Shiotaiou no Sato-san ga Ore ni dake Amai V6 Chap 3

Ndrii
0

Chapter 3

Shida Coffee




Berjalan sedikit dari kafe "Aloone" dan melewati kawasan perumahan yang tenang, kami tiba di sebuah toko yang cantik dikelilingi pagar tanaman.  


Saat melewati pintu kayu yang sudah usang, suasana didalamnya terasa sangat tenang, seperti kafe dengan sejarah panjang.  


Di balik meja, ada seorang pemilik berambut putih yang tampak sangat ramah sedang menyeduh kopi dengan tenang.  


Alunan musik klasik memenuhi ruangan, dan perabot antik yang berjejer menambah suasana elegan. Namun, yang paling menarik perhatian adalah taman besar yang terlihat dari jendela kaca besar.  


Taman kebanggaan sang pemilik memperlihatkan perubahan musim di dalam kafe yang seakan waktu berhenti.  


Inilah "Shida Coffee", kafe terkenal di Kota Sakuraba...  


Yah, semua ini sebenarnya informasi yang aku dapat dari Oshio-kun.  

  

"Terima kasih telah menunggu, ini set croque-monsieur dan kopi."  

Seorang wanita cantik dengan rambut diikat ke belakang—mungkin istri pemilik?—menghampiri meja kami dengan membawa makanan dan kopi.  


Kehidupan yang elegan ini membuatku menahan napas.  


"Croque-monsieur..."  


Nama yang terdengar begitu elegan, sampai-sampai aku mengulanginya tanpa alasan yang jelas.  


Ini pertama kalinya aku melihat makanan ini.  


Sekilas terlihat seperti roti panggang tebal dengan keju, tapi...  


"Roti panggang keju dengan ham di dalamnya, semacam sandwich. Seperti yang terlihat. Jika ada telur mata sapi di atasnya, namanya croque-madame. Ini menu andalan di sini."  


Saat aku merasa penasaran, Oshio-kun langsung memberikan penjelasan.  


"Lalu, sayuran hijau ini apa?"  


"Itu salad selada air sebagai pendamping. Sudah diberi bumbu, jadi bisa langsung dimakan."  

"Oh, begitu ya..."  


Oshio-kun memang pintar.  


Aku mencoba menatapnya dengan kagum...  


"Ah!"  


Tapi aku langsung mengalihkan pandangan.  


Tidak, tidak bisa... Aku masih terlalu malu untuk menatap mata Oshio-kun!  

 

Dengan cepat, aku mencari tempat lain untuk menatap, dan akhirnya mataku bertemu dengan Himeui-san yang duduk di depan.  


Sesaat, tatapan Hime-san terasa dingin, tapi mungkin itu hanya perasaanku.  


Dia segera tersenyum kembali dengan ramah.  

  

"Shida Coffee, namanya diambil dari pakis yang tumbuh di taman, ya? Oshio-kun."  


Mendengar Himeui-san, aku menoleh ke taman.  

Memang, seperti yang dikatakan Himeui-san, banyak pakis tumbuh subur di sana.  


"Y-ya, benar. Itu hobi pemiliknya. Pakis dari dulu dianggap sebagai tanaman suci, disebut sebagai tanaman sihir, dan digunakan untuk mengusir roh jahat atau sebagai bahan obat. Pemiliknya bilang begitu."  


"Wow, terdengar mistis. Kalau dipikir-pikir, melihatnya membuatku merasa lebih tenang."  


Komentar Himeui-san membuatku terkesan.  


...Aku tidak akan bisa mengatakan hal sepintar itu.  


Entah kenapa tiba-tiba aku merasa malu...  

  

"Dan matahari yang masuk lewat jendela besar ini, suasananya jadi keren banget. Ini pasti bakal terlihat bagus meski difoto oleh amatir."  


"Ugh."  


Karena suasana canggung yang tak terucapkan, refleks aku ingin mengambil croque-monsieur, tapi aku malah mengerang.  

Sementara itu, Himeui-san sudah memegang ponselnya dan dengan terampil mulai mengambil foto.  


...Benar, apa yang sedang aku lakukan?  


Aku harus mengambil foto juga! Kalau tidak, apa gunanya datang ke sini...!  


"Angle lebar... close-up... vibe lezat..."  


Sambil menggumamkan mantra seperti itu, aku juga mengeluarkan ponsel dan meniru gerakan Himeui-san sambil menekan tombol shutter.


Karena panik, aku malah merekam video saat mengambil gambar pertama kali.


"Ah, salah...!"  


"...Sato-san, kalau kamu mau, bagaimana kalau aku bantu fotoin?"  


"Nggak, nggak perlu! Aku bisa sendiri, kok!"  


Meskipun tawaran Oshio-kun sangat baik, aku langsung menolaknya. Karena ini adalah sesuatu yang harus kulakukan sendiri, dengan kemampuanku sendiri. Kalau tidak, ayah pasti tidak akan puas...!  

"Oshio-kun, kayaknya telepon kamu bunyi, deh?"  


Orang yang pertama kali menyadari adalah Himeui-san. Aku juga melihatnya, memang benar, ponsel Oshio-kun di atas meja bergetar.  


"Eh, benar juga... dari ayah? Apa ya... maaf ya kalian berdua! Ini mungkin soal toko, jadi aku keluar sebentar!"  


"Selamat jalan~"  


"Ah, se... selamat jalan!"  


Oshio-kun berlari kecil keluar toko sambil menggenggam ponsel yang masih bergetar.  


...Tinggal berdua saja.  


Setelah selesai mengambil beberapa foto, aku berusaha menjaga diriku agar tidak memperlihatkan kebiasaan burukku. Aku mencuri pandang ke arah Himeui-san yang duduk di depanku.  


—Himeui-san.  


Bahkan aku tahu tentang dia. Dia adalah selebriti di sekolah. Seorang siswa SMA aktif dengan 60.000 pengikut di Minsta.  


Kalau dibandingkan dengan aku yang cuma punya 8 pengikut, dia seperti dewi.  


Dan sekarang, aku hampir pertama kali sendirian dengannya... Seandainya aku yang dulu, aku pasti akan bersikap buruk. Tapi sekarang tidak, karena aku sudah lebih dewasa!  


"Maaf, perkenalannya telat, Himeui-san! Salam kenal, aku Sato Koharu! Aku sering lihat Minsta kamu!"  


Meskipun aku sedikit gugup, itu cukup baik untuk diriku sendiri! Setiap hari aku berlatih "Salam Anti-Gugup" bersama Mio-mio, jadi ada hasilnya!  


Namun, respon dari Himeui-san...  


"Terima kasih."  


Dia hanya mengucapkan itu sambil menyesap dari cangkirnya. Itu saja.  


Hah? Rasanya Hime-san tadi berbeda suasananya...  


...Yah, aku nggak boleh menyerah untuk berbicara!  


"Kamu luar biasa banget, Himeui-san! Dengan 60.000 pengikut itu! Aku juga berusaha keras di Minsta, tapi pengikutnya nggak nambah sama sekali! Cuma 8 orang aja! Ahaha... Kalau ada tips, mungkin kamu bisa kasih tahu aku, ya?"  


"Aku nggak ngelakuin hal khusus kok, cuma foto biasa aja."  


"...Oh iya, tadi aku lihat kamu sama Oshio-kun berdua, aku bener-bener kaget! Oshio-kun itu... oh, ya, bukan maksudku nge-judge siapa-siapa, tapi! Aku awalnya mikir yang aneh banget sih—..."  


"—Ngomong-ngomong, Sato-san, kenapa kamu masih ngejar-ngejar Oshio-kun?"  


"..................Hah?"  


Kalimat yang mengejutkan keluar begitu tiba-tiba, membuatku terdiam sejenak.  


Himeui-san tampak biasa-biasa saja, mengunyah salad selada air tanpa sedikit pun rasa bersalah. Saking naturalnya, aku sampai berpikir mungkin aku salah dengar.  


"Nge... ngejar-ngejar...?"  


"Iya, kenapa?"  

"Kenapa...?"  


Pikiranku tak bisa mengejar kenyataan. Kenapa? ...Kenapa?  


Kenapa, kamu tanya...?  


"Kan kamu udah mutusin dia, Oshio-kun."  


—Sekarang, aku benar-benar nggak bisa cuma diam.  


"T-tidak-tidak-tidak-tidak-tidak-tidaaaak!!!!!!! Kenapa aku harus mutusin Oshio-kun!?"  


Aku berteriak dengan suara paling keras yang pernah kubuat belakangan ini. Sampai-sampai pemilik kafe pun terkejut dan menatap ke arahku, tapi aku bahkan nggak peduli.  


Kenapa rumor seperti itu menyebar?!  


"Kenapa? Itu rumor yang beredar di antara cowok-cowok."  


"Di mana!? Kenapa bisa begitu..."  


"Kamu kan bilang ke dia di depan semua orang, di sekolah, 'jangan bicara sama aku lagi'."  

"Ah...!"  


...Aku benar-benar ingat kejadian itu. Aku memang pernah mengatakan hal yang kasar seperti itu kepada Oshio-kun baru-baru ini. Jika seseorang melihat adegan itu, mereka pasti akan mengira aku memutuskan hubungan dengannya.  


Tapi...!  


"Itu... aku cuma... malu, jadi, nggak sengaja...!"  


"Nggak sengaja? Waktu itu Oshio-kun terlihat seperti dunia sedang berakhir."  


"Ugh...!"  


Dadaku terasa nyeri.



Dalam situasi ini, jelas sekali bahwa itu kesalahanku sepenuhnya. Bahkan, aku belum sempat meminta maaf pada Oshio-kun.


"Eh? Apa? Jadi kalian beneran nggak putus, ya? Kalian berdua?"  


"Nggak, kami nggak putus... Kami masih pacaran. Harusnya masih pacaran, tapi..."  


Suara dan kalimatku makin mengecil seiring aku berbicara, dan pandanganku tertuju ke lutut.  


"Hah──, apa-apaan itu... Jadi, Sato-san, hari ini kamu ke mana?"  


"Aku... cuma pergi sendirian, makan sanma..."  


"Sanma...?"  


"Salah! Ma-maksudku, aku pergi ke kafe, sendirian..."  


"Sendirian ke kafe? Padahal kamu punya pacar?"  


"Ma-maksudku, ada alasannya untuk itu..."  


Alasan... ya, ada alasan yang penting! Alasan yang menyangkut masa depan kami berdua!  

Tapi Himeui-san hanya menghela napas, tampak sedikit jengkel.  


"Ya, aku tahu ada pasangan yang saling memberi kebebasan untuk melakukan hal-hal yang mereka sukai. Tapi aku nggak bisa relate sama itu."  


Setelah mengatakannya, Himeui-san menancapkan garpu ke salad selada air di hadapannya.  


"Tapi hubungan kalian berdua rasanya berbeda."  


"Apa? Kenapa kamu bisa bilang begitu?"  


"Siapapun bisa melihat itu, kalau kamu memperhatikan ekspresi Oshio-kun. Kamu nggak lihat tadi waktu dia menawarkan bantuan, dan kamu menolaknya? Kamu lihat gimana wajahnya waktu itu?"  


"Eh...?"  


Pikiranku langsung blank. Wajahnya? Ekspresi apa? Aku nggak ingat. Bukan cuma itu, aku bahkan nggak memperhatikannya.  


"Nggak ingat, kan, kapan terakhir kali kamu benar-benar melihat wajah Oshio-kun?"  


"Itu...!"  

Kenapa Himeui-san bisa tahu semua yang aku pikirkan?  


"Kamu nggak sadar, ya?"  


Aku akhirnya bertatapan dengan Himeui-san. Selama ini aku bertanya-tanya, kenapa dia bertanya seperti itu? Kenapa dia terus mendesakku? Tapi ketika aku melihat matanya, aku langsung tahu alasannya.  


Dia marah padaku.  


"Normalnya, kalau kamu tahu pacarmu udah sesedih itu, kamu nggak akan berani menyebut dirimu pacarnya lagi."  


"Ah..."  


Seperti ditampar keras, kata-kata Himeui-san menghantamku.  


Aku benar-benar nggak bisa menjawab apa pun.  


...Himeui-san benar. Aku hanya memikirkan diriku sendiri selama ini. Aku merasa malu, minder, fokus ke jumlah pengikut di Minsta... Aku hanya memikirkan kenyamanan dan keinginanku sendiri, tanpa peduli pada perasaan Oshio-kun. Aku bahkan nggak pernah benar-benar mencoba memahami dia.  


Dan ironisnya, hal itu baru kusadari berkat seseorang yang hampir tidak pernah kukenal sebelumnya.  


"...Iya, sih, sejujurnya aku sedikit kecewa mendengar kalian masih pacaran, tapi setelah lihat kamu, aku jadi lebih yakin dengan perasaanku."  


Himeui-san berkata pelan, seperti sedang berbicara dengan dirinya sendiri.  


"Perasaan...?"  


"Setelah bertemu Oshio Souta, hidupku jadi lebih berarti. Sekarang aku menikmati hal-hal yang dulu terasa membosankan. Sekarang, aku ingin memberikan sesuatu kembali padanya. Dan aku siap memberikan segalanya."  


Mendengar kata-katanya membuat tenggorokanku kering dan jantungku berdebar lebih cepat.  


Aku tahu.  


"Aku ingat kamu tanya soal tips Minsta tadi, kan? Nih, aku kasih tahu. Kunci dari Minsta adalah menyampaikan dirimu dengan jelas pada para pengikutmu."  


Mendengar alur kata-katanya, aku bisa menebak ke mana arah percakapannya. Aku juga mulai mengerti kenapa dia begitu perhatian terhadap kami berdua.  


Aku tahu.  


"Masalahnya, kamu bahkan nggak bisa menyampaikan dirimu dengan baik pada pacarmu sendiri. Aku lebih cocok untuk dia."  


Itulah sebabnya hatiku terasa sakit.  


"Aku, jatuh cinta pada Oshio-kun."  


Seolah-olah duniaku mulai bergoyang hebat. Meskipun aku duduk di kursi, rasanya seolah-olah aku jatuh ke dalam jurang tak berdasar.  


"Aku nggak akan menunggu terlalu lama, nggak kayak kamu. Baik soal cinta maupun Minsta, aku nggak pernah kalah."  


...Aku hanya ingat sampai di situ.  


Setelah itu, mungkin Oshio-kun kembali ke meja, tapi aku nggak ingat apa yang kami bicarakan. Aku juga nggak ingat bagaimana rasa Croque-Monsieur pertamaku, atau bagaimana caraku berpisah dengan mereka berdua.  


Aku lupa semuanya.



Saat aku tersadar, aku sudah duduk di bangku sebuah taman yang tidak kukenal. Matahari sudah terbenam, sekelilingku sudah gelap, dan tidak ada lagi anak-anak di sana. Waktu... rasanya malas sekali untuk melihatnya.


──Normalnya, kalau kamu tahu pacarmu udah sesedih itu, kamu nggak akan berani menyebut dirimu pacarnya lagi.


Kata-kata Himeui-san terus berulang, bergaung berkali-kali di dalam pikiranku.


...Aku juga merasa kalau itu memang benar.


Meskipun aku menyebut diriku sebagai pacar Oshio-kun, aku tidak melakukan apapun dan tidak tahu apa-apa. Aku bahkan tidak tahu betapa beratnya perasaan Oshio-kun, dan hanya memiliki kepercayaan diri tanpa dasar bahwa, apapun yang terjadi, aku dan Oshio-kun akan selalu bersama.


...Oshio-kun memang keren.


Dan ini bukan hanya soal penampilannya. Segalanya tentangnya itu keren. Dan karena dia keren, wajar saja kalau ada orang lain yang juga menyukainya. 

Itu sesuatu yang seharusnya mudah dipahami. Meski begitu, aku dengan begitu saja menganggap dia adalah milikku.


...Apa aku terlalu manja?


Kepada hubungan sebagai pacar ini. Mungkin aku sudah terlalu berpikir bahwa setelah menjalin hubungan, itu adalah garis finish.


Banyak sekali yang sudah diberikan Oshio-kun kepadaku──tapi apa aku pernah memberikan sesuatu untuknya? Apa aku hanya membuatnya bersedih tanpa alasan?


Saat mulai memikirkan tentang keburukanku sendiri, rasanya tiada habisnya.


...Lalu bagaimana dengan Himeui-san?


Dia memiliki segala hal yang tidak aku miliki. Sebagai wanita, dia sangat menawan, kemampuan komunikasinya juga hebat, dan jumlah pengikutnya di Minsta sangat banyak, hingga tak bisa dipercaya.


Selain itu... dia sangat perhatian.


Jika aku mengingat kembali, dari daun pakis di halaman, panggilan masuk di ponsel, hingga menyadari wajah sedih Oshio-kun, semuanya adalah Himeui-san.

Sementara aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri, Himeui-san dengan tenang mengamati sekelilingnya.


Tidak perlu membandingkan lagi siapa yang lebih unggul...


"Aku ini pacar yang gagal..."


Meski sudah jelas, ketika kuucapkan, air mata mengalir deras dari mataku.


Kenapa aku menangis, padahal semua ini adalah akibat dari perbuatanku sendiri. Semua kesedihan yang kurasakan sekarang hanya pantulan dari kesedihan yang pernah aku berikan kepada Oshio-kun.


Sampai kapan aku akan berperan sebagai korban? Aku yang salah, aku yang salah, rasanya ingin lenyap saja──


Rasa benci pada diri sendiri dan rasa bersalah yang luar biasa mulai menghimpitku.


Aku yang salah, itu sudah jelas, tapi tetap saja nama dia muncul di pikiranku, sungguh tak ada harapan untukku──


"──Sato-san."


Aku mendengar namaku dipanggil dari atas, dan saat itu aku merasa seperti jantungku benar-benar berhenti.


...Tidak, mana mungkin.


Hal seperti itu, yang terlalu kebetulan, tidak mungkin terjadi berkali-kali.


Sambil terus berkata pada diriku sendiri, di sudut hatiku, aku masih berharap.


"Oshio-kun...?"


Perlahan-lahan aku mengangkat wajahku.


Dan di sebelahku──


"──Sungguh, ada orang tidak tahu diri yang membuat dewi kita meneteskan air mata."


"...Eh, siapa ini?"


Seorang pria yang benar-benar tidak kukenal berdiri di depanku, jadi secara refleks aku mengaktifkan mode tanggapan dingin.


"Giiaaaahhh!!"


"Niga-kun, sadarlah!"


"I-Iya! Tentu saja aku tidak akan mengingat pria yang pernah kutolak!"


"Oee──!!"


"Aaaahh!! Niga-kun muntah!!"


Pria yang benar-benar tidak kukenal itu tiba-tiba seperti kerasukan setan dan mulai terlihat sangat menderita, sementara pria dan wanita yang juga tidak kukenal mulai merawatnya.


...Apa-apaan dengan orang-orang aneh ini?


Situasinya terlalu tidak masuk akal sampai-sampai aku tidak bisa merasa terkejut atau takut.


Tunggu, tunggu dulu? Wanita itu... apa dia Ogano Ikumi-san?


Dan setelah kulihat lebih dekat, dua orang lainnya juga mengenakan seragam SMA Sakuraba...


Eh!?


"Apakah kalian ini... mungkin anggota SSF...?"


"Baru sadar sekarang!?"


Pria berpenampilan androgini yang kaget dengan mata melotot itu, jika aku tidak salah, adalah Karahana Youichi-kun.


"T-tepatnya mantan SSF!"


Dan pria yang tadi berteriak-teriak itu... aku ingat! Dia adalah Niga Ryuuto-kun!


"U-untuk apa kalian datang ke sini...?"


Setelah mengetahui siapa mereka, aku segera waspada. Aku memang tidak tahu banyak tentang SSF, tetapi yang kuingat adalah bahwa mereka adalah orang-orang yang "secara diam-diam telah melakukan hal-hal buruk kepada Oshio-kun." Tentu saja aku tidak memiliki kesan yang baik tentang mereka.


Sambil mengawasi rute pelarian agar bisa lari ke pos polisi jika perlu, tiba-tiba...


"──Sudah kukatakan, kami ini mantan SSF! Pacarmu marah besar dan membubarkan kami hari ini! Kami tidak akan melakukan apa-apa lagi!"


Tubuhku yang sudah bersiap untuk kabur, sedikit mereda.


"Oshio-kun yang...?"


"Iya, dia sangat marah! 'Tidak apa-apa kalau aku yang diganggu, tapi kalau kalian sampai melukai Sato-san, aku tidak tahu apa yang akan kulakukan.' Wah, dia lebih menakutkan daripada preman-preman yang pernah menggangguku."


"Xixi, Koharu-sama sungguh beruntung..."


"Ogano-san, emosi kamu terlalu berlebihan."


Oshio-kun... sampai melakukan hal seperti itu?


Rasa benci terhadap diri sendiri yang sejak tadi melanda perlahan terasa menghangat di dalam dadaku. Namun, kesederhanaanku membuat rasa benci terhadap diri sendiri kembali melanda. Gelombangnya begitu besar hingga aku tanpa sadar menumpahkan isi hatiku pada orang-orang yang hampir tidak kukenal ini.


"Tapi aku, aku ini pacar yang gagal..."


Ketiga orang itu serempak menoleh ke arahku.


Aku ingin berhenti, aku tahu aku harus berhenti, tetapi mulutku tidak bisa berhenti berbicara...


"Aku benar-benar hanya memikirkan diriku sendiri, tidak pernah memperhatikan Oshio-kun. Yang kulakukan hanya mengikatnya sebagai pacar dan membuatnya sedih..."


Setelah aku mulai berbicara, rasanya tidak ada lagi yang bisa menahannya. Arus kebencian terhadap diriku sendiri, yang seharusnya hanya aku yang bisa menanggung, mulai meluap.


"Himeui-san benar... Oshio-kun pasti lebih baik bersama seseorang yang lebih pantas... daripada aku..."


Akhirnya bendungan terakhir jebol, dan air mata mulai menetes dari kedua mataku.


Tidak bisa, tidak bisa berhenti.


Aku bahkan tidak mengenal mereka dengan baik, jadi mengapa aku bisa bicara seperti ini...


"──Jadi, kau menyerah begitu saja?"


"Eh...?"


Aku kaget mengangkat wajahku. Yang berbicara adalah Niga Ryuuto-kun.


Sebagai isyarat dari kata-katanya, mereka mulai berbicara satu sama lain seolah-olah aku tidak pernah ada.


"Jadi, Sato Koharu kau menyerah pada Oshio Souta."


"Berarti Oshio-kun akan kembali single, hebat, ya, Ogano-san."


"Be-benar!? Ti-tidak ada pilihan lain... kalau begitu, bolehkan aku mengajak Oshio-kun berkencan..."


Eh?


"Omong-omong, Karahana, masih ada beberapa gadis lain yang juga menyukai Oshio Souta, kan?"


"Iya, berdasarkan risetku, ada setidaknya dua gadis lain yang menyukai Oshio-kun."


"Wah, ternyata dia cukup populer, meski tidak sepopuler aku."


Eh, tunggu, tunggu...


"Yah, kita beri tahu mereka saja kalau Oshio Souta sudah single lagi, jadi mereka bisa bebas mengejar dia. Sekali-sekali, kita lakukan kebaikan."


"Setuju, sekali sehari melakukan kebaikan untuk menuju surga. Namo namo."

TLN : (Namu Namu) adalah ungkapan yang berasal dari istilah Buddhis "南無" (Namu), yang artinya "saya menghormati" atau "saya berserah."


"Kencan pertama, di pantai? Kebun binatang? Atau mungkin di kafe tempatnya bekerja...!"


Tiga mantan anggota SSF itu mulai berjalan menjauh, tertawa dan berbicara dengan akrab sambil membelakangiku.


"Tung..."


Sebelum sempat memikirkan apakah aku pantas, apakah aku tidak berhak, atau bahwa aku pacar yang gagal, tubuhku sudah bergerak sendiri.


"Tunggu!"


"──Hal itu katakan langsung lah padanya!"


"Eh!?"


Niga-kun dan Karahana-kun berbalik serempak, berteriak marah padaku. Bukan hanya perubahan sikap mereka yang mengejutkanku, tapi juga isi perkataan mereka.


Niga-kun kembali berbalik dan mendekat padaku dengan langkah tegas.


"──Dengar baik-baik, Sato Koharu! Sebanyak apa pun kau menyayanginya! Sebanyak apa pun kau memikirkannya! Jika kau terus bersembunyi di balik bayangan, perasaan itu tidak akan pernah tersampaikan!"


"Ah...!"


"Jika kau tidak ingin dia pergi, katakan kalau kau tidak ingin dia pergi! Jika kau ingin berada di sisinya, katakan kalau kau ingin berada di sisinya! Jika kau mencintainya, katakan kalau kau mencintainya! Lihat wajahnya, dan sampaikan langsung padanya!"



"Ni... Niga-kun..."


Kata-katanya menghantam dadaku. Rasa benci terhadap diriku sendiri yang telah lama menempel erat di hatiku, seolah tersapu bersih oleh panas yang begitu membakar. Ya, panas... itu pasti panas.


Karena saat ini, aku merasa tubuhku sangat panas, begitu panas hingga aku tak bisa diam barang sedetik pun.


"──Terima kasih, Mantan SSF!!"


Aku membungkuk dalam-dalam kepada mereka, lalu berlari secepat mungkin seperti terpental keluar.


Ke mana? Tentu saja sudah jelas.


Aku harus segera, dalam hitungan detik, menuju tempat Oshio-kun...


Setelah memastikan Sato-san telah benar-benar berlari menjauh dari taman malam itu, aku akhirnya membuka percakapan dengannya.


"Tak kusangka kalimat seperti itu keluar dari mulut Niga-kun," ucapku, terkejut. Kali ini sungguh di luar dugaan.


Siapa sangka Niga-kun yang selalu sarkastik dan dingin justru memberi dorongan kepada Sato-san. Dalam beberapa hari terakhir ini, hal-hal yang tak terduga terus saja terjadi.


"Itu, sepertinya dia bicara sambil memproyeksikan dirinya, bukan?" lanjutku.


"…Mungkin begitu."


"Jujur sekali."


"Entah kenapa, aku merasa sangat lega. Seperti beban besar yang terangkat dari pundakku," kata Niga-kun sambil menatap ke langit malam yang begitu jernih dan indah. Nafas putihnya keluar seiring udara dingin. Wajahnya terlihat lebih tenang dari biasanya.


"Sepertinya, perasaan ini sudah lama terselesaikan dalam diriku," tambahnya.


"Tapi itu cukup rumit ya," kataku, mengingat bagaimana selama ini perasaannya yang begitu terdistorsi.


Mungkin, semua ini adalah hasil dari kebodohan kami, yang selama ini memperhatikan kedua orang itu dari jarak yang paling dekat, namun juga paling jauh.


Aku menepuk bahu Niga-kun dengan ringan.

"Yah, bagaimana kalau kita makan ramen saja?"


"Nah, ternyata kau orang baik juga ya, Karahana."


"Baru sadar? Ayo ajak Koharu-san juga… eh? Sedang apa itu, Koharu-san?"


"Fufufu, aku sedang membuat daftar tempat-tempat yang bisa kujadikan lokasi kencan pertama bersama Oshio-kun…"


"......"


"......"


Melihat Koharu-san tersenyum lebar sambil sibuk mengetik di ponselnya, aku dan Niga-kun hanya bisa terdiam tanpa kata.



“Uoooohhh... Himeui-san, pesannya panjang lagi kali ini...”


Pukul delapan malam. Aku mengerang di atas tempat tidur sambil menatap pesan panjang yang dikirim oleh Himeui-san.


Luar biasa... Pesannya tidak habis-habis meskipun sudah aku scroll terus. “Aku baru pertama kali lihat ada opsi ‘Baca Selengkapnya’ di aplikasi pesan...”


“...Hari ini aku harus membalasnya dengan benar,” gumamku sambil bangun dari tempat tidur dan berpindah ke meja, mulai mengetik balasan dengan hati-hati, huruf demi huruf.


Baiklah... aku, berterima kasih atas bantuan Anda... Croque-monsieur di Shida Coffee...


"Shida Coffee..."


Begitu aku mengetikkan nama kafe itu, kenangan mulai kembali ke pikiranku.


Sebelumnya, aku sempat meninggalkan meja di Shida Coffee untuk menjawab telepon dari ayah. Oh iya, telepon itu hanya untuk meminta tolong membeli sesuatu di perjalanan pulang, tapi... ya sudahlah, itu tidak penting.


Masalahnya, apa yang terjadi setelah aku kembali ke meja.


Ada yang aneh dengan Sato-san. Awalnya, aku pikir dia hanya gugup karena baru pertama kali bertemu dengan Himeui-san dan ditinggal berdua. Tapi... entahlah, aku tidak bisa menjelaskannya dengan baik, tapi yang kurasakan waktu itu berbeda.


──"Sato-san, kamu baik-baik saja? Kamu sakit?"


Ketika aku bertanya begitu, Sato-san menggelengkan kepalanya.


──"Tidak, aku baik-baik saja. Oshio-kun, jangan khawatirkan aku."


Dia menjawab begitu. Dengan senyum yang sangat lemah, yang belum pernah aku lihat sebelumnya...


"Oshio-kun, jangan khawatirkan aku, ya..."


Tanpa sadar, aku membuka ruang obrolan Sato-san. Tentu saja, tidak ada yang berubah.


Pesan terakhir masih berhenti pada balasan dari diriku, "Aku benar-benar tidak khawatir, kok!"


"Sato-san..."


Aku menggulir obrolan kami beberapa saat, tiba-tiba merasa tergoda untuk mengirim pesan, tapi aku menahannya.


... Sejujurnya, aku sudah tidak tahu lagi apa yang benar.


Haruskah aku terus mendekatinya meskipun mungkin aku akan terluka? Atau sebaiknya, seperti kata Ren dan Karahana-kun, aku memberi jarak dan menunggu dengan percaya pada Sato-san?


Apa yang dimaksud dengan benar, sih? Benar menurut siapa? Di mana batas antara perasaanku dan logikaku? Di mana batas antara apa yang kulakukan demi diriku sendiri dan demi Sato-san?


Semua itu sudah bercampur di kepalaku hingga aku tak bisa membedakannya lagi.


Akhir-akhir ini, kalau aku sendirian di rumah, aku terus memikirkan hal-hal seperti ini.


"Pacaran itu... sulit banget ya..."


Mungkin aku hanya terlalu banyak berpikir, tapi yang jelas aku lelah...

Sudah waktunya aku fokus pada balasan untuk pesan Himeui-san.


Saat aku hendak menutup ruang obrolan Sato-san, ponselku tiba-tiba bergetar.

Panggilan masuk dari Sato Koharu-san.


"UWAAAHHH!!"


Aku menjerit sungguhan, meskipun ini telepon dari gadis yang kusukai.


Sial, jantungku serasa mau copot!


"A-aaaa-aapa!?"


Aku panik melihat ponsel yang bergetar di atas meja... tapi, tunggu! Ini bukan waktunya panik!


Aku buru-buru meraih ponsel itu dan menekan tombol "Jawab" di detik keempat dering.


"Halo!? Sato-san!?"


Tidak ada jawaban... yang terdengar hanyalah suara seperti derau yang terus-menerus.


Apa ini? Apakah sinyalnya buruk?


Awalnya, aku pikir begitu, tapi tidak.


Suara teredam ini... itu suara napas Sato-san. Dan napasnya sangat terengah-engah.


Panggilan yang tiba-tiba, napas yang terengah-engah... Apa Sato-san sedang dalam masalah besar? Kekhawatiran menyelimuti pikiranku.


"Sato-san!? Ada apa!?"


Aku memanggil lagi.


Lalu, dari seberang telepon, dengan napas yang terputus-putus, Sato-san berbicara.


"──So... to..."


"Di luar!?"


Ya, aku mendengarnya dengan jelas. Dia di luar... sesuatu di luar...


Aku teringat sesuatu, dan dengan cepat membuka tirai.


Dari jendelaku, aku bisa melihat seluruh taman bunga kafe Tutuji, yang sudah tutup. Semua lampu sudah dimatikan, tempat duduk teras sudah dibereskan, dan taman telah dihiasi nuansa musim gugur.


Dan di sana, berdiri di area parkir kafe Tutuji, Sato-san masih mengenakan seragam sekolah yang sama ketika kami berpisah di depan Shida Coffee. Dari jauh, aku bisa melihat betapa lelah dan putus asanya dia...


"──Tunggu sebentar!"


Aku langsung berkata begitu di telepon, lalu berlari keluar dengan pakaian rumahku.


"Apa-apaan ini, Souta? Kenapa ribut sekali di jam segini?"


Di lorong, aku berpapasan dengan ayahku, yang sedang mengocok protein sebelum tidur. Tapi aku tidak punya waktu untuk menjelaskan!


"Maaf, Ayah! Sato-san ada di sini!"


"...Di mana!?"


"Tepat di luar sana!"


"Apa!? Ayah sudah mau tidur, loh!?"


"Maaf! Pergilah ke gym atau semacamnya!!"


"Ini sih, overwork, namanya..."


Aku dengan asal menyelipkan sandal di kaki dan, seperti peluru, keluar dari rumah. Di tengah kegelapan malam, aku memotong jalur lewat taman bunga, melompati rantai pembatas, dan akhirnya tiba di tempat parkir.


Di sanalah aku bertemu dengannya—


"Sato-san!"


"O... Oshio... kun..."


Dari dekat, kondisinya terlihat lebih parah. Meskipun hampir musim dingin, Sato-san berkeringat sampai rambutnya menetes, mengeluarkan napas berat seperti mesin uap. Wajahnya merah, hingga terlihat seperti orang lain.


"Hah... hah... Oshio-kun, a... aku..."


Dia berusaha keras menyampaikan sesuatu, tetapi kata-katanya tidak keluar seperti yang dia inginkan, membuatnya frustasi.


Meskipun banyak hal yang ingin aku tanyakan—kenapa dia ada di sini pada jam segini, apa yang terjadi—yang lebih penting saat ini adalah,


"Sato-san, ayo masuk dulu! Kamu bisa masuk angin!"


Aku meraih tangannya dan membawanya masuk ke rumah.


"Kuharap semuanya baik-baik saja. Sekarang, Sato-san ada di rumahku. Maaf, aku belum sempat menanyakan alasannya."


Kembali ke kamar, aku menjelaskan situasi ini lewat telepon.


Aku sendiri masih heran bagaimana semua ini bisa terjadi. Tapi masalah terbesarku sekarang adalah orang di ujung telepon ini.


".............. Begitu."


Keheningan yang begitu berat, ditambah ucapan “begitu” yang dingin, membuatku merasakan dingin di tulang belakang untuk pertama kalinya.


Aku tak pernah menyangka akan menggunakan nomor telepon ini dalam situasi seperti ini. Jika bisa, aku ingin menghindari berbicara satu lawan satu dengannya seumur hidup.


"… Yah, aku percaya kamu adalah orang yang tahu apa yang harus dilakukan."


Yang berbicara adalah Sato Kazuharu, ayah Sato Koharu.

Pikiranku langsung tertekan, membayangkan makna di balik kata-kata itu.


"Pertama-tama, terima kasih karena sudah melaporkan kondisi anakku, yang belum pulang dan tidak memberi kabar. Aku menghargainya."


"Sama-sama."


"Lalu, apa yang sedang dilakukan oleh Koharu sekarang?"


"Karena dia keringat dingin, aku meminjamkan handuk dan baju ganti, memberinya air, dan menyuruhnya istirahat."


"Hm, baiklah. Aku akan membayar biayanya nanti."


"Ah, tidak perlu, sungguh, aku tidak melakukan apa-apa yang luar biasa!"


"Dan? Apa yang dia lakukan sekarang?"


Aku kira aku bisa menghindari pertanyaan itu, tapi tentu saja Kazuharu-san tidak semudah itu dibohongi. Aku mulai berkeringat dingin.


"Sato-san bilang ingin mandi karena keringatnya, jadi aku meminjamkan shower..."


"..............."


Keheningan Kazuhiro-san membuat suara air shower dari kamar mandi terdengar semakin nyata.


"Demi Tuhan, aku percaya kamu adalah orang yang tahu apa yang harus dilakukan."


"Ahaha... Kazuharu-san, itu yang kedua kalinya Anda katakan..."


"Ini bukan lelucon."


"..."


Aku mencoba menenangkan diriku.


"Sato-san dan aku menjaga hubungan yang sehat dan wajar sebagai siswa SMA..."


"Bagus."


Bahkan ciuman saja belum terjadi, jadi Anda tidak perlu khawatir, Pak!—Itu yang ingin aku katakan, tapi kurasa itu akan membuatku merasa konyol, jadi aku menahannya.


"Baiklah, itu saja yang ingin kutanyakan. Terima kasih sudah menjaganya. Soal jam malam... untuk malam ini, aku tidak akan mempermasalahkannya. Aku juga tidak akan menanyakan alasannya... setidaknya untuk sekarang. Bilang padanya untuk menghubungiku begitu dia sudah tenang."


"Baik, aku akan pastikan Sato-san pulang dengan selamat."


"Baiklah... satu hal lagi."


"Ya?"


"Kalau kau menyakiti putriku, aku akan membunuhmu."


"..."


"... Bercanda, kok."


"Oh! Bercanda, ya? Bercanda kan!? Hahaha..."


"Tidak ada yang lucu dari apa yang kukatakan."


"..."


"Baiklah, aku tutup telepon sekarang."


Klik. Telepon terputus.


Layar menunjukkan durasi panggilan: "4 menit." Namun, aku masih tidak percaya.


Rasanya seperti baru saja mengalami mimpi buruk yang tidak berkesudahan.


"Orang itu, bahkan di telepon, masih terlalu menakutkan..."


Aku merasa seperti umurku dipersingkat. Namun tiba-tiba, suara air dari kamar mandi terhenti.


"...!"


Hanya dengan itu saja, jantungku berdetak kencang.


Ya. Aku sempat merasa semuanya sudah selesai, tapi ternyata belum.


Sebenarnya, krisis terbesar baru saja dimulai...


"Sato-san sedang mandi di rumahku..."


Dalam kesunyian, suara detak jantungku terdengar begitu keras.


Tadi aku begitu sibuk sehingga tidak sempat berpikir macam-macam, tapi sekarang... kalau dipikir-pikir, ini sangat gawat.


Orang yang kusukai, mandi di rumahku, pada jam segini...


Wuuuusshhh...  

Suara hair dryer terdengar jelas. Dia bahkan mulai menggunakan pengering rambut... Aku benar-benar tidak tahu apa yang sedang terjadi. Sama sekali tidak siap untuk semua ini. 


Wuuuusshhh...  

Untuk pertama kalinya dalam hidupku, suara hair dryer begitu mengganggu. Sato-san sedang mengeringkan rambutnya di kamar mandi rumahku. Dengan pengering rambut murah berwarna ungu yang biasa kupakai...


"Tidak, aku tidak boleh terus seperti ini!" 

 

Mendengarkan suara itu hanya membuat pikiranku semakin liar. 


Tenang, tenang! Aku harus tetap tenang dan bersikap layaknya pacar yang dewasa.

"Dia datang ke rumahku pada jam segini dengan keringat bercucuran. Pasti ada alasan penting dia datang..."  


Aku bergumam pelan, berusaha meyakinkan diri sendiri. Siapa tahu, mungkin dia punya urusan serius. Tapi kenapa aku malah merasa seperti ini...


Tapi tunggu, bagaimana kalau tidak ada urusan serius? Kalau seseorang datang ke rumah pacarnya di malam hari...


"O... Oshio-kun, boleh aku masuk?"  


"!!!"  


Aku hampir terlonjak tiga sentimeter dari karpet. Terlalu kaget sampai tidak bisa berteriak, untungnya. Jantungku seolah mau meledak, tapi ternyata masih berdetak.


"Si-silakan..."  


Aku mencoba menjawab dengan tenang kepada suara di luar pintu. Saat pintu terbuka perlahan tanpa suara, detak jantungku semakin cepat. Berhenti, tolong berhenti...! Tapi jangan benar-benar berhenti—setidaknya tenang sedikit saja.


"Maaf, aku masuk..."  

Dengan suara pelan yang hampir tak terdengar, Sato-san perlahan muncul dari balik pintu.


"!!!"  


Bagaimana aku bisa menggambarkan keterkejutanku saat melihatnya? Aku tahu dia akan memakai pakaian yang kupinjamkan. Lagipula, aku yang menyiapkan pakaian itu. Tapi tetap saja, efeknya sungguh luar biasa.


"Te-terima kasih sudah meminjamkan baju, Oshio-kun..."  


Sato-san mengenakan bajuku...!!  


"Jangan khawatir! Itu hanya seragam olahragaku dari SMP..."  


"Ya, aku sadar. Hehe, bajunya kebesaran..."  


Lengan bajunya kebesaran...!!!


"Dan di sini, ada nama 'Oshio-kun' yang disulam..."  


Di dada...!!!


"Iya... hahahaha..."  

Aku mencoba tersenyum, tetapi sembunyi-sembunyi menekan dadaku yang berdebar-debar keras. Melihat Sato-san mengenakan jaket olahragaku membuat jantungku seolah hancur beberapa kali.


"Kau bisa duduk, ada bantal di sana..."  


Aku berhasil mengeluarkan suara parau. Aku hebat, aku pantas dipuji. Kalau tak ada yang memuji, aku akan memuji diriku sendiri.


"Kalau begitu, permisi..."  


Sato-san perlahan berjalan ke tengah ruangan dengan gerakan yang sangat hati-hati, seakan takut menginjak sesuatu yang rapuh. Dia membawa tas kertas yang mungkin berisi seragamnya yang sudah dilepas, lalu duduk di seberangku.


Tapi ada yang aneh...  


"Hmm?"  


Aku menoleh, penasaran. Gerakannya terasa kaku, seperti seseorang yang sedang menahan sakit atau tegang.


"Apakah kau terluka, Sato-san?"  


"Apa!? Tidak, aku tidak terluka! Aku sehat kok, sungguh!"  

"...Oh, baiklah."


Namun, gerakannya tetap pelan saat dia duduk di atas bantal. Dan, sejak tadi, dia terus menopang dadanya dengan lengannya. Apa itu ada hubungannya dengan sakit yang dia rasakan?


Ah, mungkin aku tidak perlu terlalu memikirkan hal itu.


"Oh iya, aku menyiapkan ini selagi kau mandi."  


Aku memberikan mug dengan penutup ke arah Sato-san.  


"Aku pikir kau mungkin masih kedinginan."


"Terima kasih, Oshio-kun."  


Raut wajahnya yang tegang mulai melunak sedikit. Dia membuka penutup mug itu, dan uap hangat keluar dari dalamnya. Aku sudah terbiasa minum teh ini, jadi aku tahu persis apa isinya...


"Ini Earl Grey," ucap Sato-san.


"Seperti hari itu."  


Sato-san tersenyum malu-malu, tampak mengingat sesuatu.

Sebelum menjadi pacarku, dia pernah datang ke kamarku sekali. Aku ingat dengan jelas, itu hari di mana aku menolongnya. Teh Earl Grey inilah yang menenangkan Sato-san waktu itu.


"Aneh ya," katanya sambil menatap ke dalam mug. "Hari itu, aku dan Oshio-kun sudah saling menyukai, ya?"


"...Iya, benar."


Tiba-tiba mendengar kata "suka" secara langsung membuatku sedikit terkejut.


"Jadi, maksudku, kalau salah satu dari kita mengungkapkan perasaan saat itu, mungkin kita sudah pacaran lebih cepat," katanya.


"Ya, tapi kita baru mengungkapkannya beberapa waktu setelah itu," jawabku.


"Lucu ya, meskipun kita sudah saling suka saat itu, tetap saja, kita belum bisa pacaran tanpa mengatakannya... Tapi, entah bagaimana, aku merasa itu hal yang sangat penting," lanjut Sato-san.


"Penting?" tanyaku.


"Entahlah," katanya sambil mengambil mug di depannya, tampaknya malu dengan apa yang baru saja dia katakan.

Sebenarnya, aku ingin bertanya mengapa dia datang ke rumahku pada jam segini, dan mengapa dia berkeringat begitu banyak. Tapi melihatnya meniup teh dengan wajah merah seperti itu, aku merasa, "Mungkin aku bisa menunda pertanyaanku sebentar."


...Kapan terakhir kali aku berbicara berdua saja dengan Sato-san? Entah kenapa, aku merasa lebih nyaman berbicara dengannya hari ini, dan itu saja sudah membuatku bahagia.


"Apa yang ayah katakan?".


"Dia bilang aku harus menghubunginya setelah tenang. Dia sedikit marah," jawabnya.


"Ugh... terima kasih banyak, Oshio-kun..."


"Dia juga bilang aku tidak perlu khawatir soal jam malam untuk hari ini."


"Syukurlah," katanya dengan nada lega.


Setelah teh cukup dingin, akhirnya Sato-san mulai meminumnya. Saat aku memperhatikannya menyeruput teh dengan gerakan kecil seperti hewan mungil, dia tiba-tiba bergumam, "Kalau begitu, aku berharap kita bisa seperti ini selamanya."


Kata-kata yang tiba-tiba itu benar-benar menghantamku. Rasanya seperti semua panas di tubuhku menguap, dan perutku seolah melayang. Selamanya seperti ini?


Pikiranku segera dipenuhi dengan berbagai pertanyaan. Apa yang sebenarnya dia maksud dengan pernyataan itu? Bagaimana aku harus menanggapinya? Sebagai pacarnya, apa tanggung jawabku? Apakah aku salah dengar?


Tapi kemudian aku sadar.


"Tunggu... tidak, ini bukan soal jawaban yang benar atau salah," kataku dalam hati.


"Aku juga berpikir begitu," kataku akhirnya.


Begitu aku mengatakan itu, semua keraguan yang berputar di kepalaku selama beberapa hari terakhir tiba-tiba menghilang. Kata-kata berikutnya mengalir begitu saja.


"Aku juga berharap kita bisa seperti ini selamanya."


Ternyata, hal sesederhana itu. Untuk menyampaikan perasaanku, aku tidak perlu berpikir terlalu rumit. Aku hanya perlu mengatakannya. Karena aku adalah pacarnya Sato-san.


"Ya," katanya sambil tersenyum malu-malu, masih memegang mugnya.

Wajah Sato-san yang memerah bukan hanya karena efek mandi, begitu juga dengan wajahku. Mungkin wajah kami berdua sekarang sama-sama merah.


"Rasanya aneh kalau diucapkan langsung, ya... hahaha."


"Ya, aku juga! Wajahku jadi memerah seperti ini... hahaha."


"Ha... haha..."


Hening menyelimuti ruangan untuk beberapa saat. Detik-detik di jam dinding terdengar jelas, begitu juga suara mesin pemanas dan desis angin dari luar jendela. Malam musim gugur yang panjang, waktu hampir menunjukkan pukul 21.00.


...Bahaya. Keheningan ini membuatku semakin sadar akan situasi ini. Aku dan Sato-san berdua saja di kamarku, dia memakai bajuku... akhirnya aku tak tahan lagi dan menoleh sekilas untuk melihatnya.


Yang kulihat adalah pemandangan yang cukup aneh.


"Hmm?"  


Sato-san menutup matanya dan mengetukkan jari telunjuknya di pelipisnya. Atau lebih tepatnya, dia menekan pelipisnya berulang kali, seolah sedang mencari sesuatu.

Bibirnya bergerak seakan-akan sedang mengucapkan sesuatu, tapi suaranya sangat pelan sehingga aku tidak bisa mendengarnya.


Apa yang dia lakukan? Aku belum pernah melihatnya seperti ini, jadi aku tidak tahu bagaimana harus bereaksi.


"S-Sato-san? Apakah kepalamu sakit?" tanyaku.


Tidak ada jawaban. Dia bahkan tampak tidak mendengar suaraku. Keadaan aneh ini berlangsung sekitar sepuluh detik sebelum dia tiba-tiba bergumam, "Oke," dan berhenti menekan pelipisnya.


Apa yang dia maksud dengan "oke"? Sebelum aku sempat bertanya, Sato-san menoleh ke arahku, dan saat itulah aku menyadari sesuatu yang aneh.


Wajah Sato-san yang tadinya merah kini kembali normal.


"Hei, Oshio-kun, boleh aku melihat albummu?"


"Eh?"


Suara bodoh keluar dari mulutku karena betapa tidak masuk akalnya situasi ini.  


Album? Kenapa? Atau tunggu, Sato-san kelihatan beda, ya?  

Aku membeku, dikelilingi oleh berbagai pertanyaan, sementara Sato-san memandang berkeliling ke dalam ruangan, lalu berdiri dengan tiba-tiba.  


Karena gerakannya begitu alami, aku terlambat bereaksi.  


"Uhm, di sini, mungkin?"  


──Sato-san mulai mengaduk-aduk rak bukuku!  


"Tunggu, tunggu tunggu tunggu!?"  


Aku buru-buru berdiri dan berlari menghampirinya.  


Yah, kurasa sih tidak ada buku yang aneh di rak itu... tapi tetap saja! Rasanya nggak nyaman buku-bukuku dilihat oleh pacarku!  


Lagipula, Sato-san bukan tipe orang yang suka melakukan hal seperti ini, kan!?  


"Sato-san, itu sungguh memalukan, lho!?"  


"Oh, ketemu, album kelulusan SMP Sakuraba."  


"Dengarin, dong!?"  

"Ssssh."  


Sato-san menoleh padaku sambil meletakkan jari di bibirnya, tersenyum nakal. Aku pernah melihat senyuman iblis kecil itu sebelumnya.  


Tidak salah lagi... Sato-san yang ada di depanku ini...  


"Oshio-kun, malam-malam nggak boleh berisik, tahu."  


"Ugh!"  


Gerakannya yang terkekeh kecil membuatku tanpa sadar merasa berdebar.  


Tidak salah lagi! Ini Sato-san yang sama seperti setelah Festival Bunga Sakura, yang memanipulasiku sesuka hati dengan senyuman iblisnyanya! Kenapa dia muncul sekarang!?  


"Ayo duduk, Oshio-kun, kita lihat bareng-bareng."  


Dengan album tebal di tangannya, Sato-san duduk duluan di depan meja dan mengajakku duduk.  


Di ruangan tertutup tanpa jalan keluar, hanya ada aku dan Sato-san si setan kecil... Situasinya berbahaya. 

Tapi sekarang, aku hanya bisa mengikutinya.  


Aku mencoba duduk berseberangan seperti tadi...  


"Bukan disitu, Oshio-kun! Di sebelah! Duduk di sebelahku!"  


"Eh?"  


"Kalau duduk di seberang, kita susah lihat albumnya! Ayo, sini!"  


"Uh, iya... benar juga, sih..."  


Aku mengambil bantal, berjalan memutar meja, dan pindah ke sebelahnya.  


Aku benar-benar pasrah.  


D-Dekat sekali... Sato-san yang memakai bajuku dekat sekali...!  


"Kamu benar-benar mau lihat? Aku benar-benar malu, lho..."  


"Tentu saja aku mau lihat, kan aku udah sampai di kamarmu, fufu."  


"Ugh."  

Senyuman iblis kecil Sato-san makin mendekat!!  


Dan lagi, aku mencium aroma sampo dari rambutnya yang masih agak basah──sampo yang biasa kupakai!!  


"Baiklah! Mari kita lihat! Walaupun aku benar-benar malu!"  


Sekarang, aku berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang.  


Sudahlah, aib masa lalu bukan masalah besar! Aku harus segera mengalihkan perhatian, atau aku bakal jadi aneh!  


Aku memutuskan untuk melihat album.  


Tapi... Sato-san belum juga membalik halamannya.  


Dia hanya meletakkan tangannya di atas album tanpa bergerak.  


"Ada apa, Sato-sa──"  


Saat aku hampir mengatakan itu, tiba-tiba saja sesuatu terjadi.  


"Eiii!"  


──Sato-san bersandar di bahuku!  


"──Ughh!?"  


Kalau bukan karena dia bersandar padaku, aku pasti sudah melompat dari tempat dudukku ke karpet. Meski begitu, jantungku tetap terasa mau meloncat sampai ke tenggorokan.  


"...Oshio-kun, kamu deg-degan."  


"....! ....!"  


Dia berbisik padaku dalam jarak super dekat, dan aku hampir berteriak "Ya, tentu saja aku deg-degan!!" dengan suara keras, tapi harga diriku sebagai pria menahanku.  


"Y-Yah, tentu... deg-degan, lah..."  


"Benar, ya. Aku juga deg-degan, kok."  


"...."  


Untung saja kami berada dalam posisi di mana kami tidak bisa saling melihat wajah.  


Kalau Sato-san melihat wajahku sekarang, aku mungkin nggak akan pernah bisa pulih lagi seumur hidup!!  


Apa yang terjadi!? Sato-san kenapa, sih!?  


Beberapa jam yang lalu saja, dia bahkan nggak bisa menatapku langsung...!  


"...Berduaan sama-sama pakai pakaian santai di kamar ini, rasanya kayak nginep bareng, ya. Deg-degan, deh, fufu."  


──Dan dia bukan tipe cewek yang mengucapkan kalimat berani seperti ini!!  


Aku nggak tahan lagi!  


"A-ayo kita lihat albumnya!"  


Menyerah! Aku angkat bendera putih!  


Aku menyerah dan mulai membuka "Album Kelulusan SMP Sakuraba" sendiri.  


"Aku baru pertama kali lihat lagi album kelulusan SMP-ku..."  


"Oh, ini kamu, kan, Oshio-kun! Kamu pakai seragam sekolah laki-laki!"  


"Ketemunya cepat banget! ...Beneran, rasanya malu, ya."  


"Baru dua tahun yang lalu, tapi wajahmu lumayan berubah, ya. Oh, ini Ren-kun. Dia sekelas sama kamu, ya."  


"Nggak tahu kenapa, tapi Ren selalu sekelas sama aku sejak kelas satu SMP. Ren waktu itu jago main sepak bola, bahkan mungkin lebih populer daripada sekarang."  


"Kamu udah akrab sejak waktu itu, ya."  


"Yah, Ren waktu SMP sibuk sama klub sepak bolanya, jadi nggak terlalu sering main bareng seperti sekarang."  


"Kamu nggak ikut klub, Oshio-kun?"  


"Aku sibuk bantuin di kafe."  


"Jadi dari dulu kamu udah kerja di Cafe Tutuji, ya. Keren banget, Oshio-kun."  


"Cuma bantu-bantu aja, kok... Ah, wali kelasku, kangen juga, ya."  


"Benar, ya..."  


Album kelulusan yang tadi terasa begitu memalukan, kini malah menjadi penyelamatku.


Rasa canggung yang sempat ada tadi lenyap, dan sambil membalik halaman-halaman album, aku dan Sato-san asyik membicarakan masa-masa SMP.


Saat baru masuk sekolah, aku adalah anak kelima terpendek di kelas, tapi aku percaya suatu hari tubuhku akan tumbuh tinggi. Setiap hari aku minum susu yang dicampur dengan protein milik ayah.  


Ketika memasuki tahun kedua dan akhirnya tumbuh tinggi, aku mulai bisa mengikuti kegiatan olahraga seperti anak-anak lain.  


Ada juga saat-saat ketika aku bertugas membawa Ren yang nakal ke ruang guru.  


Ketika mengalami hari-hari sulit, aku akan keluar rumah pada malam hari dan duduk di jembatan kecil di depan sekolah, sambil menatap sungai malam bersama Ren dan minum lemon soda.  


Sebelum ujian masuk SMA, aku sering menghabiskan waktu di kafe terdekat, di mana pemilik kafe yang sudah tua sering membuatkan sup dari bahan-bahan sisa untukku.  

Namun, saat pulang, aku selalu merasa sangat lapar sehingga diam-diam membeli roti manis di minimarket dan memakannya di perjalanan.


Semakin banyak aku bercerita, semakin banyak pula kenangan yang kembali, hingga aku lupa waktu. Sesekali aku berpikir,


“Apakah Sato-san benar-benar tertarik dengan cerita seperti ini?” dan aku pun bertanya padanya. Setiap kali, ia hanya menjawab,  


"Menarik kok,"  


Sambil tersenyum dengan tulus, membuatku semakin bersemangat untuk bercerita.


Aku juga menemukan sesuatu yang baru—betapa bahagianya aku saat seseorang yang kucintai mau mendengarkan cerita tentang diriku.


"…Sudah habis,"  


Gumam Sato-san dengan nada enggan saat kami menutup album setelah membaca pesan-pesan dari teman-teman sekelas.  


Melihat jam, ternyata sudah hampir 30 menit berlalu sejak kami mulai melihat album itu. Luar biasa, satu album kelulusan saja bisa membuat kami menghabiskan begitu banyak waktu.  

Namun, waktu yang menyenangkan ini tampaknya akan segera berakhir.


"Sato-san, kamu sudah tenang sekarang?"  


"…………"  


Tampaknya dia juga merasakan bahwa momen ini akan segera berakhir. Saat aku menoleh ke arahnya, dia masih bersandar di bahuku (aku sudah terbiasa sekarang), terlihat tidak puas dengan bibirnya yang sedikit mengerucut.  


"Kazuharu-san memang bilang tidak apa-apa, tapi dalam hatinya, dia pasti khawatir. Kamu harus pulang sekarang sebelum dia semakin khawatir, ya?"  


"……Tidak apa-apa, aku bisa pulang begini saja."


"Ugh…!"  


Sial, Sato-san si "gadis iblis" ini tahu betul cara mengguncang perasaanku!


Aku terjebak dalam pertarungan batin sejenak, bergulat dengan keinginan yang tak bisa kutunjukkan pada orang lain… dan akhirnya aku menyerah, menghela napas panjang.

"Kalau soal perasaan, tentu saja aku nggak ingin kamu pulang. Tapi aku sudah berjanji pada Kazuharu-san. Aku bilang aku akan memastikan kamu pulang dengan selamat. Aku ingin terus bersama kamu, tapi tentu dengan persetujuan semua orang."  


"……………… Penakut."  


"……"  


Jangan biarkan dirimu terpengaruh, Oshio Souta… Meski begitu, kamu tahu apa yang kamu lakukan benar… Jangan menangis…


"Bagaimanapun, malam ini kamu tetap harus pulang."  


"……"  


Melihat aku tak tergoyahkan, Sato-san menggembungkan pipinya dengan ekspresi mengancam. Imut, sangat imut, tapi tetap tidak boleh.  


"…Kalau begitu, setidaknya kabulkan satu permintaanku."  


Sato-san berkata sambil masih menggembungkan pipinya. Jarang sekali dia meminta sesuatu, mengingat dia biasanya pemalu dan menahan diri.  

Dia tampaknya tidak berniat pergi sebelum aku menuruti permintaannya. Dia bahkan menekan kepalanya ke belakangku dengan gemas.


"…Baiklah, apa yang kamu inginkan?"  


Begitu aku mengalah, Sato-san akhirnya berhenti bersandar di tubuhku dan menatapku dengan matanya yang besar dan hitam. Jantungku berdetak cepat saat ia berkata satu kalimat,  


"Aku pengen coba makan anman."

TLN : Anman (あんまん) adalah sejenis roti kukus khas Jepang yang diisi dengan pasta kacang merah manis (anko).



Mendengar cerita tentang masa SMP-ku membuat Sato-san ingin mencicipi roti anman.  


Aku lega karena kupikir dia akan meminta sesuatu yang jauh lebih rumit. Tapi di malam yang dingin ini, aku merasa perlu memakai jaket dan meminjamkan mantel serta syal untuk Sato-san. Aku berpikir untuk mengantarnya pulang sambil membawa kantong berisi pakaian yang ia tinggalkan, namun…


"──Tidak!!"  


Dia benar-benar menolak dengan tegas, jadi aku menyerah dan membiarkan dia membawa barang-barangnya sendiri. Apakah dia merasa pakaiannya bau keringat? Aku tidak begitu peduli, tapi jika dia merasa terganggu, aku tidak akan memaksa.


Jadi, kami pergi bersama, mengembuskan napas putih di udara dingin malam, membeli dua buah anman dari minimarket yang berjarak lima menit, lalu keluar dari toko yang terang benderang.


"…Hangat ya,"  kata Sato-san begitu keluar dari toko.  


Aku pun menjawab, "Iya, hangat," menirukan ucapannya.  


Panas dari anman yang terasa melalui kertas pembungkusnya perlahan melemaskan jari-jariku yang kedinginan, dan aku bersyukur karenanya.


Kami bersandar pada palang besi di depan toko, berdiri sejajar. Tiba-tiba aku mendongak.  


Bulan purnama sudah lewat beberapa waktu yang lalu, tetapi malam ini bulan masih cukup indah. Karena udara yang dingin dan jernih, bintang-bintang juga terlihat sangat jelas. Aku menghela napas pelan dan terpesona oleh keindahan langit malam.


"Bulan yang indah, ya?"


"............Iya."  


Setelah jeda singkat, Sato-san menjawab, lalu mulai membuka bungkus anman. Sepertinya udara dingin telah membuat ujung telinganya memerah.  


...Sudah berapa tahun ya sejak terakhir kali aku makan anman?  


Berbeda dengan roti kukus Tionghoa lainnya, permukaan anman yang halus dan putih itu terasa sangat nostalgia, mengingatkan pada mantou yang tradisional. Uap yang mengepul membawa aroma khas, mirip dengan roti kukus sake.  


"Selamat makan."  


Sato-san berucap kecil sambil menggigit anman dengan hati-hati agar tidak terbakar.  


...Manis.  


Isian kacang manis yang lengket dan panas menari di atas lidah, rasa wijen yang kaya menambah kenikmatannya. Kulitnya yang lembut juga menyenangkan. Enak. Tentu saja enak, tapi lebih dari itu, kehangatan dari anman terasa menembus tubuh yang dingin oleh angin malam musim gugur, membuatku merasa nyaman.  


"Ini sebenarnya pertama kalinya aku makan anman..."  

Sato-san tersenyum malu sambil menghembuskan napas putih.  


"Enak ya, aku mungkin akan memakannya lagi sendiri."  


...Tampaknya Sato-san juga menyukainya.  


Biasanya, ketika berbicara tentang roti kukus Tionghoa, kebanyakan orang akan memilih daging babi atau pizza, sehingga anman sering dianggap kurang populer.  


Itulah mengapa aku merasa senang ketika Sato-san berkata begitu tentang anman yang membawa kenangan masa kecilku.  


Saat kami berdua berdiri, menghembuskan napas putih ke udara malam musim gugur,  


"Hei, Oshio-kun."  


Tiba-tiba namaku dipanggil.  


"Tahu tidak, kenapa aku ingin makan anman?"  


"Hmmm? Bukannya tadi kamu bilang, 'setelah mendengar cerita tentang masa SMP-mu, aku jadi ingin mencoba anman juga,' kan?"  


"Tentu saja, mendengar ceritamu membuatku ingin mencobanya, tapi... lebih dari itu, aku ingin tahu."  


"Ingin tahu?"  


"Iya, bukan hanya album, tapi aku ingin tahu lebih banyak tentangmu, tentang masa SMP-mu, makanan favoritmu, dan hal-hal lainnya..."  


"...Terima kasih."  


Aku terlalu malu dan akhirnya mengalihkan pandanganku. Dasar pengecut.  


"Heh, sebenarnya, aku punya cerita yang ingin kuberitahu padamu... tunggu sebentar, ya?"  


"Hmm?"  


"Rasanya... switch-ku sebentar lagi akan mati, jadi aku harus memikirkan urutan ceritanya dulu..."  


"Switch...?"  


Apa maksudnya tiba-tiba ngomong soal switch?  


Ngomong-ngomong, rasanya sejak meninggalkan rumah, Sato-san jadi semakin diam, ya...?  


"Pertama-tama... Oshio-kun pernah melihat Minsta-ku?"  


"Kadang-kadang."  


Aku menjawab secara refleks. Tentu saja bohong besar. Aku sudah pernah bilang sebelumnya, aku mengaktifkan notifikasi Minsta Sato-san, jadi aku selalu memeriksa setiap postingan barunya.  


Entah kenapa aku tidak bisa jujur mengakui itu, dan sedikit merasa kesal pada diriku sendiri.  


"Begitu... ehm, mungkin ini permintaan aneh, tapi..."  


"Apa?"  


"Untuk sementara, jangan lihat Minsta-ku, ya."  


Seolah ada suara retak dari dalam dadaku.  


Aku teringat judul artikel yang pernah kulihat di internet: "Apakah Harus Unfollow Media Sosial Mantan Pacar?"  


Namun, sepertinya Sato-san menyadari bahwa ucapannya mungkin disalahartikan olehku.  


"B-bukan begitu! Bukan berarti aku tidak ingin Oshio-kun melihat Minsta-ku, cuma... mungkin, aku akan banyak memposting foto yang jelek, jadi..."  


Sato-san tampak gelisah dan kesulitan menyelesaikan kalimatnya.  


──Sato-san menjauh darimu hanya ketika dia perlu melakukan sesuatu dengan kekuatannya sendiri.  

──Mungkin kau bisa lebih percaya pada hubungan yang telah kau bangun dengan Sato-san dan menunggu sedikit lebih lama.  


Kata-kata Karahana-kun kembali terngiang di kepalaku.  


Meskipun aku tidak tahu situasinya...  


"Oke, aku tidak akan melihatnya. Kalau nanti kamu mau cerita alasannya, aku siap mendengarkannya."  


Aku memutuskan untuk mempercayai Sato-san.  


Setelah sampai di rumah, aku akan mematikan notifikasi Minsta-nya. Aku berjanji pada diriku sendiri.  


"Syukurlah..."  


Sato-san menghela napas lega.  


"Lalu, tentang cerita berikutnya..."  


Nada suaranya semakin ragu. Di tangannya, dia memegang bungkus anman yang sudah dia remas menjadi bola.  


Entah kenapa, sepertinya Sato-san yang biasa mulai kembali.  


"Um... seperti yang kau tahu, aku sering bersikap buruk saat aku gugup, kan...?"  


...Tidak ada gunanya berbohong kali ini.  


"Iya, kamu memang punya kecenderungan begitu."  


"Dan karena itu, aku merasa sudah merepotkanmu banyak sekali..."  


"Tidak usah dipikirkan."  


"Aku tidak bisa begitu...! Jadi, aku mencoba sebuah eksperimen..."  


"Eksperimen?"  


"Iya, eksperimen untuk mematikan switch di dalam diriku..."  


Lagi-lagi dia menyebutkan kata "switch" yang misterius itu.  


"Saat bekerja dengan Madoka-chan selama liburan musim panas, aku menyadari ada momen ketika aku terlalu gugup sehingga menjadi tidak ramah. Di momen itu, aku merasakan seperti ada switch yang menyala di dalam diriku."  


Semua orang pasti menyesuaikan perilaku dan cara bicara mereka tergantung pada situasinya.  


Tampaknya, dalam kasus Sato-san, itu adalah "switch sikap dinginnya".


"Aku... aku sangat benci pada diriku yang berubah sikap tergantung pada orang yang kuhadapi, mengganti 'switch' dan mengubah sikap. Aku mencoba sekuat tenaga untuk melupakan switch di dalam diriku agar tidak menyala... Tapi hari ini, setelah bicara dengan Himeui-san, aku sadar."  


"…Apa itu?"  


"Bukan melupakannya, melainkan sebaliknya, bagaimana kalau aku mulai menyadari switch di dalam diriku dan belajar untuk menggantinya dengan kemauanku sendiri?"  


"Mengganti switch dengan kemauan sendiri…"  


Aku teringat Himeui-san. Dia juga memiliki karakter virtual "Minstagrammer Hime" yang dia ganti dengan sadar tergantung situasi. Mungkin yang dikatakan Sato-san mirip dengan itu.  


Aku mengerti maksudnya, tapi kenapa dia membahas ini sekarang──?  


Tiba-tiba terdengar suara "keresak" dari arah tangannya.  


Ketika aku melihat ke belakang untuk melihat apa yang terjadi… bungkusan anman yang kosong di tangannya telah diremas dengan kuat hingga hancur.  


"Eh?"  


Kepalan tangannya gemetar, dan mulai memerah dengan keringat yang lembap.  


"Ja-jadi... aku mencoba hari ini... aku coba menyalakan switch lain di dalam diriku..."  

Akhirnya, aku menyadari ada sesuatu yang aneh padanya. Ketika aku mengangkat pandanganku──wajah Sato-san terlihat sangat berbeda dari yang pernah kulihat sebelumnya.  


Aku pernah melihatnya malu beberapa kali, tetapi kali ini bukan hanya sekadar malu. Wajahnya benar-benar serius dan tegang...  


"Aku… aku sangat ingin berbicara denganmu, Oshio-kun, jadi aku... mencoba..."  


"Sato-san...?"  


"Tapi... aku... sepertinya sudah mencapai batas..."  


"Sato-san!?"  


Di tengah ucapannya, tiba-tiba tubuh Sato-san terkulai lemas.  


Aku buru-buru menopang tubuhnya. Ketika aku merasakan suhu tubuhnya yang sangat tinggi melalui jaketnya, aku terkejut.  


Saat itu, semua keanehan Sato-san selama satu jam terakhir dan pembicaraannya tentang "switch" akhirnya terhubung di pikiranku.  


Apakah ini... efek samping!?  

Kemungkinan besar, ritual "menekan pelipis" aneh yang dia lakukan di kamarku adalah cara untuk mengaktifkan switch tertentu di dalam dirinya.  


Mulai dari sana, Sato-san menyalakan switch lain di dalam dirinya—bukan switch sikap dinginnya, melainkan "Switch Iblis kecilnya!”


Itulah kenapa dia bisa melakukan tindakan-tindakan yang berani dan tidak biasa... tapi itu hanya bersifat sementara. Artinya, sekarang Sato-san sedang mengalami efek samping dari beralih ke mode iblis kecil itu, di mana rasa malu yang sebelumnya terpendam muncul kembali.  


Rasa malu yang dia alami sekarang pasti jauh lebih besar dari biasanya...  


"Ma-maaf, Oshio-kun... aku nggak bisa berdiri..."  


"Sato-sa──n!?"  


Sato-san pingsan di pelukanku, matanya berputar-putar.  


Situasi yang tadinya tenang tiba-tiba berubah menjadi kekacauan besar!  


A-apa yang harus kulakukan!?  

"Tunggu! Aku akan menelepon Kazuharu-san untuk menjemput kita dengan mobil!"  


Aku segera mengeluarkan ponsel dan menelepon Kazuharu-san lagi.  


"Sebenarnya… aku masih belum... memberitahumu... hal yang paling penting, Oshio-kun…"  


Sambil menunggu Kazuharu-san mengangkat telepon, aku mendengar Sato-san menggumamkan sesuatu di pelukanku, tetapi suaranya terlalu pelan untuk ku dengar.


...Aku merasa idenya untuk mengganti "switch" sebenarnya cukup bagus. Meskipun hanya berdasarkan ide spontan, ternyata berhasil, dan saat aku menyalakan "Switch Iblis Kecil" (nama sementara)... aku merasa seperti orang lain. 


Hal-hal yang biasanya tidak mungkin aku katakan karena terlalu malu, tiba-tiba bisa kuucapkan, dan tindakan yang biasanya tidak berani kulakukan pun mendadak terasa mungkin. Aku bahkan tidak tahu bahwa ada sisi berani dalam diriku sendiri. Berkat itu, aku akhirnya bisa berbicara dengan Oshio-kun dengan benar setelah sekian lama, jadi... aku rasa, pada akhirnya itu baik, iya, baik. 


Tapi... tapi...


"AAAAAAAHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH!!!!!!!!!!"


"──Berisik, Koharu!!"  


Untuk yang kesekian kalinya, aku berteriak karena teringat apa yang terjadi, dan ayah yang sedang mengemudi pun kembali memarahiku untuk yang kesekian kalinya. Tapi mau bagaimana lagi, ini seperti ledakan spontan, aku tidak bisa mengontrolnya! 


Aku merebahkan diri di kursi belakang, menenggelamkan wajahku ke kursi, dan kembali berteriak:  


"AAAHHHHHHHHHHHH!!!!!!"  


Aku mendengar ayah menghela napas di kursi depan, dan rasa malu di dalam diriku bertambah lagi.  


Aaaahhhhh!! Malu sekali!! Malu sampai rasanya ingin mati!! Kenapa aku bisa melakukan hal-hal seperti ituuuu...! 


Penyesalan datang belakangan, dan pikiranku sekarang sepenuhnya dipenuhi oleh rasa malu yang membara. 


──Ya, inilah harga yang harus dibayar untuk menggunakan Switch Iblis Kecil. 

Semakin lama waktu berlalu sejak switch itu dinyalakan, semakin aku kembali menjadi diriku yang pemalu dan pendiam. Begitu switch sepenuhnya mati, rasa malu karena semua hal yang telah kulakukan datang menyerbu secara bersamaan. 


Kontras dengan kondisi "high" saat switch menyala sangat besar, dan rasa malu yang menyerangku sekarang sudah tidak tertahankan, sampai-sampai aku tidak bisa menahan diri untuk tidak berteriak!  


"Uuuuughhh...!!!" 


──"Oshio-kun, malam-malam nggak boleh berisik, tahu."  

──"Oshio-kun, kamu deg-degan."  

──"Berduaan sama-sama pakai pakaian santai di kamar ini, rasanya kayak nginep bareng, ya. Deg-degan, deh, fufu."  

──"Tidak apa-apa, aku bisa pulang begini saja."  

──" Penakut."  


"Uuuggghhhhhh....!!!" 


Aku pernah mendengar cerita tentang orang yang mabuk berat dan bertindak berlebihan, lalu menyesal keesokan harinya setelah mabuknya hilang. Mungkin ini rasanya seperti itu. 


Tidak! Switch Kecil Setan ini terlalu berbahaya! Aku harus menyegelnya untuk selamanya! Aku tidak akan pernah menggunakannya lagi!

"…Perlukah aku menanyakan apa yang terjadi?"  


"Jangan tanya!!"  


"…Sepertinya kau telah merepotkan Oshio Souta. Lain kali aku akan mengucapkan terima kasih padanya..."  


"Jangan sebut nama Oshio-kun sekarang!!"  


Mendengar nama Oshio-kun disebutkan saja sudah cukup untuk memicu rangkaian ingatan memalukan yang terus muncul kembali...!



Aku menggeliat di kursi belakang, memanfaatkan ruang secara berlebihan, sementara ayah sekilas melihatku melalui kaca spion dan menghela napas entah untuk yang keberapa kalinya.


"…Jadi, bolehkah aku bertanya kenapa kamu melakukan ini?"


"…Itu…"


Mendengar pertanyaan itu, aku akhirnya berhenti mengeluarkan suara aneh.  


Mungkin karena satu jam penuh rasa malu yang kumakan membuat hatiku lemah.  


Atau mungkin ini juga salah satu efek samping dari "Switch Iblis Kecil"?  


Kalau biasanya, aku tidak akan pernah melakukan hal seperti ini…


"Aku hanya ingin memastikan kalau aku benar-benar berpacaran dengan Oshio-kun…"


Berkonsultasi tentang cinta dengan ayah? Itu gila.


"Aku ingin menyampaikan perasaanku… dan aku ingin tahu perasaan Oshio-kun juga… Pacaran itu penuh dengan hal-hal yang tak terlihat, tapi aku ingin memastikan hal-hal yang tak terlihat itu dengan jelas… Kalau tidak, rasanya semuanya bisa hilang begitu saja…"


"…Begitu ya."


Mendengar jawaban ayah yang datar, wajahku langsung memerah.  


Lalu, amarah mulai muncul, dan aku segera bangkit dan berbicara cepat-cepat.


"Tapi, awalnya ini semua salah ayah, kan!? Ayah bilang kalau aku tidak bisa menambah followers di Minsta menjadi 600 orang dalam sebulan, ayah akan membatasi hubunganku dengan Oshio-kun…!"


…Tidak, ini hanya aku yang melampiaskan kemarahan.  


Aku yang lalai karena update Minsta, nilai-nilaiku yang menurun, dan aku yang menghindari Oshio-kun.  


Semua benih itu kutanam sendiri.


"…Ketika aku berpikir kalau followers-ku tidak akan bertambah dan aku tidak bisa lagi bertemu dengan Oshio-kun, jarak di antara kami akan semakin jauh… aku jadi tidak bisa diam…"


Kemudian aku berpikir kalau Oshio-kun akan direbut oleh Himeui-san──  


Begitu pikiran itu muncul, aku tidak bisa memikirkan cara lain.  


Benar atau salah, aku merasa harus menyampaikan perasaanku yang jujur saat ini.


Pada akhirnya, sebelum aku bisa menyampaikan semuanya, "switch" itu mati begitu saja...  


Ah, gawat, aku mulai sedikit menangis.  


"…Tunggu sebentar, Koharu."  


"Apa, Ayah? Aku lagi benar-benar terpuruk sekarang..."  


Aku menatap ayah melalui kaca spion dengan tatapan tajam.  


Anehnya, ayah tampak terkejut.  


"Kamu benar-benar mencoba menambah followers sendirian, seperti orang bodoh?"  


Sekarang giliran aku yang terkejut dengan perkataan ayah.  

…Hah?  


"Tapi, bukannya ayah yang bilang begitu…?"  


"Haa────… Sifatmu yang keras kepala dan tidak fleksibel saat sudah punya banyak pikiran, itu benar-benar mirip aku saat muda…"  


Aku hanya bermaksud menjawab dengan normal, tetapi ayah menghela napas panjang sambil memijat dahinya. Ini napas terpanjang hari ini.  


Apa maksudnya ini...?  


"──Dengar, Koharu. Mustahil bagimu untuk menambah followers jadi 600 orang sendirian. Kamu bahkan tidak bisa mengambil satu foto yang layak."  


"…………………………Hah?"  


Pikiranku terhenti.  


Butuh waktu untuk mencerna apa yang ayah katakan──dan kemudian,  


"Apa!?"  


Aku mencondongkan badan keluar dari kursi dan berteriak.  


Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku marah pada seseorang.  


"──Ayah jahat banget!! Ayah tahu aku nggak bisa melakukannya sejak awal, tapi tetap memberikan tantangan yang mustahil hanya untuk membuatku sengsara! Kamu terburuk! Bodoh! Manusia jahat!"  


"Jangan berteriak di telinga orang yang sedang menyetir! Dan kamu salah dari dasar pemikirannya!"  


"S-salah pemikiran?"  


"Kapan aku bilang kamu harus menambah follower 600 orang sendirian!?"  


"Eh...?"  


Pikiranku terhenti lagi.  


…Hah? Kalau dipikir-pikir… memang ayah tidak pernah bilang begitu, ya?  


Tapi… bukannya…?  


"Setiap orang punya kelebihan masing-masing! Kalau merasa tidak bisa melakukannya sendirian──mintalah bantuan teman-temanmu!"

  

"Ah..."  


Itu seperti mata terbuka untuk pertama kalinya.  


...Benar, kenapa aku sampai melupakan hal sepenting ini?  


Teman-temanku bahkan lebih banyak dari followers-ku di Minsta.  


"Eh, tunggu…? Kalau begitu, aku…"  


Ternyata, aku tidak harus menambah follower dengan usahaku sendiri.  


Kalau begitu… rasanya aku hampir menemukan sesuatu…  


──Kunci dari Minsta adalah menyampaikan siapa dirimu sebagai pribadi kepada para followers.  

──Kamu bahkan belum bisa menyampaikan perasaanmu dengan baik kepada pacarmu, apalagi kepada followers.  


Aku tersadar.  


"──Aku tahu caranya!!!!"  


"Guah!?"  


Karena aku tiba-tiba berteriak di telinga ayah, dia hampir salah mengemudi, dan suara klakson mobil dari arah berlawanan menggema di malam kota Sakuraba.  


Meskipun ayah (yang punya SIM emas) berhasil mengendalikan mobil kembali, wajahnya langsung memucat dan keringat dingin mengalir di sekujur tubuhnya.  


Namun, semua itu tidak menjadi masalah karena pencerahan besar yang baru saja aku dapatkan membuatku bergetar.  


Karena aku telah menemukannya.  


Dengan cara ini, dengan metode ini──  


"Aku bisa bersaing dengan Himeui-san, baik di Minsta maupun dalam urusan cinta!!"  


Jangan bercanda, Koharu…


Ayah yang bergumam dengan suara yang nyaris tak terdengar, 

sepertinya dalam beberapa detik terakhir ini langsung terlihat jauh lebih tua.


Aku, Himeui Koaru,saat ini aku sedang marah.  


Itu terjadi di kelas sepulang sekolah, sehari setelah aku menyatakan perang terhadap Sato-san di Shida Coffee.  


"──Oshio-kun~! Kamu lagi-lagi mengabaikan pesan MINE-ku, kan~!!"  


Bukan hanya sekali, tapi dua kali!! Padahal aku sudah mengumpulkan keberanian untuk mengirim pesan itu!  


"Maaf! Kemarin aku benar-benar sibuk dan tidak sempat buka MINE!!"  


"Itu alasan yang sama untuk kedua kalinya~!!"  


"Maaf!! Sungguh───maaf!!"  


Sepertinya Oshio-kun merasa bersalah karena dia terus meminta maaf.  


Sebenarnya, aku juga tidak benar-benar marah seperti yang terlihat saat aku dalam mode Hime.  

Meskipun jujur saja, dua hari berturut-turut diabaikan rasanya menyakitkan, tapi… kemarahanku ini lebih sebagai pura-pura.  


Lagi pula, aku tahu kalau Oshio-kun bukan tipe orang yang sengaja mengabaikan pesan di MINE. Pasti ada alasan kenapa dia tidak bisa membalas.  


Jadi, ada alasan khusus kenapa aku mendekati Oshio-kun di kelas sepulang sekolah ini.  


"Belakangan ini, Oshio sering terlihat dengan Himeui-san, ya?"  


Aku mendengar bisikan seperti itu dari sudut kelas.  


…Tepat sasaran.  


"Lebih tepatnya, sepertinya dia didekati oleh Himeui-san."  

"Baru saja diputuskan oleh Sato-san, sekarang didekati oleh Himeui-san, huh…"  

"Eh, jadi Oshio diputuskan sama Sato-san?"  

"Sepertinya begitu."  

"Ngomong-ngomong, kemarin Oshio-kun dan Himeui-san pulang bareng."  

"Eh? Apa mungkin mereka sudah pacaran?"  

"Cepet banget nih Oshio~, harus dibunuh nih."  


Gosip tentang "Himeui Kaoru dan Oshio Souta yang akrab" dan "Oshio Souta diputusin oleh Sato Koharu" langsung menyebar dengan cepat di antara teman sekelas.  


Semuanya berjalan sesuai dugaanku.  


Dalam hal menarik perhatian publik, Hime si influencer Minsta tidak pernah kalah dari siapa pun.  


Seperti yang aku katakan kemarin kepada Satou Koharu, aku tidak berniat untuk bersantai, baik dalam hal percintaan maupun di Minsta.  


"Kalau kamu sendiri, lebih suka Sato-san atau Himeui-san?"  

"Aku lebih suka Sato-san."  

"Kenapa?"  

"Soalnya, Sato-san dadanya lebih besar."  


…Aku mendengar percakapan yang sangat menjijikkan, tapi sebagai seseorang yang punya 60.000 follower, aku sudah terbiasa dengan komentar-komentar sampah, jadi aku nggak peduli…  


Ya… dadaku juga D kok…  


Tapi yah, itu nggak penting!  


Yang penting adalah aku sudah berhasil menciptakan situasi di mana "semua orang memperhatikan Oshio-kun"!  


Aku sudah melakukan riset kalau Sato Koharu itu sebenarnya sangat pemalu! Dengan begini, dia pasti tidak akan mudah mendekati Oshio-kun yang sedang jadi pusat perhatian!  


Ayo, kita lihat bagaimana reaksi Satou Koharu──!  


"Himeui-san, boleh bicara sebentar?"  


"Eh?"  


Saking tidak terduganya situasi ini, aku tanpa sengaja menunjukkan reaksi asliku.  


Teman-teman sekelas juga tampak terkejut, terlihat jelas dari gumaman yang mulai terdengar.  


Di saat seperti ini, tiba-tiba Sato Koharu memilih menghadapi masalah ini secara langsung.  


Di belakangku, berdiri Sato-san dengan tatapan yang dingin.  


Pertarungan antara mantan pacar dan pacar saat ini──pasti semua orang di kelas melihat situasi ini seperti itu.  

Perhatian di sekitar kami pun langsung melonjak drastis.  


Rasanya seperti situasi yang hampir memicu keributan.  


"…Aku pulang duluan ya, Souta."  


"Eh, oi, Ren!? Tunggu…!"  


Sepertinya, Misono Ren (aku rasa namanya begitu?) yang berdiri di samping Oshio-kun dan mengamati situasinya, secara naluriah menyadari bahaya dan buru-buru kabur dari tempat kejadian.


Hehe, padahal akan semakin seru, sayang sekali dia kabur.


"…Ah~, Sato-san, ada apa~? Ada perlu apa dengan Hime~?"  


Aku, tentu saja, menyambut "Sato-san yang dingin" sebagai "Hime si Minstagrammer." Tidak peduli apa yang terjadi, aku sudah siap agar tetap terlihat sebagai korban.


"Aku punya sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu, Himeui-san. Bisa ikut aku keluar sebentar?"  


…Panggilan klasik, ya.  


Apakah dia akan memperingatkanku untuk menjauh dari pacarnya?  


Atau akan meneriakiku dengan kata-kata kasar? Atau mungkin, kekerasan?  


Yah, bagaimanapun juga…  


"Oke~! Aku juga sebenarnya ingin berbicara dengan Sato-san~."  


──Kalau begitu, semuanya sesuai dengan rencanaku.  


Apa artinya sikap dingin dari Sato-san?  


Aku, yang terbiasa menghadapi kebencian tak terhitung jumlahnya di lautan internet yang luas, tidak mungkin kalah dari siswi SMA biasa, kan?


"Kalau begitu, sampai nanti ya, Oshio-kun~!"  


"U-uh, iya…"  


Sambil melambaikan tangan kepada Oshio-kun saat pergi, aku juga memastikan untuk meninggalkan kesan kuat di kelas.  


Baik dari segi vitalitas, potensi, maupun gairah, aku jauh lebih unggul.  

Pemenangnya, sudah pasti, adalah aku.



"Di sini sudah cukup, ya..."


Tempat yang Sato-san bawa aku adalah di belakang gedung sekolah—pilihan yang sangat klasik. Aku hampir tertawa keras-keras karena tempatnya terlalu klise, tapi aku menahannya.  


Yah, setidaknya tempat ini sepi dan cocok untuk bicara terbuka.  


"──Jadi? Apa yang ingin kamu bicarakan?"  


Tidak ada gunanya lagi menggunakan persona Hime sekarang, jadi aku berbicara dengan diriku yang asli.  


"Kalau kamu mau bicara soal hak pacar dan melarangku mendekati Oshio-kun, itu percuma. Aku sama sekali tidak berniat mendengarkan."  


Sato-san masih berdiri membelakangiku, tidak mengucapkan sepatah kata pun.  


Apa dia marah? Ah, mungkin aku membuatnya marah dengan sengaja sih.  


"Pacar itu cuma janji lisan, selama ada perasaan suka, hal itu tidak penting kan?"


“......”


Sato-san tiba-tiba berbalik dan mendekatiku dengan langkah besar. 

 

Hah, apa dia benar-benar marah? Tapi tidak masalah, aku sudah menekan tombol rekam di ponselku.  


Kalau dia mulai memaki atau bahkan menggunakan kekerasan, aku yang menang─


"──Apa yang kamu suka dari Oshio-kun, Himeui-san?"  


──Eh?  


Aku terkejut karena pertanyaan yang tidak aku duga sama sekali. Dalam kebingunganku, Sato-san terus mendekat dengan mata yang berkilauan, seperti anak kecil yang penasaran.  


"A-apa!?"  


Aku mundur ketakutan, tapi Sato-san terus mendekat.  


Serius, ini menakutkan!  


"Apa yang kamu suka dari Oshio-kun!?"  


"T-tunggu, dekat banget! Apa sih yang kamu inginkan!? Apa gunanya bertanya seperti itu!?"  


"Karena kapan lagi aku bisa dapat kesempatan seperti ini? Mendengar dari orang yang sama-sama menyukai Oshio-kun! Ayo, beri tahu aku apa yang kamu suka dari dia!"  


"Hah!?"  


Ini menakutkan! Benar-benar menakutkan!  


Aku lebih bisa memahami jika dia mulai memaki atau menggunakan kekerasan. Tapi… Sato Koharu yang ini, aku sama sekali tidak bisa mengerti! Apa yang dia pikirkan!?  


"Kamu gila, ya!? Mana mungkin aku mau kasih tahu hal seperti itu──!"

  

"Aku bisa kok."  


"Eh!?"


Dan aku terintimidasi.  


Kenapa? Karena aku tidak merasakan hal yang biasanya aku rasakan.  


Sebagai orang yang sangat sensitif terhadap niat buruk orang lain, aku sama sekali tidak bisa merasakan kebencian dari ekspresi, kata-kata, ataupun sikapnya.  


"Dia selalu baik kepada siapa pun, meskipun kadang dia bisa jadi sedikit usil. Dia sebenarnya orang yang suka khawatir, tapi selalu menolong orang lain yang kesusahan. Dia bahkan cemburu demi aku, meskipun aku bukan siapa-siapa."  


Sambil menghitung dengan jarinya, dia berbicara tanpa ada perhitungan atau maksud tersembunyi. Tidak ada taktik, tidak ada manipulasi.  


"Wajahnya yang malu-malu saat kesusahan, senyumnya yang nakal, wajah seriusnya saat bekerja… Semua itu, aku suka."  


Dia hanya membuka diri, begitu saja.  


Dia menawarkan semua yang ada dalam dirinya, tanpa memikirkan bagaimana hal itu akan mempengaruhi orang lain atau bagaimana aku akan bereaksi.  


"──Aku tidak akan kalah. Karena aku suka sama Oshio-kun sebegitu dalamnya. Jadi, aku akan bertarung secara jujur denganmu, baik dalam cinta maupun di Minsta."  


Dia datang dengan pertarungan langsung.  


Kejujuran yang begitu mengejutkan hingga aku sempat terdiam… tapi kemudian aku mendengus.  


"Hah!"  


Aku tertawa meremehkan.


"Kamu datang jauh-jauh hanya untuk mengatakan itu? Naif sekali. Kamu benar-benar yakin bisa menang?"  


"Tidak, kamu juga sama, kan?"  


"Hah?"  


"Kemarin, di Shida Coffee, kamu memberi tahu aku kalau kamu menyukai Oshio-kun, kan? Kalau kamu pikir hubungan kami sedang bermasalah, pasti lebih baik kalau kamu mendekati dia diam-diam, tapi kamu tidak melakukannya."  


"Itu…"

"Itu artinya, kamu juga punya prinsip, kan? Kamu juga ingin bertarung dengan adil untuk mendapatkan Oshio-kun."  


"…"  


Meski dia terlihat lamban, dia menyadari hal-hal yang sangat menyebalkan...


"Ja-jadi, apa maumu? Kamu kasih tahu semua ini hanya untuk membuatku mundur?"


“Tidak.”


Sato Koharu membantah dengan tenang, dan ketenangannya membuatku menggertakkan gigi.  


Aku yang seharusnya punya vitalitas lebih, potensi lebih, dan passion yang lebih.  


Aku yang seharusnya lebih unggul.  


Tapi kenapa… kenapa aku merasa begitu cemas?


"Aku tidak berniat menghentikanmu, Himeui-san."


“Kamu bilang tidak berniat menghentikanku?”


“Ya. Kalau kamu mendekati Oshio-kun, dan dia memilihmu karena tertarik padamu, itu menyedihkan bagiku, tapi aku tidak punya hak untuk menghentikannya.”


"Itu cuma omong kosongmu saja, kan!?"


“Mungkin, tapi itulah sebabnya aku ingin mengatakannya sekarang, selagi aku masih bisa.”


"Mengatakan apa?"


"──Aku ingin jadi temanmu, apa pun hasilnya. Bahkan jika Oshio-kun memilihmu."  


Aku terdiam.  


Kalau ini adalah permainan atau sekadar lelucon, mungkin aku bisa menertawakannya.  


Tapi melihat tatapan matanya, aku tahu dia serius.  


Sato Koharu, dari lubuk hatinya, mengatakan hal yang terdengar bodoh ini dengan sungguh-sungguh.


"Hahhh...”


Aku menghela napas panjang, seolah semua energi keluar dari tubuhku bersamaan dengan udara yang kuhembuskan.  


Rasanya konyol.  


Aku menghabiskan banyak energi untuk orang yang bahkan tidak bisa mengerti taktik permainan cinta dasar.  


…Sekarang, semuanya terasa bodoh.


“Baiklah, baiklah, aku akan jadi temanmu atau apa pun yang kamu mau. Tapi, boleh aku pulang sekarang? Bicara denganmu bikin kepalaku pusing.”


Aku pasrah, tapi Sato Koharu hanya mendengar bagian yang dia inginkan. Dia melompat-lompat kegirangan sambil berkata, 


“Yey!”  


Apa ada orang yang bisa bersikap santai seperti ini ketika pacarnya hampir direbut orang lain?


Dengan rasa lelah yang menyergap, aku membalikkan badan untuk pergi.

“...Terima kasih karena tidak menertawakanku.” 


Kata-kataku meluncur keluar begitu saja saat aku hendak pergi.  


Kata-kata yang tidak seperti diriku, tanpa filter, yang muncul dari hati.  


“Itu… alasan kenapa aku suka sama Oshio-kun. Sampai jumpa.”


“...Iya! Sampai jumpa lagi, Himeui-san!”  


Dari belakang, Sato Koharu melambai-lambaikan tangannya, mengirimku pergi.  


Sampai akhir, dia tetap orang yang santai…  


Tapi,


“Sekarang aku ngerti kenapa Oshio-kun pacaran sama Sato-san.”


...Tapi tetap saja, Oshio-kun akan jadi milikku.


Oh, dan saat aku kembali ke kelas, aku membuka Minsta untuk menenangkan diri, dan ternyata Sato Koharu telah mem-follow aku.  


Tentu saja, aku tidak membalas follow-nya.



"Melty" jam enam sore.  


Seperti biasa, kami satu-satunya pelanggan di sini.  


Pesananku adalah sandwich telur, sedangkan Niga-kun memesan spaghetti Napoli, dan Ogano-san memesan pilaf dengan acar.  


"Oi, Karahana, tahu nggak?"  


Niga-kun berkata sambil membaca buku.  


"Kalau mau menggoda orang yang disukai, sebaiknya berdiri di sisi kiri mereka. Katanya, perasaan berdebar saat berdiri dekat dengan jantung bisa salah diartikan sebagai cinta. Misteri tubuh manusia, ya?"  


"Eh… Niga-kun, kamu baca apa?"  


"Nah, ini… Aku sedang membaca buku yang ditulis oleh kreator cinta populer di internet, Mori-sensei, berjudul 'Sekarang Juga Menjadi Menarik! Kelas Psikologi Cinta Super!'"  

"Hah? Kedengarannya mencurigakan!? Apa itu!? Lebih mencurigakan daripada SSF!"  


"Itu adalah buku yang sangat bagus, membahas cinta dari sudut pandang psikologi dengan pendekatan praktis dan filosofis."  


"Eh~... kamu gila ya~... Kenapa kamu baca itu? Niga-kun, kamu kan sudah cukup menarik."  


"Bukan hanya cukup, tapi sangat menarik!"  


"Baiklah…."  


"Tentu saja aku menarik. Tapi aku juga memiliki semangat untuk terus berkembang, dan jika aku yang sudah menjadi pria menarik secara alami ditambah dengan teknik menarik yang terstruktur… ah, menakutkan! Potensiku!"  


"Aku juga takut padamu."  


"Ngomong-ngomong, sekarang aku duduk di sebelah kiri kamu... Bagaimana? Apakah kamu berdebar-debar?"  


"Dari sekarang, setiap kali kamu berdiri di sebelah kiri, aku merasa akan hidup dalam ketakutan, dengan makna yang buruk. Omong-omong, Ogano-san, kamu terlihat serius. Apa yang kamu lakukan?"  

"Aku sudah mempersempit pilihan untuk kencan pertama, mungkin ke taman bermain, akuarium, atau bioskop..."  


"… Aku ambil acar, ya."  


Begitulah, meskipun SSF telah bubar dan Niga-kun telah mengalami patah hati, hal-hal yang kami lakukan hampir tidak berubah.  


Mungkin inilah yang disebut kedamaian, pikirku. Tiba-tiba, pintu "Melty" terbuka seperti hari itu.  


"… Aku menemukannya."  


Saat aku menoleh, berdiri di sana adalah—Sato-san.  


Satu-satunya perbedaan dari hari itu adalah, Sato-san sekarang jelas-jelas memperhatikan kami.  


"… Terima kasih banyak atas kemarin. Berkat kalian, aku jadi tidak kehilangan hal yang penting."  


… Dia sangat sopan, ya. Apakah dia datang ke kafe pinggir jalan ini hanya untuk menyampaikan itu kepada kami?


"Ngga perlu khawatir… Kami sudah banyak merepotkanmu, jadi ini permintaan maaf kami."  

"Tidak perlu mengucapkan terima kasih. Tapi sekarang ada hal lain yang harus kamu lakukan, bukan?"  


"Ya…! Aku tidak mau menyerahkan Oshio-kun! Aku memutuskan untuk berjuang!"  


"Kalau begitu, itu bukan urusan kami lagi. Semoga berhasil."  


"──Jadi, aku datang hari ini untuk meminta bantuan temanku!"  


"… Teman?"  


"Permintaan…?"  


Aku dan Niga-kun saling pandang dengan tatapan bingung, mengulangi kata-kata Sato-san.  


Kemudian, Sato-san mengeluarkan sesuatu dari tas sekolahnya dan menunjukkannya kepada kami,  


"Ini!"  


… Itu adalah sebuah foto.  


Subjeknya adalah dirinya sendiri, dan dalam foto tersebut, dia sedang menyentuh pensil di bibirnya, menatap buku matematika, tapi… itu bukan masalah utama.  


Yang penting adalah, kami sudah terlalu mengenal foto itu.  


"Aku menunjukkan foto ini kepada Oshio-kun… dan aku merasa malu, tetapi aku akhirnya ingat semuanya. Tentang hari itu, tentang janji di hari itu. Jadi, aku pikir hanya kamu yang bisa membantuku."  


Di sini, aku dan Niga-kun akhirnya menyadari.  


Siapa "teman" yang dia maksud dengan "permintaan" itu──  


Sato-san membungkuk sekali lagi.  


"──Ogano Ikumi-san! Tolong ambilkan fotoku!"  


Sementara itu, Ogano-san yang masih bingung tentang tempat kencan dengan Oshio-kun, tiba-tiba menyadari bahwa dia adalah pusat pembicaraan, dan dengan bingung berbisik, 


"A-aku?"
















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !