Chapter 2
Aturan yang Harus Dijaga oleh Sendai-san
-Aku tidur tanpa mengatur alarm.
Namun, entah kenapa, aku terbangun di waktu yang cukup pagi untuk hari Minggu—sekitar jam enam lewat sedikit.
"…Ngantuk."
Aku menarik boneka kucing hitam yang tergeletak di sebelah bantal ke dalam selimut dan meletakkannya di dadaku. Aku mengusap-usap kepalanya lalu menutup mata lagi.
Malam memang terasa mengantuk seperti biasanya, tapi aku tetap tidak bisa tidur nyenyak, dan setiap pagi aku selalu terbangun lebih awal dari yang kuinginkan.
Sejak datang ke sini, rasanya aku kurang tidur dan tidak pernah benar-benar merasa segar. Dan semua ini gara-gara Sendai-san.
—Kalau memang benar itu alasannya, mungkin lebih mudah menyalahkan dia. Tapi aku tahu, akar masalahnya ada padaku sendiri.
Aku belum terbiasa dengan adanya seseorang di rumah ini.
Saat aku bangun, Sendai-san ada di sini. Saat aku pulang dari kampus, dia ada. Bahkan di hari libur pun dia tetap ada. Aku yang sudah terbiasa sendirian di rumah kini harus beradaptasi dengan kehadiran orang lain yang konstan. Rasanya seperti berada di rumah orang lain, dan aku masih kesulitan merasa nyaman. Mungkin karena itu, aku selalu menaruh boneka kucing hitam dari kamar lamaku di samping bantal; berharap itu bisa membantuku merasa lebih betah.
Aku menghela napas panjang, membuka mata, dan melihat ke sekeliling kamar.
Hari ini ada janji. Janji yang, sejujurnya, tidak ingin kulakukan; janji untuk pergi bersama Sendai-san membeli ketel listrik. Aku mengiyakan saat dia mengusulkan kemarin, tapi sekarang rasanya agak menyesal. Tidak hanya karena belum merasa sepenuhnya nyaman di kamar ini, tapi juga karena pergi keluar bersamanya seakan jadi beban tersendiri.
Sekali lagi, aku menarik napas panjang dan melihat ke bawah.
Di lantai, ada boneka buaya yang “tumbuh” tisu di punggungnya.
Hal-hal kecil seperti ini, benda-benda yang ada di tempat seharusnya, sedikit membantuku merasa bahwa ini adalah ruangku sendiri. Semoga saja, suatu saat nanti kamar ini benar-benar akan terasa seperti kamarku.
Aku meletakkan boneka kucing hitam kembali di samping bantal, lalu bangkit perlahan menuju lemari.
Setiap pagi aku selalu ragu.
Biasanya aku hanya mengenakan baju santai dan celana olahraga begitu bangun tidur. Tapi sekarang ada Sendai-san. Kalau keluar kamar dengan pakaian santai, aku takut itu terlihat tidak pantas. Meski mungkin dia masih tidur, aku tetap merasa tidak nyaman keluar begitu saja.
Akhirnya, aku mengambil kaus dan celana jeans lalu berganti pakaian. Setelah merapikan tempat tidur, aku hampir keluar kamar, tapi berhenti sejenak untuk memandangi boneka kucing di atas bantal.
Kemarin, kami membuat aturan untuk tidak masuk ke kamar satu sama lain tanpa izin. Tapi aku tahu, ada kemungkinan Sendai-san melanggar aturan itu.
Jadi, untuk berjaga-jaga, aku memindahkan boneka kucing ke rak buku. Sebenarnya tidak masalah di mana boneka itu berada, tapi kalau Sendai-san sampai tahu aku menaruhnya di samping bantal, bisa-bisa dia meledekku.
Setelah mengatur semuanya—boneka kucing di rak, buaya di lantai, dan tempat tidur yang rapi—aku pun keluar kamar.
Saat tiba di dapur, Sendai-san belum ada.
Aku menyikat gigi, mencuci muka, lalu kembali ke dapur. Masih tidak ada Sendai-san. Aku membuka kulkas dan, setelah berpikir sejenak, mengeluarkan jus jeruk. Menuangkannya ke dalam gelas, aku kemudian menaruhnya di sebelah kantong roti yang tersisa dari kemarin.
Karena tidak tahu apa yang disukai Sendai-san, aku membeli macam-macam roti, hasilnya terlalu banyak untuk makan malam berdua. Aku tidak benci roti, tapi sepertinya kemarin aku terlalu banyak membeli.
"Selamat pagi," sapa suara dari belakang. Sendai-san muncul dengan wajah bangun tidur.
"Selamat pagi."
"Aku mau cuci muka dulu," katanya sambil menguap, lalu beranjak ke kamar mandi.
Aku duduk di kursi, mengambil seteguk jus jeruk, dan menunggu waktu yang terasa berjalan sangat lambat.
Seperti di kelas yang membosankan, setiap menit terasa panjang. Meskipun aku tahu kembali tidur tidak akan banyak membantu, duduk diam di sini pun tidak ada gunanya. Sambil bimbang antara kembali ke kamar atau tetap di sini, aku menatap gelas jus yang baru terminum sedikit.
Suara Sendai-san tiba-tiba terdengar.
"Pagi-pagi, minum jus ini saja cukup?"
Aku mengalihkan pandangan ke arah Sendai-san yang sedang memegang kantong roti sambil melihat gelasku.
"Cukup."
"By the way, Miyagi, kamu bangun pagi juga, ya?"
"Kamu juga bangun pagi, kan?"
"Mata sudah keburu melek."
Sendai-san duduk di kursi dengan pakaian santainya. Aku melihat dia terus menatap gelasku, jadi akhirnya aku berkata,
"Kamu mau?"
"Hanya mau satu teguk saja."
"Ya udah, minumlah."
Tanpa menunggu jawabannya, aku berdiri dan menyerahkan gelas itu kepadanya. Dia menerimanya tanpa melihat ke arahku, lalu mengucapkan terima kasih dan meneguk jus jeruknya, hanya satu tegukan seperti yang dia katakan. Setelah itu, dia meletakkan gelas kembali di meja.
Ada saat-saat seperti ini di pagi hari ketika kami tidak saling menatap.
Mungkin hanya perasaanku atau efek dia masih mengantuk, tapi suasana seperti ini membuatku tidak nyaman. Rasanya seolah ada bunyi gemeretak dari dalam tubuhku, seperti tulang-tulang yang bergesekan.
"Minumlah jusnya sampai habis."
"Aku nggak mau lagi."
"Lalu sisanya mau diapakan?"
"Kamu saja yang habiskan."
Meskipun ada sedikit rasa tidak nyaman, setidaknya kami masih bisa bercakap-cakap, mungkin berkat aturan yang kami buat kemarin. Meski begitu, aku tahu percakapan ini tidak akan bertahan lama, jadi sebelum muncul lagi kesunyian, aku langsung bertanya,
"Aku mau makan roti, kamu mau sarapan juga?"
"Ayo makan," jawabnya, berdiri sambil berkata, "Mau jus jeruk lagi nggak? Aku mau tuang segelas lagi."
"Nggak, dan aku nggak perlu piring juga."
"Lho, kenapa?"
"Biar cucian nggak banyak."
"Iya sih, tapi…"
Beberapa saat kemudian, Sendai-san datang membawa segelas jus jeruk untuk dirinya. Aku menyodorkan kantong roti kepadanya.
"Kamu saja yang ambil duluan."
"Tapi kemarin aku yang ambil duluan, sekarang giliranmu."
"Nggak, kamu duluan saja."
"Kenapa kamu nggak pilihkan buat aku saja?"
Dia mendorong kembali kantong roti ke arahku.
"Bukankah aku sudah bilang kamu yang pilih dulu?"
"Kan sama aja, siapa pun yang pilih dulu aku yang makan, dan kamu yang makan sisanya.”
Sendai tampak mengatakan sesuatu yang benar, tapi rasanya ada yang kurang tepat, lalu ia tersenyum kecil.
Aku ingin protes, tapi karena ucapannya tidak sepenuhnya salah, aku memilih untuk diam dan mengambil roti an-butter sandwich dan roti kenari dari dalam kantong, lalu menyodorkannya ke arah Sendai. Sisa roti krim dan roti gulungnya aku letakkan di depanku.
“Itadakimasu,” ucapnya sambil mulai menggigit roti kenari. Aku pun ikut mengucapkan, “Itadakimasu,” sebelum menggigit roti krim.
Sejak ibuku pergi, aku lebih sering menghabiskan waktu sendirian.
Sekarang, Sendai adalah orang yang paling lama bersamaku.
──Meskipun dia belum membayar lima ribu yen.
Aku menggigit roti krim lagi, lalu menatap Sendai.
Hubungan kami sudah berubah dari sebelumnya.
Aku paham itu.
Sendai menawarkan hubungan sebagai teman sekamar, dan aku menerimanya. Tapi meskipun sekarang kami sudah memiliki hubungan yang baru, aku masih bertanya-tanya kenapa Sendai tetap mengikuti keinginanku hanya karena uang lima ribu yen yang bahkan dia tidak gunakan.
Lima ribu yen itu penting bagiku untuk bisa membuat Sendai tetap berada di dekatku. Itu uang yang tidak boleh hilang begitu saja. Bagi Sendai, lima ribu yen itu seharusnya jadi alasan untuk mengikuti permintaanku, bukan untuk disimpan begitu saja.
Aku hampir menghela napas, lalu meminum jus jerukku.
Aku menatap Sendai lagi.
Di depanku, dia makan rotinya dengan tenang.
Dia tidak mencoba bicara.
Aku sebenarnya tidak terlalu ingin mengobrol, jadi tidak masalah. Tapi ketika dia hanya diam di depanku, aku jadi memikirkan hal-hal yang tadinya kuabaikan.
Andai saja aku tidak pernah memberi lima ribu yen itu, kira-kira Sendai akan bagaimana?
Mungkinkah dia tetap menghabiskan waktu bersamaku meski tanpa uang itu? Masihkah dia mau menuruti perintahku?
Sekarang, aku tidak akan pernah tahu jawabannya.
Jika aku mencoba menyelesaikan semua "kenapa" yang ada, pikiranku malah terasa semakin kacau. Tapi, menyelesaikan semua pertanyaan itu rasanya malah bisa mengubah hubungan kami yang sekarang.
“Miyagi. Kalau roti itu nggak enak, mau tukeran?” Sendai akhirnya buka suara, sambil mengambil an-butter sandwich.
Aku menggigit roti krimku yang bahkan belum setengah dimakan.
“Enggak usah. Aku cuma lagi ngantuk aja.”
“Gitu ya. Eh, makan siang nanti, makan di luar aja, gimana?”
Sendai melahap sisa roti kenarinya dalam sekali gigitan.
“Boleh. Setelah makan ini, aku mau di kamar sampai waktunya keluar,” jawabku.
“Oke.”
Kami terus mengobrol hal-hal kecil sambil menghabiskan roti. Sebenarnya kami tidak pernah punya topik khusus untuk dibahas. Dulu, meski obrolan kami terputus-putus, aku tidak masalah. Tapi sejak tinggal di sini, suasana jadi terasa berat saat hening. Aku mencoba mencari-cari topik untuk dibicarakan sampai akhirnya jus jeruk dan roti di depanku habis.
“Sendai, kita keluar jam berapa?”
“Jam dua belas sih kayaknya bakal kelaparan. Gimana kalau jam sebelas aja?”
“Oke, jam sebelas.”
Setelah bilang begitu ke Sendai, aku kembali ke kamar.
Aku berbaring di tempat tidur, membaca manga, dan berusaha menghabiskan waktu.
Rasanya tidak nyaman, tapi aku juga tidak ingin keluar kamar. Aku tidak mau tanpa sengaja bertemu Sendai di ruang bersama. Itu pasti akan membuat suasana makin canggung.
Aku hanya fokus untuk menghabiskan waktu di kamar sampai jam yang kami sepakati tiba.
Aku membuka lemari dan melihat rok berwarna cerah khas musim semi.
Rok itu kubeli setelah upacara kelulusan, tapi belum pernah kupakai sekalipun.
Aku mengambilnya dan meletakkannya di atas tempat tidur, lalu berpikir.
Kalau aku keluar kamar dengan memakai rok itu, Sendai pasti mengira aku memakainya karena dia menyuruhku. Padahal, aku hanya kebetulan melihat rok itu di lemari dan memutuskan untuk memakainya.
Waktu yang terasa panjang tiba-tiba saja hampir habis, dan sudah mendekati jam sebelas.
Aku mengembalikan rok itu ke lemari, lalu memilih sweater.
Aku mengenakannya di atas kaus, lalu keluar kamar.
“Kamu udah siap?”
Sendai yang ternyata sudah menungguku, menyapaku lebih dulu, dan aku menjawab, “Sudah.”
Baju sweater besar yang tadi dipakainya sudah berganti menjadi blus, dan celana jeans-nya diganti dengan rok.
“Ayo, kita berangkat.”
Sendai tidak mengatakan apa-apa walaupun aku tidak memakai rok.
“Kalau besok, pakai rok ya?”
Aku tahu itu cuma omongan iseng. Kemarin, kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku, bukan karena aku sungguh-sungguh ingin dia melihatku memakai rok.
Sendai mengambil tasnya dan berjalan ke pintu masuk.
Aku mengikutinya, dan kami berdua memakai sepatu lalu keluar.
Kami turun dari lantai tiga dan berjalan di trotoar yang biasa kulewati sendirian, kali ini berdua.
Aku tidak berjalan di samping Sendai.
Aku berjalan sedikit di belakangnya, mengikuti langkahnya yang yakin.
Suara mobil yang melintas.
Suara anak-anak yang bersorak.
Angin April yang tidak terlalu dingin dan tidak terlalu hangat.
Hal-hal yang sama seperti biasanya, entah kenapa terasa berbeda dan membuatku ingin berbalik. Tapi, kakiku tetap melangkah maju secara mekanis.
Aku tahu ke mana tujuan kami.
Tapi, selain area sekitar rumah dan kampus, aku tidak tahu jalan di kota ini. Jadi, aku hanya terus menjaga jarak dengan Sendai, mengikuti beberapa tikungan hingga kami naik kereta. Meski sebenarnya ingin tetap menjaga jarak, kereta yang cukup ramai memaksaku berdiri di sampingnya.
Dari jendela, kulihat pemandangan asing mengalir.
Aku merasa tidak punya tempat di sini.
Sejak pindah, aku terus merasa seperti orang asing. Bersama Sendai hari ini pun, perasaan itu tidak berubah. Aku tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan sampai pemandangan ini terasa familiar dan rumah itu benar-benar terasa seperti rumahku. Bukan salah Sendai, tapi aku masih belum bisa merasa nyaman dengan lingkungan baruku. Semakin aku memikirkan ini, perasaan jadi semakin muram. Rasanya, aku malah ingin turun dari kereta sebelum sampai tujuan, jadi aku mengalihkan pandanganku ke arah Sendai.
“Ada apa?”
Sepertinya dia menyadari tatapanku meski tanpa melihat.
“Enggak, cuma iseng aja.”
“Kamu udah capek?”
“Enggak.”
Aku menjawab singkat, dan obrolan pun terputus.
Sendai kembali menatap ke luar jendela.
Beberapa saat kemudian, pemandangan di luar berhenti dan pintu kereta terbuka.
Suasana kereta yang riuh menjadi semakin gaduh.
Orang-orang naik turun, dan saat pintu tertutup, Sendai memanggilku dengan suara lembut.
“Eh, Miyagi. Kenapa tadi kamu minum jus jeruk pas pagi?”
Kereta mulai berjalan lagi, dan perlahan mempercepat lajunya.
Aku pun memandang ke luar jendela.
“Enggak ada alasan khusus, cuma iseng aja.”
“Oh gitu. Lalu, kenapa kamu selalu menghindar?”
Percakapan ini mengalir seperti pemandangan yang berganti dengan ritme tetap, dan tiba-tiba bergeser ke arah yang berbeda.
“Eh, itu kan nggak ada hubungannya sama jus jeruk.”
Aku protes karena topik berubah begitu saja.
“Jawab aja.”
Suara lembut yang biasa kudengar, tapi nada seriusnya terasa beda kali ini.
Aku mengalihkan pandangan dari luar jendela dan menatap wajahnya dari samping. Wajah yang biasanya santai, kali ini terlihat sangat serius, membuatku merasa tidak bisa menjawab sembarangan.
“...Aku cuma bingung harus bagaimana.”
“Pikiranku benar.”
“Soalnya, kamu selalu di rumah.”
Sebenarnya aku tidak berniat mengatakan ini langsung padanya, tapi tidak ada gunanya untuk mengelak, jadi aku jujur saja.
“Kita kan tinggal bareng. Kalau kamu nggak mau aku ada di rumah, aku malah bingung.”
“Bukan berarti aku minta kamu pergi.”
“Biasakan dirilah sama aku. Aku jadi sedih kalau kamu menghindar.”
Tatapannya beralih dari luar jendela ke arahku.
“...Maaf.”
Sebenarnya aku tidak bermaksud menghindar, tapi aku tahu aku salah, jadi aku meminta maaf.
Padahal Sendai sendiri kadang menghindariku. Pagi tadi saja, dia tidak mau menatapku langsung. Jadi, meskipun rasanya aku bukan satu-satunya yang salah, aku tetap tidak ingin membalas dengan protes.
“Pas kamu nggak di rumah, kamu ketemuan sama Utsunomiya kan?”
Dengan nada penasaran, Sendai bertanya.
“Iya.”
“Biasanya kamu sama dia ke mana?”
Aku sering bilang ke dia kalau ada janji dengan Maika.
Tapi kalau dia tanya detailnya, aku jadi bingung.
“Ke mana aja sih, nggak ada tempat khusus yang perlu diceritain.”
“Nggak jelas gitu.”
“Ya, sekitar situ aja.”
“Maksudku, sekitar mana?”
“Aku biasanya nggak mikirin, Maika yang ngatur.”
“Meskipun Maika yang atur, kalian tetep pergi ke suatu tempat, kan?”
“Tempatnya biasa aja.”
Aku memang selalu ketemu Maika di tempat-tempat yang biasa saja. Jadi, bukan berarti aku bohong. Tapi, tidak semuanya benar juga.
Hampir separuh waktu yang kuhabiskan di luar, aku sebenarnya tidak bertemu Maika. Aku hanya pergi ke toko buku, atau kafe, menghabiskan waktu sendirian. Kalau aku cerita detailnya, dia pasti sadar aku tidak selalu bertemu Maika.
“Ya sudah, terserah.”
Nada suaranya terdengar tidak sepenuhnya puas, tapi dia tidak menanyakan lagi. Aku lega karena dia tidak mendesak lebih jauh. Tapi, saat dia diam begitu, aku jadi bingung tentang apa sebenarnya yang ingin dia ketahui.
Apa dia ingin tahu tentang Maika? Tempat yang aku kunjungi? Atau justru tentang diriku?
Aku jadi penasaran tentang pertanyaan Sendai yang sebenarnya, tapi kereta mulai melambat dan pemandangan di luar mulai berhenti bergerak.
“Kita turun.”
Suara Sendai membuyarkan pikiranku.
Kami turun dari kereta dan makan siang ringan sebelum berjalan menuju tujuan.
Padahal yang ingin dibeli cuma satu, ketel listrik, tapi entah kenapa perjalanan ini terasa panjang sekali.
Ketel itu sebenarnya bukan barang yang harus dibeli dengan segera, jadi bisa saja aku pesan lewat internet. Atau, beli di toko dekat rumah juga bisa. Tidak perlu sampai naik kereta, makan siang, dan berjalan jauh ke sini hanya untuk membeli barang ini.
“Miyagi, ini tokonya.”
Ketika aku sedang berjalan tanpa berbicara, Sendai-san tiba-tiba berkata, dan kami pun sampai di tempat tujuan—tempat yang rasanya lengkap menjual segala macam barang, dari peralatan rumah tangga sampai hal-hal kecil lainnya.
Sendai-san naik eskalator, dan aku naik di satu anak tangga di bawahnya.
Sama-sama naik, tapi rasanya berbeda.
Rambut panjangnya, yang sejak kami tinggal bersama kadang-kadang dikepang, kali ini dikepang seperti saat dia masih di SMA—dikepang di kedua sisi dan diikat di belakang. Meskipun aku tak bisa melihat wajahnya, aku tahu dia sudah memakai makeup, sesuatu yang belum ada saat dia baru bangun tadi pagi.
Selain pakaian yang bukan seragam, penampilannya tak banyak berubah sejak SMA. Tapi, bagiku, Sendai-san terasa seperti orang yang berbeda.
Atau mungkin lebih tepatnya, akulah yang sekarang melihatnya secara berbeda.
Mungkin ini semua karena uang lima ribu yen yang pernah dipakai dulu.
Aku tidak tahu harus meletakkan perasaanku di mana.
Rutinitas baru ini, Sendai-san yang tak lagi sama seperti dulu, semuanya membuatku merasa tidak nyaman dan sulit menanganinya. Ketika kami masih SMA, perasaan ini bisa kuselesaikan dengan memberi uang lima ribu yen, tapi kini, tanpa uang itu, perasaan ini tak lagi punya tempat untuk berlabuh.
Aku ingin kembali ke masa SMA, saat semuanya terasa lebih mudah.
Saat itu, aku tak perlu memikirkan apa yang harus kupakai ketika keluar dari kamar. Tak perlu khawatir soal percakapan yang hampir putus di tengah jalan. Sendai-san pun tak akan memintaku memakai rok, atau mungkin aku tak perlu merasa terganggu ketika dia tidak peduli saat aku tidak memakai rok.
Aku turun dari eskalator.
Dan kemudian naik lagi menuju lantai atas.
Aku menatap punggungnya yang tegap berdiri.
Rambut panjangnya tampak indah dan membuatku ingin menyentuhnya.
Aku nyaris mengulurkan tangan, tapi kemudian menarik napas dalam-dalam.
Mungkin, aku sedang lelah.
Tidurku tak cukup, jadi pikiranku rasanya tidak fokus.
"Miyagi, sini," kata Sendai-san sambil berjalan lurus tanpa naik eskalator lagi. Mengikutinya, aku langsung melihat barisan ketel listrik yang tertata di rak. Sendai-san mengambil beberapa ketel dan memeriksanya dengan teliti sambil bergumam pelan, "Yang mana yang bagus, ya?"
Ada yang bentuknya bulat, ada juga yang lehernya panjang dan ramping.
Ketel yang dilihat Sendai-san punya beragam bentuk dan warna. Fungsinya mungkin berbeda, tapi kurasa asalkan bisa merebus air, semuanya pasti oke. Tapi dia serius melihat-lihat dan membandingkan ketel itu satu per satu. Aku tak ingin mendesaknya, tapi rasanya dia bisa memilih dengan lebih santai.
"Miyagi, menurutmu yang mana bagus?"
Dia sekarang menatapku, bukan ketel yang dipegangnya.
"Apa saja. Kamu sudah cari tahu dulu, kan?"
"Udah sih, ada dua yang bagus."
"Ya udah, pakai aja yang kamu suka."
"Meski kamu bilang ‘apa saja’, pasti ada yang lebih kamu suka, kan?"
"Enggak juga."
"Kalau gitu, aku pilih ini aja."
Akhirnya dia menunjuk ketel yang agak besar. "Kamu yang pilih warnanya, ya. Kan kita bakal pakai bareng, sedikit bantuin pilih lah," katanya sambil tersenyum padaku.
"Nggak ada warna favorit juga, sih."
Warna tak ada hubungannya sama fungsi ketel yang intinya hanya buat merebus air. Putih, hitam, merah, atau apa saja, sesuaikan saja sama seleranya. Lagipula, daripada aku yang nggak minat memilih, bukankah lebih baik Sendai-san pilih warna yang dia suka?
"Miyagi… kalo belanja sama Utsunomiya juga kamu begini, ya?"
Sendai-san menghela napas.
"Begini gimana?"
"Dingin. Terlalu nggak peduli."
Nada bicaranya seperti menyudutkanku, dan itu membuatku merasa sedikit bersalah.
Kalau dengan Maika, aku bisa bersikap lebih serius. Kalau soal ketel, aku bisa menanyakan fitur apa yang diinginkan, atau membantu memilih warna dan desain. Tapi entah kenapa, kalau Sendai-san yang menjadi lawan bicara, hal-hal sederhana seperti itu jadi terasa susah dilakukan.
──Meski di sisi lain, ada hal-hal yang hanya bisa kulakukan dengannya.
"Apa kamu benar-benar nggak mau milih?" Sendai-san bertanya lagi. Aku menatap deretan ketel listrik yang ada di hadapanku, berpikir sejenak, lalu menyebut warna yang paling netral.
"Putih aja. Kayaknya warna yang umum buat barang elektronik."
"Kalau soal elektronik sih, hitam atau merah juga oke."
"Kalau gitu, merah aja deh."
"Oke, putih ya."
Sendai-san tersenyum cerah seolah puas dengan pilihannya, meski sebenarnya aku hanya menuruti. Dia lalu mengambil ketel putih itu dan menuju kasir, membuatku tak punya pilihan selain mengikutinya untuk membayar bersama.
"Udah selesai belanjanya?"
Ketika kutanya, dia menjawab singkat, "Iya," dan kami bersiap kembali. Namun, Sendai-san tiba-tiba bilang ada satu tempat lagi yang ingin dia datangi dan bergegas naik eskalator lagi.
"Belum pulang?"
Langkah Sendai-san terasa mantap, seolah dia sudah tahu pasti ke mana ingin pergi, meski aku tak tahu arahnya.
"Mampir sebentar aja," jawabnya sambil tersenyum.
Senyumannya lembut, tapi tatapannya membuatku sadar bahwa pendapatku mungkin tak akan membuatnya mengubah rencana.
Aku memilih untuk tak banyak bicara, menghemat tenaga dan cukup mengikutinya.
Kami makan siang bersama, berbelanja, dan meski tak ada barang yang ingin dibeli, kami terus mengitari toko-toko.
Kupikir, hal ini lebih baik daripada terus-menerus menghindari Sendai-san. Bahkan, ini mungkin cara yang bagus untuk menghabiskan Minggu. Tapi aku tetap tidak tahu apakah jarak seperti ini umum untuk orang yang tinggal bersama.
"Miyagi, ke sini," katanya setelah turun dari eskalator, menarikku menuju area penuh boneka.
"Kamu suka yang kayak gini, kan?”
Dengan suara jernih tanpa keraguan, Sendai-san berkata.
Aku tidak begitu paham bagaimana dia melihatku.
Di lantai ini, ada berbagai macam barang, dari boneka, pernak-pernik kecil, sampai mainan. Tapi, seolah sudah tahu pasti, dia langsung membawaku ke tumpukan boneka. Dia berasumsi aku suka hal-hal semacam ini, dan itu membuatku ingin bertanya, sebenarnya seperti apa aku di matanya.
Aku tidak mengoleksi boneka, apalagi menatanya di kamar.
Tapi, melihat-lihat boneka bukanlah sesuatu yang kubenci.
Karena kami juga tak sedang terburu-buru untuk pulang, aku berjalan mendekati tumpukan boneka, mengambil beberapa, melihatnya sebentar, lalu meletakkannya kembali. Saat aku berjalan lebih jauh ke dalam, aku menemukan boneka berbulu lembut, dan salah satunya berbentuk mirip buaya yang ada di kamarku, sehingga aku berhenti.
Penasaran, aku mendekat untuk melihat lebih jelas, dan ternyata itu adalah penutup tisu.
Oh iya, tisu di dapur kami memang belum ada penutupnya.
Aku mengambil penutup tisu berwarna cokelat tua.
"Itu bentuknya apa, sih?" tanya Sendai-san sambil menatap benda yang kupegang.
"Platipus.”
“Kayaknya aku pernah lihat di suatu tempat. Platipus itu hewan mamalia, kan?”
“Mungkin,” jawabku, meski ingatanku agak samar. Platipus memang hewan yang aneh, mamalia yang bertelur.
“Kayaknya kamu suka hal-hal kayak gini, ya, Miyagi.”
“Bukan suka, sih.”
“Ya, nggak masalah kalau nggak suka. Tapi ini lucu, kan?”
Sambil berkata begitu, Sendai-san mengambil platipus itu dari tanganku dan mengelus kepalanya.
“Aku beliin ini, jadi kasih sini,” katanya.
Aku menarik paruh platipus itu pelan. “Biar aku aja yang beli.”
“Kenapa?”
“Ini kan mau ditaruh di dapur, kan? Jadi ini barang bersama. Nanti pakai uang yang kita kumpulin buat barang-barang bersama,” jawabnya tanpa ragu, sambil menggerakkan tangan platipus itu dengan main-main.
“Aku nggak bilang mau naruh di dapur.”
“Nggak ya?”
“…Ya, tapi bukan berarti itu yang kumaksud.”
“Udah, aku aja yang beliin,” katanya, lalu tanpa menunggu jawabanku, ia mulai berjalan ke kasir.
Pada akhirnya, aku pun mengikuti di belakangnya, dan platipus itu pun dibeli dengan “uang bersama”.
Aku agak kesal dengan sikapnya yang selalu mendahuluiku seperti ini. Apa pun yang mau kulakukan, dia selalu selangkah lebih cepat. Dan kalau pun aku protes, dia nggak akan mendengarkannya.
“Kalau gitu, ayo kita pulang,” katanya.
Sepertinya rencana hari ini sudah selesai, dan kami mulai berjalan pulang mengikuti rute yang sama. Sepanjang perjalanan, kami lebih banyak diam. Tanpa banyak basa-basi, kami berjalan, naik kereta, dan akhirnya sampai di rumah.
Setelah sampai, dia langsung membuka boks ketel listrik yang kami beli dan mulai membuat teh. Kami duduk berhadapan di meja, lalu ia menyerahkan kantong yang berisi penutup tisu itu padaku.
“Nih.”
“Buka aja sendiri,” kataku sambil mendorong kantong itu kembali ke arahnya. Tanpa banyak bicara, dia mengambil platipus itu dari kantongnya, lalu menunjuk kotak tisu di dekatku.
“Tolong ambilin itu.”
Aku pun menurut dan menyerahkan kotak tisu itu. Tapi bukannya menerima kotak itu, dia malah menggenggam tanganku.
Jantungku berdebar keras.
Tangannya mencengkeram erat, sampai terasa agak sakit.
Tapi dia tetap diam.
Di saat-saat seperti ini, biasanya dia akan menciumku. Tapi kali ini, dia tidak melakukannya. Wajar saja. Ini bukan seperti dulu lagi.
Sendai-san tidak lagi memakai seragam sekolah dengan rok bermotif kotak-kotak. Dia sekarang adalah teman serumah, dan nggak ada aturan bahwa kami boleh saling mencium.
── Tapi, nggak ada juga aturan yang melarangnya.
“Maaf.”
Sendai-san berkata pelan, lalu melepas tanganku.
Dia mengambil kotak tisu dan memasukkan ke dalam penutup platipus itu.
Sebenarnya, kami memang tidak punya aturan yang jelas tentang ciuman. Dan meskipun ada aturan yang melarangnya, jika dia memang ingin melanggar, dia pasti akan melakukannya tanpa ragu. Tapi entah kenapa, hari ini dia bertindak seolah itu adalah aturan yang harus ditaati.
Aku nggak suka sikap Sendai-san yang seperti ini.
“Nih, udah jadi.”
Dia meletakkan tisu yang sudah dilapisi penutup platipus itu di atas meja yang tidak begitu besar di antara kami.
◇◇◇
Di atas meja, ada sepiring roti panggang dan telur orak-arik, serta segelas jus jeruk. Menu sarapan yang sederhana, dan di seberang meja, duduklah Sendai-san.
Biasanya, baik saat belajar maupun makan, Sendai-san selalu duduk di sampingku. Rasanya masih agak canggung melihatnya duduk di seberang.
Tapi, ini hanya sementara.
Mungkin butuh waktu seminggu, atau mungkin sebulan, tapi seiring waktu, aku pasti akan terbiasa melihatnya di depanku saat makan bersama.
Aku mengoleskan mentega dan selai ke roti panggang, lalu melihat segelas cairan berwarna itu.
“Sendai-san, kenapa jus jeruk?”
“Mau soda?”
“Pikirku, kamu akan buat teh.”
Makanannya atau minumannya, buatku sih sama aja. Aku nggak punya preferensi khusus.
Lagian, yang nyiapin sarapan ini kan Sendai-san, dan aku nggak punya keluhan apa-apa. Tapi, entah kenapa sedikit kesal aja karena kami beli ketel listrik kemarin, tapi malah jus jeruk yang muncul di meja.
“Kalau Miyagi maunya teh di pagi hari, besok aku buatin teh,” katanya.
Aku menatap Sendai-san. Pandangan kami bertemu, dan dia nggak mengalihkan tatapannya. Entah kenapa, hal itu bikin aku lega. Aku nggak mau pagi-pagi udah mulai merasa nggak enak.
“Teh atau apa pun nggak masalah, tapi ketel listriknya?”
“Mau dipakai sekarang?”
“Kalau nggak dipakai, ngapain kita susah-susah beli?”
“Ya, walau belum dipakai sekarang, nanti kan kita tetap butuh. Lagi pula, belanja kemarin seru, kan?”
“Itu bukan masalahnya.”
Aku menggigit roti panggang, lalu minum jus jerukku. Di seberang, Sendai-san juga memakan roti panggang yang dia olesi mentega dan selai.
“Itu masalahnya. Ngomong-ngomong, Miyagi, abis ini kamu mau ke kampus, kan?” Tanpa menjelaskan kapan ketel itu bakal dipakai, dia langsung mengalihkan topik.
“Iya.”
“Lagi buru-buru?”
“Nggak terlalu.”
“Oke, kalau gitu.”
Percakapan kami terhenti di situ, dan aku nggak tahu dia mau ngapain setelah ini. Aku merasa kalau nanya malah terlalu ikut campur dengan urusan hidupnya. Jadi, aku diam saja sampai akhirnya piring dan gelas kami sudah kosong.
“Sendai-san, biar aku aja yang cuci.”
Aku berdiri dan mengumpulkan piring dan gelas kami.
“Gak perlu, aku aja.”
“Kamu kan udah nyiapin sarapan buat kita.”
“Ya udah, kalau gitu aku serahin ke kamu.”
Dia mengangguk dan kembali ke kamarnya, sementara aku mencuci piring dan gelas dengan cepat. Setelahnya, aku juga balik ke kamar untuk bersiap. Aku nggak terburu-buru, tapi jarak ke kampus lumayan jauh, jadi lebih baik punya waktu lebih.
Aku berdiri di depan cermin, merapikan penampilan. Kadang aku berharap masih pakai seragam sekolah. Memikirkan apa yang harus dipakai setiap pagi itu ribet. Saat aku selesai, aku menghela napas, mengambil barang-barangku, dan membuka pintu. Di ruang bersama, aku melihat Sendai-san yang sudah selesai dandan.
“Mau berangkat sekarang.”
Aku berkata pada Sendai-san yang duduk di kursi. Saat aku hendak menuju pintu, dia tiba-tiba berdiri dan memegang lenganku.
“Miyagi, tunggu.”
“Ada apa?”
“Biar aku dandanin wajahmu.”
“Wajahku?”
“Cuma pakein lipstik aja.” Sendai-san tersenyum.
Kelihatannya dia sedang dalam suasana hati yang bagus, tapi aku merasa ini bakal berakhir dengan hal-hal aneh.
“...Nggak perlu. Aku bisa telat.”
“Tadi kan kamu bilang nggak buru-buru.”
“Bukan berarti punya waktu banyak juga.”
“Nih, coba pake lipstik. Bibirmu agak kering tuh, waktunya nggak lama kok.”
Ibu jarinya menyentuh bibirku, dengan lembut menekan dan mengusapnya pelan. Rasanya hangat, dan jujur aku nggak keberatan. Rasanya halus dan menenangkan.
“Miyagi, gimana?”
Aku melihat bibirku sebentar dan menjawab, “Nggak terlalu kering, kok.”
Tadi aku udah lihat di cermin, bibirku baik-baik aja.
“Kering, kok. Bentar aja, duduk dulu.”
Dia menarik lenganku dengan lembut, dan secara refleks aku malah menekan bibirnya dengan ibu jariku. Aku gosok bibirnya sedikit, dan lipstik di bibirnya menempel di jariku.
“Hei, Miyagi…”
Dengan suara yang sedikit lebih rendah, Sendai-san berkata sambil menggenggam lenganku lebih erat.
“Kamu yang harus betulin sekarang, Sendai-san, waktu kamu kan habis.”
“Dasar bodoh,” katanya, tampak kesal, lalu menambahkan, “besok kamu punya waktu lebih?”
“Enggak.”
Aku menepis tangan Sendai-san dan berbalik memunggunginya.
“Luangkan waktu dong, biar aku bikin kamu makin cantik.”
“Nggak perlu.”
“Akan aku bikinin, kok.”
“Udah, nggak usah.”
“Biarin dong sekali-sekali aku dandanin kamu. Miyagi tuh pelit banget, tahu nggak.”
“Sendai-san, ribut banget. Aku mau pergi nih.”
Tisu yang ada cover platipus diletakkan di atas rak, tapi aku nggak mengambilnya. Aku keluar dari dapur dan berjalan ke wastafel. Sebelum mencuci tangan, aku meletakkan barang-barangku di bawah.
Aku melihat ibu jariku, yang sekarang berwarna sama dengan warna lipstik di bibir Sendai-san.
Di cermin, aku melihat bayanganku. Bibirku nggak kering, persis seperti yang kulihat tadi pagi.
Lah, ternyata dia bohong.
Aku mengusap lembut bibirku dengan jari telunjuk. Jari itu menggeser pelan hingga mencapai ujung bibir, lalu aku merasa ibu jariku sedikit bergerak.
Bayangan bibir lembutnya muncul dalam pikiranku, dan buru-buru aku mencuci tangan, benar-benar menggosoknya untuk memastikan warnanya hilang.
Aku berangkat menuju kampus, naik kereta seperti biasa. Andai kampusnya lebih dekat, tapi mau gimana lagi.
Ketika sampai di pintu gerbang, aku masuk ke dalam kampus. Suasana kampus masih terasa asing, seperti kamar baruku, dan belum terasa seperti “tempatku”. Selain Maika, aku sudah punya beberapa teman lain, tapi rasanya belum sepenuhnya nyaman atau menyenangkan. Belum lagi, urusan yang ribet juga banyak.
Dan salah satu yang paling bikin pusing adalah registrasi mata kuliah.
Aku harus menyusun jadwal sendiri, memikirkan mata kuliah dan kredit yang diperlukan untuk lulus. Ribet banget. Kalau Sendai-san satu kampus sama aku, dia pasti bakal bantu, tapi dia kuliah di universitas yang berbeda.
Aku masuk ke ruang kuliah dan melihat sekeliling. Tentu saja, Sendai-san nggak ada di sini.
Aku duduk dan meletakkan kepalaku di meja. Suara benda yang diletakkan di sebelahku membuatku mengangkat kepala. Ternyata Maika.
“Kamu kurang tidur?”
Sambil bertanya, Maika duduk di sebelahku. Awalnya aku nggak terbiasa melihat Maika tanpa seragam sekolah, tapi sekarang sudah biasa. Make-up tipisnya sekarang juga sudah jadi bagian dari dirinya yang baru.
“Nggak, kok. Aku tidur cukup. Ngomong-ngomong, soal kemarin, maaf ya.”
Hari Sabtu kemarin, aku udah minta maaf ke Maika lewat telepon. Tapi, aku merasa perlu minta maaf lagi hari ini.
Aku bilang ke Sendai-san kalau aku nggak ada rencana, padahal sebenarnya aku ada janji dengan Maika. Aku membatalkan janji dengan Maika untuk pergi dengan Sendai-san, dan merasa nggak enak soal itu.
“Nggak apa-apa. Kemarin beli apa aja?”
Aku bilang ke Maika kalau aku pergi belanja barang-barang untuk dipakai bersama orang yang tinggal denganku. Dan memang, kemarin aku belanja bareng Sendai-san.
“Ketel listrik. Nggak ada alat buat bikin air panas soalnya.”
“Baru sekarang beli?”
“Kemarin baru sempat, soalnya agak sibuk belakangan.”
“Orang yang tinggal sama kamu itu, saudara?”
“Iya.”
Sebenarnya aku tinggal sama Sendai-san, bukan saudara. Aku bisa aja cerita, tapi aku bingung harus menjelaskan seperti apa tentang Sendai-san, jadi aku bilang ke Maika kalau aku tinggal bareng saudara.
Aku tahu, suatu saat aku harus jujur. Tapi kalau aku bilang tinggal dengan Sendai-san, Maika pasti bakal nanya kenapa aku bisa tinggal bareng dia. Masalahnya, aku nggak punya jawaban yang jelas.
“Orangnya cerewet banget, ya?”
“Maksudnya?”
“Dari cara kamu bilang nggak boleh bawa teman ke rumah. Kedengarannya kayak orang yang terlalu serius gitu.”
Seandainya Maika main ke rumah, dia pasti tahu kalau aku tinggal dengan Sendai-san, dan itu bisa bikin ribet.
Jadi, saat awal masuk kuliah, aku buat aturan sementara untuk Maika: “Teman nggak boleh main ke rumah.” Bohong ini emang bikin nggak enak, tapi untuk sekarang, aku nggak mau Maika tahu kalau aku tinggal sama Sendai-san.
“Hmm, orangnya biasa aja sih, kayaknya.”
“Biasa aja, ya. Ya sudahlah.”
Sepertinya Maika mau bilang sesuatu, tapi dia nggak melanjutkan. Dia memang selalu baik, dari dulu sampai sekarang, dan aku terus bergantung padanya, bahkan setelah masuk kuliah.
“Oh iya, kemarin kan kamu nggak bisa ketemuan, jadi aku bikin piercing baru.”
“Piercing?”
Aku melihat ke telinganya dan melihat sebuah anting kecil berwarna perak.
“Kamu tindik sendiri?”
“Ya.”
Aku nggak menyangka Maika bakal ngelakuin itu, jadi aku nggak bisa nggak tanya. Dan ternyata, jawabannya “iya.”
Dia nggak berubah drastis, teman-temannya juga masih sama. Tapi, dia terlihat lebih modis sekarang. Make-up, tindik, dan semuanya. Kayak ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Lingkungan yang baru bikin Maika berubah, sedangkan aku merasa Sendai-san masih sama. Tapi bisa jadi dia juga berubah saat aku nggak ada.
“Kelihatannya cocok.”
Aku bilang sambil melihat piercing-nya, dan dia memasang ekspresi sedikit sinis.
“Cocok, tapi kata ‘cocok banget’ tuh nggak perlu, tau.”
Kami bercanda soal tempat dia beli piercing itu sampai seorang dosen masuk. Dosen itu punya wajah yang cukup tegas, dan kelas pun dimulai.
Dulu, aku sempat pikir kalau Sendai-san mungkin bakal pakai piercing waktu kuliah, tapi ternyata dia nggak. Sementara, Maika malah yang pakai. Rasanya aneh.
Mungkin suatu saat Sendai-san juga bakal pakai piercing, tapi aku nggak tahu. Dulu dia selalu terasa misterius buatku, dan sekarang makin sulit untuk mengerti dirinya. Aku nggak tahu apa-apa tentang kehidupan kampusnya.
Dulu, aku bisa membayangkan wajah teman-temannya saat dia menyebut nama mereka. Kalau dia cerita soal kelasnya, aku bisa membayangkan gurunya. Tapi sekarang, semua itu jadi kabur, dan aku nggak bisa bayangkan apa-apa lagi.
Aku nggak tahu apa yang sedang dilakukan Sendai-san saat ini. Aku bisa aja tanya lewat pesan, dan mungkin dia akan jawab. Tapi rasanya tetap beda, aku nggak bisa membayangkan keadaannya.
Itu bikin aku sedikit kesal, dan aku pun merasa kesal pada diriku sendiri karena kesal tentang hal sepele ini.
Semua ini terasa membosankan. Aturan yang Sendai-san buat dan aku juga.
Aku melihat ibu jariku lagi.
Dan dengan ujung jariku, aku mengusap lembut bibirku.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.