Bab 3
Cerita tentang adik teman dan junior yang menjadikan rumahku tempat Nongkrong
Akari dan Minori selalu datang ke rumahku di sore hari pas hari kerja.
Liburan udah selesai, dan sekarang mereka lagi sibuk-sibuknya belajar buat ujian masuk.
SMA MeiRicchan, tempat mereka sekolah, bakal ngadain festival budaya akhir September, jadi sekarang mereka nggak ada pelajaran siang buat persiapan festival.
Tapi, anak kelas tiga yang lagi persiapan ujian nggak wajib ikut festival, jadi banyak yang belajar sendiri di kelas atau di rumah, atau ikut bimbel.
Tahun lalu aku juga kayak gitu. Cuma denger ceritanya aja udah bikin aku inget masa-masa belajar yang nggak pengen aku ulang lagi.
"Yah, tapi itu nggak berlaku buat aku sih."
Itu kata Sakurai Minori, yang sekarang kelas tiga SMA dan harusnya lagi sibuk belajar buat ujian.
Dia malah tiduran di sofa rumahku sambil makan es krim.
"Subaru juga pernah ngomong gitu buat mancing aku."
Meskipun mereka nggak mirip, tapi soal kemampuan mancing-mancing orang, mereka berdua mirip banget.
Dan yang lagi dimancin-mancin sekarang bukan aku──
"Grrr... Hmph...!"
──tapi Akari, yang lagi ngerjain soal-soal di meja.
Kayaknya dia langsung ke sini habis pulang sekolah. Mereka berdua masih pakai seragam, dan ngejadiin rumahku yang cuma ada aku ini tempat nongkrong.
Tentu aja, Akari ke sini buat belajar untuk ujiannya nanti.
Kalau Minori... ya, palingan cuma buat leha-leha.
"Sini Noir, naik-naik."
"Meow..."
Setelah abisin es krimnya, Minori mulai main sama Noir.
Dulu waktu pertama ketemu, Noir jutek banget, tapi sekarang dia udah pasrah aja diajak main sama Minori.
Kayak bukan kucingnya sendiri... Padahal ini kan rumahnya Noir.
"Uuu..."
Akari ngeliatin Minori sama Noir main sambil curi-curi pandang.
──Aku juga mau akrab sama Noir!
Aku kayak bisa denger isi hatinya.
Jujur aja, Akari dihindarin sama Noir.
Kayaknya sih, karena Akari itu ekspresif banget, jadi Noir ngerasa takut sama dia.
Itu cuma salah paham, dan aku pengen banget mereka bisa akrab, tapi kayaknya butuh waktu lama...
"Meow!"
"Ah, kabur."
Aku lagi main HP sambil mikirin itu, terus tiba-tiba Noir loncat ke pangkuanku.
"Noir~, jangan kabur~"
"Eh, Minori!?"
Minori ngejar Noir, terus ikutan loncat ke pangkuanku!?
Noir langsung menghindar, tapi Minori jatuh di pangkuanku, dan megang Noir.
"Mau ngalahin aku? Nggak semudah itu."
"Meow..."
Noir ngehela napas kayak udah nyerah, terus Minori mulai mainin dia lagi... sambil tetep duduk di pangkuanku.
"Minori, turun dong."
"Ih, nggak mau ah."
"Meow."
"Tuh, Noir juga bilang nggak apa-apa."
Noir nyebelin banget, dia ngajak aku buat jadi sekutunya karena nggak mau sendirian yang jadi mainan...
(Nggak, nggak. Abaikan aja. Dia makin ngelunjak kalau ditanggepin.)
Aku ngomong gitu dalam hati, terus lanjut main HP.
"Kamu nge-read aku? Jahat banget... Meong, meong, meong."
Minori pindah posisi, sekarang dia duduk sambil senderan di kaki aku, terus ngangkat Noir dan nyodorin ke aku.
"Majikannya nge-read aku~"
"Kamu mau apa sih?"
"Nggak ada apa-apa kok~"
Aduh, nyebelin banget sih!
Tapi, karena ini Noir, aku nggak bisa ngelawan takut dia kenapa-napa, jadi aku cuma bisa diem aja──
"Hmm..."
Hah!?
Akari nggak cuma ngelirik lagi, tapi sekarang dia natap aku dengan mata setengah terbuka!?
"M-maaf! Berisik ya...?"
"Bukan gitu."
Suaranya datar kayak ditahan-tahan, bikin aku merinding.
"Lho, nggak belajar?"
"Mana bisa belajar kalau kayak gini!!"
Noir sampai kaget denger teriakan Akari yang tulus banget.
Aku juga sepemikiran, tapi──
"Itu tandanya kamu nggak konsentrasi."
Cuma Minori yang masih santai, malah ngomong yang bikin orang kesel.
"Aku konsentrasi kok! Lagian Ricchan, kamu sama Senpai mesra-mesraan banget sih!"
"...? Mesra-mesraan apanya?"
"Mesra lah!? Jelas-jelas mesra!!"
Minori memiringkan kepalanya, kayak beneran nggak ngerti apa yang dibilang Akari.
Jujur aja... aku juga nggak ngerti.
Aku nggak ada niatan mesra-mesraan sama Minori, kita cuma bercanda-bercandaan kayak biasa aja.
"Aku nggak pernah lihat Ricchan manja-manjaan sama orang lain sambil niruin suara kucing. Beda banget sama sifat aslinya."
"Ugh..."
Minori jadi takut!?
Tapi... emangnya aneh ya?
Memang sih, bulan lalu waktu Minori main ke sini dia nggak kayak gitu, tapi waktu SMP, atau kalau lagi main sama Noir, dia suka bersikap kayak gitu.
Mungkin itu tandanya dia lagi santai kalau sama Noir.
"Oh gitu ya. Ternyata Ricchan bisa nunjukin sisi kayak gitu juga ya kalau sama Senpai...?"
"Bentar, Akari. Dengerin dulu."
"Ngomong-ngomong, aku punya video Ricchan lagi manja-manjaan sambil niruin suara kucing nih."
"Kamu ngerekam!?"
"Kalau aku nggak sengaja upload ini ke grup kelas... Hehe, Ricchan pasti bakal makin populer deh."
Akari senyum puas, kayak menang lotre.
Dia nggak keliatan marah, malah kayak seneng.
"I-itu bukan gitu. Ini tuh... waktu SMP aku sering main ke rumah Motomu-kun──maksudnya, main sama Noir, jadi kebiasaan itu muncul lagi aja, nggak ada maksud apa-apa kok. Biasa aja. Semua orang juga pasti punya sisi kayak gitu. Nggak aneh kok."
"Keliatan banget kamu lagi panik."
"Hmm? Berarti aku boleh tunjukin video ini ke semua orang dong, Ricchan? Kan kamu bilang biasa aja. Semua orang pasti punya sisi kayak gitu. Pasti mereka bakal ngerti deh."
Akari terus senyum sambil memojokkan Minori, meskipun Minori udah ngejelasin panjang lebar.
Minori ngalihin pandangannya, keringet dingin mulai keluar dari mukanya──
"Maaf. Maafin aku."
Minori langsung sujud, harga dirinya jadi taruhan.
Noir yang digendong sama dia kayak barang persembahan, ngeong nggak nyaman, "Meow".
◇◇◇
Menjelang sore──
"Hahh, akhirnya selesai juga tugas hari ini!"
Beberapa saat kemudian, Akari bersuara dengan nada puas.
"Kerja bagus. Nih, tehnya."
"Makasih, Senpai. Eh, Ricchan mana?"
"Tuh, di sana."
Aku nunjuk ke arah sofa.
Minori lagi tidur pules di sofa, kayak di rumah sendiri.
"Awalnya sih dia kalem."
"Masa sih?"
"Nggak nyampe semenit langsung berubah."
"Ya, Ricchan banget sih."
Akari senyum kecut sambil minum teh barley.
"Tapi, aku seneng banget hari ini bisa lihat sisi imutnya Ricchan. Aku sampai ngerekam dia diam-diam."
"... Agak nggak nyangka sih."
"Hah?"
"Aku kira kamu bakal marah waktu itu."
"Marah? Kenapa?"
Akari memiringkan kepalanya dengan bingung──terus langsung ngerti.
"Senpai, jangan-jangan... Senpai kira aku cemburu karena Senpai deket-deket sama Ricchan?"
Akari senyum ngeledek.
Tapi, senyumnya bukan senyum jahat, lebih kayak senyum hangat dan polos.
Pokoknya, senyum khas Akari lah.
"Berarti Senpai peduli banget ya sama aku!"
"Gitu... ya?"
"Iya dong!"
Akari senyum lebar, kayak mau nyanyi aja saking senengnya.
"Aku sih emang agak cemburu ngelihat Senpai sama Ricchan deket banget, tapi kan aku pacarnya Senpai? Aku harus percaya sama Senpai dong!"
"Dewasa banget..."
"Lagian, aku bukan orang jahat yang bakal misahin Senpai sama sahabatnya cuma karena kita pacaran."
Sahabatnya yang berharga... Maksudnya hubungan kita yang kayak kakak-adik itu kali ya.
Aku nggak tahu seberapa penting hubungan itu buat Minori, tapi kayaknya sih dia cukup deket sama aku, soalnya dia mau nunjukin sisi yang biasanya nggak dia tunjukin ke orang lain, bahkan sampai tidur di rumahku.
"Tapi, jangan kelewatan ya! Aku nggak terima kalau Senpai nyuruh aku belajar terus, tapi malah asyik-asyikan sama Ricchan!"
"Ba-baik!"
"Nih, lihat! Aku udah ngerjain banyak soal hari ini!"
Akari nunjukin buku catatannya yang tadi dia buka.
Padahal cuma sejam dua jam, tapi dia udah ngerjain banyak banget. Dia bahkan udah ngoreksi sendiri, dan jawabannya bener semua.
"Wah, banyak banget..."
"Iya, kan!? Gimana!?"
Akari nanya sambil maju ke depan, matanya berbinar-binar.
Aku langsung tahu dia mau apa, terus senyum kecut.
"Harusnya kamu nunggu menang taruhan sama Minori dulu baru dipuji."
"Ih... Nggak apa-apa dong, sekali ini aja! Lagian Ricchan juga lagi tidur! Katanya kan belajar itu paling bagus kalau sedikit-sedikit tapi sering!"
"Gitu ya?"
"Iya dong! Lagian... Aku pengen dipuji sama Senpai, makanya aku semangat belajar. Kalau nggak dipuji, nanti aku nggak semangat lagi..."
Akari ngancem pakai motivasi belajarnya.
Intinya, dia kayaknya sedih banget karena nggak dapet reaksi yang dia harepin.
"Ya udah deh, nggak apa-apa."
Aku nggak tega ngelihat dia sedih, akhirnya aku ngalah.
Aku ngehela napas, terus ngulurin tangan buat ngelus kepala Akari.
"Kamu hebat banget, Akari-chan."
"Ehehe..."
Dulu waktu kita tinggal bareng, aku sering ngelakuin ini kalau dia minta, tapi sekarang rasanya beda karena kita udah pacaran.
Tapi, Akari keliatan seneng banget, kayak bahagia... Aku jadi pengen ngelakuin lebih banyak lagi buat dia──
──Pling!
"Hah! Ricchan!?"
"Hehe, dapet yang bagus nih."
Minori, yang nggak tahu sejak kapan bangun, nyengir sambil ngarahin kamera HP-nya ke kita, kayak Akari tadi.
Kayaknya dia mau bales dendam.
Dia nggak mau kalah gitu aja...
"Akari minta dielus-elus kepalanya sama pacarnya. Hehe, fans-nya pasti bakal pingsan kalau lihat ini."
"Aku nggak punya fans! Udah ah, hapus!"
"Hmm... gimana ya~"
Mereka berdua mulai ribut, sekarang posisinya kebalik sama yang tadi.
Aku ngelihatin mereka berdua yang akrab banget, terus jadi kepikiran gimana ya kehidupan Akari di sekolah.
◇◇◇
Beberapa hari telah berlalu sejak kepulanganku ke rumah.
Aku menghabiskan waktu bersama keluarga, sesuatu yang biasa kulakukan sebelum masuk kuliah.
Bermain dengan teman-teman yang tetap tinggal di sini, atau yang pulang kampung sepertiku.
Rasanya seperti kembali ke masa lalu saat aku masih tinggal di sini.
Tapi, melihat Akari dan Minori yang masih SMA dan memakai seragam sekolah, aku sadar kalau aku sudah berbeda dengan mereka.
Meskipun cuma beda satu tahun, kalau sekarang aku pakai seragam SMA, itu cuma jadi cosplay doang. Yah, nggak mungkin juga sih aku pakai seragam lagi.
"Nih, Noir-chan. Mainan kayak tongkat bulu nih~"
"Ah, nggak mempan. Dicuekin total."
"Kok gitu sih!?"
Sekarang mereka berdua lagi main sama Noir... eh, lebih tepatnya sih Noir yang mainin mereka.
Kayaknya Noir udah mulai terbiasa sama Akari, tapi dia masih menghindar dengan sikap dinginnya yang khas.
"Hmm... Padahal dia nurut banget sama Ricchan. Aku rasa aku kelihatan lebih baik hati daripada Ricchan deh."
"Penampilan itu nggak penting. Akari kan baru kenal Noir. Ya kan, Noir?"
Minori bilang gitu dengan bangga sambil dadah-dadah ke Noir.
"......"
"Woi, jangan dicuekin dong."
"Meow."
"Aduh!"
Minori nyoba nyentuh Noir, eh malah ditampol.
Kayaknya Noir udah punya hierarki sendiri... dan tentu aja, Noir yang paling atas.
"Motomu-kun. Aku ditampol."
"Mungkin dia nggak suka sama kamu?"
"Nggak mungkin lah. Kita kan akrab. Iya kan, Noir?"
Minori keliatan agak sedih pas nanya gitu.
Kayaknya Noir kasihan ngelihat dia, jadi dia ngelus lutut Minori pake ekornya──kayak bilang, "Semangat ya."
"Uuu, Noir~, dasar kamu tsundere~"
"Meow."
Minori gendong Noir terus ngelus-ngelus dia.
Kayaknya mood-nya udah balik lagi, masalah selesai deh.
"Yah, akhirnya Noir tetep milih Ricchan."
"Hahaha... Ya nanti juga akrab kok. Noir kan bukannya benci sama orang."
"Iya, aku bakal berusaha!"
Awalnya Akari sempet sedih, tapi dia cepet banget semangat lagi, terus ngelihat Minori sama Noir dengan mata berbinar-binar.
"Ricchan lucu banget kalau kayak gitu."
"Mungkin dia sok imut kalau di depan Akari..."
"E-enggak kok. Cuma..."
"Cuma?"
"Mungkin di sini, di depan Senpai sama Noir, Ricchan bisa jadi dirinya sendiri."
Akari ngomong gitu sambil senyum hangat ke arah Minori.
Kayaknya dia seneng, tapi juga agak iri... Aku bisa ngebayangin perasaan Akari, tapi aku nggak tahu pasti apa yang dia rasain.
(Oh gitu ya.)
Kalau aku bilang Minori kayak kucing liar yang suka ilang-ilangan, terus tiba-tiba balik lagi dan bertingkah seenaknya... pasti aku bakal dicakar habis-habisan.
Tapi kalau buat dia, saat ini adalah tempat dia bisa tenang, ya itu bagus banget.
"...? Kenapa kalian berdua ngelihatin aku kayak gitu?"
"Nggak kok, nggak ngelihatin apa-apa."
"Ngeliatin kok. Ngeliatin terus."
Minori ngomong gitu sambil buang muka, tapi dia bohong.
Dia tahu kita lagi mikirin apa, makanya dia ngomong nyebelin gitu.
Dia cuma malu aja.
"Hehe, maaf ya Ricchan."
"Hmm..."
Minori cemberut lagi meskipun Akari udah minta maaf sambil senyum.
Kayaknya Akari menang nih, soalnya Minori lengah di markasnya sendiri.
"Tunggu pembalasanku ya, Akari..."
"Hiii!?"
... Tapi, kayaknya serangan baliknya bakal serem.
Pas suasana mulai agak tegang──
"Meow!"
Noir yang lagi dielus-elus Minori tiba-tiba loncat.
Di saat yang sama, kedengeran suara getaran HP... kayaknya HP-nya Minori yang bunyi.
"......"
"Nggak diangkat?"
"... Haah. Males banget."
Minori ngeluh sambil bawa HP-nya keluar dari ruang tamu.
"Kayaknya dari sekolah deh."
"Sekolah? Jangan-jangan dia bikin masalah lagi?"
"Ah, bukan, anu... sebenernya Ricchan lagi ikut acara festival budaya."
"Hah?"
Minori ikut festival budaya?
Minori yang anak kelas tiga, ikut festival budaya yang sifatnya sukarela?
"Akari-chan, kamu pasti bercanda kan?"
"Hahaha, nggak mungkin banget ya. Biasanya Ricchan nggak bakal mau ikut."
Akari senyum kecut sambil ngelihat ke arah pintu tempat Minori keluar.
"Tentu aja ada alasannya..."
Menurut Akari, acara kelas tiga di festival budaya tahun ini bakal digabung sama kelas-kelas lain, kayak biasanya.
Tapi, kayaknya tahun ini kurang orang, jadi Minori yang jelas-jelas lagi free akhirnya dipilih buat ikutan.
"Awalnya sih Ricchan nolak... maksudnya, nolak banget..."
"Terus dia nyerah karena capek nolak?"
"Bener banget."
"Dulu waktu dia di klub atletik juga gitu... waktu SMP. Dia banyak ngeluh, tapi dia yang paling rajin sebagai manajer."
Tapi tetep aja, festival budaya itu kan rame, nggak cocok sama Minori.
"Senpai kayaknya seneng banget ya?"
"Iya, aku ngebayangin Minori yang nggak nyaman ada di tengah keramaian festival, lucu aja."
"Jahat banget ketawain orang yang lagi susah."
Tiba-tiba Minori balik lagi, kayaknya dia udah selesai nelpon.
"Ricchan, teleponnya nggak apa-apa?"
"Iya, cuma ada yang minta saran."
"Saran?"
"Aku kan pengamatnya."
Minori membusungkan dada dengan bangga.
Oh, jadi dia mau pakai otaknya karena nggak bisa bantu tenaga.
"Tapi, apa nggak apa-apa si pengamat bolos kayak gini?"
"Aku kan pengamat."
"...? Ya terus?"
"Pengamat itu kan orang yang nggak ikut kerja tapi sok ngasih kritik ini itu."
"Kok kamu berprasangka buruk gitu!?"
Aku juga nggak tahu gimana pengamat yang sebenarnya, tapi kalau ada orang kayak gitu, pasti dibenci sama yang kerja. Kayaknya kalau ada masalah, dia bakal susah dihubungin (prasangka).
"Jadi, acaranya apaan?"
"Loh, kok kamu kepo banget?"
"Nggak bisa dibilang kepo sih, tapi aku penasaran."
"Hmm?"
Minori natap aku tajam, kayak mau nebak isi pikiranku.
Tapi aku beneran cuma penasaran doang. Kalau dia nggak mau cerita juga nggak apa-apa sih...
"Kafe Halloween."
"... Hah?"
"Kafe Halloween. Konsep kafe dengan tema Halloween."
"Maksudnya...?"
"Kamu nggak tahu konsep kafe? Ya iyalah, kamu kan udah tua."
"Aku tahu konsep kafe, tapi..."
Konsep kafe itu kayak maid cafe, yang punya tema atau dunia sendiri gitu... kayaknya sih.
Waktu aku SMA dan ikut festival budaya, banyak juga kelas atau klub yang bikin acara kayak gitu, bahkan bisa dibilang udah jadi hal yang biasa.
Aku juga bisa ngebayangin kafe bertema Halloween itu kayak gimana, tapi...
"Festival budayanya kan akhir September ya?"
"Iya."
"... Nggak kecepetan ya?"
Aku mastiin lagi ke Akari buat meyakinkan diri.
Halloween itu kan acara di mana orang-orang pakai kostum hantu atau monster, naruh hiasan labu, terus minta permen sambil bilang "trick or treat".
Acaranya selalu diadain tanggal 31 Oktober setiap tahunnya di seluruh dunia.
Mungkin ada toko yang bikin promosi atau ngeluarin produk edisi terbatas beberapa minggu sebelumnya, tapi bikin kafe Halloween sebulan sebelumnya itu kayaknya kecepetan deh.
"Justru itu bagusnya. Sensasional."
"Oh, gitu ya?"
Padahal cuma beda setahun, tapi kayaknya selera kita beda banget.
Atau mungkin aku aja yang ketinggalan zaman. Subaru juga sering ngeledekin aku kudet... Apa aku ini orangnya membosankan ya...?
"Ya udah deh, aku nggak paham."
"Masa kamu juga nggak paham!?"
"Iya. Aku cuma ngulang kata-kata orang lain. Aku sih nggak masalah selama nggak ribet."
Aku lega karena ternyata Minori juga nggak ngerti, tapi ya, ini tipikal Minori banget.
Bikin acara yang berhubungan sama makanan itu lumayan ribet, tapi kalau tugasnya dibagi-bagi, bebannya jadi lebih ringan.
Mungkin dia mikirnya selama persiapan dia cuma perlu ngasih saran sebagai pengamat, terus pas hari H tinggal jadi pelayan selama beberapa jam.
"Tapi, bisa nikmatin Halloween sebulan lebih awal gitu, kayaknya untung banget ya?"
"Un-tung?"
Kayaknya Akari tertarik banget sama ide ini, matanya sampai berbinar-binar.
"Ricchan, aku pasti dateng ya!"
"Iya, ditunggu ya. Padahal yang kerja keras bukan aku."
Si pengamat (yang lagi bolos) ngomong dengan bangga.
Ngomongin festival budaya bikin aku nostalgia. Rasanya kayak udah lama banget.
Tahun lalu aku bahkan nggak dateng ke festival budaya... Sekarang aku nyesel kenapa nggak ikut.
Ya, emang udah telat sih nyeselnya...
"Eh, iya."
Minori ngomong, motong pikiranku.
Suaranya kayak semangat banget, kayak habis kepikiran ide jahil, dan itu bikin aku agak khawatir...
"Motomu dateng juga dong ke festival budaya."
"Hah?"
Usulnya sih biasa aja, nggak aneh-aneh.
"Kenapa? Kamu kira aku bakal ngomong yang aneh-aneh? Aku tersinggung nih."
"Coba deh kamu pikir-pikir lagi kelakuan kamu selama ini."
"Kelakuan apa?"
Minori nyengir, terus ngedeketin mukanya ke telingaku dan bisikin,
"Kayak waktu aku bantuin kamu nyadarin perasaan kamu ke Akari?"
"Hah!?"
Kok sekarang dia bahas itu!?
Yah, emang sih, ada benernya juga kalau itu berkat dia...
"Ricchan? Senpai?"
"Enggak kok, nggak ada apa-apa."
Minori langsung ngejauh dari aku biar Akari nggak curiga.
Cuma bercanda kali ya...? Tapi, kenapa dia sengaja bahas itu?
Kayaknya dia punya rencana nih. Aku harus hati-hati.
"Lagian, festivalnya kan akhir September, masih termasuk liburan musim panas buat Motomu."
"Iya juga sih... Tapi, mepet banget waktunya..."
Emang sih aku bisa dateng.
Tapi, aku nggak punya adik kelas atau temen deket di klub, jadi rasanya agak aneh kalau dateng ke festival budaya sekolah yang udah aku lulusin...
"Kalau Motomu dateng, pasti semua orang seneng deh~"
"Semua orang siapa?"
"Aduh, kamu nggak sadar ya? Iya kan, Akari?"
"Eh? Ah, iya. Senpai cukup terkenal di angkatan aku... Eh!? Jangan dong, Ricchan!"
Akari kayak sadar sesuatu, terus buru-buru nyegah Minori.
Aku nggak ngerti mereka ngomongin apa... Aku kan nggak kenal siapa-siapa di angkatan mereka.
"Maksudnya orang-orang yang bakal seneng kalau Senpai dateng itu, pasti cewek-cewek itu kan!? Itu sama aja kayak ngelempar Senpai ke kolam piranha!"
Piranha!?
Nyawa aku terancam ya!?
"Ya Akari tinggal jagain aja. Kan dia pacarnya."
"P-pacar! Iya, aku emang pacar Senpai!"
"Lagian, ini kesempatan bagus, kan?"
"Kesempatan?"
"Kan kamu pengen ngedate di festival budaya."
"Ngedate di festival budaya!!"
Tadinya Akari nolak sambil ngomong pakai perumpamaan yang serem, tapi sekarang dia langsung setuju sama omongan Minori.
Meskipun dibilang ngedate, aku kan udah lulus, jadi kesannya bakal aneh...
"Aku mau ngedate sama Senpai di festival budaya..."
Akari ngomong pelan.
Itu bukan keinginan buat siapa-siapa, cuma keinginan tulusnya──
(Ah...)
Hatiku sakit.
Aku kan pacarnya Akari, kenapa aku malah mikir yang nggak-nggak?
Dia rela ngeluangin waktu buat ketemu aku, tapi aku nggak bisa ngasih apa-apa ke dia... Kalau dia pengen sesuatu, ya harusnya aku kabulin, kan?
Memang sih, aku malu dan waktunya mepet banget buat balik ke sini, tapi...
"... Terus, hadiahnya gimana?"
"Hah?"
"Ricchan bilang kan, kamu harus ngerjain soal-soal ujian masuk. Nah, kalau kamu bisa lulus... kita pergi ke festival budaya bareng."
"......!!"
Mata Akari langsung terbuka lebar.
Dia natap aku dengan mata yang seolah-olah bilang, "Beneran?", dan aku ngangguk tegas.
"Harusnya kamu ajak dia tanpa syarat deh."
"Eh..."
Aku agak kaget denger kritik tajam dari Minori.
Ya, aku juga ngerti kalau cowok itu harusnya tegas dan ngambil keputusan, tapi...
"Aku kan lebih tua, jadi aku nggak mau Akari nyesel nantinya. Lagian, kalau dia jadi males belajar, ya percuma dong ngedate."
"Kaku banget sih~"
"... Iya sih."
Mungkin aku emang cerewet dan nggak asik.
Tapi, menurutku nggak tulus aja kalau aku cuma ngebujuk dia biar dia seneng, padahal dia tahu ada hal penting yang harus dia lakuin.
"Itulah yang bikin aku suka sama Senpai."
Tapi, Akari nggak kesal, malah senyum.
Dia ngelihatin aku sambil senyum bahagia, pipinya agak merah, terus dia ngangguk.
"Oke. Aku pasti lulus! Aku bakal ngebuktiin ke Senpai!!"
"Iya. Semangat!"
"Siap! Aku jadi makin semangat nih! Nggak nyangka bakal ada acara sebesar ini! Aku belum pernah sesemangat ini buat belajar!!"
Hmm, kayaknya dia semangat banget.
Meskipun dia pasti lulus, aku agak khawatir dia bakal kecapekan setelahnya... tapi, dia pasti udah belajar dari pengalamannya yang dulu.
Nggak perlu aku ikut campur lagi deh.
"Duh, bikin aku enek aja ngelihatnya."
Minori senyum kecut sambil ngelihatin kita berdua.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.