Chapter 3
Berduaan Di Malam hari
Situasi macam apa ini sebenarnya? Gadis yang tadi sore masih bersinar dan menjadi pusat perhatian kini menangis dengan lemah dalam pelukanku. Jujur saja, aku tidak menyangka akan sampai seperti ini. Aku menyentuh bahu Asahina-san yang gemetar.
"Kita bakal basah kalau tetap di sini. Bolehkah aku masuk?"
Asahina-san mengangguk pelan. Sambil berpikir aku akan masuk ke rumah seorang gadis dengan cara seperti ini, aku terkejut melihat rumah yang gelap gulita. Apa yang terjadi? Padahal seharusnya dia di rumah, tapi tubuh Asahina-san masih basah kuyup... Jangan-jangan dia diserang! Tapi meskipun basah, pakaiannya tidak berantakan, jadi sepertinya bukan hal terburuk.
"Boleh aku nyalakan lampunya?"
"...Ya."
Tetap dalam kegelapan akan membuatku tertekan. Aku melihat saklar dekat pintu masuk ruangan dan menekannya. Lampu LED di langit-langit menyala, menerangi ruangan. Aku terkejut melihat luas ruangannya, tapi sekarang bukan waktunya untuk itu. Asahina-san berdiri terpaku dengan wajah murung. Pasti telah terjadi sesuatu. Di saat seperti ini...
"Ayo minum sesuatu yang hangat. Bolehkah aku menggunakan dapurmu?"
"...Ya."
"Asahina-san, tolong mandi dulu. Dengan pakaian basah begitu kamu bisa masuk angin."
"...Hatchii!" "Mungkin sudah terlambat ya."
Aku terus membujuk Asahina-san yang terpaku untuk melakukannya. Tidak seperti biasanya, dia begitu tidak waspada. Aku datang ke rumah ini karena terbawa suasana, tapi apakah tidak apa-apa? Seorang laki-laki yang bukan pacarnya masuk ke rumah seorang gadis di malam hari...
"Tapi aku tidak bisa membiarkannya gitu aja."
Aku tidak mungkin mengabaikannya setelah dia menelepon dengan suara ketakutan seperti itu. Maaf, tapi karena keadaan darurat, aku akan membuka kulkasmu. Peralatan masaknya juga semuanya bermerek. Dan terawat dengan baik. Oh iya, Asahina-san pernah bilang dia mempekerjakan Otsuki-san sebagai pembantu paruh waktu.
"Ah... Sekarang fokus pada Asahina-san."
Setelah sekitar 30 menit, Asahina-san keluar.
"Ah..."
Asahina-san setelah mandi. Tadi aku berpikir dia cantik yang disayangkan... Tapi memang kecantikannya membuat jantungku berdebar. Bukan karena pakaiannya terbuka. Dia hanya mengenakan kaus dalam putih biasa dan celana pendek. Mungkin itu pakaian rumah yang biasa dia pakai. Tapi ketika dikenakan oleh Asahina Alisa yang memiliki proporsi tubuh sempurna, pesonanya memancar. Rambut platinum blonde yang lembab. Dada yang menonjol besar, tangan dan kaki putih tanpa noda. Ketika dia melirik ke arahku, wajahnya yang sangat cantik dan mata hijau zamrudnya tertangkap pandanganku. Dia benar-benar cantik. Ah, bukan saatnya terpesona.
Untungnya, rumah ini memiliki dapur terbuka. Desain yang memungkinkan untuk menonton TV atau mengobrol sambil memasak. Ada meja dan kursi di depan dapur, sehingga kita bisa berbicara berhadapan.
"Silakan minum ini. Mungkin kamu belum makan, kan?"
Aku meletakkan cangkir sup consommé spesial yang kubuat selama dia mandi di atas meja. Asahina-san duduk di kursi dan mengambil cangkirnya.
"Hangat... Enak."
"Hiyori juga menyukainya. Menghangatkan permukaan tubuh dengan mandi, terus menghangatkan bagian dalam dengan sup. Ini akan membuatmu lebih tenang."
"Ada bawang bombay dan bahkan corned beef juga."
"Penting untuk mengisi perut, kan?"
"...Kayaknya ini bakal membuatku bersemangat."
Aku merasa cahaya telah kembali ke mata Asahina-san. Jika dia bisa kembali normal, kedatanganku ke sini akan berarti.
Asahina-san mengangkat wajahnya, lalu segera menunduk.
"Maafkan aku!"
"Eh?"
"Memanggilmu malam-malam begini... Aku benar-benar bodoh dan menyedihkan..."
"Tidak perlu dipikirkan."
"Tapi! Kogure-kun seharusnya berada di sisi Hiyori-chan..."
"Hari ini orang tuaku juga ada di rumah, jadi tidak masalah."
Gruuuu... Terdengar suara dari perut Asahina-san.
"Hau..."
Wajahnya memerah, dia memegangi perutnya dengan malu. Inilah Asahina-san yang sebenarnya. Daripada meminta maaf, dia lebih terlihat kelaparan.
"Aku bakal masak nasi. Ada tambahan sup, jadi minumlah dengan santai."
"...Terima kasih."
Baiklah, apa yang harus kubuat? Ada bahan-bahan yang cukup untuk membuat apa saja. Sebaiknya sesuatu yang menghangatkan tubuh. Kentang, wortel, daging sapi, bawang bombay, dan lain-lain. "Aku suka sekali kari buatan Shizuku!"
Ada juga bumbu kari. Kalau begitu, tidak ada pilihan lain selain membuatnya. Keuntungan dapur terbuka adalah bisa mengobrol sambil memasak. Sebenarnya bisa saja dilakukan meskipun bukan dapur terbuka... Tapi bisa berbicara berhadapan adalah kelebihannya.
Tepat saat aku hendak mengambil bahan-bahan, terdengar suara petir yang keras. Cukup dekat. Saat itu, Asahina-san tersentak. Aku mencari cara untuk mengalihkan perhatiannya dan menemukan tombol "Music" di dapur. Saat kutekan tombolnya, terdengar suara koneksi dan musik mulai mengalir di ruangan. Peralatan yang luar biasa. Mungkin terhubung dengan Bluetooth hanya dengan satu tombol. Kuharap ini bisa meredam suara petir.
"Hei, Kogure-kun. Kenapa kamu datang? Ah, maaf. Aku senang banget kamu datang..."
"Yah, ada banyak alasan, tapi yang utama adalah untuk diriku sendiri."
"Eh? Untuk dirimu sendiri?"
"Telepon dari Asahina-san bikin aku penasaran banget. Aku tipe yang tidak bisa berhenti kalau sudah penasaran. Setelah itu aku berencana untuk memanjakan Hiyori, tapi aku terlalu penasaran dan merasa tidak sopan menyentuh malaikat dalam kondisi mental kayak gini, jadi aku datang ke sini."
"Eeh..."
"Jadi aku siap ditolak di depan pintu. Dengan begitu aku bisa tenang dan memanjakan Hiyori tanpa beban."
"Tapi kamu bisa datang di tengah hujan begini ya."
Kalau hanya hujan sebesar ini, dengan jas hujan tidak masalah untuk bergerak. Aku biasa bersepeda dengan kecepatan penuh saat ada diskon di supermarket meskipun hujan, jadi aku tidak takut. Haha, dibandingkan dengan ketakutan saat ditodong pisau oleh seorang stalker wanita dulu, aku jadi tidak goyah dalam situasi apapun.
"Ketinggian, kegelapan, hantu, dan bahkan petir... bukannya phobiamu terlalu banyak?"
"Uuh... Sejak kecil, banyak hal terjadi dan aku jadi tidak bisa menanganinya sama sekali."
"Petir kan sering menggelegar? Biasanya apa yang kamu lakukan?"
"Shizuku selalu ada di sisiku. Dia menggenggam tanganku dengan lembut, tidur bersamaku di ranjang yang sama."
Aku berpikir pemandangan itu pasti wangi, tapi tentu saja aku tidak bisa mengatakannya.
"Tapi aku... Telah melukai Shizuku."
Air mata jatuh dari mata Asahina-san. Aku sudah menduga pasti terjadi sesuatu dengan Otsuki-san saat dia meminta bantuanku. Tepat saat kari selesai, aku mengambil nasi dari penanak nasi dan menuangkan kari di atasnya. Lalu aku meletakkan mangkuk itu di meja Asahina-san.
"Silakan dimakan selagi hangat."
"Ya. Ah, enak... Sama sekali tidak pedas."
"Tentu saja, aku membuatnya kari manis. Makanlah sampai kenyang."
Dia makan dengan lahap, sepertinya memang lapar. Kalau nafsu makannya sebesar ini, dia pasti akan segera pulih. Tapi karena sepertinya dia dibiarkan basah kuyup cukup lama... Aku sedikit khawatir dengan kondisinya nanti.
"Kalau kamu tidak keberatan... Maukah kamu menceritakan apa yang terjadi? Kalau kamu benar-benar tidak mau, aku tidak akan memaksa."
"Ya. Ini juga ada hubungannya denganmu, Kogure-kun, dan aku juga harus minta maaf padamu."
"Padaku juga?"
Asahina-san meletakkan sendok karinya sejenak.
“Kayak yang pernah kukatakan sebelumnya, aku, Shizuku, dan Kokoro adalah teman masa kecil. Rumah kami berdekatan dan kami berteman sejak TK, kami sangat akrab. Jujur aja, kami merasa tidak butuh teman lain. Kami berpikir cukup bertiga aja.”
Aku sudah tahu sampai bagian ini. Wajar saja berpikir begitu kalau punya teman masa kecil yang sangat dekat.
“Tapi... Aku punya kakak laki-laki... Dan itu mengubah hubungan kami.”
“Kakak laki-laki Asahina-san ya. Apakah kakakmu mirip denganmu?”
“Sifat kami cukup berbeda, tapi penampilan kami mirip banget. Kami cuman beda satu tahun, jadi sering disebut anak kembar.”
Versi laki-laki dari penampilan ini ya. Pasti dia sangat tampan.
“Yang pertama jatuh cinta pada kakakku adalah Shizuku. Aku dan Kokoro tahu Shizuku menyukai kakakku sejak kecil.”
“Oh gitu, jadi Otsuki-san punya orang yang disukai ya.”
“Kamu cukup tenang untuk seseorang yang menyukai Shizuku.”
“Y-yah, kurasa semua orang punya orang yang disukai, dan mereka tidak pacaran kan? Kalau gitu apa boleh buat!”
Hampir saja. Aku nyaris ketahuan tidak punya perasaan pada Otsuki-san.
“Kayaknya Shizuku juga merasa itu terlalu tinggi untuknya, jadi dia tidak pernah mendekati kakakku. Aku berpikir tidak seperti itu dan cukup mendorong kakakku, tapi kakakku tidak menyadari perasaan Shizuku.”
“Mungkin bagi kakakmu, kalian semua kayak adik perempuan...”
“Ya, kurasa memang begitu. Tapi semuanya berubah pas kami masuk SMA. Sejak Kokoro masuk sekolah olahraga unggulan dengan cabang yang sama dengan kakakku.”
“Ah, aku mengerti... Jadi...”
“Ya, karena kakakku dan Kokoro sama-sama berenang, mereka jadi dekat. Kokoro tumbuh pesat saat SMA... Jadi tidak terlihat kayak adik lagi.”
Mendengar cerita seperti ini secara langsung memang rumit ya. Mungkin Mizuhara Kokoro-san juga tahu perasaan Otsuki-san. Entah ini dimulai dari Mizuhara-san atau kakaknya, itu tidak terlalu penting sekarang.
“Asahina-san mengetahui mereka berdua menjadi kekasih. Dan kamu tidak memberitahu Otsuki-san.”
“Aku pikir Shizuku bakal sedih... Lebih dari itu, aku tidak pengen Shizuku tahu kenyataan bahwa Kokoro ‘merebut’ kakakku padahal dia tahu perasaan Shizuku.”
“Kurasa kalau kamu jujur, Otsuki-san bakal mengerti.”
“Mungkin begitu. Tapi aku tidak bisa mengatakannya. Aku tidak bisa mengatakannya karena takut hubungan kami bertiga bakalan hancur.”
“Jadi yang terpenting bagi Asahina-san adalah tiga sahabat masa kecil bisa tertawa bareng... Gitu ya.”
Sesuatu yang seharusnya bisa langsung dikatakan menjadi semakin sulit diungkapkan seiring berjalannya waktu. Mirip seperti luka kecil yang terus melebar. Aku juga punya banyak hal yang tidak bisa kukatakan, jadi aku tidak bisa sok menggurui.
“Karena itu aku berpikir kalau Shizuku bisa menyukai orang lain, perasaannya pada kakakku bakal memudar, dan meski nanti ketahuan, ikatan kami bertiga tidak akan rusak.”
“Oh, jadi karena itu kamu memilihku?”
“Maafkan aku!”
Asahina-san membungkuk dalam-dalam.
“Aku memanfaatkan perasaanmu, aku benar-benar minta maaf!”
“Kamu tidak perlu minta maaf.”
“Eh...”
“Itu demi sahabatmu kan? Meskipun aku dimanfaatkan, sekarang aku tidak merasa dirugikan, jadi kamu tidak perlu minta maaf sampai kayak gitu.”
“Kogure-kun... Kamu terlalu baik.”
Sebenarnya aku ingin dia tidak minta maaf. Aku juga berbohong dan tidak bisa mengatakannya. Aku ingin mengatakan yang sebenarnya karena kita impas, tapi sulit mengatakannya saat Asahina-san sedang lemah, dan aku juga merasa agak terpojok.
“Aku mengerti ceritanya. Kalian cuman perlu berbaikan dengan baik.”
“Berbaikan itu tidak mungkin. Aku takut bertemu Shizuku. Aku tidak tahan kalau dia menatapku dengan mata dingin kayak gitu lagi.”
“...”
“Dia bilang dia syok karena aku berbohong padanya. Meskipun aku minta maaf dengan sungguh-sungguh, mungkin dia tidak akan memaafkanku.”
Meski aku berkata tidak seperti itu, itu hanya akan jadi penghiburan saja. Masalah ini tidak akan selesai kecuali Otsuki-san dan Asahina-san berbicara berdua. Yang harus kulakukan hanya satu.
“Eh...?”
Asahina-san memegang kepalanya. Wajahnya memerah dan ekspresinya kosong.
“Apakah ada termometer?”
“Di sana.”
Aku membuka laci dan memberikan termometer pada Asahina-san. Setelah dia mengukur suhu tubuhnya, aku melihat angkanya. Awal 37 derajat...
“Mungkin karena sudah makan dan merasa lega, tiba-tiba kelelahan muncul.”
“Sebaiknya kamu tidur aja hari ini. Bisa kembali ke kamarmu sendiri?”
“...Ya. Tapi... Kalau bisa aku pengen kamu menemaniku.”
Anak ini memang kesepian ya. Di hari Sabtu jam segini, tidak ada keluarga di rumah. Orang tuanya bekerja, kakaknya tinggal di asrama. Jika tidak ada Otsuki-san, dia selalu sendirian. Sementara Asahina-san bersiap tidur, aku menyiapkan obat untuk demam.
“...Aku tidak menyangka bakal masuk ke kamar perempuan dengan cara kayak begini.”
Aku berharap bisa dalam situasi yang berbeda. Tidak bisa kabur, aku membawa barang-barang yang kusiapkan ke kamar Asahina-san di lantai dua. Aku mengetuk pintu.
“Boleh aku masuk sekarang?”
“Ya, tidak apa-apa.”
Dengan hati-hati aku membuka pintu. Ini adalah kamar pribadi Asahina Alisa. Wah, luas sekali. Mungkin dua kali lipat dari kamarku.
“Maaf ya membuatmu melakukan hal-hal kayak pengganti Shizuku.”
“Otsuki-san kan bilang kalau dia bekerja paruh waktu di rumah ini. Kalau gitu, bolehkah aku juga bekerja di sini?”
“Kalau Shizuku tidak datang lagi... Mungkin aku bakal memanggilmu.”
Kata-kata yang penuh kesepian seperti itu tidak cocok dengan Asahina-san. Namun, piyama yang imut dan menonjolkan lekuk tubuhnya itu... Mungkin karena sedang lemah, dia jadi tidak waspada, tapi tetap saja keimutannya dan keseksiannya tidak berkurang sama sekali. Kalau bukan aku, mungkin dia sudah diserang. Asahina-san duduk di tempat tidur.
“Kogure-kun, kita tidak bisa bicara kalau kamu terlalu jauh. Ayo lebih dekat.”
“Ugh... Jangan-jangan kamu menganggapku perempuan ya.”
“Tidak kok. Kogure-kun itu laki-laki. Waktu kamu menggendongku hari ini, kamu kuat banget dan gagah. Keren banget”
“O-ooh”
Dikatakan begitu langsung membuatku sangat malu. Malam ini Asahina-san terlihat sangat imut. Tidak, sebenarnya penampilan yang jujur seperti ini lebih imut daripada ketika dia bersikap keren dan menjaga jarak dengan laki-laki. Guntur kembali menggelegar.
“Kya!”
Asahina-san menutup telinganya. Di ruang tamu, kami mengalihkan perhatian dengan musik, tapi di kamar tidur tidak bisa seperti itu.
“Hei, Kogure-kun. Bolehkah aku meminta sesuatu?”
“Sampai sejauh ini, apa pun bakal aku dengarkan.”
“...Bisakah kamu menggenggam tanganku sampai aku tertidur? Boleh?”
Asahina-san masuk ke dalam futon. Apakah dia jadi manja lagi? Mungkin kalau sedang lemah dia jadi manja seperti anak-anak. Seperti berhadapan dengan Hiyori. Sebenarnya aku cukup enggan menggenggam tangannya.
“Kalau tidak boleh, kayak yang biasa dilakukan dengan Shizuku... tidur bareng di tempat tidur juga tidak apa-apa.”
"Ayo kita berpegangan tangan."
Asahina-san pasti demamnya naik dan tidak bisa berpikir jernih. Ini jenis situasi di mana aku bisa dibunuh setelah dia pulih dan sadar. Aku tidak boleh tergoda.
Namun, bergandengan tangan juga rasanya cukup baik. Meski sudah kukatakan berkali-kali, aku ini laki-laki. Aku memegang tangan yang diulurkan Asahina-san.
"Tangan Kogure-kun menenangkan banget."
"Syukurlah kalau gitu."
"Tangan laki-laki itu aneh ya. Selama ini aku cuman pernah memegang tangan Shizuku."
Secara emosional, ini membuat jantungku berdebar dan tidak baik. Tapi tangannya sangat halus dan lembut. Sampai Asahina-san tertidur, aku terus menggenggam tangannya sambil bersandar di tempat tidur.
"Aku berpikir..."
Suara Asahina-san sedikit terbata-bata, mungkin karena sudah mulai mengantuk.
"Orang yang disukai Kogure-kun..."
"..."
"Andai bukan Shizuku..."
"Eh? Itu..."
"Zzzz..."
"Kamu tertidur di saat seperti itu. Yah, mungkin lebih baik gitu."
Asahina-san sekarang sedang lemah dan tidak punya tempat bergantung. Kebetulan hanya ada aku yang bisa dia andalkan.
Hahh... ini tidak baik untuk jantungku. Hubunganku dengan Asahina-san seharusnya hanya sebatas teman sekelas. Tapi kenapa jadi begini. Aku berdiri dan memandang Asahina-san yang tertidur. Oh iya, Hiyori pernah bilang dia senang kalau kepalanya dielus saat sedang flu. Tidak baik menyentuh gadis yang sedang tidur, tapi... Sekarang Asahina-san seperti dalam kondisi kembali ke masa kanak-kanak.
"Selamat tidur." Aku meletakkan handuk basah di dahi Asahina-san dan mengelus kepalanya seperti yang kulakukan pada Hiyori.
Aku mengelus lembut dengan harapan besok dia akan pulih dan kembali menjadi Asahina-san yang biasanya. Demamnya tidak terlalu tinggi. Mungkin besok akan turun. Dia sudah makan dengan baik. Hujan akan berhenti tengah malam... Kalau pagi sih tidak masalah, tapi aku tidak bisa pulang tengah malam dengan pintu tidak terkunci. Mungkin aku akan tidur di sofa besar di ruang tamu. Begitu bangun, aku akan bersiap dan pergi ke sana.
"Jujur... aku sedikit marah."
Di luar setelah hujan reda.
Cuaca cerah, tidak terlihat seperti semalam hujan deras. Tapi masih ada genangan air dan kelembapan tinggi. Hari Minggu dalam kondisi seperti ini, pasti dia ada di sana. Biasanya aku naik bus, jadi ternyata lebih jauh dari yang kukira, tapi aku mengayuh sepeda sampai ke sana. Seperti dugaanku, dia ada di sana.
"Selamat pagi."
"Eh!? Kogure-kun... Kenapa..."
"Otsuki-san. Boleh kita bicara sebentar?"
"Kamu bisa dimarahi kalau datang ke sekolah dengan pakaian biasa. Hari ini kegiatan klub dari pagi ya."
"Sebenarnya klub baru mulai siang nanti."
Karena langsung dari rumah Asahina-san, tentu saja aku tidak memakai seragam. Seharusnya tidak boleh, tapi setelah ini selesai aku akan pulang, jadi kurasa tidak apa-apa. Lagi pula tidak akan bicara lama. Otsuki-san biasanya selalu tersenyum cerah seperti bunga yang dia rawat, tapi hari ini senyumnya sedikit muram. Aku tahu penyebabnya. Kalau bukan karena itu, jujur saja aku akan meragukan kepribadiannya.
"Kamu bertengkar dengan Asahina-san kan?"
"!" Dia tersentak dengan jelas. Dia menatapku curiga seolah bertanya 'kenapa kamu tahu'.
"Bertengkar itu tidak baik. Asahina-san dan Otsuki-san selalu akrab, jadi sebaiknya kalian berbaikan."
"Kogure-kun."
Otsuki-san menatapku tajam.
"Ini masalah antara aku dan Alisa, tidak ada hubungannya denganmu. Jangan-jangan Alisa menceritakannya padamu?"
"Ya."
"Hee. Kalian jadi cukup dekat ya. Alisa yang itu sampai menceritakan hal kayak gitu pada laki-laki. Kogure-kun ternyata cukup pandai ya."
"Ngomong-ngomong, kemarin hujan petir kan? Kenapa kamu membiarkan Asahina-san sendirian padahal tahu dia takut petir? Menurutku itu kejam, kasihan Asahina-san."
"Kamu benar-benar membela Alisa ya. Yah, wajar sih. Alisa memang sangat manis, dan tubuhnya bagus. Kalau dia menyukaimu, mungkin aja dia bisa jadi pacarmu. Meski kelihatannya gitu, dia sebenarnya gadis polos yang mendambakan cinta."
"Kalau dapat restu dari Otsuki-san, mungkin bisa berhasil ya. Aku pandai mengurus rumah, bisa bersih-bersih, mencuci, dan menjahit. Semalam Asahina-san makan kari buatanku dengan lahap. Dia terlihat paling menikmatinya dibanding sebelumnya."
"Kamu pergi ke rumah Alisa!?"
"Kamu pikir kami cuman bicara di telepon? Tentu saja aku khawatir. Kalau mendengar suara gemetar ketakutan karena petir, siapa pun pengen menolongnya. Asahina-san punya banyak kelemahan. Semakin aku tahu, semakin aku pengen mendukungnya."
“.....”
“Biasanya Otsuki-san yang melakukan itu ya. Ah, tapi kalian sudah bertengkar dan mungkin kamu sudah tidak berguna lagi. Mulai sekarang, mungkin aku yang akan mendukungnya.”
“Eh!?”
“Kemarin dia juga manis banget. Dia bilang dia takut dan pengen bergandengan tangan. Aku terus berada di sampingnya sampai dia tertidur. Nanti aku bakal pergi menemuinya. Pasti dia bakal menyambutku dengan hangat.”
“Ugh...”
“Dia sedang bertengkar dengan sahabatnya Otsuki-san, jadi aku bakal menggantikan Otsuki-san. Mungkin Asahina-san bakal menjadi dekat denganku.”
“Apa yang kamu katakan!? Tidak mungkin Alisa menginginkan hal kayak gitu. Aku tidak bisa tanpa Alisa... Alisa juga pasti tidak bisa tanpa aku!”
Mendengar kata-kata Otsuki-san seperti itu, darah naik ke kepalaku.
“Kalau kamu berpikir begitu, kenapa kamu mengabaikannya!? Kamu tahu dia gemetar karena petir kan!? Dia kehujanan, basah kuyup dan bengong, sampai akhirnya demam. Apa kamu mengerti kondisi yang kamu buat dia alami?”
“Eh...”
“Demamnya ringan, dan sudah diobati jadi kurasa dia sudah pulih. Tapi kalau aku tidak ada, apa kamu tahu apa yang bakal terjadi pada dia yang tinggal sendiri dan kesepian?”
“...”
“Kamu bisa-bisanya bicara gitu. Kalau aku, aku tidak akan pernah membiarkannya dalam kondisi kayak gitu. Aku tidak akan membuat sahabatku kesulitan atau melepaskannya!”
“Alisa berbohong padaku.”
“...Benar. Kurasa itu sepenuhnya salah Asahina-san. Tapi... Kamu seharusnya tidak mengatakan hal-hal yang membuatnya merasa ditolak. Tidak ada hal baik yang bisa dihasilkan dari itu. Apa kamu tahu apa yang bakal terjadi kalau kamu tetap bertengkar dan canggung dengan Asahina-san?”
“Aku tahu. Kalau aku putus hubungan dengan Alisa, dia bakal sendirian.”
“Kurasa Asahina-san bakal tetap menjalani kehidupan sekolah yang lancar meskipun putus hubungan denganmu, Otsuki-san. Meskipun dia ceroboh, dia punya karisma absolut, jadi pasti banyak orang bakal berkumpul di sekitarnya. Meskipun terluka, waktu bakal menyembuhkannya, dan banyak orang bakal membantunya. Tapi saat itu, kamu tidak bakal ada di sisinya.”
“Kamu bicara seolah-olah sudah melihatnya sendiri ya.”
“Aku mengerti. Sama sepertimu, aku juga punya sahabat yang sangat berbakat, dan aku bangga melihatnya terus maju... Tapi aku sangat membenci diriku sendiri yang biasa-biasa aja. Melihat Otsuki-san membuatku kesal karena berasa kayak melihat diriku sendiri.”
“Begitu ya. Kogure-kun punya Hirasawa-kun di sisimu sih.”
“Ya, tapi aku tidak akan pernah menolak Leo. Keberadaanku ada karena Leo ada. Tidak ada yang benar-benar pengen menjadi ‘tidak terlihat’!”
Aku mengeluarkan kata-kata itu seperti memuntahkannya. Apa yang kusampaikan pada Otsuki-san juga merupakan jawaban untuk diriku sendiri. Sebaliknya, jika aku bertengkar dan bermusuhan dengan Leo, hal yang sama akan terjadi. Orang-orang akan memenuhi sekitar Leo, sementara tidak ada siapa pun di sekitarku. Benar-benar seperti udara. Otsuki-san berpikir sejenak, lalu akhirnya membuka mulutnya.
“...Sebenarnya aku menyesalinya. Padahal aku yang bakal kesulitan kalau Alisa tidak ada di sisiku, kenapa aku bersikap sok kayak begini. Aku berniat untuk minta maaf pagi ini, tapi... Aku takut ditolak Alisa jadi akhirnya aku tidak pergi.”
“...Sekarang pun belum terlambat. Lebih baik bicara dengannya. Semakin lama semakin sulit untuk mengatakannya, dan Asahina-san juga mungkin bakal semakin keras kepala. Sekarang dia masih lemah jadi pasti tidak apa-apa.”
“Benarkah? Tapi...”
Otsuki-san masih ragu. Tidak boleh menunggu. Kalau sudah hilang, tidak mudah untuk kembali. Karena itu aku mulai menceritakan kejadian di masa lalu.
“Dulu, sebenarnya aku juga punya dua teman masa kecil. Aku, Leo, dan satu orang lagi yang sangat akrab.”
“Eh?”
“Suatu hari, Leo dan anak itu bertengkar hebat. Saat itu aku berpikir mereka bakal berbaikan seiring waktu, jadi aku cuman mengamati pertengkaran dua teman masa kecilku. Tapi mereka menjadi canggung dan tidak bisa berbaikan. Terus teman masa kecil yang satunya lagi pindah karena urusan orang tuanya. Karena aku laki-laki, aku cenderung lebih dekat dengan Leo... Jadi aku juga tidak pernah bertemu lagi dengan anak itu.”
“Kamu mau bilang kami juga bakalan kayak gitu?”
“Teman masa kecilmu dan teman masa kecilku sangat mirip. Karena itu, aku tidak pengen kalian mengalami hal kayak gitu. Kalau kamu memikirkan Asahina-san, bisakah kamu bicara dengannya sekarang juga?”
“Kenapa Kogure-kun begitu pengen terlibat dengan kami? ...Jangan-jangan kamu suka pada Alisa?”
“Aku tidak suka padanya.”
“Bohong. Kalau tidak suka, kamu tidak akan berbuat sejauh ini.”
“Yang kusukai adalah hubungan Otsuki-san dan Asahina-san. Aku suka melihat dua teman masa kecil yang akrab.”
“.... Kamu tidak jatuh cinta pas pergi bermain dengan Alisa?”
“Aku sudah memutuskan untuk tidak jatuh cinta pada gadis yang sangat cantik. Cara bicaraku ini untuk mengingatkan diriku akan kesalahan di masa lalu.”
“Apa itu... Aku tidak mengerti.”
Terpesona, jatuh cinta, berusaha keras demi orang lain, lalu ditolak karena dianggap mengganggu. Karena itulah... Aku membuat dinding terhadap lawan jenis dengan cara bicara seperti ini. Selama aku tidak jatuh cinta, aku bisa tahan ditolak oleh wanita mana pun. Trauma masa SMP, jangan muncul. Sekarang itu tidak relevan. Aku sendiri tidak menginginkan apa-apa. Tidak perlu menggali masalahku lebih dalam. Aku menarik napas sejenak dan memperbaiki nada bicaraku.
“Tidak apa-apa kalau kamu tidak mengerti. Pokoknya pergilah. Aku yakin Asahina-san juga menunggu Otsuki-san.”
“Ya...”
Otsuki-san melewatiku dan berjalan ke arah gerbang sekolah. Tapi tiba-tiba dia berhenti.
“Hei, terima kasih sudah memberi kesempatan... Aku hampir kehilangan sesuatu yang penting.”
Otsuki-san berbalik dan menunjukkan senyum yang canggung. Apakah ini sudah cukup baik?
“Kalau kita ketemu lagi, tunjukkan padaku kalau kalian berdua sudah akur ya.”
“Ya, terima kasih. Tapi...”
“Eh?”
“Aku lebih disukai Alisa, dan meskipun Kogure-kun menyukai Alisa, aku tidak akan menyerahkannya dengan mudah.”
“Ternyata kamu tidak suka kalah ya...”
“Benar. Aku tidak suka kalah. Aku tidak pengen kalah dari orang dengan kepribadian yang mirip.”
Otsuki-san berlari pergi. Sepertinya Otsuki-san berlari dengan ekspresi yang lebih cerah. Aku mulai melihat esensi dari Asahina-san dan Otsuki-san. Mungkin saat bertemu Otsuki-san lagi nanti, kami bisa berbicara lebih terbuka.
Saatnya pulang. Meskipun kurang tidur, aku tidak ingin bolos kegiatan klub. Aku mengayuh sepeda pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, Hiyori menyambutku dengan pelukan “nii-nii”, aku mengelusnya sebelum kembali ke kamarku. Sesaat kemudian, jendela mulai bergetar. Apakah dia sudah menungguku? Aku menekan kepalaku sedikit dengan tangan dan membuka jendela. Seperti dugaan, sahabatku masuk.
“Ada apa, Leo?”
“Apanya yang ada apa!?”
Leo memperlihatkan ekspresi yang sangat kesal. Dia mencengkeram kedua bahuku dan mengguncangkanku.
“Kemarin petir menggelegar sangat menakutkan tapi kenapa kamu tidak datang!? Aku jadi kesepian!”
(Tln : awokawok)
“Oh, gitu.”
Benar juga. Sahabatku, Hirasawa Leo, punya trauma terhadap petir. Sejak kecil, aku sering menghiburnya saat dia ketakutan karena petir.
“Aku sampai menangis karena takut petir!”
“Terus, akhirnya gimana?”
“Hiyori menenangkanku.”
“Itu sih enak.”
Meskipun kubilang mirip, aku dan Leo pasti tidak akan bertengkar seperti Asahina-san dan Otsuki-san. Pada akhirnya, kami berdua tetaplah laki-laki dan sama-sama bodoh. Laki-laki itu sederhana ya. Itu juga sisi baiknya. Huff... Aku penasaran apakah mereka berdua sudah berbaikan.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.