Shiotaiou no Sato-san ga Ore ni dake Amai V6 Chap 4

Ndrii
0

Chapter 4

Taman Tomodachi




Sudah memasuki akhir November, dan musim dingin mulai sepenuhnya terasa. Hampir sebulan telah berlalu sejak malam ketika Sato-san tiba-tiba datang ke rumahku.


Pada akhirnya, aku tidak pernah tahu kenapa Sato-san melakukan hal itu malam itu. Tapi sekarang, sepertinya itu tidak terlalu penting. Yang penting adalah, setelah hari itu, ada sedikit perubahan dalam hubunganku dengan Sato-san.


Pertama—Sato-san mulai berbicara denganku di sekolah seperti dulu. Hal yang sederhana seperti ini saja sudah membuatku sangat bahagia. Dan yang kedua—


'Apa yang sedang Oshio-kun lakukan sekarang?'


"Saat ini aku sedang menyelesaikan tugas matematika sambil mendengarkan musik yang disarankan Shizuku-san."


'Aah, itu tugas yang harus dikumpulkan minggu depan, ya? Aku sudah selesai mengerjakannya.'


Dari ujung telepon, Sato-san tertawa kecil, membuat suara sombong "fufun." Meskipun aku tidak bisa melihat wajahnya, aku bisa membayangkan ekspresinya dengan sangat jelas, hingga membuatku tertawa juga.


Ya, perubahan kedua adalah: Sato-san sekarang sering meneleponku setiap malam.


Teleponnya biasanya berlangsung antara pukul 21.00 hingga 23.00 dan berlangsung sekitar 20 menit. Isinya kebanyakan percakapan santai—tentang apa yang sedang kami lakukan, apa yang terjadi hari itu, musik yang sedang kami sukai, bahkan kadang cerita masa lalu.


Dan aku sangat menikmati percakapan ini, rasanya seperti kami adalah sepasang kekasih.


Namun, ada satu hal yang mengganjal pikiranku…


"Apa yang kamu lakukan hari ini, Sato-san?"


'Aah... uh, banyak hal?'


"Banyak hal..."


Entah kenapa, setiap kali aku menanyakan apa yang dia lakukan hari ini, Sato-san selalu memberi jawaban yang samar.


Sudah hampir sebulan kami tidak pulang sekolah bersama, 

jadi aku benar-benar tidak tahu apa yang dia lakukan di waktu luangnya. Aku tidak mau terlalu memaksa, tapi kurasa dia memang sedang menyembunyikan sesuatu dariku.


Yah, tidak apa-apa.


"... Oke, jadi banyak hal, ya."


Aku memutuskan untuk mempercayainya.


Tidak perlu merisaukan hal-hal yang tidak penting lagi.


'Ya, banyak hal! Oh, kalau Oshio-kun sedang mengerjakan tugas, aku tidak boleh terlalu lama menelepon, ya...'


Sebenarnya, aku bisa saja mengabaikan tugas jika itu berarti aku bisa berbicara lebih lama dengan Sato-san. Tapi melihat betapa seriusnya dia sudah menyelesaikan tugasnya, aku tidak bisa melakukan itu.


"Iya, benar. Sampai jumpa di sekolah besok... eh, besok hari Sabtu."


'Haha, tapi kita bisa telepon lagi.'


"Ya, baiklah, sampai nanti."


'Sampai nanti.'


Suara Sato-san adalah yang terakhir terdengar sebelum telepon ditutup.


Besok hari Sabtu, ya...


Dulu, aku tidak suka hari libur karena aku tidak bisa bertemu Sato-san. Tapi sekarang, dengan adanya telepon, aku bisa tetap berbicara dengannya meski hari libur... luar biasa, ya, teknologi modern ini.


Ketika aku sedang terpikirkan betapa hebatnya telepon seluler, tiba-tiba ponselku bergetar.


"Hm?"


Saat melihat layar, aku mendapati sebuah pesan dari Himeui-san. Pesan dari dia biasanya panjang, tapi kali ini, saat membuka ruang obrolannya, ternyata hanya ada satu kalimat pendek.


"Besok pukul 12 siang, datanglah ke Taman Tomodachi. Ada hal penting yang ingin kubicarakan."



──Taman Tomodachi.


Ini adalah salah satu taman yang semua orang yang tinggal di Sakuraba pasti tahu. Meski begitu, taman itu memiliki peralatan bermain yang biasa-biasa saja, semuanya sudah usang, dan selain kolam besar, tidak ada yang terlalu istimewa. Hanya sebuah taman luas tanpa banyak hal yang menarik.


Namun, karena nama "Taman Tomodachi" yang sederhana dan mudah diingat, dulu kami sering menggunakan tempat itu sebagai tempat berkumpul saat masih kecil.


Itulah mengapa aku benar-benar terkejut ketika Himeui-san memilih Taman Tomodachi sebagai tempat pertemuan.


"──Ah, Yaho, Oshio-kun."


Lima menit sebelum waktu yang ditentukan, aku tiba di depan Taman Tomodachi dan sudah melihat Himeui-san berdiri di bawah jam tiang yang berkarat. Dia mengenakan jaket bulu tebal seperti domba, mungkin disebut boar blouson? Di bawahnya, dia memakai celana jeans.


"Maaf, apakah aku membuatmu menunggu?"


Dalam cuaca sedingin ini, menunggu di luar pasti tidak nyaman. Pikiranku teralihkan oleh kekhawatiran, tapi Himeui-san tiba-tiba tertawa lebar.


"Entah kenapa... kata-kata itu bagus, ya."


"Hah?"


"Kau tahu, seperti, 'Apa aku membuatmu menunggu?'—begitu."


"…??"


"Tidak, bukan apa-apa~~"


Aku tidak mengerti satu pun dari apa yang baru saja terjadi, seolah-olah otakku benar-benar lambat. Namun, Himeui-san malah tertawa, tampak menikmati kebingunganku.


"… Kau bilang ada hal penting yang ingin kau bicarakan, kan?"


Aku memutuskan untuk kembali ke topik utama karena tidak ada gunanya mencoba memahami percakapan tadi. Namun, saat aku mengajukan pertanyaan itu, 


“.......”


Himeui-san tiba-tiba terdiam dan menatapku lekat-lekat, seperti sedang menilai sesuatu. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, dia memandangiku tanpa henti.


“.......”


"… Umm, Himeui-san?"


”.......”


“Ada apa.....?”


"… Hmm, oke, gaya berpakaianmu hari ini cukup baik."


"Jadi kau sedang menilai pakaianku?!"


Untuk referensi, aku memakai mantel kotak-kotak, sweater putih, dan celana chino sempit—pakaian yang sama dengan yang kupakai saat pergi ke kebun binatang bersama Sato-san. Karena dia mengatakan bahwa ini adalah pembicaraan yang penting, aku sudah mencoba tampil rapi.


"Tentu saja! Jika kau bertemu seorang gadis di hari libur, setidaknya kau harus memikirkan gayamu, kan?"


"Err... aku belajar sesuatu yang baru hari ini, Himeui-sa—"


"Oh! Hari ini, panggil aku Kaoru!"


"… Eh, kenapa?"


"Aku juga akan memanggilmu Souta-kun."


"Kenapa??"


Aku benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi atau mengapa tiba-tiba begini.


"Aku datang karena Himeui-san bilang ada sesuatu yang penting untuk dibicarakan…"


"Panggil aku Kaoru! Kalau tidak, aku tidak akan mengatakannya!"


"Kenapa ada syarat seperti itu?!"


Rasanya seperti ditahan oleh orang asing! Tapi aku tidak punya pilihan lain jika ingin pembicaraan ini berjalan lancar.


"Kaoru… san?"


"Fufufu, baiklah, kali ini aku akan memaafkanmu, Souta-kuun."


Dia tampak senang.

Sudah hampir sebulan sejak aku bertemu Himeui-san di Kedai Kopi Makabe. Sejak saat itu, dia sering mengobrol denganku di kelas, dan aku merasa cukup memahami siapa dia. Namun, hari ini, dia terasa sangat berbeda dari biasanya.


Bagaimanapun…


"Kaoru-san, tentang hal penting yang ingin kau bicarakan…"


"Kau terlalu terburu-buru. Tempat ini tidak cocok untuk pembicaraan itu. Yuk kita pindah dulu!"


"Tunggu sebentar—"


Sebelum aku sempat berkata apa-apa lagi, dia menarik lenganku. Ini déjà vu! Kejadian ini mirip dengan waktu sebelumnya!


"Ayo kita pergi!"


"Tunggu, tunggu, tunggu!"


Tanpa memberiku pilihan, Himeui-san menyeretku masuk ke dalam Taman Tomodachi.



"──Ayo kita bicara sambil naik perahu angsa!"

Sampai di tepi kolam dalam taman, Himeui-san langsung menunjuk ke arah perahu angsa. Seolah-olah dia sudah merencanakannya dari awal. Aku merasa wajahku menegang.


"Kau… serius ingin menaiki itu?"


Yang dimaksud dengan "itu" adalah ikon terkenal di Taman Tomodachi, yaitu "Perahu Angsa." Mungkin semua orang pernah melihatnya setidaknya sekali. Ini adalah perahu dayung untuk dua orang yang digerakkan dengan mengayuh pedal di kursi pengemudi, dan bentuknya meniru angsa.


Alasan aku bertanya, "Serius?" punya penjelasan tersendiri. Perahu Angsa di Taman Tomodachi sudah sangat usang. Penampilannya lebih menyerupai "angsa merah" atau "angsa coklat," karena kondisi yang lapuk dan lusuh. Sejak aku kecil, perahu ini tidak pernah berubah, selalu tampak seperti akan terbalik kapan saja.


Faktanya, aku hanya pernah melihat teman-teman laki-lakiku yang naik perahu itu untuk bercanda, sehingga perahu ini benar-benar semacam benda seperti itu.


"Kalau kita tenggelam di musim ini, kita bisa mati, tahu."


"Ahaha, kenapa? Souta-kun ternyata pengecut, ya?"


"Aku khawatir tentang keselamatanmu juga, Kaoru-san."


"Fufu, itu membuatku senang, tapi aku tetap ingin menaikinya."


"Tunggu, bukankah kita akan membicarakan hal penting…?"


"Ya, kalau kita tidak ingin ada yang mendengar pembicaraan kita, ini tempat yang tepat, kan?"


Dia memang punya logika di balik ide gilanya. Yah, berdebat pun tidak akan ada gunanya.


"Baiklah, aku akan beli tiket perahunya."


"Tunggu, tunggu! Hari ini aku yang mengundang, jadi aku yang bayar!"  


"Eeh? Rasanya itu nggak enak, deh."  


"Nggak apa-apa! Toh, kamu bakal mendayung perahunya, Souta-kun! Permisi~!"  


Himeui-san mendorongku dengan penuh tenaga, lalu dengan cepat membayar biaya sewa ke bapak penjaga perahu.  


Apa ya? Hari ini Himeui-san, rasanya ada yang sedikit…  


…Eh, mungkin aku cuma terlalu banyak pikiran.



Dan begitulah, untuk pertama kalinya dalam hidupku, perahu angsa ini mulai berlayar…  


Saat menaiki, kepalaku sempat terbentur, pedalnya lebih berat dari yang kukira (mungkin karena sudah berkarat), dan aku sadar kalau bagian dalamnya ternyata lebih kokoh daripada kelihatannya. Banyak hal baru yang kutemukan.  


"Wah, Souta-kun pintar nyetir, ya~"  


"Te-terima kasih…"  


Meskipun ini cukup melelahkan, sampai-sampai keringatku mengucur deras meskipun musimnya tidak terlalu panas… Tapi karena Himeui-san tampak sangat menikmati, aku mencoba memakluminya.  


Setelah mulai terbiasa mendayung dan perahu cukup jauh dari tepi, aku melihat sekeliling.  


Sejak sebelum naik, aku sudah penasaran. Ternyata, karena ini hari Sabtu siang, ada beberapa perahu angsa lain di danau.  


Masalahnya, kebanyakan yang menaiki perahu ini adalah pasangan.  

…Jadi, kalau dilihat dari luar, aku dan Himeui-san juga pasti terlihat seperti pasangan, ya.  


Walaupun awalnya aku ikut-ikutan saja, tapi rasanya mulai malu juga.  


"Kaoru-san, sebaiknya kita mulai bicara soal hal penting itu…"  


"…………"  


"…Ngapain sih?"  


"…Hehe, aku lagi liatin wajah samping Souta-kun. Keren, ya~"  


"Aduh!?!"  


Paha atasku tiba-tiba "Kreekk!!" Karena perkataan aneh dari Himeui-san!!  


"Haha, kamu grogi, ya~ Lucu, deh, aku foto, ya~"  


"Bo-boleh, asal jangan di-posting ke SNS atau apapun…!!"  


Masa foto aku yang lagi meringis sambil memijat paha?!  


"Tenang aja, nggak bakal aku upload ke mana-mana~ Hehe."  


Saat aku sibuk memijat paha, Himeui-san terlihat benar-benar menikmatinya.  


…Apa mungkin, aku cuma diolok-olok?  


Jangan-jangan, dari awal memang nggak ada yang namanya “hal penting”, dan aku cuma diajak untuk mengisi waktu luang Himeui-san di hari libur?  


Pikiran seperti itu mulai terlintas di kepalaku, tapi…  


"Aku, dari dulu pengen banget naik perahu angsa ini sekali aja."  


Himeui-san berkata sambil melihat ke luar jendela.  


Pandangan matanya seolah menatap jauh, ke tempat yang bukan di sini.  


"Dari kecil aku sudah pengen naik, tapi aku nggak punya teman. Rasanya juga malu kalau naik bareng orang tua… Terus tau-tau aku sudah SMA, makin susah buat naik deh…"  


Setelah berkata sampai situ, Himeui-san menoleh padaku dan tersenyum, "Nihihi~."  

"Makanya, senang banget rasanya akhirnya bisa naik hari ini."  


Itu senyum yang polos, seperti anak kecil yang kembali ke masa lalu.  


Melihat wajahnya seperti itu, aku pun kehilangan niat untuk mendesaknya.  


"…Baiklah, kita keliling danau ini pelan-pelan, sambil ngobrol soal hal penting itu."  


"──Aku juga mau nyetir!"  


"Woaah!?"  


Himeui-san tiba-tiba merangsek dari kursi penumpang dan meraih setir. Akibatnya, perahu jadi miring.  


"Ke… jatuhan!?! Tenggelam!?!"  


"Hahaha!"


"Sungguh pengalaman buruk…"  


Ketika akhirnya berhasil kembali ke daratan dan mengembalikan perahu, aku sudah sepenuhnya kelelahan.  

Rasanya mual… kayak mau muntah…  


Karena Himeui-san mengendarai dengan sangat ugal-ugalan, aku jadi sedikit mabuk laut…  


"Wah, seru banget ya, Souta-kun."  


Padahal guncangannya cukup keras, tapi Himeui-san sama sekali tidak terpengaruh.  


Akhirnya, tanpa sempat menanyakan apa sebenarnya "hal penting" itu, kami kembali, dan… sudahlah, aku harus benar-benar memaksanya berbicara.  


"Kaoru-san, soal hal penting yang mau kamu bicarakan itu…"  


"──Ah! Ada palang besi! Nostalgia banget!"  


"Kaoru-san!?"  


Saat menyadarinya, dia sudah berlari!  


"Tunggu, dong, Kaoru-san…!"  


Aku mengejarnya dengan tubuh yang sudah lemas.  

Himeui-san sudah berpegangan pada palang besi dan berseru, "Yosh!"  


Hari ini, Himeui-san benar-benar aktif seperti anak SD yang sedang bermain.  


"…Sekarang main palang besi?"  


"Sebenarnya, waktu SD, aku nggak bisa melakukan pull-up, lho~"  


Himeui-san melanjutkan sambil merasakan kembali permukaan palang yang berkarat, seolah mengingat masa lalu.  


"Sebagai anak perempuan, sebenarnya banyak yang juga nggak bisa, tapi entah kenapa aku merasa sangat kesal waktu itu."  


"…Ngomong-ngomong, aku juga kesulitan waktu SD buat pull-up."  


"Serius? Aku kira Souta-kun jago olahraga."  


"Aku nggak terlalu jago sampai sekarang. Dulu aku pendek, jadi nggak terlalu atletis."  


"Wah, masa sih? Rasanya aku dapat info berharga, nih."  


"Info berharga?"  

"Iya, dong! Soalnya aku jadi tahu hal tentang Souta-kun yang nggak orang lain tahu~"  


Himeui-san menatapku dan tersenyum lagi, "Nihihi~."


Entah kenapa aku tidak sanggup menatap langsung senyum itu dan malah memalingkan wajahku.  


"Jadi, pada akhirnya, Kaoru-san bisa melakukan pull-up?"  


"…Aku sering latihan diam-diam setelah jam sekolah, tapi waktu itu aku sering sakit, jadi sering bolos sekolah, dan akhirnya nggak pernah bisa… Tapi."  


"Tapi?"  


"Rasanya sekarang aku bisa──!"  


"Hah?"  


Begitu dia selesai bicara, Himeui-san langsung memegang palang besi dan menendang ke atas dengan penuh semangat.  


Gerakannya yang tiba-tiba membuatku terkejut, tapi dari pandangan sekilas pun aku tahu dia akan gagal.  

Tendangannya kurang kuat, putarannya tidak cukup. Tapi dia melakukannya dengan penuh keyakinan, dan tubuhnya sudah sejajar dengan tanah.  


Kalau terus begini, dia pasti akan jatuh dan punggungnya akan menghantam tanah keras──  


"──Bahaya!"  


Aku langsung berlari ke arahnya dan menopang punggungnya.  


Lalu, aku membantunya menyelesaikan putaran── satu kali putaran penuh. Himeui-san akhirnya berhasil melakukan pull-up yang selama ini dia impikan.  


"Tuh kan, bisa, kan?"  


Seolah sudah tahu dari awal kalau aku akan membantunya, dia murni merayakan keberhasilannya dengan penuh suka cita.  


Jantungku rasanya hampir meledak…  


"Ka… Kaoru-san, sudah saatnya kita…"  


"Ah! Ada gerobak yang jual obanyaki! Waktu kecil aku pengen banget makan yang isi krim setelah pulang les…!"  

"Lagi!?!"  


Seperti seekor kucing, Himeui-san yang penuh kejutan membuatku terus kebingungan mengikutinya.


…Seharusnya aku lebih tegas.  


Harusnya aku bilang kalau aku sudah punya pacar, jadi situasi seperti ini bikin aku susah── begitu.  


Tapi… ada perasaan yang muncul dalam diriku, bahwa kalau dugaan yang muncul di pikiranku benar, aku tak sanggup untuk menegurnya.  


──Penakut.  


Saat mengejar punggung Himeui-san, kata-kata yang pernah diucapkan Sato-san terlintas dalam pikiranku.


Aku menaiki perahu angsa.  


Aku juga berhasil melakukan pull-up.  


Dan aku sudah memakan obanyaki isi krim.  


Perlahan-lahan semuanya terselesaikan, satu per satu. Semakin mendekat ke akhir.  


Rasa sepi kecil yang tersisa di hatiku, yang sudah lama terhempas di taman usang ini, terbawa angin dingin musim gugur dan hilang entah ke mana.  


Aku bisa merasakan bahwa waktu itu semakin dekat. Tapi meski begitu, aku tidak punya keberanian untuk melangkah maju. 

 

Padahal, sebenarnya, akan lebih mudah jika aku segera menyelesaikannya──  


"Hei, Souta-kun! Setelah ini, aku mau main perosotan itu──"  


Sudah berapa kali aku memberikan senyum palsu yang dibuat-buat ke arahnya?  


Tapi…  


"…Eh?"  


Dia tidak ada.  


Oshio-kun, yang tadi berada tepat di sana, tiba-tiba menghilang.  


Apakah dia sudah lelah dan memutuskan untuk pulang?  


Kekhawatiran itu melintas sejenak di pikiranku, tapi ternyata tidak begitu.  


Dia sedang berjongkok di dekat bangku yang agak jauh dari tempatku berdiri.  


Di bangku itu ada seorang gadis kecil, mungkin berusia sekitar lima tahun, yang sedang menangis tersedu-sedu, dan Oshio-kun tampaknya sedang berjongkok agar sejajar dengan pandangan mata gadis kecil itu.  


"Souta-kun, apa yang kamu lakukan?"  


"…Ah, maaf, Kaoru-san. Anak ini menangis sendirian, jadi, aku nggak bisa membiarkannya begitu saja."  


"Begitu ya…"  


Mendengar kata-kata Oshio-kun, aku merasakan sesuatu yang seperti mencubit hatiku.  


"Ada apa?"  


Oshio-kun bertanya dengan suara lembut.  

Bukan dengan nada mendesak atau memaksa, tapi dengan suara yang hangat.  


Sambil sesenggukan, gadis kecil itu akhirnya berkata perlahan-lahan.  


"Aku… sebenarnya ingin ikut bermain di sana…"  


"Di sana?"  


Jari kecil gadis itu menunjuk ke arah sekumpulan anak laki-laki seusianya yang sedang asyik bermain pertempuran pedang mainan.  


"Kamu nggak boleh ikut?"  


"Tapi… aku kan anak perempuan… Kalau aku bergabung, mereka mungkin nggak akan suka…"  


Bagi gadis kecil itu, mungkin ini adalah masalah yang cukup besar hingga membuatnya menangis sendirian.  


Masalah yang sederhana dan kekanak-kanakan, yang mungkin akan dilupakan keesokan harinya.  


Tapi, Oshio-kun merenung sejenak dan dengan serius memberikan saran kepadanya.  

"Bagaimana kalau kamu tanya langsung? Tanyakan apakah kamu boleh ikut main bersama mereka?"  


"Aku yang harus tanya?"  


"Iya, kamu."  


"Tapi… tapi, kalau mereka bilang nggak boleh…"  


"Kalau begitu, kita pikirkan lagi sama-sama, ya? Tenang saja, kalau kamu bicara, pasti akan sampai pesannya."  


Dengan menggunakan kata-kata sederhana, Oshio-kun menyampaikan pesan dengan perlahan, agar gadis kecil itu bisa memahami.  


Ternyata, kata-kata itu sampai kepadanya.  


"Ya, baiklah!"  


Wajahnya yang tadinya cemberut berubah cerah seperti bunga matahari yang tersenyum.  


Oshio-kun mengusap-usap kepala gadis itu beberapa kali, membuatnya kembali ceria, lalu gadis itu berlari sendirian ke arah anak-anak laki-laki itu.  


Dari sini, aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan…  


Tapi sepertinya dia berhasil bergabung dengan mereka.  


Beberapa detik kemudian, dia sudah bermain bersama anak-anak laki-laki itu, berlarian di taman.  


Oshio-kun tersenyum lembut melihatnya dari kejauhan.  


"Maaf, Kaoru-san, sudah menunggu. Tadi kamu bilang mau ke perosotan, kan?"  


Ketika dia berbalik dan tersenyum ke arahku, rasa sepi terakhir dalam hatiku, lenyap sepenuhnya, hilang tanpa bekas.  


"──Aku menyukaimu."  


Begitu kata-kata itu keluar dari mulutku, pikiranku langsung kosong, seluruh tubuhku bergetar, dan semuanya terasa kabur.  


"Aku menyukaimu Oshio Souta. Tolong jadilah pacarku."  


Meski begitu, aku berhasil menyampaikan semuanya sampai akhir.  


Dunia seolah menjadi sunyi dan tanpa warna, hanya ada aku dan Oshio-kun.  


Oshio-kun… dia tidak terlihat terkejut.  


Hanya saja, wajahnya terlihat sedikit sedih. Tapi dia tetap menatapku dan memberiku jawabannya.  


"…Maaf."  


Anehnya, hanya dengan kata itu, aku merasa lega.  


Mungkin karena jauh di dalam hatiku, aku sudah tahu ini akan terjadi.  


"…Ternyata aku ditolak, ya. Padahal awalnya aku cukup percaya diri."  


Aku berbalik dengan ringan, seperti sedang menari, dan memalingkan punggungku pada Oshio-kun.  


Aku menyalakan saklar dalam diriku.  


Bukan "Hime Switch," tapi saklar yang membuatku tetap menjadi "Himeui Kaoru" seperti biasanya.


"Uh... sebenernya, sejak hari pertama aku bertemu denganmu di Kedai Kopi Makabe, aku sudah jatuh cinta padamu, Oshio-kun. Kamu sadar nggak?"  


"...Aku..."  


"Ah, nggak usah jawab deh, kayaknya aku bakal nangis entah kamu jawab apa pun."  


"Maaf, aku nggak bisa kasih jawaban."  


Haha, Oshio-kun, kamu memang agak kurang peka, ya?  


Aku hampir saja kehilangan kendali dengan diriku tadi...  


"Sebenarnya, aku tuh percaya diri banget. Sampai tadi malam, aku yakin bisa jadi pacarmu, Oshio-kun."  


"Tadi malam?"  


"Tadi malam aku lihat akun Minsta-nya Sato-san."  


Awalnya, aku cuma ingin mengejeknya. Mau lihat apa yang dibuat oleh gadis yang pernah bilang dia tak terkalahkan dalam urusan cinta maupun Minsta. Aku buka akunnya cuma buat ledek-ledekin aja.  


Tapi...  


"Dan dari situ aku sadar... aku nggak mungkin menang."  


Aku nggak pernah menyangka hal itu jadi penentu.  


Aku menoleh dan memberikan senyum penuh arti.  


"Kelihatannya kamu nggak lihat akun Minsta Sato-san ya, Oshio-kun."  


"...Dia bilang jangan lihat."  


"Oh, aku ngerti kenapa Sato-san bilang begitu. Tapi menurutku kamu sebaiknya lihat. Karena gara-gara itu aku buru-buru ngajak kamu kencan hari ini, walaupun aku tahu aku akan kalah. Perasaanku tetap nyata meskipun aku tahu aku nggak bisa menang."  


"Kaoru-san..."  


...Ah, jangan lihat aku dengan tatapan seperti itu.  


Aku nggak kuat.  


Maaf ya, Hime, kali ini aku curang sedikit.  


Switch,on.



"Tapi, Hime juga senang kan kencan ini! Lain kali kita bisa main lagi kalau kamu mau~!"


"Terima kasih, Kaoru-san. Karena kamu menyukaiku. Sampai jumpa di sekolah, ya."


──Begitulah, cinta pertama Himeui Kaoru berakhir.


Aku duduk di bangku, memainkan ponselku sendirian.  


Dalam pemandangan yang terasa semakin sunyi, sosok Oshio-kun sudah tidak ada.  


Informasi acak yang mengalir dari layar ponsel, dan jari-jari yang bergerak tanpa berpikir, terasa seperti satu-satunya yang masih menghubungkanku dengan dunia ini.  


──Aku cukup bangga dengan satu hal. Aku bisa menebak kepribadian seseorang hanya dari melihat foto yang mereka unggah di media sosial.  


"...Bakat yang menyebalkan,"  

Aku berkata pada diri sendiri dengan nada mengejek, lalu membuka akun Minsta Sato-san lagi.  


Setiap kali kulihat, aku selalu tertawa.  


Teknik fotonya buruk, seleranya juga nggak bagus, target audiensnya pun salah.  


Dia jauh dari kata influencer yang sukses. Tapi...  


"Kalau lihat ini, siapa pun tahu. Sato-san suka banget sama Oshio-kun."  


...Seandainya aku nggak melihat ini, mungkin aku bisa menikmati kencan dengan Oshio-kun sedikit lebih tulus.  


Aduh, aku benar-benar konyol. Menantang pertempuran yang sudah pasti kalah bukanlah diriku.  


Sungguh lelucon yang membuang-buang waktu.  


Padahal aku punya 60 ribu pengikut yang menunggu aku──  


Saat aku berpikir seperti itu, tiba-tiba sesuatu disodorkan ke arahku.  


"...Hah?"  


...Itu sebuah crepe.  


Kertas pembungkus yang murah, kulit crepe yang tipis dan agak gosong, dengan krim kocok dan pisang cokelat di dalamnya.  


Bukan crepe mewah yang biasa ada di Shinjuku atau Shibuya, tapi crepe biasa yang bisa kamu temukan di mana-mana.  


Saat aku mengangkat kepala, di sana berdiri tiga gadis yang kukenal.  


Dari kanan, Karuta, Natsume, dan Shinamoto, trio dari klub voli.  


Mereka adalah gadis-gadis yang dulu suka bergosip tentangku.  


"Kenapa kalian..."  


Saat aku masih terkejut, Natsume yang memberikan crepe itu tampak agak canggung, memalingkan wajahnya dan berkata,  


"...Entah gimana, kami nggak sengaja melihat kejadian tadi. Jadi, ini sebagai permintaan maaf."  


...Ternyata mereka melihatnya. Sungguh waktu yang tidak tepat.  

Aku buru-buru menyalakan switch──  


"Eh, eh, apa maksudnya? Hime nggak ngerti~. Nggak ada yang perlu disembunyiin kok..."  


"──Patah hati itu memang menyakitkan, kan? Dan saat kamu sedang merasa sakit, menurutku nggak apa-apa kalau kamu bilang begitu. Kami ini bodoh, tapi kami bisa dengar curhatanmu, kok."  


"…Haha."  


...Apa itu?  


Aku bisa menghadapi manipulasi, trik, olokan, bahkan hinaan.  


Tapi ini...  


Itu tidak adil.  


Switch-ku mendadak mati──  


"...Aku lebih ingin dicintai oleh satu orang, daripada punya 60 ribu pengikut."  


Meski sudah lama kutahan, air mataku akhirnya jatuh.  

Sebenarnya aku tidak ingin siapa pun melihatku seperti ini. Tapi meskipun begitu...  


"──Aku benar-benar menyukai Oshio-kun...!"  


Dan mengetahui bahwa ada orang yang bisa menerima kata-kata ini, membuatku merasa sangat bahagia.  


Atas permintaan Himeui-san, aku akhirnya membuka Minsta Sato-san lagi setelah hampir sebulan. Tanpa kusadari, aku mulai berlari.


Sebenarnya, aku mungkin tidak perlu berlari seperti ini. Aku bisa membicarakannya lain waktu atau mengirim pesan lewat MINE. Ada banyak cara lain. Tapi ini satu-satunya cara yang terpikir olehku.  


Yang paling penting, aku sendiri yang ingin langsung menyampaikan perasaanku padanya.


Meskipun hampir musim dingin, aku berlari dengan sekuat tenaga hingga keringat membasahi bagian dalam mantelku. Orang-orang yang kulalui memandangku dengan rasa curiga, tapi akhirnya aku tiba di tempat yang kutuju.


"Oh? Souta sudah pulang? Kamu berkeringat banyak sekali..."  


Ayah, yang jarang berada di depan toko, memandangku dengan heran.  

Café Tutuji cukup ramai karena ini hari Sabtu siang. Para mantan anggota Sweet Lovers Club juga bekerja penuh hari ini.  


Tapi itu semua tidak penting.  


"Oh iya, ngomong-ngomong, hari ini Sato-san ada di—"  


"Maaf! Nanti aja dengerin ceritanya!"  


"Whoa!"  


Aku memotong ucapan ayah, lalu melangkah cepat melewati Kebun Café.


Aku meminta maaf berkali-kali kepada para tamu di meja teras saat aku melangkah melewatinya. Aku tahu persis di mana dia berada.  


Tempat yang sama seperti hari itu, meja teras di sudut paling ujung.  


"──Akhirnya ketemu."  


Di sana, dia masih sama seperti hari itu, menatap pancake yang baru saja dibuat melalui layar ponselnya.


"Oshio-kun...?"  

Dia—Sato Koharu—menatapku dengan mata yang terbelalak, seolah tidak bisa memahami situasi ini.  


"A-ah!? Tadi di sini masih ada orang-orang dari SSF... Tapi, kenapa kamu bisa tahu aku di sini?"  


Kelihatannya dia sangat kebingungan dengan kedatanganku, tapi aku tidak bisa menahan diri untuk tertawa.  


Sato-san begitu heran, padahal dia sudah memberiku petunjuk yang jelas sekali.


"...Aku lihat Minsta-mu, Sato-san."  


"Ah..."  


Hanya dengan satu kalimat itu, Sato-san langsung memahami segalanya dan menunduk.  


"Jadi, kamu udah lihat, ya..."  


"Ya, itu foto yang bagus sekali. Foto potretmu, Sato-san."  


"..."  


Wajah Sato-san langsung memerah seketika.  


Potret—yakni foto yang fokus pada objek manusia.


Sato-san, yang biasanya mengunggah foto makanan atau selfie, selama satu bulan terakhir hanya mengunggah potret dirinya. Tentu saja, seseorang pasti mengambil foto itu untuknya, karena tidak mungkin dia mengambil potret dirinya sendiri.  


Dan aku tahu hanya ada satu orang yang bisa melakukannya.


"Yang fotoin pasti si Ogano-san kan?"  


"Eh, hebat banget, Oshio-kun! Kamu tahu siapa yang fotoin cuma dari ngelihat fotonya?"  


"Ya, dari semua orang yang aku tahu, Ogano-san yang paling jago motret kamu, Sato-san."  


Lagipula, ada kredit nama fotografer di caption-nya, jadi nggak mungkin aku salah... tapi aku nggak perlu menyebutkan hal itu.  


"Dan yang milih tempat fotonya pasti kamu, kan?"  


"Yup, ketahuan ya?"  

Tentu saja aku tahu. Karena semua foto yang diunggah Sato-san selama sebulan terakhir...


"──Semua di tempat yang pernah kita kunjungi."  


Tea Pearl, Aytim 9, Hidamari, Ushio, Futaba Coffee...  


Setiap tempat yang muncul di foto-foto itu adalah tempat yang pernah aku kunjungi bersama Sato-san.  


Dan di antara tempat-tempat itu, ada satu yang belum diunggah...


"Di sini, Café Tutuji, tempat kita pertama kali mulai sering ngobrol... kan?"  


"Rasanya malu banget semua ketahuan kayak gini..."


Sato-san sedikit tertawa untuk menyembunyikan rasa malunya.


"…Kamu udah ditembak sama Himeui-san, ya?"  


"Kamu tahu? Tentang perasaan Himeui-san?"  


"Ya, sebenarnya aku tahu."  


Sato-san mulai berbicara dengan tenang.


"Sebenarnya... aku takut sekali. Aku takut kalau kamu akan diambil dariku. Tapi, aku juga tahu kalau menghalangi itu salah. Di samping rasa cemas, aku juga ingin mendukung dia, sama besarnya dengan rasa khawatirku."  


"Mendukung?"  


"Karena, kita suka orang yang sama, kan? Menurutku itu hal yang indah. Apakah aku terlalu sombong berpikir begitu?"  


Dia tertawa saat mengatakannya, dan aku bisa merasakan bahwa tidak ada kebohongan dalam kata-katanya. Aku sangat memahaminya.


"…Tapi, Himeui-san punya banyak hal yang aku nggak punya. Aku benar-benar berpikir kamu akan diambil dariku. Jadi aku mulai berpikir, bagaimana caranya aku bisa menyampaikan perasaanku ini, meskipun aku nggak pandai bicara."  


"…Dan kamu menggunakan Minsta untuk itu?"  


"Iya. Minsta adalah alasan kita jadi dekat… Aku pikir, kalau aku menuangkan perasaanku di sana, mungkin perasaanku bisa sampai ke kamu."  


"Semuanya sampai dengan jelas."  

"…Begitu ya."  


Sato-san terlihat sangat bahagia mendengarnya, meski masih ada sedikit rasa malu di wajahnya.


"Jadi, sekarang aku akan mengatakannya dengan benar, lewat kata-kata."  


Dia menarik napas dalam-dalam dan menatapku dengan mata hitamnya yang besar dan penuh keyakinan. Ini pertama kalinya aku mendengarnya mengungkapkan perasaannya secara langsung.


"Aku menyukaimu, Oshio-kun. Aku suka kamu lebih dari siapa pun. Dari semua orang yang pernah kutemui, dan mungkin dari semua orang yang akan kutemui di masa depan. Jadi, bisakah kamu tetap menyukaiku juga?"


Kata-kata yang tulus, lebih tulus dari apa pun.  


"Aku—"  


Bagaimana aku menjawabnya? Biarlah itu tetap menjadi rahasia di sini.


Jujur saja, aku tidak ingat. Aku hanya mengikuti perasaanku saat itu, menyampaikan semua isi hatiku tanpa kebohongan.  

Saat aku tersadar, di depanku ada wajah Sato-san yang jauh lebih merah daripada saat dia pingsan di depan konbini waktu itu.















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !