Kanojo Wo Ubatta Ikemen Bishoujo Ga Naze Ka Oremade Nerattekuru chap 6 V2

Ndrii
0

Bab 6

Pemenang Tidak Selalu Satu




Senin, hari berikutnya.

Hari ini adalah hari pertama ujian tengah semester yang diadakan pada akhir Mei.


Ujian itu sendiri selesai sekitar siang hari, jadi kami memiliki waktu luang hampir sepanjang sore. Namun sayangnya, ujian tengah semester ini akan berlangsung hingga dua hari ke depan.


Sebagian besar siswa kemungkinan akan tetap di sekolah untuk belajar, atau pergi ke restoran cepat saji atau kafe untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian esok hari.


“Fuuuh, akhirnya hari pertama selesai~. Bagaimana, Souta? Apa kamu merasa cukup yakin dengan hasilnya?”


Saat teman sekelas mulai meninggalkan ruangan satu per satu, Higuchi menghampiriku sambil meregangkan tubuhnya.


“Eh? Ah, ya… entahlah. Bagaimana denganmu?”


“Aku agak khawatir dengan Bahasa Inggris. Soalnya, aku hanya bisa membaca setengah dari teks panjang di bagian terakhir.”


“Oh, yang itu ya. Memang sulit sih.”


Aku memberikan jawaban seadanya sambil mengangguk, tetapi sejujurnya pikiranku melayang entah ke mana.


Aku bukan tipe orang yang akan mengatakan, “Bagi yang mau ujian, silakan saja!” seperti karakter dari manga anak nakal. Namun, bagiku, yang lebih penting adalah apa yang akan terjadi setelah ini.


“…Haaah.”


“Souta? Ada apa? Kok kamu menghela napas? Ngomong-ngomong, dari tadi pagi wajahmu kelihatan tegang. Kamu baik-baik saja? Mau kue hato sabure?”


“Tidak perlu. Dan satu lagi, namanya bukan hato sabure, tapi hato saburee. Jangan pernah salah lagi.”


“Eh, tiba-tiba jadi warga lokal garis keras… Jadi, kenapa? Ada yang bikin kamu resah?”


“…Ya, semacam itu.”


Aku menjawab dengan nada asal-asalan, lalu kembali memandang keluar jendela.


Kelas kami terletak di lantai dua gedung timur yang berbentuk huruf U. Dari sini, aku bisa melihat pagar di atap gedung barat.


Di sanalah, tepat sebulan lalu, aku menerima pengakuan cinta untuk kedua kalinya dalam hidupku.


Di sanalah tempat semuanya dimulai.


Tempat di mana “pertarungan” antara aku dan Mizushima dimulai sebulan yang lalu.


Dan hari ini, tempat itu akan menjadi saksi akhir dari “pertarungan” kami.


“Satu bulan dari sekarang, aku akan mengaku lagi padamu.”


Ekspresi serius Mizushima saat mengucapkan kata-kata itu, seolah dia sedang mempertaruhkan segalanya, masih jelas terbayang dalam pikiranku.


Jika aku menerima pengakuannya kali ini, Mizushima menang.


Hubungan kami yang sebelumnya hanya “coba-coba” akan berubah menjadi serius. Hari-hari yang aku lalui bersamanya selama sebulan terakhir mungkin akan terus berlanjut.


Namun, jika aku menolaknya, akulah yang menang.


Mizushima akan menyerah padaku dan berhenti mengikutiku. Hari-hari bersamanya seperti selama ini tidak akan pernah terjadi lagi.


(Aku…)


Tanpa sadar, aku mengepalkan tangan di saku, lalu memejamkan mata.


(Jawabannya sudah kupastikan.)


Waktu penentuan itu sudah hampir tiba.


◆   ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧   ◆


【Jam 13.00, di tempat itu】

Setelah berpisah dengan Higuchi dan meninggalkan kelas, aku menerima pesan singkat dari Mizushima.


Seolah dia ingin mengujiku, aku bisa membayangkan senyum mengejeknya saat menulis pesan itu.


“Hmph,” aku mendengus, menandai pesan itu sebagai telah dibaca, lalu menyimpan ponselku kembali ke saku.


Aku menghabiskan waktu sembarangan hingga mendekati waktu yang ditentukan. Akhirnya, aku berjalan menuju tangga yang mengarah ke atap gedung barat sekolah.


Masih ada sekitar sepuluh menit sebelum waktu yang dijanjikan, tetapi aku yakin dia sudah ada di sana.


Tangga itu gelap dan sepi, dengan aroma samar bunga osmanthus emas yang menguar di udara.


“…Baiklah.”


Aku menarik napas dalam-dalam dan mulai menaiki anak tangga satu per satu.


Setiap langkah yang kuambil membuat detak jantungku semakin cepat, hingga akhirnya aku tiba di pintu menuju atap. Dengan tangan gemetar, aku mendorong pintu itu perlahan.


“…Huh.”


Angin bertiup kencang saat aku membuka pintu, diikuti dengan cahaya matahari yang menyilaukan mataku. Aku menyipitkan mata untuk menyesuaikan diri dengan cahaya itu.


Saat penglihatanku kembali normal, aku melihatnya.


“──Aku sudah menunggumu, Souta.”


Mizushima berdiri membelakangi pintu, lalu berbalik menghadapku dengan anggun.


Dia berdiri tegak dengan kedua tangan di belakang punggungnya. Rambutnya yang halus berkilauan diterpa cahaya matahari, dan matanya yang hijau zamrud tampak seperti permata yang bersinar.


“…Maaf, aku membuatmu menunggu.”


Aku sempat terpesona untuk beberapa detik, tetapi segera kembali sadar dan menutup pintu di belakangku.


Setelah batuk kecil untuk menenangkan diri, aku berjalan mendekatinya.


“Hari ini ada ujian Bahasa Inggris, kan? Bagaimana hasilnya?”


“…Yah, rasanya lebih baik dari biasanya. Mungkin ini berkat kamu yang terus membantuku belajar.”


“Haha, syukurlah. Kalau kamu sampai tidak naik kelas, aku pasti sedih.”


“Hei, aku juga cukup serius belajar, tahu. Jangan anggap aku seperti itu.”


Saat aku menunjuknya dengan tegas, dia menjawab dengan tenang.


“Seorang pahlawan.”


“Apa?”


“Nilaimu buruk, kamu sering terlihat murung, dan tatapanmu tajam… Tapi kamu baik hati, keren, dan tanpa disadari, kamu selalu membantu orang lain. Buatku, kamu adalah pahlawan.”


“…Kamu selalu seperti ini, ya.”


Kami berbincang ringan untuk beberapa saat, hingga akhirnya keheningan melingkupi kami.


Yang terdengar hanya suara angin dan daun-daun yang bergesekan.


Kemudian.


“Baiklah,” kata Mizushima, memecah keheningan.


“Katakan jawabannya padaku.”


Dengan kata-kata itu, untuk ketiga kalinya dalam hidupku, aku menerima pengakuan cinta.


“Sakuhara Souta──kumohon jadilah pacarku.”


Tidak ada tatapan seperti pemburu yang mengejar mangsanya.


Tidak ada senyuman licik seperti rubah betina.


Tidak ada sikap misterius yang menyembunyikan isi hatinya.


Dengan ekspresi serius, benar-benar serius, ia menyampaikan kata-kata itu.


“…Aku…”


Karena itulah, aku pun membalasnya dengan kata-kata yang sama seriusnya.


“Aku tidak bisa berpacaran denganmu, Mizushima.”


Dalam suasana yang penuh ketegangan, aku mengeluarkan jawaban itu seperti memeras kata-kata dari dalam diriku.


“…Boleh aku tahu alasannya?”


Namun, bukannya menunjukkan wajah penuh kesedihan atau berkata, ‘Yah, ternyata tidak bisa ya~’ sambil mengalihkan pembicaraan, gadis yang baru saja menyatakan cinta kepadaku itu bertanya dengan sikap yang begitu tenang.


“Karena… aku masih dianggap ‘musuh bebuyutan’, ya?”


Dengan cepat mendahuluiku, Mizushima berkata seperti itu.


“Bukan, itu sudah tidak ada hubungannya lagi,” jawabku tegas.


“Aku tidak lagi menganggapmu sebagai ‘musuh bebuyutan’. Jujur saja, soal menang atau kalah juga sudah tidak penting sekarang.”


“Eh?”


Tentu saja, jawaban yang tiba-tiba tanpa basa-basi itu membuat Mizushima terlihat kebingungan.


Wajar saja. Kalau memang begitu, lalu apa arti dari satu bulan terakhir ini?


Sambil tersenyum masam, aku mengeluarkan dua kaleng kopi dari dalam tas sekolahku, melemparkan salah satunya ke arah Mizushima.


“Ini.”


“Eh? Wah, hampir aja jatuh!”


“Yah, ceritanya bakal sedikit panjang, jadi kita ngobrol sambil minum kopi aja, gimana?”


Setelah mengatakan itu, aku membuka kaleng kopi dengan suara khas kres.


Mizushima, meskipun masih terlihat bingung, akhirnya ikut membuka kalengnya juga.


“…Ngomong-ngomong, minum kopi di atap sekolah itu mirip seperti gaya sok keren di film atau drama, ya?”


“Biarkan saja. Kadang aku juga ingin sekali merasakan momen seperti ini.”


“Yah… sebenarnya aku juga tidak benci sih dengan suasana ini.”


Mizushima menyela percakapan, tapi aku mengalihkan pandangan ke arah lapangan sekolah yang terlihat dari balik pagar atap.


“Dulu, waktu kamu pertama kali menyatakan cinta kepadaku, aku juga udah mengatakannya, kan? Aku pikir kamu pasti hanya bercanda.”


Coba pikir kembali, bukankah itu tidak masuk akal?


Seseorang seperti Mizushima Shizuno, model terkenal sekaligus siswi SMA idola yang disukai semua orang, tiba-tiba menyatakan cinta padaku, siswa penyendiri yang suka menonton film dan tidak menonjol di mana-mana.


Rasanya itu terlalu bagus untuk jadi kenyataan, kan?


“Bukannya cerita di film atau drama, ya?”


Apalagi, dia adalah orang yang dulu merebut pacarku. Tapi, bukannya fokus ke pacar baru, dia malah terus mendekatiku.


Kalau dipikir dengan logika normal, itu lebih seperti luka lama yang sengaja disiram garam biar tambah parah.


Aku sempat berpikir mungkin dia sengaja melakukan itu untuk bahan lelucon, tertawa bersama teman-temannya, menjadikanku bahan ejekan.


“Kalau misalnya di bulan ini aku menerimamu, mungkin teman-temanmu tiba-tiba muncul dari balik tembok taman bunga sana sambil bilang, ‘Selamat, kamu kena prank!’ dan tertawa puas. Aku benar-benar berpikir itu bisa terjadi.”


“Eh… aku tidak pernah kepikiran untuk melakukan hal kejam seperti itu.”


“Ya, itu hanya contoh ekstrem, sih.”


Intinya, waktu itu.


Walaupun kami disebut pacar ‘percobaan’, atau meskipun dia terus menunjukkan rasa sukanya, aku selalu berpikir itu semua hanya akting.


Aku yakin, setiap kata ‘suka’ yang dia ucapkan hanyalah kebohongan.


Tapi kemudian…


“Kamu masih ingat waktu aku menemanimu kerja sebagai model pengantin? Waktu kita pulang, ada insiden dengan seorang stalker yang menyerang kita.”


“Tentu aja aku ingat. Bagaimana bisa aku lupa sama kejadian seperti itu? Tapi kenapa tiba-tiba bahas itu?”


“Ingat waktu dia membawa pisau, dan kamu langsung maju buat melindungiku? Padahal, kamu bisa aja terluka yang bikin karier modelmu tamat. Tapi kamu tetap bilang, ‘karena aku menyukaimu’, dan nekat buat melindungiku. Waktu itu, aku sadar… kamu benar-benar serius.”


Aku tidak tahu alasannya.


Tapi, dia mencuri pacarku, mempertaruhkan segalanya, bahkan melindungiku sampai terluka.


Dia melakukan semua itu karena benar-benar menyukaiku.


Tindakannya waktu itu, serta semua yang dia lakukan selama ini, membuatku sadar bahwa dia benar-benar tulus.


Namun, aku malah selalu meragukan ketulusannya, menolak semua kebaikannya.


Aku sadar, aku adalah orang yang buruk.


“Perasaan tulus harus dibalas dengan sikap yang sama. Kalau tidak, rasanya tidak adil.”


Aku menatap Mizushima yang kini hanya diam, mendengarkan.


“Itulah sebabnya aku memutuskan untuk berhenti melihatmu sebagai ‘musuh’. Kamu bukan lagi musuh bebuyutanku. Kamu hanya seorang gadis biasa… yang benar-benar menyukaiku.”


Mendengar itu, Mizushima terdiam. Dia menundukkan kepala, wajahnya sedikit merona terkena sinar matahari.


“Tapi, meskipun aku menyadari semuanya… aku tetap tidak bisa berpacaran  denganmu.”


Aku menghabiskan kopi di tanganku, menatap langit, mencoba menyembunyikan perasaan aneh yang muncul dari dalam diriku.


“Yah, jujur saja, kalau dipikir-pikir… sebulan ini denganmu sebenarnya tidak terlalu buruk, kok.”


Berbelanja pakaian dengan seseorang selain keluarga, atau mengajak seorang gadis selain adik perempuan ke kamarku—dalam satu bulan terakhir ini, aku mengalami banyak hal untuk pertama kalinya. Bahkan bekerja paruh waktu sebagai model bridal mungkin takkan pernah kualami jika aku tidak bertemu dengannya.


“Memang banyak momen di mana aku merasa terombang-ambing, tapi semuanya terasa baru bagiku. Baik atau buruk, aku tak punya waktu untuk merasa bosan. Kalau membayangkan hari-hariku ke depan akan terus seperti itu bersamamu... mungkin, ya mungkin, itu tidak akan buruk juga. Tapi...”


Aku mengeluarkan ponsel dari saku celana, membuka galeri, dan memeriksa daftar foto yang telah kuberi tanda “favorit.” Aku sadar ini terdengar seperti aku tak bisa move on, tapi kenangan selama tiga bulan bersama Ena-chan masih tersimpan di sana.


“Aku… tetap tidak bisa membenci Ena-chan.”


Aku menggulir daftar foto hingga menemukan satu yang kupilih secara acak. Di foto itu, kami sedang berada di sebuah kafe, duduk berhadapan, tersenyum ke arah kamera dari sudut pandang atas. Karena aku jarang selfie, wajahku sedikit terpotong dari bingkai.


“Seperti yang pernah kamu katakan, Ena-chan mungkin memang gadis yang plin-plan. Mungkin juga karena aku yang kurang bisa diandalkan, dia dengan mudah mengkhianatiku dan berpaling padamu. Jadi, aku tidak punya alasan untuk membelanya. Bahkan, mungkin aku tak perlu memikirkannya lagi. Tapi...”


Aku menelan ludah dan melanjutkan dengan suara rendah. “Meski dia memperlakukanku seperti itu, aku tetap tidak bisa membencinya. Karena, saat-saat yang kulalui bersamanya adalah momen-momen yang benar-benar membahagiakan dalam hidupku.”


Aku berhenti sejenak, menatap foto di layar ponsel. “Sepulang sekolah, kami sering berbincang di kafe tentang film favorit, menonton bioskop di akhir pekan, atau sekadar saling mengunjungi rumah masing-masing. Mungkin bagi orang lain itu membosankan, tapi bagi diriku yang sebelumnya menjalani masa muda yang abu-abu, hari-hari itu adalah hari-hari yang penuh warna.”


“Meski perasaannya mungkin palsu, bagiku, tiga bulan itu adalah salah satu waktu terbaik dalam hidupku. Jadi...”


Aku mendongak menatap gadis di depanku.


“Kalaupun aku memaksakan diriku untuk bersamamu, aku rasa hubungan kita tidak akan berjalan dengan baik. Karena di dalam hatiku, masih ada Ena-chan. Aku belum bisa melupakan semua itu, apalagi hanya memikirkanmu seorang.”


Dia mendengarkanku dalam diam. Kaleng kopi di tangannya belum sedikit pun disentuh.


“Aku menghargai perasaanmu, dan jika ini adalah kali pertama seseorang menyatakan cinta padaku, mungkin aku akan langsung menerima. Tapi, maaf. Aku tidak bisa menjadi pacarmu. Itulah jawabanku untuk pengakuanmu.”


“...Begitu, ya. Baiklah, aku mengerti.”


Dia akhirnya membuka suara dengan pelan, lalu menenggak kopi kalengnya sampai habis sebelum menghela napas panjang.


“Haah! Sungguh, Souta itu benar-benar terlalu serius di saat-saat seperti ini. Tidak sesuai dengan wajahmu.”


“...Iya, iya. Wajahku memang seperti penjahat, kan? Maaf untuk itu.”


Aku membalasnya, dan dia tertawa kecil. Tawanya membuatku ikut tersenyum. Kalau harus digambarkan dengan menang atau kalah, mungkin aku bisa dibilang menang dalam permainan ini, tapi kalah dalam pertempuran yang lebih besar.


Karena kini, aku tak lagi bisa dengan yakin mengatakan bahwa aku sama sekali tidak punya perasaan untuknya.


“Nah, jadi kesimpulannya, jawabannya adalah tidak, kan?”


“Ya… seperti itu.”


Aku menunduk sedikit, merasa bersalah, sambil menunggu tanggapannya. Tapi kemudian, dia mengatakan sesuatu yang benar-benar di luar dugaan.


“Kalau begitu, aku nyatakan kekalahanku dalam ‘pertarungan’ ini—Ena-chan.”


Hah? Ena-chan? Kenapa namanya disebut di sini?


“Apa maksudmu dengan itu...?” tanyaku terkejut, tetapi sebelum aku selesai bicara, seseorang muncul dari balik semak di taman atap sekolah.


“Hah!?”


Aku mengeluarkan suara konyol tanpa sadar. Yang muncul dari balik semak itu adalah...


“Sa-sa-sa…”


Rambut hitam yang panjangnya sebahu, sedikit menutupi salah satu matanya, dan wajah yang lembut dengan kesan keanggunan khas wanita Jepang. Gadis yang dulu menjadi pacar pertamaku.


“...Satomori-san?”


Itu adalah Satomori Ena, tak salah lagi.


“Se-selamat siang...”


“Kenapa...?”


Kenapa Ena-chan ada di sini!? Dan apa maksud dari ucapan tadi?


Otakku tidak mampu mencerna semuanya dengan cepat. Aku hanya bisa berdiri terpaku, bergantian menatap Ena-chan yang tampak ragu-ragu dan Mizushima yang terlihat santai seperti biasanya.


“Yah, sebenarnya aku cukup percaya diri, lho. Tapi ternyata, aku yang baru saja muncul ini tidak mungkin bisa menyusup di antara kalian berdua,” kata Mizushima sambil mengangkat bahu seperti anak kecil yang baru saja gagal melakukan kenakalan.


“O-oi, apa maksudmu, Mizushima? Apa maksudnya dengan ‘menyusup’ dan ‘kekalahan’? Ini semua tentang apa sih!?”


“Oh, itu...”


Saat aku mencoba mendesaknya, dia mengarahkan pandangannya ke Ena-chan. Ena-chan mengangguk pelan, lalu dengan langkah kecil, dia berjalan ke arahku.


Kemudian, dia berkata dengan suara yang jelas dan lantang:


“──Maafkan aku, Souta-kun!”


Brrooong, seolah-olah suara itu terdengar dari kepala seseorang yang tengah menunduk dalam-dalam, itulah yang dilakukan oleh Ena-chan saat ini.


“Aku… aku sebenarnya tidak pernah pacaran dengan Mizushima-san!”


Ternyata, ketika manusia benar-benar terkejut, mereka bahkan tidak mampu mengeluarkan suara teriakan sekalipun.


“……Hah!?”


Serangkaian fakta mengejutkan membuatku tanpa sadar bersandar pada pagar di atap, lalu terduduk dengan lutut yang terasa lemas.


“Souta-kun!? Kamu tidak apa-apa!?”


Ena-chan, dengan wajah panik, segera berlari ke arahku, berjongkok di sampingku, dan menopang pundakku.


“A-aku… aku baik-baik saja. Hanya saja… kakiku lemas…”


Ena-chan memandang wajahku dengan khawatir, dan aku hanya bisa mengangguk pelan.


Entah sejak kapan, Ena-chan mulai memanggilku dengan namaku, bukan lagi dengan nama keluargaku.


Panggilan itu, sudah lama sekali tidak kudengar. Rasanya, ada perasaan nostalgia yang aneh.


“T-tapi… bagaimana maksudnya ini?”


Ena-chan ternyata tidak pernah pacaran dengan Mizushima.


Pengakuan itu, alih-alih membuatku merasa senang atau lega, justru menimbulkan kebingungan.


“Ena-chan… tidak, kamu sendiri yang mengatakannya, kan? Kalau kamu sudah menemukan orang lain yang kamu sukai.”


“Tidak ada orang seperti itu,” jawabnya mantap.


“Apa kamu benar-benar sudah bosan denganku…?”


“Tidak mungkin aku merasa bosan padamu,” katanya, menggelengkan kepala dengan kuat.


“Tapi kamu berkata, ‘lebih baik lupakan aku sepenuhnya’—”


Ena-chan menggigit bibir bawahnya, tampak merasa bersalah. Dia menggelengkan kepala lebih keras, lalu menggenggam tanganku dengan kedua tangannya.


Dengan wajah penuh penyesalan, dia mulai berbicara perlahan.


“Itu semua… hanya kebohongan. Aku tidak pernah meninggalkan Souta-kun untuk Mizushima-san, dan Mizushima-san tidak pernah merebutku darimu. Semua itu… hanya kebohongan belaka.”


“Bohong…?”


Aku menatap wajah Mizushima yang berdiri di sampingku.


“Benarkah itu?” tanyaku dengan pandangan penuh kebingungan.


Mizushima hanya mengangguk pelan.


“Kami sudah merencanakannya sejak awal, Souta. Aku dan Ena…”


“Jadi, sejak awal kalian…”


“Benar. Kami bekerja sama.”


Seolah sedang menonton klimaks film Hollywood dengan plot twist besar-besaran, aku merasa seperti orang yang telah dipermainkan sepanjang waktu.


Aku terdiam sesaat, memandang langit sore tanpa ekspresi.


“Fuuuuuuuu… haaaaaaah.”


Aku menarik napas panjang, berusaha menghilangkan segala kebingungan yang masih membelenggu pikiranku.


“Souta, kamu sudah tenang?” tanya Mizushima.


“Ya… walaupun, jujur saja, aku masih belum sepenuhnya paham,” jawabku sambil berdiri perlahan, mencoba menopang tubuhku yang lemas.


Ada banyak hal yang ingin kutanyakan, banyak hal yang ingin kuungkapkan. Tapi untuk sekarang, aku memilih untuk mengutarakan pertanyaan terbesarku.


“Kenapa kalian melakukan ini?”


Ena-chan ternyata tidak pernah mengkhianatiku, dan Mizushima tidak pernah merebut pacarku.


Melihat situasi ini, aku tahu bahwa semua itu memang benar adanya. Tapi tetap saja, aku tidak paham mengapa mereka melakukan semua ini.


“Ini hanya lelucon… kan? Hanya untuk iseng?” tanyaku ragu.


Jika memang begitu, maka ini adalah lelucon yang benar-benar keterlaluan. Bahkan film komedi ternama pun tidak akan bisa menandinginya.


“Bukan, tentu saja bukan.”


Ena-chan hendak berbicara, tetapi Mizushima memotongnya dan maju selangkah.


“Aku akan menjelaskannya. Bagaimanapun juga, ‘dalang’ dari semua ini adalah aku,” ujar Mizushima dengan nada santai.


“Dalang…?”


“Ena hanya ingin memastikan perasaan cintamu, Souta.”


“Perasaan cintaku…?”


Aku memandang Mizushima, yang menjawab dengan anggukan, sementara Ena-chan hanya memalingkan wajah dengan malu-malu.


“Jadi begini ceritanya—Ada seorang putri kecil yang sejak kecil tidak pernah percaya diri,” kata Mizushima, berbalik, seolah-olah sedang memulai sebuah dongeng.


“Putri itu selalu sibuk dengan belajar dan berbagai les sehingga tidak pernah punya waktu untuk bermain. Dia tidak bisa mengikuti tren atau menikmati hiburan seperti teman-teman seusianya. Akibatnya, dia semakin merasa terisolasi. ‘Aku ini gadis yang membosankan,’ pikirnya, dan rasa tidak percaya diri itu semakin menguasai dirinya.”


Aku mendengarkan dengan saksama suara Mizushima yang seperti pendongeng profesional. Angin sore membawa suaranya hingga ke telingaku.


“Namun, pada suatu hari, sang putri bertemu dengan seorang anak laki-laki. Kebetulan, mereka memiliki hobi yang sama, dan bagi sang putri, anak laki-laki itu adalah ‘teman’ pertamanya. Dia adalah seseorang yang menikmati waktu bersamanya, yang mengatakan bahwa berada di sisinya itu menyenangkan. Lambat laun, sang putri mulai jatuh hati pada anak laki-laki itu. Hingga akhirnya, mereka pun menjadi sepasang kekasih.”


Kisah itu mengingatkanku pada cerita Ena-chan yang pernah dia ceritakan padaku.


“Aku adalah seseorang yang membosankan,” dia pernah mengatakan itu, sambil menunduk dengan wajah penuh keraguan.


Namun, aku selalu menjawab, “Kamu tidak membosankan sama sekali. Aku senang bersamamu.”


“Tetapi—meskipun begitu, sang putri tetap saja merasa tidak percaya diri. ‘Aku ini pasti tidak disukai olehnya,’ pikirnya. ‘Apa mungkin aku punya pesona yang cukup untuk membuatnya tetap mencintaiku?’ Semakin bahagia hari-hari yang dia lalui bersama anak laki-laki itu, semakin besar pula rasa takut dan keraguan yang menghantuinya.”


Mizushima berbalik menghadap kami, memberikan kedipan santai, sambil menaruh jari telunjuk di hidungnya.


“Hingga pada suatu hari, seorang penyihir jahat muncul di hadapan sang putri dan berkata, ‘Apa kamu ingin memastikan apakah cintanya itu tulus?’”


“Penyihir… maksudnya, kamu?” tanyaku, menatap Mizushima dengan tajam.


“Benar. Atau mungkin lebih cocok disebut ‘iblis’? Yah, terserah mau disebut apa,” jawabnya sambil tertawa ringan.


Sambil menunjuk dengan jari telunjuk yang ditegakkan, Mizushima berbicara dengan nada serius.


“Jadi, ketika mendengar cerita dari Ena, si penyihir mulai membujuknya. ‘Bagaimana kalau setelah kamu pura-pura mengkhianati Souta, aku yang mendekati dia?’ Kalau Souta menyerah pada godaanku, berarti cintanya pada Ena hanya sebatas itu. Tapi kalau Souta tetap setia meskipun aku mencoba menggoda, itu artinya cintanya pada Ena benar-benar tulus, kan?”


“…Jadi itu alasan kalian?”


Saat memikirkannya kembali, aku memang merasa ada hal-hal yang terasa janggal selama ini.


Kalau memang benar Ena-chan dan Mizushima pacaran, sikap Ena-chan terasa terlalu dingin. Sebagai pacar, wajar kalau ingin menghabiskan waktu bersama di akhir pekan atau sepulang sekolah, bukan? Tapi meskipun pasanganmu seorang model sibuk, merasa puas tanpa waktu bersama rasanya terlalu aneh.


Selain itu, Mizushima yang dengan santainya berjalan di tempat umum tanpa menyamar meskipun katanya sedang berselingkuh, sekarang terasa tidak masuk akal. Kalau dia benar-benar ingin merahasiakan hubungannya, setidaknya dia bisa memakai kacamata hitam atau masker untuk menyembunyikan identitasnya.


Namun, jika semua itu ternyata adalah sandiwara sejak awal, maka semuanya masuk akal.


“Ah, iya. Kemarin saat kamu melihat Ena berjalan dengan pria lain, itu juga hanya akting. Kami sengaja merencanakan agar kamu bertemu mereka di jalan. Oh, dan untuk pria yang bersama Ena, kami menggunakan aktor baru dari agensi kami.”


“Apa!? Jadi itu juga hanya pura-pura?”


“Benar. Tujuannya adalah membuat kamu berpikir kalau Ena mungkin tipe gadis yang gampang berganti pasangan. Tapi meskipun begitu, apakah kamu tetap mau membantu Ena? Apakah perasaanmu padanya akan goyah atau tidak? Aku yang memikirkan rencana itu.”


“…Rasanya ini terlalu berlebihan.”


Aku menghela napas panjang dan mengangkat bahu setelah mendengar semua penjelasan itu.


“Jadi singkatnya… aku sedang diuji. Apakah aku adalah pria yang langsung melirik wanita lain setelah dikhianati, atau seseorang yang benar-benar mencintainya.”


“Selama ini aku telah membohongimu… Aku benar-benar minta maaf. Meski ini semua pura-pura, aku menyadari kalau rencanaku telah melukai perasaan Souta-kun. Aku tahu tindakan ini egois, tapi tetap saja… aku melakukannya.”


“Ena-chan…”


Memang benar, aku merasa sangat terluka ketika berpikir bahwa Ena-chan telah mengkhianatiku. Aku sangat terpukul.


Namun, sekarang aku tahu bahwa semua itu hanyalah bagian dari rencana untuk mengujiku.


“Aku lega. Ena-chan ternyata tidak mengkhianatiku. Itu sudah cukup untukku. Kalau pun ada yang perlu meminta maaf, seharusnya aku. Aku tidak menyadari kalau aku telah membuat Ena-chan merasa begitu cemas…”


“Jangan katakan itu! Souta-kun tidak bersalah sama sekali…!”


Ena-chan menggelengkan kepala dengan keras, seolah-olah menolak perkataanku sepenuh hati. Melihat reaksinya, aku hanya bisa tersenyum kecil.


Dia memang sedikit pemalu dan terkadang terlalu negatif, tapi Ena-chan adalah gadis yang baik hati dan tidak pandai berbohong. Itu adalah sifatnya yang sejati.


“Baiklah, sepertinya semua kesalahpahaman sudah selesai, dan kalian berdua telah saling mengungkapkan perasaan, ya?”


Suara Mizushima memecah keheningan. Ketika aku menoleh, dia sudah berada di dekat pintu yang mengarah ke dalam gedung sekolah.


“Sepertinya ujian ini berakhir dengan kemenangan kalian berdua. Selamat, ya. Dengan begitu, aku, sang ‘penjahat’, akan pergi dengan gaya.”


“Eh? Hei, tunggu!”


“Seperti yang dijanjikan, aku tidak akan mengganggumu lagi, Souta. Sekarang giliran kalian untuk menikmati waktu bersama.”


“Tunggu! Mizushima!”


Aku mencoba memanggilnya, tetapi Mizushima hanya mengangkat bahu.


“Semua yang kita alami selama ini… Apakah semuanya hanya kebohongan?”


Pertanyaanku membuat Mizushima berhenti sejenak. Dia berdiri di depan pintu tanpa berbalik, seolah sedang berpikir sebelum menjawab.


“Benar. Semuanya hanya akting.”


“Bagaimana mungkin!?”


Ena-chan memekik. Namun sebelum dia bisa melanjutkan, Mizushima dengan tegas memotong.


“Ena-chan.”


Mendengar nada suaranya yang jarang terdengar begitu tegas, Ena-chan terdiam.


Aku juga bingung dengan maksud di balik kata-kata Mizushima, tetapi sebelum aku bisa memahaminya, dia telah melangkah masuk ke dalam gedung.


“Baiklah, Ena. Tetaplah bahagia bersama pacarmu, ya. Souta, ‘bermain pacaran’ denganmu juga menyenangkan. Sampai jumpa.”


Dengan kata-kata terakhir itu, Mizushima menghilang.


Setelah beberapa kali mengulang keraguan, akhirnya, dengan ekspresi tegas seolah telah mengambil keputusan, Ena-chan membuka pembicaraan.


“Aku... punya sesuatu yang penting untuk kubicarakan denganmu, Souta-kun.”


Mendengar nada serius itu, aku tanpa sadar meluruskan punggung.


“Hal yang penting?”


“Ya. Souta-kun, tadi kamu bertanya pada Mizushima-san... pada Shizuno-chan, kan? Apakah semua yang terjadi selama sebulan terakhir ini adalah kebohongan?”


Dengan nada ragu, Ena-chan melanjutkan.


“Menurut Souta-kun, apakah itu semua bohong?”


“Apa?”


Aku mengernyitkan dahi sementara Ena-chan menunjukkan layar aplikasi chat di ponselnya.


Di sana, terlihat banyak pesan dari Mizushima kepada Ena-chan, termasuk foto-foto kami berdua yang tampaknya diambil diam-diam olehnya.


“Ini...”


“Selama sebulan terakhir, Shizuno-chan selalu memberitahuku tentang bagaimana ia menghabiskan waktu dengan Souta-kun. Ke mana saja kalian pergi, apa yang kalian lakukan... Aku yakin itu caranya untuk membuatku tidak khawatir.”


“Itu... cukup disiplin juga, ya.”


“Benar. Jadi, aku tahu secara garis besar apa yang kalian lakukan selama sebulan terakhir. Karena itu, aku ingin bertanya lagi. Menurut Souta-kun... apakah semua itu hanya akting seperti yang dikatakan Shizuno-chan?”


Pertanyaan itu membuatku terdiam. Awalnya, aku memang meragukannya. Aku pikir, semua yang dilakukan Mizushima adalah akting. Semua perkataannya hanyalah kebohongan belaka.


Namun, setelah insiden stalker itu, aku sadar bahwa aku salah.


Itu bukan akting atau kebohongan. Aku yakin dia sungguh-sungguh.


Dia benar-benar menyukaiku dan ingin menjadi kekasihku.


Aku pikir aku sudah mengerti itu.


“…Aku tidak tahu.”


Namun, keyakinan itu kini goyah, dan aku hanya bisa mengeluarkan jawaban lemah seperti itu.


Meskipun waktu yang kami habiskan bersama relatif singkat, aku merasa sudah mulai memahami dirinya sedikit demi sedikit.


Tapi sekarang, aku benar-benar tidak tahu apa yang sebenarnya dipikirkan oleh Mizushima.


“Tidak, itu bukan akting. Shizuno-chan benar-benar serius.”


“Apa...?”


Namun, Ena-chan langsung menyangkal pernyataanku yang penuh keraguan.


“Bagaimana bisa kamu begitu yakin?”


“Karena... Shizuno-chan sudah menyukaimu sejak kita masih SD.”


“…Apa?”


Aku pikir aku sudah cukup terkejut untuk satu hari ini, tapi pengakuan mendadak Ena-chan benar-benar membuatku terpana untuk kesekian kalinya.


“A-apa maksudmu?”


Mizushima? Menyukaiku sejak SD?


Itu tidak masuk akal. Kami baru bertemu sebulan yang lalu.


Lalu, bagaimana mungkin dia mengenalku sejak SD?


Dan... kenapa Ena-chan tahu soal itu?


“Sebenarnya, aku tidak benar-benar baru mengenal Shizuno-chan di SMA. Kami dulu satu SD. Meski di SMP kami berpisah, kami bertemu lagi ketika Shizuno-chan masuk sekolah ini melalui jalur eksternal. Nama ‘Shizuno-chan’ itu, sebenarnya panggilan yang sudah kugunakan sejak kecil.”


“Jadi... kalian berdua sebenarnya ‘teman masa kecil’?”


Ena-chan mengangguk pelan.


Aku benar-benar tidak tahu. Aku tidak pernah menyangka ada hubungan seperti itu antara Ena-chan dan Mizushima.


“Dia satu-satunya yang ramah padaku, yang selalu sendirian saat itu. Meski kami tidak pernah bermain bersama sepulang sekolah, di sekolah, kami hampir selalu bersama.”


“Begitu ya...”


Aku pikir mereka baru saja akrab setelah masuk ke kelas khusus sebulan yang lalu.


Mizushima juga tidak pernah menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka sudah lama saling kenal.


“Ketika waktu istirahat, kami sering berbicara tentang banyak hal. Tentang musik yang disukai, mimpi di masa depan... bahkan tentang cinta pertama.”


“Cinta pertama?”


“Ya. Saat itu, Shizuno-chan pernah bercerita padaku, bahwa dia menyukai seorang anak laki-laki. Dia tidak tahu nama lengkapnya atau sekolahnya, tapi dia yakin itu adalah cinta pertama. Dan aku baru tahu siapa anak itu setelah aku bertemu lagi dengan Shizuno-chan di SMA ini.”


Ena-chan berhenti sejenak, lalu melirik ke arah pintu atap tempat Mizushima baru saja pergi.


“Shizuno-chan memintaku untuk tetap diam tentang ini... tapi aku merasa tidak adil jika ‘pertarungan’ ini diakhiri begitu saja.”


Dengan nada yang mantap, Ena-chan melanjutkan.


“Itu sebabnya aku ingin kamu mendengarnya, Souta-kun. Cerita tentang cinta pertama Shizuno-chan.”















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !