering berpisah seperti ini. Walau ada sedikit rasa sepi, aku bisa menahannya hingga awal bulan depan.
Lagipula, aku masih punya Umi di sisiku, jadi tak masalah.
Dengan begitu, aku, Umi, dan Nitta-san pergi menuju kantin sekolah.
Seperti yang bisa diduga, kantinnya sudah hampir penuh. Pilihan untuk membeli roti atau onigiri dari toko memang ada, tapi rasanya lebih nyaman menghabiskan waktu makan siang di ruangan ber-AC.
Di sisi lain, ruang kelas sudah kosong karena para siswa tidak berada di sana, sehingga AC juga dimatikan.
“Sepertinya sampai jam makan siang selesai, nggak ada tempat kosong, ya. Ketua, kamu tahu tempat enak buat makan siang? Atap sekolah atau ruang istirahat rahasia guru gitu, mungkin?” tanya Nitta-san dengan nada santai.
“Kalau kamu nggak keberatan dengan tempat lembap, sih, aku tahu beberapa.”
“Yahh, aku maunya tempat yang nyaman, bukan tempat buat sembunyi-sembunyi begitu.”
Saat kami sedang mencari tempat duduk, seseorang di sudut ruangan melambaikan tangan.
“──Senpai, Maehara-senpai!”
“Eh? Itu Takizawa?”
Dengan senyum ceria, Takizawa memanggil kami. Di tengah suara bising kantin yang hampir penuh, suaranya terdengar jelas dan meninggalkan kesan kuat.
“Takizawa nawarin tempat duduk, gimana?” tanyaku sambil menoleh ke Umi.
“Kelihatannya memang nggak ada tempat lain, jadi aku setuju. Eh, Nitta-san, kenapa kamu tiba-tiba sembunyi di belakang?”
“Ah, refleks aja. Tapi aku setuju kok. Nggak masalah buatku.”
Akhirnya kami pun memutuskan menerima tawaran Takizawa dan duduk di meja empat orang di pojok kantin.
“Sudah lama ya, terakhir kita bertemu waktu liburan di pantai. Terima kasih untuk waktu itu,” ucapku.
“Ah, sama-sama. Tapi kalian beneran nggak apa-apa duduk di sini? Bukannya kamu nunggu teman-teman dari OSIS?”
“Sebenarnya iya, tapi anggota lain sedang sibuk, jadi kalian nggak usah sungkan.”
Di tengah meja terdapat stiker bertuliskan “Prioritas untuk OSIS”, mungkin itulah alasan kenapa orang lain enggan duduk di sana. Kadang-kadang, berteman baik dengan anggota OSIS bisa memberi keuntungan kecil seperti ini.
“Oh ya, Amami-senpai nggak ikut?” tanya Takizawa.
“Yuu lagi ada tugas dekorasi, jadi kami terpisah. Ngomong-ngomong, kamu nggak bareng Nakamura-san?” tanya Umi.
“Haha... Tadi pagi aku sudah mengajak dia, tapi dia cuma jawab, ‘Aku bakal datang, kalau sempat’.”
“Ya ampun... Begitu, ya.”
Meski pertemuan kecil ini tidak direncanakan, setidaknya kami berhasil mendapatkan tempat duduk di tengah hiruk-pikuk kantin. Sambil menikmati kebersamaan yang tak terduga ini, kami melanjutkan obrolan santai di antara suap demi suap makanan.
Karena satu kelompok dengan Nakamura-san, aku ikut bersamanya selama latihan pagi. Sejauh ini, dia tampak biasa saja, dan bahkan tak ada tanda-tanda dia mengeluh soal pekerjaan terkait festival olahraga pada Umi, teman sekelas kami.
Jadi, kesimpulannya, Nakamura-san yang kami lihat saat ini masih seperti biasa. Tapi, kalau sudah berhadapan dengan Takizawa, sikapnya mendadak berubah.
“Takizawa, soal yang tadi itu...”
“Ah, tapi sebelum lanjut, kita pesan dulu saja. Ini kan kursi prioritas, jadi kurang sopan kalau terlalu lama kita pakai.”
Umi dan Nitta-san tetap menjaga tempat duduk, sementara aku dan Takizawa pergi membeli kupon makan untuk kami berempat.
Meski kantinnya kelihatan ramai, hampir semua orang sibuk mengobrol sendiri, jadi selama kami bicara pelan, percakapan kami tidak akan terdengar.
“Um, Maehara-senpai.”
“Iya?”
“Aku sudah menyatakan perasaanku pada Mio-senpai.”
“Eh? Serius? Kapan?”
“Setelah pulang dari villa. Waktu itu, kami ngobrol soal kembang api dan uji nyali sambil jalan pulang. Lalu, aku spontan saja... langsung mengatakannya.”
Ternyata Takizawa benar-benar mengikuti saran kami dan memberanikan diri.
“Terus, gimana hasilnya?”
“Ya... aku udah mengatakannya sih, tapi dia langsung kabur.”
“Hah? Jadi nggak ada jawaban?”
“Nggak ada. Setelah aku mengatakannya, dia langsung merah padam dan lari sekencang mungkin. Tapi kalau pas kerja atau waktu bareng anak OSIS lain, dia masih bersikap seperti biasa.”
“Hmm... reaksinya sih nggak buruk.”
Ya, bagaimanapun juga, Takizawa sudah melangkah maju dengan berani. Sekarang tinggal menunggu Nakamura memberi jawaban.
Di balik sikap tenangnya, dia ternyata juga punya sisi imut—seperti waktu uji nyali dulu, dan kali ini, dia sampai kabur karena malu.
“Oke, aku udah paham situasinya. Mungkin Umi bisa bantu cari tahu lebih lanjut. Sementara itu, kamu fokus saja ke tugas-tugas OSIS, ya.”
“Maaf, Senpai, jadi merepotkan.”
“Gak apa-apa. Kalau sudah naik kapal, ya bakal aku bantu sampai tujuan.”
Gaya bicara Takizawa yang selalu sopan dan rendah hati membuatku kelihatan seperti sok jadi senior di depan orang lain.
Kenyataannya, dalam banyak hal seperti tinggi badan, kemampuan olahraga, penampilan, dan komunikasi, Takizawa jauh lebih unggul dariku. Meski begitu, dia tetap bersikap hormat, dan itu membuat beberapa orang terkejut.
Obrolan di kantin kadang menyelipkan gosip soal kami, tapi aku tidak pernah memperdulikannya. Yang penting, aku cuma perlu mendengar orang-orang yang peduli denganku.
“Takizawa, soal menu makan siang spesial, kamu pilih paket A atau paket B?”
“Hmm, karena nanti ada latihan fisik, mending pilih yang porsi besar... Eh?”
Saat hampir giliran kami, Takizawa tiba-tiba menoleh ke belakang. Ekspresinya berubah dari ceria jadi serius, seperti mencari sesuatu.
“Eh, ada apa?”
“Ah, nggak, aku merasa ada yang memanggil. Tapi kalau Senpai nggak dengar, mungkin aku salah dengar. Gimana menurut Senpai?”
“Aku sih nggak dengar apa-apa.”
Aku coba mendengarkan lebih seksama, tapi suasana tetap seperti biasa—ramai dengan suara obrolan siswa. Mungkin hanya salah dengar saja. Aku sering dianggap siswa biasa yang aneh karena dekat dengan orang-orang populer seperti Umi dan Takizawa.
“Ah, kayaknya cuma salah dengar. Maaf ya, Senpai. Lanjut ke menu makan, aja. Aku pilih B—yang paket napolitan dan omu-hayashi.”
“Pilihan bagus. Aku ikut itu juga, deh.”
Kami mengambil makanan dan berusaha kembali ke meja makan tanpa tersandung kerumunan.
Meski suasana tampak biasa, entah kenapa perasaanku mengatakan ada sesuatu yang tersembunyi.
Aku mencoba menangkap suara di sekitar dengan hati-hati, namun sepertinya orang-orang sudah berganti topik, dan tidak ada lagi yang membicarakan diriku atau Takizawa.
Entah apa yang sebenarnya dia dengar, tapi kuharap tidak ada masalah lebih jauh dari ini.
Setelah makan siang, kami kembali ke lapangan dan, seperti yang direncanakan, latihan per kategori dimulai berdasarkan anggota dari setiap cabang kompetisi.
Mulai dari sini, aku bisa terus berlatih bersama Umi... atau setidaknya itulah yang kuharapkan.
Namun, sebelum itu, aku harus mengajukan diri sebagai pasangan di lomba tiga kaki campuran dan mendapatkan persetujuan.
Yah, kemungkinan besar tidak ada pasangan lain yang dengan antusias mengangkat tangan sambil bilang, “Mau ikut juga, dong!” kecuali aku dan Umi, jadi kupikir semuanya akan berjalan lancar.
Tapi ternyata...
“Eh, Takizawa-kun ikut lomba tiga kaki juga?”
“Iya. Awalnya aku hanya mau ikut lomba lari estafet karena tugas di OSIS, tapi karena kekurangan orang, aku harus ikut lebih dari satu cabang.”
Katanya, kelas Takizawa memang kekurangan siswa laki-laki dibandingkan kelas lain, jadi dia tidak punya pilihan selain ikut. Tentu saja, senang rasanya ada dia di tim kami, tapi yang mengejutkanku justru anggota lainnya.
“...Mmm.”
“Nakamura-san, kamu sendirian? Ayo gabung sama kami.”
“Asanagi-chan… tapi...”
Ternyata Nakamura-san adalah peserta dari kelas kami yang ikut di lomba tiga kaki. Ia berdiri agak menjauh dari kami—aku, Umi, dan Takizawa—sambil terus mengamati kami dengan canggung.
Kalau mau ngobrol, kenapa tidak langsung datang saja? Atau... jangan-jangan dia benar-benar tertarik pada Takizawa?
“Duh, bikin gemas. Nakamura-san, cepat ke sini!”
“Eh, Asanagi-chan, tunggu──”
Umi meraih tangan Nakamura-san dengan setengah memaksa dan menariknya ke dalam kelompok kami. Saat itu juga, aku menyadari sesuatu—tatapan Takizawa dan Nakamura-san bertemu sesaat.
“Halo, Mio-senpai...”
“Souji... i-iya, halo juga...”
Rasanya canggung sekali melihat interaksi mereka. Sejak Takizawa menyatakan perasaannya, situasi di antara mereka memang agak aneh.
Namun, sejujurnya, bahkan aku dan Umi tidak pernah se-rumit ini. Mungkin inilah yang membuat Umi sering merasa ingin ikut campur dulu. Sekarang aku baru paham perasaannya.
“Nee, Souji, kamu bukannya masih ada tugas? Aku dengar Mocchi di bagian keuangan udah panik tuh, sampai mau nangis.”
“Nanti aku akan minta maaf pada Mochizuki-san. Tapi, bukannya Senpai juga lagi kabur dari tugas?”
“Ugh...”
Kata-kata Takizawa langsung membuat Nakamura-san meringis. Itu pasti kena tepat sasaran.
“Soalnya... kamu tiba-tiba ngomong begitu sih...”
“Ngomong apa? Ada yang pernah aku omongin?”
“Ah, dasar...! Berani sekali membantah ketua OSIS, ya. Dasar tidak tahu diri...”
Sementara senpai yang bertugas menjelaskan tentang latihan selanjutnya, Takizawa dan Nakamura-san malah asyik ribut sendiri.
Bagi orang lain mungkin terlihat seperti mereka bertengkar, tapi aku dan Umi tahu, ini tidak lebih dari sepasang sejoli yang lagi saling menggoda.
“Baik, sekarang kita akan menentukan pasangan. Bagi yang sudah punya pasangan──”
“Kami mau campuran!”
Sebelum yang lain sempat berbicara, aku dan Umi langsung mengangkat tangan. Rasanya agak malu juga, seolah-olah kami terang-terangan mengumumkan kalau kami pasangan. Tapi kalau aku ingin memastikan bisa ikut lomba bersama Umi, ini satu-satunya cara.
Tingkah kami yang terlalu semangat ini sampai membuat beberapa peserta lain tertawa kecil.
Suasana tiba-tiba menjadi lebih santai tanpa sengaja.
“Baiklah, kalau tidak ada yang keberatan, kita putuskan saja untuk lomba dua orang tiga kaki pasangan campuran diwakili oleh pasangan Mae—”
“...Tunggu sebentar!”
Tepat saat semuanya hampir diputuskan, seseorang tiba-tiba mengangkat tangan. Orang itu adalah Takizawa, yang dengan postur tegap sempurna mengangkat tangannya lurus ke atas.
“Eh? Souji, kamu mau apa?”
“Begini, karena ini adalah acara pertama kita ikuti secara resmi sebagai pengurus OSIS baru, aku rasa lebih baik kalau kami ikut aktif meramaikan. Jadi... Senpai, ikut lomba berpasangan denganku.”
“Ha... Hah?!”
Nakamura-san terlihat terkejut dan pipinya sedikit memerah, mungkin tidak menyangka situasi seperti ini akan terjadi. Sesaat setelah pasangan aku dan Umi hampir diputuskan, tatapan semua orang beralih kepada kami.
──Eh, apa-apaan ini?
──Entahlah... tapi ini bukan situasi buruk sih.
──Mereka memang akrab, tapi... Apa mungkin ketua dan wakil ketua OSIS pacaran?
Takizawa berdiri di depan kami, sementara di belakangnya Nakamura-san tampak salah tingkah dengan wajah memerah. Bisik-bisik dari siswa lain pun semakin ramai.
“──Umi, Maki-kun.”
“Ah, Yuu.”
“Ada apa, Amami-san? Bukannya kamu sedang latihan lari estafet?”
“Eh-hehe, aku dengar di sini lagi ramai, jadi aku kesini karena penasaran. Hmm, kayaknya lagi nentuin pasangan, ya?”
“Iya, aku dan Umi tadinya mau ikut sebagai pasangan campuran. Tapi, Takizawa tiba-tiba juga mau ikut sama Nakamura-san.”
“Ah, iya... Kalau nggak salah, aturannya cuma boleh ada satu pasangan campuran, kan?”
Kalau semua bisa ikut dengan teman dekat masing-masing, tentu saja akan menyenangkan. Tapi karena ada batasan aturan, kami harus mencari solusi yang bisa diterima semua pihak.
“Umi, menurutmu gimana?”
“Sebenernya aku mau mengalah, tapi aku udah janji sama Mama buat ikut lomba ini sama kamu, Maki. Dia langsung semangat banget waktu aku mengatakannya.”
“Kamu cepat banget ya... Tapi aku juga sebenarnya sependapat.”
Meski ingin mengalah demi junior kami, ada beberapa hal yang tidak bisa kami lepaskan begitu saja. Mungkin dari segi kemampuan kami kelihatan kalah, tapi kalau soal kekompakan, aku yakin, aku dan Umi tidak akan kalah dari siapa pun.
“Takizawa.”
“Ya?”
“Aku cuma mau nanya, kamu beneran nggak mau mundur?”
“Maaf kalau jadi menyela, tapi... iya. Aku masih punya kesempatan di tahun depan, tapi ini satu-satunya kesempatan untuk ikut lomba bareng Mio-senpai.”
Karena lomba ini diadakan dua tahun sekali, sama seperti aku, Takizawa juga nggak mau melewatkan kesempatan ini. Dan dari sikapnya, terlihat dia juga sangat bertekad.
“Kalau gitu... gimana kalau kita tentuin pakai janken (batu, gunting kertas)?”
“...Iya, kayaknya itu solusi yang paling adil.”
Aku menduga ujung-ujungnya akan jadi begini.
“Pakai janken? Kamu yakin mau tentuin hasilnya kayak gitu, Maki? Kukira situasi kayak gini lebih cocok ditentuin dengan, ‘Ayo tanding, siapa yang cintanya lebih besar!’ atau semacamnya...”
“Cinta? Maksudnya tanding kemampuan? Ya, sih... Mungkin cara itu bisa bikin hasilnya lebih jelas, biar nggak ada yang merasa keberatan. Tapi, masalahnya kali ini pasti ada yang dengan sengaja mengalah, kan? Ya kan, Nakamura-san?”
“Eh... A-apa maksudmu...? Pi-piu... fiuu...”
“Senpai, dari dulu kayaknya kamu nggak pernah jago bersiul, ya...”
Kalau semua pihak bisa bertanding dengan serius, mungkin hasilnya akan lebih memuaskan. Tapi melihat reaksi Nakamura-san yang begitu panik, jelas Takizawa akan rugi kalau cara ini diteruskan.
Tentu saja, meski permainan janken terlihat sederhana, ada strategi dan trik kecil di dalamnya. Namun pada dasarnya, ini adalah permainan yang adil bagi siapa pun.
“Mio-senpai, kalau aku menang, kamu mau ikut lomba lari tiga kaki berpasangan denganku, kan?”
“…Hah, baiklah. Kalau kamu begitu suka sama dada kecilku, aku akan menekannya sepuasnya ke arahmu.”
“Memangnya lomba lari tiga kaki kompetisi seaneh itu, ya?”
Setelah sepakat, kami meminta izin pada senior yang mengatur acara, lalu kami berempat—aku, Takizawa, Mio, dan Amami-san—pergi ke sudut lapangan. Meskipun kami sebenarnya hanya penonton, Amami-san ikut karena situasi membawanya ke sini.
“Serius, bawa perasaan pribadi ke acara olahraga begini… Dari uji nyali waktu itu, kupikir kamu sengaja ingin mendekatkan aku dan Souji, ya? Sampai pakai trik jelek buat memancing rasa cemburuku.”
“Oh, jadi ketahuan, ya?”
“Ya jelaslah. Meski waktu itu kepalaku panas dan aku enggak bisa mikir jernih selama beberapa hari.”
Kami bukan ikut campur urusan mereka hanya untuk iseng. Tapi rupanya Nakamura-san punya alasan tersendiri untuk menghindari pengakuan cinta dan memperlama jawabannya.
“Enggak tahu ini waktu yang pas atau enggak, tapi… Nee, Nakamura-san.”
“…Iya?”
“Aku mau tanya lagi. Apa kamu ada perasaan khusus ke Takizawa?”
“Perasaan khusus, maksudnya gimana?”
“Ya, kamu suka dia enggak, sebagai lawan jenis?”
“Blak-blakan banget… Baiklah, baiklah.”
Nakamura-san akhirnya mengangkat bahu seakan sudah pasrah, lalu berbisik pelan,
“…Aku menyukainya. Sebagai pria, aku benar-benar suka. Nah, Souji, ini jawaban yang kamu mau, kan?”
“Senpai… Terima kasih. Sungguh.”
Untuk pertama kalinya di depan Takizawa, Nakamura-san mengakui perasaannya. Sepertinya, dia akhirnya memutuskan untuk jujur pada dirinya sendiri.
“Kenapa kalian semua lihat aku kayak gitu? B-boleh kan, aku suka dia. Kita punya banyak kesamaan, dan dia enggak takut menghadapi sifat keras kepalaku. Aku cuma kaget karena selama kita enggak ketemu, dia jadi ganteng banget, jadi aku agak menghindarinya.”
“Sudah kuduga… Tapi kalau kamu suka dia, kenapa enggak ngomong dari dulu? Setelah lulus SMP, kalian kan bakal jarang ketemu.”
“Soalnya… aku takut ditolak.”
“……”
Sikap Nakamura-san yang begini memang bikin pusing. Tapi, aku harus salut sama Takizawa yang masih mengejarnya sejauh ini.
“Oke! Kayaknya ini sudah beres, ya? Kalau gitu, kita mulai dari suit. Perwakilan tim untuk Maki-kun dan Takizawa, ya?”
“Kamu semangat banget, Yuu… Tapi ya sudahlah. Maki, aku serahin semuanya ke kamu. Semangat!”
“Aku juga. Souji, kalau mau jadi pasangan lari tiga kaki denganku, buktikan di sini!”
Dengan dukungan dari pacar masing-masing, aku dan Takizawa pun berhadapan. Walaupun cuma janken, momen seperti ini tetap terasa serius—mood itu penting, kan?
“Siap, Takizawa?”
“Aku siap kapanpun, Maki-senpai.”
“──Jan-Ken-Po!”
Begitu aba-aba selesai, hasilnya langsung terlihat jelas.
Aku mengeluarkan kertas.
Takizawa batu.
Aku menang.
Secara refleks, aku mengepalkan tangan kecil, merayakan kemenangan.
“Hebat, Maki! Kamu keren banget!”
“Terima kasih, Umi. Aku menang, sesuai janji.”
“Hehe, aku sudah yakin kamu pasti menang. Kamu selalu beruntung dalam situasi kayak gini.”
“Benarkah? Yah, yang penting, akhirnya berhasil!”
Saat itu, Umi tiba-tiba memelukku dari belakang.
Tanpa ragu, sesuatu yang lembut menekan punggungku, dan jujur saja, itu cukup membuatku senang.
“Ugh... Mio-senpai, maaf. Aku kalah,” kata Takizawa dengan nada menyesal.
“Haha, ya, kalah lagi, ya. Kamu memang sering kurang beruntung, kan? Tapi, justru itulah kamu, Souji. Aku malah lega kamu masih sama seperti dulu,” jawab Mio dengan santai.
Meski mereka kalah, pasangan dari OSIS itu tidak terlihat terlalu kecewa.
Meskipun tidak bisa ikut dalam lomba berpasangan, yang penting adalah perasaan mereka sudah saling tersampaikan.
Menang atau kalah, rasanya sudah tidak ada artinya lagi bagi keduanya.
Sementara itu, aku dan Umi berhasil mendapat kesempatan untuk ikut serta dalam lomba pasangan campuran. Selain itu, hubungan antara Takizawa dan Nakamura-san juga bisa dijembatani dengan baik. Kami semua bisa bernapas lega karena semuanya berjalan sesuai harapan.
“Enak , ya, kalian semua... Aku... aku juga pengen kayak gitu,” gumam Amami-san dengan nada lirih.
“Hah? Yuu, ada apa?” Tanya Umi, sedikit khawatir.
“Ah, nggak kok! Nggak ada apa-apa, Kalau aku kelamaan di sini, bisa-bisa dimarahi. Aku mau balik latihan buat estafet, ya! Kalian semangat latihan, Umi, Maki-kun!” jawab Amami-san sambil tersenyum ceria.
“Oh, iya! Amami-san, hati-hati, ya. Jangan sampai cedera,”
“Terima kasih, Maki! Sampai ketemu nanti ya!” serunya sambil melambai dengan riang, lalu ia kembali ke timnya.
Sesaat tadi dia sempat menunjukkan ekspresi sedih, tapi sekarang bukan saatnya untuk terlalu memikirkannya. Fokusku harus kembali ke latihan di depan mata.
“Maki, karena kita sudah dapat kesempatan ini, ayo kita serius latihan,” ajak Umi dengan penuh semangat.
“Ya, itu juga bentuk rasa hormat kita ke mereka. Tapi, gimana nih latihannya? Latihan berulang memang penting, tapi kita harus fokus ke kerjasama juga.”
Dalam lomba dua orang satu kaki, koordinasi adalah kunci. Kami harus bisa bergerak selaras tanpa kesalahan, supaya bisa berlari dengan mulus dan memberikan tongkat ke pelari berikutnya.
“Hmm, soal waktu bisa diperbaiki nanti lewat ‘latihan khusus’. Yang penting sekarang adalah kita kompak,” kata Umi sambil berpikir.
“Oh, gitu. Terus, gimana caranya?” tanyaku penasaran.
“Ya... Gimana kalau di luar latihan kita tetap terikat? Misalnya, waktu berangkat sekolah atau saat main di rumah, kita ikat kaki kita biar terbiasa? Lama-lama, kita bakal lebih paham tubuh masing-masing.”
“Ditolak,” jawabku cepat.
“Huh? Kenapa?” Umi mendesah kecewa.
“Itu ide kayak di manga banget.”
“Kan seru... Kalau gitu, kita mandi bareng aja?” godanya.
“.........”
“Eh? Kamu beneran mikir serius? Ih, Maki mesum, ya?”
“T-tentu aja nggak!” sangkalku cepat, wajahku memerah.
Meski begitu, aku paham maksud Umi. Kami memang harus lebih memahami satu sama lain—bukan dalam kehidupan sehari-hari, tapi dalam konteks olahraga. Aku perlu tahu gaya larinya Umi, ritme langkahnya, dan pola napasnya. Begitu juga sebaliknya, Umi harus mengenali kebiasaanku.
“Karena ini hari pertama, gimana kalau kita mulai dengan lari ringan di sekitar lapangan? Kita punya waktu sekitar satu jam sebelum berkumpul lagi, jadi pasti ada hal yang bisa kita pelajari,” kata Umi penuh percaya diri.
“Uh, Umi... Jangan bilang kita bakal lari selama satu jam penuh, ?” tanyaku, sedikit takut.
“Iya, lari sih... Tapi tenang aja, kita mulai dengan kecepatan jogging,” jawab Umi, tersenyum manis.
“Itu nggak bikin tenang sama sekali, tahu...”
Kadang-kadang aku ikut lari pagi sama Umi buat jaga stamina. Tapi, meski buat dia itu sekadar jogging, aku harus mengeluarkan hampir 70-80 persen tenagaku cuma buat bisa mengimbanginya.
Di momen-momen seperti ini, Umi berubah jadi pelatih galak dengan senyum di wajahnya.
Tapi ya... usaha keras selalu ada hasilnya. Hadiah yang dia berikan setelah latihan bakal sepadan dengan kerja keras yang kulakukan.
◆ ✧ ₊ ✦ ₊ ✧ ◆
Setelah latihan olahraga dimulai selama sekitar dua minggu, dan setelah libur Obon selama tiga hari, menjelang akhir Agustus, persiapan untuk acara utama mulai berjalan dengan baik.
Di lapangan, kursi penonton untuk setiap kelompok siswa dibangun oleh kontraktor, dan di sampingnya, siswa yang menjadi panitia pelaksana sedang membuat gerbang masuk dan keluar, serta tenda untuk orang tua dan tamu mulai diangkut satu per satu.
“──Oke, kita mulai, Maki.”
“Ya. …Amami-san, tolong timer nya.”
“Siap! Kapan saja kalian bisa mulai.”
Di tengah semua itu, aku dan Umi masih berlatih untuk berjalan berdua dengan kaki terikat.
Tentu saja, tidak mungkin kami mengikat pergelangan kaki di luar sekolah, jadi kami meluangkan waktu untuk berlatih di pagi hari dan setelah sekolah.
“「……satu, dua!」”
Kami berteriak serentak dan melangkah dengan semangat, lalu mulai berlari. Berkat hasil latihan sebelumnya, ritme kami hampir sempurna, jadi sekarang tinggal bagaimana kami bisa mempertahankan kondisi ini sambil berlari sekuat tenaga.
Satu, dua, satu, dua──dengan pagi yang hampir sepi, kami berlari di trek yang disewa untuk kami.
“Kalian berdua semangat ya~, tinggal sedikit lagi!”
“Maki, kecepatannya menurun. Ayo, sedikit lagi!”
“Ya, aku tahu… tapi.”
Jarak trek yang akan kami gunakan di acara utama adalah sekitar 130 meter, tetapi bagi seseorang yang biasanya tidak berolahraga, berlari dengan kekuatan penuh sepanjang jarak itu sangatlah sulit.
Namun, aku berhasil ditarik oleh Umi dan melewati Amami-san yang menunggu dengan stopwatch di tangan di garis finish.
“Ha, ha… Amami-san, bagaimana dengan waktunya?”
“Eh… ah, sedikit lebih baik. 0,1 detik lebih cepat.”
Kalau aku berlari sendiri dan bisa mengurangi waktu itu, itu cukup mengesankan, tetapi kita tidak boleh melupakan bahwa ini adalah latihan berjalan berdua.
Seperti yang terjadi sebelumnya, di akhir putaran trek, aku yang kelelahan sehingga Umi belum bisa memberikan kekuatan penuhnya.
Sangat sulit untuk meningkatkan kecepatanku lebih dari ini, jadi yang bisa aku lakukan hanyalah menutupi dengan stamina dan semangat.
Dengan Umi yang sudah mengatur napas dan aku yang terengah-engah di sampingnya, aku menyadari kekurangan fisikku, dan melihat jarak yang begitu besar membuatku merasa sangat menyesal.
“Jangan begitu, Maki. Masih ada waktu, jadi kalau kita berusaha sedikit lagi pasti bisa.”
“……Ya. Terima kasih, Umi.”
Namun, tidak ada gunanya menyesali ini sekarang, jadi aku hanya harus berusaha sekuat mungkin sebelum acara utama.
Beruntung, karena bersama Umi, motivasiku untuk berlatih sangat tinggi. Aku tidak bisa menunjukkan sisi yang memalukan di depan gadis yang aku suka.
“Kalian berdua, kelas udah mau dimulai, jadi ayo kita kembali ke ruang kelas. Aku juga bakal bantu sebisa mungkin, jadi kalau butuh bantuan, bilang aja ya.”
“Maaf, Yuu. Aku masih ada latihan tim dukungan dan persiapan papan belakang.”
Sebagai rekan satu tim, Amami-san selalu siap berlatih bersamaku, tetapi dia juga memiliki banyak pekerjaan yang harus diurus, jadi aku tidak bisa terlalu bergantung padanya.
……Aku harus berusaha agar tidak merepotkan orang lain.
──Ah, Yuu-senpai, selamat pagi~.
──Yuu-senpai, selamat pagi!
“Ya, selamat pagi juga! Kayaknya hari ini akan sangat panas, jadi pastikan untuk cukup minum.”
Saat kembali dari lapangan menuju kelas, Amami-san menyapa seorang siswa kelas satu yang tampaknya sedang dalam perjalanan ke sekolah. Siswa itu memanggilnya “Yuu-senpai.”
Di antara lebih dari dua ratus siswa di setiap kelompok, keberadaan Amami-san memang sangatlah mencolok. Baik di papan belakang yang dia desain maupun dalam latihan dukungan, banyak siswa-siswi dari berbagai angkatan berkumpul di sekitar Amami-san.
Tahun lalu adalah festival budaya, jadi tidak begitu terasa, tetapi saat acara olahraga yang memberi kesempatan lebih banyak untuk berinteraksi dengan siswa dari angkatan lain, pengaruh Amami-san tidak bisa disembunyikan.
Meskipun dia berusaha bersikap rendah hati, perhatian orang di sekitarnya tidak dapat dihindari akan sosoknya yang seolah menjadi matahari.
Bagiku, mungkin Amami-san sudah terbiasa dengan hal-hal seperti ini, jadi tidak ada gunanya aku khawatir berlebihan.
“Eh? Ada apa, Maki-kun? Apa ada yang menempel di wajahku?” tanya Amami-san, bingung.
“Ah, ya, ada cat putih di pipimu…”
“Benarkah? Aku sudah berusaha hati-hati, tapi… Umi, tolong ambilkan~”
“Ya, ya… bentar.”
“Hehe, terima kasih. Umi, aku mencintaimu!”
“Ya, ya Aku tahu, tapi nggak perlu terus-terusan memelukku.”
“Hmm~ Umi jahat~”
Meskipun situasi ini tampak sulit, mereka berdua tampaknya menikmati momen itu, jadi aku rasa aku tidak perlu ikut campur.
Jika Umi dan Amami-san tertawa ceria, itu sudah cukup bagiku.
… Aku juga harus belajar untuk tidak peduli dengan suara-suara di sekitar kami.
── “Nee, itu si laki-laki yang sering bersama Yuu-senpai, apakah mereka dekat?”
── “Entahlah. Tapi katanya dia punya pacar, lho. Kamu tahu, Asanagi-senpai, yang selalu bersama Yuu-senpai. Dia juga ada di sini sekarang.”
── “Hah, dia bagaikan dikelilingi bunga tak terjangkau, padahal penampilannya biasa saja.”
── “Ish, jangan bilang begitu, nanti kedengeran sama mereka!”
── “Haha!”
Walaupun mereka berusaha berbicara bisik-bisik, sepertinya mereka meremehkan aku.
Aku yang dulunya tidak memiliki banyak kegiatan, sekarang menjadi pengamat yang tajam, bahkan telinga setajam ini masih berfungsi.
Dan Umi serta Amami-san pun tidak terkecuali. Begitu mereka menyadari, meskipun tidak ingin mendengarnya, suara-suara itu tetap bisa masuk ke telinga mereka.
“Ah, aku mendengarnya…”
“Mereka berdua dari tim biru tahun pertama, ya? … Baiklah, aku sudah mengingat wajah mereka.”
“Ahaha… meskipun mereka nggak bermaksud jahat.”
“Tapi justru itu yang menjadi masalahnya. Kalau mereka punya niat jahat, tentu itu bakal lebih buruk.”
Bagi mereka, mungkin ini hanya pembicaraan sehari-hari, tetapi kami yang jadi bahan pembicaraan tentu tidak merasa senang.
“Tapi, kenapa semua orang selalu berbicara buruk tentang Maki-kun? Dia orang yang serius, pekerja keras, perhatian pada pacarnya, dan juga pandai belajar. Kan, Umi?”
“Benar sekali. Mereka seharusnya sadar ketika aku dan Yuu ada di sampingnya.”
“Haha… ya, umumnya orang menilai dari penampilan dan status, jadi ada bagian dari itu yang tidak bisa dihindari.”
Bagiku, pendapat orang lain tidak begitu penting, tetapi bagi Umi dan Amami-san yang melihatku dengan cara yang berbeda, aku merasa sedikit kecewa dengan orang lain.
Karena itu, aku berharap bisa sedikit mengubah penilaian mereka di festival olahraga kali ini.
Meskipun suasananya tidak bersinar dan penampilanku tidak menonjol, aku yakin masih ada hal yang bisa kulakukan.
Saat kami bertiga saling berkeluh kesah, tanpa sadar kami telah sampai di depan kelas masing-masing.
Meskipun ini bukan pembicaraan yang pantas dipuji, saat topik ini menghangat, waktu berlalu begitu cepat.
“Kalau begitu, aku kembali ke kelasku. Maki, siang ini kita akan berlatih lebih giat,” ujar Umi.
“Umm… aku akan berusaha,” jawabku.
“Semangat ya, kalian berdua. Aku juga harus berusaha agar nggak kalah dari kalian.”
“Yuu, jangan berlebihan. Jaga agar nggak terluka sebelum hari H.”
“Eh~ Aku masih bisa berlatih lebih banyak lagi~!”
Amami-san memang bilang begitu, namun dalam latihan estafet antar grup, dia sudah menunjukkan waktu yang mengesankan, bahkan bisa bersaing dengan laki-laki.
Sepertinya, Amami-san adalah idola di grup biru, menjadi andalan dalam perlombaan, serta berkontribusi di belakang layar.
Mengingat potensi yang dimiliki Amami-san, tidaklah mengherankan dia bisa melakukan segalanya.
Setelah berpisah dengan Umi, aku dan Amami-san menuju kelas kami.
Kami menyelesaikan latihan pagi sedikit lebih awal, sehingga suasana di dalam kelas sudah sepi. Beberapa siswa yang terlibat dalam persiapan festival olahraga, seperti Yamashita-san yang mengurus alat dan Arae-san sebagai wakil kelas, sepertinya sudah mendekati tahap akhir persiapan.
“Anu, Amami-san…”
“Hm! Oh maaf…!”
Saat aku mencoba kembali ke tempat dudukku, aku menyadari bahwa Amami-san menggenggam ujung pakaian olahragaku.
“Eh? Ada apa, Amami-san?”
“Eh! Ah, maaf, aku cuma… ada satu hal yang terlewat untuk ku sampaikan.”
Ketika aku menoleh, Amami-san tampak panik, melepaskan tangannya sambil memalingkan wajahnya yang mulai memerah dan menggumam.
…Itu adalah pemandangan yang jarang kulihat dari Amami-san.
“Maki-kun, terima kasih buat yang tadi.”
“Eh?”
“Lihat, tadi itu, waktu ada cat putih di pipiku. Kamu memperhatikannya, kan?”
“Hm? Ah… untuk hal itu, nggak perlu mengucapkan terima kasih lagi.”
Sebenarnya, aku merasa bahwa sikapnya itu justru mencerminkan dirinya yang sebenarnya.
Jika aku yang melakukannya, itu mungkin akan dianggap aneh, namun jika Amami-san yang melakukannya, itu menjadi sesuatu yang menggemaskan.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.