Chapter 5
Ingin Memastikan Perasaanku pada Miyag
Sejak Hari Itu
Sejak hari aku memasangkan anting di telinga Miyagi, dia mulai datang ke kamarku. ── Meski baru dua kali sih.
Pertama kali dia datang karena aku minta dipinjamkan manga. Miyagi membawanya sampai ke kamarku, lalu langsung pergi. Kedua kalinya adalah hari ini. Saat sedang makan malam, aku bilang mau pinjam kamus. Dia pun membawanya ke kamarku.
Padahal, aku juga punya kamus di kamar.
Sebenarnya, nggak perlu sampai pinjam. Aku cuma ingin tahu apakah Miyagi akan datang lagi kalau aku memintanya. Aku yakin dia sadar kalau kamus itu cuma alasan. Tapi dia tetap datang ke kamarku, dan sekarang dia duduk di sebelahku.
“Mumpung lagi libur Golden Week,” katanya.
Mungkin karena aku sempat bilang, “Selama liburan, sempatkan waktu ya.” Entah karena itu atau bukan, yang jelas sekarang Miyagi ada di sini. Dia duduk manis di sampingku, membaca manga yang dia pinjamkan.
Aku menutup manga yang tadi aku baca dan meremas tangan boneka platipus yang membungkus kotak tisu.
Dulu, tempatku selalu di samping Miyagi, dan tempat Miyagi juga selalu di sebelahku. Tapi sekarang, rasanya sedikit canggung. Mungkin karena jarak di antara kami selama ini. Kalau ngobrol, mungkin aku bisa merasa lebih santai. Tapi aku nggak tahu harus ngomong apa. Lagipula, Miyagi sedang sibuk membaca manga. Aku takut kalau mulai bicara, dia malah bilang aku ribut. Jadi lebih baik diam saja. Tapi, kalau Miyagi ada di sebelahku, rasanya aku tetap ingin mengobrol.
Aku melepaskan tangan platipus itu, lalu memegangnya lagi.
Tangan boneka itu kecil, lembut, dan tanpa suhu tubuh.
Boneka platipus ini awalnya ada di ruang bersama, tapi sekarang pindah ke kamarku. Seolah-olah itu jadi pesan kalau Miyagi bakal sering datang ke sini. Kalau bukan itu alasannya, apa bedanya boneka itu ada atau nggak di kamarku? Tapi aku masih nggak ngerti kenapa Miyagi, yang biasanya nggak pernah datang ke kamarku, tiba-tiba memutuskan untuk ke sini.
Aku terus meremas tangan boneka itu.
“Sen, kamu suka banget sama itu, ya?”
Dari sebelahku, suara Miyagi memecah keheningan. Aku memandangnya. Dia berhenti membaca manga dan malah menatapku.
“Suka apanya?” tanyaku.
“Platipus itu. Dari tadi kamu pegang terus, jadi aku pikir kamu suka.”
“Ya, lumayan lah.”
Aku menjawab seadanya sambil mengetuk kepala boneka itu pelan. Aku nggak terlalu peduli dia lihat aku mainan sama boneka, tapi sekarang aku jadi bingung mau taruh tangan di mana. Akhirnya aku membuka manga yang tadi aku baca. Bersandar di kepala tempat tidur, aku mulai membalik halaman. Satu, dua, sampai lima halaman. Tiba-tiba Miyagi bicara lagi.
“...Kapan mulai kerja sebagai tutor?”
Aku menutup manga dan menoleh ke arahnya.
Beberapa waktu lalu, seorang senior cerita soal pekerjaan sebagai tutor, dan aku langsung setuju untuk ambil pekerjaan itu.
“Katanya mulai setelah liburan selesai. Kamu sendiri nggak mau kerja paruh waktu?”
“Enggak.”
“Mau ikut klub?”
“Nggak tertarik. Kamu sendiri nggak ikut klub, Sen?”
“Nggak juga. Mending waktu aku dipakai buat hal lain.”
Sejak masuk universitas, teman-temanku pada ribut soal klub ini bagus, klub itu seru. Kayak paket lengkap kalau ngomongin kehidupan kampus. Aku juga sempat ditanya, “Hazuki, kamu bakal ikut klub apa?” Tapi aku nggak tertarik memperluas pergaulan atau ikutan kegiatan rame-rame. Menurutku, lebih berguna kerja paruh waktu. Apalagi kalau Miyagi di rumah, aku lebih memilih meluangkan waktu untuk makan bareng dia.
“Awalnya aku pikir kamu tipe mahasiswa yang bakal sibuk ikut klub atau pergi ke pesta-pesta,” kata Miyagi.
“Kamu pikir aku kayak gitu?”
“Ya, soalnya dulu kamu sering banget main sama Ibaraki-san. Aku kira kamu bakal sama aja pas di kampus.”
“Hmm, masuk akal.”
“Pas libur Golden Week, aku juga pikir kamu bakal pergi main sama teman.”
“Enggak kok. Aku di rumah aja.”
“Kenapa di rumah?”
Miyagi bertanya dengan wajah serius banget.
“Kenapa ya...?”
Karena Miyagi ada di rumah. Itu saja. Tapi kalau dipikir lagi, jawaban itu terdengar aneh. Aku dan Miyagi bukan tipe teman yang suka jalan bareng, apalagi yang sering berbagi waktu. Aku hanya ingin menghabiskan waktu bareng dia. Dan sesekali, Miyagi menyesuaikan diri denganku.
Aku menarik napas dalam-dalam, lalu menahannya.
“Miyagi, liburan ini kamu nggak pulang kampung, kan?”
Aku pernah tanya soal hari kosongnya selama libur Golden Week, pas aku masangin anting untuknya.
Tapi aku nggak tahu apakah dia ada rencana lain atau tidak.
“Seperti yang aku bilang, aku nggak pulang.”
“Ketemu teman lama juga nggak?”
“Golden Week ini nggak.”
“Jadi, nggak ada rencana, dong?”
“Aku pergi sama Maika.”
Tentu saja.
Aku hampir menghela napas.
Kalau dia punya rencana, pasti sama Utsunomiya.
Dan benar saja, aku merasa sedikit kesal.
“Kalau kamu mau pergi sama Utsunomiya, kenapa nggak pergi juga sama aku?”
“Maika aja cukup. Lagipula, kita nggak cocok soal hobi, kan?”
Sama seperti terakhir kali, dia langsung menjawab tanpa pikir panjang.
Dengan Maika, dia mau pergi. Tapi denganku, tidak.
Jawaban seperti ini bikin aku nggak enak hati.
“Iya sih,” jawabku singkat.
Kami memang nggak punya banyak kesamaan. Tapi ada beberapa hal yang ingin kulakukan bareng dia.
Sekarang, anting yang dia pakai memang aku yang pasangkan. Tapi itu bukan anting pilihanku. Kalau anting itu harus jadi pengingat janji, aku ingin dia pakai yang aku pilihkan. Aku ingin mencari anting yang lebih cocok untuknya.
Tapi aku tahu dia nggak bakal mau pergi mencarikan anting bersamaku.
“Kapan ulang tahunmu, Miyagi?”
Aku bertanya, walau tahu dia mungkin nggak akan menerima hadiah dariku.
“Kenapa nanya tiba-tiba?”
“Baru sadar aku nggak tahu kapan ulang tahunmu.”
“September.”
“Itu aku udah tahu. Tepatnya tanggal berapa?”
Saat dia memberiku kalung, aku tahu ulang tahunnya di September. Tapi aku nggak tahu tanggalnya.
“...Aku nggak mau bilang sekarang.”
Mungkin karena punya firasat buruk, dia terlihat mengerutkan kening.
“Suatu saat kasih tahu, ya.”
“Kalau aku lagi mood.”
Dia menjawab dingin, lalu kembali membaca manga.
Meski dia yang dengan santai duduk di sampingku, sikapnya tetap saja dingin.
“Anting yang kamu pakai sekarang, kamu yang pilih sendiri?”
“Beli bareng Maika.”
Hari ini, dari Miyagi cuma ada cerita yang bikin malas dengar.
Padahal aku ingin ngobrol. Tapi, yang kuinginkan adalah obrolan seru, bukan cerita yang bikin kesal. Aku nggak ngajak ngobrol buat denger sesuatu yang nggak ingin kudengar.
“Rambutmu, selipkan di telinga, deh.”
Aku menarik rambut Miyagi yang menutupi telinganya.
“Kenapa?”
“Pakaiannya nggak kelihatan.”
“Nggak perlu dipamerkan juga.”
“Kamu pasang itu kan buat aku lihat, ya?”
“Kita kan nggak bikin janji apa-apa soal itu sekarang.”
“Tapi kita udah janji kalau liburan Golden Week nanti kamu harus kosongin jadwal.”
Tentu saja, itu bukan jenis janji yang terikat seperti piercings. Tapi aku pengen banget memastikan Miyagi masih pakai anting itu. Karena lubang anting yang baru dibuat nggak boleh dilepas-lepas, aku tahu dia pasti masih memakainya. Meski begitu, aku tetap ingin melihat dengan mata kepala sendiri bahwa dia masih memakainya di telinganya—lubang yang kubuat sendiri.
Rasanya aku mulai ngerti perasaan Miyagi waktu SMA dulu, saat dia sering banget memastikan kalungku. Aku ingin memastikan hal yang sama soal antingnya sekarang.
“Coba tunjukin antingnya,” kataku sambil mengulurkan tangan ke arah telinganya.
Miyagi menatapku dengan ekspresi seperti mau protes, tapi dia nggak menghindar. Aku menyibakkan rambut hitamnya ke belakang telinga.
Kilauan anting perak langsung terlihat di mataku.
Anting yang kupasang sendiri itu seperti lambang kalau Miyagi adalah milikku. Tentu saja aku tahu ini bukan jenis hubungan seperti itu. Tapi rasanya spesial, karena dia memintaku untuk membuat lubang itu, dan aku yang melakukannya dengan tanganku sendiri.
Tanganku ingin menyentuh anting itu, tapi aku menghentikan gerakanku. Lubang anting yang baru dibuat belum stabil, jadi lebih baik tidak menyentuhnya dulu.
“Udah cukup, kan?”
Miyagi mulai menggerakkan tangannya untuk mengembalikan rambutnya, tapi aku menahannya dan mendekatkan wajahku ke telinganya. Aku menyentuhkan bibirku di sana, seperti yang Miyagi pernah lakukan padaku dulu, saat dia mencium kalungku.
“Sendai-san!”
Aku mendengar suara Miyagi, terdengar kaget.
Aku menempelkan ujung lidahku ke bagian atas telinganya, menghindari antingnya. Kulitnya terasa dingin dan keras.
Aku merasakan bahunya sedikit bergetar, dan dia menggenggam lenganku dengan erat. Aku mencium telinganya sekali, dua kali, dan untuk ketiga kalinya, aku mencium bagian antingnya.
“Jangan di situ, sakit,” kata Miyagi sambil mendorongku.
Aku tersenyum kecil, lalu menggoda, “Kalau di bagian lain gimana?”
Aku menyentuhkan bibirku di bagian atas telinganya, lebih lembut kali ini. Tapi dia tetap mendorongku lagi, kali ini dengan lebih keras.
“Sendai-san, menjauh, dong.”
Aku menempelkan bibirku lebih kuat untuk menunjukkan kalau aku nggak mau berhenti. Miyagi meraih daguku, mendorongnya dengan keras, membuatku menjauh sedikit.
Sebelum aku bisa protes, dia mendekat dan... menggigit telingaku.
Rasanya... sakit banget.
Giginya benar-benar menekan telingaku tanpa ampun. Miyagi selalu seperti ini, nggak pernah setengah-setengah. Aku benar-benar merasa telingaku hampir dicabik-cabik.
Harusnya aku mendorongnya menjauh, tapi...
Aku malah memeluknya erat.
Dia langsung berhenti menggigit. Telingaku masih berdenyut sakit, tapi aku nggak peduli. Miyagi ada di pelukanku, tubuhnya terasa hangat. Aku ingin mendekat lagi, meskipun tubuh kami sudah bersentuhan.
“Kenapa sih kamu kayak gitu? Mau digigit lagi, ya?” Miyagi menggerutu, wajahnya cemberut.
“Kalau aku bilang iya, gimana?” godaku sambil menatap matanya.
“Sendai-san, kamu beneran aneh.”
Dia mendorongku sedikit, mengambil kotak tisu di meja, dan mengelap telinganya.
“Sekarang kamu juga lap telingamu,” katanya sambil menyerahkan tisu padaku.
Aku mengelap telingaku sambil menahan senyum. Meski dia barusan menggigitku, Miyagi tetap memperhatikanku.
Setelah itu, dia bertanya pelan, “Liburan nanti, mau ngapain?”
Aku terkejut karena kupikir dia akan langsung pergi. Tapi ternyata dia tetap duduk di sampingku.
“Kamu mau ngapain?” tanyaku balik.
“Kenapa aku yang ditanya? Bukannya kamu bilang bakal cari kegiatan?”
“Aku pengen tahu pendapatmu dulu.”
Dia diam sejenak, lalu menunjuk ke meja. “Pakai itu aja.”
“Tablet?”
Dia mengangguk. “Nonton film atau apa, gitu.”
Aku tersenyum kecil. Terdengar seperti rencana yang sempurna.
“Di kamarku, oke?” tanyaku.
“Boleh, tapi jangan macem-macem.”
“Aku janji nggak bakal.”
“Baru aja kamu ngelakuin.”
“Sekarang aku beneran janji,” jawabku sambil tertawa pelan.
Aku menegaskan kata-kataku, dan Miyagi mengalihkan pandangannya padaku.
Sekali lagi, aku menyibakkan rambut Miyagi ke belakang telinga, memperlihatkan anting yang ia pakai.
Anting itu adalah bukti bahwa aku telah mengubah sedikit bentuk Miyagi sebagai manusia.
Hanya perubahan kecil—sebuah aksesori sederhana yang tak semua orang akan menyadarinya. Tapi bagiku, itu adalah sesuatu yang sangat berarti.
Aku, dengan caraku sendiri, telah meninggalkan jejak pada diri Miyagi.
Jejak yang akan selalu ada.
Tak ada janji yang akan kulupakan.
"Sendai-san, jangan ingkar janji ya."
"Tenang saja, aku nggak akan ingkar."
Aku menyentuh anting itu dengan lembut, lalu menutupi telinganya lagi dengan rambut.
Kalau tujuannya hanya untuk mengingatkan tentang janji, seharusnya Miyagi bisa saja menulisnya di secarik kertas atau menempelkannya di pintu kamarku. Tapi, dia memilih untuk mengikat janji itu pada sebuah anting. Itulah kenapa aku yakin dia tidak akan mengingkarinya.
Meski, entah kenapa, ada sisi diriku yang ingin dia melanggar aturan, supaya aku bisa memerintahkannya lagi.
Tentu, ini hal yang takkan pernah kuberitahukan padanya. Tapi begitulah adanya—pemikiran aneh itu terus menghantuiku.
Namun, janji yang baru saja dibuat ini, aku tidak akan melanggarnya.
Janji untuk tidak berbuat macam-macam juga termasuk janji untuk menonton film di kamarku. Miyagi tidak mengatakan itu secara langsung, tapi aku menganggapnya begitu.
"Miyagi, pikirin dulu deh film apa yang mau kita tonton."
Aku menepuk kepala boneka platipus di meja sebagai penutup obrolan.
---
Cuaca hari ini buruk.
Kalau boleh ditambahkan detail, hujan deras mengguyur sejak pagi.
Aku yakin kebanyakan orang mengeluh tentang hujan deras di tengah libur panjang. Tapi, buatku yang hanya berdiam diri di rumah, itu bukan masalah besar. Satu-satunya yang jadi masalah adalah film di tablet yang sedang kutonton.
"Seru nggak?" tanyaku pada Miyagi, yang duduk di sebelahku dan serius menatap layar.
"Lumayan."
"Serunya di bagian mana?"
"Hmm, banyak sih."
Miyagi menjawab dengan setengah hati, bahkan tidak mengalihkan pandangannya dariku.
Di layar tablet, karakter-karakter aneh sibuk berlarian ke sana-sini. Miyagi terus menontonnya tanpa henti, meski aku sudah beberapa kali mencoba mengajaknya bicara.
Menonton film lewat tablet memang usulan Miyagi—cara terbaik untuk menghabiskan waktu bagi dua orang yang punya sedikit kesamaan seperti kami. Tapi, karena kesamaan kami sedikit, pilihan film pun tidak cocok. Aku membiarkan Miyagi yang memilih film, jadi aku tidak punya hak protes.
Meski begitu, rasanya aku harusnya ikut campur sedikit.
Film yang katanya diadaptasi dari game ini, awalnya lumayan menarik. Tapi semakin lama ceritanya semakin sulit dipahami. Mungkin karena aku tidak main gamenya, jadi aku tidak terlalu menikmatinya.
"Miyagi, serunya di bagian mana sih?"tanyaku lagi sambil menyenggol bahunya yang hanya beberapa sentimeter dariku.
Dia tetap tidak menjawab, bahkan tidak bereaksi.
Dan, aku merasa bosan.
Kalau ini bioskop, aku tidak bisa mengganggunya seperti ini. Tapi untungnya ini kamarku.
"Hey, Miyagi."
Aku menyenggolnya sekali lagi, memanfaatkan keunggulan lokasi. Akhirnya dia menghentikan film di tablet dan menatapku.
"Sendai-san, dari tadi berisik banget. Kalau nggak mau nonton, ya diam aja."
Dia mendorong bahuku dengan pelan, tidak terlihat kesal, tapi jelas merasa terganggu. Suaranya terdengar lebih rendah dari biasanya, dan ekspresinya sedikit malas.
Film itu mungkin cukup seru untuk membuatnya jengkel saat diganggu. Tapi, semakin seru film itu untuknya, semakin membosankan bagiku.
"Mau minum apa? Aku ambilkan." tanyaku sambil berdiri untuk mengubah suasana.
"...Soda." jawabnya datar.
"Oke. Lanjut nonton aja."
Aku pergi ke dapur, mengambil gelas dari rak, dan menghela napas.
Harusnya aku yang memilih film. Aku bisa pilih film horor, membuatnya ketakutan, lalu dia jadi takut tidur sendiri di malam hari. Tapi kalau kupikir-pikir lagi, dia pasti tidak akan setuju, dan aku mungkin akan kena pukul atau tendang.
Aku menuang soda ke satu gelas dan jus jeruk ke gelas lainnya, lalu membawanya kembali ke kamar dengan nampan.
Di kamar, aku meletakkan gelas-gelas itu di meja.
"Makasih," Miyagi berkata pendek, lalu menekan tombol play untuk melanjutkan film.
Aku duduk di sebelahnya, tidak melihat ke arah layar, tapi ke arah Miyagi.
Dengan hoodie tebal dan celana denim, Miyagi terlihat cukup hangat. Dia memang sering kedinginan, berbeda dariku yang hanya mengenakan kaos panjang dan rok.
Rambutnya sama seperti biasanya, menutupi telinganya.
Meski memakai anting, Miyagi selalu menyembunyikan telinganya. Aku sudah menyuruhnya untuk membiarkan telinganya terlihat, tapi dia tidak menurut. Mungkin dia malu, mungkin juga bukan karena itu. Aku tidak tahu pasti. Tapi justru karena ia menyembunyikannya, aku jadi semakin penasaran.
Aku mengulurkan tangan ke rambutnya.
"Hentikan," katanya sambil menepis tanganku, tapi aku mengulanginya lagi, menyibakkan rambutnya untuk memperlihatkan anting itu.
Film di tablet berhenti lagi.
"Jangan ganggu aku."
Aku nggak jawab apa-apa, cuma menyentuh lehernya.
Aku menggerakkan jariku perlahan, dan Miyagi langsung meringis.
"Sendai-san, geser sana sedikit," katanya sambil mendorong bahuku cukup kuat dan menaruh platipus di antara kami.
"Sampai film selesai, jangan nyentuh apa pun selain tisu," tambahnya dengan nada nggak peduli.
Aku mendengus. Miyagi selalu ngomong hal-hal sepele seperti itu.
Dia akhirnya menekan tombol play, dan film mulai bergerak lagi. Aku tahu kalau aku bikin dia tambah bad mood, pasti bakal repot. Jadi, aku cuma ambil jus jeruk, menyesapnya setengah, lalu menaruh gelasnya di meja.
"Miyagi," aku memanggilnya, walaupun tahu dia nggak akan menjawab.
Dia tetap menatap layar tanpa melirikku sama sekali.
"Aku pengin cium kamu," kataku dengan santai.
Kami pernah janji untuk nggak ngelakuin hal aneh-aneh. Menurutku sih, ciuman itu nggak aneh, tapi mungkin buat Miyagi, itu masuk kategori "aneh." Jadi, aku cuma ngomong. Pasti nggak apa-apa kalau cuma ngomong, kan?
"Miyagi," panggilku lagi, kali ini lebih serius.
"Kenapa aku harus ciuman sama kamu, Sendai-san?" katanya dingin tanpa memalingkan wajah dari layar.
"Dulu kan pernah," jawabku.
"Ya, tapi sekarang beda. Kita cuma teman sekamar."
Akhirnya dia menatapku dengan ekspresi datar.
Kalimatnya memang nggak menyenangkan, tapi dia nggak salah.
Aku lalu memindahkan platipus itu ke atas tempat tidur dan menyender ke bahunya.
"Sendai-san, berat," keluhnya tanpa emosi.
Meski begitu, dia nggak mendorongku menjauh.
"Kamu nggak pengin cium aku, Miyagi?"
"Nggak."
"Udah kuduga."
"Kalau udah tahu, jangan nanya."
Dia kembali fokus ke layar. Suara dari tablet itu berisik banget, tapi aku nggak peduli.
"Miyagi, kasih aku perintah deh. Apa aja. Aku bakal nurut sekarang."
"Nggak mau. Kamu nggak usah nurut juga."
Miyagi selalu nolak apa pun yang aku bilang. Tapi anehnya, kali ini aku lega. Dia tetap Miyagi yang biasa, bahkan dengan tindikan di telinga.
Aku mau dia berubah, tapi di sisi lain aku takut kalau dia benar-benar berubah. Kalau aku terlalu memaksa, aku takut dia bakal ninggalin rumah ini. Jadi, aku merasa aman saat dia terus menolak apa yang aku inginkan. Kalau dia nggak nolak, aku mungkin nggak akan bisa berhenti.
"Sendai-san, kamu nggak niat nonton film, kan?"
Dia mendorongku menjauh lagi.
Baru saja aku menggeser platipus itu ke atas tempat tidur, sekarang kami kembali terpisah sejauh itu lagi.
"Aku mau nonton, tapi filmnya ngebosenin."
Aku mematikan tablet.
"Hei, aku masih nonton itu," protesnya.
"Ya udah, kita nonton film lain aja. Yang horor gitu, misalnya."
"Ogah."
Dia langsung menatapku tajam, jelas-jelas menunjukkan rasa nggak sukanya. Padahal dia sendiri yang bilang aku nggak boleh nyentuh apa pun kecuali tisu, tapi sekarang malah narik bajuku.
Aku menahan tangannya.
"Jangan ditarik gitu, nanti bajunya melar."
Bajunya memang nggak mahal, tapi tetap aja aku nggak mau rusak. Tapi Miyagi nggak peduli. Dia malah menarik lebih kuat.
"Aku bilang lepasin, Miyagi."
Aku mencoba melepaskan tangannya dari bajuku, tapi gagal. Dia makin dekat, dan aku bisa merasakan napasnya di leherku.
Leherku langsung merinding.
Lalu, aku merasakan sesuatu yang hangat menyentuh kulitku. Bibirnya. Dia menempelkan bibirnya di leherku dan menyedotnya dengan kuat.
Sakit.
Meskipun nggak sampai seperti ditusuk jarum, tapi tetap terasa perih. Lidahnya juga menyentuh kulitku, hangat dan lembap.
Miyagi nggak segera menjauh.
Jarak kami terlalu dekat.
Aku bisa mendengar detak jantungku sendiri, lebih keras daripada suara film tadi.
Bibirnya menekan lebih dalam, menyedot lebih kuat. Rasa perih itu perlahan menyebar ke seluruh tubuhku.
Pasti bakal ninggalin bekas.
Aku tahu ini salah, tapi rasanya aku pengin memeluknya. Tanganku ragu-ragu, akhirnya aku menyentuh rambutnya. Miyagi langsung menjauh setelah itu.
Rasa sakitnya hilang, tapi aku bisa menebak apa yang terjadi di leherku.
"Bodoh banget kamu, Miyagi. Ini pasti ninggalin bekas," protesku.
"Ini salah kamu sendiri, Sendai-san," katanya, masih dengan nada nggak senang, sambil memandang leherku.
"Tetap aja, ada batasannya. Ini parah banget, bikin bekas di tempat yang kelihatan."
"Kalau di tempat yang nggak kelihatan, kamu nggak akan nyesel."
"Bukan soal nyesel atau nggak. Ini masalah attitude."
Aku mengambil cermin kecil dan melihat leherku. Benar saja, ada bekas merah mencolok di sana.
"Dengar, Miyagi. Lain kali kalau mau kayak gini, bikin di tempat yang nggak kelihatan. Kamu pikir gimana cara aku nutupin ini?"
"Kamu kan bilang bakal di rumah aja selama liburan. Jadi nggak ada yang lihat juga, kan?"
"Dan kamu? Kamu bakal keluar sama Utsunomiya."
"Aku memang bakal pergi, tapi kamu tetap di rumah aja," katanya sambil mendorong bahuku lagi.
"Kalau gitu, kamu juga di rumah."
"Ogah. Aku udah janji sama Maika."
Suara Miyagi terasa seperti menghantam kepalaku dengan keras.
Kesel, kesel, kesel banget.
Aku benar-benar kesal.
Aku melihat cermin lagi.
Ada bekas merah yang jelas terlihat. Dan itu ada di tempat yang mencolok.
Memang aku bilang mau menghabiskan liburan di rumah, tapi bukan berarti aku tidak akan keluar sama sekali. Bisa saja aku ada rencana dadakan atau sekadar ke minimarket. Tapi dengan bekas ini, aku tidak bisa keluar. Aku bisa saja menutupi dengan turtle neck, tapi musim sekarang nggak cocok. Kalau aku keluar tanpa menutupinya, orang asing pasti bakal berbisik-bisik atau malah kepo.
Apalagi kalau aku ketemu teman. Pasti mereka bakal komentar. Kalau aku bilang ini karena punya pacar, mereka bakal minta dikenalin atau lihat fotonya. Jadi aku harus hati-hati banget.
Miyagi memang suka berlebihan.
Dia bilang nggak mau ciuman, tapi bisa-bisanya dia melakukan hal kayak gini. Siapa juga yang normalnya ninggalin bekas di leher teman serumahnya? Mungkin aku yang memulai, tapi kalau dia kayak gini, aku nggak tahu apa sebenarnya dia maunya apa.
Dan aku sendiri juga nggak ngerti aku mau apa dari hubungan ini.
Tapi aku tahu satu hal—aku cuma ingin terus bersamanya.
Aku menghela napas panjang dan meletakkan cermin.
Tanganku menyentuh bekas merah itu, mengusapnya pelan.
"Miyagi."
"Apa?"
Wajahnya yang sama sekali nggak merasa bersalah menatapku.
Aku memijat pelipis dan menghela napas lagi, kali ini lebih jelas.
"… Yuk, kita lanjutin nontonnya."
Aku kesel sama diriku sendiri yang gampang banget memaafkan dia.
Aku menyalakan tablet yang tadi aku matikan sendiri.
Pada akhirnya, film itu nggak seru sama sekali.
Selera Miyagi memang beda banget denganku.
Tapi, dibanding janjian sama teman kampus, aku malah kepikiran buat nonton film membosankan ini lagi. Walau begitu, aku tetap nggak bisa terima kalau Miyagi ngelakuin hal yang bikin aku nggak bisa keluar rumah.
Tengah malam, aku kembali melihat bekas yang Miyagi tinggalkan.
Waktu sudah berlalu, tapi warna merahnya masih jelas terlihat di cermin.
Aku tahu.
Bekas ini nggak akan hilang begitu saja dalam sehari.
Aku meletakkan cermin kecil di meja dan bersandar di tempat tidur.
Kalau aku pakai concealer atau foundation, bekasnya bisa disamarkan. Tapi rasanya aku nggak sampai segitunya cuma buat keluar rumah.
"… Ya sudah, di rumah aja deh."
Kalau aku di rumah, aku nggak perlu repot-repot menutupinya.
Keluar rumah sambil kepikiran soal bekas ini juga nyebelin. Aku juga belum janji apa-apa sama teman. Lagian, kalau liburan selesai, aku bakal ketemu mereka lagi di kampus.
Walaupun Miyagi pergi main ke Utsunomiya dan aku cuma di rumah, aku nggak terlalu masalah. Lagipula, bermalas-malasan di rumah juga nggak buruk.
Tapi tetap saja, aku kesal banget sama apa yang Miyagi lakukan hari ini.
Kalau dipikir-pikir, dari zaman SMA, aku selalu jadi korban keisengan Miyagi.
Misalnya, dia ninggalin bekas di lenganku cuma buat eksperimen apakah bekasnya bakal cepat hilang kalau ditempelin lemon.
Atau waktu dia membuka kancing seragamku yang basah kehujanan, lalu meninggalkan bekas di dekat dadaku.
Miyagi memang nggak pernah bisa diandalkan.
Tapi aku tetap memilih untuk tinggal bersamanya sampai sekarang. Kalau aku jelasin situasi ini ke diriku yang dulu, pasti aku nggak akan percaya.
Aku menekan bekas merah di leherku dengan telapak tangan.
Miyagi memang kelihatan nggak ngerti apa itu “toleransi,” tapi dulu dia masih ada rasa sungkan. Sekarang? Sama sekali nggak ada.
Aku bangkit dari tempat tidur dan memeluk lututku.
Mataku tertuju pada boneka platipus yang tergeletak di bawah meja.
Boneka itu, dengan tisu yang menyembul dari punggungnya, kami beli bersama. Tapi entah kenapa rasanya seperti milik Miyagi, mungkin karena mirip dengan penutup tisu berbentuk buaya yang ada di kamarnya. Dulu, aku merasa terganggu dengan barang-barang Miyagi yang terus bertambah di kamarku. Tapi sekarang, bahkan seragam dan baju kasualnya yang kusimpan di laci sudah terasa seperti bagian dari kamarku.
Aku berdiri dan mengambil kotak aksesoris dari atas lemari. Aku meletakkannya di meja, lalu mengeluarkan kalung yang Miyagi berikan padaku.
Kalung itu aku dapat saat hari kelulusan, sebagai ganti dari amplop yang aku berikan padanya. Kalung itu hampir tidak pernah kupakai lagi.
Aku ingin menyentuh Miyagi seperti saat aku masih memakai kalung itu.
Aku berharap aku mencium Miyagi saja tadi, waktu kami nonton film.
Aku menggantungkan rantai perak itu di jariku.
Hiasan kecil berbentuk bulan sabit memantul di mataku.
Aku memeriksa rantainya dengan jari, lalu menggenggam hiasan kecil itu erat-erat.
Aku tidak ingin kembali ke masa itu, tapi aku iri pada diriku yang dulu.
Aku menarik boneka platipus itu ke arahku dan meletakkan kalung itu di atas kepalanya. Aku merebahkan diri di tempat tidur dan mengetuk dinding pelan.
Suara ketukannya kecil, jadi tidak ada balasan. Tapi aku bisa mendengar suara dari sebelah. Di tengah malam yang hening ini, tanpa perlu memasang telinga, aku tahu suara itu berasal dari pintu yang terbuka.
Aku bangun dari tempat tidur.
Aku ragu-ragu untuk pergi ke ruang tengah.
Aku tidak punya alasan untuk bicara dengannya.
Setelah berpikir selama satu menit, aku akhirnya berdiri. Aku senang sudah membeli sweatpants untuk tidur, jadi aku bisa keluar ke ruang tengah dengan santai.
Saat aku membuka pintu, lampu sudah menyala, dan Miyagi sedang berdiri di depan kulkas. Dia memakai sweatpants yang aku kenali—lebih tepatnya, sweatpants yang dulu aku pinjam saat aku menginap di rumahnya waktu libur musim dingin.
"Belum tidur?"
Aku bertanya dari meja, dan dia menjawab singkat tanpa menoleh, "Mau tidur, cuma haus aja." Miyagi mengeluarkan soda dari kulkas. Dia menuangkannya ke gelas dan minum sepertiga cairan transparan itu.
“Eh, Sendai-san nggak tidur?”
Miyagi bertanya sambil memegang gelas, matanya mengarah ke arahku.
“Kayaknya aku juga mau minum sesuatu, sih.”
Aku asal menyebutkan alasan kenapa aku keluar ke ruang bersama.
“Mau aku ambilin jus jeruk?”
“Hmm, aku mau yang kamu minum aja. Coba dong, kasih satu tegukan.”
“Ini soda, lho.”
“Dari tadi aku udah tahu.”
“...Ya udah, kalau gitu sisanya buat kamu aja.”
Dia mendekat dan memberikan gelas itu ke tanganku.
“Aku cuma minta satu teguk, kok.”
Sebenarnya, aku nggak lagi kehausan dan aku juga bukan penggemar minuman berkarbonasi. Tapi karena tadi aku udah bilang pengin, aku nggak punya pilihan lain selain meminumnya sedikit. Setelah satu tegukan, aku mengembalikan gelas itu. Tapi Miyagi nggak mau mengambilnya. Akhirnya, aku minum sampai setengah dan meletakkan gelas itu di meja.
“Sendai-san.”
Miyagi memanggilku sambil menatapku.
“Besok kamu mau pergi, nggak?”
Pertanyaan itu aku jawab dengan nada santai.
“Gara-gara seseorang, aku jadi nggak bisa keluar, meskipun aku mau.”
“Oh gitu.”
Nada bicaranya seolah-olah dia nggak peduli. Dia malah mengambil gelas di meja, menghabiskan isinya, dan bilang dia mau mencuci gelas itu.
“Ngobrol bentar, yuk?”
Aku menangkap lengannya, mencoba menahannya.
“Nggak ada yang mau diobrolin.”
“Kalau nggak ada, nggak apa-apa, kan?”
Aku mengambil gelas itu darinya dan meletakkannya kembali di meja. Aku melangkah lebih dekat ke arahnya, menyentuh bibirnya dengan ujung jariku.
“Kan kita mau ngobrol.”
Miyagi memandangku dengan tatapan yang jelas-jelas tidak suka, tapi dia tetap nggak pergi. Jadi aku melepaskan peganganku di lengannya.
“Kalau gitu, kamu aja yang ngomong sesuatu.”
“Bukannya tadi kamu yang bilang pengin ngobrol?”
“Yah, aku lupa.”
Aku mengusap pipinya, menempelkan telapak tanganku di sana. Aku yakin dia tahu apa yang ingin kulakukan sekarang. Harusnya dia pergi.
“Miyagi.”
Aku memanggilnya. Tapi dia tetap diam.
Ingatan itu muncul kembali—tentang ruang persiapan musik setelah festival budaya di SMA dulu.
Aku memanggil Miyagi, yang terlihat menikmati festival tanpa aku, ke ruang itu. Aku menggenggam lengannya dan bilang padanya kalau dia nggak mau aku menciumnya, dia harus kabur.
Saat itu, sebenarnya aku nggak berniat mencium dia. Tapi tiba-tiba keinginan itu muncul, dan aku mendekatinya.
Sekarang, situasinya mirip.
Aku mendekatkan wajahku ke Miyagi. Dia nggak berkata apa-apa, tapi juga nggak memejamkan mata. Jadi aku yang memejamkan mata lebih dulu.
Aku menyentuh bibirnya.
Bibir yang lembut dan hangat.
Aku tahu sensasi ini dengan baik. Tapi karena sudah lama aku nggak melakukannya, hatiku berdebar-debar seolah akan meledak. Aku merasa sesak hanya dengan menyentuhkan bibirku, jadi aku melepaskannya. Tapi sesaat kemudian, aku mencium lagi, kali ini lebih dalam. Aku menggenggam lengannya, mencoba menariknya lebih dekat. Tapi dia malah melepaskan tanganku dan mendorong pundakku.
Aku masih merasa kurang.
Aku ingin menciumnya lagi.
Aku mencoba meraih tangannya, tapi dia melepaskannya lagi. Kali ini, dia menendang kakiku.
“Kenapa kamu nggak pergi aja tadi?”
Miyagi selalu begitu. Saat aku ingin dia kabur, dia tetap tinggal. Tapi ketika aku yakin dia bakal bertahan, dia malah menerima begitu saja. Kalau saja dia pergi sebelum aku sempat menciumnya, aku nggak akan merasa ingin lebih seperti sekarang.
“...Aku cuma mau ngecek apa Sendai-san bohong atau nggak. Ternyata kamu bohong. Kamu kan bilang nggak bakal aneh-aneh waktu kita sepakat nonton film tadi.”
“Waktu itu, aku maksudnya nggak bakal aneh-aneh di kamar.”
“Itu, deh, yang aku nggak suka dari kamu.”
Nada suaranya penuh rasa kesal, lalu dia menendang kakiku lagi, kali ini lebih kuat.
“Lain kali nggak usah sakit-sakit gitu.”
Tendangannya lumayan keras, jadi aku protes. Tapi dia malah menendangku di tempat yang sama.
“Aku mau balik ke kamar.”
Dia membalikkan badan dan mulai berjalan pergi. Setelah tiga langkah, aku memanggilnya.
“Miyagi, besok kamu mau ngapain?”
“Mau pergi sama Maika.”
“Katanya besok bakal hujan.”
Dia langsung berbalik menatapku.
“Sendai-san, kamu bohong lagi, ya? Aku tadi liat ramalan cuaca, katanya cerah, kok.”
Aku nggak bisa beralasan lagi, jadi aku bilang aku mungkin salah lihat.
“Lusa kamu kosong nggak?”
“...Kosong, sih.”
“Gara-gara tanda ini aku nggak bisa pergi ke mana-mana. Kita nonton film lagi aja, gimana?”
Aku menyentuh bekas di leherku sambil tersenyum.
Miyagi pasti tanggung jawab dong. Kan dia yang bikin aku nggak bisa keluar rumah, jadi setidaknya dia harus bantu aku ngabisin waktu.
“Asal bukan film kesukaan kamu.”
“Boleh, kok.”
Aku menjawab dengan senyum lebar. Miyagi cuma bilang “Selamat tidur” dengan suara paling kesal yang pernah aku dengar hari ini.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.