Kanojo Wo Ubatta Ikemen Bishoujo Ga Naze Ka Oremade Nerattekuru chap 4 V2

Ndrii
0

Bab 4

Di Ujung Tali yang Terlalu Tipis




Hari Minggu, sehari setelah puas menikmati Sea Paradise hingga aku merasa mungkin tak perlu ke sana lagi selama dua atau tiga tahun. Meski kemarin kami sudah berjalan-jalan seharian dan kelelahan, rencana untuk beristirahat di rumah tentu saja tak terwujud. Aku tetap harus menemani Mizushima untuk kencan lagi.


Namun, kali ini, sepertinya Mizushima juga belum sepenuhnya pulih. Ia mengusulkan untuk berbelanja di plaza dekat rumah saja. 


Setelah kemarin bermain hingga jam tutup, bahkan Mizushima yang penuh energi pun terlihat agak kelelahan. Bagi tubuhku yang jauh lebih terkuras, ide ini sangat kusyukuri. Tak ada alasan untuk menolaknya.


“Baiklah, sebelum kita mulai berkeliling, mari selesaikan belanjaan penting dulu,” ujarnya.


Dengan begitu, kami pergi ke plaza di Landmark Tower dekat Stasiun Sakuragicho.


“Belanjaan penting? Apa ini barang kebutuhan sehari-hari?”


“Ya, semacam itu. Tapi, aku butuh kamu untuk menemaniku,”


“Baiklah, asal jangan belanja terlalu banyak. Kondisiku sedang lelah hari ini,”


Namun, ada yang terasa janggal dengan caranya bicara. Meski begitu, aku hanya mengikutinya tanpa protes lebih jauh.


Kami berhenti di depan sebuah toko di lantai dua plaza itu. Mizushima berbalik menghadapku dengan senyum.


“Sudah sampai. Ayo masuk,”


“Baiklah. Sekalian aku lihat-lihat juga, mungkin ada yang bisa—”


Belum selesai aku bicara, mataku menangkap papan nama toko itu, dan refleks akupun berhenti.


“Hei, apa-apaan ini?!” seruku spontan.


Toko yang ditunjuk Mizushima adalah sebuah lingerie shop. Interiornya berwarna pastel, penuh nuansa feminin. Dari luar saja, sudah jelas ini tempat yang tak lazim bagi seorang laki-laki untuk masuk.


“Kenapa? Ini hanya toko pakaian dalam wanita,” katanya ringan, tanpa rasa bersalah sedikit pun.


Aku memandangnya dengan tidak percaya.


“Jadi, belanjaan penting yang kamu maksud itu pakaian dalam?”


“Ya,” jawabnya singkat.


“Dan kamu mau aku menemanimu memilih?”


“Ya.”


Aku menepuk dahiku keras-keras, bingung antara marah atau menyerah.


“Aku tidak akan masuk! Kalau mau belanja, pergi saja sendiri!”


“Yah, kalau kamu tidak mau, ya sudahlah. Tapi mungkin aku agak lama. Ukuranku sering susah dapat yang pas,”


Akhirnya, Mizushima masuk ke toko itu sendirian. Aku menghela napas lega. Setidaknya aku tidak perlu berdiri canggung di antara deretan pakaian dalam wanita.


Aku memutuskan untuk mencari cara menghabiskan waktu. Namun, area sekitar toko itu dipenuhi butik pakaian bermerek dan toko kosmetik, tempat yang jelas bukan untuk seorang siswa laki-laki.


“Hmm, itu apa?” gumamku.


Di sisi lain lantai itu, ada sebuah toko buku besar. 


Dengan semangat baru, aku berjalan menuju ke sana.


Di dalam toko, aku berkeliling tanpa tujuan, menikmati suasana yang lebih nyaman. Aku baru teringat kalau volume terbaru dari manga favoritku baru saja rilis.


Aku menuju rak manga, mencari volume baru itu, ketika tiba-tiba...


“…Sakuhara-kun?”


“Eh?”


Sebuah suara familiar memanggilku dari belakang. Aku langsung menoleh.


“Ehh… Satomori-san?!”


Benar saja, yang berdiri di sana adalah Ena-chan, dengan senyumnya yang ramah.


“Ya, selamat siang, Sakuhara-kun,” katanya sambil membungkuk sopan.


Aku hanya bisa menjawab dengan kaku, “Se-selamat siang juga…”


Dengan gaya formal seperti biasa, ia menyapaku, seperti saat kami bertemu di ruang perpustakaan.



Di luar sekolah, sikap Ena-chan tetap sama seperti biasanya. Tanpa sadar, aku pun ikut membungkukkan badan ketika menyapanya.


Karena hari ini adalah akhir pekan, tentu saja Ena-chan tidak mengenakan seragam sekolah. 


Ia memakai sweater turtle-neck longgar di bagian atas dan rok panjang hingga mata kaki di bagian bawah, sebuah gaya berpakaian sederhana yang sangat cocok dengan kepribadiannya. Di lehernya, ia tetap mengenakan kalung khas yang selalu ia pakai.


(Uwaah… rasanya sudah lama sekali tidak melihat Ena-chan dalam pakaian kasual.)


Meski lebih tertutup dibanding seragam sekolahnya, gaya ini justru memiliki daya tarik tersendiri.


(Eh, tunggu dulu! Apa yang aku lakukan? Aku malah asyik mengagumi dirinya?)


Aku segera menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran-pikiran aneh dari otakku.


“Sakuhara-kun? Ada apa?”


“Ti-tidak, tidak ada! Kebetulan sekali bertemu di sini, ya! Hahaha!”


Aku tertawa berusaha terlihat santai, tapi dalam hati aku benar-benar panik.


(Ini tidak baik. Tidak baik sama sekali!)


Bertemu Ena-chan di tempat seperti ini adalah situasi yang sangat gawat. Karena saat ini aku sedang bersama Mizushima, yang merupakan pacar palsuku, untuk berbelanja. Dalam kata lain, aku sedang berada dalam “kencan selingkuh.”


Untungnya, aku dan Mizushima sedang berpisah sementara. Tapi jika Ena-chan sampai tahu aku sedang kencan dengan Mizushima, itu akan menjadi bencana besar. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika rahasia ini terbongkar.


“A-a… Jadi, Ena-chan sedang berbelanja, ya? Apa kamu sedang mencari buku tertentu?” tanyaku, mencoba mengalihkan perhatian dengan obrolan ringan.


Ena-chan terlihat sedikit kaget sesaat, tapi kemudian ia kembali tenang dan mengangguk kecil.


“Y-ya. Aku sedang mencari buku tentang kerajinan tangan.”


“Kerajinan tangan? Oh iya, benar juga.”


Aku baru ingat kalau Ena-chan masuk klub kerajinan tangan setelah masuk SMA. 


Sebenarnya, dia ingin bergabung dengan klub film sepertiku, tapi teman-temannya melarangnya dengan alasan, “Tidak usah bergabung dengan sarang orang aneh itu.” (Keputusan yang sangat kejam). Akhirnya, dia memilih klub yang sesuai dengan minatnya yang lain.


“Suatu hari, aku akan membuatkanmu syal, Souta-kun.”


Dia pernah mengatakan itu padaku, membuatku sangat senang. Tapi sekarang, semua itu hanya kenangan yang takkan terwujud lagi.


(Ah… syal rajutan tangan dari Ena-chan… Aku benar-benar ingin memilikinya.)


Syal itu pasti akan lebih hangat daripada syal termahal sekalipun.


“Sakuhara-kun, kamu belanja sendiri hari ini?”


Ketika aku sedang larut dalam nostalgia, Ena-chan bertanya dengan nada sedikit curiga.


“Hah? Oh, ya, begitulah! Aku sedang mencari buku.”


“Begitu… Jadi, kamu tidak bersama seseorang hari ini?”


Ketika aku mengangguk, dia berbisik pelan seakan sedang berbicara pada dirinya sendiri.


“Hm? Apa kamu bilang sesuatu?”


“Tidak, tidak ada. Lalu, apakah kamu sudah menemukan buku yang kamu cari?”


“Oh, itu… Sepertinya buku yang aku cari tidak ada di toko ini. Aku berpikir untuk mencari di toko lain.”


“Di toko lain?”


“Ya. Selain itu, aku juga tidak ingin mengganggumu berbelanja. Jadi, aku akan pergi dulu.”


Segera setelah berkata begitu, aku melambaikan tangan dan berbalik menuju pintu keluar. Aku tahu cara ini mungkin agak kasar, tapi saat ini aku tidak punya pilihan lain.


Aku berjalan cepat menuju pintu keluar, melewati orang-orang yang sedang membaca buku. Tapi saat aku hampir keluar dari toko…


“S-Sakuhara-kun!”


Aku berhenti ketika mendengar namaku dipanggil. Ketika aku menoleh, aku melihat Ena-chan berlari kecil menghampiriku.


“Ada apa?” tanyaku, sedikit bingung.


“U-um… Kalau kamu tidak keberatan, bisakah kamu menemaniku berbelanja sebentar?”


…Hah?


◆   ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧   ◆


“…Jadi, kamu ingin menambahkan koleksi manga di perpustakaan sekolah?”


“Ya. Sebenarnya, mencari buku tentang kerajinan tangan itu hanya alasan saja.”


Kembali di rak manga toko buku, aku mendengarkan penjelasan Ena-chan.


Di perpustakaan sekolah kami, ada beberapa koleksi manga, tetapi sebagian besar adalah manga pendidikan atau karya klasik yang sudah ada sejak sebelum kami lahir.


“Masalahnya, buku-buku itu tidak terlalu menarik bagi para siswa. Guru perpustakaan, Nakayama-sensei, menerima banyak permintaan untuk menambahkan manga yang lebih modern dan menghibur.”


Akhirnya, Nakayama-sensei meminta ide dari anggota komite perpustakaan untuk memilih manga baru yang akan ditambahkan ke koleksi.


“Jadi, kamu ke toko buku ini untuk memilih manga itu?”


“Ya, tapi aku tidak terlalu paham soal manga. Jadi, aku ingin meminta pendapatmu, jika tidak keberatan.”


Oh, jadi itu alasan dia memintaku menemaninya. Hari libur pun dia tetap serius mengurus tugas komite. Sungguh anak yang rajin.


“Eh? Tapi, aku tidak pernah mendengar Nakayama-sensei bicara soal itu. Kapan dia memberi tugas ini?”


Sebagai anggota komite perpustakaan, seharusnya aku juga diberi tahu soal tugas ini. Apa aku sengaja dikecualikan? Atau aku dilupakan?


“T-tentu saja, itu… ehm…”


Saat aku melontarkan pertanyaan yang tiba-tiba muncul dalam benakku, sikap Ena-chan langsung menjadi canggung. Matanya bergerak ke sana kemari seolah sedang mati-matian memikirkan alasan apa yang harus ia berikan.


Oh? Jangan-jangan aku benar-benar dikecualikan dari ini?


Ada grup chat khusus anggota komite perpustakaan yang tidak memasukkan aku, ya?


Tapi, ya sudahlah. Kalau pun memang begitu, aku tidak terlalu ambil pusing. Lagipula, sudah biasa aku jadi orang yang menyendiri.


“U-um... B-begini! Ketika Nakamura-sensei menyampaikan informasi itu, aku sebenarnya diminta untuk menyampaikan juga kepada Sakuhara-kun. Soalnya kita kan jadwal sift-nya sama.”


Dengan nada yang terdengar seperti mencari alasan, Ena-chan menjelaskan hal itu.


Hmmm, dia pasti sedang menjaga perasaanku... Tapi, ya sudahlah. Kalau dia sudah berusaha mengurus ini, lebih baik aku menerima saja.


“Pokoknya, begitulah. Jadi, aku mohon bantuannya. Tentu saja, aku sadar ini hari libur yang berharga, jadi hanya jika ini tidak merepotkan Sakuhara-kun.”


“Y-ya, begitulah...”


Sejujurnya aku ingin segera meninggalkan tempat ini, tapi...


“Apa tidak boleh?”


Ugh! Dengan mata seperti anak anjing terlantar begitu, jadi susah sekali untuk menolak!


Aku mengeluarkan ponsel dari saku dan sekilas melihat layar utama.


Masih belum ada pesan dari Mizushima.


“Baiklah, kalau begitu aku akan ikut membantu mencari ide.”


Setelah mempertimbangkan beberapa saat, akhirnya aku mengangguk.


Lagipula, tadi Mizushima bilang mungkin akan memakan waktu lama... Jadi, kalau hanya sebentar, tidak masalah, kan?


“Benarkah?”


“Tentu saja. Selain itu, ini juga tugas sebagai anggota komite perpustakaan. Masa aku tidak membantu.”


“Terima kasih, Sakuhara-kun. Aku sangat terbantu.”


Nada suaranya tetap formal seperti biasa, tapi sepertinya ada sedikit nada bahagia dalam suaranya.


Setelah kesepakatan itu, kami pun kembali berjalan-jalan di sekitar rak buku di sudut manga.


“Ngomong-ngomong, apa kamu sudah punya ide untuk manga yang mau diusulkan?”


“Hmmm, aku pikir karena ini untuk disimpan di sekolah, kita harus menghindari manga yang terlalu berfokus pada hiburan atau konten yang berlebihan.”


“Jadi, manga shonen atau isekai mungkin tidak cocok, ya?”


“Sepertinya begitu. Kalau Sakuhara-kun sendiri, apa kamu suka membaca manga seperti itu?”


“Yah, cukup sering, sih.”


Kami berjalan beriringan sambil berdiskusi, mencoba mencari solusi terbaik.


Kalau dipikir-pikir, walaupun ini untuk tugas komite, rasanya sudah lama sekali aku tidak menghabiskan waktu santai seperti ini bersama Ena-chan.


Seolah-olah kembali ke masa lalu, saat semuanya masih seperti dulu...


Mendadak, aku tersenyum pahit menyadari pikiranku yang tak ada gunanya.


“Sakuhara-kun?”


“Ah, tidak, tidak apa-apa. Ngomong-ngomong, menurutku buku-buku ini mungkin cocok.”


Aku menunjuk rak yang berisi manga dengan tema sejarah, budaya, dan etnografi.


“Contohnya, ini adalah manga tentang kisah para Viking di abad pertengahan, dan ini adalah cerita misteri yang berlatar di Kyoto era Heian. Meski ceritanya fiktif, latar dan tokohnya terinspirasi dari sejarah nyata, jadi tetap mengandung unsur edukasi.”


“Sepertinya menarik. Kalau begitu, ini pasti bisa diterima di sekolah, dan juga tetap menarik sebagai bahan bacaan.”


Ena-chan mengangguk sambil mengamati rak-rak tersebut, kemudian ia mengambil salah satu buku.


“Ah, bagaimana kalau ini? Cerita tentang seorang pelayan di masa Kerajaan Inggris yang menjadi tokoh utama dalam kisah cinta.”


“Bagus juga. Pasti banyak detail tentang gaya hidup kelas atas saat itu, dan—”


Aku terdiam seketika.


Tiba-tiba, bayangan penampilan Ena-chan dalam kostum pelayan beberapa hari lalu muncul di pikiranku, membuat kata-kataku tertahan.


Menyadari perubahan ekspresiku, Ena-chan juga tersipu dan buru-buru memalingkan wajahnya dariku.


“Uh, mungkin kita abaikan yang ini saja. Ya, tidak ada alasan khusus, kok!”


“I-itu benar. Aku juga tidak ada alasan tertentu, tapi... bagaimana kalau kita anggap ini sebagai cadangan saja.”


Walaupun aku tahu sosok pelayan itu hanyalah “Elena-san,” dan tidak ada hubungannya dengan Ena-chan, rasanya tetap agak canggung.


Saat aku mencoba menenangkan pikiran, ponsel di sakuku tiba-tiba bergetar.


Aku buru-buru meraihnya, dan melihat nama Mizushima muncul di layar.


(Astaga! Kapan waktu berjalan secepat ini...?)


Mungkin Mizushima sudah selesai belanja dan ingin menghubungiku.


Aku tidak bisa membiarkannya menunggu terlalu lama.


“Eh, Sakuhara-kun? Ada apa?”


“Eh? Ah, um...”


Aku melihat ponsel yang terus bergetar, lalu melirik Ena-chan yang menatapku penuh tanda tanya.


(Yah, tidak ada pilihan lain!)


Dan entah kenapa, aku justru mengatakan hal ini... 


“Maaf, Ena-chan! Perutku tiba-tiba sakit. Aku harus ke toilet sebentar!”


Aku tanpa sadar sudah mengucapkan hal itu kepada Ena-chan.


“Eh? Sa-Sakuhara-kun?”


“Sebentar ya! Aku akan segera kembali! Jadi Ena-san, tolong tunggu di sini! Jangan pergi dari sini, ya!”


“Uh, i-iya…”


Sambil mengangguk pelan, Ena-chan terlihat bingung dan sedikit curiga. Meninggalkan dia di sana, aku langsung keluar dari toko buku.


(Sial… kalau tahu bakal begini, aku seharusnya memaksakan diri mengusulkan kencan yang lebih jauh saja!)


Sambil mengutuk nasib sial dan bercandaan Tuhan, aku berlari tergesa-gesa menuju tempat Mizushima berada.


◆   ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧   ◆


“Kamu laaaa-maaaaa sekali.”


Begitu aku sampai kembali ke toko pakaian dalam dengan napas tersengal-sengal, itu adalah kalimat pertama yang keluar dari mulut Mizushima.


“Membuat pacarmu yang cantik menunggu lama, sebenarnya ke mana saja kamu tadi, Souta?”


“Ma-maaf… hhh… hhh… aku tadi mampir ke toilet sebentar.”


Mizushima berdiri di sana dengan tangan menyilang sambil memegang kantong kertas. Aku mencoba memberi penjelasan sambil berusaha mengatur napas.


Mizushima menatapku dengan tatapan setengah jengkel, sebelum akhirnya tertawa kecil dan tersenyum.


“Fufu, aku hanya bercanda. Terima kasih sudah menunggu. Aku bisa memilih dengan santai karena kamu.”


“Oh… ya, syukurlah.”


“Ngomong-ngomong, aku tadi beli ini. Mau lihat?”


“Tidak perlu ditunjukin!”


“Ahaha, bercanda kok.”


Setelah puas menggodaku, Mizushima tiba-tiba menggandeng tanganku.


“Yuk, barang-barang udah kebeli, sekarang kita keliling-keliling saja.”


“Uh, iya.”


“Ngomong-ngomong, Souta, ada toko yang ingin kamu kunjungi?”


“Eh? Hmm, sepertinya tidak ada, kurasa…”


Aku mencoba terlihat berpikir, tapi jujur saja, sekarang aku tidak ada niat untuk belanja apa pun.


(Oke, aku berhasil kembali, tapi apa yang harus kulakukan sekarang?)


Jika Ena-chan melihatku sedang jalan dengan Mizushima, itu jelas masalah besar. Tapi di sisi lain, jika Mizushima tahu aku sempat bertemu dengan Ena-chan tanpa sepengetahuan dirinya, itu juga bisa jadi masalah.


“Jangan pikirkan Ena-chan,” kata-kata Mizushima di akuarium kemarin tiba-tiba melintas di pikiranku.


Entah kenapa, belakangan ini Mizushima terlihat sangat waspada terhadap Ena-chan. Saat “pertarungan” ini dimulai, dia hanya menanggapi pembicaraan tentang Ena-chan dengan santai, tapi sekarang, bahkan jika aku sekadar memikirkan Ena-chan, Mizushima langsung terlihat kesal.


Jika hanya karena cemburu atau rasa posesif, aku masih bisa memahaminya. Tapi, kurasa ini bukan sekadar itu. Kalau sampai Mizushima tahu aku “bertemu diam-diam” dengan Ena-chan di tengah kencan, aku pasti akan mendengar ceramah panjang lebar darinya.


Meskipun pertemuan itu hanya sekedar kebetulan, lebih baik jika ini tetap jadi rahasiaku.


(Pilihan terbaik mungkin langsung meninggalkan tempat ini ke plaza lain.)


Tapi aku sudah bilang ke Ena-chan, “Aku akan segera kembali, jadi tunggu di sini,” jadi kalau aku pergi begitu saja, rasanya jadi tidak enak.


Kalau kami pindah ke tempat lain, aku tidak bisa kembali lagi, jadi untuk sekarang, meninggalkan Landmark Tower bukanlah sebuah pilihan.


(Hmm, bagaimana kalau ke lantai lain?)


“Nah, Mizushima, aku baru ingat. Aku kehabisan beberapa alat tulis. Di lantai atas ada toko alat tulis. Temani aku ke sana, ya?”


“Alat tulis? Boleh saja. Ayo kita ke sana.”


Mizushima langsung setuju tanpa berpikir panjang. Dalam hati aku bersorak.


Kami sekarang berada di lantai dua, area selatan plaza. Toko buku tempat Ena-chan menunggu juga ada di area ini. Sedangkan toko alat tulis ada di lantai lima, area utara.


Berbeda lantai dan area, jadi kecil kemungkinan Mizushima dan Ena-chan bertemu.


Rencana ini cukup beresiko, tapi ini satu-satunya cara untuk menghindari masalah dengan keduanya sekaligus.


“Ngomong-ngomong, Mizushima, kamu mau beli sesuatu juga?”


“Hmm, sepertinya tidak. Oh, atau gimana kalau Souta belikan aku sesuatu sebagai hadiah?”


“Hadiah? Dari toko alat tulis?”


“Iya. Anggap saja pengganti karena tadi kamu tidak bantu pilih lingerie untukku.”


“Perbandingannya yang tidak logis!”


“Fufu, tenang saja. Aku bercanda.”


Kami akhirnya sampai di toko alat tulis. Kini aku harus mencari cara agar bisa meninggalkan Mizushima sementara waktu tanpa mencurigakannya.


Dengan perasaan tegang, aku mulai memikirkan alasan yang masuk akal.


“Jadi, alat tulis apa yang kamu butuhkan, Souta? Biar aku bantu cari.”


“Oh, terima kasih. Kalau begitu, pertama-tama…”


Saat hendak menjawab, aku tiba-tiba pura-pura panik dan mulai merogoh kantongku.


“Eh, Souta? Kok tiba-tiba panik? Ada apa?”


“...Aku… sepertinya dompetku ketinggalan.”


Biasanya, Mizushima sudah terbiasa melontarkan kebohongan dan gertakan seolah itu adalah bagian dari napasnya. Kalau aku melakukan akting yang setengah hati, pasti dia akan langsung mengetahuinya.


Berpikir demikian, aku mulai mengingat kejadian nyata ketika aku benar-benar kehilangan dompet, lalu berusaha memasang ekspresi dan suara yang sedalam mungkin, seperti saat itu.


Ya, itu adalah kejadian yang tak akan pernah kulupakan, di musim dingin ketika aku kelas dua SMP. Saat itu, aku sedang berjalan-jalan di kawasan onsen di Kusatsu, Prefektur Gunma, bersama keluargaku. Entah sejak kapan, dompet panjang yang kusimpan di saku belakangku menghilang begitu saja.


Waktu itu salju sedang turun, dan kalau dompet itu memang jatuh di jalan, pasti langsung tertimbun salju dan hampir tidak mungkin ditemukan. Aku benar-benar mengira “semuanya sudah selesai” saat itu.


Beruntung, ada orang baik hati yang menemukan dompetku dan menyerahkannya ke kantor polisi, jadi masalah itu bisa terselesaikan. Sejak saat itu, aku bersumpah tidak akan pernah memakai dompet panjang lagi.


Tapi, kembali ke saat ini.


“Eh, dompetmu? Di mana hilangnya?”


Kepanikanku yang berdasarkan pengalaman nyata ternyata cukup berhasil, karena Mizushima tampaknya mulai menunjukkan tanda-tanda terkejut.


“Mungkin tadi di toilet lantai dua.”


“Aduh, kalau begitu kamu harus cepat-cepat mengambilnya!”


“Iya. Maaf, aku akan ke sana sebentar.”


“Kalau begitu, aku ikut...”


“Tidak, tidak perlu! Aku akan segera kembali, jadi kamu tunggu di sini saja, Mizushima!”


Ketika dia hendak mengikutiku, aku langsung menenangkannya dengan kata-kata itu sebelum buru-buru keluar dari toko alat tulis. Aku bergegas turun dari lantai lima ke lantai dua, melewati keramaian lantai itu hingga akhirnya tiba kembali di toko buku tempat aku meninggalkan Ena-chan.


“Ah... selamat datang kembali, Sakuhara-kun.”


Ketika aku masuk ke toko, Ena-chan masih berdiri di depan rak buku yang sebelumnya kami lihat bersama, tidak bergerak sedikit pun.


Ya, memang aku sudah bilang “jangan bergerak dari sini,” tapi aku tidak menyangka dia akan benar-benar menunggu di tempat itu tanpa bergeser sedikit pun. Dengan kalung yang terlihat melingkari lehernya, dia tampak seperti anjing setia yang menunggu tuannya pulang. Hachiko? Atau mungkin “Ena-ko?” Ah, tidak, aku hanya bercanda.


“Maaf, membuatmu menunggu.”


“Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja. Tapi, kamu terlihat cukup lama pergi, ya.”


“Yah, begini... Toilet di lantai dua tadi penuh sekali. Aku sampai harus bolak-balik ke beberapa tempat untuk mencari toilet yang kosong. Ah, benar-benar merepotkan!”


Dengan gerakan tangan dan ekspresi yang meyakinkan, aku berusaha menjelaskan situasiku. Ena-chan pun percaya begitu saja dan hanya menjawab, “Oh, begitu, ya.”


Astaga, dia terlalu polos. Aku jadi khawatir, jangan sampai di masa depan dia terjebak dengan pria jahat.


“Baiklah, mari kita lanjut memilih manga.”


“Oh, iya. Baiklah.”


Aku mengangguk, tetapi di dalam hati aku tahu aku harus segera kembali ke Mizushima. Sekarang, aku perlu alasan baru untuk bisa meninggalkan tempat ini. Lagi. 


◆   ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧   ◆


“Nee, Souta, kamu baik-baik saja? Wajahmu kelihatan capek... Kamu tidak sakit, kan?”


“Tidak, aku baik-baik saja. Hanya sedikit lelah karena terus berjalan.”


Setelah bolak-balik antara Mizushima dan Ena-chan beberapa kali, tubuhku mulai kelelahan, dan itu tampak jelas dari raut wajahku.


“Begitu? Kalau begitu, syukurlah.”


Tentu saja, Mizushima tidak hanya diam di satu tempat. Dia terus berpindah-pindah dari satu toko ke toko lain di berbagai lantai. Setiap kali dia berpindah, aku harus memutar otak agar Ena-chan tetap berada di lantai yang berbeda.


Syukurlah, pusat perbelanjaan ini memiliki beberapa toko buku di lantai yang berbeda, jadi tidak terlalu sulit memindahkan Ena-chan. Namun, berkali-kali naik turun tangga dan eskalator benar-benar menguras tenaga.


(Hmm, aku sudah mulai kehabisan alasan untuk pergi. Ini bisa jadi masalah besar.)


Aku sedang berada di butik di lantai empat area barat, tempat Mizushima sibuk memilih pakaian. Melihat dia begitu serius memadukan pakaian membuatku mengelus dada sejenak.


“Ya, aku rasa warna yang ini lebih cocok. Baiklah, aku akan mencoba ini di ruang ganti. Tunggu sebentar ya ♥”


“Oh, ya. Pergilah.”


Saat aku mengangguk, dia masuk ke ruang ganti dengan wajah riang. Ketika tirai ruang ganti menutup, aku menghela napas panjang.


(Sepertinya dia masih akan lama di sini. Kalau begitu, aku harus menyelesaikan urusanku dengan Ena-chan dulu dan memastikan dia keluar dari pusat perbelanjaan ini. Setelah itu, aku bisa fokus ke Mizushima.)


Namun, tepat ketika aku memikirkan rencana itu, mataku secara tak sengaja menangkap sosok yang sangat tak terduga.


(Eh, tunggu... apa itu Ena-chan!?)


Aku melihat Ena-chan berjalan di koridor depan butik ini. Padahal, sebelumnya aku meninggalkan dia di toko buku lantai satu area utara.


(Ah, aku terlalu lama meninggalkannya. Jangan-jangan dia mulai mencariku!)


Untungnya, Ena-chan belum melihatku. Tapi butik ini tidak terlalu besar, jadi dari koridor depan saja dia bisa melihat keseluruhan toko.


Aku buru-buru berlindung di belakang manekin agar tidak terlihat olehnya.


“Aku harap dia segera pergi...”


Namun, Ena-chan tiba-tiba berhenti dan mulai mengendus-endus udara seolah mencium sesuatu.


(Eh!? Apa-apaan ini!?)


Sebelum aku sempat berpikir lebih jauh, Ena-chan tiba-tiba masuk ke dalam butik.


(Apa dia mencium bauku!? Jangan-jangan ini seperti waktu di gudang olahraga...)


Aku langsung teringat kejadian saat dia menemukanku bersembunyi di atas peti lompat dengan mengatakan, “Sepertinya aku mencium bau Souta-kun...”


Apakah mungkin indera penciuman Ena-chan begitu tajam hingga ia bisa mengenali aroma tubuhku?


(Bagaimana ini!?)


Sambil memutar otak dengan panik, aku melirik ke sekitar toko. Lalu, mataku tertuju pada ruang ganti tempat Mizushima baru saja masuk beberapa saat yang lalu.


(Satu-satunya tempat untuk bersembunyi hanyalah di sana... Tapi, tidak mungkin untukku...!)


Namun, sebelum aku sempat memutuskannya, Ena-chan terus mendekat ke arahku, tepat di tempat aku bersembunyi di balik manekin. Waktuku untuk berpikir sudah habis.


(...Ah, sudahlah!)


Akhirnya aku memantapkan diri dan menarik tirai ruang ganti untuk masuk ke dalam. Begitu masuk, aroma manis bunga kinmokusei langsung menyerbu hidungku.


“Hah...?”


Tentu saja, di dalam ruang ganti, ada Mizushima yang sedang dalam proses mengganti pakaian.


Dia menatapku dengan ekspresi terkejut, tidak menyangka ada seseorang yang tiba-tiba masuk. Namun, rasa malunya yang memuncak membuatnya tidak punya waktu untuk mengejekku seperti biasanya.


“Eh!? S-Souta!? Ke-kenapa tiba-tiba masuk...!?”


Dengan wajah yang merah padam, Mizushima tampak sangat panik, ini sesuatu yang jarang terjadi. Aku langsung menutup mulutnya dengan tangan kananku, lalu menahannya ke dinding.


“Mm!?”


Ruang ganti itu terlalu kecil untuk menampung dua orang, sehingga aku tanpa sadar harus memojokkannya ke dinding sambil menahan dengan tangan kiriku.


(...Dari luar, aku pasti terlihat seperti penjahat cabul sekarang.)


Aku tahu aku membuat Mizushima merasa tidak nyaman dalam situasi seperti ini, tapi aku tidak punya pilihan lain demi menghindari Ena-chan. aku harus dogeza untuk meminta maaf padanya nanti.


“Maaf, Mizushima. Kalau mau marah, nanti saja, oke? Sekarang, aku hanya minta kamu untuk diam sebentar.”


Dengan suara pelan, aku mencoba menjelaskan situasinya agar tidak ada suara yang terdengar keluar.


“.............”


Namun, Mizushima, meskipun terkejut, tetap tidak menunjukkan rasa takut. Sebaliknya, dia dengan patuh mengangguk, meskipun matanya menunjukkan tatapan bingung. Lebih aneh lagi, dia menatapku dengan pandangan lemah seperti orang demam, seperti sedang melayang.


Kami berdua terdiam selama sekitar lima atau enam menit, menunggu situasi di luar tenang. Begitu aku memastikan kalau tidak ada lagi tanda-tanda kehadiran Ena-chan, aku mengintip dari celah tirai untuk memeriksa situasi di luar.


“Sepertinya dia sudah pergi.”


Setelah yakin kalau bahaya sudah berlalu, aku menghela napas lega dan melepaskan Mizushima.


“Ah... eh, aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi sekarang aku sudah boleh bicara, kan?”


“Iya. Maaf, Mizushima. Aku tidak bermaksud... ng...!”


Saat aku berbalik untuk menjawab, baru aku sadari kalau Mizushima masih mengenakan pakaian dalamnya, hanya menutupi tubuhnya dengan kemeja tipis.


“Uwaaah!?”


Aku langsung melompat keluar dari ruang ganti dan menarik tirainya, lalu memalingkan badan.


“Ma-maaf! Aku tidak sengaja...!”


“Ahaha. Tidak perlu minta maaf sebegitunya kok,” katanya dengan suara santai.


“Tapi tetap saja...”


“Ya, aku memang terkejut sih, tapi hanya itu. Lagi pula, aku sudah pernah bilang, kan? ‘Aku tidak merasa malu kalau dilihat Souta.’”


Tolonglah, setidaknya tunjukkan sedikit rasa malu... meskipun aku yang salah di sini.


“Selain itu, aku tahu kamu tidak akan melakukan ini tanpa alasan. Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?”


“Oh, itu...”


Pertanyaan Mizushima membuatku berpikir sejenak sebelum menjawab.


“Barusan ada kenalanku dari sekolah Ena-chan yang masuk ke toko.”


Tidak sepenuhnya bohong. “Mantan pacar” juga termasuk kenalan, kan?


“Kenalan dari sekolah Ena-chan? Maksudnya temanmu?”


“Ya, temanku. Namanya Yamaguchi, teman sejak SD.”


Itu jelas-jelas sebuah kebohongan. Maaf, Yamaguchi, atau lebih tepatnya Higuchi. Aku akan memanfaatkanmu sebagai tameng kali ini.


“Kalau orang lain sih tidak masalah, tapi dia tahu aku bukan tipe orang yang pergi ke mall seperti ini saat hari libur. Kalau ketahuan, dia pasti bakalan curiga.”


“Oh, jadi itu alasanmu buru-buru sembunyi di ruang ganti?”


“Iya.”


Aku mengangguk pada kata-kata Mizushima, lalu dengan berusaha terlihat santai, aku melanjutkan.


“Tapi mungkin saja dia masih ada di sekitar sini. Kalau aku keluar sekarang, aku bisa langsung bertemu dengannya. Aku akan memeriksa situasi sebentar. Aku akan segera kembali, jadi kamu tetap di sini saja, Mizushima.”


“Eh? Oh, oke. Baiklah... Tapi hati-hati, ya, Souta. Jangan sampai ketahuan.”


Meskipun terlihat sedikit curiga, Mizushima tampaknya juga tidak ingin berpapasan dengan siswa dari sekolah Ena-chan. Jadi, dia dengan mudah mengizinkanku pergi.


Bagus. Sekarang yang perlu aku lakukan hanyalah mengejar Ena-chan, bergabung dengannya, menyelesaikan belanjaannya, dan memastikan dia keluar dari Landmark Tower. Tugas selesai!


◆   ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧   ◆


Pov Mizushima Shizuno

“Maaf ya, Sakuhara-kun. Padahal ini hari libur, tapi kamu masih bersedia menemaniku... Tapi berkatmu, aku mendapat banyak referensi. Terima kasih.”


“Ah, tidak perlu dipikirkan. Aku tidak ngelakuin apa-apa kok. Lagipula, ini juga bagian dari tugasku sebagai anggota komite perpustakaan. Jadi, santai saja.”


Dari lantai dua, aku melihat ke arah pintu utama Plaza Utara dan melihat Souta sedang berbicara dengan Ena.


(Jadi begitu ya... Souta rupanya sering menyelinap pergi untuk ini.)


Dari awal, aku merasa ada sesuatu yang aneh.


Biasanya, dia mudah sekali ketahuan dari ekspresi wajah atau nada bicaranya, tapi hari ini Souta benar-benar pandai berakting. Aku sampai percaya dia pergi karena benar-benar ingin ke toilet atau mengambil barang yang tertinggal. Setidaknya, sampai beberapa saat yang lalu.


(Kalau dari hasil penelusuranku, nama teman masa kecil Souta sebenarnya ‘Higuchi’, bukan ‘Yamaguchi’. Karena terlalu berusaha menutupi, dia malah membuat kebohongan yang tidak perlu di akhir.)


Aku menghela napas sambil bergumam, “Kamu masih kurang mahir, Souta.”


Kemudian, aku mengalihkan pandangan dari Souta ke Ena.


Dia tampak tetap menjaga sikap profesional, tapi aku tahu, sebagai sesama perempuan, ekspresi itu adalah wajah seseorang yang berusaha keras menahan perasaannya sendiri.


Dari situasinya, sepertinya pertemuan ini benar-benar kebetulan...


“Hmm... ini tidak bagus.”
















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !