Yuujin ni 500-en Kashitara Shakkin no Kata V4 chap 4

Ndrii
0

Bab 4

Cerita tentang hasil tes adik teman 




Menjelang akhir September, udara mulai terasa lebih sejuk, menandakan datangnya musim gugur.


Langit hari ini cerah, seolah merayakan festival para pelajar, dengan suhu yang pas untuk memakai baju lengan pendek dan cardigan tipis.


"Alhamdulillah..." tl/n: Stay halal brother.


Aku bergumam sendiri, bukan hanya karena aku muak dengan musim panas yang makin panas dari tahun ke tahun...


Musim panas ini meninggalkan kenangan yang kuat.


Liburan musim panas yang kuhadapi saat masih belum terbiasa hidup sendiri.


Adik teman yang tiba-tiba datang ke rumahku.


Hari-hari yang menyenangkan bersamanya... dan dia menjadi cinta pertamaku.


Pasti aku tidak akan pernah melupakan musim panas ini.


Dan pada saat yang sama──kenangan ini sangat terkait dengan musim panas.


Mulai Oktober nanti, kesepian yang kurasakan saat sendirian pasti akan semakin kuat seiring datangnya musim dingin.


Itulah kenapa bertemu dengannya hari ini sangat berarti untukku──


(Padahal... aku cuma pengen ketemu dia aja sih.)


Meskipun sok dewasa, aku sebenarnya dimabuk cinta sama pacar pertamaku ini.


Perasaan ini baru pertama kali aku rasain, kalau lengah dikit aja bisa gawat, jadi aku berusaha keras buat tetap tenang... tapi nggak tahu berhasil apa nggak.


(Kayaknya banyak yang udah ketahuan deh. Minori itu peka banget.)


Yah, mau gimana lagi.


Hari ini hari terakhir. Bukan cuma buat Akari, tapi juga buat liburan musim panasku.


Kalau sesuai rencana awal, harusnya aku udah balik ke kosan dari kemarin-kemarin.


Awalnya orang tuaku seneng aku pulang kampung, tapi lama-lama mereka jadi khawatir kenapa aku nggak balik-balik, bahkan mereka curiga jangan-jangan ada masalah besar yang bikin aku nggak mau balik ke kampus.


Yah, kalau aku bilang aku di sini buat ngedate sama pacar, mereka pasti bakal heboh terus nyuruh aku bawa dia ke rumah, jadi selama Akari masih belum mau, aku nggak bisa ngomong apa-apa.


Tapi, aku juga harus nyapa orang tuanya suatu hari nanti.


Bedanya, kalau Akari belum kenal mereka, aku udah kenal sebagai temennya Subaru... tapi jangan-jangan itu malah bikin aku makin gugup ya!?


"... Nggak, nggak usah dipikirin sekarang. Nanti malah nggak bisa seneng-seneng."


Aku berusaha ngilangin pikiran itu dari kepala.




Sekarang aku harus fokus sama rencana hari ini.


Tapi──


"Jangan-jangan, ya..."


Aku teringat lagi hari di mana rencana hari ini dibuat.




◇◇◇




Beberapa hari yang lalu.


"......"


Minori terdiam, mukanya keliatan kaget banget, sesuatu yang jarang terjadi.


"Ricchan?"


Akari, yang tadinya diem aja sambil nungguin, mulai bingung.


Minori lagi ngelihat jawaban Akari yang habis ngerjain soal-soal ujian masuk universitas.


Ini ujian penting buat Akari, buat nunjukin hasil belajarnya selama liburan, dan buat dapetin hadiah kencannya──


"......"


Minori nggak ngasih jawaban apa-apa.


"Minori? ...?"


Aku manggil dia, terus dia nengok ke arahku tanpa ngomong apa-apa.


"Kenapa? Jangan bilang..."


Apa jangan-jangan hasilnya jelek?


Kalau iya... aduh, aku nggak bisa bayangin.


Pasti suasananya bakal jadi tegang banget.


"Sini deh."


Minori tetep nggak ngasih tahu hasilnya, dia malah nyuruh aku nyamperin dia.


Terus dia ngasih buku catatan Akari sama kunci jawabannya ke aku.


"Eh, buat apa?"


"Tolong dicek ulang."


"Dicek ulang? Maksudnya..."


"Takutnya aku salah lihat."


"Oh, oke."


"To-tolong ya, Senpai...!"


Kayaknya Akari ngerti dari sikap Minori.


Matanya udah berkaca-kaca, dia nunduk ke arahku.


Meskipun dia tahu kalau jawabannya nggak bakal berubah, tapi aku ngerti banget dia berharap banget.


(Tapi, kalau nilainya jelek banget, pasti Minori nggak bakal minta aku cek ulang. Mungkin nilainya mepet banget sama batas lulus, makanya dia minta bantuan aku!)


Dalam situasi kayak gini, aku yang cuma disuruh ngecek aja jadi ikut gugup.


Aku nelen ludah, terus ngelihat ke buku catatannya.




Oke, coba kita lihat situasinya.


Kali ini, batas lulusnya 80%.


Jadi, dari total 400 poin (Bahasa Jepang sama Bahasa Inggris masing-masing 150 poin, Sejarah Dunia 100 poin), Akari harus dapet minimal 320 poin.


Mungkin di ujian yang sebenarnya juga batasnya segitu.


Buat standar ujian asli, mungkin agak susah buat dapet nilai segitu setelah liburan.


Tapi aku yakin Akari pasti bisa.


Meskipun nilai tes simulasinya turun, tapi aku udah lihat gimana dia belajar selama liburan, jadi aku yakin dia bisa.


(Tenang aja. Pasti Minori cuma salah lihat. Tenang aja, tenang...)


Aku bandingin jawaban Akari sama kunci jawabannya, sambil diliatin sama Akari yang udah tegang banget... dan tanpa sadar aku ikutan speechless kayak Minori tadi.


"Eh..."


"G-gimana!? Apa aku sebodoh itu!?"


"Ah, nggak, itu... bentar ya."


Aku nenangin Akari, terus ngecek lagi jawabannya berulang-ulang.


Tapi, ya jawabannya nggak bakal berubah.


Aku udah ngecek dari awal sampai akhir, sampai ke detail-detailnya, tapi... tetep aja nggak percaya.



Aku langsung ngerti kenapa Minori minta aku buat ngecek ulang.


Ya iyalah, siapa pun juga pasti pengen minta tolong orang lain buat mastiin. Aku juga gitu kalau bisa.


"Senpai..."


"A-ah, maaf!"


Akari duduk lemas di lantai sambil manggil namaku.


Jujur, aku kaget banget sama hasilnya sampai lupa kalau Akari ada di sini!


"Eh, gimana ngomongnya ya..."


"To-tolong kasih tahu aku yang sebenarnya...!"


"Ah, maaf! Aku salah ngomong. Anu..."


"Lulus atau nggak... Senpai, tolong bilang..."


"Iya, kamu lulus kok."


"Hah...!? Eeeeeeeh!?"


Aku sama Minori kaget denger teriakan melengking Akari.


"Lu-lulus? Aku lulus!? Kok bisa? Tadi kayaknya nggak mungkin banget! Kok gampang banget sih!?"


"Iya, aku juga tadinya mikir kamu nggak lulus, tapi sekarang kayaknya nggak perlu bingung lagi deh."


"Itu kan tujuannya!?"


Iya sih, yang paling penting itu lulus atau nggaknya, tapi setelah lihat jawabannya, kayaknya itu pertanyaan nggak sopan banget.


"Akari-chan emang hebat sih, tapi kamu yakin mau masuk universitas aku?"


"M-maksudnya?"


"Kamu dapet nilai sempurna di tiga mata pelajaran itu."


"... Hah?"


Akari melotot.


Jawabannya sempurna, semua poin pentingnya kena.


Nggak heran kalau dia nggak percaya, soalnya jawabannya sempurna banget.


"Akari, jangan bilang kamu nyontek ya?"


"Nggak kok!? Aku ngerjainnya jujur! Sumpah!"


"Padahal aku udah milih soal yang rata-rata nilainya paling rendah loh."


Kejam banget sih, nih anak.


Dia sih ngomongnya santai, tapi pasti dia mikir bakal seru kalau hasilnya jelek atau bagus.


"Pokoknya intinya aku lulus kan! Nggak penting nilainya berapa, yang penting lulus!"


"Iya, tentu aja. Ya kan?"


Aku nanya ke Minori buat mastiin, dan dia ngangguk.


"Berarti... kencan di festival budaya juga jadi ya!"


"Iya, tentu aja."


"Yeay! Yeay!! Yeay!!!"


Bukannya teriak "Hore!", tapi malah teriak "Yeay!".


Ngelihat Akari lompat-lompat kegirangan bikin aku ikutan seneng.


"Selamat ya, Akari. Akhirnya bisa ngedate di festival budaya."


"Iya!"


"Pasti Motomu-kun bakal mau pakai seragam sekolahnya juga."


"Nggak bakal!"


Aku nolak mentah-mentah.


Akari, jangan pasang muka sedih gitu dong.


Kalau aku pakai seragam, itu cuma jadi cosplay. Adik kelas yang kenal aku pasti bakal ngelihatin aku dengan tatapan aneh, terus langsung nyebarin ke alumni. Parahnya lagi, aku bisa dikira orang mencurigakan terus dilaporin ke polisi.


(Nggak deh. Nggak usah dipikirin lagi.)


Kayaknya orang tuaku yang suka nyimpen barang pasti masih nyimpen seragamku... tapi jangan sampai mereka berdua tahu deh.


"Tapi, aku lega banget. Soalnya aku trauma sama hasil tes simulasi yang jelek itu... sampai kebawa mimpi beberapa kali."


"Ngomong-ngomong, Akari, kamu bilang nilainya jelek, tapi kamu nggak pernah kasih lihat hasilnya ke aku."


"Eh! Soalnya aku malu..."


"......"


Minori natap Akari dengan tajam.


Aku ngerti maksudnya.


Dia mau bilang, "Masa sih nilai tes simulasimu jelek, padahal kamu bisa dapet nilai sempurna di soal ujian masuk?".


"I-iya beneran kok!? Nih, buktinya!"


Akari ngeluarin amplop gede dari tas sekolahnya.


"Jangan bilang kamu bawa itu terus di tas?"


"Iya, biar aku inget buat nggak dapet nilai jelek lagi!"


"Oh, gitu."


Dia disiplin banget ya, padahal pasti sakit hati banget ngelihat nilai itu terus.


Kayaknya aku salah sangka nih... Aku sama Minori lihat hasil tes simulasinya, terus──


"......"


"U-uh, jangan diliatin terus dong..."


Kok dia malah malu-malu...?


"Akari, ini kan ada tulisan B."


"Iya..."


"Ini kan nilainya dari A sampai E. B itu kan peringkat kedua dari atas."


"Iya..."


"Ini bukan nilai jelek, kan?"


Udah, aku ngomong aja!


Menurutku sih nilai B di tahap ini udah bagus banget.


Kalau itu sekolah pilihan utama, harusnya bisa jadi motivasi buat belajar lebih giat lagi biar nilainya naik pas ujian nanti.


"Tapi, aku kan biasanya dapet A! Lagian, nilai A itu tingkat kelulusannya 80%, kalau B cuma 60%..."


"Iya sih, tapi menurutku nilai B di tahap ini udah cukup kok."


"Tapi kalau dipikir-pikir lagi... Nilai A aja cuma 80%, artinya ada kemungkinan 20% nggak lulus, itu aja udah bikin aku khawatir, apalagi cuma 60%..."


Kayaknya dia terlalu negatif deh... tapi, aku ngerti banget kalau dia pengen banget lulus.


Emang sih, nggak ada yang pasti dalam ujian. Hasil tes simulasi sama waktu belajar selama ini nggak diitung pas ujian nanti.


Ternyata standar Akari jauh lebih tinggi daripada kita, tapi mungkin cara pikirnya dia yang bener, daripada putus asa atau terlalu optimis.


(Tapi, kalau kayak gini terus, dia bakal stres terus dong...)


Perang ujian masih panjang... Akari mungkin nggak bakal bisa santai sampai pengumuman kelulusan nanti.


Tapi, seenggaknya hari ini dia udah lulus ujian dari Minori.


(Aku harus bikin dia seneng-seneng di hari kencan kita nanti.)


Aku ngomong gitu dalam hati sambil ngumpulin semangat.



◇◇◇



Jadi, sekarang aku berdiri di depan gerbang SMA MeiRicchan, sekolahku dulu, setelah sekitar setengah tahun.


Tapi rasanya beda banget sama dulu.


Gedung sekolah udah dihias total buat festival budaya tahunan, jadi kerasa asing.


Ya iyalah, soalnya tiap tahun dekorasinya beda.


Sekarang jam setengah sebelas pagi. Festivalnya baru aja dibuka, dan pengunjung masih terus berdatangan.


Aku... ya, lagi ngelihat-lihat situasi dulu.


(Harusnya Akari ngasih tahu aku tempat ketemuannya, kan?)


Aku ngecek HP, tapi belum ada notifikasi.


Festivalnya udah mulai sih, tapi kayaknya masih ada acara pembukaan di aula buat anak-anak yang masih sekolah.


Wajar sih kalau dia belum ngabarin, soalnya pasti dia lagi asyik nonton.


"Kayaknya... aku masuk duluan deh, sambil lihat-lihat."


Kalau aku diem aja di sini, nanti Akari ngerasa nggak enak karena aku nungguin dia, jadi mendingan aku cari-cari acara yang menarik duluan.


Aku ambil brosur di pintu masuk, terus langsung nyari stan kelas tiga tempat Minori.


"... Beneran ada kafe Halloween."


Jujur, aku masih nggak percaya sampai sekarang... tapi ternyata beneran ada.


Dibandingin sama stan lain, stan ini lumayan oke juga.


Ada kesan bebasnya anak sekolahan, tapi nggak berlebihan.


Menarik perhatian, tapi nggak norak.


Mungkin aku bakal mampir ke sana nanti.


(Kalau ini emang sengaja... Minori emang pinter banget ya jadi pengamat?)


Mungkin juga cuma kebetulan, tapi aku jadi penasaran.


"Wah, klub atletik juga ada stan ya."


Aku jadi nostalgia ngelihat nama klubku dulu.


Nggak cuma klub atletik sih.


Waktu aku masih SMA, aku sama Subaru suka bingung mau ke mana dulu biar bisa nikmatin festivalnya sepuasnya, sampai melototin brosur terus.


Eh, nggak kerasa aku keasyikan baca brosur, tau-tau udah banyak anak sekolahan yang dateng.


Mungkin acara pembukaannya udah selesai... Pas lagi mikir gitu, HP-ku geter.


'Maaf telat! Senpai sekarang di mana?'


Kayaknya aku keasikan baca brosur.


Aku senyum ngelihat pesannya yang keliatan agak panik, terus aku bales.




◇◇◇




"Ma-maaf ya, aku telat...!"


Setelah bales pesannya, aku nunggu beberapa menit di pintu masuk, terus Akari dateng sambil lari.


Kayaknya dia buru-buru banget, soalnya napasnya ngos-ngosan.


"Nggak usah lari juga nggak apa-apa kok."


"Nggak bisa... Nggak boleh ninggalin Senpai sendirian, nanti Senpai dimakan piranha."


"Kamu suka banget ya sama perumpamaan itu."


Padahal nggak ada yang bakal nyerang aku.


Mungkin karena aku bukan murid lagi, jadi banyak yang ngeliatin, tapi ya nggak sampe nyerang juga.


"... Senpai itu nggak peka, jadi aku nggak bisa percaya."


"Hah!?"


"Udah, ayo jalan. Nanti kita makin diliatin kalau diem di sini."


"Ini misi rahasia apa gimana?"


Aku jalan ngikutin Akari.


Akari pakai seragam sekolahnya.


Meskipun aku udah biasa lihat dia pakai seragam, tapi ngelihat dia pakai seragam di sekolah bikin aku ngerasa tua.


Kayaknya kita jadi pusat perhatian... eh!?


(Semua cowok yang lewat ngeliatin Akari ya!?)


Anak-anak sekolah yang pakai seragam, sama pengunjung yang pakai baju bebas, semuanya berhenti buat ngelihat Akari.


Kayak cuma dia yang ada di spotlight, semua orang terpana ngelihat dia... Yah, aku ngerti sih perasaan mereka.


Meskipun kita sering ketemu akhir-akhir ini, tapi tetep aja Akari itu cantik banget.


Nggak cuma cantik, tapi semua tingkah lakunya juga menarik.


Kayak tiap detik itu foto terbaiknya... Apa cara muji aku aneh ya?


Pokoknya, kalau dia seangkatan sama aku, atau kalau dia bukan adiknya Subaru... mungkin aku juga bakal jadi kayak mereka, cuma bisa ngelihatin dia dari jauh sambil kagum.


"Senpai? Kenapa?"


"Ah, nggak apa-apa..."


"Hah!? Jangan-jangan ada sampah di rambutku!?"


Akari langsung panik sambil benerin rambutnya.


Cuma gara-gara itu, telinganya langsung merah... Rasanya kayak dia yang tadinya mau pergi jauh, tiba-tiba balik lagi ke sampingku.


"Senpai, kalau masih ada... anu, bisa tolong ambilin nggak...?"


"Eh."


Aku nggak sengaja berhenti, padahal dia nggak ngomong yang aneh-aneh.


Ngambilin sampah di rambutnya berarti nyentuh rambutnya... di depan banyak orang gini!?


(Lagian yang diliatin bukan cuma Akari doang...)


Semua orang ngelihat Akari dulu, baru ke aku.


Aku kan orang luar yang nggak pakai seragam, tapi jalannya deket banget sama Akari, jelas kita kenal.


Kalau sampai aku nyentuh rambutnya, semua orang bakal mikir kita punya hubungan spesial.


(Ya, emang hubungan kita spesial sih...)


Tapi nggak bagus juga kalau ketahuan di sini.


Apalagi kalau mikirin masa depan Akari di sekolah...


"U-udah nggak ada kok. Tadi udah jatuh."


"Oh ya? Maaf ya, aku ganggu."


"Nggak ganggu kok!"


Lagian emang nggak ada sampah dari tadi.


Tapi, sekarang aku baru ngerti risiko ngedate di festival budaya.


Kelakuan kita di sini bisa ngaruh ke sisa-sisa kehidupan sekolah Akari... Meskipun ini kemauan dia, tapi aku tetep ngerasa punya tanggung jawab besar...


Perutku mules karena gugup.




◇◇◇




Kita langsung pergi ke acara gabungan kelas tiga, 'Kafe Halloween'.


Kayaknya shift Minori itu pas awal festival.


Mungkin mereka sengaja nunjukin Minori yang cantik biar bisa promosi lebih cepet.


Minori juga tipe orang yang suka nyelesaiin kerjaan cepet-cepet, jadi ini pas banget buat dia.


Mungkin si pengamat itu lagi kerja beneran.


"Eh, kafe Halloween-nya di lantai enam ya. Jauh banget..."


"Ya iyalah, yang jadi pusat perhatian kan anak kelas satu sama dua."


Memang pahit sih, tapi anak kelas tiga yang ikut pasti udah tahu.


Lagian, kalau acara yang berhubungan sama makanan, biasanya stan yang paling rame itu yang ada di lapangan, kayak stannya klub olahraga.


Sebaliknya, stan yang ada di dalem gedung, apalagi di lantai atas, bakal lebih sepi.


Sulit banget narik pengunjung tanpa promosi... makanya promosi dari mulut ke mulut itu penting banget.


"Mudah-mudahan kita bisa bantu promosiin ya..."


"Kita lihat aja nanti, gimana?"


"Iya juga sih. Siapa tahu udah rame."


Kita ngobrol sambil naik ke lantai enam.


Semakin ke atas, makin dikit pengunjungnya.


Dan di lantai enam... sepintas sih, nggak ada antrian di lorong.


"Ah, Senpai. Itu dia! Ada plang namanya!"


Akari nggak peduli sama suasana sepi, dia langsung lari ke arah plang kafe Halloween.


Aku ngikutin dia... dan ternyata bener.


Dekorasinya agak gelap. Ada hiasan labu juga.


Warna hitam sama oranye-nya bikin kerasa banget suasana Halloween.

Saat aku sedang asyik melihat dekorasi yang ternyata cukup serius, tiba-tiba ada cewek pakai baju maid keluar dari kelas, kayaknya dia yang jaga di luar.


"Loh, Miyamae-san?"


"Ah, Kinoshita-san! Pagi!"


Kayaknya mereka saling kenal, Akari nyapa dia sambil senyum.


"Kamu ke sini mau main?"


"Iya. Ricchan ngajak aku ke sini."


"Makasih banyak! Aku lagi bingung mau gimana caranya biar banyak yang dateng ke sini... Eh, kamu bawa temen juga?"


Kayaknya Kinoshita-san baru sadar kalau ada aku.


Dia senyum tipis ke aku, terus matanya melotot, dan dia teriak,


"Jangan-jangan, ini Shiragi-senpai!?"


(Senpai...?)


Aku agak bingung sama panggilannya.


Kayaknya dia kenal aku. Tapi... aku nggak inget dia.


"Berarti, kakak Miyamae-san juga...?"


"Ah, anu, kakakku nggak ikut... Hari ini cuma aku sama Senpai aja."


"Serius!? Keren!"


"Eh...?"


Aku nggak ngerti mereka ngomongin apa.


Kayaknya sih nyambung, tapi...


"Ah, silakan masuk. Akari, Motomu-kun."


Pas aku lagi bingung, Minori keluar dari kelas.


Dia kayak penyelamatku!


"Ricchan! ...Kok masih pakai seragam?"


"Iya. Aku mau ganti baju dulu."


"Lagi persiapan ya? Kalau gitu, aku tunggu aja."


"Nggak, nggak apa-apa. Ya udah, Kinoshita-san, biar aku yang anterin mereka berdua."


"Oke, sip!"


Kinoshita-san hormat dengan gaya militer.


Sambil bawa papan nama kafe Halloween, dia noleh ke aku.


"Anu, Shiragi-senpai. Nama aku Kinoshita Natsumi!"


"Kinoshita Natsumi-chan. Emm... salam kenal ya?"


"Iya! Salam kenal! Silakan, nikmati ya!"


Kinoshita-san nunduk, terus pergi sambil lari.


Aku masih bingung sama kejadian tadi, terus aku ngerasa ada dua pasang mata yang natap aku tajam.


Akari sama Minori.


"Eh, kenapa?"


"... Nggak apa-apa."


"Kamu masih sama aja ya, Motomu-kun."


"Hah?"


Aku bingung, apa aku bikin mereka marah atau kesal ya?


Nggak ngerti, aku cuma bisa bingung.


"Ya udah, masuk yuk. Kafe-nya baru buka, jadi belum ada pengunjung lain."


"Oke!"


"Ah, Akari ikut aku ke sini ya. Motomu-kun, silakan duduk aja."


"Hah? Eh, Akari-chan!?"


Minori ngomong gitu, terus narik tangan Akari pergi.


"Eh...?"


"S-Shiragi-senpai! Sini, silakan!"


"Ah, iya. Makasih."


Seorang pelayan, yang sekarang pakai kostum kayak zombie, nganterin aku ke meja.


Kalau belum ada pengunjung lain, berarti kita pengunjung pertama ya?


Murid-murid di dalam kafe yang pakai kostum macem-macem pada natap aku dengan tegang, tanpa sungkan. Cewek cowok sama aja.


(Agak nggak nyaman sih...)


Akari udah pergi, dan meskipun ini anak kelas tiga, ada beberapa yang aku inget mukanya, tapi karena mereka pakai kostum, aku jadi susah ingetnya.


Kayaknya adik kelas yang kenal aku cuma dari klub, dan klubnya bukan tipe yang bisa dapet rekomendasi masuk universitas, jadi pasti mereka lagi sibuk belajar atau cari kerja...


"Pe-pesanannya apa?"


"Emm, kalau gitu... satu kopi."


"Ba-baik!"


Zombie-chan (nama sementara) pergi sambil terbata-bata.


Tapi, semua mata tetep ngelihatin aku──


(Gawat...!)


Aku duduk nggak tenang, berharap Akari atau Minori cepet balik.




◆◆◆




Aku dibawa Ricchan ke ruang kelas di sebelah kafe Halloween.


Kayaknya Senpai cuma dianterin biasa aja, tapi... aku khawatir.


Soalnya, Senpai kan terkenal!




Waktu aku kelas satu, ada gosip kalau kakak aku sekolah di sini.


Terus beberapa temenku ngintip ke kelas dua... dan pas balik, mereka bilang,


"Ada kakak kelas ganteng, loh!"


Aku langsung tahu itu Senpai──Shiragi Motomu-senpai.


Kakakku juga lumayan ganteng sih, tapi auranya agak konyol gitu... kayak bukan ganteng beneran.


Tapi, Senpai beda!


Dari jauh aja keliatan kalau dia orangnya baik. Senyumnya manis. Suaranya bikin adem.


Banyak banget deh... Mungkin aku agak lebay, tapi emang beneran kok.


(Aku bangga sih, tapi juga agak sedih...)


Makin banyak yang suka sama Senpai, makin banyak juga saingannya.


... Tapi, Senpai kan nggak peka, jadi dia nggak sadar.


(T-tapi, sekarang kan aku! Aku yang jadi pacarnya Senpai!! ... tapi tetep aja)


Aku masih sering ngerasa nggak percaya.


Kayak keajaiban bisa pacaran sama Senpai itu cuma mimpi panjang.


Takutnya kalau tiba-tiba kebangun dari mimpi, Senpai udah jauh lagi... Makanya tiap pagi aku selalu ngechat dia "selamat pagi", terus nunggu balesannya, dan kalau dia bales "selamat pagi" juga, aku lega karena itu bukan mimpi.


Sebenarnya aku pengen lebih sering ketemu Senpai. Pengen selalu ada di sampingnya.


Beberapa bulan sampai ujian masuk itu kerasa lama banget.


Mungkin nilai tes simulasiku yang jelek itu karena aku terlalu cemas... waktu itu kan aku belum jadian sama Senpai.


"Hahh..."


"Ngeluh mulu."


"Ah, maaf. Ricchan."


"Nggak apa-apa. Udah, cepetan ganti baju."


"Iya... Eh!? Ini apaan, kok tiba-tiba ada di sini!?"


Tiba-tiba aku disodorin kain hitam──eh, baju!?


Ricchan mulai buka seragamnya tanpa peduliin aku──eh, kamu juga!?


"Ricchan, kamu ngapain!?"


"Ya ganti baju lah. Tenang aja, aku udah booking ruang kelas ini buat cewek ganti baju kok."


"Ganti baju...?"


"Ini kan kafe Halloween, harus pakai kostum dong. Ayo, Akari juga."


"Aku juga!?"


Berarti, baju hitam ini buat aku!?


"Kok aku nggak dikasih tahu!?"


"Aku emang belum bilang."


Ricchan ngangguk kayak nggak ada apa-apa, terus dia buka bra-nya juga.


"Waaa!?"


"Kostumku agak terbuka nih. Katanya sih cocok buat aku, tapi aku agak nggak nyaman."



Sambil berkata begitu, Ricchan memasang kostum berbulu tebal dengan bantalan di dada... Tapi, itu hampir seperti pakaian dalam karena hanya menutupi sedikit bagian dada!


"Gimana? Cocok gak?"


"Kalau ditanya cocok, ya cocok banget sih!"


"Ya, kadang-kadang cosplay seperti ini juga tidak buruk."


Ricchan terlihat sangat bersemangat, bahkan sampai selfie.


Ternyata dia yang suka fashion, cosplay juga masuk dalam daftar hobinya...


"Nih, Akari."


"Nggak, nggak bisa! Aku nggak punya tubuh seindah Ricchan."


"Ah, nggak juga kok. Lagipula, kostummu beda dengan punyaku. Eh, atau kamu lebih suka yang ini?"


"Nggak, nggak suka!"


Jika dibandingkan dengan kostum berbulu tebal Ricchan (kita sebut begitu untuk sementara), kostum hitam polosku (yang masih belum terlihat sepenuhnya) terlihat lebih baik.


"Lagipula, aku kan bukan peserta. Apa boleh pakai kostum?"


"Boleh kok. Kamu pakai kostum dan nikmati festival budaya, jadi duta iklan untuk kafe Halloween kita."


"Aku harus keliling festival budaya pakai kostum ini!?"


"Iya. Oh ya, itu ada permainan kata-kata antara 'menyebarluaskan' dan 'memalukan'. Hehe."


"Ya ampun, kamu bangga banget sih."


Ricchan bahkan membuat tanda V dengan jarinya.


Sepertinya ini adalah strategi Ricchan sebagai pengamat untuk mempromosikan kafe Halloween.


"Lagipula, kamu kan mau dilihat cute sama Motomu, kan?"


"Ugh!!"


"Di sekeliling ada cewek-cewek SMA yang menarik dengan kostum. Kalau kamu pakai pakaian biasa, pandangan Motomu akan beralih ke cewek lain, kan?"


"Mungkin iya..."


Ricchan berbisik di telingaku dengan sangat dekat.


Tapi ini bisikan setan.


Karena... Ricchan tersenyum lebar tanpa menyembunyikannya!


"Kalau begitu, aku yang akan godain dia deh?"


"Ricchan yang godain!?"


Aku memandangi Ricchan lagi.


Bagian bawahnya masih mengenakan rok seragam, tapi bagian atasnya... Hanya kostum berbulu tebal!


Ricchan memang punya tubuh yang luar biasa, tapi dengan kostum berbulu ini, dia terlihat sangat seksi.


Pinggangnya ramping seperti model, dan karena ada bantalan di kostum, dadanya juga terlihat menonjol dan berbentuk... Siapa yang tidak tergoda!?


"...Aku pakai. Aku pakai yang hitam ini juga!!"


Aku memang tidak punya keberanian untuk berjalan keliling festival dengan kostum berbulu tebal seperti Ricchan, tapi kalau yang hitam ini, aku berani! Luas kainnya lebih banyak!


Walaupun aku mungkin tidak bisa mengalahkan Ricchan yang seksi, setidaknya dengan kostum yang tidak biasa ini, senpai pasti akan memperhatikan aku lebih.


"Semoga ini bukan kostum yang konyol seperti pakaian ketat seluruh tubuh!"


"Kamu pikir aku sejahat apa?"


Mendengar Ricchan menyindirku dengan tenang, aku perlahan membuka kostum hitam itu dan...


"Ini... Apa!?"


Mata ku terbuka lebar!



◇◇◇



Setelah sepuluh menit di kafe Halloween...


"Se-senpai, mau tambah kopi?"


"Tidak, terima kasih."


"Shiragi-senpai, mau saya pijat bahunya?"


"Tidak, itu juga tidak perlu."


...Canggung.


Para pelayan cewek terus mencoba mengajakku bicara dengan antusias, tapi aku merasa mereka agak kaku dan canggung.


Aku juga merasa tidak nyaman karena tidak bisa mengembangkan percakapan... Maafkan aku.


(Kapan sih mereka berdua balik...)


Entah sudah berapa kali aku berdoa dalam hati.


Kalau saja yang ada di sini cowok, pasti lebih gampang ngobrolnya. Tapi yang ngumpul di sini malah cewek-cewek semua, sementara cowok-cowok pada ngejauh.


Dan lama-kelamaan, cowok-cowok itu juga disuruh bantu-bantu jadi calo... sampai akhirnya nggak ada lagi yang keliatan di kelas.


Bener-bener kayak orang asing di sini.


"Ngomong-ngomong, Shiragi-senpai..."


"Eh, iya. Ada apa?"


"Tadi Senpai datang sama Miyamae-san, ya?"


"...? Oh, iya."


"Senpai ada hubungan apa sama Miyamae-san?"


(Hah?!)


Aku hampir aja nyemburin kopi yang lagi aku minum. Untung aja bisa ditahan.


Kalau aku jadi mereka, pasti aku juga penasaran. Jadi aku udah siap ditanyain kayak gini, tapi... pertanyaannya tiba-tiba banget dan langsung ke intinya, jadi aku belum siap mental.


(Tapi... nggak apa-apa.)


Jantungku udah mau copot dan tenggorokanku kering banget, tapi dari luar kayaknya aku masih keliatan tenang.


Jadi, sambil berusaha mengatur napas, aku jawab dengan senyum paling manis yang bisa kubuat.


"Aku temenan sama kakaknya. Kebetulan lagi libur kuliah, jadi diajakin ke sini."


Nggak bohong kok. Nggak sepenuhnya bohong.


Aku emang temenan sama Subaru. Dan aku emang diajakin ke sini... sama Minori sih.


Mungkin mereka ngiranya aku diajakin sama Subaru.


Pokoknya, aku mutusin buat nggak bilang dulu kalau aku pacaran sama Akari.


Mungkin aku terlalu mikir yang enggak-enggak, tapi kalau mereka tahu aku pacaran sama... atau lebih tepatnya, sama anak kuliahan, bisa-bisa malah jadi masalah baru.


Mudah-mudahan mereka puas dengan jawabanku...


"Ehm... boleh nanya satu lagi?"


"Boleh, apa?"


Nah kan, mulai deh interogasinya!


Sambil siap-siap ditanyain macem-macem, aku ngangguk tanpa menghilangkan senyumku.


Dia agak ragu-ragu, matanya ngelirik ke sana kemari sebelum akhirnya nanya,


"Itu... apa Senpai deket juga sama Sakurai-san?"


"Hah? Minori?"


Aku kira pasti bakal ditanya soal Akari, jadi pertanyaan ini bener-bener nggak diduga.


Dan aku langsung sadar.


(Eh, barusan aku...)


"... Senpai, tadi bilang Minori?"


"Jangan-jangan, Senpai kenal Sakurai-san?!"


Bisik-bisik mereka kedengeran juga sama aku.


Aduh, gawat! Keceplosan!


"Eh, bukan, tadi itu..."


"Ah, gitu ya. Sama Sakurai-san... Tapi, kayaknya cocok juga ya?"


"Udah kayak pasangan di komik. Nggak ada gunanya iri sama mereka."


Eh, kok malah jadi ngegosip?!


Buat cewek seumuran mereka, ngomongin cinta-cintaan itu kayak makanan favorit.


Dan kayaknya aku, Akari, sama Minori udah jadi bahan gosip yang enak buat mereka.


(Nggak nyangka bakal ngerasain jadi 'piranha' kayak yang dibilang Akari... Eh, tapi ini bukan waktunya buat mikirin itu!)


Aku harus cepet-cepet jelasin kalau aku sama Minori nggak pacaran!


"Nggak kok, aku sama dia nggak ada hubungan apa-apa. Cuma satu SMP doang!"


"Masa sih? Tapi, biasanya orang cuma manggil nama kalau udah deket banget."


"Apalagi itu kan Sakurai-san! Dia nggak bakal ngizinin cowok manggil dia pakai nama!"


"Iya tuh!"


Gawat, nggak mempan.


Wajar sih kalau mereka lebih tertarik sama gosip pacaran daripada nggak pacaran... Tapi, jangan nyerah, semangat!


"Dulu kita satu klub juga. Jadi sering ngobrol."


"Eh, berarti Senpai satu klub sama dia, ya? Klub atletik?"


"Iya."


"Oh, jadi Shiragi-senpai dulu juga ikut atletik pas SMP?"


"Ya iyalah. Klub atletik kita biasa aja, tapi Shiragi-senpai paling menonjol!"


"Iya, kayak nggak cocok ada di sekolah kita."


Kok malah ngomongin yang lain sih?!


Mereka dengerin omonganku, tapi langsung kebawa arus.


Lagian, mana mungkin aku bisa ngelawan mereka sebanyak ini...


"Eh, lagi ngomongin apa nih rame-rame?"


"Eh, Sakurai-san!"


Korban baru?!


Dengan kemunculan Minori si kelinci malang di kafe Halloween ini, suasana langsung makin heboh... eh.


"Hm, ada apa?"


Minori natap kami dengan mata sayunya yang biasa.


Tapi, aku dan cewek-cewek lain cuma bisa bengong ngeliatin dia.


Ngeliatin penampilannya.


"Oh, ini? Menurutku sih aku cocok pakai kostum ini."


Minori muter badannya dengan bangga.


Ekor dan telinga berbulunya ikut bergoyang, dan juga dadanya... Eh!


"I-itu kostum apaan?!"


"Hmm, kayak cewek serigala kucing gitu?"


"Apaan tuh..."


Kostum Minori simpel banget.


Atasan sama bawahan bikini berbulu kayak bulu binatang.


Terus sarung tangan sama sepatu kayak kaki kucing, sama bando berbentuk telinga kucing. Udah, itu aja.


Memang sih ini jelas kostum, tapi terlalu terbuka.


Cuma cocok dipakai di pantai, tapi ini kan kelas yang didekorasi jadi kafe Halloween... Rasanya jadi gimana gitu.


Dan kostum minim kayak gini malah makin nunjukin betapa menariknya Minori.


Sampai-sampai cewek-cewek lain aja pada terpana.


"Sakurai-san cantik banget..."


"Udah feeling bakal cocok sama dia."


"Untung cowok-cowok pada nggak ada di sini."


Ada yang bengong, ada yang sok bangga, ada yang lega.


Macam-macam reaksinya, tapi kayaknya mereka semua mengakui kalau Minori itu spesial.


"Terus, tadi kalian lagi ngomongin apa? Nggak usah sungkan-sungkan sama aku."


"Eh..."


"Oh iya, itu tuh!"


Minori yang nggak tahu apa-apa malah balik lagi ke topik awal.


Sebenernya ini topik yang bahaya kalau dibiarin gitu aja. Tapi...


"Sakurai-san, beneran pacaran sama Shiragi-senpai?!"


"... Hah?"


Minori natap aku dengan mata dinginnya.


Jelas dia minta penjelasan, tapi sayangnya aku nggak punya hak buat ngomong apa-apa di sini.


"Dia yang bilang gitu?"


"Enggak sih, tapi mereka kayaknya deket banget."


"Kan mereka satu SMP, satu klub juga!"


"..."


Tatapan Minori kayak bilang, "Kok kamu cerita sampai segitunya?!"


(Ya gimana lagi, keadaannya gini...)


Aku balas natap dia dengan tatapan minta maaf.


Tatapannya seperti melihat sesuatu yang menyedihkan, tapi aku nggak yakin apakah dia benar-benar mengerti.


"Dia juga bilang gitu?"


"Emm, Shiragi-senpai sih bilang enggak, tapi..."


"Ya udah berarti jelas, kan?"


Ucapannya yang blak-blakan bikin cewek-cewek yang tadinya heboh jadi diem.


"Ish... coba yang bener dong kalau nolak."


"Ma-maaf."


Minori emang nggak pernah basa-basi kalau kayak gini, jadi omongannya suka kasar. Tapi ini juga salahku sih, karena nggak bisa jelasin dengan benar.


Kayak kata dia, aku harus introspeksi diri.


"Yah, memang kita satu SMP dan satu klub sih, jadi lumayan deket."


"Tu-tuh kan! Aku aja nggak pernah denger Sakurai-san deket sama cowok!"


"Makanya aku kira dia spesial... Maaf ya, Sakurai-san."


"Nggak usah minta maaf. Yang salah itu dia semua."


"Semua?!"


"Iya. Dia yang bikin kalian salah paham, dia juga yang bikin pemanasan global, pokoknya semua deh."


Minori sok tahu banget nyalahin aku buat segala macem hal.


"Kalau gitu, kamu pakai kostum kayak gitu juga gara-gara aku bikin bumi panas dong?"


"Hah? Kamu mikir yang aneh-aneh, ya? Mesum."


"Kok jadi gitu?!"


Bahkan dalam situasi kayak gini, kalau aku ngelawan dikit aja langsung kena serangan balik yang lebih parah.


Aku cuma bisa senyum kecut sambil dengerin serangan verbalnya yang nggak kenal ampun, pas ngeliat cewek-cewek lain natap aku dengan kaget.


"Ternyata... bener, kan?"


"Iya. Sakurai-san yang kayak gini, cuma keliatan kalau ada Miyamae-san."


"Katanya nggak pacaran, tapi..."


Mereka bisik-bisik, tapi aku masih bisa denger dengan jelas.


Akari juga pernah bilang kayak gini... Apa jangan-jangan, orang lain juga ngeliat aku sama Minori deket banget?


Aku jadi nggak tenang dan ngelirik ke Minori... tapi dia malah asyik nyari rambut bercabang. Aneh banget sih.


"... Ah. Aku lupa bilangin Akari buat masuk."


Kayaknya dia baru inget dan langsung ngeliat ke arah pintu masuk.


"Akari, masuk aja!"


Kayaknya Akari disuruh nunggu di luar sama Minori.


Pintu terbuka pelan-pelan, dan Akari...


"Ricchan... lama banget sih..."


"Maaf, maaf. Tadi lagi seru."


"Seru apaan sih..."


"Waaah! Miyamae-san, lucu banget!"


"Cocok banget!"


"Boleh foto, nggak? Foto!"


"Eh?! Tunggu, semuanya?!"


Cewek-cewek langsung ngerubungin Akari sampai dia nggak keliatan. Tapi... dia pakai kostum, ya?


Aku cuma bisa ngeliat ujung topi runcingnya dari balik kerumunan cewek-cewek itu.


Kostumnya nggak aneh-aneh kayak Minori, lebih ke arah yang umum tapi tetep bernuansa Halloween...


"Nggak apa-apa nih? Nggak mau liat dari deket?"


"Ya penasaran sih... tapi ngapain pelayannya malah duduk di meja pelanggan?"


Minori yang dari tadi diem di sebelahku mulai ngeledekin.


Jelas aku mau liat Akari pakai kostum, apalagi kalau kostumnya beda dari biasanya.


Tapi aku juga nggak mau keliatan terlalu penasaran...


"... Akari emang selalu kayak gitu di sekolah?"


Aku cuma bisa ngalihin topik pembicaraan.


"Kayak gitu gimana?"


"Kayak pas lagi sama kamu... kayak anak manja gitu?"


"Yah, dia emang dimanja sih. Sama beberapa orang."


"Beberapa orang?"


"Meski keliatannya gitu... kamu juga pasti udah ngerasain sendiri, kan? Akari itu pinter banget, jago olahraga juga. Cuma nggak kuat lari aja."


"Oh..."


"Dia dipercaya banget sama guru-guru, populer, banyak yang nembak dia..."


"..."


"Kenapa? Cemburu?"


Aku nggak mau kemakan umpannya. Aku cuma ngalihin pandangan dan nunggu dia ngomong lagi.


"Cih."


Minori ngehela napas kayak kecewa, tapi aku cuekin aja!


"Intinya, banyak juga yang minder sama Akari karena dia terlalu sempurna."


"Ah... mungkin aku ngerti."


"Lagian, Akari juga suka sok keren."


"Sok keren?"


"Sok dewasa, sok cool, sok jaim."


"Oh gitu..."


Dulu pas Akari pertama kali datang ke rumahku, kesannya emang kayak gitu sih.


Bukannya aku mikir dia sok, tapi lebih ke arah anak orang kaya yang sopan gitu.


Dulu aku nganggep Akari kayak gitu.


Kalau kita nggak ngobrol dan berusaha kenal orang lain, kita nggak bakal tahu sifat aslinya.


"Tapi, Akari itu nggak bisa nutupin sifat aslinya. Malah itu yang bikin dia menarik."


"Ricchan!"


"Ah, dia kabur."


Akari berhasil lolos dari kepungan cewek-cewek dan lari ke arahku sambil berkaca-kaca.


Penampilannya kayak penyihir di dongeng.


Tapi nggak ada kesan seramnya sama sekali.


Dia pakai topi sama jubah hitam... mungkin lebih cocok dibilang penyihir kecil yang masih magang.


Imut, polos, masih belum terbiasa sama kostumnya... Pokoknya imut.


"Tuh, Akari. Motomu-kun ngeliatin kamu."


"Eh! Ka-Kak..."


Wajah Akari langsung merah padam.


Mungkin karena dia malu ketahuan lagi manja-manjaan sama Minori, atau karena malu pakai kostum... atau mungkin dua-duanya.


"Cocok banget kok."


"Ih, nggak seneng! Kayak anak kecil banget!"


Aku muji beneran, tapi kayaknya dia nggak suka.


"Nggak kok, Akari."


"Kalau Ricchan yang bilang, kedengarannya kayak nyindir!"


"Tapi kan tadi kamu bilang nggak mau pakai."


"Iya sih, tapi..."


Akari manyun sambil nurunin bahunya.


"Kalau lima tahun lebih muda mungkin masih cocok... Hah! Masa aku harus keliling festival pakai ini?!"


"Hah? Emangnya iya?"


"Ah, Motomu-kun belum tahu ya? Akari bakal jadi papan iklan berjalan buat kafe Halloween, jadi dia harus keliling sekolah pakai kostum ini."


"Aku nggak bisa jadi iklan! Nanti dikira aneh!"


"Nggak kok. Ya kan, semuanya?"


Minori ngelirik ke cewek-cewek lain, dan mereka semua ngangguk setuju.


Dan untuk kali ini, aku setuju sama Minori.


Memang sih konsepnya agak kekanak-kanakan, tapi Akari sendiri udah cantik banget.


Mau cewek atau cowok, pasti bakal noleh kalau papasan sama dia dan penasaran sama kostumnya.


Cuma masalahnya, apa mereka bisa ngehubungin kostum penyihir ini sama kafe Halloween...



"Tinggal kalungin ini di leher, beres deh."


Kayaknya mereka udah siapin semuanya.


Ada papan kecil bertuliskan nama dan lokasi kafe Halloween yang dikalungin ke leher Akari, jadi dia nggak perlu repot-repot promosi.


"Uuuuuhhh!!"


Meskipun agak nggak tahu malu nyuruh orang yang nggak ikut serta buat promosi, tapi mereka juga tetep perhatian sama Akari. Akari jadi bingung mau protes apa enggak.


Yah, aku ngerti sih. Aku juga sering dibujuk rayu sama Subaru... paham banget rasanya.


"Udah, Miyamae-san. Sebagai ucapan terima kasih, semua makanan dan minuman di sini gratis buat kamu!"


"Gra-gratis?!"


Nah kan, goyah.


Setelah tinggal bareng, aku jadi tahu kalau Akari itu orangnya hemat.


Keluarganya Miyamae emang kaya, tapi Akari sendiri pelit dan gampang banget tergoda sama diskon atau gratisan.


"Kita nggak cuma fokus di kostum, tapi makanan sama minumannya juga. Berkat Sakurai-san, kita bisa hemat banyak buat biaya kostum!"


"Ehem."


"Wah... hebat banget, Ricchan...!!"


Akari sampai ngiler ngebayanginnya.


Wah, kayaknya dia udah luluh total.


"Ya-ya udah deh. Nggak ada pilihan lain..."


Sambil senyum-senyum malu, Akari langsung mesen kue.


Tapi, ada pepatah bilang "Nggak ada yang gratis di dunia ini".


Kalau Akari udah nikmatin kue gratis di sini, nanti dia bakal susah nolak kalau disuruh jadi papan iklan lagi, meskipun dia nyesel...


(Ah, nggak apa-apa lah.)


Jujur aja, sayang banget kalau dia harus lepas kostum seimut ini.


Mungkin Akari malu dan nggak nyaman, tapi kalau aku boleh egois, mending dia tetep pakai kostumnya...


(Eh, tapi kayaknya aku juga udah kena suap nih.)


Sambil ngetawain diri sendiri, aku diem-diem merhatiin Akari. 















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !