Kanojo Wo Ubatta Ikemen Bishoujo Ga Naze Ka Oremade Nerattekuru chap 5 V2

Ndrii
0

Bab 5

Tempat Pertama yang Menjadi Tempat Terakhir




Satu bulan “kompetisi” antara aku dan Mizushima akhirnya memasuki minggu terakhirnya.


Dengan waktu penentuan yang semakin dekat, aku yakin Mizushima akan mengerahkan seluruh tenaga untuk “menaklukkan” aku. Namun, dugaan itu meleset.


Tindakan Mizushima selama minggu ini sama sekali tidak berubah dari minggu-minggu sebelumnya. Setiap hari, setelah pulang sekolah, kami hanya belajar bersama di restoran keluarga, mempersiapkan diri untuk ujian tengah semester minggu depan. Tak ada kejadian spesial, dan sebelum aku menyadarinya, hari-hari dari Senin hingga Jumat berlalu begitu saja.


Bahkan, pada Jumat malam, aku menerima pesan mengejutkan dari Mizushima:


“…Apa? Libur?”


“Iya. Aku ada urusan besok, jadi aku pikir kita libur dulu dari kencan.”


Itu pertama kalinya Mizushima mengajukan usulan seperti ini, dan aku sempat terkejut.


Jujur, tidak masalah bagiku jika tidak ada kencan. Aku bahkan senang punya waktu luang untuk dihabiskan sesuka hati. 


Tapi, aneh rasanya melihat Mizushima, yang biasanya memanfaatkan setiap kesempatan, rela “mengorbankan” separuh hari terakhirnya sebelum pertarungan berakhir.


“Jangan-jangan dia sedang merencanakan sesuatu lagi, ya?”


Meski sedikit curiga, aku akhirnya memutuskan untuk menikmati hari liburku yang jarang terjadi ini.


◆   ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧   ◆


Hari Minggu


“Kamu lihat itu, Souta? Ada kapal perang!”


“Ya, wajar saja. Di sini ada pangkalan Pasukan Bela Diri Maritim dan Angkatan Laut Amerika.”


Karena ini adalah hari terakhir dari masa “pacaran uji coba” kami, Mizushima mengusulkan untuk pergi ke Yokosuka, sedikit jauh dari kota tempat kami tinggal.


Begitu turun di Stasiun Yokosuka, pemandangan pelabuhan yang dipenuhi kapal perang langsung terlihat. Mizushima tampak terpukau.


“Benar-benar beda dari kapal biasa, ya. Hmm, aku ingin melihatnya dari dekat, tapi sulit untuk orang biasa sepertiku.”


“Kalau tidak salah, ada kapal pesiar wisata yang berlayar mengelilingi pelabuhan. Kita bisa melihat kapal-kapal itu dari dekat.”


“Serius? Kedengarannya menarik! Ayo, kita coba naik!”


“Terserah sih, tapi sepertinya harus pesan dulu sebelumnya. Kalau tidak ada tiket tersisa...”


“Kalau begitu, ya sudah. Kita lihat saja nanti. Sekarang, ayo jalan.”


Mizushima menarik lengan bajuku. Aku mengira dia akan merangkulku seperti biasa, layaknya koala, tetapi kali ini berbeda.


Dia malah menggenggam tanganku dan menyelipkan jarinya di antara jariku, membuat kami berpegangan tangan seperti sepasang kekasih sejati.


“Eh...?”


“Ayo, Souta.”


“O-oh.”


Aku terkejut dengan perubahan kecil itu. Bukan karena aku berharap dia bersikap seperti biasanya, tapi Mizushima yang sering bersikap manja justru tampak lebih kalem hari ini. 


Meski begitu, menggenggam tangan seperti ini tetap terasa cukup intim.


Aku melirik ke arah Mizushima. Dia mengenakan sweater polos dan rok panjang bermotif kotak-kotak, dipadukan dengan sepatu bot pendek. Berbeda dari biasanya, sweaternya kali ini menutupi leher, dan roknya hampir mencapai mata kaki.


Gaya rambutnya juga sederhana, dengan kepang kecil di sisi kiri wajahnya.


Hari ini, Mizushima tampak seperti gadis anggun nan sederhana— benar-benar berbeda dari citra “cool dan seksi” yang biasa ia tampilkan.


(Sebenarnya, gaya apa pun cocok untuknya sih...)


Namun, aku merasa ada sesuatu yang “berbeda”. 


Biasanya, Mizushima selalu punya cara untuk membuatku grogi, tetapi kali ini ia justru tampil dengan kesederhanaan yang terkesan “aman”.


(Sungguh aneh... Jangan-jangan ini strategi baru untuk membuatku terpesona?)


Ketika aku sedang mencoba memahami maksud di balik penampilan Mizushima, dia tiba-tiba menyadari aku memperhatikannya.


“Souta? Ada apa? Apa ada sesuatu di wajahku?”


“Eh? Tidak, tidak ada apa-apa!”


Aku buru-buru mengalihkan pandangan. Tapi di dalam hati, aku menyesali kebodohanku.


(Sial... Pasti dia akan menggodaku lagi!)


Namun, reaksinya justru berbeda dari yang kuduga.


“Begitu ya. Tapi, kalau kamu mau melihat wajahku, lihat saja sesuka hatimu. Aku tidak keberatan.”


“Hah?”


Dia tampak sedikit memerah, lalu dengan suara lirih berkata sambil menatapku dengan mata yang penuh rasa malu:


“Soalnya, aku senang ketika kamu memperhatikanku... Itu membuatku merasa bahagia.”


“Apa!?”


Aku yakin saat itu wajahku sama merahnya dengan wajah Mizushima. Siapa sangka gadis yang biasanya begitu percaya diri dan menggoda bisa berubah menjadi begitu manis dan polos?



◆   ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧   ◆


Aku sama sekali tidak mengerti apa yang membuatnya bertindak seperti ini.


Namun, yang jelas, kencan kami setelah itu berlangsung jauh lebih “normal” dibandingkan dengan sebelumnya.


“──Baiklah, sekarang di sebelah kanan Anda dapat melihat Pangkalan Angkatan Laut Amerika di Yokosuka. Jika ingin mendarat di sisi itu, Anda harus membawa paspor. Oh, dan jika ada penumpang yang secara tidak sengaja jatuh dari kapal selama tur ini, pastikan berenang ke arah Yokosuka, ya~”


“Ahahaha, dengar tuh, Souta. Jangan sampai salah tempat mendarat, ya.”


“Serius? Jadi kita diasumsikan bakal jatuh dulu, gitu?”


Begitu pula saat kami berhasil mendapatkan tiket dadakan untuk ikut tur kapal militer.


“Wah... seperti yang dibilang, Yokosuka Navy Burger ini porsinya luar biasa. Kentang gorengnya juga banyak banget. Bener-bener gaya Amerika!”


“Kan aku sudah bilang. Makanya, tadi aku sarankan pesan satu porsi saja. Ini aja cukup buat kita berdua.”


“Hihihi, betul banget. Untung ada kamu. Ah, sini, biar aku potong-potong dulu burgernya.”




Setelah tur berakhir, kami mencoba makanan khas setempat dan mengelilingi kota untuk jalan-jalan.


Sepanjang waktu itu, Mizushima, yang berjalan di sampingku sambil memperlihatkan berbagai ekspresi ceria, tampak benar-benar menikmati harinya.


Gestur-gestur yang biasanya terlalu dekat dan kelewat akrab, hari itu terasa jauh lebih santai. Sentuhan fisik seperti bahu yang bersentuhan atau sesekali menggenggam tangan terasa cukup manis tanpa berlebihan.


Tidak ada kejutan liar seperti saat dia tiba-tiba berganti pakaian mencolok atau mencoba menarik perhatianku dengan cara yang mencolok seperti dulu.


Sebaliknya, penampilan Mizushima hari ini terasa jauh lebih sederhana, seperti pacar yang “manis dan normal”.


Entah kenapa, aku merasa lebih santai, meskipun sesekali aku tetap curiga pada perubahan ini.


“Lihat deh, Souta. Jaket ini kelihatannya cocok banget buat kamu, ya?”


“Hmm, mau beli crepes? Choco-banana kelihatannya enak, tapi yang mango juga menggoda. Gimana kalau kita beli dua dan bagi dua, ya?”


“Ah, angin lautnya enak banget, ya, Souta. Aku suka banget kota-kota yang dekat dengan laut.”


Tanpa sadar, aku mulai memperhatikan Mizushima lebih intens.


Dan entah sejak kapan, aku mulai merasakan debaran aneh yang mengganggu pikiranku.


“Hmm, gimana kalau kita pergi ke area ini selanjutnya? Katanya ada toko yang lagi populer di Instagram...”


“Whoa!”


Ketika aku tiba-tiba menggenggam tangannya, dia tiba-tiba refleks mengeluarkan suara aneh karena terkejut.


“Eh? Souta? Kamu kenapa? Kagetin aja...”


“Ah, tidak, tidak... maaf. Refleks aja.”


Mizushima menatap tangannya yang menggenggam tanganku dengan ragu-ragu, lalu terlihat sedikit gugup.


“Hmm... apa mungkin kamu... tidak suka kalau kita pegangan tangan?”


“Hah?”


“Soalnya aku terlalu senang dan malah jadi kebawa suasana. Maaf ya…”


Mizushima menunduk dengan ekspresi sedih, seperti kucing kecil yang menggigil di tengah dinginnya malam.


“T-tidak! Bukan itu masalahnya!”


“Hm?”



Melihat wajahnya yang memelas, aku panik dan buru-buru mencari alasan.


“Tadi hanya saja... itu, ada serangga! Iya, ada serangga gede banget yang lewat di dekat telingaku! Aku kaget aja, hahaha!”


Ekspresi sedihnya berubah menjadi lega, dan dia tersenyum cerah. 


“Oh, begitu ya? Hmm, kalau gitu, kita tetap bisa pegangan tangan, kan?”


“Y-ya, tentu saja. Tidak masalah.”


“Syukurlah!”


Dia tersenyum lebar, penuh kebahagiaan, seperti anak kecil yang mendapatkan hadiah istimewa.


(Aduh, tolong! Jangan lihat aku dengan senyuman sepolos itu!)


Hari itu, aku merasa wajahku terus memerah setiap kali melihatnya.


Setelah berkeliling Yokosuka seharian, waktu menunjukkan pukul empat sore. Hari mulai memasuki senja.


“Wah, sudah hampir sore. Kita masih punya waktu untuk satu atau dua tempat lagi. Gimana, Mizushima?”


Tanpa ragu, Mizushima langsung menunjuk suatu arah.


“Kalau begitu, terakhir kita ke sana saja.”


“Ke sana?”


Aku mengikuti arah telunjuknya dan melihat sebuah pusat perbelanjaan besar di pinggir pelabuhan.


“Hmm? Mau beli sesuatu?”


“Bukan, bukan untuk belanja kok.”


“Terus, mau apa?”


“Ya tentu saja, untuk melakukan sesuatu yang sudah lama ingin kulakukan bersamamu.”


Dengan penuh percaya diri, dia menggenggam tanganku dan menarikku.


“Ayo, nanti kamu juga bakal tahu.”


Kami akhirnya sampai di lantai atas pusat perbelanjaan itu, di mana terdapat area bioskop besar.


(Oh, jadi ini maksudnya…)


Aku melirik ke arahnya. Benar saja, Mizushima menatapku dengan senyum penuh arti.


“Jadi... hal yang ingin kamu lakukan itu nonton film di bioskop bersamaku, ya?”


“Iya. Soalnya, kita kan belum pernah nonton bareng di bioskop sebelumnya.”


“Hmm, memang sih… Tapi kenapa harus di sini?”


Bioskop ini, bagaimanapun juga, adalah tempat di mana aku dan Ena-chan pernah menghabiskan waktu saat kencan pertama kami. 


Saat itu, kami juga memutuskan untuk melakukan perjalanan kecil dan akhirnya sampai di Yokosuka.


Namun, tidak seperti hari ini, waktu itu hanya kencan sederhana—menonton film lalu pulang. Sekarang, saat mengingatnya kembali ya, aku merasa menjadi pacar yang sangat tidak berinisiatif.


Meskipun itu bukan trauma—jauh dari itu—bagi seseorang yang pernah ditolak seperti aku, bioskop ini menyimpan kenangan pahit.


“Ini semacam balas dendam, ya?” tanyaku, setengah bercanda.


“Bukan begitu!” sahut Mizushima, membantah dengan cepat. “Aku hanya ingin mencoba berkencan di tempat di mana kamu dan Ena-chan pernah berkencan. Hanya itu.”


“Kenapa harus begitu?”


“Hmm, karena jika kita melakukannya, tempat ini tidak lagi hanya menjadi ‘tempat kenanganmu bersama Ena-chan’, kan?”


Setelah berkata demikian, Mizushima melangkah ke loket tiket, terlihat begitu ceria dengan langkah ringan dan bahkan bersenandung. Aku yang awalnya terjebak dalam nostalgia, akhirnya kehilangan minat untuk terus larut dalam kenangan lama.


(... Yah, kurasa tidak ada gunanya memikirkan hal itu lagi.)


Aku menghela napas panjang, mencoba menepis rasa sentimental yang tersisa, lalu mengikuti Mizushima.


Setelah menghabiskan waktu sekitar dua jam di dalam bioskop, kami pun keluar dan menuju sebuah kafe di dalam mal untuk berbagi kesan tentang film yang baru saja kami tonton.


“Wah, filmnya keren banget, ya,” komentar Mizushima sambil menyeruput teh hangatnya.


“Aku jadi ingin sekali pergi liburan ke daerah bersalju setelah menonton film barusan,” lanjutnya


“Benar juga, pasti luar biasa kalau bisa melihat pemandangan seperti itu secara langsung,” sahutku.


Film yang dipilih Mizushima adalah adaptasi live-action dari dongeng karya Hans Christian Andersen, The Snow Queen.


Penampilan para pemeran begitu mengesankan, ditambah lagi dengan keindahan pemandangan salju yang digambarkan secara spektakuler melalui efek visual. Awalnya aku tidak terlalu tertarik dengan film seperti ini karena bukan tipe yang biasanya kutonton. Namun, pengalaman ini mengingatkanku untuk tidak menilai sesuatu sebelum mencoba.


Tak kusangka, aku benar-benar menikmati diskusi hangat ini bersama Mizushima.


“Ceritanya bagus banget, ya. Aku suka sama The Snow Queen,” katanya sambil tersenyum.


“Ngomong-ngomong, The Snow Queen itu sebenarnya tentang apa? Aku tahu garis besarnya, tapi belum pernah baca cerita aslinya,”


“Hmm, ceritanya seperti ini...”


Mizushima lalu mulai menjelaskan, dan ceritanya kurang lebih sesuai dengan yang ada di ingatanku.


Di sebuah negeri bersalju, ada seorang gadis bernama Gerda yang bersahabat sangat dekat dengan seorang anak laki-laki bernama Kai. Namun, suatu hari, pecahan cermin ajaib yang terkutuk menusuk hati Kai, membuatnya berubah menjadi dingin dan kasar, bahkan kepada Gerda.


Saat itu pula, seorang ratu salju datang ke desa mereka. Kai, yang terpikat oleh kecantikan sang ratu, akhirnya dibawa ke kastilnya di kerajaan salju.


Untuk menyelamatkan Kai, Gerda memulai perjalanan panjang yang penuh rintangan untuk mencarinya.


“Setelah melalui berbagai halangan, Gerda akhirnya menemukan Kai di kastil ratu salju. Dengan air matanya, pecahan cermin di hati Kai mencair, dan dia kembali menjadi anak yang lembut. Akhirnya, mereka pulang bersama ke kampung halaman mereka. Begitulah ceritanya,” jelas Mizushima.


“Benar juga, film tadi juga memiliki alur yang serupa,”


Mizushima mengangguk kecil. “Iya. Tapi kalau dipikir-pikir, hubungan antara tiga karakter utama di cerita ini, sedikit mirip dengan kita, ya.”


“Mirip? Maksudmu?”


“Hmm, karena inti cerita ini adalah tentang seseorang yang kehilangan orang yang disayanginya karena diambil orang lain, kan? Kalau kamu adalah Kai, dan Ena-chan adalah Gerda, maka aku ini... seperti ratu salju yang merebut Kai dari Gerda.”


“Eh? Bukankah itu terbalik? Ena-chan yang sebenarnya kehilangan, jadi aku rasa Gerda adalah aku.”


“Hmm, mungkin kamu benar dari segi fakta, tapi...” Mizushima tersenyum jahil. “...kalau dilihat dari sudut pandang lain, bisa jadi tidak sepenuhnya salah, kan?”


“Apa maksudmu?”


“Ah, tidak, tidak ada apa-apa. Hanya contoh kecil saja,” katanya, mencoba mengalihkan pembicaraan.


Percakapan ringan itu berlanjut, dan aku baru sadar kalau langit di luar sudah mulai gelap. Sepertinya, waktu untuk menyudahi “kencan terakhir” kami sudah semakin dekat.


Entah karena sadar hal itu, Mizushima tampak seperti tidak ingin meninggalkan tempat ini. Dia hanya menatap pelan-pelan cangkir tehnya tanpa benar-benar meminumnya.


“Tapi, kupikir aku lebih suka versi filmnya dibandingkan cerita aslinya. Terutama untuk latar belakang ratu salju,” ujarnya sambil akhirnya menyeruput tehnya sekali lagi.


Dia memandang ke luar jendela, ke arah pelabuhan yang mulai diselimuti cahaya senja.


“Dalam cerita aslinya, alasan ratu salju menculik Kai tidak pernah dijelaskan dengan jelas. Meski menjadi judul utama, dia hanya muncul sebentar, dan motifnya tidak terlalu kuat. Tapi, di versi film tadi, alasan itu dijelaskan dengan sangat baik, kan?”


Aku mengangguk, mengingat bagaimana hal itu dijelaskan di akhir film.


Berbeda dengan versi aslinya, ratu salju dalam film ini ternyata pernah bertemu Kai ketika dia masih kecil.


Saat itu, ratu salju yang hidup dalam kesepian bertemu Kai kecil di hutan, dan mereka menjadi teman. Ratu salju pun mulai menyayangi Kai yang tidak takut padanya, tidak seperti manusia lainnya.


“Tapi, suatu hari, Gerda datang dan menjadi teman baru Kai. Kai berhenti mengunjungi ratu salju. Karena itu, ratu salju menculik Kai dan membawanya ke kastilnya, supaya Kai tidak pergi lagi...” 


Mizushima berhenti sejenak dan tersenyum tipis. 


“...menurutku, itu cerita tambahan yang cukup menarik.”


Namun, ada sesuatu di matanya saat dia mengucapkan itu. Ada sedikit kesedihan yang sulit kuabaikan.


“Walaupun akhirnya Kai kembali ke Gerda, dan itu menjadi akhir yang bahagia. Tapi, entah kenapa, aku merasa bisa memahami perasaan ratu salju. Mungkin... karena aku juga sama seperti dirinya, si tokoh antagonis.”


Sambil berbisik seperti sedang mencemooh diri sendiri, Mizushima melirik ke arah jam tangannya.


Setelah itu, ia meneguk teh yang masih hampir penuh dalam satu kali tegukan, lalu berkata,


“…Sayang sekali, tapi sepertinya sudah larut. Kita harus pulang sekarang.”


“Ya? O-oh, iya, benar juga,” jawabku sedikit terkejut.


Berbeda dari sebelumnya, Mizushima langsung bersiap-siap untuk pulang dengan cekatan.


Meskipun aku merasa aneh dengan perubahan sikapnya, aku pun membereskan barang-barangku dan segera membayar tagihan, sebelum kami meninggalkan pusat perbelanjaan.


Langit sudah mulai gelap ketika kami keluar dari gedung. Awan tebal yang menggantung membuat suasana semakin mendung. Rasanya seperti hujan akan turun kapan saja.


“Wah, gawat. Aku tidak bawa payung,” kataku sambil mengerutkan dahi menatap langit yang suram.


“Kalau hanya untuk ke stasiun, mungkin kita masih aman,”


“Ya, mungkin begitu. Tapi kalau tiba-tiba hujan deras, aku beli payung di minimarket depan stasiun saja.”


Kami berjalan bersama menuju stasiun terdekat sambil terus memperhatikan langit yang semakin gelap. Hingga tiba-tiba...


“Ah, tunggu sebentar?” 


Mizushima menghentikan langkahnya secara tiba-tiba.


Aku berbalik untuk melihatnya yang berdiri terdiam sambil menatap lurus ke depan dengan tatapan heran.


“Mizushima? Ada apa?”


“Hmm, mungkin hanya perasaanku aja, tapi…”


Dengan nada ragu, Mizushima menunjuk ke arah seberang jalan raya yang cukup besar. Di sana, seseorang sedang berjalan di trotoar yang berlawanan arah dengan kami.


“Lihat disana, Souta. Itu… Bukankah itu Ena?”


“Hah…?”


Mendengar namanya disebut, aku buru-buru menoleh ke arah yang ditunjuk Mizushima. Benar saja, sosok itu memang Ena-chan. Aku mengenali siluetnya.


Tapi, aku yakin kalau saja Mizushima tidak menunjukkannya padaku, aku mungkin tidak akan menyadari kalau itu adalah Ena-chan.


Alasannya? Karena hari ini Ena-chan mengenakan pakaian yang benar-benar bukan gayanya yang biasanya.


Pakaiannya itu, bagaimana mengatakannya… geeky atau lebih tepatnya edgy. 


Ia mengenakan blus merah muda dengan renda-renda dan kerah yang terbuka, dipadukan dengan rok mini hitam yang memamerkan pahanya.


Kakinya tertutup kaus kaki renda hitam, dan ia memakai sepatu bot tinggi dengan berbagai hiasan. Rambutnya dibiarkan tergerai seperti biasa, tetapi ia mengenakan bandana merah dengan gaya punk di kepalanya. Di lehernya, ada choker khas yang sering ia kenakan.


Jujur saja, melihat penampilannya seperti itu membuatku ingin bertanya, “Anda siapa?”


Bahkan jika bertemu dengannya di jalan, aku mungkin tidak akan mengenalinya sebagai Ena-chan.


“Ena-chan? Kenapa dia ada di sini… Dan apa maksud dari pakaian itu?”


“Aku tidak tahu, tapi dia sepertinya tidak sendirian,” jawab Mizushima dengan nada masam.


Aku memperhatikan lagi, dan benar saja, ada seorang pria muda berjalan di samping Ena-chan.


Dari penampilannya, pria itu mungkin mahasiswa.


Dia berambut cokelat dengan gaya keriting, memakai kacamata bulat, celana jins robek, dan anting. 


Singkatnya, dia adalah tipe pria party boy yang sangat stereotype.


“Apa-apaan itu!?” pekikku refleks.


“Wah… ini sih…,” gumam Mizushima dengan nada kesal.


“B-bagaimana ini bisa terjadi?!”


“Seperti kelihatannya. Mereka seperti baru saja selesai kencan,”


Aku yang masih belum bisa menerima situasi ini, hanya bisa berdiri terpaku.


“Jadi begitu, ya… Ena sekarang pacaran dengan si cowok itu?” lanjut Mizushima sambil tersenyum getir.


“P-pacaran!?”


Apakah ini berarti Ena-chan telah meninggalkanku untuk Mizushima, tapi sebenarnya dia juga menyembunyikan hubungan dengan pria lain di balik itu?


Apakah mungkin hari ini dia justru menghabiskan waktu kencan di Yokosuka bersama pria baru itu!?


“Yah, aku sih tidak mau terlalu banyak menghakimi. Tapi harus kuakui, sedikit mengejutkan juga. Ena yang selama ini kelihatan polos ternyata adalah tipe gadis yang ‘berhati besar’, ya,”


“B-berhati besar!? Ini tidak masuk akal! Ini pasti hanya salah paham!” seruku mencoba menyangkal.


Bagaimana mungkin Ena-chan, gadis yang selama ini dikenal lembut, manis, dan sopan, bisa melakukan ini?


Tapi Mizushima hanya mendesah kecil.


“Yah, aku sih tidak berharap banyak, tapi coba lihat lagi ke sana,” katanya sambil menunjuk ke arah Ena-chan dan pria itu.


Aku mengikuti arah yang ditunjuknya. Ena-chan tampak bercanda dengan pria itu, mereka terlihat begitu akrab.


Lalu, tiba-tiba saja, dengan sedikit ragu, Ena-chan menggandeng lengan pria itu dengan mesra.


Melihat itu, jantungku terasa seperti dihantam palu besar. Pandanganku goyah, dan aku merasa seperti kehilangan keseimbangan.


“Begitu, ya. Ena-chan sudah benar-benar jatuh hati dengan si cowok itu. Dan pakaian geeky ini, sepertinya memang selera si pria,” tambah Mizushima dengan nada santai, tetapi terasa menusuk di telingaku.


Aku tidak bisa berkata apa-apa.


Bagaimana mungkin semua ini terjadi? Ena-chan, yang selama ini kukenal sebagai gadis yang lembut dan setia, kini terlihat seperti seseorang yang tidak kukenal sama sekali.


“Kalau begitu, bisa jadi dia sadar hubungan kita, ya? Mungkin karena itulah dia berubah seperti itu?”


“Hm, kurasa aku tidak pernah menunjukkan celah di depannya. Meskipun aku sering menghabiskan akhir pekan dan waktu luang denganmu, tapi ketika di sekolah aku tetap berusaha memperhatikannya. Jadi, tidak mungkin dia berubah karena merasa diabaikan.”


“Kalau begitu... apa itu berarti sikapnya selama ini memang seperti itu?”


Di dalam kepalaku, aku teringat semua kenangan dengan Ena-chan.


Ena-chan yang dengan penuh semangat berbicara tentang film favoritnya.


Ena-chan yang memberiku hadiah untuk peringatan tiga bulan hubungan kami.


Ena-chan yang pernah berkata ingin membuatkan syal rajutan untukku suatu hari nanti.


Apakah semua itu... hanya kepalsuan belaka?


Seakan-akan tanah yang kupijak tiba-tiba runtuh, aku merasa tidak sanggup berdiri. Lututku melemas, membuatku jatuh terduduk di trotoar.


“Eh, Souta? Kamu baik-baik saja?”


“...Menakutkan.”


“Apa?”


“...Perempuan itu... Menakutkan.”


“Hee, sepertinya kamu satu langkah lagi menuju fobia perempuan.”


Sementara aku terpuruk, hujan mulai turun perlahan, menciptakan noda gelap di trotoar putih yang kini menghitam sedikit demi sedikit.


“Wah, hujannya mulai turun. Souta, ayo kita ke stasiun. Tempatnya sudah dekat, jadi kita bisa pakai payungku dulu.”


“Ah... iya, baiklah.”


Dengan pundakku yang ditepuk lembut, aku bangkit berdiri dengan enggan.


Ketika aku menatap ke arah Ena-chan dan pria itu lagi, mereka tampak berbagi payung sambil berjalan berdekatan menuju lapangan depan stasiun.


(Ah... jadi memang seperti ini akhirnya. Dia telah pergi ke tempat yang tak akan pernah bisa kucapai lagi.)


Perasaan getir itu membuat dadaku sesak, dan aku nyaris menangis.


Tapi sebelum air mata jatuh, Mizushima menatapku penuh perhatian, menopangku agar tetap berdiri.


“Souta. Aku tahu ini sulit, tapi—”


“...Aku tahu. Justru bagus aku menyadarinya sekarang. Ena-chan yang pernah bersamaku sudah tidak ada lagi.”


Aku menguatkan diriku dengan senyum pahit.


“...Ayo pulang, Mizushima.”


“Iya... tapi, Souta, jangan terlalu sedih ya. Melihatmu terpuruk seperti ini juga menyakitkan untukku.”


“Mizushima...”


“Yah, walaupun aku yang merebut Ena-chan darimu, sih. Ironis, bukan?”


“...Ya, memang benar. Kamu benar-benar tidak tahu malu, ya.”


Aku menghela napas lelah, tetapi nada bercanda Mizushima entah bagaimana menghangatkan hatiku.


Namun.


“Eh? Souta, lihat itu.”


“Hah?”


“Dua orang itu... aneh, ya?”


Aku kembali menoleh ke arah Ena-chan dan pria itu. Mereka sedang berada di tengah jembatan penyeberangan menuju stasiun. Tapi, langkah mereka berhenti, dan tampaknya mereka sedang berdebat sengit.


Ekspresi Ena-chan terlihat tidak tenang. Aura ramah sebelumnya menghilang, digantikan oleh ketegangan.


“Kenapa, ya? Kok mendadak ribut?”


“Apakah mereka bertengkar?”


“Bertengkar? Tapi barusan mereka terlihat akrab sekali.”


Aku dan Mizushima mencoba memahami situasinya dari kejauhan.


Pria itu tampak bicara keras-keras, sementara Ena-chan hanya terdiam dengan ekspresi ketakutan.


Dan akhirnya—


(Hey, apa-apaan ini!)


Pria itu meraih bahu Ena-chan dengan kasar, lalu mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Melihat itu, darahku mendidih.


Jika benar pria itu adalah pacar baru Ena-chan, maka bagaimana pun juga masalah mereka bukan urusanku. Aku tidak punya hak untuk ikut campur.


Tapi, melihat seseorang hendak menyakiti Ena-chan membuatku tidak bisa tinggal diam.


(Ena-chan!)


Aku melupakan segalanya, bahkan rasa kecewa yang masih membebani hatiku. Tanpa pikir panjang, aku mulai berlari menuju jembatan itu.


“Tunggu.”


Tapi Mizushima menarik lenganku, menghentikan langkahku.


“Souta, apa yang mau kamu lakukan?”


“Apa? Kamu juga melihatnya, kan? Orang itu mau memukul Ena-chan!”


“Lalu? Kamu mau menghentikannya dan berkata, ‘Jangan ganggu Ena-chan!’ begitu?”


“Ya.”


“Padahal Ena-chan tidak meminta bantuanmu?”


Kata-kata Mizushima membuatku terdiam sejenak.


“Bukankah kamu bilang ‘biarkan saja’? Jangan sampai terlalut dalam kesedihan?”


“Itu...”


Menaati rasa keadilan dalam diri tanpa ragu, dan menolong orang lain meskipun tidak diminta.


Hal semacam itu bukanlah seorang pahlawan atau hero, melainkan hanya seseorang yang memuaskan egonya sendiri. Hal itu, aku tahu betul.


Ucapan Mizushima barusan menusuk tepat ke dalam hatiku. Karena ini, pastilah termasuk ke dalam kategori “campur tangan yang tidak diminta” yang selama ini sangat aku benci.


(…Tapi, apa peduliku?)


Namun sekarang, prinsip kecil semacam itu tak lagi penting bagiku.


Jika Ena-chan sedang dalam bahaya, aku rela menjadi orang yang terlalu ikut campur.


“Ini bukan urusanmu.”


Mengabaikan suara Mizushima yang mencoba menghentikanku, aku mulai menaiki tangga. Tapi, tangan Mizushima yang memegang lenganku kini menambah kekuatan.


Dengan menghela napas perlahan, dia menatapku dan dengan nada menasihati, berkata... 


“…Dengar, sudahlah. Souta, aku tahu kamu orang yang sangat baik, jadi mungkin kamu tidak bisa tinggal diam melihat ini. Tapi, Ena-chan sudah meninggalkan kita dan pergi ke tempat yang berbeda, kan? Kalau begitu, bukankah kamu tidak punya kewajiban lagi untuk peduli padanya?”


Hujan mulai terasa semakin deras. Rintik-rintik dingin kini menyentuh kulitku, dan lampu kendaraan yang lewat di jalan raya memantulkan bayangan jutaan butiran hujan yang terus berjatuhan.


“Lagipula… Kalau pun kamu menyelamatkan Ena-chan dari pria berandalan itu, dia tidak akan kembali padamu, Souta. Kalau kamu maju sekarang, kamu tidak akan mendapatkan apa-apa. Dan lebih dari itu, kamu mungkin akan merasa makin terpuruk setelah ini.”


Aku yakin, ini adalah cara Mizushima menunjukkan kepeduliannya padaku. Dia ingin mencegahku melakukan sesuatu yang mungkin akan berujung buruk bagi diriku sendiri.


Dan ya, apa yang dia katakan benar.


Jika aku nekat muncul seperti pahlawan dan menyelamatkan Ena-chan, itu tidak akan mengubah apapun.


Baginya, aku hanyalah mantan pacar, bahkan mungkin hanya teman sekelas biasa yang kebetulan pernah bekerja sama dalam komite sekolah. Ena-chan, yang sudah berpaling dariku dan memilih Mizushima, tidak mungkin mengubah pikirannya hanya karena aku muncul di momen seperti ini.


Dunia nyata tidak pernah menyuguhkan skenario seindah cerita dalam film.


Aku tidak akan mendapatkan apa-apa.


Malahan, aku mungkin akan mempermalukan diriku sendiri.


“Tetap mau pergi?”


Kalimat Mizushima, yang nyaris seperti “lebih baik jangan,” membuatku berpikir sejenak.


“…Aku akan pergi.”


Namun, aku menjawab dengan tegas.


“Ini bukan tentang kewajiban atau untung-rugi. Aku hanya ingin menolongnya. Itu saja.”


Sesaat, aku melihat bibir Mizushima mengatup rapat.


“…Kamu tetap akan melakukannya, ya?”


Dengan bisikan yang nyaris tidak terdengar, dia bergumam.


Tapi aku tidak punya waktu untuk memedulikannya.


Menepis lembut tangannya yang masih mencoba menahan lenganku, aku melangkah cepat menaiki tangga dan akhirnya berdiri di hadapan Ena-chan dan pria itu.


“──Berhenti sekarang juga!”


“Kalau kamu ingin memukul seseorang, aku lah lawanmu!”


Aku, yang tiba-tiba muncul dan berdiri melindungi Ena-chan di belakangku, menyatakan hal tersebut dengan penuh keberanian.


Sejujurnya, aku sudah bersiap untuk perkelahian yang mungkin terjadi setelah ini.


Tapi, ternyata aku salah besar.


“Siapa sih kamu, tiba-tiba muncul kayak pahlawan? Hah, nyebelin banget…”


Berbeda dari yang kuduga, pria itu menggerutu dengan ekspresi kesal.


“Sialan, udah males aku. Ribet banget. Terserah kalian, aku pergi aja.”


Dengan langkah malas, dia meninggalkan Ena-chan begitu saja tanpa berkata lebih banyak, seolah kehilangan minat.


“Eh, tunggu… Jadi, selesai gitu aja?”


Aku tertegun, nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.


Memang bagus sih, situasinya tidak sampai melibatkan kekerasan. Tapi, sikap pria itu yang begitu mudah menyerah benar-benar membuatku bingung.


“Apa-apaan sih dia? Tiba-tiba ninggalin Ena-chan gitu aja…”


Aku menggerutu pelan sambil memperhatikan punggung pria itu yang semakin menjauh.


“Ehm… S-Sakuhara-kun?”


Aku tersadar ketika Ena-chan memanggilku dengan suara ragu. Benar, aku terlalu fokus pada pria itu dan lupa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.


“Ah, maaf, Satomori-san! Aku tidak sengaja ikut campur, pasti itu mengejutkan mu, ya?”


“Tidak, itu… Tapi, kenapa Sakuhara-kun bisa ada di sini?”


“Ughh, itu… kebetulan aku ada urusan di sekitar sini tadi. Pas pulang, aku tidak sengaja melihat kamu sama pria itu, dan… ya, aku jadi khawatir.”


Dengan tergagap, aku mencoba memberi alasan yang terdengar masuk akal. Ena-chan, dengan kepolosannya, mengangguk pelan, tampak menerima penjelasanku.


“Terus, aku lihat dia hampir memukulmu, jadi aku tidak bisa tinggal diam.”


“Begitu, ya…”


“Maaf! Aku benar-benar minta maaf kalau ini semua hanya campur tangan tidak perlu. Aku tidak bermaksud membuatmu merasa tidak nyaman…”


Aku membungkukkan badan dalam-dalam, mencoba menyampaikan permintaan maafku dengan tulus.


Sekali lagi, aku tersadar. Menaati rasa keadilan sendiri tanpa memikirkan orang lain hanyalah sebuah keegoisan. Aku tahu itu, tapi tetap saja aku melakukannya.


(…Pasti Ena-chan merasa kesal sekali kepadaku.)


Dengan sedikit takut, aku mendongakkan kepala untuk melihat reaksinya.


Namun, alih-alih marah atau kesal, wajah Ena-chan justru menunjukkan ekspresi lembut.


“Tidak… Jangan minta maaf. Kalau Sakuhara-kun tidak datang, mungkin keadaannya bakal jadi jauh lebih buruk…”


Alih-alih memarahiku, Ena-chan malah mengucapkan kata-kata yang begitu baik.


Tiba-tiba, aku teringat apa yang dikatakan Mizushima tadi. “Souta adalah orang yang paling baik.”


Tapi, tidak, itu salah. Dibandingkan aku, Ena-chan jauh lebih pantas disebut sebagai orang yang baik hati.


Dalam situasi seperti ini, aku merasa aneh mengatakannya, tapi tetap saja, aku benar-benar berpikir kalau dia seperti malaikat. Tidak, lebih tepatnya, dia adalah malaikat itu sendiri.


(Tapi… justru karena itu, aku tidak mengerti.)


Gadis sebaik, serendah hati, dan sesuci Ena-chan ini… Aku, si kutu buku biasa saja, masih bisa dimaklumi. Tapi bahkan dengan adanya Mizushima—seseorang yang sempurna, populer, dan seorang model cantik—bagaimana mungkin Ena-chan bisa berpaling pada pria playboy murahan seperti itu?


(Aku tidak percaya kalau Ena-chan adalah tipe orang yang tidak punya prinsip. Setidaknya, aku tidak pernah melihatnya seperti itu.)


Saat pikiran itu menguasai benakku, tanpa sadar aku membuka mulut.


“Ah, anu, Ena-chan. Jadi… sebenarnya…”


Aku ingin bertanya, siapa pria itu? Bagaimana mereka bisa saling kenal? Apa yang terjadi hingga mereka pergi bersama hari ini?


Namun, pada akhirnya aku menelan kembali pertanyaan itu.


“Maaf… lupakan saja.”


Aku sadar, menanyakan hal itu, apalagi aku bukan siapa-siapa baginya lagi, hanyalah tindakan yang tidak pantas.


“Sebentar lagi kita sampai. Kalau tidak keberatan, aku antar kamu sampai ke stasiun.”


Aku mengubah topik dan menawarkan diri.


“Benarkah? Tapi, Sakuhara-kun, kamu tidak membawa payung, kan?”


“Ah, tidak apa-apa. Aku tidak masalah kalau sedikit basah.”


“Tapi tetap saja… Oh, bagaimana kalau begini?”


Ena-chan, yang memegang payungnya, tiba-tiba menawarkan ide.


“Bagaimana kalau kita gunakan ini bersama? Sampai stasiun saja, pasti cukup.”


“Eh?”


Itu berarti… saling berbagi payung?


“Apa tidak apa-apa?” tanyaku, agak bingung.


“Tentu. Aku tidak ingin Sakuhara-kun kehujanan karena mengantarku.”


“Oh… begitu, ya…”


Jujur saja, aku agak senang dengan situasi ini. Tapi tampaknya, bagi Ena-chan, ini hanyalah keputusan logis tanpa ada maksud lain. Tentu saja. Aku sudah tahu ini hanya formalitas. Tapi tetap saja, rasanya sedikit menyakitkan.


“Kalau begitu… ayo kita pergi?”


“Iya.”


Aku memegang payung kecilnya dan berjalan bersamanya. Karena ukurannya yang kecil, aku memastikan payung itu cukup miring ke arah Ena-chan agar dia tidak kehujanan. Meski begitu, aku merasa dia sedikit mendekatkan dirinya ke arahku. Tapi itu mungkin hanya ilusiku saja.


Tanpa banyak bicara, kami berjalan menuju stasiun dalam keheningan. Begitu sampai, kami berhenti dan bersiap untuk mengucapkan selamat tinggal.


“Terima kasih sudah mengantarku. Dan juga, terima kasih atas bantuanmu tadi. Aku sangat terbantu,” katanya dengan lembut.


“Tidak, tidak, aku tidak melakukan apa-apa kok. Yang penting, Ena-chan baik-baik saja,” jawabku dengan senyum kaku.


“……”


“……”


Keheningan aneh meliputi kami. Aku ingin mengatakan banyak hal—seperti apa yang membuatnya datang ke Yokosuka hari ini, atau siapa pria itu sebenarnya. Tapi aku sadar, aku tidak punya hak untuk menanyakannya.


Mungkin Ena-chan juga berpikir hal yang sama—tidak ada yang ingin dia sampaikan padaku.


“Yah… kalau begitu, aku harus pergi. Keretanya akan segera datang,” katanya akhirnya, memecah keheningan.


“Eh? Ah, iya… baiklah…”


Dia menundukkan kepala dengan sopan dan berbalik menuju pintu masuk stasiun. Bahkan dengan pakaian yang berbeda, gerak-geriknya tetap anggun dan sopan, seperti yang selalu kuingat. Itu membuatku sulit percaya bahwa dia gadis yang bermain-main dengan banyak pria.


(Benarkah? Apa Ena-chan yang aku kenal selama ini hanyalah ilusi?)


Melihat punggungnya yang menjauh, kenangan di atap sekolah tiba-tiba terlintas di benakku.


“Aku… percaya padamu,” begitu katanya, sebelum memberikan ciuman—atau sesuatu yang serupa, kalau tidak salah ingat.


Apa maksudnya waktu itu? Apakah ada pesan tersembunyi yang ingin dia sampaikan? Atau itu juga bagian dari kebohongannya?


──Aku ingin tahu apa yang sebenarnya Ena-chan pikirkan.


Tidak pernah sebelumnya aku merasakan keinginan yang begitu kuat untuk memahami dirinya seperti sekarang.


“Ah, anu… Ena-chan!”


Tanpa sadar, aku memanggilnya. Dia berhenti dan menoleh. Aku berusaha mencari kata-kata.


“Eh, anu… hati-hati di jalan pulang, ya,” ucapku akhirnya.


Namun, aku sadar bahwa aku tidak punya hak untuk bertanya lebih dari itu. Jadi, aku hanya mengatakan sesuatu yang biasa saja.


Ena-chan menatapku sejenak sebelum menjawab singkat.


“…Maaf.”


Hanya itu yang dia katakan sebelum pergi dengan langkah cepat, menghilang ke keramaian di stasiun.


(Maaf, ya?)


Aku tidak tahu apa maksudnya. Aku bahkan tidak bisa menebaknya.


(Aku benar-benar tidak tahu apa-apa tentang Ena-chan…)


Melihat langit-langit stasiun, aku tersenyum pahit.


“Benar kata Mizushima… ini hanya membuatku merasa semakin menyedihkan.”


Tiba-tiba aku teringat sesuatu.


“…Oh, sial! Aku melupakan Mizushima!”


Meskipun itu hanya keputusan sesaat, meninggalkan “dia” sendirian di tengah hujan jelas bukanlah tindakan yang benar. Aku bahkan tidak bisa menyalahkan pria playboy tadi setelah melakukan hal ini.


“Yah, dia membawa payung, jadi seharusnya tidak masalah… tapi, eh!?”


Saat keluar dari stasiun dan hendak kembali ke tempat Mizushima berada, aku tertegun melihat pemandangan di hadapanku.


“M-Mizushima?”


Entah sejak kapan, Mizushima rupanya telah mengejarku dan sekarang berdiri di luar, tepat di tepi area yang masih terlindungi oleh atap stasiun.


Namun, yang membuatku terkejut adalah, entah kenapa, dia kini tidak lagi menggunakan payung yang tadi dibawanya. Payung itu hanya dia pegang terlipat di tangannya, sementara tubuhnya—dari rambut hingga pakaian—basah kuyup akibat hujan.


“H-Hei! Apa yang kamu lakukan? Masuklah ke sini! Nanti kamu sakit!”


Dengan panik, aku memanggilnya untuk masuk ke area yang terlindung, tapi Mizushima hanya berdiri diam tanpa bergerak sedikit pun.


Rambutnya yang basah menutupi wajahnya, membuat ekspresinya sulit terbaca. Ditambah dengan keheningannya, suasana ini terasa sangat aneh dan sedikit menyeramkan.


“K-Kamu marah, ya? Maaf… meninggalkanmu tadi adalah kesalahan. Saat itu aku hanya….”


Aku yakin dia pasti marah karena aku pergi begitu saja tanpa mengatakan apa-apa. Berpikir seperti itu, aku dengan hati-hati mencoba meminta maaf.


Namun sebelum aku sempat menyelesaikan kata-kataku—


──Gapa!


“Eh! Eh! Eh!?”


Tiba-tiba, Mizushima bergerak cepat. Sebelum aku menyadarinya, dia sudah berlari ke arahku, langsung memelukku erat, dan—


──Chuu.


(Apa… apa yang…!?)


Aku membeku di tempat, bahkan tidak bisa mengeluarkan suara. Tubuhku seolah terkunci, seperti terkena sihir yang membuatku tidak bisa bergerak sama sekali.


Dan itu wajar. Karena Mizushima—yang tadi basah kuyup akibat hujan—tiba-tiba melompat ke dalam pelukanku, merapatkan tubuhnya, dan menempelkan bibirnya ke bibirku tanpa memberiku kesempatan untuk berkata apa-apa.



(Apa-apaan ini!? Apa yang dia pikirkan tiba-tiba melakukan hal seperti ini!?)

Aku mencoba melepaskan diri dengan panik, tetapi Mizushima memelukku erat, menggunakan seluruh kekuatannya untuk menahanku. Dia sama sekali tidak mau melepaskan pelukannya, dan terlebih lagi, dia terus melanjutkan ciuman itu tanpa henti.

“…Nngh… Haah… Mmh… Slurp…”

“Mmngh… Tunggu… Hngh…!”

“Ahh… Hyuum… Nnh… Hamu…”

Ini bukan lagi sekadar “ciuman” atau sesuatu yang bisa dianggap lembut.

Seperti predator yang melahap mangsanya, Mizushima menyerang bibirku seolah ingin menghisap semua yang ada padaku. Dia terus menjilati bibirku, seolah tidak ingin berhenti.

Sosoknya yang tadi siang terlihat begitu anggun dan polos kini benar-benar sirna tanpa jejak.

(Dia… bahkan memakai lidahnya!?)

Di tengah suara derasnya hujan, napas Mizushima yang berat dan suara gesekan basah bibir kami saling bergesekan menggema di telingaku.

(Ini buruk… Kesadaranku…)

Setelah beberapa puluh detik lamanya, ciuman itu akhirnya membuatku merasa seperti hampir kehilangan kesadaran dan akal sehatku.

“…Puaaah…”

Mizushima akhirnya melepaskan pelukannya, lalu melangkah mundur satu-dua langkah dariku.

Dia menyibakkan rambut basahnya dengan satu tangan, memperlihatkan sepasang mata zamrud yang menatapku lurus.

Aku tidak tahu apa maksud dari pandangannya itu.

Namun, satu hal yang jelas adalah, gadis di depanku ini sedang berada dalam kondisi yang tidak biasa.

“…Aku menyukaimu.”

“Apa?”

“Aku menyukaimu. Suka sekali. Sangat, sangat, sangat suka. Suka, suka, suka, suka, suka. Aku mencintaimu. Lebih dari apa pun di dunia ini. Sebenarnya, kata ‘suka’ saja tidak cukup untuk menggambarkan perasaanku… Aku benar-benar mencintaimu, Souta.”

“Mizu… shima…?”

Sosok Mizushima yang biasanya santai dan selalu menyembunyikan apa yang ada di dalam hatinya, kini terbuka sepenuhnya. Dia menyatakan perasaannya dengan penuh emosi dan terus menatapku dengan mata yang berbinar.

“Selama ini, aku sering membohongimu, memasang jebakan, dan melakukan hal-hal yang mungkin membuatmu sulit mempercayaiku. Tapi kali ini aku serius. Dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku benar-benar mencintaimu, Souta.”

Dia tersenyum lembut, tapi matanya menunjukkan ekspresi seolah memohon. Ucapannya membuatku hanya bisa berdiri terpaku, tanpa tahu harus berkata apa.

“…Hahaha, maaf ya. Tiba-tiba bicara seperti ini pasti membuatmu bingung, kan?”

Mizushima perlahan kembali ke ekspresinya yang biasa. Dia melangkah mendekat ke arahku, hingga jarak kami semakin dekat.

“Tapi… aku harus mengatakannya. Aku harus menyampaikan perasaanku padamu. Aku ingin kamu tahu seberapa besar aku mencintaimu.”

“Itu…”

Jujur saja, pikiranku benar-benar kacau sekarang. Aku tidak bisa memikirkan apa pun dengan jelas.

Namun, ada satu hal yang aku sadari dengan pasti.

Aku sebenarnya sudah tahu jawabannya sejak lama.

Sejak saat Mizushima mempertaruhkan nyawanya untuk melindungiku, aku mungkin sudah menyadarinya.

Meski selama ini aku berusaha menghindar dan berpura-pura tidak tahu.

“Aku ingin jadi pacarmu, Souta.”

Mizushima membisikkan kalimat itu lembut di telingaku. Kata-katanya mengandung kebenaran yang tidak bisa aku sangkal.

Aku masih tidak tahu alasannya. Aku tidak mengerti kenapa semua ini terjadi.

Tapi satu hal yang jelas adalah—gadis bernama Mizushima Shizuno ini benar-benar mencintaiku.

“Pertarungan kita berakhir hari ini.”

Mizushima berjalan melewatiku, melangkah ke arah pintu masuk stasiun. Dia menolehkan kepalanya dan menatapku untuk terakhir kalinya sebelum berkata:

“Besok, aku akan menunggu jawabannya, ya.”

Setelah meninggalkan kata-kata itu, Mizushima menghilang di tengah kerumunan, seolah menguap seperti asap.














Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !