Story About Buying My Classmate chap 1 V5

Ndrii
0

 Chapter 1

Hal-Hal Biasa yang Ada Antara Aku dan Miyagi



Musim semi tiba, aku pun selesai pindahan.


Sekarang, sebagai mahasiswa, aku hidup tanpa uang 5000 yen yang biasa kudapat dari Miyagi. Hari-hari tanpa uang 5000 yen yang dulu seperti hal biasa antara kami sekarang terasa segar. Saat bangun pagi, Miyagi ada di sana. Saat aku menyapanya, dia membalas. Itu sesuai dengan keputusan di hari kelulusan; aku dan Miyagi tinggal bersama meski kuliah di universitas berbeda.


Kontrak ini empat tahun—sampai kami lulus.


Aku bakal menghabiskan waktu lebih lama dengan Miyagi dibanding sebelumnya. Mungkin kehidupan kami sekarang bakal lebih “manusiawi” dibandingkan saat aku tinggal dengan keluargaku, yang seperti tak mendengar suaraku sama sekali.


Tapi kenyataannya, aku nggak benar-benar bisa hidup akur dengan Miyagi.


Ada banyak masalah, tapi Miyagi seolah nggak peduli buat menyelesaikannya.


Aku menarik panci kecil dari bawah wastafel, menambahkan sedikit air untuk membuat teh, cukup untuk dua cangkir. Di dapur kecil ini yang kami pakai bareng, nggak ada ketel listrik ataupun teko.


Semua kebutuhan sudah kubawa dan segala kekurangan sudah kubeli. Atau setidaknya kupikir begitu. Namun setelah mulai tinggal bersama, ada banyak yang ternyata kurang. Ketel listrik, misalnya. Aku ingin beli, tapi belum bisa gara-gara Miyagi.


Saat aku menghela napas, kudengar suara langkah kaki. Aku menoleh.


Miyagi keluar dari kamar dengan wajah mengantuk. Aku menyapanya.


“Pagi.”


“... Pagi.”


“Mau minum teh?”


“Gak, makasih.”


“Siang nanti, makan di mana?”


Miyagi mengenakan celana jeans dan hoodie. Biasa aja, kayak biasanya. Aku menanyakan soal makan, tapi kayaknya itu pertanyaan yang nggak dia harapkan. Dahinya berkerut.


Meskipun sudah salam pagi, sejam lagi sudah jam 12. Ini hari Sabtu, jadi nggak masalah kalau bangunnya agak siang. Tapi karena kami hidup bareng, kupikir nanya soal makan siang bukan hal yang berlebihan.


“Entar makan seadanya aja.”


Jawabannya nggak enak didengar.


“Makan bareng yuk? Selesai minum teh, aku masak, kok.”


Aku mulai mengambil cangkir dari lemari.


“Aku ada janji sama Maika.”


Kupikir lagi, pasti sama Maika. Rasanya nggak enak juga. Sejak tinggal di sini, Miyagi kayaknya lebih sering ketemuan sama Maika daripada yang kubayangkan.


“Jadi, makan siangnya?”


“Gak tahu, aku buru-buru.”


Jawabannya nggak jelas dan bikin aku bingung soal “makan seadanya” yang dia maksud.


Apakah dia bakal makan di luar sama Maika? Atau buru-buru makan sesuatu sebelum pergi? Atau mungkin “seadanya” di sini punya arti lain?


Entahlah, tapi jelas dia nggak akan kasih jawaban tegas.


“Oh, oke.”


Jawabanku juga jadi ambigu. Miyagi masuk ke kamar mandi.


Sepertinya dia bakal makan siang di luar, jadi aku memasukkan kembali cangkir yang tadi sudah kubawa keluar ke lemari.


Sejak tinggal di sini, semuanya kayak gini.


Miyagi nggak pernah banyak bicara.


Rasanya mirip kayak masa awal aku sering ke kamarnya dulu. Miyagi jarang ngomong, dan aku nggak nyaman dengan keheningan yang dia ciptakan. Sekarang pun suasananya serupa.


Kami belum terbiasa dengan hidup baru ini.


Uang 5000 yen yang dulu selalu ada di antara kami hilang, berganti dengan status “roommate.” Tapi, kami belum tahu gimana cara menjalani hubungan baru ini. Dulu, sebelum lulus, kehadirannya biasa bagiku. Tapi sekarang, dia rasanya terlalu dekat, dan kalau jauh malah bikin nggak tenang.


Aku menuang air di panci dan membuangnya.


Tinggal bareng Miyagi.


Aku tahu ini nggak bakal selalu menyenangkan, tapi aku nggak nyangka bakal sesulit ini.


Aku mengambil telur dan susu, lalu mengeluarkan mangkuk.


Memecah telur ke dalam mangkuk, mencampurnya dengan gula dan susu, kemudian merobek-robek roti tawar dan merendamnya dalam campuran telur. Sambil menunggu, Miyagi kembali dari kamar mandi.


Bahkan sebelum aku sempat memanggilnya, dia sudah kembali masuk ke kamarnya.


Aku memutuskan buat masak french toast lebih awal, menghangatkan wajan, dan mencairkan mentega.


Dapur ini lebih kecil dibanding dapur di rumah Miyagi.


Tapi, sama nyamannya untuk digunakan, meski tetap saja rasanya asing.


Rumah ini belum benar-benar terasa seperti rumahku.


Aku mulai memanggang roti yang sudah direndam telur di atas wajan dan menatapnya.


Setiap bangun tidur, pulang dari kampus, bahkan sebelum tidur, Miyagi selalu ada di rumah ini. Meski kalau di kamar aku sendirian, tapi dia hampir pasti selalu ada di balik dinding ini.


Sedikit rasa tegang mengikuti kenyataan itu.


Mungkin, Miyagi juga merasa sama.


Rumah ini belum jadi tempat yang nyaman, belum jadi “rumah” yang sebenarnya.


Setidaknya ini masih lebih baik dibandingkan asrama yang seharusnya dia tempati.


Aku menarik napas panjang, mematikan kompor, dan menyusun french toast di piring. Aku mengambil soda dari kulkas, menuangkannya ke gelas, dan meletakkannya di sebelah french toast. Saat aku duduk, kudengar pintu terbuka.


“Sendai, aku pergi dulu.”


Aku menatap Miyagi, lalu bertanya.


“Nanti kalau pulang ada waktu?”


Aku ingin tahu dia bakal pulang jam berapa, tapi kayaknya aku nggak bisa nanya lebih lanjut tanpa terdengar kayak orang yang mau ngikutin segala kegiatannya.


“Gak tahu.”


Miyagi menjawab dengan dingin, dan sebelum aku bisa mengatakan apa pun, dia sudah menuju pintu.


Singkatnya, dia pergi begitu saja.


Aku mengambil sekaleng soda yang biasa diminum Miyagi dan mencoba menyesapnya.


Seperti biasa, rasanya tetap nggak enak.


Sensasi karbonasi yang meletup-letup di mulut dan rasa mual yang muncul saat minuman itu terasa memenuhi lambungku—aku benar-benar nggak suka. Miyagi sih suka minuman ini, tapi buatku, soda ini rasanya nggak jelas. Aku nggak merasa tertarik meminumnya seperti dia.


Perlahan, aku menyuap sepotong roti panggang Prancis.


Ini manis, tapi ada juga rasa gurih dari mentega dan telur yang membuatnya enak.


Roti yang empuk dan lembut ini terasa menenangkan perutku.


Setelah makan setengahnya, aku minum soda lagi.


Tahun ajaran baru sudah mulai, tapi aku belum selesai daftar mata kuliah.


Aku ingin ngobrol dengan Miyagi soal jadwal kuliah dan rencana ke depan, tapi dia selalu menghindar. Padahal, dia udah sering menghindar dari obrolan, tapi kalau sampai di ruang sekecil ini, rasanya benar-benar bikin aku sakit hati.


Meja kecil dan dua kursi yang seharusnya jadi tempat kami berbagi sekarang lebih seperti milikku sendiri. Hampir nggak pernah ada momen di mana Miyagi duduk di seberangku.


Padahal, musim panas lalu, kami sempat bikin roti panggang Prancis bareng.


Aku menghela napas pelan, lalu menyelesaikan sisa roti panggangku.


Aku mengambil selembar tisu dari kotak di atas meja untuk menyeka mulut.


Kotak tisu itu polos, tanpa penutup.


Miyagi punya penutup tisu berbentuk buaya dulu, dan aku sempat kepikiran buat beli penutup tisu untuk ruang bersama ini. Juga mungkin beli ketel listrik. Kalau kami belanja barang-barang seperti itu, pasti hidup jadi lebih nyaman.


Tapi, aku bahkan nggak tahu apakah Miyagi masih tertarik sama penutup tisu buaya itu atau nggak. Aku juga nggak tahu apakah dia merasa butuh ketel listrik. Semua karena kami hampir nggak pernah ngobrol.


Dan, aku juga nggak tahu barang-barang dari kamar Miyagi saat dia masih SMA dulu gimana nasibnya sekarang.


Apakah penutup tisu buaya itu ikut pindah bersamanya?


Apakah boneka kucing hitam yang aku hadiahkan pas Natal masih ada di rak bukunya?


Aku nggak tahu soal hal-hal simpel kayak gitu, karena aku bahkan belum pernah masuk kamarnya. Padahal kami tinggal bareng, tapi rasanya kamarnya Miyagi begitu jauh.


Aku menarik napas panjang.


Tanganku turun dari leher ke dada.


Kalung yang dia minta kembali di hari kelulusan itu akhirnya tetap berada padaku, tapi sejak pindah ke sini, Miyagi bilang aku nggak perlu memakainya.


Hubungan kami masih berlanjut seperti yang kuharapkan, dan hidupku jauh lebih manusiawi daripada saat aku tinggal dengan keluargaku. Harusnya aku cukup puas dengan itu. Tapi kalau bisa, aku ingin seperti dulu lagi—buka pintu kamarnya, duduk di sebelahnya, dan mencium dia...


“...Mungkin dia bakal marah ya?”


Dulu, lima ribu yen yang selalu ada di antara kami hilang begitu saja, dan hal-hal yang biasa kami lakukan pun ikut hilang. Nyaris semua yang ada saat kami SMA udah nggak ada, dan sekarang aku kehilangan hak buat masuk kamarnya. Aku juga nggak bisa menyentuhnya lagi, nggak bisa menciumnya.


—Apakah Miyagi pernah kepikiran buat menciumku lagi?


Kami nggak pernah berciuman lagi sejak nonton film bareng waktu itu.


Dulu, aku selalu merasa nggak butuh lima ribu yen itu.


Tapi sekarang, aku berharap aku punya uang itu lagi.


Hari-hari yang baru ini terasa lebih sulit dibanding dulu.


Ada terlalu banyak yang kurang.


Yang paling penting adalah ngobrol. Aku ingin ngobrol lebih banyak sama Miyagi.


Bahkan, kami harus bicara.


Kalau jarak ini nggak berubah, kami nggak akan bisa tinggal bareng.


Cepat atau lambat, semuanya bakal hancur.


Sebenarnya aku tahu dari awal kalau tinggal bareng Miyagi itu bakal sulit. Karena aku yang ngotot buat dia pindah ke sini, jadi aku punya tanggung jawab buat mengubah suasana ini.


Kalau nggak bisa memahami jarak ini, mungkin kami butuh alat ukur.


Kayak penggaris buat menemukan jarak yang tepat antara kami berdua.


Kalau punya alat itu, kami bisa menemukan jarak yang pas, di mana kami nggak saling mengganggu, tapi tetap nyaman tinggal bareng.


Waktu pertama kali aku ke rumah Miyagi, kami bikin “aturan” bersama.


Sama seperti waktu itu, mungkin kami perlu bikin aturan lagi supaya hidup bareng ini lebih menyenangkan.


Aku mengangkat kepala, meraih ponsel di ujung meja, dan mengirim pesan buat Miyagi, yang entah ada di mana.


“Aku bakal nunggu makan malam sampai kamu pulang.”


Tak lama, dia membalas.


“Aku nggak tahu jam berapa bakal pulang.”


“Aku tetap bakal nunggu. Sampai kamu pulang.”


Agak maksa sih, tapi aku nggak punya pilihan lain.


“Aku bakal beli makanan di jalan.”


Dia nggak bilang jam berapa bakal pulang, tapi kalau dia beli makanan, mestinya dia bakal pulang sebelum kami lapar. Aku membalas “aku tunggu”, lalu mulai membersihkan piring dan gelas bekas roti panggang tadi.


◇◇◇


“Kayaknya kebanyakan deh?”


Aku menaruh kantong besar di meja ruang bersama dan menatap Miyagi.


Padahal dia bilang nggak tahu jam berapa pulang, tapi dia datang lebih cepat dari yang aku kira.


Bagus sih.


Aku memang berharap dia pulang cepat, dan aku senang dia pulang pas waktu makan malam. Tapi, di kantong yang tadi dia kasih, ada terlalu banyak roti buat kami berdua.


“Roti dari toko ini kan kamu bilang enak, jadi aku beli lebih banyak.”


Nama Maika yang dia sebut itu maksudnya Utsunomiya, dan mendengar nama yang nggak pengen aku dengar itu bikin pelipisku berdenyut.


Miyagi udah menepati janjinya buat beli makanan, dan aku nggak pernah minta makanan tertentu. Jadi, meskipun roti yang katanya enak menurut Utsunomiya itu ada di kantong, seharusnya nggak ada masalah. Tapi aku cuma nggak pengen dengar nama itu sekarang.


“Roti itu buat sarapan atau makan siang, bukan makan malam. Lagi pula, siangnya tadi aku makan roti.”


Dengan wajah tanpa ekspresi, Miyagi berdiri beberapa langkah di depanku, dan aku menimpali dengan kata-kata yang terdengar kayak omelan.


“Ya udah, kalau gitu nggak usah dimakan.”


Miyagi berkata dengan suara pelan, dan suasana di ruang makan yang tidak begitu luas itu menjadi agak tegang.


Padahal bukan obrolan seperti ini yang ingin kubicarakan.


Mungkin Miyagi tidak sadar aku membuat French toast siang tadi karena dia terlalu sibuk pergi keluar. Bukan salah rotinya, juga bukan salah Utsunomiya. Masalahnya ada pada mood-ku yang tidak karuan, dan aku tahu kalau suasana begini, pembicaraan tidak akan berjalan baik.


Tarik napas, tenangkan diri.


“Aku nggak bilang nggak mau makan, kan? Aku mau ambil minuman, tunggu bentar. Miyagi mau soda, kan?”


Tanpa menunggu jawaban, aku langsung ke kulkas, mengeluarkan jus jeruk dan soda, lalu menuangkannya ke gelas. Roti yang tadi cukup diambil dari kantong dan bisa langsung dimakan, tapi terasa kurang seru kalau dijadikan makan malam seperti ini. Aku mengambil dua piring dari lemari dan menyodorkannya ke Miyagi. Setelah membawa gelas ke meja dan duduk, Miyagi ikut duduk di hadapanku.


“Sen, pilih roti yang kamu suka deh.”


“Kamu aja duluan yang pilih.”


“Kamu kan udah makan roti siang tadi. Coba pilih yang beda sekarang.”


Meskipun lebih suka memilih belakangan, kalau terus-terusan begini nggak akan selesai. Yang penting bukan rotinya, tapi ngobrol sama Miyagi.


“Oke, aku pilih dulu ya.”


Aku mengambil croissant isi ham dan keju serta roti isi kroket dari kantong, menaruhnya di piring. Lalu, ketika aku tanya, “Miyagi mau yang mana?” dia mengambil roti isi salad kentang dan sosis roll untuk piringnya.


“Ita...dakimasu.”


Suaranya nggak sinkron, tapi malah pas bersamaan.


Aku menggigit croissant, rasanya luar biasa.


Bagian luar crispy, dalamnya lembut dan kenyal. Ham dan kejunya juga pas, nggak terlalu banyak atau terlalu sedikit.


Padahal enak, tapi entah kenapa kali ini aku nggak bisa menikmatinya.


“Miyagi, kamu cerita ke Utsunomiya kalau kamu tinggal sama aku?”


“Udah.”


“Dia bilang apa?”


“Nggak bilang apa-apa.”


Nada suaranya datar, Miyagi menggigit roti salad kentangnya.


“Kamu nggak nyeritain aku, kan?”


Pasti dia nggak cerita lengkap tentang kita ke Utsunomiya, yang dulu sempat penasaran dengan hubungan kita.


“Udah cerita kok.”


Miyagi makan rotinya tanpa memandangku sama sekali.


Entah kenapa, aku merasa dia mungkin sebenarnya nggak cerita apa-apa soal aku ke Utsunomiya. Tapi mau dipaksa juga percuma, dia nggak akan cerita yang sebenarnya. Lagipula, aku nggak butuh tahu, cuma sekadar rasa penasaran aja.


“...Jadi, Sen nungguin aku pulang cuma buat nanya itu?”


Aku menelan gigitan croissant, dan mulai bicara.


“Soal Utsunomiya itu pembuka aja, ada yang mau aku omongin. Kita bikin aturan yuk.”


Miyagi akhirnya menatapku.


“Aturan?”


“Iya, biar enak tinggal bareng, ada aturan yang jelas, gitu.”


“Kamu aja yang tentuin, terus kasih tau aku aja nanti.”


Miyagi ngomong dengan nada malas, bahkan bangkit berdiri sambil meninggalkan sosis roll di piringnya.


Aku sudah menduga bakal begini.


Tadinya kupikir, bahkan makan malam bareng aja mungkin nggak akan berhasil. Jadi dia duduk di depanku dan makan roti bersama sudah lebih dari cukup buat bikin aku senang. Tapi kalau dia pergi sekarang, semuanya nggak akan ada artinya lagi.


“Oh, aku yang nentuin ya? Berarti kalau aku bikin aturan kita harus ciuman setiap hari, kamu nggak boleh protes?”


Aku minum jus jeruk dan menaruh gelasku kembali ke meja.


“Ya jelas proteslah!”


“Nah, makanya ikut rapat aturannya.”


“...Aturan yang kayak gimana?”


Miyagi akhirnya duduk lagi dan melihat ke arahku.


“Misalnya, gantian buang sampah atau bersihin rumah. Gitu-gitu aja.”


Sebetulnya yang paling pengen aku tahu adalah apakah aku boleh cium dia kayak dulu, atau boleh memeluknya. Hidup tanpa uang 5000 yen yang biasa jadi jembatan kita itu memang baru, tapi terasa seperti semua yang ada di kamarnya ikut hilang bersamanya, dan itu bikin nggak nyaman.


Tapi, mungkin untuk sekarang aku harus tahan diri.


Kita butuh waktu untuk terbiasa dengan kehidupan normal dulu.


Bikin aturan yang penting untuk tinggal bareng dan menjalani hari-hari sebagai teman sekamar biar hidup nggak sumpek.


“Kalau gitu, aku pengen aturan kalau nggak boleh masuk kamar tanpa izin.”


Miyagi berkata pelan sambil menggigit sosis roll-nya.


    "Meskipun sekarang aku nggak pernah masuk kamarmu tanpa izin, tapi lebih baik ada aturan kayak gitu, kan? Ada aturan lain yang kamu butuhin?"


"Aturan lain ya? Hmm..."


Miyagi bergumam seperti bicara pada diri sendiri.


Aku coba mengusulkan beberapa aturan, lalu Miyagi juga mulai mengajukan pendapatnya, meski kadang agak ragu. Akhirnya, kami sepakat pada aturan-aturan ini: teman boleh datang tapi nggak boleh menginap, dan kalau nginap di luar, wajib kasih kabar.


Sambil merundingkan aturan-aturan yang perlu atau bahkan yang mungkin nggak terlalu penting, waktu pun berlalu. Tiba-tiba, Miyagi berkata dengan suara lelah, "Udah, nggak perlu aturan lebih lagi, kan?"


Aku menyeruput jus jerukku lalu menjawab santai, "Gimana kalau kita makan malam bareng sekali seminggu?"


Aku mencoba bertanya serileks mungkin, lalu menatap Miyagi.


"Cukup sekali aja?"


"Iya, cukup kok."


"Kalau cuma seminggu sekali sih, oke lah..."


Tapi kalimatnya terpotong. Kelihatannya dia masih ada yang mau dibilang, jadi aku bertanya, "Tapi, kenapa?"


"Kalau kamu pulangnya bakal telat, kasih tahu, ya... Jadi kita bisa makan bareng nggak cuma sekali seminggu. Dulu kan kita juga sering makan bareng..."


Miyagi bilang itu pelan-pelan, sambil terburu-buru.


"Oh, jadi makan bareng nggak harus cuma sekali seminggu?"


"Kalau kamu nggak suka, ya nggak usah."


"Biar aku masukin di aturan. Kalau waktu kita cocok, kita makan bareng. Jadi kalau kamu pulang telat, kabarin, ya."


Dia mengangguk kecil.


Jujur, aku nggak nyangka Miyagi bakal bilang pengen makan bareng lebih sering dari sekedar seminggu sekali. Hal sederhana ini bikin aku lega, tahu kalau dalam keseharian yang baru ini, kita masih bisa sama-sama menikmati makan bareng seperti dulu.


"Kalau gitu, Miyagi, kalau langgar aturan, ada hukuman, ya."


Sebenarnya aku nggak pikir Miyagi bakal melanggar aturan, tapi aku tetap mengusulkan hukuman kecil biar aturan lebih disiplin.


Sebagian besar aturan ini nggak penting-penting amat kalau dilanggar, tapi yang terakhir soal makan bareng, aku ingin dia serius melakukannya. Harapannya, Miyagi juga merasa sama.


"Hukuman gimana maksudmu?"


"Misal, harus turutin satu permintaan dari yang nggak langgar aturan."


Hukumannya nggak harus berat-berat amat, tapi kalau terlalu ringan, kesannya nggak ada efek jera. Jadi, aku pikir harus ada sedikit tantangan.


"Boleh aja, tapi jangan lupa. Soalnya yang sering langgar aturan tuh kamu."


Miyagi berkata begitu tanpa basa-basi sambil menatapku tajam.


Yah, emang sih, nggak heran dia nggak percaya. Kalau ingat masa lalu, ucapannya masuk akal. Tapi, aku nggak mau ngaku begitu aja kalau aku bakal sering melanggar.


"Tenang aja, aku nggak bakal langgar."


Aku bilang dengan tegas sambil menghabiskan gigitan terakhir croissant-ku. Lalu, aku mengambil roti kroket.


"Eh, Sendai-san."


"Ada apa?"


Sambil menggigit roti kroket, aku menatap Miyagi.


"Kalau makan bareng, siapa yang masak?"


"Ya masak bareng lah, namanya juga makan bareng."


Aku jawab kayak hal itu udah pasti, tapi Miyagi malah keliatan malas banget. Aku langsung ganti topik biar dia nggak tiba-tiba berubah pikiran.


"Oh iya, Miyagi, aku kepikiran beli ketel listrik. Gimana menurutmu?"


"Itu, kan, kamu nggak perlu izin aku buat beli. Beli aja."


"Tapi kan kita berdua yang pake. Jadi harus ada kesepakatan."


"Ya udah, beli aja. Aku bisa bantu bayar."


"Nggak perlu, aku bisa pakai uang yang kita kumpulin."


Wajah Miyagi langsung berubah masam.


"Itu uang kamu, Sendai-san."


"Itu uang kita berdua."


"Itu, kan, uang yang kamu kumpulin."


Uang itu sebenarnya tabungan yang aku kumpulkan dari lima ribuan yang Miyagi berikan setiap kali aku menuruti permintaannya dulu. Benar sih, sebagian besar uang itu memang berasal dari dia.


Meskipun sebagian besar udah aku pakai buat kontrak apartemen ini, keluarganya Miyagi akhirnya mengembalikan setengah dari uang yang aku pakai itu. Sebuah hal yang wajar, karena nggak mungkin orang tuanya Miyagi nggak bantu saat dia bilang bakal tinggal bareng di luar asrama. Jadi, sekarang uang itu bisa aku simpan lagi.


Tapi aku nggak pengen pakai uang itu untuk diriku sendiri. Dan meski aku tawarin buat balikin uang itu ke Miyagi, dia pasti bakal nolak.


"Ya udah, nggak usah diperdebatin. Besok kita beli ketel listrik bareng, gimana?"


Aku coba akhiri perdebatan kecil ini dengan kembali ke topik awal.


"Gimana kalau aku nggak mau?"


"Kalau gitu, kamu yang harus selalu masak air buat aku pakai panci kecil."


Aku tersenyum penuh kemenangan, dan Miyagi cuma bisa pasrah.


"Kapan kita pergi?"


"Besok, kamu ada janji sama Utsunomiya?"


"Enggak, ya udah besok aja."


Miyagi menjawab sambil makan roti sosisnya.


"Eh, Miyagi. Besok pakai rok, dong."


Aku coba bercanda sedikit dengan suasana yang mulai hangat lagi.


"Nggak mau."


"Langsung nolak aja?"


"Nggak ada alasan buat pakai rok."


"Soalnya aku suka lihat kakimu."


Sejak pindah ke sini, aku nggak pernah lihat Miyagi pakai rok. Mungkin karena dulu kami sering habiskan waktu di rumahnya saat dia pakai seragam, aku jadi terbiasa melihatnya pakai rok.


"Nggak bakal pakai, pokoknya."


"Nggak apa-apa, sih, udah bisa tebak kamu bakal bilang begitu."


"Sebegitu pengen lihat?"


"Kalau kamu mau kasih lihat, sih, aku nggak nolak."


Sebenarnya, bukan cuma ingin lihat, aku juga ingin sentuh kakinya. Nggak cuma kaki, tapi aku pengen bisa nyentuh Miyagi dengan santai, kayak waktu kami masih SMA dulu.


"Kamu bener-bener mesum, Sendai-san."


Dia bilang begitu, dan aku udah siap-siap dengar kata-kata itu. Tapi, anehnya aku malah senang, karena ini berarti dia tetap Miyagi yang aku kenal.
















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !