Chapter 3
Tembok yang Menghalangi Aku dan Miyagi
Aku mengulurkan tangan ke arah Miyagi.
Kusentuh rambut hitamnya, dan kusisir pelan dengan jariku.
Lalu, kuusap pipinya, dan jariku menjelajah ke bibirnya.
Miyagi tidak menolak, tapi juga tidak bereaksi. Biasanya dia akan menggerutu atau protes, tapi kali ini dia diam saja. Saat kudekatkan wajahku, dia memejamkan mata seolah dalam kebingungan. Pikirku, hari ini dia lebih patuh dari biasanya.
Aku mengecup bibirnya, dan pelan-pelan menjulurkan lidahku.
Tak ada dorongan atau gigitan darinya, hanya keheningan yang sedikit aneh. Biasanya, jika aku bersikap agresif seperti ini, dia pasti akan memberikan reaksi. Kali ini, dia terlalu tenang, yang terasa agak mengganggu. Tapi aku tahu, jika aku mengomentari itu, dia pasti akan marah. Jadi, kupendam saja perasaan itu dalam hati.
Setelah beberapa kali berciuman, kutempelkan bibirku di lehernya. Tak meninggalkan bekas, aku menggerakkan bibirku perlahan, membuatnya menarik napas kecil. Kugeser dasinya, mulai melepas kancing blusnya satu per satu, membuka dadanya dengan perlahan.
Kulitnya yang lembut dan pakaian dalam putih yang ia kenakan terpampang di depanku.
Aku akhirnya membuka semua kancingnya.
Jika aku menyentuhnya lebih jauh, semua yang tersembunyi akan terlihat.
Aku bisa merasakan jantungku berdetak keras.
Aku hampir saja menyentuh dadanya, namun justru menyentuh rambutnya. Lalu, kutinggalkan kecupan lembut di atas tulang selangkanya, yang membuatnya menggenggam bahuku dengan erat. Aku bisa merasakan suhu tubuhnya dari kedua tanganku dan bibirku, tapi entah mengapa aku tak tahu apakah itu hangat atau dingin. Kubiarkan tanganku menyusuri pinggangnya, menekannya perlahan. Miyagi tak mengucapkan satu pun kata "tidak" atau "berhenti", jadi aku melanjutkan, membuka blusnya dan mendorongnya ke kasur.
Aku tahu.
Ini cuma mimpi.
Aku telah mengalami banyak hal sepanjang musim panas dan musim dingin, dan ini hanya fragmen dari masa lalu yang bercampur jadi satu di dalam mimpi.
Seragam yang kami kenakan ini adalah seragam yang sudah lama kami tinggalkan, tak lagi kami pakai. Aku tahu ini hanya mimpi, tapi rasanya sangat nyata. Aku telah mengalami mimpi seperti ini berkali-kali bahkan sebelum tinggal di sini, dan lagi sejak berada di sini.
Aku harus segera bangun.
Namun, entah kenapa aku ingin tinggal sedikit lebih lama di dalam mimpi ini.
Kugigit lembut bahunya, merasakan kelembutan dan kehangatan tubuhnya.
Tapi, meskipun mimpi ini terasa sangat nyata, semuanya tetap buram. Di mataku, ini adalah Miyagi, dan perasaannya pun Miyagi, tapi seberapa lembut atau hangat dirinya, aku tak benar-benar tahu. Semua sensasi terasa memudar, mengalir seperti air.
"Miyagi..."
Kusapa dia, berharap mendengar jawabannya.
Namun, tak ada respon darinya.
Aku ingin mendengar suaranya, jadi kupindahkan tanganku ke bagian dadanya, melepaskan bra yang menutupinya.
Tetap saja, Miyagi hanya diam.
Menyentuhnya dengan tangan atau bibirku, dia tak mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya ada keheningan yang tak biasa, dan sensasi yang samar dan sulit dipahami.
Meskipun aku tak pernah menyentuhnya sedalam ini di dunia nyata, aku tahu bentuk tubuhnya yang lembut. Di dalam mimpi, memoriku mengisi bagian-bagian yang tak pernah kualami.
Aku melepas roknya.
Miyagi tetap diam, tidak menolak.
Kusentuh lembut bagian tulang rusuknya, meluncur ke perutnya yang halus hingga pinggangnya.
Tersentuhlah jariku pada pakaian dalamnya, membuatku ragu.
Aku tahu ini hanya mimpi, tapi aku masih bingung apakah aku boleh melanjutkan.
Lalu, dia memanggilku, "Sendai-san...", dengan nada memohon.
Akhirnya, aku mendengar suaranya—suara yang tak kukenal. Di kenyataan, Miyagi tidak akan bersikap seperti ini. Dia tidak akan memohon, apalagi memanggil namaku dengan nada itu. Aku tahu betul, dia pasti akan memberikan reaksi berbeda.
Aku benar-benar tahu itu, tapi kubiarkan tanganku bergerak perlahan ke dalam.
Dan, tepat ketika itu, suara elektronik membangunkanku.
"... Ya ampun."
Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mematikan alarm.
Kuletakkan ponselku, dan kupukul pelan dinding di samping tempat tidurku.
Di balik dinding ini, Miyagi ada di sana.
Mungkin itu masalahnya.
Jarak kami saat ini terlalu dekat.
Aku masih punya kendali untuk membedakan mana yang boleh dan mana yang tidak, tapi mimpi tak bisa kuatur.
Kini, tinggal serumah dengan Miyagi, aku tahu benar apa yang boleh dan tidak boleh kulakukan. Namun, tak bisa kupungkiri bahwa aku tetap menginginkannya. Mungkin jarak yang terlalu dekat ini yang membuat mimpi seperti itu muncul.
"... Ini benar-benar parah, ya."
Ini bukanlah mimpi yang patut dinikmati.
Miyagi pun tak akan pernah menyangka, di balik dinding ini ada seseorang yang baru saja memimpikan hal semacam itu.
Karena itulah, aku merasa sangat bersalah dan benar-benar ingin menyalahkan diriku sendiri.
Aku pun duduk, lalu kembali berbaring di kasur.
Aku enggan keluar kamar.
Tapi, aku harus pergi ke kampus.
Pertengahan April sudah lewat, pendaftaran mata kuliah selesai, dan aku baru saja memulai kehidupan sebagai mahasiswa. Aku tidak ingin menciptakan kebiasaan bolos kuliah sejak awal.
Aku pun berbaring sebentar lagi, dan setelah benar-benar siap, kugerakkan tubuhku untuk bangun dari kasur. Kutarik laci dan mulai mencari pakaian.
Jika ingin keluar ke ruang bersama, memakai piyama terlalu santai rasanya. Mungkin suatu hari nanti aku akan terbiasa dan tidak akan keberatan pakai piyama, tapi untuk sekarang, aku ingin tampil sedikit lebih rapi.
Aku jadi teringat waktu aku menginap di rumah Miyagi.
Saat itu, aku meminjam sweternya. Mengingat situasi sekarang—di mana kami tinggal bersama—mungkin sweater adalah pilihan yang baik untuk menggantikan piyama. Dengan begitu, aku tak perlu repot berganti baju setiap kali keluar kamar.
Aku pun berencana membeli sweater dalam waktu dekat, lalu kubuka lemari untuk mengambil blus dan rok. Setelah berpakaian, aku keluar kamar dan melihat Miyagi sedang membuat sarapan.
Saat makan malam, kami biasanya masak bersama, tapi untuk sarapan, tak ada aturan siapa yang harus memasak. Biasanya, yang bangun lebih dulu yang memasak, sementara yang tidak memasak harus mencuci piring. Begitulah, peraturan itu terbentuk begitu saja.
Miyagi memang bukan koki terbaik, tapi aku merasa bersyukur bisa menikmati masakan yang dibuatkan oleh orang lain.
"Selamat pagi."
Aku menyapanya dari belakang.
"Selamat pagi."
Saling menyapa di pagi hari, apalagi ada yang memasak untukku, tidaklah buruk.
──Seandainya saja aku tak mengalami mimpi itu.
Meski bukan sengaja, bermimpi seperti itu membuat suasana sedikit canggung. Aku sulit menatap wajah Miyagi secara langsung dan tak tahu harus bersikap seperti apa saat bersamanya. Saat masih SMA dulu—meski kami satu sekolah—kelas kami berbeda. Jika aku ingin menghindarinya, aku bisa saja tidak bertemu dengannya sampai sore, jadi perasaan ini tidak akan menggangguku seperti sekarang.
Namun, sekarang sudah berbeda.
Jika kubuka pintu, Miyagi pasti ada di sana. Waktu kami bersama dari pagi hingga sore sama panjangnya seperti waktu sekolah, dan mustahil untuk tidak bertemu dengannya.
"Apa yang kamu masak?”
Aku tidak nyaman juga terus terdiam hanya karena perasaanku sedang berantakan. Aku melirik ke arah Miyagi yang sedang fokus melihat ke arah penggorengan, dan memutuskan untuk menyapanya, tapi tak ada respons.
"Miyagi?"
Aku mencoba memanggil namanya lagi, namun dia tetap diam saja. Ini membuatku sedikit khawatir tentang sarapan yang sedang dia masak.
Sebenarnya, aku tidak ingin terlalu mendekat padanya hari ini, mengingat ekspresiku pasti tidak bagus sekarang. Tapi tetap saja, aku penasaran. Akhirnya aku melangkah mendekatinya, dan melihat sesuatu yang terlihat seperti campuran antara telur mata sapi dan scrambled egg di penggorengan.
"Kuning telurnya pecah, ya?"
Aku bertanya, dan suara Miyagi terdengar pelan.
"Pecah sendiri."
Miyagi lalu menoleh ke arahku.
"Telur mata sapi sama scrambled egg kan sama aja setelah masuk perut. Jadi, nggak masalah, kan?"
"Iya sih..."
Aku bisa merasakan dia memperhatikanku, tapi aku masih belum berani untuk menatapnya langsung.
"Aku... cuci muka dulu, ya."
Aku berbalik dan berjalan ke arah kamar mandi. Dari belakang, terdengar suara Miyagi menjawab singkat, "Iya."
Aku menarik napas dalam, menghembuskannya, dan menariknya lagi.
Sesuatu yang biasanya aku lakukan tanpa berpikir, kali ini sengaja aku lakukan untuk menenangkan diri.
Aku mencuci muka, lalu menarik napas dalam lagi, dan kembali menghembuskannya perlahan.
Akhir-akhir ini, mimpi yang sering aku lihat berisi hal-hal yang tidak pernah terjadi di dunia nyata. Aku khawatir kalau semakin sering aku bermimpi seperti itu, suatu hari nanti aku malah benar-benar terjebak dalam dunia yang sepenuhnya berbeda dari kenyataan.
Aku mencoba untuk tidak memikirkannya.
Aku berusaha menyimpan kenangan tentang mimpi itu di sudut pikiranku, meskipun tak bisa benar-benar melupakannya, setidaknya aku berusaha tidak terlalu mempedulikannya.
Aku menepuk pipiku dengan kedua tangan, lalu kembali ke dapur.
"Makanannya sudah siap."
Suara Miyagi menyambutku, dan ketika aku melihat ke meja, sudah ada piring-piring dan jus jeruk yang tertata rapi. Telur di piring itu sudah lebih menyerupai scrambled egg dengan kuning dan putihnya yang bercampur. Tak hanya roti, dia juga menggoreng sosis, keduanya dengan tingkat kematangan yang pas.
Aku duduk, dan dari seberang meja terdengar suara "Itadakimasu" darinya. Aku pun ikut mengatakan "Itadakimasu" sebelum mulai menyantap scrambled egg itu.
Makan bersama seperti ini adalah salah satu aturan yang diam-diam Miyagi penuhi. Dulu, aku hanya berharap kami bisa makan malam bersama, tapi sekarang, Miyagi juga bersedia makan pagi bersama denganku.
"Belakangan ini kamu beli buku, nggak?"
Masih belum bisa menatap matanya, aku mencoba mencari topik untuk diobrolkan.
"Beli."
"Pinjamin, dong. Pasti ada kan yang seru?"
"Kamu nggak pilih-pilih?"
"Asal seru aja."
Aku mengunyah roti yang sudah diolesi mentega dan selai, lalu melirik ke arah Miyagi. Dia sedang memotong sosis dengan garpu, kemudian membawanya ke mulut.
"Nanti aku pinjamin, tapi soal kamu bakal suka atau nggak, aku nggak tahu."
Dia menjawab dengan nada agak kesal, dan ketika aku menatapnya, pandangan kami bertemu sebentar. Detak jantungku berdegup sedikit lebih cepat.
Kalau aku punya alasan untuk memilih buku langsung, mungkin dia akan membiarkan aku masuk ke kamarnya.
"Kalau gitu, aku pilih sendiri aja, ya."
Sebenarnya, hari ini aku tak terlalu ingin berada dekat Miyagi.
Tapi, bukan berarti aku tak ingin mendekatinya sama sekali. Aku ingin tahu bagaimana keadaan kamarnya, dan buku-buku apa saja yang baru ia punya.
"...Aku saja yang pilih dan kasih ke kamu," jawabnya sambil mengunyah roti.
***
Aku menaiki tangga ke lantai tiga.
Saat berjalan di lorong dan sampai di depan pintu masuk, aku mengeluarkan kunci.
Setelah kuliah selesai, aku akan pulang ke rumah ini, tempat di mana aku berpisah dengan Miyagi pagi tadi. Meski aku sudah terbiasa dengan rutinitas ini, aku tetap merasa gugup setiap kali membuka pintu. Perasaan ini tidak pernah kurasakan sebelumnya di rumah keluargaku.
Saat aku masuk, lorong dan ruang depan masih gelap. Aku menyalakan lampu dan melihat ke lantai. Tempat Miyagi biasanya meletakkan sepatunya masih kosong. Itu artinya, dia belum pulang. Meskipun begitu, aku tetap berkata "Aku pulang" dengan suara pelan, meski tahu takkan ada yang menjawab.
Aku merasa sedikit kecewa.
Rasanya aku ingin sekali mendengar suara "Selamat datang" saat aku pulang.
Kenangan akan mimpi tadi pagi mulai memudar seiring hari di kampus berlalu. Aku sempat berharap Miyagi akan ada di rumah lebih awal, karena sekarang aku merasa sudah siap untuk menatapnya langsung.
"Ya, walaupun nggak ada yang perlu dibicarakan juga sih."
Aku menggumam sendirian sambil melepas sepatu.
Miyagi belum bilang akan pulang terlambat. Ini berarti kami akan makan malam bersama, dan aku mulai berpikir tentang menu malam ini.
"Selamat datang," gumamku pelan ke arah dapur yang kosong. Setelah itu, aku hendak melangkah ke kamar, tapi tiba-tiba mataku tertuju pada sesuatu yang tergeletak di meja.
"Buku?"
Aku mendekat dan melihat bahwa benda-benda itu benar buku. Ada beberapa volume lanjutan dari komik romansa yang dulu aku baca di kamar Miyagi, juga beberapa komik aksi yang bahkan aku tahu namanya.
Begitu ya, dia pinjamkan bukunya dengan cara seperti ini.
Aku menghela napas kecil, lalu meletakkan tas di kursi yang biasanya diduduki Miyagi. Meski aku tahu dia belum pulang, aku tetap mengetuk pintu kamarnya. Tok tok, suara ketukan pintuku terdengar di lorong yang sunyi, tanpa balasan apa pun dari dalam.
"Miyagi…”
Aku memanggil ke arah pintu.
Tentu saja, tidak ada balasan.
Kutelapak tanganku perlahan menyentuh permukaan pintu.
Jarakku dengan Miyagi sekarang lebih dekat dari dulu, tapi juga terasa lebih jauh. Kami memang berada di tempat yang cukup dekat untuk bisa saling menyentuh, tapi tempat di mana aku dulu bisa masuk sekarang terasa tak terjangkau.
Di balik pintu ini seperti dunia lain.
Sebuah dunia yang tidak diizinkan untuk kumasuki, dan aku tidak tahu kapan aku akan diizinkan memasukinya.
Aku ingin masuk ke balik pintu ini.
Ingin memastikan apakah boneka kucing hitam yang kuberikan masih ada di rak buku seperti dulu, dan apakah kotak tisu berbentuk buaya masih ada di sana. Aku penasaran apa saja yang masih ada dan apa yang sudah tidak ada lagi di kamar itu.
Yang memisahkan kami sekarang hanyalah selembar papan pintu, tidak terlalu tebal, tapi juga tidak tipis.
Dengan sedikit gerakan, aku bisa membuka pintu ini dan melangkah masuk.
Sederhana saja.
Kalau aku melanggar aturan, aku bisa tahu semua yang ingin kuketahui sekarang juga. Kalau aku masuk tanpa menyentuh apa pun dan segera keluar lagi, Miyagi tidak akan pernah tahu.
Aturan hanya terlanggar kalau ketahuan.
Jika Miyagi tidak sadar, berarti perbuatanku seakan tidak pernah terjadi.
Namun, di sisi lain, jika aku benar-benar melanggar aturan, ada bagian dari diriku yang ingin Miyagi tahu.
Kami punya kesepakatan, bahwa kalau salah satu dari kami melanggar aturan, harus mengikuti satu permintaan dari yang lain.
Jika aku melanggar aturan, maka Miyagi bisa kembali memberikan "perintah" padaku, seperti dulu. Mungkin bukan persis sama, tapi cukup mendekati apa yang terjadi waktu itu.
“...Nggak boleh, sih. Masuk kamar orang sembarangan.”
Melanggar aturan dan langsung masuk ke kamarnya jelas kelewatan. Kalau Miyagi tahu, dia mungkin akan pergi dari rumah ini tanpa ada kesempatan untuk berbaikan.
Aku menyandarkan dahi ke pintu.
Kepalaku sedikit berdesir dingin ketika menyentuh permukaan yang dingin itu.
Hampir saja bibirku menyentuh pintu, dan aku menghembuskan napas panjang.
“Ngapain, sih, aku ini…”
Mimpi yang kulihat tadi pagi benar-benar menggangguku hari ini. Jujur, aku kecewa tadi tidak ada suara "selamat datang" ketika aku bilang "aku pulang," tapi kalau dipikir-pikir, mungkin Miyagi yang tidak ada itu memang hal terbaik. Kalau dia ada, mungkin situasinya jadi makin canggung.
“Miyagi bodoh.”
Kumaki pintu di depanku, lalu aku membalikkan badan.
Di atas meja ada tumpukan manga volume empat, jadi aku mengambil satu, dan duduk di kursi.
Halaman demi halaman kubuka, tapi aku tidak bisa mengingat jelas cerita di volume sebelumnya. Aku ingin melengkapi ingatanku yang samar-samar. Tapi volume tiga ada di seberang pintu ini, dan sekarang tidak bisa kuambil.
Ada di dekatku, tapi terasa jauh. Menyebalkan.
Aku pun meletakkan kembali manga romantis itu di meja dan mulai membaca manga lain dari volume satu. Aku membuka halaman demi halaman dan terus membacanya. Rasanya lebih menyenangkan daripada membaca sesuatu yang ceritanya tidak bisa kuingat. Selesai dua volume, aku mulai volume ketiga, dan saat setengah jalan, kudengar suara "aku pulang."
Aku mendongak.
“Selamat datang.”
“Kenapa nggak baca di kamar aja?”
Miyagi melihat sampul manga yang sedang kubaca sambil bertanya.
“Kupikir kamu bakal senang dengar aku bilang selamat datang.”
“Kamu juga bisa bilang dari kamar, kan.”
“Lebih cepat kalau di sini, kan. Biarin, deh.”
Miyagi tidak memberikan jawaban yang pasti. Dia cuma berjalan ke kulkas, mengambil sebotol soda, dan menuangnya ke dalam gelas. Setelah minum seteguk, dia menaruh gelasnya di meja.
Dia melihatku, dan mata kami bertemu.
Aku tidak mengalihkan pandanganku seperti tadi pagi, dan membalas tatapannya.
“Sendai-san, itu seru?”
Dia tidak menyebut manga itu secara langsung, tapi jelas yang dia maksud manga yang kupegang.
“Lumayan.”
“Nanti, kalau udah selesai, kasih tahu ya. Biar aku taruh balik.”
Dia berbalik hendak kembali ke kamarnya, dan aku langsung mengambil manga romantis tadi yang belum sempat kubaca.
“Tunggu, Miyagi. Ini ada dari volume satu nggak?”
“Ada, kok.”
“Kalau gitu, pinjam, dong. Aku udah lupa cerita sebelumnya.”
Aku sebenarnya tidak terlalu tertarik untuk tahu kembali cerita manga itu. Tidak masalah kalau aku tetap melupakan cerita itu, dan kalau pun membaca, cukup dari satu volume sebelumnya. Tapi, ini alasan yang bagus buat masuk ke kamarnya.
“Aku bawain aja, kok. Tunggu di sini, ya, Sendai-san.”
“Gak apa-apa, aku bawa sendiri. Yuk, kita masuk bareng.”
Aku berdiri dan berjalan mendekatinya.
“…Nggak, ah.”
Setelah berpikir sejenak, Miyagi menjawab.
“Kenapa nggak?”
“Soalnya, kamu kayaknya bakal ngelakuin hal aneh.”
Ucapan Miyagi membuatku teringat mimpi tadi.
Aku bisa membayangkan apa yang dia maksud dengan "hal aneh."
Dan, ya, mimpi yang kulihat hari ini memang lebih dari sekadar hal aneh. Rasanya agak nyesek. Tapi, alasan aku ingin masuk ke kamarnya bukan karena itu. Aku hanya ingin melihat keadaan "tempatnya" yang dulu, ruangan yang dulu bisa kumasuki tanpa ada penolakan. Penasaran, apakah semuanya masih seperti dulu atau sudah berubah.
Aku tidak punya niat tersembunyi, kok.
Mungkin… rasanya tidak.
Perasaan yang samar-samar muncul lagi. Tapi aku tidak perlu mengungkapkannya, jadi aku menyangkal saja ucapannya.
“Enggak, lah. Miyagi pikir aku ini siapa, sih?”
“…Teman serumah.”
Jawaban yang benar datang dari Miyagi setelah aku mengelak dengan jawaban yang kurang benar.
Ya, memang benar. Kami ini teman serumah.
Kalau mau menjalani empat tahun bersama dengan damai, mungkin memang sebaiknya kami tetap hanya sebagai teman serumah.
Tapi, seiring waktu yang kuhabiskan bersamanya, aku mulai bertanya-tanya apakah pilihan ini benar. Dengan hubungan teman serumah, aku tidak bisa menyentuh Miyagi, dan sekarang aku merasa hubungan ini ada kekurangannya.
“Ada apa?”
Miyagi melihatku yang terdiam dengan ekspresi bingung.
Di hari wisuda, aku memintanya menjadi teman serumah, sebagai hubungan baru yang kami bisa jalani bersama. Saat itu aku yakin ini adalah pilihan terbaik.
“Miyagi, rasanya aneh, ya, kalau kita cuma teman serumah.”
Aku mencoba menerima kenyataan dan tertawa kecil sambil berkata, lalu Miyagi mengerutkan alis.
“Sendai-san, kamu yang bilang bisa jadi teman serumah, kan. Tanggung jawab, dong, bersikap seperti teman serumah yang baik.”
“Iya, iya.”
Aku menjawab setenang mungkin, tanpa memperlihatkan perasaan.
“Biar aku yang ambil bukunya, kamu tunggu sini aja.”
“Nggak usah.”
“Nggak usah gimana maksudnya?”
“Bukunya nggak jadi, deh. Yuk masak makan malam aja.”
Aku bukannya pergi ke kamarnya, tapi malah berjalan ke arah kulkas.
“Cepet amat?”
“Laper, nih.”
Aku mendengar suara dari belakang, lalu menyebutkan alasan yang terlintas di kepala. Sambil memeriksa isi kulkas, aku bertanya pada Miyagi mau makan apa.
◇◇◇
Waktu berlalu tanpa aku bisa memasuki ruangan yang tidak boleh dimasuki itu. Bulan April, saat upacara penerimaan mahasiswa baru, hampir berakhir.
Libur panjang sudah dekat, tapi rencanaku masih kosong.
Tidak ada kabar dari keluargaku.
Sebenarnya, aku sudah tahu ini bakal terjadi, jadi aku tidak terlalu memikirkannya. Rasanya aneh kalau mereka memintaku pulang. Aku sadar kalau orangtuaku tidak ingin aku pulang ke rumah, dan aku sudah berhenti merasa sedih karenanya. Dari awal, aku memang tidak punya niatan pulang, jadi ini malah bagus.
Karena itu, di liburan Golden Week nanti, aku tidak akan pulang ke rumah, tapi juga belum punya rencana lain. Hanya punya waktu luang tanpa tahu mau ngapain, rasanya malah membosankan.
Di lubuk hatiku, aku ingin menghabiskan sebagian waktu luang itu bersama Miyagi.
Sudah beberapa hari berlalu sejak aku bermimpi tentangnya, tapi aku belum sempat menanyakan detail rencana liburannya. Namun, aku tahu dia juga tidak berencana pulang ke rumah seperti aku.
Masalahnya, pembicaraan itu terhenti di situ saja.
Ketika liburan tiba, mungkin aku bisa memintanya menemani untuk mengisi waktu luang. Tapi, kurasa dia tidak akan mengiyakan dengan mudah.
Aku menghela napas panjang.
Mataku tertuju pada dosen di depan kelas.
Slide terus berganti.
Suara dosen bergema di ruangan kuliah, sementara pikiranku teringat pada telur mata sapi yang kumakan pagi ini.
Telur buatan Miyagi kali ini sempurna, tanpa kuning telur yang pecah. Dia tampak lebih bahagia dari biasanya. Tapi suasana berubah saat aku memberi komentar iseng.
── Seharusnya aku tidak mengomentari gaya rambutnya.
Ada pepatah yang mengatakan “tak usah ganggu yang tak perlu,” dan aku tahu betul betapa benarnya pepatah itu. Tapi, manusia tidak selalu hidup mengikuti pepatah. Belakangan ini, aku sering mengatakan hal-hal yang tak perlu kepada Miyagi, hanya agar bisa dekat dengannya. Hasilnya, aku malah sering membuatnya kesal.
Karena itu, rencana untuk membicarakan Golden Week batal.
Tidak ada kabar soal pekerjaan paruh waktu, dan semua terasa tidak memuaskan.
Aku menghela napas lagi, mencoba fokus pada slide.
Di kampus, aku berniat serius belajar, punya hubungan pertemanan sewajarnya, dan lulus tepat waktu untuk bekerja di perusahaan yang cukup baik. Ini bukan saatnya memikirkan Miyagi. Dosen ini jarang menulis di papan, jadi aku harus mendengarkan dengan saksama untuk memahami materi.
Aku coba menghapus pikiran tentang Golden Week dari kepalaku dan fokus mendengarkan.
Berbeda dengan SMA, kuliah sembilan puluh menit terasa lama.
Aku menulis di buku catatan.
Waktu berlalu; tiga puluh menit, empat puluh menit. Kuliah selesai beberapa menit sebelum waktu habis.
“Hazuki.”
Begitu aku menutup catatan, seseorang memanggil namaku. Aku menoleh dan melihat Mio, salah satu teman yang kudapat sejak masuk universitas, menatapku dari kursi di depanku.
“Aku punya info bagus.”
Aku tidak mencari teman seperti masa SMA dulu, jadi aku juga tidak mencoba memperluas lingkaran pertemanan. Meski begitu, aku tetap punya beberapa teman untuk ngobrol hal-hal ringan saat waktu senggang.
“Info bagus?”
“Iya. Jadi, jangan pasang wajah lesu seperti itu. Coba tersenyum dan dengarkan.”
“Senyum atau enggaknya, tergantung seberapa menarik infonya.”
Mendengar itu, Mio tersenyum lebar.
“Kamu lagi cari kerja sambilan, kan? Jadi aku mau kasih info kerja yang bagus.”
Suara Mio terdengar semangat.
Memang benar, aku pernah bilang ke Mio kalau aku mencari kerja sambilan.
Meski biaya hidupku sudah ditanggung orang tua, aku tetap ingin punya uang sendiri. Setelah lulus, aku tidak berniat kembali ke rumah. Aku berharap bisa mendapatkan pekerjaan yang layak di sini. Tapi segala kemungkinan bisa terjadi; mungkin aku harus mencari tempat tinggal baru. Untuk semua kemungkinan itu, rasanya uang simpanan akan sangat berguna. Maka dari itu, selama masih kuliah dan masih ditanggung orang tua, aku berencana bekerja sambilan.
“Itu kerjaan apa?” tanyaku pada Mio.
Dengan senyum lebar, dia menjawab.
“Guru les privat.”
Kami berdua keluar dari ruang kuliah, dan aku bertanya, “Mio, kamu juga guru les?”
“Kamu pikir aku cocok jadi guru les?”
“Nggak.”
Aku segera menjawab. Mio punya wajah yang cukup menarik, kalau pakai kacamata dan diam saja, dia bisa saja terlihat seperti “guru privat yang cantik.” Meski terlihat seperti sosok yang dingin, Mio sebenarnya orang yang ramah dan cerdas. Tapi, dia bukan tipe orang yang suka memikirkan hal-hal mendalam. Kalau mau, dia bisa membuat keputusan dengan cepat, tapi kadang kurang berpikir panjang. Aku rasa, jika dia jadi guru privat, murid-muridnya akan senang, tapi belum tentu nilainya naik.
“Jawabannya cepet banget. Ya udah, aku cuma mau ngenalin ke senior yang lagi nyari guru les.”
Mio berbicara dengan santai.
“Yang bakal dikenalin itu muridnya?”
“Bukan, lah. Nggak mungkin aku bisa kenalin muridnya langsung. Aku bakal ngenalin ke seniorku, yang lagi cari orang buat jadi guru les.”
Perkataan Mio mengingatkanku pada saat aku pernah membantu Miyagi belajar.
Nilainya memang meningkat, meski aku tahu itu bukan hanya karena bantuanku. Walaupun aku tidak bisa langsung menyebut diriku cocok jadi guru les, aku menikmati saat-saat mengajarinya.
“Kalau cuma sekadar dengerin infonya aja gimana?”
“Tenang, aman kok!”
Jawabannya terdengar ceria, meski aku sedikit ragu apakah benar aman.
“Oke, kenalin aja seniornya.”
Aku tidak yakin bakal ambil kerjaannya, tapi aku tertarik.
Aku tidak kenal seniornya Mio, tapi mendengarkan sedikit tidak ada salahnya.
“Okedeh. Aku hubungi dia sekarang.”
Mio mengambil ponselnya dan mulai mengirim pesan ke seniornya. Setelah beberapa kali bertukar pesan, dia menatapku lagi.
“Sekarang dia lagi sibuk. Dia bilang mau ngomong langsung kalau punya waktu luang. Aku kasih kontakmu ya, boleh?”
“Boleh.”
Menjelang akhir pembelajaran di kampus, aku bertemu dengan sahabatku, Mio, yang langsung menawarkan sebuah pekerjaan sampingan yang katanya menarik. Setelah ngobrol singkat, Mio pun memperkenalkanku pada seorang senior yang mencari tutor privat. Dia lalu menambahkan nomor kontak senior itu ke ponselku dan bilang kalau kemungkinan besar senior tersebut akan menghubungiku dalam tiga jam ke depan.
Namun, meski waktu berlalu hingga aku kembali ke rumah, tidak ada panggilan masuk dari senior yang dimaksud. Begitu aku membuka pintu, aku melihat lampu rumah sudah menyala, dan di dekat pintu ada sepasang sepatu milik Miyagi. Ternyata dia sudah sampai lebih dulu.
Aku melepas sepatuku dan berjalan ke dalam. Di dapur, aku melihat Miyagi sedang menata bahan-bahan belanjaannya ke dalam kulkas.
“Selamat datang,” sapanya tanpa menoleh.
“Selamat sore,” jawabku sambil meletakkan tas. “Eh, Miyagi. Malam ini mau masak apa?”
“Ada yang kamu pengen makan?” tanyanya.
“Droria, dong,” jawabku spontan.
Miyagi menutup kulkas, lalu menatapku sambil berkata, “Aku belum pernah masak droria, tahu. Lagipula, nggak ada bahan-bahannya di kulkas ini.”
“Oh,” gumamku. “Kamu nanya tapi nggak mau bikin juga,” candaku.
“Kalau mau banget, gimana kalau kita makan droria di luar aja?” tawarku, mencoba membuka opsi.
Miyagi menggeleng, terlihat malas. “Aku sudah belanja, jadi mending masak sendiri aja.”
“Oh ya, gimana kalau besok?” tanyaku lagi, setengah berharap ia mau keluar.
Miyagi menatapku sejenak sebelum menjawab, “Yaudah, besok juga boleh.”
Aku cukup terkejut dengan jawabannya. Tapi ketika aku ingin menanyakan detailnya, tiba-tiba ponselku berdering. Nama senior yang disebutkan Mio tertera di layar. Aku mengangkat telepon itu dan mendengar suara yang tenang. Setelah sedikit basa-basi dan beberapa pertanyaan tentang pekerjaan sampingan itu, telepon pun ditutup.
“Maaf, Miyagi,” ujarku sambil kembali padanya. “Sepertinya besok aku ada janji. Droria-nya gimana kalau kita makan besok lusa aja?”
Miyagi mengernyit, tatapannya berubah dingin. “Janji apa?” tanyanya singkat.
“Ketemuan sama orang yang mau kasih kerja sampingan itu, buat interview,” jawabku.
“Emangnya kamu butuh banget kerja sampingan?” tanya Miyagi dengan suara datar.
“Aku pengen nabung,” kataku, mencoba menjelaskan. “Kan nggak salah nabung buat masa depan.”
“Uang yang kukasih waktu SMA masih ada, ‘kan?” balas Miyagi.
Aku hanya bisa tersenyum kecil, meski nada suaranya terdengar dingin. “Itu uangmu, bukan uangku,” jawabku.
“Kamu bisa pakai aja kalau butuh, kok,” katanya sambil menghela napas pelan, lalu menendang pelan kakiku dengan sikap protes.
Aku tersenyum kecil, merasa sedikit nostalgia karena sudah lama Miyagi tidak menunjukkan reaksi kekanak-kanakan seperti ini. Namun, aku tahu sikap itu bukan karena ia ingin bercanda, melainkan karena merasa kesal.
Setelah suasana kembali tenang, Miyagi mengingatkanku, “Kamu udah janji buat makan droria besok, ‘kan? Kalau kamu batalin, berarti ada hukuman.”
“Eh?” Aku sedikit terkejut. “Kita nggak pernah bikin aturan hukuman kalau batal janji, deh.”
“Tapi tadi kamu udah janji buat makan droria, berarti kayak aturan juga,” jawabnya dengan tegas.
Aku mencoba berargumen, tapi Miyagi tetap teguh dengan keputusannya. Akhirnya aku menyerah dan hanya bisa berkata, “Yaudah, terserah kamu. Kalo udah mutusin hukumannya, bilang aja ya.”
Sepertinya dia puas dengan jawabanku. Aku pun berdiri dan bertanya, “Terus, buat makan malam hari ini, kamu mau masak apa?”
Dan begitulah, hari itu berakhir dengan berbagai cerita kecil yang tidak kalah menarik.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.