Kanojo Wo Ubatta Ikemen Bishoujo Ga Naze Ka Oremade Nerattekuru chap 7 V2

Ndrii
0

Bab 7

Pembohong, Mereka Semua Pembohong




Mei hampir berakhir, dan udara di luar mulai terasa semakin lembap dan panas.


Seharusnya, di hari seperti ini, aku bisa langsung pulang ke rumah, menikmati kemewahan fungsi pengering udara dari AC, sambil bersantai menonton film.


Namun, kenyataan jauh dari harapan.


“Hah, hah...! Aku sudah bilang kan, aku ini tipe orang yang lebih suka di dalam rumah!”


Kini, aku hanya bisa berlari di sekitar kota di tengah hari yang terik, dengan keringat yang membasahi dahiku.


“Dasar rubah licik itu...!”


Apa maksudnya dengan “berpura-pura jadi pacar”?


Apa maksudnya dengan “semua ini hanya akting”?


Sampai detik terakhir, dia tetap bertingkah seperti gadis cantik yang dingin dan penuh pesona.


Kalau dia pikir kemenangan yang terasa pahit seperti ini akan membuatku senang, dia benar-benar salah besar.


“Sial... di mana kamu, Mizushima?!”


◆   ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧   ◆


Beberapa menit sebelumnya.


“Apa...? Jadi, dia itu... anak yang waktu itu?!”


Cerita yang keluar dari mulut Ena-chan tentang “cinta pertama” Mizushima membawa ingatanku kembali ke kenangan lama yang hampir terlupakan, kenangan masa kecil saat aku masih SD.


Benar. 


Aku memang pernah pergi ke taman hutan itu saat kelas empat SD, waktu itu dalam rangka perjalanan sekolah. Aku ingat, aku menjelajahi taman itu bersama Higuchi. Namun, entah bagaimana, di tengah jalan Higuchi malah asyik dengan kakak-kakak kelas perempuan yang mendekatinya, sementara aku ditinggalkan sendirian.


Karena merasa bosan, aku memutuskan menjelajah sendiri hingga tiba-tiba mendengar suara teriakan dari balik semak-semak. Saat mengintip dari balik pohon, aku melihat seorang gadis kecil, seusia denganku, sedang dipegang erat oleh seorang pria mabuk.


Melihat itu, aku hanya punya satu pikiran, aku harus menolong gadis itu. Sebelum aku sadar, tubuhku sudah bergerak, dan aku melompat memberikan tendangan kepada pria itu.


Jujur saja, aku bahkan tidak ingat wajah atau suara gadis itu dengan jelas sekarang. Tapi satu hal yang pasti, cerita itu hanya diketahui oleh aku dan gadis itu.


“Jadi, maksudnya... dia benar-benar sudah menyukaiku sejak SD?”


Ena-chan mengangguk pelan, lalu mulai bercerita dengan suara lirih.


“…Semuanya diceritakan oleh Shizuno-chan padaku. Saat kami bertemu lagi di sekolah ini.”


Setelah masuk kelas khusus bersama-sama, mereka berdua merasa senang bisa kembali merasakan hari-hari seperti masa kecil mereka. Mereka berbagi banyak cerita, tentang kehidupan setelah berpisah dan rencana mereka selama masa SMA.


Lalu suatu hari, Ena-chan membuka hatinya kepada Mizushima. Dia menceritakan keraguannya tentang hubungannya denganku.


Dia khawatir aku sebenarnya sudah tidak menyukainya. Dia bertanya-tanya, apakah dia benar-benar punya cukup daya tarik untuk membuatku tetap mencintainya.


“Saat aku bilang itu, Shizuno-chan tiba-tiba berubah... dan akhirnya dia menceritakan semuanya padaku.”


Mulai dari cerita tentang “anak laki-laki yang dia sukai” sejak SD, tentang bagaimana kejadian di taman itu menjadi titik awal perasaannya, hingga tekadnya untuk terus berusaha agar suatu hari bisa bertemu lagi denganku dan menyatakan perasaannya.


Namun, harapan itu hancur ketika dia mengetahui bahwa “anak laki-laki” itu ternyata adalah pacar sahabatnya sendiri.


‘Jadi, Ena-chan... bagaimana kalau kita bertanding?’


Setelah menceritakan semuanya, Mizushima mengusulkan ide itu kepada Ena-chan.


Untuk membuktikan apakah aku benar-benar mencintai Ena-chan atau tidak, mereka akan berpura-pura.


Ena-chan akan membiarkan Mizushima mendekatiku selama satu bulan, memainkan peran sebagai pacar dan mencoba menarik perhatianku. Jika aku menyerah dan menerima perasaan Mizushima, berarti aku tidak benar-benar mencintai Ena-chan. Dalam kasus itu, Ena-chan harus mundur.


Namun, jika aku menolak Mizushima, berarti aku benar-benar mencintai Ena-chan, dan Mizushima berjanji akan mundur dengan sukarela.


‘Kamu ingin percaya pada perasaannya, bukan? Kalau begitu, kamu pasti menerima tantangan ini, kan, Ena-chan?’


Didorong oleh keinginannya untuk percaya padaku, sekaligus rasa bersalah karena tanpa sengaja merebut cinta pertama sahabatnya, Ena-chan akhirnya menyetujui “bisikan iblis” itu.


Artinya, selama satu bulan ini, bukan hanya aku dan Mizushima yang bersaing, tapi juga Ena-chan dan Mizushima.


“Hasilnya, Souta-kun memilihku. Dan aku... aku sangat bahagia, sungguh. Tapi... tetap saja, aku tidak bisa menerima ini. Dengan cara seperti ini, aku tidak bisa mengatakan kalau aku menang atas Shizuno-chan.”


“Ena-chan...”


Air mata mulai mengalir dari mata Ena-chan, membasahi pipinya.


“Sebenarnya, aku yang muncul belakangan. Tapi Shizuno-chan, dia sama sekali tidak menceritakan masa kecilnya padamu. Ketika aku bilang itu tidak adil, dia hanya berkata, ‘Anggap saja ini keuntungan untukmu.’ Dengan sikapnya yang seperti itu, aku tidak bisa berpura-pura tidak merasa bersalah.”


Tangisannya semakin deras, tetapi senyum tipis masih menghiasi wajahnya.


“Sekarang aku tahu... Aku tidak bisa menang darinya. Gadis yang paling mencintai Souta-kun di dunia ini, bukanlah aku. Tapi Shizuno-chan.”


Dengan suara bercampur isak tangis, tetapi tetap berusaha mempertahankan senyum, Ena-chan berkata seperti itu.


“Shizuno-chan... dia bukanlah penjahat. Meski dia bertingkah seolah-olah dia yang mengatur semuanya, seolah-olah dia adalah dalang di balik ini semua, tetapi... penjahat sebenarnya adalah aku.”


“Itu...”


“Tidak,” aku berusaha menyanggah, tetapi Ena-chan langsung melanjutkan perkataannya.


“Jika saja aku bisa lebih percaya pada Souta-kun, aku tidak akan perlu menerima tantangan ini sejak awal. Tapi... aku yang lemah ini, aku tidak mampu sepenuhnya percaya. Aku malah meragukanmu. Karena itulah, aku terjebak dalam bujukan Shizuno-chan. Padahal selama ini, Souta-kun selalu memikirkan aku... Aku benar-benar orang yang terburuk, bukan?”


“Jangan bicara seperti itu! Kalau kamu merasa bersalah, maka aku juga bersalah, karena tidak melakukan apa pun untuk membuatmu percaya padaku sepenuhnya...”


“Tidak apa-apa, Souta-kun. Aku sudah tahu semuanya sekarang. Melalui hal ini, aku benar-benar menyadari betapa buruknya diriku. Aku pengecut, penuh prasangka, dan bahkan pada cinta dari orang yang aku cintai pun aku menatapnya dengan keraguan... Aku tidak pantas untuk dicintai olehmu.”


Senyum tipis yang dipaksakan Ena-chan tak bisa menyembunyikan air mata yang terus mengalir deras dari matanya, seperti keran yang rusak.


Aku berharap aku bisa mengalihkan pandanganku. Tetapi melihat matanya yang bengkak dan merah itu, dadaku terasa sesak dan berat.


“Jadi... tolong, Souta-kun.”


Setelah menyeka air matanya dengan tangan, Ena-chan menatapku lurus dengan sorot mata serius.


“Kumohon... meskipun hanya sedikit saja, ada perasaan suka terhadap Shizuno-chan di dalam hatimu... maka pilihlah dia. Bukan aku, tetapi teman terbaikku yang aku sayangi.”


“Ena-chan? Apa... apa yang kamu bicarakan?”


“Kalaupun itu terjadi, aku tidak punya hak untuk menghentikanmu. Dan aku tidak akan menghentikanmu. Kamu tidak perlu memikirkan perasaanku. Souta-kun... kamu hanya perlu memutuskan sesuai dengan hatimu. Jadi, sebagai gantinya—jawablah dengan jujur.”


Wajah Ena-chan saat itu mengingatkanku pada wajah Shizuno-chan sebulan yang lalu, ketika dia menantangku untuk ikut dalam “pertaruhan” ini. Itu adalah wajah seorang gadis yang telah memutuskan segala sesuatunya.


Oleh karena itu, aku tahu bahwa jawaban separuh hati atau basa-basi tidak akan diterima olehnya.


Angin musim panas yang lembab berhembus, menggerakkan rambut kami yang berdiri berhadapan.


(Aku harus...)


Di hadapan Ena-chan yang menatapku dengan penuh keberanian, aku hanya bisa terdiam, kebingungan mencari kata-kata.


Beberapa saat setelah itu, lonceng sekolah berbunyi, memecah kesunyian.


“Tiiiiinnn... tooonn... tooonn...”


Suara nyaring lonceng menggema di seluruh sekolah.


“...................... Fuuuuuuuuuuuuuu...”


Ketika gema lonceng akhirnya hilang, aku menghela napas panjang, mengeluarkan seluruh udara dari paru-paruku.


Lalu, aku melangkah mendekati Ena-chan yang bahunya bergetar ringan.


“Semua yang bilang mencintaiku... selalu penuh kebohongan.”


Setelah mengucapkan itu, aku berjalan melewati Ena-chan dan berlari menuju pintu keluar atap.


◆   ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧   ◆


Aku sudah mencari ke seluruh penjuru sekolah, tetapi tidak juga menemukan sosok Mizushima.


Akhirnya, aku pergi ke loker sepatu Mizushima dan memeriksanya.


Seperti yang kuduga, sepatu dalam ruangan miliknya masih ada. Sepertinya dia sudah meninggalkan sekolah lebih awal.


“... Aku harus tetap mencarinya.”


Meski merasa putus asa karena lingkup pencarian semakin meluas, aku mengganti sepatu dan keluar dari gerbang sekolah.


“Haa, haa...! Sudah kubilang, aku ini tipe orang yang suka di dalam rumah!”


Aku berlari melewati gerbang utama, menuju jalan setapak ke stasiun terdekat dari sekolah.


Di tengah jalan, aku mampir ke toko crepes dan arcade yang pernah aku kunjungi bersama Mizushima setelah pulang sekolah, tetapi dia tidak ada di sana.


Pada akhirnya, aku tiba di stasiun tanpa berhasil menemukannya.


Apakah mungkin dia langsung pulang ke rumah?


Kalau aku datang ke rumahnya, dia mungkin tidak akan membiarkanku masuk... kalau begitu, aku benar-benar tidak punya pilihan lain.


“... Untuk sekarang, aku hanya bisa mencari tempat di mana dia mungkin pergi.”


Aku turun ke peron dan naik kereta menuju kota sebelah, di mana terdapat kawasan pertokoan besar.


“Salah satu tempat ini...”


Melangkah melewati gerbang masuk kawasan pertokoan, aku tiba di sebuah alun-alun yang familiar.


Tempat ini adalah tempat aku menjadi pengganti “Veggie green” dan tampil di acara pertunjukan pahlawan lokal. Rasanya seperti baru kemarin hal itu terjadi.


Saat itu, aku menolong Mizushima yang hampir terjatuh dari panggung. Dia memanggilku “pahlawan”-nya.


Awalnya, aku mengira dia berkata begitu hanya karena aku sedang memerankan tokoh pahlawan.


Namun, mungkin di balik kata-katanya itu tersimpan kenangan dari hari jauh sebelumnya, di perjalanan sekolah kami saat SD.


“... Sampai juga.”


Langkahku membawaku ke sebuah kafe kecil yang sering Shizuno-chan kunjungi, “Olivier.”


Saat aku masuk, pelayan menyapaku dengan ramah.


“Selamat datang... Oh, Sakuhara-sama, ya?”


Saat bel pintu berdentang dengan bunyi karang-koron dan aku melangkah masuk ke dalam kafe, sang pemilik toko, seperti biasa, menyambutku dengan nada sopan.


“Oh, selamat siang, master,” sapaku.


“Hari ini sendirian? Kalau tidak salah, sekolah Anda, SMA Houkou, sedang masa ujian, bukan? Jika Anda ingin belajar, silakan gunakan meja yang lebih luas,” ujarnya ramah.


“Ah, tidak, sebenarnya aku sedang mencari seseorang... Apakah tadi Mizushima datang ke sini?”


“Mizushima-sama, ya?” Pemilik toko itu mengelus kumisnya yang rapi sambil mengernyitkan dahi.


“Tidak, sepertinya hari ini dia belum datang ke sini,” jawabnya.


“Begitu, ya... Baiklah, terima kasih,” ujarku, menunduk kecewa.


“Maaf tidak bisa membantu. Jika saya melihatnya, saya akan sampaikan bahwa Anda sedang mencarinya.”


“Ah, terima kasih! Itu sangat membantu!” 


Aku menundukkan kepala dalam-dalam kepada pemilik toko yang sopan itu sebelum keluar dari kafe.


Namun, setelah itu aku benar-benar kehabisan ide. Aku tidak tahu lagi ke mana harus mencari. Pesan yang kukirim lewat aplikasi obrolan bahkan tidak terbaca, dan ketika aku mencoba menelepon, sambungannya tidak terhubung. Sepertinya dia memblokirku di aplikasi dan menolak semua panggilanku.


“Sial, apa tidak ada lagi tempat yang mungkin saja dia kunjungin?” gumamku sambil mencoba berpikir.


Tempat yang dia suka, atau tempat yang biasa dia datangi... Tempat apa yang memiliki arti khusus baginya?


“Tunggu... tempat yang dia suka?”


Tiba-tiba, percakapan kemarin dengan Mizushima melintas di benakku.


‘Aku benar-benar suka kota yang menghadap ke laut.’


“Laut, ya... Tapi itu terlalu samar. Laut yang mana?”


Saat aku masih berpikir keras, ponsel di saku celanaku bergetar hebat. Aku terlonjak kaget dan buru-buru mengecek layar.


“Eh, Yoshida-san?”


Nama yang tertera adalah Yoshida-san, manajer Mizushima. Kami pernah bertukar kontak saat sesi pemotretan pernikahan, meski aku tak menyangka dia akan meneleponku.


“Halo? Ini Saku—”


Sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku...


“Halo, ini Yoshida. Maaf tiba-tiba menelepon, tapi apakah Anda tahu di mana Mizushima-san sekarang?”


“Eh? Tidak, kenapa memangnya?”


“Dia dijadwalkan datang ke kantor setelah selesai sekolah, tetapi sampai sekarang belum juga muncul. Kami mencoba menghubunginya lewat telepon dan pesan, tetapi tidak ada tanggapan sama sekali,”


“Benarkah?” Aku mengernyitkan dahi. Ini tidak seperti biasanya.


“Selain itu,” lanjut Yoshida-san, “akun Instagram Sizu baru saja memposting sesuatu yang aneh. Ada foto yang diunggah tanpa caption maupun hashtag. Kami tidak tahu apa maksudnya, dan jujur saja, kami khawatir.”


“Aneh bagaimana maksudnya? Apa fotonya?”


“Sebuah foto pemandangan... Saya akan kirimkan link-nya kepada Anda sekarang.”


Detik berikutnya, sebuah notifikasi pesan dari Yoshida-san muncul di layar ponselku. Aku mengetuk tautan itu, dan halamannya langsung membawaku ke unggahan terbaru di akun Instagram milik Mizushima.


“Ini...” 


Aku menatap layar dengan alis terangkat.


Di sana hanya ada satu foto dj sebuah pantai dengan pasir putih, langit biru, dan air laut yang tenang. Tidak ada keterangan, tidak ada hashtag, hanya foto itu.


“Sepertinya ini pemandangan pantai, tetapi tidak ada petunjuk jelas tentang di mana lokasi ini berada,” jelas Yoshida-san. “Kami tidak tahu kapan foto ini diambil, atau bahkan apakah ini benar-benar diunggah oleh Mizushima-san sendiri.”


Aku mengangguk pelan sambil memeriksa komentar pada unggahan itu. Banyak yang merasa bingung.


──Sizu-san, ini foto apa? Kok tidak ada penjelasan sama sekali?


──Pantai? Apa ini lokasi syuting baru?


──Bagus sih, tapi ini di mana, ya?


Aku memandang foto itu dengan saksama. Sebuah pantai dengan pasir putih membentang panjang, diiringi langit dan laut yang menyatu di kejauhan.


“... Yoshida-san, aku rasa aku tahu di mana dia sekarang,”


“Eh? Benarkah?!”


“Ya. Aku akan segera ke sana.”


“Tunggu, setidaknya beri tahu lokasinya—”


Namun, aku sudah memutuskan panggilan lebih cepat dan memasukkan ponsel ke saku. Aku berlari lagi, kali ini menuju stasiun terdekat.


Dari pusat kota, aku menaiki kereta menuju Sakuragi-cho dan kemudian melanjutkan perjalanan dengan monorel hingga tiba di sebuah taman pantai di pinggir kota. Saat itu, matahari sudah mulai terbenam. Langit di sebelah barat memancarkan warna oranye keemasan, sementara di sisi timur perlahan berubah menjadi gradasi ungu.


“... Semoga aku tidak salah tebak,”


Taman pantai ini adalah tempat yang pernah kami kunjungi saat perjalanan ke akuarium. Aku masih ingat jelas bagaimana Mizushima terlihat sangat bahagia saat berjalan di pasir pantai yang lembut, memotret laut, dan memuji betapa indahnya pemandangan di sini.


Saat itu, dia berkata dengan penuh semangat, “Aku tidak tahu ada pantai sebagus ini di dekat sini!”


Keyakinan ini mungkin hanya firasat, tetapi jika dia benar-benar menyukai pantai seperti yang dia katakan...


Tiba-tiba, suara peluit halus terdengar di kejauhan. Aku berhenti dan mencoba mendengarkan lebih jelas.


“... Itu... suara apa?”


Aku melangkahkan kaki ke pasir pantai yang luas, mengikuti suara yang terbawa angin sebagai petunjuk arahku.


Karena ini hari kerja dan sudah sore, hampir tak ada bayangan orang di sekitar pantai. Maka dari itu—


“Piippp... piiipppp...”


Orang yang kucari ternyata lebih mudah ditemukan daripada yang kupikirkan.


“Hei, bukannya ini terlalu dini untuk berenang?”


Aku menyapa gadis itu dari belakang. Dia berdiri di dalam air hingga setinggi betisnya, masih mengenakan seragam sekolah, sementara sepatu dan kaus kakinya tergeletak di atas pasir.


“Eh... S-Souta-kun?”


“Ya. Aku mencarimu, Mizushima.”


Terkejut, Mizushima membalikkan badan dengan ekspresi bingung. Secara refleks, tangan kirinya bergerak ke belakang tubuhnya, seperti menyembunyikan sesuatu.


Aku sekilas meliriknya, tapi memilih tidak mengomentarinya untuk saat ini.


Namun, itu hanya berlangsung sesaat. Mizushima segera memasang senyuman khasnya, seperti topeng yang biasa ia kenakan.


“Uhm... jadi, kenapa Souta ada di sini?”


Hah, tadi dia sempat reflek memanggilku Souta-kun, tapi sekarang malah pura-pura formal? Lucu sekali. Aku mengangkat bahu dan mengeluarkan ponsel dari sakuku, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi agar dia bisa melihat layarnya.


“Dari instagram. Kamu baru saja memperbarui unggahanmu, kan?”


Seketika wajahnya berubah, tampak seperti orang yang baru sadar telah membuat kesalahan besar. Namun, dia dengan cepat kembali bersikap santai, mencoba bersikap seolah semuanya tidak ada apa-apa.


“Ah, itu? Aku hanya lagi ingin jalan-jalan di pantai. Sudah lama tidak memperbarui akun, jadi kupikir, kenapa tidak sekalian? Itu hanya unggahan iseng kok.”


“Tanpa caption atau hashtag?”


“Ya, kadang begitu lebih bagus, kan? Lebih estetik, gitu.”


Dia masih mencoba bersikap santai, tapi aku tak punya waktu untuk meladeni basa-basi ini. Aku menarik napas panjang sebelum berbicara langsung ke inti.


“Aku ingin bicara.”


“...Maksudmu soal ‘pertarungan’ itu?”


Mizushima menghela napas seolah sudah bosan, lalu menggelengkan kepala dengan nada menyindir.


“Kalau itu yang ingin kamu bicarakan, bukankah semuanya sudah selesai? Pertarungan itu dimenangkan olehmu dan Ena-chan. Kalian akan terus jadi pasangan harmonis, dan aku, Mizushima Shizuno, tidak akan ikut campur lagi. Akhir yang bahagia, bukan? Semuanya selesai di situ.”


“Tidak. Semuanya belum selesai. Ada ketidakjujuran yang terungkap.”


Mendengar jawabanku, Mizushima sempat terlihat terkejut, namun dengan cepat menutupi ekspresinya.


“Ketidakjujuran? Aku tidak curang, kan? Lagipula, meskipun aku curang, apa pentingnya sekarang? Toh, pemenangnya tetap kamu dan Ena-chan.”


Dia masih mencoba mengelak, tetap mempertahankan senyum main-mainnya. Tapi aku tak akan membiarkannya mengalihkan pembicaraan.


“Tadi kamu bilang, kan? Semua ini bohong. Kamu bilang, apa yang terjadi selama satu bulan terakhir hanyalah sandiwara. Semua itu hanya akting untuk menguji perasaanku pada Ena-chan.”


“Haha. Kalau kupikir-pikir, aktingku cukup bagus, ya? Tapi ya, kurasa aku memang sedikit keterlaluan sampai membuatmu begitu tertekan. Maaf soal itu.”


“Kamu juga bilang, kalau perasaanmu padaku itu... juga bohong?”


Wajah Mizushima sempat terpaku. Hanya sepersekian detik, tapi aku bisa melihatnya. Meski begitu, dia kembali tersenyum, kali ini dengan nada yang lebih tenang.


“Ya, itu bohong.”


“Kalau begitu, kalau aku menerima pengakuanmu hari ini, apa yang akan kamu lakukan? Apa kamu benar-benar akan berkencan dengan pria yang tidak kamu sukai?”


“Tentu tidak. Kalau kamu menerimanya, aku pasti akan langsung mengaku kalau itu hanya akting dan mengembalikanmu pada Ena-chan. Tapi ya, mungkin hubungan kalian akan sedikit canggung setelah itu.”


Dia berkata santai, namun aku bisa merasakan ada sesuatu yang lebih dalam di balik kata-katanya.


Aku menarik napas dalam-dalam, lalu menyela sebelum dia melanjutkan.


“Orang yang menyuruhku mencarimu ke sini adalah Ena-chan.”


Akhirnya, senyum Mizushima memudar.


Dia menatapku dengan ekspresi bingung, seolah tak mengerti apa yang kukatakan. Kini giliran aku yang menyunggingkan senyum tipis, sedikit mengejek.


“Masih ingat, kan? Dulu aku pernah bilang, kalau aku mendengar suara P-Whistle itu di mana pun, aku akan datang mencarimu.”


Kutatap tangan kirinya yang dia sembunyikan di belakang tubuh. Perlahan, dia menyerah dan menunjukkan apa yang disembunyikannya.


Di telapak tangannya, ada sebuah peluit kecil berbentuk penguin, yang dulu pernah kuberikan padanya.


“Haaah... Ena-chan benar-benar terlalu baik. Aku sudah bilang padanya untuk tidak memberitahumu soal itu.”


Dia menghela napas, lalu berbicara, kali ini dengan nada yang lebih tulus.


“Jadi, kamu sudah tahu segalanya, ya, Souta?”


“Ya. Ena-chan bilang, ‘ini tidak adil’ kalau aku tidak tahu semuanya. Jadi dia menceritakan semuanya padaku.”


“Haha. Ena-chan itu terlalu baik hati. Dia bahkan memberi tahu hal-hal yang bisa merugikannya sendiri. ‘Musuh dalam cinta itu seperti cermin’, mungkin itu benar, ya?”


Dia tertawa kecil, tapi kali ini tidak ada nada pura-pura. Namun, dia tetap menghindari kontak mata denganku, seolah-olah masih ada sesuatu yang ingin dia sembunyikan.


“Tapi, hasil akhirnya tetap sama.”


“Sama?”


“Ya, sama. Sejak kecil aku memang sudah menyukaimu, Souta. Dan aku serius. Aku ikut dalam pertarungan ini karena aku pikir aku bisa menang, karena aku percaya bahwa satu bulan bersamaku bisa mengalahkan semua kenangan kalian berdua.”


Dia menunduk, memandangi peluit di tangannya sambil melanjutkan dengan suara lebih pelan.


“Tapi pada akhirnya, kamu tetap memilih Ena-chan. Aku kalah telak. Aku meremehkan usaha Ena-chan dan meremehkan keteguhan hatimu. Aku menerima kekalahanku sepenuhnya.”


Dengan sikap yang seolah sudah sepenuhnya menerima kenyataan, Mizushima memandang langit dan meregangkan tubuhnya dengan lebar.


“Sebulan penuh, aku sudah melakukan segalanya yang bisa kulakukan. Kalau setelah itu aku masih kalah, ya sudah, mau bagaimana lagi? Aku akan menyerah dengan ikhlas. Terus-terusan menarik-narik masa lalu, itu bukan gaya ‘Sizu’.”


Bukan ditujukan padaku, melainkan seperti sedang meyakinkan dirinya sendiri, Mizushima berkata demikian sambil menendang-nendang air di kakinya. Setelah itu, dia berbalik membelakangiku, mengarahkan pandangannya ke matahari yang perlahan tenggelam di cakrawala.


“Makanya, lupakan saja, ya. Tentang gadis bodoh yang serakah dan nyaris merebut pacar sahabatnya sendiri. Lupakan semuanya, dan lanjutkan hidup seperti biasa—”


“Ena-chan bilang gini....”


Sebelum Mizushima bisa menyelesaikan kalimatnya, aku memotong dengan nada tegas. Seketika itu juga, langkahnya terhenti.


“Ena-chan bilang, ‘pilihlah Shizuno-chan, bukan aku.’”


Mizushima langsung berbalik, memandangku dengan ekspresi penuh keterkejutan yang belum pernah kulihat sebelumnya.


“Apa...?”


Suaranya tercekat, seperti tak percaya apa yang baru saja dia dengar.


Aku menatap lurus ke arahnya, kemudian menceritakan semua yang baru saja dikatakan Ena-chan padaku. Bagaimana sebenarnya dia merasa bahwa dirinya adalah “pendatang baru” dalam hidupku. Bagaimana dia, setelah melihat kebersamaanku dengan Mizushima selama sebulan ini, menyadari bahwa dirinya tak mungkin menang. Bagaimana dia merasa tak layak untuk dipilih setelah mencoba menguji perasaanku dengan cara yang egois.


“Karena itu, dia bilang, kalau saja aku punya sedikit saja perasaan padamu, aku harus memilihmu. Bukan dia.”


Setelah mendengar itu, Mizushima hanya berdiri terpaku, dengan mata melebar dan mulut sedikit terbuka. Seperti patung, dia tak bergerak sedikit pun.


“Kata Ena-chan, aku harus menjawab dengan jujur, tanpa bersembunyi di balik rasa bersalah karena tidak memilihnya, atau karena aku merasa kasihan padanya. Aku harus memilih berdasarkan perasaan yang benar-benar ada di hatiku. Dan itu kenapa, Mizushima, aku berdiri di sini sekarang, di depanmu.”


Dengan napas yang dalam, aku melanjutkan sambil menunjuknya.


“Kamu bilang, kalau aku menang, aku bisa meminta satu hal darimu. Sekarang, aku ingin menggunakan hak itu.”


Mizushima tampak bingung, tak siap menghadapi kata-kataku.


“Berhenti berbohong. Pada Ena-chan, padaku, dan terutama pada dirimu sendiri.”


Mendengar itu, tubuh Mizushima tampak bergetar halus. Suara ombak memecah keheningan di antara kami.


Dan kemudian, tanpa peringatan, setetes air mata mengalir di pipinya.


“Ah...?”


Seolah tak percaya pada dirinya sendiri, Mizushima menyentuh pipinya. Itu adalah pertama kalinya aku melihatnya menangis. Gadis ini, yang selalu tampil kuat, selalu menyembunyikan emosi di balik senyuman yang angkuh, kini membiarkan air matanya mengalir.


“Hahaha... apa-apaan ini? Kenapa aku menangis...?”


Sambil tertawa kecil yang kering, dia buru-buru mengusap wajahnya, mencoba menghapus jejak air mata. Tapi matanya tetap memerah.


“Aku... sungguh tidak menyangka, kamu juga bisa menangis, ya.”


“Eh, itu kasar sekali! Apa kamu mengira aku ini seperti robot tanpa perasaan?”


Kali ini, senyuman Mizushima terlihat tulus. Tidak ada kepalsuan atau topeng. Itu adalah senyum hangat yang aku kenal selama sebulan terakhir.


“Haa... begini, ya. Jadi seperti ini akhirnya.”


Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya, lalu berkata pelan.


“Tadi, soal postinganku di Instagram...”


Nada bicaranya sedikit berubah, seperti merasa malu.


“Itu... sebenarnya aku berharap kamu akan menyadarinya. Kalau kamu akan datang mencariku. Meski aku tahu, seharusnya itu tidak mungkin. Kamu tidak memilihku, dan semuanya sudah selesai.”


Dia mengangkat peluit di tangannya, menempatkannya di bibir, lalu meniupnya. Suara nyaring memenuhi pantai.


“Dan kamu tetap datang. Aku meniup peluit ini, dan kamu benar-benar datang. Kamu, pahlawan yang sudah kucintai sejak kecil, yang selalu baik, yang bodohnya tak bisa kulupakan meski aku kalah. Kamu tetap datang, bahkan setelah semuanya seharusnya sudah selesai.”


Mizushima tersenyum pahit, menunduk sejenak sebelum akhirnya mengangkat wajahnya lagi.


“Jadi, kalau benar Ena-chan dan kamu benar-benar menerima perasaanku... bisakah aku punya satu kesempatan lagi? Untuk mencobanya sekali lagi, dari awal?”


Kini, yang berdiri di hadapanku bukanlah gadis sempurna yang dikenal banyak orang. 


Bukan sosok “Sizu,” model populer yang dikagumi. 


Yang ada hanyalah seorang gadis biasa, yang akhirnya berani menunjukkan hatinya yang rapuh.


Di hadapanku sekarang, tak ada lagi sosok gadis yang sempurna atau seorang bintang terkenal. Yang ada hanyalah seorang “gadis biasa yang sedang jatuh cinta,” satu-satunya di dunia ini.


“──Aku sudah lama menyukaimu.”


Sikap percaya diri yang biasa dia tunjukkan, wajah yang selalu terlihat tenang seolah tahu segalanya, dan segala ucapan kosong atau lelucon yang mungkin bisa dengan mudah dia lontarkan.


Semua itu kini telah ia buang jauh-jauh.


“Jika... jika seorang gadis yang serendah ini, seegois ini, yang hanya memikirkan dirinya sendiri, dan selalu membuatmu repot seperti aku ini, masih bisa kamu terima...”


Dengan pipi yang memerah hingga terlihat jelas meski disinari cahaya matahari terbenam, dia perlahan mengulurkan tangan ke arahku.


Lalu dengan suara yang terdengar tulus, tanpa embel-embel, dia berkata,


“Sakuhara Souta... bolehkah aku menjadi heroinemu?”


Pengakuan cinta ketiga dari Mizushima.


Namun berbeda dari yang pertama dan kedua. Tidak ada lagi trik, niat tersembunyi, atau kepura-puraan. Ini adalah pengakuan cinta yang murni.


Barangkali, untuk Mizushima sendiri, pengakuan ini adalah hasil dari enam tahun perasaan yang ia pendam, sejak kelas empat SD hingga kelas satu SMA.


Dan kini, saatnya ia berhasil menyampaikan semuanya.


Mendengar itu, aku perlahan menggerakkan tangan kananku menuju tangan Mizushima yang terulur.


“────Tunggu sebentar!”


Namun, suara yang tiba-tiba menggema membuat kami berdua refleks menoleh ke belakang.


“Eh...?”


“Apa...?”


Hampir bersamaan, aku dan Mizushima mengeluarkan suara bingung.


Di depan kami, seorang gadis muncul dari balik pepohonan pinus yang berjejer di tepi pantai, berlari tergesa-gesa dengan nafas tersengal-sengal. Kedua tangannya terkepal erat, sementara pundaknya naik turun dengan hebat karena kelelahan.


“Ena-chan!?”


“Ena-chan!?”


Aku dan Mizushima memanggilnya bersamaan, namun dia terus berlari ke arah kami.


Meski tubuhnya sempat tersandung pasir beberapa kali hingga jatuh tertelungkup, dia tetap bangkit, membersihkan pasir yang menempel di wajahnya, dan melanjutkan langkahnya dengan ekspresi serius.


“Hah... hah... ugh, uhuk...”


“E-Ena-chan? Kenapa kamu ada di sini...?” tanyaku bingung ketika akhirnya dia sampai di hadapan kami, napasnya masih tersengal.


“Karena... aku ini seorang pembohong!”


Ena-chan tidak menjawab pertanyaanku. Sebaliknya, dia menatap lurus ke arahku dan berseru.


“Aku... seperti yang Souta-kun bilang, aku ini pembohong! Aku bilang ‘Aku tidak bisa menang dari Shizuno-chan,’ dan... ‘Aku ingin kamu memilih Shizuno-chan.’ Aku bilang begitu, tapi!”


Matanya yang merah dan bengkak karena menangis terus mengeluarkan air mata, mengalir deras di pipinya.


“Aku tahu... aku tidak punya hak untuk mengatakan ini sekarang. Aku sudah menyusahkanmu, menyakitimu, dan ini semua terdengar sangat egois. Tapi... aku... aku tetap tidak bisa! Jika ini benar-benar perpisahan kita... jika aku harus menjalani sisa hidupku tanpa Souta-kun... aku tidak akan bisa hidup! Aku tidak mau! Aku tidak mauuuu!”


“Ena-chan...”


Sebenarnya, aku sudah sedikit menyadarinya. Kata-kata Ena-chan, bahwa dia tidak keberatan tidak dipilih, sebenarnya hanyalah usaha keras untuk berpura-pura tegar.


Tentu saja, ada bagian dari dirinya yang benar-benar berpikir seperti itu. Jika aku benar-benar memilih Mizushima, dia akan menerima kenyataan itu.


Sebagai sahabat dekat yang telah lama menyayangi Mizushima, Ena-chan berniat mengalah dan memberikan tempatnya untuk sahabatnya itu.


Karena itu, dia bahkan rela berbohong kepada dirinya sendiri agar bisa mendukung keputusanku.


Dan itulah alasan aku juga bertekad untuk menghargai keberaniannya dengan serius menjawab permintaannya.


“Tapi... aku tetap ingin berada di sisimu. Tidak bisakah aku... menjadi pacarmu lagi?”


Dengan suara yang masih bergetar, dia mengatakannya.


Lalu, seolah kenangan dari empat bulan lalu, saat awal tahun ajaran baru, kembali melintas di benakku.


“Tolong... jadilah pacarku.”


Itu adalah pertama kalinya aku mendapat dobel pengakuan cinta dalam hidupku.


Saat itu, aku memang berniat mengatakan hal yang sama, tetapi aku kalah cepat. Meski begitu, aku tetap senang, karena itu adalah momen ketika aku punya pacar untuk pertama kalinya.


Kata-kata, situasi, dan semuanya terasa berbeda dari saat itu. Tapi tatapan serius yang Ena-chan tunjukkan sekarang tetap sama persis.


(Apa yang harus aku katakan...? Bagaimana aku harus menjawabnya...?)


Tangan kananku, yang semula terulur menuju tangan Mizushima, berhenti di udara. Sama seperti itu, hatiku kini berada dalam kebimbangan.


Mizushima telah mengungkapkan isi hatinya.


Ena-chan pun melakukan hal yang sama.


Dan kini, aku tahu segalanya, termasuk perasaanku sendiri.


Tidak peduli siapa yang aku pilih, aku tahu keputusanku akan melukai seseorang. Tapi aku bukanlah tokoh utama dari film romantis atau cerita komedi cinta. Aku hanyalah seorang siswa SMA biasa yang menyukai film, seorang otaku pemalu yang tidak tahu bagaimana menyelesaikan situasi rumit seperti ini.


(Apa yang harus aku lakukan...?)


Aku hanya bisa berdiri mematung, seperti orang yang kehilangan akal.


“──Itu tidak boleh.”


Namun, suara yang pertama menjawab Ena-chan bukanlah milikku, melainkan milik Mizushima.


“Kamu tidak bisa mengatakannya sekarang. Semuanya sudah terlambat.”


Ekspresi Mizushima, yang biasanya tenang, kini berubah menjadi tegas.


“Kamu tahu, kan? Aku ini orang yang tidak pernah mengembalikan sesuatu yang sudah kuambil, kecuali dalam keadaan luar biasa.”


“Eh? T-tunggu, Mizushima!?”


Begitu selesai berbicara, Mizushima langsung menggenggam tangan kananku yang menggantung di udara, lalu menarikku menuju ke arah air dangkal di pantai.


“Eh, tunggu, tunggu, tunggu! Sepatu! Aku masih pakai sneakers, tahu!”


[[ “Biar saja basah” ]]


“Jangan seenaknya! Aku tidak mau pulang dengan sepatu yang basah kuyup!”


Sambil terus membantah, aku akhirnya tanpa sadar menjejakkan satu kaki ke dalam air.


“Dingin sekaki!?”


“Tidak apa-apa. Kalau semuanya basah, nanti juga terbiasa.”


Mizushima tetap menarik lenganku, membuatku nyaris memasukkan kaki satunya lagi ke dalam air. Namun, tepat saat itu terjadi—


“……Hmmmphhh!”


“Hah!? E-Ena-chan!?”


Kali ini, tangan kiriku yang kosong digenggam erat oleh Ena-chan, dan ia menarikku ke arah berlawanan.


Kini tubuhku dipaksa dalam posisi canggung—satu kaki berada di dalam air, sedangkan kaki yang lain tetap di atas pasir, dengan kedua lenganku ditarik ke arah yang berlawanan.


Dengan kedua lengan mungilnya, Ena-chan berusaha sekuat tenaga menarikku. Meski terlihat lemah, ia tetap memaksakan diri untuk menggenggam erat tanganku.


Pipinya yang bulat dan lembut terlihat menggembung, memperlihatkan ekspresi penuh tekad. Seluruh tubuhnya seperti mencurahkan segala tenaga yang ia punya.


Melihat itu, Mizushima justru tersenyum penuh arti, seraya berkata, “Oh, jadi begitu, ya.”



“Kamu cukup ngotot juga ya. Padahal biasanya Ena-chan itu pemalu.”


Dengan nada yang lebih provokatif dari biasanya, Mizushima melontarkan sindiran kepada Ena-chan. Namun, Ena-chan kali ini tidak seperti biasanya. Wajahnya menunjukkan tekad yang kuat, meskipun dia tidak mengatakan apa pun karena seluruh energinya terkonsentrasi untuk menarik lenganku. Dia melawan Mizushima dalam diam.


Belum pernah aku melihat keduanya dengan suasana seperti ini sebelumnya.


“Bukankah kamu bilang akan menghormati keputusan Souta? Sudah memutuskan untuk melepasnya, kan? Kalau sekarang kamu tiba-tiba menarik ucapanmu, itu namanya curang.”


“……!”


“Jadi kamu tetap tidak mau mengalah? Hmm, menarik.”


“He-hei, kalian berdua!? Sudahlah, lepaskan tangan kalian—”


Aku mencoba menenangkan keduanya saat lenganku mulai terasa sakit karena tarik-menarik ini. Tapi di saat itu juga...


“…Sudah… tidak kuat… lagi…”


“Eh!?”


“Hah!?”


Ena-chan yang sepertinya sudah kehabisan tenaga lebih dulu, tiba-tiba kehilangan kekuatan dan melemas. Dengan hilangnya tarikan dari sisi Ena-chan, keseimbangan tenaga langsung condong ke arah Mizushima. Dan akhirnya...


Byurrr!!


Kami bertiga, yang masih saling berpegangan tangan, terjatuh dengan keras ke dalam air dangkal di tepi pantai.


◆   ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧   ◆


Sepuluh menit kemudian.


Tampaknya seseorang yang melihat pertengkaran kami di pinggir pantai melapor ke kantor pengelola taman. Kami akhirnya dijemput oleh seorang petugas tua yang langsung memarahi kami. Dengan seragam sekolah yang basah kuyup, kami diberi pakaian sementara berupa baju kerja yang biasa digunakan oleh staf taman.


“Kalian ini, ya. Apapun masalahnya, tidak boleh lompat ke laut dengan pakaian sekolah seperti itu.”


“…Ya.”


“Meski di tempat dangkal, tetap saja ada yang bisa tenggelam, tahu?”


“…Iya.”


“Kalian ini pelajar, kan? Menurut laporan orang yang menelepon, katanya kalian bertengkar soal cinta, ya?”


“…Iya.”


“Dengar, nak, dulu waktu seumuran kalian, saya juga sering jadi rebutan banyak gadis. Jadi saya mengerti perasaanmu. Tapi, di saat seperti itu, justru tugas laki-laki untuk menyelesaikan semuanya dengan baik.”


“…Benar, Pak.”


Entah bagaimana, ceramah bapak ini berubah menjadi cerita tentang masa mudanya. Aku hanya bisa mengangguk sambil mengucapkan “iya” atau “benar, Pak.”


Mengingat bapak ini sudah memberi kami tumpangan baju dan handuk, aku tidak tega memotong ceritanya, meskipun rasanya ingin cepat selesai.


“Ya sudah, intinya, jangan bertengkar terus, ya. Hari ini kantor sudah mau tutup, jadi pakaian itu dipakai saja sampai rumah. Lain kali kembalikan saja ke sini.”


“Terima kasih, Pak. Kami sangat terbantu.”


“Tidak apa-apa, jaga diri baik-baik ya. Hati-hati di jalan.”


Setelah berpamitan kepada bapak petugas yang baik hati itu, kami bertiga menuju stasiun kereta monorel yang ada di taman ini.


Langit sudah benar-benar gelap, dan bintang-bintang mulai bermunculan di langit malam.


“…………”


“…………”


(Sial, suasananya sangat canggung!)


Mizushima dan Ena-chan, yang berjalan di sampingku, tidak mengucapkan sepatah kata pun sejak tadi. Suasana yang kaku ini membuatku ikut bungkam tanpa tahu harus berkata apa.


Akhirnya, setelah naik monorel dan berganti kereta, kami tiba di Stasiun Sakuragi-cho.


“…Aku naik bus dari sini.”


“…Aku pakai kereta bawah tanah.”


“O-oh… hati-hati di jalan, ya.”


Setelah mengucapkan salam perpisahan yang singkat, aku hanya bisa memandangi punggung mereka berdua yang menjauh dengan perasaan waswas.
















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !