Yuujin ni 500-en Kashitara Shakkin no Kata V4 chap 1

Ndrii
0

    Bab 1

Cerita tentang memberi tahu Teman 




POV Motomu: ◇◇◇ 

POV Akari: ◆◆◆


"Yo, Motomu. Udah akhir Agustus, tapi masih panas banget ya."


Dia, Miyamae Subaru, langsung mengeluh begitu ketemu aku.


Menurut ramalan cuaca, suhu tertinggi hari ini bakal di atas 30 derajat.


Meskipun udah masuk September, kayaknya sisa-sisa musim panas masih bakal bertahan lama, tapi jujur aja, aku ngerasa kayak udara udah mulai sejuk, kayak panasnya udah lewat gitu.


Mungkin karena dia, cewek yang selalu ada di sampingku selama musim panas ini, udah nggak ada lagi.


"Ah~ seger banget~"


"......"


Kakaknya, yang nggak mirip sama dia, langsung cari tempat di bawah AC begitu masuk toko buku, terus selonjoran dengan muka bego sambil nikmatin udara dinginnya.


"Hm? Motomu juga mau mandi udara dingin?"


"Nggak, aku nggak mau. Nanti masuk angin lagi."


"Hahaha, aku nggak selemah itu sampai masuk angin cuma gara-gara gini doang... HACHIM!"


Baru aja ngomong gitu, Subaru malah bersin kenceng banget.


Emang ya, dia selalu bisa bikin orang ketawa.


"Eh, apaan tuh tatapannya!? Bukan gitu, ini cuma... kayak ada debu atau apa gitu yang masuk ke hidungku."


"Alesan aja."


"Tapi, tumben banget kita janjian di toko buku. Aku penasaran sama isi kantong belanjaan yang kamu bawa itu."


"Ini... b-bukan apa-apa kok."


"Cara ngelesnya kamu itu nunjukin kalau kamu nyembunyiin sesuatu."


Subaru ngeliatin aku dengan tatapan curiga.


Aku juga ngerasa cara ngelesku nggak meyakinkan, tapi kalau dibilangin langsung gini, aku jadi makin malu.


"Udah, kita pindah aja. Ke kafe di sebelah sana aja, gimana?"


"Kenapa sih, kamu nggak mau aku tahu isinya? Aku makin penasaran nih~"


"Bukan gitu. Nanti ngerepotin orang di toko, ayo cepetan pergi."


"Iya iya, nggak usah buru-buru juga!"


Aku narik tangan Subaru buat cepet-cepet keluar dari toko buku.


Padahal aku yang ngajak dia ke sini, tapi aku malah bersikap kasar ke dia, mungkin karena udah kebiasaan dari dulu.


Padahal waktu nunggu dia tadi aku deg-degan banget... Tapi tetep aja, kalau udah sama dia, aku selalu kebawa sama suasana. Dalam artian yang baik, maupun yang buruk.


◇◇◇


Kita keluar dari toko buku, terus langsung masuk ke kafe terdekat.


Aku beli minuman, sementara Subaru udah duduk di pojokan sambil teriak-teriak, "Aku mau lihat! Aku mau lihat! Aku mau lihat!", jadi aku kasih aja kantong belanjaannya ke dia.


"Wah, 'Cara Merawat Ikan Mas', ya..."


"Kan udah aku bilang, bukan apa-apa."


"Nggak, nggak, aku yakin ini ada artinya."


Subaru senyum jahil sambil ngeledek.


Terus, dia ngeliatin aku sama buku itu gantian, kadang-kadang sambil ngerutin dahi kayak lagi mikir sesuatu.


(Kalau udah gini, pasti dia bakal ngomong yang aneh-aneh...)


"Aku tahu!"


"Tahu apa?"


"Pasti ada hubungannya sama Akari, kan?"


"Uhuk!? Batuk, batuk!?"


Aku bener-bener nggak siap!


Cafe latte yang baru aja mau aku minum nyangkut di tenggorokan gara-gara kaget──aku langsung batuk-batuk.


"Hahaha! Reaksimu lucu banget!"


"Diem deh..."


Aku nutup mulut sambil nenangin napas.


Padahal aku kira Subaru bakal ngomong yang lebih nggak jelas... Apa aku segampang itu ditebak ya?


"Ya iyalah, kalau kamu ngelakuin sesuatu yang nggak biasa akhir-akhir ini, pasti ada hubungannya sama Akari."


"Ya, mungkin sih..."


"Hari ini kamu ngajak aku ke sini juga pasti mau cerita soal Akari, kan?"


Subaru nyengir sambil ngeliatin aku kayak udah nebak semuanya.


Sebel banget... Apalagi karena dia bener.


"Ayo ayo ceritain semuanya! Kasih tahu kakakmu ini!"


"Kamu tuh jago banget bikin orang males cerita ya..."


"Hahahaha!"


Subaru ketawa sambil nunjukin kalau dia cuma bercanda.


"Tapi, sekarang kamu udah lebih tenang kan? Tadi pas ketemu mukanya serem banget. Aku nggak tahu kamu lagi ada masalah apa, tapi sekarang kayaknya udah lebih enak diajak ngobrol."


"Kamu..."


Tiba-tiba Subaru keliatan lebih dewasa.


Mungkin karena dia udah punya pacar, dan mungkin aja, dia bakal jadi... Ah, tapi itu masih jauh!


Pokoknya... bener kata dia, obrolan tadi bikin aku agak tenang. Aku harus berterima kasih sama dia.


"Subaru. Ada yang harus aku kasih tahu ke kamu."


"Oke."


"Itu..."


Tenggorokanku rasanya kering karena gugup.


Tapi, mendingan daripada tadi.


Aku narik napas dalam-dalam, terus natap Subaru, dan bilang,


"Aku jadian sama Akari."


Aku udah siap-siap kalau bakal ditonjok.


Aku tahu Subaru sayang banget sama Akari.


Dia itu terkenal banget sayang adik, dari pertama kali kita ketemu waktu SMA sampai sekarang nggak pernah berubah.


Dia bahkan sering ngingetin aku, yang dia anggep sahabat, supaya jangan deket-deket banget sama Akari.


(Tapi, Subaru itu juga yang ngirim Akari ke rumahku buat bayar utang 500 yen...)


Gara-gara itu, aku jadi kenal Akari, suka sama dia... dan akhirnya jadian.


Meskipun gara-gara Subaru, tapi tetep aja aku udah ngambil adiknya yang dia titipin ke aku.


Jadi, aku siap kalau ditonjok. Bahkan, kalau cuma ditonjok, itu masih mendingan.


"... Oh gitu."


Subaru ngehela napas, terus ngomong satu kata itu.


Terus...


"Wah~, akhirnya Motomu punya pacar juga! Atau harusnya aku bilang, akhirnya ya?"


"Hah...?"


Aku nggak percaya sama apa yang dia bilang.


Aku yakin tadi ngomongnya jelas, kan dia ngerti ya...?


"Terus? Siapa yang nyatain cinta duluan? Jangan bilang Akari yang nyatain? Tapi, dia kan pemalu banget. Kayak waktu kita ke pantai, kayaknya dia mau kabur gitu... Apa aku mikirnya terlalu jauh ya?"


Dia nebaknya lumayan tepat. ... Bukan itu maksudnya!


"Subaru, kamu..."


"Jadi, siapa yang nyatain duluan? Kasih tahu dong!"


"... Aku."


"Oke. Berarti kamu udah nunjukin sisi jantanmu!"


Subaru ketawa gembira.


Tapi, kenapa?


Aku cuma bisa bingung lihat reaksi Subaru yang nggak terduga.


"Kenapa sih, mukanya gitu? Sahabat lo baru punya pacar pertama kali. Ya harusnya seneng lah! ... Tapi, kalau aku nggak punya pacar, mungkin aku udah nonjok kamu karena cemburu! Hahahaha!"


"Meskipun pacarnya adik kamu sendiri...?"


"Ya sebagai kakak, pasti ada rasa sedihnya lah? Dulu dia pasti nangis kalau aku nggak nemenin dia, tapi sekarang dia udah dewasa ya."


Mata Subaru keliatan sedih pas ngomong gitu, tapi ada juga rasa sayangnya... Kayak kakak yang baik gitu deh.


Tapi, begitu dia sadar lagi diliatin, dia langsung balik ke sifat aslinya.


"Yah, daripada sama cowok nggak jelas, mending sama kamu deh. Kamu kan orang baik, lagian kamu juga payah banget soal cewek!"


"Payah apanya?"


"Nggak boleh nolak! Kalau kamu nggak sadar diri... parah sih, ini. Tapi ya, kamu berani nyatain cinta duluan ke Akari, jadi aku hargai itu."


Subaru ngacungin jempolnya.


Tapi, nggak kerasa kayak dipuji.


"Tapi ya, jangan kegeeran cuma karena bisa pacaran sama Akari. Selama aku masih hidup, kamu harus pacaran yang sehat! Coba aja kalau kamu nyakitin atau bikin dia nangis, awas aja! Nggak peduli kita sahabat atau bukan. Justru karena kita sahabat, aku bakal ngehukum kamu! Aku bakal bikin kamu tanggung jawab sampai kamu punya catatan kriminal!"


"Aku nggak bakal ngelakuin kayak gitu! Lagian aku kelihatan kayak orang yang bakal ngelakuin itu!?"


"Nggak sih. Tapi, justru karena kamu kelihatan nggak bakal ngelakuin itu, makanya aku curiga. Biasanya orang yang pendiem itu kalau marah serem loh."


"Yah, emang sih ada yang kayak gitu... Tapi nggak, aku nggak bakal ngelakuin itu. Sumpah deh."


"Ngomong-ngomong, Akari itu kalau marah serem loh. Hati-hati ya."


"... Iya, aku hati-hati."


Aku cuma bisa ngangguk-ngangguk denger peringatan Subaru yang kayaknya serius banget.


Tapi kayaknya dia nggak marah sih.


Malah kayaknya dia seneng banget.


Kalau dia beneran seneng sama kebahagiaan Akari, bukan cuma bercanda atau pura-pura, ya aku harus tanggung jawab juga sebagai cowoknya.


"Lagian, Motomu tetep Motomu sih. Kamu kan payah soal cewek, jadi aku nggak khawatir... Eh, apaan sih!? Kamu harusnya bikin aku khawatir dong!? Emangnya adikku nggak menarik apa!?


"Tiba-tiba ngamuk kenapa sih!?"


Subaru langsung minum cafe latte-nya kayak mau nenangin diri.


Labil banget sih...!


(Tapi ya, seenggaknya sampai ujian masuk Akari selesai, kita bakal LDR-an, jadi nggak bakal macem-macem lah.)


Akari sekarang lagi sibuk belajar buat ujian masuk.


Liburan udah lewat, sekarang dia harus fokus belajar buat ujian awal tahun depan.


Aku seneng banget bisa jadian sama dia. Tapi, aku nggak boleh sampe bikin dia keganggu gara-gara aku──


"Oke! Kalau gitu, sebagai senior yang udah punya pacar, aku bakal kasih kamu wejangan yang berguna banget!"


"Hah?"


Tiba-tiba Subaru ngomong dengan nada ceria.


"Gini deh, Motomu sekarang itu kayak orang yang nggak punya pengalaman masak, tapi disuruh jadi ketua tim pengembangan menu baru."


"Analoginya susah dimengerti banget..."


"Dulu aku juga banyak susahnya... Kayak gimana cara manggilnya, terus pas jalan bareng, boleh nggak sih langsung megang tangan, atau harus minta izin dulu, gitu!"


Subaru ngomong panjang lebar dengan semangat.


Masalah megang tangan sih belakangan... tapi masalah panggilan ya. Itu agak bikin penasaran.


Aku manggil dia Akari-chan, dan dia manggil aku senpai, tapi apa itu bakal berubah ya?


"Aku mau nanya nih, kamu manggil Hasebe-san gimana?"


Hasebe Nanami. Pacarnya Subaru yang dia kenal di kampus, dia juga temenku.


Tapi, karena kita sama-sama kenal dia, aku nggak mau denger cerita yang terlalu pribadi...


"Ya jelas dong, Honey, Darling."


"......"


Aku baru sadar kalau nanya serius ke Subaru itu percuma.


"Kamu sih terserah, tapi Hasebe-san kayaknya bukan tipe yang kayak gitu deh."


"Hahaha, itu karena kamu belum pengalaman pacaran. Inget ya, cinta bisa ngerubah orang. Nanami-chan kalau lagi berdua juga..."


Aduh, mulai deh cerita pamernya.


Kayaknya buat Subaru, istilah "cinta itu buta" lebih cocok daripada "cinta bisa ngerubah orang".


Sejak Subaru jadian sama Hasebe-san, dia selalu cerita panjang lebar tentang hubungan mereka.


Hari ini nelpon berapa lama lah, makan siang bareng di kantin kampus lah, ketemu mata pas kuliah lah... Jujur aja, itu semua nggak penting banget, dan biasanya aku suka sebel dengernya, tapi...


(Kayaknya dia bahagia banget...)


Ngelihat Subaru cerita tentang Hasebe-san dengan bahagia, aku jadi nggak tega gangguin dia.


Aku tahu dia udah lama pengen punya pacar, dan sebagai temen, ya aku harus dukung dia... meskipun aku cuma bisa jadi pendengar.


Mungkin karena sekarang aku juga punya pacar, makanya aku bisa ngertiin.


"Kenapa sih, Motomu, senyam-senyum sendiri?"


"Hah? Emang aku senyum ya?"


"Iya, dikit. Cuma sahabat kayak aku yang bisa nyadar... Jangan bilang kamu lagi ngayal tentang Akari ya!?"


"Nggak lah!?"


Aku langsung nolak tuduhan Subaru.


Baru juga mau ngertiin dia, eh malah digituin!


Tapi, sebenernya aku lega karena Subaru masih sama kayak dulu.


Kalau aku kehilangan sahabat yang udah nemenin aku dari masuk SMA cuma gara-gara pacaran sama Akari... itu pasti bakal jadi beban berat buat aku.


Mungkin dia juga berusaha buat ngertiin perasaanku, tapi tetep aja aku ngerasa diselamatkan sama dia.


Sifat perhatian kayak gini mirip sama Akari.


Itu salah satu hal baik dari mereka yang bikin aku kagum dan nyaman ada di dekat mereka.


"Ya udah, kalau ada masalah, cerita aja ke aku. Kan aku ini senior kamu yang udah punya pacar duluan, dan kakak ipar kamu yang paling ngerti Akari."


"Oke, kalau ada apa-apa aku bakal minta bantuanmu... Eh, Subaru? Tadi kayaknya ada yang aneh sama cara kamu ngomong 'kakak ipar' deh..."


"Hahaha! Perasaanmu aja kali!"


Kayaknya ada maksud tersembunyi di balik tawa Subaru.


Biasanya kalau dia kayak gini, pasti dia lagi mikir yang aneh-aneh, atau lagi nyiapin rencana buat ngerjain aku.


Tapi, kalau aku paksa tanya, biasanya aku yang kena batunya.


Aku cuma bisa ngehela napas sambil senyum kecut.


"Jadi... Motomu, itu aja kan yang mau kamu omongin?"


"Eh? Oh, iya."


"Kalau gitu, sekarang giliran aku!"


"Hah?"


"Tunggu bentar ya!"


Subaru langsung berdiri dan jalan cepet ke arah kasir.


Beberapa menit kemudian...


"Maaf lama!"


"Subaru, kamu bawa apaan...?"


Ternyata Subaru bawa cafe latte lagi.


Tapi, ukurannya beda.


Bukan medium kayak yang aku beli tadi. Ini ukuran tall, atau lebih besar lagi...!?


"Ini juga ada nih. Tenang aja, aku yang bayar kok!"


Cafe latte-nya gede banget sampai nutupin yang lain, tapi kayaknya ada cookies, scone, sandwich, dan lain-lain.


Banyak banget, kayak dia mau nongkrong lama di sini...


"Oke, Motomu-kun. Cerita dong."


"A-apaan...?"


"Ya jelas lah! Aku mau tahu kamu suka apa dari Akari!"


"Hah!?"


Jangan-jangan cafe latte sama makanan ini buat itu...?


"Sadar juga! Pertanyaannya udah berubah jadi interogasi!"


"A-apa-apaan!?"


Kayaknya buat Subaru, sekarang baru mulai yang sesungguhnya.


Ya, kalau inget Subaru itu sayang banget sama adiknya, harusnya dari tadi dia udah nanya macem-macem.


Waktu giliranku tadi, dia sengaja ngalah buat ngehormatin aku, tapi sekarang pas giliran dia, dia mau ngekepung aku biar nggak bisa kabur.


"Tapi, nggak kebanyakan nih makanannya!?"


"Hehehe... Kalau ngomongin Akari, makanan sebanyak apa pun nggak bakal cukup!... Tapi, dompetku sih udah menjerit kesakitan..."


"Ya kan di sini mahal."


Aku jadi penasaran pengen lihat bonnya... tapi nggak juga sih... lagian dia udah bilang mau bayarin. Ya udahlah, ngalah aja sama Subaru.


"Jadi, hari ini kamu nggak bakal bisa kabur. Aku bakal jelasin panjang lebar, detail, dan mendalam tentang semua hal yang bikin Akari itu imut! Pertama-tama... gimana kalau aku cerita tentang waktu aku kelas 5 SD pas liburan musim panas!"


"Kamu yang cerita...?" 


"Pertanyaan pertama tadi apa? Ah, nggak usah dijawab juga nggak apa-apa sih."

"Waktu aku sakit flu dulu, Akari khawatir banget sama aku. Sampai-sampai aku ngerasa kayak dia nggak bisa hidup tanpa aku."

... Tapi, aku juga nggak keberatan sih pacaran sama dia.

Aku dengerin cerita Subaru sambil minum cafe latte yang banyak banget itu.



◇◇◇



Malam itu──

'Jadi, kamu udah cerita ke kakakmu ya?'

"Iya. Maaf ya aku nggak bilang dulu ke kamu, tapi aku rasa itu yang harus aku lakuin."

Aku ngasih tahu Akari tentang obrolanku sama Subaru pagi itu... eh, sebenarnya sih sampai siang.

Tentu aja, bagian cerita Subaru aku skip.

'Nggak apa-apa kok. Aku setuju sama Kak Subaru. Pasti bakal ketahuan juga, lagian dia itu orangnya pendendam.'

"Hahaha..."

Suara Akari di telepon kedengaran serius banget.

Aku setuju banget sama dia, tapi kayaknya dia udah lebih sering kena masalah sama Subaru deh.

"Ya, aku sih berharap Subaru nggak bakal nyusahin kamu."

'Tenang aja. Sejak ketemu sama pacarnya, Kak Subaru udah mulai bisa lepas dari aku kok.'

"Masa sih?"

Menurutku sih dia itu overprotektif banget sama adiknya, tapi mungkin beda ya kalau ngelihatnya dari sisi yang disayang.

'... Denger ya, Senpai!'

"Hm?"

'Sekarang aku kan pacar Senpai!'

Akari ngomong dengan nada ngambek.

'Dari dulu aku tuh sebel, kenapa sih Kak Subaru bisa akrab sama Senpai duluan!?'

"Oh, gitu ya."

'... Aduh, ngomongin ini jadi inget kalau aku nggak bisa ketemu Senpai lagi buat beberapa lama...!! Huhuhu~!!'

Aku denger suara kayak orang lagi guling-guling di kasur.

Kayaknya sih dia lagi guling-guling di kasur.

Karena kita udah sebulan bareng, aku jadi bisa bayangin dia lagi ngapain lewat suara di telepon, lucu juga.

'Senpai nggak kangen ya... sama pacarnya yang imut ini...'

Ah, dia malu.

'Itu... anu...'

"Hehe."

Tingkahnya lucu banget, bikin aku ketawa.

'Ih, jangan ketawa dong!?'

Denger Akari protes bikin aku ngerasa kayak dia ada di depan aku.

Padahal kamar yang aku sewa ini buat aku sendiri, tapi sekarang udah bukan punya aku doang.

Kenangan sama Akari udah nempel banget di sini.

(Apa mungkin aku juga kangen ya, sampai mikirin kayak gini?)

Nggak nyangka aku bakal kayak gini.

Nggak bisa ngeledekin Subaru lagi deh.

'Senpai, dengerin nggak sih?'

"Ah, maaf. Tadi kamu ngomong apa?"

'Aduh, fokus dong. Senpai kalau lagi bengong juga lucu sih...'

Akari kayak ngambek sebentar, tapi langsung berubah jadi manja.

Mirip banget sama Subaru kalau lagi cerita soal pacarnya. Pantesan mereka adik kakak.

'Tapi, aku juga suka bengong kok. Senpai kan masih liburan?'

"Iya, libur kuliah sampai akhir September."

'Enak banget. Aku masih sibuk belajar buat ujian... AAAAAAHHH!!'

"Hah!?"

Aku langsung jauhin HP dari telinga karena kaget denger dia teriak.

"Ada apa, Akari-chan!?"

'Maaf. Aku... inget sesuatu yang nggak enak...'

"Sesuatu yang nggak enak?"

'... Mau tahu?'

Akari nanya pelan banget, kayak mau cerita hantu.

Aku jadi ikut tegang, sampai nelen ludah.

"Eh, iya."

'Beneran...?

"I-iya. Aku beneran mau tahu."

Masa aku udah dengerin dia sampai sini terus bilang "nggak jadi deh". Apalagi kalau dia lagi ada masalah.

'...... Oke deh.'

Setelah diem lama, Akari akhirnya cerita.

'Jadi, anu... Kan waktu liburan kemarin aku ikut tes simulasi di sana, kan?'

"Iya."

'Nah, hasilnya udah keluar... dan jelek banget!!'

"Hah, oh... HAH!?"

Awalnya aku kira ini bukan masalah besar, tapi kalau dipikir-pikir, ini masalah besar banget!?

"Itu kan tes akhir buat ngukur kemampuan selama liburan, ya kan...? Kalau hasilnya jelek, berarti..."

Jangan-jangan selamaliburan, dia udah ketinggalan jauh sama anak-anak yang lain.

Dan, orang yang udah ngebuang waktu belajar dia itu aku...

"M-maaf!"

Aku langsung pucet.

Kalau gara-gara aku masa depan Akari jadi berantakan, aku pasti bakal nyesel banget!

'I-ini bukan salah Senpai kok! Aku aja yang lengah!'

Meskipun Akari buru-buru ngebenerin, suaranya kedengaran lemes.

Pasti dia lebih syok daripada aku. Dia kan selalu bilang dapat nilai A, pasti terpukul banget kalau tiba-tiba nilainya turun setelah liburan.

'Lagian, waktu yang aku habiskan sama Senpai itu berharga banget buat aku! Kalaupun aku gagal masuk universitas dan harus ikut ujian lagi... terus ada dewa yang bilang bisa balikin waktu, aku pasti bakal tetep pilih ketemu Senpai!'

Wih, semangat banget!

Akari teriak kenceng banget, kayak semangatnya bangkit lagi.

'Rasanya kayak ditampar! Aku kan anak kelas 3, harusnya aku semangat belajar buat ujian! Aku jadi semangat lagi nih!'

Terus dia kayak ngegepalin tangannya, matanya berapi-api──suaranya nunjukkin kalau dia udah semangat lagi.

Kalau dia udah semangat, ya aku nggak perlu ikut campur lagi.

Aku seneng, tapi juga agak sedih.

"Tapi, iya juga sih. Kamu harus fokus belajar ya..."

'Kenapa, Senpai?'

"Ah, nggak apa-apa──"

'Senpai, kok aku disuruh cerita, tapi Senpai malah nyembunyiin sesuatu?'

"Nggak kok, nggak ada yang aku sembunyiin."

'Jelas-jelas ada yang disembunyiin, kan? Ih, jahat banget. Masa aku nggak boleh tahu rahasianya. Padahal aku pacar Senpai... pacar Senpai... ehehe...'

Tadi nyerang, sekarang malah senyum-senyum!?

Ya aku seneng sih, tapi kalau dia gampang berubah pikiran kayak gini, aku jadi ngerasa ngeganggu dia.

Kalau dipikir-pikir, mendingan nggak usah cerita deh... tapi, nanti dia malah kepikiran terus.

"Ya udah, aku kasih tahu deh. Ini sih bukan masalah besar..."

'Kalau bilang gitu, biasanya malah masalah besar, kan?'

"Nggak kok, ini beneran masalah kecil. Cuma, orang tuaku nyuruh aku pulang kampung bulan September."

'Hah, pulang kampung... PULANG KAMPUNG!?'

Akari kaget banget.

'Pulang kampung itu... maksudnya, Senpai mau ke sini ya!? Ke rumah aku!?'

"Cara ngomongmu jadi aneh, tapi... iya, bener."

'Oh gitu, pulang kampung. Berarti...'

Suara Akari jadi lembut.

Aku tahu banget dia lagi mikirin apa dan mukanya kayak gimana sekarang.

Gampang banget ditebak!

"... Nggak boleh ya."

'Hah!?'

Aku langsung ngasih peringatan sebelum Akari ngomong macem-macem.

"Kamu kan lagi persiapan ujian. Aku nggak berhak ngelarang sih, tapi kalau nilai tes simulasimu jelek, kamu harus fokus belajar."

'Hmm...'

Jujur aja, aku juga mikir kalau pulang kampung, mungkin aku bisa ketemu Akari.

Tapi, ini masa-masa penting buat hidupnya Akari.

Aku harus ngertiin dia sebagai yang lebih tua.

"Aku nggak mau ganggu kamu."

'Senpai nggak ganggu kok... Tapi, ya udah deh...'

"Maaf ya, tapi ini cuma sebentar kok. Aku bakal dukung kamu, semangat ya."

'Makasih ya. Kalau Senpai dukung aku, aku jadi semangat lagi!'

Nggak ada nada sedih di suara Akari, aku jadi lega.

Dia itu pinter. Meskipun sekarang agak lengah, dia pasti bisa dapet nilai bagus lagi.

'Ah, tapi... anu... Kalau aku bisa dapet nilai bagus lagi di tes simulasi berikutnya, Senpai mau kasih aku hadiah, nggak?'

Akari minta hadiah dengan semangat.

Aku agak kaget, tapi ya, ini tipikal Akari banget.

"Iya, boleh."

Aku langsung ngangguk.

Nggak ada alasan buat nolak kalau itu bisa bikin dia semangat.

'Beneran!? Aku mau minta apa ya~!'

"Ya, yang bisa aku kasih ya."

'Tentu aja. Aku nggak bakal minta yang aneh-aneh kok!'

Aku agak khawatir sih karena dia kedengeran percaya diri banget... Ah, nggak usah dipikirin deh.

'Terus, terus! Kalau aku lulus ujian masuk, aku mau dimanja sama Senpai sepuasnya!!'

"Hahaha... Iya, nanti ya."

'Yes! Janji ya!?'

Aku bisa denger Akari seneng banget di seberang sana.

Dia berharap banyak banget sama aku, jadi aku agak khawatir bisa nggak ya aku ngabulin semua permintaannya... Tapi, aku nggak boleh bikin dia tahu aku khawatir.

Aku nelen rasa khawatirku, dan berusaha buat nggak keliatan gugup.

'Aku jadi semangat banget nih! Ya udah, aku mau belajar lagi ya!'

"Iya, sampai nanti ya. Jaga kesehatan."

'Iya, Senpai juga!'

Kita saling pamit, terus teleponnya ditutup.

Kamar jadi sepi lagi setelah nggak ada suara Akari, dan aku ngerasa agak kesepian...

(Pokoknya, aku harus siapin semuanya biar bisa manjain Akari sepuasnya nanti.)

Palingan sih cuma kerja keras buat nabung.

Terus... mungkin aku juga harus bikin SIM kayak Subaru?

Aku nggak boleh buang-buang waktu, biar Akari nggak kecewa waktu ketemu nanti.

"... Eh, udah mau telat nih!"

Waktu kerja paruh waktuku udah mepet.

Aku buru-buru ngambil tas, terus lari keluar kamar dengan semangat. 













Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !