Yuujin ni 500-en Kashitara Shakkin no Kata V4 chap 2

Ndrii
0

Bab 2

Cerita tentang adik teman yang datang ke rumah




"Hahh, akhirnya sampai juga."


Sudah masuk bulan September, seminggu telah berlalu.


Meskipun Agustus sudah berakhir, panasnya musim panas belum juga reda, matahari masih bersinar terik dengan menyebalkan.


Dalam situasi seperti itu, aku naik kereta dan shinkansen, menempuh perjalanan panjang, dan akhirnya kembali ke kampung halaman setelah sekitar setengah tahun.


"Nggak nyangka, cuma pulang ke rumah aja capek banget."


Mungkin karena perjalanan jauh dan panas yang menyengat, tapi yang paling penting, aku belum terbiasa dengan perasaan pulang kampung untuk pertama kalinya.


Meskipun ini kampung halaman yang familiar, rasanya anehnya jadi kangen banget.


"Ah, iya ya. Mereka berdua kan kerja..."


Ini memang pertama kalinya aku pulang kampung, tapi orang tuaku sama-sama kerja dan nggak ada di rumah siang hari.


Bukannya aku ngarep bakal disambut meriah, kalau beneran disambut juga pasti bakal malu... tapi ya udahlah.


"Aku pulang..."


Sambil buka pintu pakai kunci, aku tanpa sadar nyapa gitu.


Ya jelas nggak bakal ada yang nyaut...


"Meow."


"Hah!? Ah, Noir!"


Ada yang nyaut!


Ternyata ada kucing hitam yang familiar duduk manis di depan pintu.


Namanya Noir. Sahabat baikku sejak aku SD.


Jenisnya Bombay. Cewek. Agak rewel dan moody, tapi manja banget, kucing kesayanganku yang imut banget.


"Kamu nyambut aku ya?"


Aku nurunin barang bawaan dan ngulurin tangan, Noir langsung lompat ke pelukanku.


Terus, dia ngegesek-gesekin kepalanya ke aku kayak nyaman banget.


(Lucu banget...!!)


Aku gemes banget lihat dia manja-manjaan kayak gitu setelah lama nggak ketemu.


Tentu aja, aku nggak lupa sama dia.


Wallpaper HP-ku itu foto Noir, jadi aku lihat fotonya setiap hari.


Tapi, dia moody banget, kayak kucing pada umumnya, suka bebas sebebas-bebasnya.


Waktu aku masih tinggal di rumah, biasanya aku yang nyamperin dia, jadi jarang banget dia yang nyamperin aku duluan kayak gini, jujur aku nggak nyangka.


"Kamu kangen ya?"


"Meow."


Noir ngeluarin suara meong yang nggak jelas, bisa diartiin iya atau nggak.


Aku nggak ngerti bahasa kucing, tapi aku seneng, jadi aku anggep aja dia jawab iya.


"Ya udah, kita leyeh-leyeh bareng sampai orang tua pulang, yuk."


"Meow."


Aduh, lucu banget. Beneran lucu banget.


Dari dulu waktu tinggal bareng juga udah lucu, tapi karena lama nggak ketemu, jadi makin lucu.


"Meong..."


Noir nyender di leherku sambil aku gendong, keliatan santai banget.


Tiba-tiba aku inget video tentang 'nyedot kucing' yang pernah aku tonton waktu ngekos dulu.


Sekarang kan aku yang disedot sama kucing... 'nyedot manusia'?


Nggak tahu sih itu enak buat kucing apa nggak, tapi Noir suka nyelinap ke kasurku diam-diam malem-malem, jadi mungkin dia suka dipeluk kayak gini.


"Sedot sepuasnya ya."


Aku bisikin itu sambil ngelus punggungnya pelan-pelan, biar dia nggak kaget.


Selama aku nggak di rumah kan dia nggak bisa nyedot aku, jadi sekarang biarin aja dia manja-manjaan sepuasnya.


Aku gendong Noir ke kamarku yang dulu.


Meskipun aku udah nggak tinggal di sini, kamarku masih sama kayak dulu, bersih banget lagi.


Kasurnya juga empuk banget... Aku bersyukur banget punya orang tua kayak mereka.


Aku langsung nyalain AC, terus nikmatin udara dinginnya...


"Meow."


"Eh, Noir."


Noir lompat dari gendonganku, terus loncat ke kasur dengan lincah.


Sambil nguap lebar, dia ngibas-ngibasin ekornya.


"Kamu mau tidur siang bareng aku?"


"Meow."


"Haha, jawabannya nggak jelas banget."


Noir itu sombong dan egois, tapi kalau ketemu lagi setelah lama nggak ketemu, dia jadi manja banget.


Tapi dia keliatan beneran ngantuk, mungkin dia begadang karena seneng aku pulang...


(Apa aku terlalu positif ya?)


Aku ngomong sendiri gitu sambil ganti baju.


Terus, sambil ngelus kepala Noir yang minta digendong, aku tiduran di kasur.


Rasanya kangen banget sama kamar ini, tapi tetep bikin tenang... Kayaknya aku bakal cepet tidur karena capek perjalanan.


"Meow."


"Ugh!? Noir!?"


Noir naik ke muka aku begitu aku tiduran!


"Kamu nggak mau aku tidur ya!?"


"Nyanya~♪"


"Kamu kayaknya seneng banget ya."


Kayaknya dia lagi ketawa.


Ihh, ngerjain pemiliknya yang baru pulang.


Tapi, aku nggak mungkin ngelawan dia sampai dia beneran marah, dari awal aku pasti kalah.


Mungkin sebenernya dia yang ngendaliin aku. Tapi aku nggak masalah sih.


Sambil main-main sama Noir, aku mulai ngantuk.


Mungkin karena kecapekan habis perjalanan.


"Noir, maaf ya. Aku kayaknya mau tidur..."


Maaf ya, Noir, kayaknya kamu belum puas main.


Tapi, aku baru aja pulang.


Masih banyak waktu buat main sama kamu... aku hampir ketiduran, tapi...


──Ting tong.


"Hmm...?"


Bel rumah bunyi.


Siapa ya, paket mungkin?


Orang tuaku nggak ada, jadi aku yang harus bukain...


(Aduh, ngantuk banget... Maaf ya, tapi kayaknya aku minta paketnya dikirim ulang aja deh...)


Aku hampir tidur lagi, tapi...


──Meow.


──Plak!


Noir nampar muka aku!?


"Aww!? N-Noir!?"


"Meow, meow."


"Sakit tau, aduh, iya iya, aku bangun!"


Ihh, seneng banget ngerjain aku...


Tapi, Noir emang bener sih.


Sekarang aku udah nggak ngantuk lagi, jadi aku bangun buat bukain pintu.


"Noir, tunggu bentar ya."


"Meow."


Aku nurunin Noir, terus keluar kamar ke arah pintu depan.


Aku masih pakai baju rumah... ya udahlah, nggak apa-apa. Nggak enak kalau dia nunggu lama.


"Iya~"


Begitu buka pintu, aku baru sadar kalau aku nggak pakai interkom.


(Kayaknya aku pernah ngalamin ini sebelumnya...)


Begitu buka pintu, aku kaget banget...


"H-halo..."


"... Hah?"


Ada seorang cewek berdiri di depan pintu.


Rambut hitamnya yang lembut berkibar tertiup angin, matanya yang besar dengan bulu mata lentik berkedip-kedip... tapi, beda sama waktu itu, sekarang ekspresinya keliatan agak canggung.


"Akari-chan...?"


Dia Miyamae Akari.


Adik sahabatku, dan... pacarku.


Kayaknya dia baru pulang sekolah, soalnya dia pakai seragam yang sama kayak waktu dia ke rumahku sebulan yang lalu.


"Anu... maaf ya..."


"Nggak, nggak usah minta maaf!"


Mungkin dia ngerasa bersalah karena datang ke sini, padahal kita udah janji nggak ketemu dulu selama aku di rumah.


Ya, jujur aja, aku kaget banget dia dateng di hari pertama aku pulang.


"Tapi, kok kamu bisa di sini? Kamu tahu alamat rumahku?"


"E-enggak. Anu, itu... anu..."


Akari ngalihin pandangannya dengan canggung.


Kayaknya ada sesuatu nih.


Setelah ngobrol di telepon kemarin, nggak mungkin Akari dateng ke sini sendirian.


Pasti ada yang ngasih tahu alamat rumahku ke dia, terus nyuruh dia ke sini...


(Subaru, Yui-san... Ah, kayaknya ada satu orang yang pasti ngelakuin ini.)


Aku ngelihat ke arah bayangan di samping pintu, ada orang yang nyembunyiin badannya tapi rambutnya keliatan.


"Pasti kamu kan, Minori."


"Ups."


Rambutnya goyang-goyang, terus Minori keluar dari tempat persembunyiannya.


"Cepet banget sadar."


Minori ngehela napas dengan kesal.


Dia nggak keliatan bersalah sama sekali.


"Kamu nih... Jangan nyusahin Akari-chan dong."


"Wih, sok jadi pacar idaman. Harusnya kamu peluk sama cium dia pas ketemu lagi."


"Cium!? A-Akari-chan!!"


"Yah, kayaknya Akari nggak bakal kuat kalau digituin."


Minori ngangkat bahu, terus nyelonong masuk ke rumah sambil lewat di antara aku sama Akari.


"Heh, seenaknya banget."


"Hm? ... Oh. Maaf ya, permisi."


"Bukan itu maksudnya."


Aku mau negur dia karena masuk rumah orang tanpa izin, tapi percuma aja ngomong sama Minori,


"Aku ke toilet dulu ya."


"... Silakan."


Aduh, rasanya kayak baru pulang ke rumah.


Aku kesel karena Minori seenaknya, tapi aku juga udah terbiasa sama kelakuannya.


"Ck... Akari-chan, masuk juga gih."


"B-boleh?"


"Iya. Kan kamu udah jauh-jauh dateng ke sini."


Sebenernya aku mikir harusnya aku tegas sama Akari karena dia kan lagi belajar buat ujian, tapi aku nggak tega ngusir dia di tengah panas gini, lagian Minori juga udah masuk... ya udahlah, ngikutin arus aja. 



"Astaga... Rumah orang tua Senpai...!"

"Nggak usah tegang gitu. Orang tua aku nggak ada kok."

"Kita berdua doang...!!"

"Ya, tapi ada Minori juga sih."

Aku nggak bisa nggak ngasih komentar ke Akari yang keliatan kayak lagi mimpi.

Pas lagi ngobrol gitu, Minori yang tadi udah masuk duluan balik lagi.

"Akari, ngapain masih berdiri di situ? Ayo masuk."

"Kamu nih..."

"Udah, biarin aja. Motomu kan baru pulang, biarin dia istirahat."

"Apaan sih, sok perhatian banget."

Minori ngegandeng tangan Akari sambil ngabaikan protesku.

"A-Akari-chan~"

"Kamar Motomu ada di lantai dua ya."

"Kamar Senpai!?"

"Kamar tempat Motomu tinggal dari lahir sampai lulus SMA."

"Kamar tempat Senpai dibesarkan...!!"

"Gampang banget kamu dihasut!?"

Mata Akari berbinar-binar waktu digoda sama Minori.

"Ya udah, ayo ke ruang tamu dulu."

Aku ngerasa nggak aman kalau langsung ngajak mereka ke kamar (terutama gara-gara Minori), jadi aku putusin buat bawa mereka ke ruang tamu aja.

(Kayaknya di rumah masih ada teh barley deh? Semoga kulkasnya nggak kosong...)

Meskipun baru pulang dan belum tahu apa-apa tentang kondisi rumah, aku langsung ke dapur buat nyiapin minuman buat mereka.



◇◇◇



"Nih, silakan."

Aku ambil dua gelas, terus nuangin teh barley yang untungnya masih ada di kulkas, dan naruh gelasnya di meja.

"Makasih, Senpai."

"Hmm."

Yang pertama itu Akari, yang kedua Minori.

Reaksinya aja beda, bikin aku semangat... Aku juga harus belajar bilang makasih kalau ditolongin orang lain.

"Wah, enak banget..."

Akari minum seteguk, terus langsung ngangkat muka sama melotot.

Teh barley buat dia spesial dong. Aku udah belajar selama sebulan, jadi aku tahu takaran gula yang dia suka.

"Hehe."

Aku ikut senyum ngelihat dia seneng.

Minori ngelihat kita berdua, terus ngehela napas kayak sebel.

"Pacaran mulu deh."

"Nggak gitu kok. Eh, Minori, kamu tahu dari mana kalau aku pulang hari ini?"

"Iya. Tante yang kasih tahu."

Udah kuduga, Mama emang cerewet.

"Terus aku mau ngajak kamu main, eh Akari juga mau ikut."

"Abisnya..."

Akari cemberut.

Kayaknya Minori nggak ngajak Akari secara langsung, tapi ngebuat Akari pengen ikut sendiri.

Aku bisa nebak itu karena Minori itu pinter banget, dan Akari gampang banget ketebak.

"Tapi, Minori, kamu kan juga harus belajar buat ujian. Meskipun kamu ngincer jalur rekomendasi, belum tentu keterima, kalau nggak keterima kan kamu harus belajar lagi buat ujian tulis..."

"Nanti aja belajarnya kalau udah kejadian."

"Itu namanya nggak siap dong."

"Apa? Motomu nggak percaya aku bisa keterima jalur rekomendasi?"

"Bukan gitu... Aku kan bilang kalau-kalau aja. Kamu kan kalau mau pasti bisa."

"Idih, cara ngomongnya nyebelin banget."

"Kan emang bener?"

"Lebih tepatnya, aku bakal belajar kalau lagi mood."

Nggak mau ngalah nih anak...

Minori senyum miring, kayak nantangin.

Tapi ya, mungkin bener juga kata dia, aku terlalu khawatir.

"Hmm..."

"Eh, Akari-chan, kayaknya kamu lagi melotot ke arahku deh...?"

"Tsun."

Akari langsung malingin muka. Mukanya cemberut gitu.

"Akari, kamu cemburu ya?"

"Nggak ya. Aku kan tahu kalau kalian deket. Aku nggak peduli kok kalau Senpai sama Ricchan ngobrol berdua, seru-seruan."

... Kayaknya dia emang cemburu.

"Jangan gitu dong, Motomu-kun. Jangan cuekin pacarmu terus deketin cewek lain."

"Kamu juga kena omel tuh. Lagian aku nggak deketin siapa-siapa kok."

"Tsun."

"Eh..."

Akari makin cemberut... atau lebih tepatnya, dia kayak minta perhatian...?

"Eh, Akari-chan, belajarnya lancar?"

"Biasa aja."

Dia ngeyel banget.

Kalau lagi kayak gini, Akari keras kepala banget.

Nggak bakal mempan kalau aku atau Minori yang berusaha ngehibur dia.

Kayaknya bakal lama nih...

"Meow."

Mungkin Noir ngerasa berisik, atau mungkin dia bosen karena aku lama nggak balik.

Sambil meong dengan malas, Noir masuk ke ruang tamu.

"Kucing!?"

Akari yang pertama kali nyaut.

Dia langsung loncat-loncat, terus lari ke arah Noir kayak predator yang nemu mangsa──

"... Hah!?"

Dia berhenti tepat sebelum meluk Noir.

"I-ini... anu...!"

Akari pelan-pelan noleh ke arah kita, kayak ragu-ragu gitu.

Dia pengen meluk kucing. Tapi, dia malu kalau tiba-tiba berubah sikap setelah tadi sok jutek.

Aku bisa ngerasain konflik batinnya.

Yah, tapi... menurutku sih dia nggak perlu malu gitu.

"E-eh..."

Akari ragu-ragu, kayaknya dia takut banget.

Noir lewat aja di samping dia, terus nyamperin aku.

"Wah, Noir, lama nggak ketemu."

Tapi sebelum sampai ke aku, Minori langsung ngambil Noir duluan.

"Meong!"

"Udah, jangan berontak. Kamu seneng kan ketemu aku lagi?"

Minori ngangkat Noir dengan santai, meskipun Noir ngeong-ngeong kayak nggak suka.

Mereka berdua sebenarnya nggak musuhan... cuma suka bercanda kayak gitu aja.

"Nya, Nya-chan..."

Akari ngelihat Minori dengan iri.

Kayaknya dia udah lupa sama ke-jutek-an-nya tadi. Good job, Noir.

"A-Akari-chan, aku juga mau megang Nya-chan──"

"Wah, Noir."

Noir ngeliat-liat, terus langsung ngelepasin diri dari pelukan Minori.

"Ah..."

Akari kecewa karena kehilangan kesempatan lagi.

Noir yang udah bebas langsung nyamperin aku dan nyakar-nyakar kaki aku.

Kayaknya dia mau aku gendong...

"Uuu..."

Akari masih ngelihatin Noir dengan sedih.

Kasihan sih, tapi Noir bukan tipe yang bisa dirayu-rayu gitu.

(Aha!)

Aku gendong Noir.

Beda sama waktu digendong Minori, Noir langsung keliatan santai.

Oke, kayaknya sekarang aman.

"Akari-chan."

"Eh?"

"Dia agak rewel sih, tapi kalau cuma dielus-elus doang nggak apa-apa kok."

"Beneran!?"

"Iya, tapi pelan-pelan ya?"

"O-oke...!"

Akari ngangguk sambil gugup, terus pelan-pelan ngulurin tangannya ke arah Noir.

Aku jadi ikut gugup ngelihatnya, tapi kalau aku gugup, Noir juga bakal nggak tenang, jadi aku berusaha buat tetap santai.

"Aku pegang ya... hiya!"

Akari nyentuh kepala Noir pelan-pelan pakai jarinya.

Noir... kayaknya nggak masalah.

"Bulu-nya halus banget ya."

Akari terus noel-noel kepala Noir sambil ngomong gitu.

Tapi, karena Noir nggak masalah, Akari jadi lebih santai, dan sekarang dia berani megang pakai telapak tangannya.

"Anget...!"

"Meow~"

"A-aku gelitikin kamu ya!?"

Padahal Noir cuma nguap, tapi Akari kaget sampai bahunya naik.

"Jangan-jangan, ini pertama kalinya kamu megang kucing?"

"Nggak kok! Cuma, aku nggak punya temen yang punya hewan peliharaan... jadi aku nggak punya banyak pengalaman..."

Akari ngaku dengan nada khawatir.

Dia kayaknya takut, mungkin karena takut Noir diambil kalau dia nggak bisa megangnya, atau mungkin karena dia punya perasaan khusus sama hewan peliharaan.

(Waktu festival kembang api, dia juga khawatir banget sama ikan mas yang kita dapet.)

Pas aku masih sering kontak sama dia, dia sering banget nanyain kabar ikan mas itu.

Kayak, "Masih sehat kan ikannya?" atau "Aku juga mau kasih makan dong."

Dulu waktu Noir pertama kali dateng ke rumah, aku juga khawatir nggak bisa ngerawat makhluk sekecil itu, takut nyakitin dia.

Rasanya nostalgia banget, dan aku seneng karena Akari perhatian banget sama Noir.

"Tenang aja."

"Senpai..."

"Noir itu kalau nggak suka pasti bilang kok. Kamu nggak perlu terlalu khawatir."

Aku bisikin itu biar Akari tenang.

Noir keliatan agak ngantuk.

Biasanya kalau ngantuk dia suka rewel, tapi kalau lagi tidur di gendonganku gini, dia jadi nurut banget.

Akari ngeliatin Noir, terus ngulurin tangannya lagi.

Pelan-pelan, kayak nyentuh barang pecah belah, dia ngelus kepala Noir yang kecil pakai telapak tangannya.

"Meow..."

"Kayaknya nyaman... Nggak apa-apa kan?"

"Iya. Dia lagi santai kok."

"Syukurlah... Hehe."

Akari kayaknya udah tenang, dia terus ngelus kepala Noir sambil senyum.

Kayaknya dia udah kena pesona kucing.

Kucing, atau anjing juga sih, emang bikin kita tenang ya kalau dielus-elus.

Bulu-bulunya lembut banget... Aku juga sering mikir, bisa nggak ya bawa Noir ke kosan.

Tapi, ngurus hewan peliharaan sendirian itu susah, terus sekarang ada ikan mas di rumah yang nggak cocok sama kucing, jadi nggak mungkin deh.

Ngomong-ngomong, ikan mas itu aku titipin ke Yui-san selama aku pulang kampung.

Pasti hidupnya lebih nyaman di sana daripada diurusin sama aku.

Yui-san bilang, "Aku pinjem tiga ya♪" sambil senyum lebar... Sampai sekarang aku nggak ngerti kenapa harus tiga.

(Eh, kok tumben sepi ya?)

Tiba-tiba aku inget kalau ada satu orang lagi di sini.

Orang yang nggak bisa diem...

"......"

"Kamu ngapain?"

Orang itu, Sakurai Minori, lagi natap layar HP-nya.

"... Ah, lanjutin aja urusan kalian."

"Nggak bisa, aku penasaran."

"Ricchan, jangan-jangan... kamu lagi ngerekam ya?"

"Ketahuan deh."

Minori ngehela napas, terus mencet layar HP-nya.

Kayaknya dia matiin rekamannya.

"Aku ngerekam karena kalian berdua romantis banget."

"Romantis?"

"Iya, kayak pasangan suami istri yang lagi sayang-sayangan sama bayi mereka."

"Hah!?"

Minori nunjukin HP-nya, dan bener aja, kita berdua keliatan kayak gitu kalau Noir dianggap bayi.

"A-apaan sih, Ricchan!?"

"Nanti di pesta pernikahan kalian, aku bakal kasih narasi, 'Ini adalah pasangan yang sedang berlatih mengasuh bayi dengan kucing kesayangan mereka, berharap suatu hari nanti akan dikaruniai anak'."

"Bohong banget!"

Noir kaget denger aku ngomong gitu, terus dia lompat dari gendonganku.

"Nggak peduli faktanya gimana, semua orang bakal percaya sama omongan aku di pesta pernikahan kalian."

"Eh, tapi kita kan belum ngomongin soal nikah."

"I-iya tuh, Ricchan! Itu masih jauh banget..."

"Masa sih, Akari juga bilang gitu? Ya udah deh, tadinya aku mau kirim video ini ke Akari, tapi..."

"Aku mau! Kirim ke aku!!"

Akari langsung nunduk dalam-dalam.

Keliatan banget dia pengen video itu...

Noir ngumpet di belakang aku sambil ngelihat Akari yang lagi berusaha keras gitu.

"(Eh, jangan-jangan dia jadi takut sama aku karena ini...)"

Aku ngerasa kayak gitu, tapi Akari pasti sedih kalau tahu, jadi aku simpen aja perasaan ini dalam hati.



◇◇◇



"Ya udah, mulai sekarang aku bakal sering main ke sini ya."

Setelah semua kekacauan tadi, akhirnya suasana jadi tenang, terus Minori ngomong gitu.

Kayaknya dia baru aja ikut tes masuk jalur rekomendasi kemarin, jadi dia bakal banyak waktu luang sampai hasilnya keluar.

Artinya, "sering" yang dia maksud itu pasti hampir setiap hari.

Dan kalau gitu... cewek yang duduk di sebelahnya pasti nggak bakal tinggal diam.

"Kalau Ricchan dateng, aku juga mau dateng!"

Akari teriak sambil gebrak meja.

"T-tapi, Akari-chan. Belajarnya gimana?"

"Ya belajar di rumah Senpai lah."

"Tapi, kalau nilai kamu jadi turun gimana..."

"Ugh...!? T-tapi, aku nggak bisa biarin Ricchan sama Senpai main berdua doang!"

Akari cemberut sambil ngembangin pipinya.

"Aku kan juga pacar Senpai. Liburan udah selesai, tapi aku masih bisa di sini sama Senpai... Masa aku nggak boleh ketemu Senpai sih!?"

Akari ngomong dengan nada melas, matanya berkaca-kaca.

Aku seneng banget dia sayang sama aku kayak gitu, tapi... apa aku boleh seneng kayak gini?

Aku udah ngeganggu waktu belajarnya bulan Agustus, terus sekarang September juga... gimana kalau nanti dia kenapa-napa gara-gara aku──

"Gini aja deh."

"Ricchan!?"

"Sebelum Motomu pulang, Akari harus kerjain soal-soal ujian masuk universitas yang aku siapin, terus hasilnya kita anggep sebagai hasil belajarnya selama liburan."

"Oh... Nilai ujian masuk lebih penting daripada nilai tes simulasi, kan!?"

"Tentu aja, Akari nggak boleh nyari jawabannya duluan ya. Tapi aku yakin kamu nggak bakal curang kok."

"Aku nggak bakal curang kok, sumpah!"

Hmm, mereka ngobrol berdua aja nih... Jadi intinya, mereka mau ngetes Akari buat mastiin nilainya nggak turun atau malah naik, ya.

Kayaknya bagus juga sih. Akari pasti bakal lebih semangat kalau ada tujuan yang jelas, dan aku juga bakal tenang kalau hasilnya bagus.

"Tapi, kalau nggak berhasil, ada hukumannya ya."

"Hah!?"

"Ya iyalah. Ujian masuk kelas 3 cuma sekali. Kalau nggak mau ngulang tahun depan, kamu harus belajar mati-matian."

Kamu yang ngomong gitu padahal hasil ujian rekomendasinya aja belum keluar.

"H-hukumannya apaan...?"

"Hmm..."

Minori ngejawab sambil megang dagunya, kayak lagi mikir sesuatu yang jahat.

"Biasanya kan lebih serem kalau hukumannya dirahasiain sampai nanti?"

"I-iya sih, serem..."

"Ya udah, gitu aja. Tapi aku yakin Akari pasti bisa kok."

"Kayaknya kamu nggak yakin deh!?"

Jadi, hukumannya bakal kejutan nanti.

Kayaknya dia punya ide yang jahat banget, atau malah belum kepikiran apa-apa.

"Oh iya, tentu aja, kalau berhasil, ada hadiahnya juga."

"Hadiah!?"

Akari lebih heboh pas denger soal hadiah daripada soal hukuman.

Kayaknya buat Akari yang gampang tergoda, hadiah emang lebih bisa bikin semangat daripada hukuman.

"Akari, kalau boleh tahu, kamu lebih pengen tahu yang mana, hukuman atau hadiah?"

"Hadiah!"

"W-wah, cepet banget jawabnya."

Akari banget sih.

Tapi, kalau dia berharap banyak gini, hadiahnya harus yang bagus banget nih.

Kira-kira Minori mau ngasih apa ya...

"Hadiahnya, Motomu yang bakal ngasih."

"Aku!?"

"Yeay!!"

Aku kaget karena tiba-tiba dilempar tanggung jawab gitu. Akari malah teriak kegirangan.

"Ngasinya apaan?"

"Ya nanti dipikirin aja."

Aku agak curiga sama cara ngomongnya yang datar, tapi kayaknya dia nggak bakal ngalah.

Hadiah... hadiah ya...

Jujur aja, aku nggak tahu harus ngasih apa biar dia puas...

"Oke deh, nanti aku pikirin."

"Beneran!?"

"Tapi, kamu harus belajar yang bener ya."

"Siap! Kalau gitu... Selama Senpai di sini, aku boleh main ke sini lagi, kan?"

"Iya. Kalau aku ada di rumah, boleh kok."

Selama pulang kampung, aku juga ada janji ketemu sama temen-temen di sini, jadi nggak bisa setiap hari sih.

"Ya udah, nanti aku kabarin kalau mau ke sini lagi. Hehe, rasanya aneh ya bisa sering-sering main ke rumah Senpai."

"Iya juga sih."

Bulan Agustus kemarin kan kita tinggal bareng, jadi sekarang harusnya biasa aja, tapi kok aku jadi gugup gini ya ngundang dia ke rumah.

"Ckck... Udah mulai masuk ke dunia sendiri lagi nih."

"Ah... Maaf, Ricchan."

"Ngomong-ngomong, aku juga bakal sering ke sini buat mastiin kakakku nggak macem-macem sama sahabatnya. Oke?"

Aku pengen bilang, "nggak bakal lah", tapi kayaknya Minori nggak peduli sama alasannya, jadi aku biarin aja.

"Eh, kayaknya bentar lagi Ayah sama Ibu pulang deh?"

"Oh iya, udah sore ya."

"Hah!? Orang tua Senpai!?"

Akari langsung berdiri sambil benerin rambutnya.

Terus...

"Nggak mungkin!!"

"Hah?"

"Aku nggak siap ketemu orang tua kamu sekarang! Aku belum siap mental, belum siap apa-apa!!"

"Nggak usah segitunya kali..."

"Harus segitunya lah!"

Akari keliatan pucet banget.

"Buat orang tua kamu, aku kan cewek aneh yang tiba-tiba tinggal bareng anak mereka terus jadian sama dia tanpa mereka tahu!"

"Itu... Nggak gitu juga kali."

"Tapi kan bener."

Minori, nggak bisa ya lebih pengertian dikit.

"Kalau mau kenalan sama orang tua Senpai, aku harus jadi orang yang bisa dibanggain dulu... Misalnya, masuk universitas, terus bikin perusahaan waktu masih kuliah! Terus setahun kemudian perusahaannya go public, masuk daftar 100 perusahaan paling top sedunia, terus dapet penghargaan dari pemerintah, terus gajinya jadi 100 juta yen per tahun..."

"Mimpi kamu ketinggian!?"

Kalau kamu sukses kayak gitu, nanti orang tua aku malah khawatir kamu beneran mau pacaran sama aku apa nggak!

"Uuu..."

"Ya... mungkin kamu cukup lulus ujian masuk aja kali ya?"

"Gitu ya...?"

Jujur aja, aku juga nggak tahu jawabannya, tapi aku ngerti kalau sekarang bukan waktu yang tepat buat kenalin Akari ke orang tuaku. Terutama karena alasan mental.

Dia udah banyak banget yang harus dipikirin, kalau ditambah lagi, bisa-bisa dia panik.

Lagian, kenalan sama orang tua itu nggak harus sekarang juga, kan... Iya kan?

"Ya udah, kayaknya aku sama Minori pamit dulu ya..."

"Iya, oke."

"Kalau gitu aku──"

"Ricchan juga harus pulang ya!"

Sebelum aku nanya, Akari udah keburu narik tangan Minori.

"Eh, Akari."

"Senpai, aku pamit dulu ya! Nanti aku ke sini lagi!"

Akari ngambil tasnya, terus narik Minori keluar rumah.

Kayaknya dia nggak mau ketemu orang tuaku... Bener-bener deh, kalau ada maunya langsung dilakuin.

"Meow~"

"Ah, Noir. Maaf ya, tadi berisik banget."

Noir ngeliatin aku sambil ngegaruk mukanya, kayak bilang, "Apaan sih?".

Mungkin dia agak terganggu sama suasana tadi, tapi buat aku, kejadian tadi lumayan menyenangkan.

Meskipun ngomong macem-macem, sebenernya aku seneng bisa ketemu Akari lagi... Nggak sadar aku jadi senyum-senyum sendiri.

(Tadinya aku pulang cuma karena kewajiban... tapi kayaknya bakal lebih seru dari yang aku kira.)

Sambil mikirin itu, aku gendong Noir yang lagi ngetok-ngetok lantai pakai kakinya karena kesel.














Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !