Kanojo Wo Ubatta Ikemen Bishoujo Ga Naze Ka Oremade Nerattekuru chap 6,5 V2

Ndrii
0

Selingan

Cinta Pertama Mizushima Shizuno




Pov Mizushima Shizuno

Di masa sekolah dasar, aku punya julukan “Mizushima-kun.”


Tubuhku lebih tinggi dibanding anak laki-laki seusiaku, aku juga lebih cepat dalam berlari. Saat jam istirahat atau sepulang sekolah, aku sering berlarian di luar hingga celanaku selalu kotor.


Selain itu, aku sering bermain bersama anak-anak laki-laki, jadi aku terbiasa memanggil diriku sendiri dengan sebutan 'boku'. Aku pikir, wajar saja jika mereka menganggapku seperti anak laki-laki.


Memang, saat itu tubuhku belum seperti perempuan pada umumnya, sehingga banyak orang yang baru pertama bertemu mengira aku benar-benar anak laki-laki.


Meski begitu, aku tidak pernah merasa terganggu dengan itu.


Tentu saja, mendengar orang menyebutku “imut” adalah hal yang paling menyenangkan. Tapi, aku juga tidak keberatan jika dibilang “keren.”


“Nee, Mizushima-kun! Setelah pulang sekolah nanti, kamu ikut kami jalan-jalan, ya?”


“Tidak bisa begitu dong! Mizushima-kun mau main sepak bola di taman bareng kami!”


“Heh, dasar anak laki-laki! Kenapa kalian seenaknya memutuskan begitu?”


“Hah! Mizushima-kun lebih senang main bareng kami daripada sama kalian, kan?”


Jujur saja, aku mungkin termasuk “anak populer” di sekolah.


Sepulang sekolah, banyak kelompok dari berbagai kelas yang mengajakku bermain. Aku hampir selalu punya teman untuk menghabiskan waktu bersama.


Tapi, entah kenapa, anak-anak di usia itu cenderung suka membagi-bagi kelompok menjadi “anak laki-laki” dan “anak perempuan.” Hal ini sering memicu perselisihan tentang siapa yang bisa bermain denganku.


Jika aku bermain dengan anak laki-laki, anak perempuan akan marah. Sebaliknya, kalau aku memilih bermain dengan anak perempuan, anak laki-laki akan merajuk. Berusaha membuat mereka tidak bertengkar itu cukup melelahkan.


“Kamu hebat, ya, Shizuno-chan. Banyak sekali teman yang suka bermain denganmu.”


Mungkin karena itu, waktu istirahat bersama Ena-chan adalah momen di mana aku bisa merasa santai di tengah hari-hari yang menyenangkan tapi melelahkan.


Aku dan Ena-chan sudah sekelas sejak kelas tiga SD. Saat semua orang memanggilku “Mizushima-kun,” hanya Ena-chan yang memanggilku “Shizuno-chan.”


Ketika orang lain hanya melihat penampilanku, Ena-chan adalah satu-satunya yang sepertinya benar-benar melihatku apa adanya.


Di hadapan Ena-chan, aku bisa menjadi diriku sendiri, dan aku senang berbicara dengannya.


“Kamu cantik, dewasa, dan populer. Aku bisa mengerti kenapa banyak orang menyukaimu. Dibandingkan itu, aku... biasa saja. Aku tidak menarik, dan hampir tidak punya teman...”


“Itu tidak benar. Menurutku, Ena-chan itu imut. Bahkan mungkin di kelas ini ada beberapa anak laki-laki yang menyukaimu.”


“Apa!? T-tidak mungkin... Tidak ada yang seperti itu!”


“Kalau begitu, bagaimana denganmu sendiri, Shizuno-chan? Kudengar kamu pernah beberapa kali… ditembak.”


“Ah, itu…”


Memang, ada beberapa kali aku diberitahu bahwa mereka menyukaiku, meski semuanya adalah anak perempuan.


“Kamu sendiri, Shizuno-chan? Apa kamu punya orang yang kamu suka?”


“Sekarang sih tidak ada. Sebenarnya, aku juga belum pernah punya perasaan seperti itu.”


Jujur saja, saat itu aku tidak benar-benar memahami konsep “suka” atau “cinta.”


Aku memang membaca komik-komik romantis seperti anak perempuan pada umumnya, tapi bagiku itu hanyalah cerita fiksi. Aku tidak bisa membayangkan diriku mengalami cinta seperti tokoh utama di komik.


“Oh, begitu ya... Tapi kalau nanti kamu jatuh cinta, pasti itu pada seseorang yang keren, pintar, dan seperti pangeran, ya?”


“Entahlah. Aku juga tidak tahu.”


Kupikir, saat itu aku benar-benar tidak tertarik dengan urusan cinta.


Aku yakin, jika aku akan menyukai seseorang sebagai seorang perempuan, itu pasti akan terjadi jauh di masa depan.


Namun, pada suatu hari di kelas empat SD, sebuah pertemuan takdir terjadi—dan itu mengubah hidupku selamanya.


◆   ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧   ◆


Musim panas tahun itu baru saja berlalu, dan udara menjadi lebih sejuk saat musim gugur tiba. Sekolah kami mengadakan acara rutin tahunan berupa kunjungan ke luar sekolah.


Tujuan kami adalah taman hutan di atas bukit kecil di kota ini. Taman ini dulunya adalah arena pacuan kuda yang telah diubah menjadi taman luas dengan lapangan berumput, kolam, dan museum yang berisi informasi tentang kuda.


“Baiklah, semuanya! Sekarang kita punya waktu satu jam untuk bebas bermain. Kalian boleh pergi ke mana saja di dalam taman, tapi jangan melakukan hal berbahaya. Jika ada apa-apa, segera hubungi guru yang sedang berkeliling, ya!”


Setelah mengunjungi museum di pagi hari dan makan siang bersama, akhirnya tiba saat yang ditunggu-tunggu—waktu bebas.


“Oi, Mizushima-kun! Ayo main kejar-kejaran sama kami!”


“Hah? Apa-apaan? Mizushima-kun main sama kami, dong!”


“Kapan sih kalian memutuskan itu? Tahu tidak waktu dan detiknya kapan bumi berputar saat itu, huh?”


“Ih, nyebelin! Anak laki-laki itu kekanak-kanakan banget!”


Seperti yang kuduga, teman-teman mulai berebut ingin menghabiskan waktu bebas bersamaku. Setelah berdiskusi panjang, akhirnya diputuskan bahwa aku akan bermain bersama beberapa anak laki-laki dan perempuan yang jadi pemimpin kelompok masing-masing.


Sebenarnya, aku lebih suka jika bisa berjalan-jalan santai berdua dengan Ena-chan. Tapi, sayangnya hari itu Ena-chan tidak masuk karena sakit. Jadi, mau tidak mau aku ikut bergabung dengan kelompok.


“Baiklah, aku mulai duluan, ya!”


Setelah berdebat, kami memutuskan untuk bermain permainan bola yang menggabungkan keinginan anak laki-laki dan perempuan.


Aturannya sederhana—kami membentuk lingkaran, lalu saling memantulkan bola tanpa membiarkannya jatuh ke tanah. Jika bolanya jatuh, orang yang terakhir menyentuh bola akan tereliminasi dan keluar dari lingkaran. Permainan berlanjut hingga hanya tersisa satu orang.


“Eit!”


“Hup!”


“Yah, pelan-pelan dong!”


Awalnya, semua berjalan lancar, tetapi seiring waktu, beberapa orang mulai lelah dan satu per satu keluar dari permainan. Hingga akhirnya, hanya aku dan seorang anak laki-laki yang tersisa.


“Yeay, tinggal aku sama Mizushima-kun! Duel satu lawan satu nih!”


“Haha, aku tidak akan kalah!”


“Siap, ya! Aku lempar... Wah, aduh!”


“Hei! Kamu ngapain melemparnya ke situ!?”


Namun, bola yang dipukul terlalu keras oleh anak laki-laki itu melayang ke arah yang tak terduga.


“Uh… waduh!?”


Nahasnya, bola itu tepat mengenai kepala seorang pria yang duduk di bangku taman.


“──Hei! Apa-apaan kalian, bocah kurang ajar!?”


Pria yang mengenakan setelan jas kusut dengan dasi yang longgar itu langsung berdiri dan berteriak marah ke arah kami. Dari baunya yang menyengat dan beberapa kaleng bir kosong yang berserakan di bawah bangku, jelas sekali pria itu sudah mabuk berat.


“Hik… siapa di antara kalian yang melempar bola ini, hah!? Siapa pelakunya!?”


Sambil memegang bola yang tadi menghantam kepalanya, pria itu berjalan sempoyongan ke arah kami dengan tatapan penuh amarah.


“Uh, ugh…”


“Siapa yang… itu, tadi…”


Semua orang di kelompok kami langsung membeku ketakutan. Anak laki-laki yang tadi memukul bola itu bahkan terlihat hampir menangis dengan wajah pucat pasi.


“Siapa pelakunya!? Jawab, bocah-bocah sialan!”


Pria itu melempar bola ke tanah dengan penuh emosi, membuat bola memantul tinggi sebelum akhirnya berhenti. Semua mata sekarang tertuju pada anak laki-laki yang jelas-jelas menjadi penyebab masalah ini.


“Ah, jadi kamu ya!? Dasar bocah tengik, kamu yang melempar bolanya!?”


Pria itu berjalan lebih dekat, wajahnya merah padam karena marah dan mabuk. Anak laki-laki itu terlihat semakin ketakutan, tubuhnya gemetar hebat.


Melihat situasi ini, aku tak bisa membiarkan dia disalahkan sendirian. Dengan langkah tegas, aku maju ke depan untuk melindunginya.


“…Saya. Saya yang memukul bola itu. Saya minta maaf.”


Semua orang, termasuk anak laki-laki tadi, memandangku dengan ekspresi terkejut. Namun aku tak peduli. Aku berdiri tegap dan menatap pria itu dengan serius.


“Kami sedang bermain, tapi saya tak sengaja memukul bola terlalu tinggi hingga mengenai Anda. Saya minta maaf karena melukai Anda. Tapi, saya tidak melakukannya dengan sengaja.”


Kukira, jika aku bersikap sopan dan mengakui kesalahan, pria itu akan memaafkan kami.


Tapi ternyata aku salah besar.


“Jadi, kamu pelakunya, ya!? Dasar bocah brengsek!”


Pria itu tiba-tiba meraih kerah bajuku dengan tangan besar dan menarikku hingga aku terangkat dari tanah.


“Ugh!”


Aku memang tinggi untuk ukuran anak SD, tapi tetap saja aku hanyalah anak kecil. Dengan mudah pria itu mengangkat tubuhku hingga kedua kakiku melayang di udara.


“Dasar bocah sialan! Kamu pikir bisa kabur hanya dengan bilang ‘maaf’, hah!? Aku bayar pajak mahal-mahal buat apa kalau polisi hanya diam aja!?”


Aku mencoba meronta, tapi cengkeraman pria itu terlalu kuat. Napasnya bau alkohol, dan matanya penuh dengan kemarahan yang tak bisa kujelaskan.


“Dasar dunia sialan! Semua orang selalu menghinaku! Padahal aku juga tidak mau buang-buang waktu di taman ini!”


Pria itu mulai meluapkan keluh kesahnya sambil mengguncang-guncang tubuhku dengan kasar.


“Aduh… maaf… saya benar-benar minta maaf…”


“Apa!? Bocah sepertimu pikir semuanya bisa selesai hanya dengan minta maaf, hah!? Jangan mimpi!”


Ketakutan mulai menjalar ke seluruh tubuhku. Semua yang kulakukan hanya sia-sia, pria itu bahkan tak mendengar permintaan maafku. Rasanya seperti menghadapi binatang buas tanpa akal sehat.


“A-aaaahhh!”


“Kyahhh!”


Anak-anak lain yang tadinya bersamaku, satu per satu melarikan diri karena ketakutan. Mereka meninggalkanku sendirian menghadapi pria yang mengamuk ini.


“Ayo, lihat ini! Aku bakal kasih pelajaran!”


Pria itu mengangkat tinjunya tinggi-tinggi, bersiap memukulku. Aku hanya bisa menutup mata, tak mampu melawan.


Namun sebelum pukulan itu tiba, suara nyaring tiba-tiba terdengar.


“──Hei! Tunggu dulu!”


Pria itu terkejut dan menoleh ke sumber suara.


“Terima ini, jurus pamungkas! Adelie Drop!”


“Bugh!?”


Tiba-tiba, pria itu terpental ke belakang seperti boneka kain. Cengkeramannya pada kerah bajuku terlepas, dan aku jatuh terduduk di tanah.


“Aww… siapa…?”


Saat aku mendongak, aku melihat seorang anak laki-laki berdiri di hadapanku. Dengan tatapan percaya diri dan senyum penuh kemenangan, dia mengulurkan tangannya padaku.


“Ayo, cepat berdiri!”


Aku meraih tangannya, dan dia menarikku berdiri.


“Ikut aku! Kita harus lari!”


Tanpa berpikir panjang, aku mengangguk dan berlari bersamanya, meninggalkan pria mabuk itu yang masih tergeletak di tanah.


Setelah berlari cukup jauh, kami akhirnya tiba di area hutan kecil yang sepi dan tenang.


“Hah… hah… Sepertinya dia tidak mengejar kita lagi.”


“Hah… iya… terima kasih… kamu sudah menyelamatkanku…”


Aku mengatur napasku yang terengah-engah dan berterima kasih. Anak laki-laki itu menoleh padaku, menunjukkan senyum lebar yang memperlihatkan deretan giginya yang putih.


“Jangan khawatir. Membantu orang dalam bahaya adalah tugas seorang pahlawan!”


Dengan senyuman cerah, anak laki-laki itu berkata sambil memberikan isyarat jempol ke arahku, mencoba terlihat keren.


Rambut hitamnya yang sedikit acak-acakan dan sorotan matanya yang tajam—meski agak berkesan santai—meninggalkan kesan yang mendalam padaku.


“…Pahlawan?”


“Betul! Ngomong-ngomong, tadi itu jurus pamungkas dari Penguin Knight, namanya Adelie Drop! Keren, kan?”


“Penguin…? Itu apa?”


“Apa maksudmu ‘itu apa’? Penguin Knight, loh! Masa kamu tidak tahu? Itu serial TV yang tayang setiap minggu. Aku lagi nge-fans banget, nih! Bahkan aku sempat nonton hero show-nya minggu lalu!”


Aku hanya bisa melongo saat anak laki-laki itu mulai mengoceh panjang lebar soal Penguin Knight dengan penuh semangat. Melihat bagaimana ia berubah dari sosok penyelamat yang gagah menjadi anak kecil yang polos dan antusias, aku tanpa sadar tertawa kecil.


“Eh, eh! Kamu barusan mikir aku ini kekanak-kanakan, ya! Ngaku aja!”


“Maaf, maaf. Tidak kok, aku tidak mikir begitu. Tapi, ide pahlawan berbentuk penguin itu menarik, ya. Namanya kedengarannya tidak terlalu kuat, sih.”


“Heh, itu karena kamu belum tahu apa-apa! Kamu tahu tidak? Pukulan penguin asli bisa mematahkan tulang manusia! Dan jurus Emperor Punch milik Penguin Knight itu seratus kali lebih kuat! Jadi jelas dong, dia tidak lemah!”


Sambil bicara, anak laki-laki itu memukul udara dan melangkah dengan gaya seolah sedang latihan. Tak lama kemudian, dia mulai berjalan melewati semak-semak di hutan kecil tempat kami berhenti.


“Baiklah, ayo aku antar kamu ke lapangan rumput. Siapa tahu si Om-om tadi masih berkeliaran, aku bakal jadi pengawalmu!”


“Oh, iya… eh?”


Ketika aku mencoba mengikutinya, kakiku tiba-tiba lemas, dan aku jatuh terduduk di tanah.


“Hei, kenapa? Kamu terluka, ya?”


“Tidak, hanya saja… rasanya lega sekali, sampai kakiku lemas…”


Aku mencoba berdiri, tapi tubuhku tidak mau bekerja sama. Aku hanya bisa tertawa kering menghadapi tubuhku sendiri yang tiba-tiba kehilangan tenaga.


“Hahaha… maaf. Kalau aku istirahat sebentar, mungkin aku bisa jalan lagi.”


“Kalau begitu, aku tunggu di sini sampai kamu siap.”


“Terima kasih. Jujur saja, kalau sendirian aku pasti takut sekali…”


Belum selesai aku berterima kasih, tubuhku mendadak menggigil. Meskipun cuaca sedang tidak terlalu dingin, duduk di tanah yang dingin jelas memperparah situasi. Dan yang lebih parah, aku mulai merasa ingin buang air kecil.


“E-ehm… anu…”


“Hm? Kenapa? Sudah bisa jalan?”


“Bukan itu, tapi… aku jadi ingin pergi ke toilet…”


“Toilet? Kalau toilet, ada di ujung jalan itu… Oh, iya, kamu kan tidak bisa jalan sekarang.”


“I-iya…”


Sambil mencoba menahan rasa ingin buang air, aku mengangguk pelan. Anak laki-laki itu menghela napas kecil, lalu berjongkok di sampingku.


“Yuk, pegang bahuku.”


“Hah?”


“Ayo cepat, pegangan. Kalau sampai kamu ngompol, aku tidak mau tanggung jawab.”


Dengan ragu, aku meraih bahunya dan pelan-pelan berdiri. Setelah memastikan aku sudah bersandar dengan baik, dia juga memegang pundakku untuk membantuku berjalan.


“Woah, kamu ternyata tinggi juga, ya. Tapi tidak apa-apa, yuk kita ke toilet! Jalan!”


“Terima kasih… Maaf, aku terus merepotkanmu…”


Sambil berjalan perlahan ke arah toilet, rasa malu bercampur syukur menyelimuti diriku. Biasanya, aku yang membantu orang lain—menengahi anak-anak yang bertengkar, menghibur teman yang menangis, atau menjadi tempat curhat bagi mereka yang punya masalah. Tapi kali ini, aku yang dibantu. Rasanya aneh, tapi juga menyegarkan.


“Tapi, kamu ini aneh juga, ya.”


Di tengah perjalanan, dia tiba-tiba berkata seperti itu.


“Aneh? Maksudnya apa?”


“Soalnya, kamu ini cewek, tapi nyebut diri sendiri ‘aku’ dengan gaya seperti anak cowok.”

Tl/n : maksudnya Boku, biasanya anak cewek pake watashi atau watakushi


“Eh…?”


Aku terkejut. Aku tidak pernah menyebut diriku sebagai anak cewek, dan penampilanku—dengan kemeja, celana panjang, dan rambut pendek—sering membuat orang mengira aku laki-laki. Tapi, dia sama sekali tidak ragu untuk menyebutku sebagai perempuan.


“Kenapa… kamu tahu aku cewek?”


Dengan penasaran, aku bertanya padanya. Jawabannya sederhana sekali.


“Hah? Ya jelas kelihatan, dong.”


Seolah itu hal yang sangat wajar, dia menjawab dengan santai.


“…Hahaha… hahaha!”


“Eh, apa? Aku ngomong sesuatu yang aneh?”


“Tidak, tidak aneh kok.”


Aku tidak keberatan disebut keren, dan diperlakukan seperti laki-laki juga tidak masalah bagiku. Tapi, jauh di dalam hati, mungkin aku ingin diakui sebagai perempuan. Dan dia, tanpa perlu bertanya, langsung bisa melihat hal itu. Rasanya… entah kenapa menyenangkan.


“Baiklah, kita sudah sampai. Aku tidak bakal ikut ke dalam, jadi kamu masuk saja sendiri.”


“Iya, terima kasih.”


Akhirnya, kami tiba di toilet umum dekat lapangan rumput. Saat itu, kakiku mulai kembali bisa digerakkan, dan aku berjalan pelan menuju pintu toilet sambil menjejakkan langkah di atas daun-daun kering.


“Ngomong-ngomong… pas aku lagi di dalam, bisa tidak kamu—”


Meski begitu, tetap saja aku merasa agak khawatir jika harus sendirian, sehingga aku memberanikan diri untuk menoleh ke arah anak laki-laki itu.


Anak itu tampak kebingungan sejenak, namun segera mengerti maksudku dan mengangguk dengan tenang.


“Baiklah, baiklah. Aku akan menunggu di sini sampai kau keluar.”


“Be-benarkah? Kamu pasti menunggu, kan? Jangan pergi ke mana-mana, ya? Janji?”


“Aku tidak akan pergi. Sudah kubilang, kan? Cepat sana.”


Setelah memastikan janji itu, aku masuk ke dalam toilet perempuan.


Meski toilet itu terlindungi sekat yang membuatnya tidak terlihat dari luar, tetap saja ada celah di antara dinding dan atap yang membuat suara bisa terdengar jelas.


“Nee, nee, kamu masih di sana?”


“Iya, aku di sini.”


“Benar-benar masih di sana, kan?”


“Iya, masih di sini.”


“Benar-benar menunggu, kan?”


“Aku bilang masih di sini!”


Percakapan seperti itu terus berulang beberapa kali hingga akhirnya aku selesai menggunakan toilet dan keluar dengan perasaan lega. Di luar, anak laki-laki itu berdiri bersandar pada pohon terdekat sambil melipat tangan dan memandangku dengan wajah yang sedikit kesal.


“Kau tahu, berapa kali kau harus bertanya ‘masih di sana’?”


“Maaf, maaf… Tapi terima kasih sudah menunggu.”


“Yah, tidak apa-apa.”


Dia menunjuk ke arah lapangan rumput yang hanya beberapa langkah lagi dari tempat kami berdiri.


“Setelah sampai sini, kau pasti sudah bisa sendirian. Banyak orang dewasa juga ada di sana. Aku harus segera kembali, atau guruku akan memarahiku.”


“Eh? Oh… iya.”


Aku mengangguk, tapi entah kenapa merasa sedikit sedih saat mendengar itu. Rasanya aneh. Bukan karena aku terluka, tapi dada ini terasa nyeri.


Aku ingin bersamanya lebih lama lagi. Aku ingin tahu lebih banyak tentang dirinya.


Perasaan ini, untuk pertama kalinya muncul di dalam hatiku.


“Sampai jumpa! Jangan sampai diusik oleh orang aneh lagi, ya!”


“Tunggu!”


Tanpa sadar, aku memanggilnya ketika ia hendak pergi.


“Terima kasih banyak untuk hari ini! Dan… Suatu saat nanti, apakah…”


Tiba-tiba, suara seseorang memotong ucapanku.


“Souta~! Kau di mana?!”


“Astaga, itu Higuchi! Aku benar-benar harus kembali sekarang, kalau tidak guruku akan marah.”


“Ah, He-hei!”


Aku memanggilnya lagi, dan dia berhenti sambil melirikku dengan langkah yang terburu-buru.


“Apa? Aku benar-benar harus pergi sekarang.”


Dengan cepat aku mengumpulkan keberanianku.


“Apa kita bisa bertemu lagi?”


Wajahnya sedikit terkejut mendengar pertanyaanku. Tapi kemudian dia menyeringai, mengeluarkan sesuatu dari sakunya, dan melemparkannya padaku.


“Eh? Apa ini… peluit?”


Saat kuperhatikan, peluit kecil itu memiliki gambar seorang pahlawan dengan kostum biru muda dan topeng berbentuk seperti penguin.


“Itu namanya P Whistle. Kalau kau sedang dalam masalah seperti tadi, tiup itu sekuat tenaga ke langit! Kalau aku mendengar suara itu, aku akan datang. Dengan begitu, kita bisa bertemu lagi, kan?”


Dia tersenyum lebar, memamerkan giginya yang putih seperti matahari yang menyilaukan.


“Baiklah, sampai jumpa, Ojou-chan! Kalau takdir mempertemukan kita, kita pasti akan bertemu lagi!”


Dengan kata-kata terakhir yang penuh gaya seperti seorang pahlawan, dia berlari pergi tanpa menoleh lagi.


Aku berdiri di sana, memandangi punggungnya hingga menghilang dari pandangan, sambil menggenggam erat peluit itu di tanganku.


“…Souta, ya.”


Aku terus memandang ke arah dia pergi, dengan rasa hangat yang aneh memenuhi dadaku.


◆   ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧   ◆


“Jadi, maksudmu, kamu jatuh cinta pada seseorang?”


“Iya… kurasa begitu.”


Seminggu setelah perjalanan itu, saat jam istirahat siang, aku menceritakan apa yang terjadi kepada Ena, teman dekatku. Aku juga mengungkapkan perasaan aneh yang pertama kali kurasakan itu.


“Dia dari sekolah mana?”


“Aku tidak tahu. Tapi dia menolongku saat aku dalam kesulitan. Dia bilang, ‘Itu hanya tugas seorang pahlawan’.”


“Pahlawan?”


“Ya, untukku, dia memang seorang pahlawan.”


Ena-chan tampak tidak sepenuhnya bisa membayangkan cerita itu, tapi dia tersenyum.


“Baguslah. Aku senang mendengarnya. Aku akan mendoakan agar kamu bisa bertemu dengannya lagi.”


“Terima kasih. Kalau begitu, aku juga akan mendoakan agar Ena-chan juga segera punya seseorang yang kamu suka.”


“A-apa?! A-aku tidak perlu itu!”


Melihat wajah Ena-chan yang memerah, aku pun tertawa kecil.


Cinta benar-benar bisa mengubah seseorang, seperti yang sering orang katakan.


Sejak hari itu, aku mulai sedikit berubah. Aku mencoba menyebut diriku sebagai “watashi” daripada “boku” untuk terlihat lebih feminin. Hal-hal kecil yang dulu terasa canggung akhirnya menjadi kebiasaan, dan aku mulai merasa lebih nyaman dengan diriku sendiri.


Aku tidak cukup berani mengenakan pakaian itu ke sekolah, tetapi di hari libur, aku mencoba mengenakan pakaian yang paling feminin dan keluar rumah. Selain itu, aku juga mulai belajar memasak dan membuat kue, meskipun masih sebatas latihan dasar.


Hari-hari itu berlalu dengan penuh usaha kecil untuk meningkatkan “keanggunan” diriku sebagai seorang gadis.


“Maaf ya, Shizuno-chan. Sebenarnya, aku berharap kita bisa tetap satu sekolah di SMP…”


“Jangan pasang wajah seperti itu, Ena-chan. Bukan berarti kita tidak akan bertemu lagi, kan?”


Tanpa terasa, kami telah mencapai akhir masa SD dan bersiap untuk kelulusan.


“Itu benar… Tapi setidaknya, aku ingin memberikan ini. Ini Pelope-san favoritku. Dengan begitu, kamu akan tetap mengingatku, kan?”


“Ini gantungan kunci yang kamu koleksi, kan? Kamu benar-benar mau memberikannya padaku? Kalau aku sudah menerimanya, aku tidak akan mengembalikannya, lho.”


“A-aku… ah, sebenarnya aku ingin memberimu yang lain saja…”


“Tidak apa-apa. Meski beda sekolah, kita masih di kota yang sama, jadi kita bisa bertemu kapan saja. Kita juga bisa saling menghubungi lewat ponsel. Aku tidak akan sempat melupakanmu, Ena-chan. Jadi, jangan khawatir, ya.”


Ena-chan, yang telah belajar keras untuk mengikuti ujian masuk SMP, akhirnya tidak diterima di pilihan pertamanya, akademi khusus perempuan St. Elsa. Dia akan melanjutkan sekolah di SMP swasta lain di kota kami.


“Benar juga. Saat kita sudah SMP, bahkan sampai SMA, kamu akan tetap menjadi temanku, kan?”


“Tentu saja. Kita ini sahabat.”


Sementara itu, aku sendiri akan melanjutkan ke akademi khusus perempuan St. Elsa, sesuai keinginan orang tuaku.


“Shizuno, Ibu sudah memutuskan kalau kamu akan menjadi model di agensi kita. Mulai sekarang, biasakan dirimu dengan dunia ini. Mengerti?”


Ibuku, yang baru saja mendirikan agensi hiburan dan sudah dikenal sebagai manajer berbakat, memutuskan bahwa aku akan memulai kegiatan sebagai calon model bersamaan dengan masuk SMP.


Keputusan itu memang terasa mendadak dan agak memaksa, tetapi aku memutuskan untuk menerimanya sebagai peluang.


Aku ingin menjadi gadis yang luar biasa, seseorang yang bisa menarik perhatian pahlawan pemberaniku ketika kami bertemu lagi.


Jika aku menjadi model, aku yakin bisa mendekati harapan itu. Selain itu, jika aku menjadi terkenal, dia pasti akan dengan mudah menemukan aku.


Ketika hari itu tiba, aku ingin menyampaikan perasaanku kepadanya—


Tunggu aku, Souta-kun.


Meski gaya boyish-ku yang kemudian populer sebagai “SIZU” adalah hal yang tak terduga, aku tetap bertekad menjalani masa remajaku demi menjadi seorang “heroine” di sisinya.


Namun, semua itu berubah pada suatu hari di musim dingin, di tahun ketiga SMP.


“Shizuno-chan, aku ingin memberitahumu sesuatu. Aku punya pacar sekarang.”


Pesan dari Ena-chan itu membuat hatiku seolah runtuh. Apalagi, pesan itu disertai dengan foto mereka berdua.


“Pacarku, Sakuhara Souta-kun. Aku akan mengenalkannya padamu nanti.”


Di foto itu, tampak Ena-chan dan pacarnya tersenyum bahagia. Meskipun tubuhnya kini lebih dewasa, wajah itu tidak berubah sama sekali. Rambut hitam yang sedikit berantakan, mata yang tajam namun memiliki kesan hangat—aku mengenalinya dengan baik.


“…Souta-kun?”


Tidak salah lagi. Dia adalah pahlawanku, seseorang yang selalu kuimpikan untuk bertemu kembali.


Kenapa… kenapa, kenapa harus seperti ini?


“…Kenapa?”


Mengapa dia menjadi orang yang Ena pilih?


Ena-chan tidak tahu kalau dia adalah anak laki-laki yang kusukai. Mereka bertemu di tempat yang tidak kuketahui, dan mereka menjadi pasangan tanpa ada kaitan denganku sama sekali.


“…Ini tidak adil.”


Kepalaku terasa kacau.


Aku tahu, ini bukan salahnya. Bukan juga salah Ena-chan. Tetapi, aku merasa dikhianati oleh orang yang paling kusayangi, baik sebagai sahabat maupun cinta pertamaku.


“…Tidak.”


Namun, aku tidak bisa menyerah begitu saja. Aku tidak cukup kuat untuk mengalah demi sahabatku.


“Souta-kun adalah… pahlawanku.”


Aku terkejut pada diriku sendiri, betapa aku menjadi gadis yang keras kepala.


Dan sebelum menyadarinya, aku sudah melepaskan seragam akademi khusus perempuan St. Elsa dari tubuhku.


Mungkin sudah terlambat. Mungkin aku tidak bisa berbuat apa-apa. Tetapi, aku tahu aku harus mendekatinya, bagaimanapun caranya.


Jadi—


“Ibu, aku tidak mau masuk SMA St. Elsa.”


Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku mengajukan keinginan pribadiku, sesuatu yang belum pernah kulakukan sebelumnya.















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !