Chapter 7
Pengakuan yang didasarkan pada
kepalsuan
41 Menit, 39 Detik
Di kelasku, Kelas 1-1, saat jarum jam dinding di atas papan tulis menunjukkan waktu itu, bel tanda akhir pelajaran berbunyi. Bel sekolah selalu berbunyi tepat pukul 40 menit setiap jamnya, tetapi jam di kelas sedikit melenceng. Setelah sekitar tiga bulan berada di sini, aku bahkan hafal pengetahuan kecil yang tak berguna seperti itu.
Saat pelajaran membosankan, aku suka menatap detik-detik terakhir di jam kelas, menghitung mundur di kepalaku sampai bel berbunyi. Kalau aku punya banyak teman, mungkin aku akan menebak dengan gaya sombong, “Sekarang!” dan pasti mereka akan kesal dibuatnya.
Pelajaran keenam, waktu tinggal dua menit lagi. Aku melirik jam dinding dengan tatapan kosong, sambil berpikir, apa yang akan aku lakukan nanti?
Hari ini, Toiro katanya ada urusan di sekolah sepulang kelas. Setelah selesai, dia akan datang ke rumahku, tapi untuk saat ini aku harus pulang sendiri. Aku sempat berpikir mampir ke toko buku untuk mengecek buku baru, pergi ke toko kartu dekat stasiun, atau langsung pulang dan melanjutkan game novel yang belum sempat kusentuh akhir-akhir ini.
...Ada banyak hal yang ingin kulakukan, tapi entah kenapa, tidak ada yang terasa menarik. Mungkin karena selama beberapa minggu terakhir, aku selalu bersama Toiro, jadi saat tiba-tiba sendirian, aku bingung harus melakukan apa.
Tiga, dua, satu. Tepat waktu, bel pun berbunyi.
Di SMP-ku dulu, selalu ada Short Homeroom di akhir hari untuk mendengarkan info dari wali kelas, tapi di Meihoku tidak ada jadwal khusus untuk itu. Sebagai gantinya, seluruh murid diwajibkan membersihkan area yang telah ditentukan sebelum pergi ke klub atau pulang. Jadi, aku memutuskan untuk pulang dulu dan mengikuti suasana hati nanti. Mungkin aku akan tiduran sambil main ponsel, membaca manga yang kebetulan terlihat, atau bermain game setelah bosan.
Aku menuju area tugas bersih-bersih di tangga sambil melihat teman-teman klub tenis asyik mengobrol sambil menyapu. Aku hanya melirik sambil cepat-cepat menyapu lantai. Lagipula, aku juga tidak serius-serius amat saat bersih-bersih, jadi aku tak terlalu peduli pada mereka yang mengobrol.
Setelah menyelesaikan tugas sekenanya, aku merasa seperti punya “sayap tak terlihat” saat menuju pintu keluar. Saat baru saja mengganti sepatu dan melangkah ke luar, aku melihat sosok yang sangat kukenal berjalan cepat melewatiku.
“Toiro?”
Pacar sementaraku itu sudah siap pulang dengan tas punggung di bahu, tapi entah kenapa, dia berjalan menuju sisi belakang sekolah. Katanya ada urusan, tapi apa yang dia lakukan di sana?
Aku ragu beberapa detik sebelum akhirnya mengikuti sosoknya dari belakang. Toiro tampak terburu-buru, jadi aku harus sedikit berlari untuk mengejar. Kami melewati area pintu masuk, melewati bedeng bunga dari batu bata, dan menyusuri sisi sekolah hingga akhirnya aku sampai di sudut bangunan.
Aku berdiri di balik tembok, menyembunyikan diri, dan mengintip ke sudut untuk melihat Toiro yang sedang berdiri berhadapan dengan seorang pria.
“Eh?”
Aku tanpa sadar mengeluarkan suara kecil. Namun, sebelum aku sempat mencerna kejadian itu, seseorang menarik lenganku dari belakang. Saat aku menoleh, aku melihat rambut pirang berombak.
“Nakasone?”
Dia mendekatkan jari telunjuk ke bibirnya, memberi isyarat untuk diam. Kemudian, dia menoleh ke arah Toiro dan ikut mengintip dengan penuh perhatian. Ternyata, Nakasone juga tahu tentang urusan Toiro sepulang sekolah, dan kini kami diam-diam mengintai bersama. Meski agak sempit, aku memilih tetap di sini daripada diusir.
Siapa orang itu? Aku tak pernah melihat wajahnya sebelumnya. Dari warna dasi, aku bisa tahu dia kakak kelas. Dia berambut pendek dan terang, dengan otot yang terlihat jelas meski di balik seragamnya. Gaya berpakaian dan wajahnya menunjukkan bahwa dia populer dan aktif berolahraga—benar-benar tipe pria yang dicap "anak gaul."
Tapi, mengapa Toiro bersama pria seperti itu?
Tak lama kemudian, jawabannya muncul.
“Aku sebenarnya cukup populer, tapi, gimana?”
Sepertinya senior itu sedang menyatakan perasaannya pada Toiro.
Toiro diam menatap pria itu, lalu menundukkan pandangannya. Setelah beberapa detik hening, dia membuka matanya dan berkata, “Maaf. Aku bahkan tidak mengenalmu, dan tidak tahu kenapa kamu menyatakan perasaan padaku.”
Jawaban yang langsung dan tegas, kurasa.
“Itu pertanyaan bagus. Kamu cantik dan ceria. Kamu terkenal di sekolah ini, dan bahkan jadi bahan pembicaraan di kelas dua. Kudengar kamu sudah punya pacar, tapi kenapa tidak memilihku saja? Kita akan jadi pasangan ideal yang diakui semua orang.”
Namun, senior itu belum menyerah.
Sepertinya orang itu mengabaikan fakta bahwa Toiro sudah punya pacar dan malah tetap menyatakan perasaannya. Betapa percaya dirinya dia, ya? Aku jadi curiga, apa dia pikirannya hanya penuh otot? Melihat mereka berbicara seperti itu membuat dadaku terasa aneh, seakan ada sesuatu yang berdesir di dalamnya.
"Bukannya aku yang sebenarnya yang sedang dilihat Senpai, menurutku. Dan seperti yang sudah dibilang, aku sudah punya pacar. Maaf, permisi," ucap Toiro, membalikkan badan untuk pergi. Namun, senpai itu menahan langkahnya.
"Tunggu dulu. Kudengar pacarmu itu cowok culun dan kurus, ya? Kenapa nggak pilih aku saja?"
Seperti ada api yang menyala dalam otakku, memanaskan seluruh saraf. Bibirku terbuka tanpa sadar, tapi tak ada suara yang keluar. Meski rasa mendesir di dadaku sudah mencapai puncaknya, kakiku tetap tak bisa bergerak.
Di sudut pandanganku, bayangan seseorang melompat maju. "Kamu tahu apa sih soal Toiro?" Suara Nakasone bergema saat dia menghadang senpai itu di taman belakang.
"Hanya dengar rumor lalu langsung menyatakan perasaan? Kalau itu bukan dangkal, aku nggak tahu apa lagi," lanjut Nakasone sambil menatap tajam. Toiro tampak terpana, dan pandangannya tertuju pada sudut gedung tempat Nakasone datang. Ketika pandangan Toiro beralih ke arahku, aku tahu aku ketahuan.
"Dan lagipula, kamu udah ditolak, kan? Sana pergi, jangan ngeganggu lagi. Toiro itu idola di tempat ini, dan aku nggak mau kamu bikin dia kotor," sindir Nakasone lagi.
Senpai itu sepertinya ingin membalas, tetapi mundur setelah terdesak oleh ucapan Nakasone, lalu menghilang ke arah ujung taman.
Begitu dia pergi, Toiro membuka suara lebih dulu. "Urara-chan… Kamu ngikutin aku, ya?"
"Eh…," Nakasone tersenyum kaku.
"Aku kan sudah bilang nanti aku akan cerita apa yang terjadi, jadi jangan ikutin aku," lanjut Toiro, melirik Nakasone dengan tatapan tajam yang membuat Nakasone mengecilkan badannya.
"Aku khawatir," jawabnya sambil cemberut, lalu berlari pergi dengan cepat, meninggalkan kami berdua.
Saat berjalan ke arahku, ia bergumam pelan. "Kenapa kamu diam saja tadi? Memangnya kamu baik-baik saja begitu?"
Aku hanya bisa mendengar kata-katanya terbawa angin, tak mampu berkata apa-apa. Nakasone menambahkan, "Kalau kalian benar-benar pacaran, kamu punya tanggung jawab untuk membuatnya bahagia," lalu pergi, meninggalkan Toiro yang berlari mendekat.
"Yah, dia kabur, padahal aku ingin berterima kasih…," ucapnya.
"…Gak apa-apa ditinggal begitu?" tanyaku.
"Iya, kurasa nggak masalah. Aku nggak marah, sih. Besok dia juga pasti minta maaf. Aku malah merasa bersalah karena bikin dia khawatir, jadi aku juga mau minta maaf," jawabnya sambil tersenyum.
"Begitu, ya…" Aku sedikit ragu dengan perkataannya, terutama setelah melihat keberanian Nakasone tadi. Tapi mungkin memang ada sisi lain yang cuma terlihat di antara sahabat dekat.
"Lalu, Masaichi, kenapa kamu ada di sini?" tanyanya.
"Ah, aku… tadi jalan-jalan nggak sengaja lewat—"
"Kalian payah banget kalau bikin alasan, deh!" sergahnya. Aku mengaku kalau aku melihat Toiro dan tak sengaja mengikutinya.
"Nggak apa-apa sih, nggak ada yang aku sembunyikan. Cuma, aku diajak bicara sama teman sekelas, tapi ternyata dia cuma diminta memanggilku ke sini. Buang-buang waktu saja," jelasnya.
Toiro lalu mengajakku pulang bersama, dan aku mengangguk. Kami berjalan berdampingan seperti biasa, meski kali ini dengan langkah yang sedikit lebih pelan. Di tengah keheningan yang sedikit canggung, aku bertanya, "Toiro, soal senpai tadi…"
"Eh?"
"Kamu nggak menyesal menolak dia?"
"Maksudmu, karena dia menyatakan perasaannya? Nggak lah. Saat aku sampai di sini, dia malah lagi stretching sendirian, lalu bilang, 'Stretching itu bagus, biar makin akrab sama otot!' Jelas dia orang aneh," jawabnya sambil tertawa.
"Kedengarannya kayak kata-kata yang muncul sebelum duel dengan monster dimulai," candaku, membuat Toiro tertawa kecil.
"Bener banget! Kayak 'Sang maniak otot menantangmu untuk bertarung!'" tambahnya. Kami tertawa bersama, dan suasana canggung perlahan mencair.
"Lagian, cowok otot kayak dia malah bau rokok. Nggak cocok banget!" katanya, mendecakkan lidah.
Percakapan kami kembali mengalir seperti biasa. Tapi meski semua tampak baik-baik saja, rasa tak nyaman di dadaku tak sepenuhnya hilang.
*
Pada malam itu, aku terbaring telentang di atas ranjang di kamar gelap, dengan lampu dimatikan, berbicara lewat telepon dengan fitur hands-free di ponsel.
"Ya, Masaichi. Persis seperti yang kamu bayangkan. Maaf kalau caraku mengatakannya agak kasar, tapi memang banyak cowok yang berpikir, 'Kalau dia saja bisa, kenapa aku tidak bisa?' saat mereka ngobrol," suara Sarugaya menggema di ruangan yang hening.
"…Jadi memang begitu, ya."
"Yup. Sebenarnya aku tidak perlu ngomongin ini ke kamu, makanya aku diam saja. Misalnya si Kasukabe dari kelas dua. Kabarnya dia cerita ke teman-temannya kalau dia tertarik sama Toiro-chan."
"Kasukabe? Maksudnya Kaede dari kelas kita? Bukannya mereka pacaran?"
Kaede adalah salah satu gadis dalam kelompok Toiro. Aku sering dengar Toiro memanggilnya dengan nama depannya, jadi aku hampir lupa nama keluarganya.
"Mereka belum pacaran. Kaede memang serius, tapi Kasukabe itu tipe yang suka gonta-ganti cewek, dia main-main saja. Yah, jadi intinya, ada tipe cowok kayak dia yang juga memperhatikan Toiro-chan."
Aku mendesah tanpa sadar. Pengakuan dari seseorang yang disukai teman jelas adalah hal yang paling dihindari Toiro. Karena itulah dia memintaku untuk berpura-pura menjadi pacarnya, demi menghindari kerumitan dalam urusan cinta.
"Kapan saja kamu butuh cerita, aku siap mendengarkan. Aku cukup tahu banyak soal info-info gini," Sarugaya menutup teleponnya.
Ruangan pun kembali sunyi.
Sepulang sekolah, aku dan Toiro pulang bersama, main game sebentar, lalu berpisah sebelum makan malam. Tapi malam itu, aku tak punya semangat untuk melakukan apapun sendirian. Aku mencoba membaca manga setelah makan, namun tidak bisa fokus. Akhirnya aku berbaring sambil menatap poster anime di dinding, dan kemudian memutuskan untuk mematikan lampu.
Apapun yang kulakukan, pikiranku terus mengarah pada Toiro.
Meskipun kami hanya berpura-pura pacaran, kenapa orang-orang selalu meragukan dan mengabaikan hubungan kami?
Aku mulai menyadari alasan utamanya, meskipun sebenarnya sudah tahu sejak awal.
Mari kuakui saja.
Aku dan Toiro itu seperti langit dan bumi dalam hirarki sosial di sekolah. Kami tidak selevel sebagai pasangan. Fakta bahwa kami teman masa kecil sengaja kami sembunyikan, begitu juga hobi otaku Toiro yang tidak diketahui orang. Jadi, secara kasat mata, tidak ada kesamaan yang bisa ditemukan di antara kami. Wajar kalau ada yang curiga kenapa kami bisa bersama.
Dan hari ini, ada seseorang yang akhirnya menyatakan cinta pada Toiro. Situasi yang paling ingin dihindari oleh Toiro. Meski dia sudah memasang "penghalang" dengan menjadikanku pacar sementaranya, orang itu tetap tidak peduli dan mendekatinya.
Aku merasa tidak berguna. Bukannya membantu, aku malah membuat Toiro kesulitan. Aku yang biasa saja dan pendiam ini hanya membebani gadis yang ceria dan selalu bersinar di tengah-tengah teman-temannya.
—“Kalau kamu benar-benar pacaran, kamu punya kewajiban untuk membuatnya bahagia.”
Kata-kata dari Nakasone terngiang di pikiranku, terasa berat dan membebani hatiku.
Meski hubungan sementara ini awalnya tidak buruk buatku, aku merasa nyaman. Tapi jika terus begini, masalah besar mungkin akan muncul.
Aku tidak yakin apakah aku bisa membuatnya bahagia.
Saat itu terdengar suara ketukan di pintu.
Aku mengangkat tubuhku dengan heran. Siapa yang mengetuk di waktu seperti ini? Ibu masih di dapur mencuci piring, dan ayah belum pulang kerja.
Serina? Tidak mungkin. Dia bahkan tidak tahu caranya mengetuk pintu.
Apa mungkin… Toiro…?
"…Iya?"
Aku menjawab singkat dengan perasaan tidak yakin, lalu pintu terbuka. Sosok yang berdiri di ambang pintu, disinari lampu koridor hingga wajahnya sedikit tertutup bayangan, adalah—
"Aku."
"K-Kamu…"
Ternyata ini di luar dugaanku—kakakku, Serina.
"Seharusnya kamu tidak perlu kaget begitu. Aku hanya mampir ke kamar orang yang tinggal serumah."
Serina menyalakan lampu dari saklar di samping pintu dan masuk ke dalam kamar. Rambutnya yang masih sedikit basah mengeluarkan aroma bunga dari kondisioner, dan di lehernya tergantung handuk.
"Ya, tapi aku tidak menduga kamu akan mengetuk pintu. Dari mana kamu belajar itu?"
"Apa? Kamu cari masalah? Aku bisa kok mengetuk pintu, jangan meremehkanku."
"…Yah, sebenarnya ketukan dua kali itu cara untuk memastikan kalau ada orang di dalam toilet."
"Apa? Kamu cerewet sekali. Aku sudah datang susah-susah, masa kamu ngomongnya kayak gitu. Ini memang kayak toilet, kan? Bau sekali."
"Tidak bau! Lagipula kamu mau apa di toilet tanpa kloset?"
Selama aku berbicara, Serina sudah duduk di atas ranjangku. Aku segera berdiri dan menjaga jarak. Lalu, dia melirik tajam ke arahku.
"Karena kamu kelihatan muram, makanya aku mampir ke sini."
"Muram? Itu bukan urusanmu, kan."
"Itu urusanku. Membuat makan malam terasa tidak enak."
Memang benar, saat makan malam tadi aku memikirkan Toiro. Mungkin raut wajahku dan suasana hatiku mencerminkan hal itu. Tampaknya Serina merasa terganggu karenanya.
"Karena Toro-chan, kan?"
Serina melanjutkan. Aku menjawab "Tidak ada apa-apa," namun Serina hanya tertawa kecil.
"Tahu kok, selama bertahun-tahun jadi kakak adik, aku bisa baca pikiranmu. Lebih lama daripada kamu dan pacarmu itu."
Tahu, katanya. Dan dia benar, yang membuatku merasa kesal. Aku tidak bisa membalas apapun.
"Tapi, kalau kamu sampai memikirkannya dengan serius, kurasa itu pasti tentang gadis itu, kan? Kamu bukan tipe yang stres gara-gara hal lain. Kalau memang bikin stres, kamu pasti menghindarinya. Tapi, meski begitu, dia tetap saja tak bisa kamu buang begitu saja," kata kakakku, Serina, sambil tersenyum sinis.
Sama sepertiku, Serina juga bukan tipe orang yang mudah stres. Bedanya, cara kami menghadapi stres sangat berbeda. Kalau aku akan memutus hubungan dengan sumber stres, dia malah menghadapi penyebabnya secara langsung dan menyelesaikannya. Tapi, karena dasar kami sama, aku dan kakak bisa saling memahami isi pikiran satu sama lain.
"Toiro, tapi bagaimanapun, ini bukan urusanmu. Ini masalahku sendiri," jawabku.
Ketika aku mengatakannya, Serina menatapku tajam sambil menyipitkan matanya. Aku menelan ludah, menunggu apa yang akan dikatakannya. Lalu, tiba-tiba Serina bangkit dari tempat tidurnya.
"Yah, terserah kamu saja. Kalau memang ini masalah kalian, aku takkan ikut campur supaya tak terjadi hal yang aneh," katanya sambil berjalan menuju pintu.
Aku berpikir, bahkan tanpa dikatakan begitu, aku memang akan melakukan sesuai keinginanku. Tapi kemudian, Serina berhenti dan berbalik.
"Namun, ada satu hal yang bisa kukatakan. Yang terpenting adalah perasaanmu sendiri. Apa yang sebenarnya ingin kamu lakukan. Hargai itu dan jangan mengkhianati perasaanmu."
Serina meninggalkan kamar setelah berkata agar aku menceritakan perkembangan masalah ini kepadanya nanti. Lampu kamarku kembali mati, dan aku dibiarkan dalam kegelapan. Tak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa kakakku akan memberikan nasihat seperti ini. Aku pun terdiam, takjub.
Setelah beberapa saat, aku menghela napas pelan.
"Apa yang sebenarnya aku inginkan, ya…"
Pada akhirnya, aku tidak bisa menjalankan peran sebagai pacar sementara untuk Toiro. Berbeda dariku, gadis pemalas itu, tanpa sadar, telah berhasil memperbaiki dirinya. Dengan usahaku yang minim, keinginanku untuk bisa berdiri di sampingnya hanyalah keinginan yang sia-sia.
Aku tak ingin membuatnya repot lagi.
Di bawah sinar rembulan yang menembus tirai, aku merenung sejenak. Lalu, tak bisa menahan diri lebih lama, aku keluar rumah dengan masih memakai baju tidur.
*
Angin malam terasa hangat, seolah-olah panas aspal dari siang hari menguap di udara. Setelah aku mengirim pesan, Toiro langsung menyadarinya dan keluar rumah. Mungkin dia tadi sedang bermain game di ponselnya. Dari depan rumahnya, Toiro muncul dengan baju tidur berupa jaket olahraga. Rambutnya acak-acakan, mungkin karena baru saja tiduran, tapi dia langsung merapikannya dengan jemarinya begitu melihatku.
"Ada apa nih, malam-malam begini? Mendadak kangen sama pacar tercintanya?" katanya sambil tersenyum jahil.
"Pacar sementara, ya. Sebenarnya aku ingin ngobrol sebentar."
"Ngobrol?"
Di matanya, sepertinya ada bayangan kekhawatiran. Kami keluar menuju jalan, melewati halaman dan pintu gerbang rumahnya. Aku menatap wajahnya, mengambil napas dalam, lalu mulai berbicara tentang apa yang terus menghantui pikiranku di kamar.
"Aku merasa kalau aku terus berpura-pura menjadi pacarmu, itu hanya akan membebanimu..."
Di sekolah, posisi kami sangat berbeda. Kalau terus bersama, aku khawatir justru akan menurunkan penilaian orang lain terhadap Toiro. Teman-temannya juga mungkin akan terus mencurigainya. Memilih kata-kata dengan hati-hati, aku menjelaskan semua ini padanya.
"Yah, aku sendiri sih tidak masalah? Dibilang kutu buku atau membosankan, tetap saja Masaichi adalah Masaichi. Aku senang bisa bersama Masaichi, dan aku meminta Masaichi jadi pacar palsu karena itu Masaichi."
Aku sangat berterima kasih atas kata-katanya yang tulus itu, rasanya sedikit mengharukan. Namun, tetap saja, aku tidak bisa terus menjadi beban baginya.
"Jadi, Masaichi tidak perlu merasa bersalah. Maaf ya, sudah menyeretmu ke dalam situasi yang aneh," jawabnya dengan lembut.
Aku menggelengkan kepala mendengar suaranya yang lembut. Aku tak tahu apa yang sebenarnya Toiro harapkan dariku sebagai pacar sementaranya. Mungkin dia hanya ingin aku berada di sisinya sebagai pelindung dari cowok-cowok lain. Tapi yang jelas, setelah aku memikirkannya dengan baik…
"Dari sini, ini sepenuhnya perasaanku sendiri."
Aku memberikan pengantar, dan Toiro menelan ludah dengan pelan.
Menggenggam tanganku yang berkeringat, aku membuka mulut.
"Aku ingin menjadi orang yang bisa berdiri di sampingmu dengan percaya diri. Aku ingin menjadi lelaki yang pantas untuk Toiro. Jadi... bantu aku mencapai posisi yang sama denganmu."
Saat memikirkan apa yang benar-benar aku inginkan, inilah jawabannya. Meski aku tak tahu apa yang sebenarnya Toiro harapkan dariku, aku ingin melakukan yang terbaik untuknya. Aku ingin dia bahagia.
Permintaan ini sepenuhnya berasal dariku, permintaan sepihak untuk Toiro.
"La…laki-laki yang pantas untukku?" Toiro mengulang kata-kataku dengan bingung.
"Iya. Sebagai pacar yang pantas. Soal penampilan, sikap... Aku ingin belajar dari Toiro yang sudah mencapai status itu di sekolah, agar aku bisa jadi lebih baik… te…tentu saja ini untuk peran pacar, ya!"
Aku mulai merasa malu dan wajahku memanas. Sambil buru-buru menambahkan kata-kataku.
"Aku paham, ini demi peran pacar ya. Tapi nggak apa-apa kok, Masaichi seperti ini juga sudah cukup. Asal aku tahu siapa Masaichi yang sebenarnya, itu sudah cukup buatku."
"Tidak, itu tidak cukup. Kita harus menghilangkan rasa aneh yang dirasakan orang-orang tentang kita sebagai pasangan. Dalam situasi yang penuh kecurigaan ini, rasa tenang kita mungkin tidak akan bertahan lama. Rencana perubahan diri Mazono ini harus dilakukan sekarang."
Ini adalah strategi yang kupikirkan untuk kami berdua agar bisa tetap bersama ke depannya. Dengan membuat orang-orang mengakui kami sebagai pasangan, aku bisa terus menikmati waktu bersama Toiro sebagai pasangan pura-pura tanpa harus sembunyi-sembunyi. Itu adalah harapanku.
Jika hal itu terwujud, mungkin rasa cemburu yang muncul saat melihat Toiro berbicara dengan kakak kelas tadi setelah sekolah bisa teratasi. Aku sedikit merasa bahwa ini adalah jalan keluarnya.
"Tolong jadikan aku sebagai pacar yang cocok untukmu, Toiro," kataku sambil berbalik menatapnya dan menundukkan kepala.
☆
"Cocok untukku? Sejajar di sampingku?" Mendengar itu, pikiranku langsung kacau.
Apa ini… bukannya itu hampir seperti pernyataan cinta? Tapi kalau diingat ini semua karena status pacar sementara, jadi mungkin bukan? Aneh sekali, membuatku merasa geli.
Di perjalanan pulang tadi, aku sempat berpikir bahwa Masaichi tampak agak lesu saat bermain game di kamarnya. Ternyata, dia memang menyimpan masalah sendiri. Memang, Masaichi bukanlah tipe yang menonjol di kelas, apalagi populer di kalangan cewek. Tempat kami di kelas juga jelas berbeda. Bahkan ada beberapa cewek yang menatapku sambil berbisik sejak kami mengumumkan bahwa kami berpacaran.
Meski begitu, aku tetap menyukai Masaichi sebagai teman masa kecilku dan ingin selalu bersamanya, karena aku tahu sisi-sisinya yang menawan. Namun, mungkin hal ini malah menjadi beban untuknya. Padahal aku tak ingin memberinya tekanan seperti itu… rasanya aku jadi merasa bersalah.
Aku memandangi ubun-ubunnya yang tertunduk, dengan pusaran rambut berputar ke kanan yang tidak pernah berubah sejak dulu. Aku ingin mengelusnya, dan dengan pelan, aku mulai berbicara.
"Pacar yang cocok untukku? Itu berlebihan. Kau pikir aku ini siapa? Ratu malas Toiro yang cuma bisa berbaring dan bermalas-malasan sepanjang hari! Kalau ada yang cocok denganku, mungkin itu bantal!"
Tanpa sadar aku malah mengatakannya dengan bangga.
"Bahkan dengan sisi malas seperti itu, kau tetap dikenal sebagai sosok ceria yang dikelilingi banyak orang, kan? Itu bagian dari kepribadianmu yang membuatku kagum dan ingin menirunya," kata Masaichi sambil menatapku lurus.
Hah? Kagum? Itu membuatku malu sekaligus bingung! Bukankah biasanya dia bukan tipe yang mengatakan hal-hal seperti itu?
… Tapi kurasa dia memang serius.
Berpikir seperti itu, akhirnya aku juga menguatkan diri dan wajahku berubah menjadi lebih serius.
"Tapi, Masaichi kan punya banyak hal yang kau suka lakukan, seperti main game atau baca light novel?"
"Tenang saja, kegiatan otaku akan terus berjalan. Tapi kalau Toiro ingin melatihku, aku akan menyisihkan waktu khusus. Berapa pun lamanya atau seberapa seringnya, tak masalah. Selain itu, aku akan sepenuhnya fokus pada hobiku."
"Ya, ya… aku mengerti…"
Apa tekad yang kuat. Rasanya seperti dia benar-benar bertekad dan tidak mau mundur.
Menjadi pria yang pantas untukku, ya…
Sebenarnya ini membuatku senang. Terus terang, jantungku berdegup kencang. Keinginannya untuk berubah demi peran ini, dan usahanya untuk datang dan berkonsultasi langsung denganku, cukup membuatku kagum.
Lagipula, kalau aku yang memolesnya, bukankah dia akan jadi cowok sesuai seleraku?
Bayangkan, dari yang tadinya berpenampilan ala otaku, berambut hitam tebal, dengan minatnya hanya di game dan manga, Masaichi jadi seperti itu?
Saat membayangkannya, rasanya malah jadi menyenangkan.
"Terima kasih, ya, sudah mau menemaniku yang seperti ini. Kalau begitu, aku akan bertanggung jawab, dan aku pastikan Masaichi jadi cowok yang tak bisa diremehkan siapapun. Kau siap mengikutiku?"
"Sebagai otaku, kalau sudah ada minat, kami bisa sangat serius. Ayo kita lakukan."
Saat aku mengacungkan kepalan tangan, Masaichi pun menepuknya dengan kepalan tangannya sendiri. Kami berdua tersenyum lebar.
Dan begitulah, kami berdua memulai operasi besar pasangan pura-pura ini, dan menjalankan rencana perubahan Masaichi.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.