Chapter 8
Pengeluaran untuk pakaian harus
direncanakan dengan baik
Memikirkan kembali semua yang terjadi, rasanya sangat memalukan. Setelah meminta bantuan dari Toiro, aku kembali ke kamar, membenamkan wajahku di seprai tempat tidur, dan merengek sendirian dengan suara kecil.
Memangnya aku bilang apa? “Tolong jadikan aku laki-laki yang pantas untuk Toiro”?
Hanya dengan mengingat kata-kata itu, wajahku terasa panas, dan tubuhku gatal karena malu. Permintaanku itu seperti momen yang pasti akan menjadi sejarah hitam bagiku. Aku cuma bisa berharap bahwa kejadian itu tidak diingat dan disebarkan terus-menerus sebagai bahan ejekan.
Namun, di balik rasa malu yang ingin kuhapus, ada hal penting yang tidak boleh aku lupakan. Setelah permintaan itu, kami berdiri dan merencanakan langkah-langkah ke depan untuk mencapai tujuan utama kami. Tujuannya adalah: menunjukkan kepada semua orang bahwa aku layak untuk menjadi pasangan Toiro. Untuk itu, kami sepakat bahwa ajang pertempuran pertama adalah di kegiatan outing sekolah yang akan diadakan awal bulan depan.
Kegiatan outing ini adalah acara tradisional di sekolah Meihoku. Murid-murid datang dengan pakaian kasual, lalu pergi ke taman alam yang luas dengan bus, di mana kami akan memiliki waktu bebas untuk bermain dan bersantai. Kegiatan ini diadakan untuk para siswa kelas satu agar mereka bisa lebih akrab satu sama lain setelah mulai terbiasa dengan sekolah.
“Kalau kamu tiba-tiba datang dengan penampilan baru, itu malah bikin orang bingung, kan? Penampilan baru paling pas saat kita pertama kali tampil di hadapan semua orang dalam pakaian kasual. Ini kesempatan supaya orang-orang mikir, ‘Eh, ternyata dia keren juga, ya!’” Toiro menjelaskan rencananya.
Aku mengangguk setuju dengan antusias. Pada acara outing itu, kami akan duduk makan bekal bersama secara terbuka, dan akan menunjukkan kepada semua orang bahwa kami adalah pasangan yang cocok. Kami bahkan merencanakan untuk memperkenalkan aku sebagai pacarnya kepada teman-temannya. Targetnya adalah dua minggu lagi, jadi kami memutuskan untuk mulai persiapan besok sepulang sekolah.
Namun, sekitar 30 menit setelahnya, saat aku merenung sendirian di kamarku, aku baru menyadari betapa malunya aku dengan semua ini.
*
Keesokan harinya setelah pulang sekolah, pelatihan “cara menjadi orang keren” dari Toiro pun dimulai. Aku penasaran apa yang akan dia lakukan untuk memulai perubahan ini.
Saat kami berada di kamarku, Toiro dengan semangat mengeluarkan sesuatu dari tasnya.
“Eh, mau ngapain kamu dengan benda itu?”
Toiro terlihat bingung dan menatapku dengan kepala miring.
“Toiro, kamu bisa taruh benda tajam itu dulu, kan?” ujarku sambil menunjuk ke gunting yang dia pegang.
“Oh, ya. Kupikir kita bisa mulai dengan potong rambut dulu,” katanya santai.
“Potong rambut?”
“Yap! Pertama-tama, kita buat rambutmu lebih rapi. Penampilan itu penting. Orang akan menilai kamu pertama kali dari penampilan luar. Jadi, mari kita buat kamu terlihat lebih bersih dan segar, oke?”
Aku sudah lama tidak potong rambut, jadi sepertinya ini adalah langkah yang benar.
“Baiklah, kamu mau potong rambutku?”
“Tenang aja, aku sering potong rambutku sendiri. Kamu percayakan saja padaku!” ujarnya sambil tersenyum, lalu menahan tawa. Sungguh menyenangkan melihatnya semangat seperti ini.
“Kalau potong di salon kan bayar. Lagian kita harus menyisihkan uang untuk beli baju nanti, jadi hemat itu penting!”
Aku pun berpikir benar juga. Budget yang kupunya untuk kegiatan otaku mungkin perlu disisihkan untuk proyek ini. Ternyata, menjadi orang keren memang butuh modal yang lumayan.
“Percayalah padaku, pasti murah,” tambah Toiro sambil tertawa.
“Tunggu, kenapa malah kamu yang mau dibayar?”
“Bercanda doang kok”
Saat sedang bercanda sambil berdebat, entah bagaimana aku akhirnya menyerah dan menyiapkan koran di lantai kamarku. Setelah mengganti seragam dengan T-shirt, aku duduk bersila di atas koran, sementara Toiro berlutut di belakangku.
“Aku akan membuatmu terlihat lebih bersih, tapi tidak terlalu mengubah kesan keseluruhan. Aku tidak mau orang berpikir kau sengaja mengubah penampilanmu. Aku hanya akan memotong rambutmu dengan rapi, membaginya sedikit, sehingga terlihat segar. Tapi bagian tengkukmu terlalu panjang, jadi akan aku potong cukup pendek, ya.”
“Terserah kamu...”
Awalnya aku merasa seperti tahanan di tiang eksekusi, tapi sekarang aku sudah siap. Rencana perubahan ini sepenuhnya bergantung pada Toiro, jadi aku hanya bisa mempercayainya.
“Oke, aku mulai, ya.”
Dengan suara itu, jari-jari dingin Toiro mulai masuk ke sela-sela rambutku. Setelah beberapa kali menyisir rambutku, dia menjepit ujung rambut sampingku dengan jarinya, lalu terdengar suara gunting perlahan yang berbunyi “jakin”.
Hanya potongan pertama yang membuatku gugup, setelah itu potongan rambut berlanjut dengan irama yang ringan.
Jakin-jakin, jaja-jakin.
Eh, apa tidak terlalu pendek? Apa semuanya baik-baik saja?
Aku sangat khawatir, tetapi tanpa cermin, aku tidak bisa memastikannya. Aku pun menyerah dan menutup mata.
Beberapa saat kemudian, tanpa sadar berat kepalaku membuat tubuhku condong ke depan. Toiro meletakkan tangannya di samping kepalaku untuk menyeimbangkan tubuhku kembali. Saat aku hendak membuka mata, sesuatu yang lembut menyentuh bagian belakang kepalaku, membuatku terkejut hingga tidak bisa bergerak.
A-apa ini, apakah itu... dada Toiro?
Agar aku tidak jatuh ke depan lagi, Toiro memegang kepalaku dan menariknya ke arah tubuhnya. Akibatnya, bagian belakang kepalaku terus bersentuhan dengan bantal empuk yang lembut itu.
Aku tidak bisa bergerak dan hanya diam.
Meski melalui pakaian, kelembutan ini terasa luar biasa. Ini adalah pertama kalinya aku merasakan sentuhan seperti ini.
Sebelumnya, saat secara tidak sengaja melihat pakaian dalam Toiro, aku menganggapnya hanya ketidakberuntungan yang lucu.
—Kenapa sekarang aku malah fokus sepenuhnya pada bagian belakang kepalaku...
Tapi tidak peduli bagaimana aku memikirkannya, tidak ada yang bisa kulakukan. Aku tidak bisa menggerakkan kepalaku. Sambil berpikir bahwa Toiro juga sudah tumbuh dewasa, aku menutup mata lagi.
Tak lama kemudian, tanpa menyadari kebingunganku, Toiro menghentikan guntingnya.
Ada apa? Aku ingin memeriksa apa yang terjadi, tapi Toiro menahan bagian samping kepalaku, membuatku tidak bisa menoleh. Dengan lembut, Toiro mengelus kepalaku.
"Masaichi, terima kasih. Terima kasih sudah menuruti permintaanku yang egois."
Kemungkinan besar, ini tentang hubungan pasangan palsu antara aku dan Toiro.
Aku tidak bisa melihat wajahnya karena tidak bisa menoleh. Ketika aku berpikir apakah perlu menjawab kata-kata yang dilontarkan dengan lembut itu, Toiro lebih dulu melanjutkan memotong rambutku. Dia mulai merapikan bagian tengkuk, lalu menjauhkan tubuhnya dariku. Sentuhan lembut itu pun hilang.
Setelah itu, Toiro dengan nada ceria seperti biasa mulai mengajak ngobrol tentang berbagai hal. Sambil berbicara ringan, waktu pun berlalu, dan akhirnya potong rambut selesai.
Toiro menyerahkan cermin tangan untuk memeriksanya.
Hasilnya, rambutku yang sebelumnya panjang dan acak-acakan sekarang terlihat rapi dan bersih. Poni yang tidak menutupi mata diatur dengan gaya yang agak miring ke kiri, memberi kesan sedikit trendi. Toiro juga menipiskan rambut secara keseluruhan, menghilangkan kesan kusut. Tidak ada perubahan drastis dalam panjang, sehingga mungkin terlihat hanya sebagai perbaikan dari kondisi sebelumnya.
Sempurna.
“Wah, hebat! Apa ini benar-benar aku...?”
Saat aku mengagumi hasilnya dengan suara puas, Toiro menanggapi dengan wajah bangga sambil berkata, “Ya, hebat, kan?”
*
Tentu saja, penampilan seseorang bukan hanya soal gaya rambut.
Keesokan harinya sepulang sekolah, aku mengikuti Toiro ke pusat perbelanjaan di depan stasiun, yang sudah beberapa hari tidak kudatangi.
“Kemarin setelah memeriksa lemari, aku sadar cuma punya dua pakaian musim panas untuk keluar.”
Mungkin aku memang tipe minimalis alami.
Toiro yang sedang mencari toko yang dituju di peta di depan pintu masuk menoleh padaku.
“Kau benar-benar nggak tertarik sama sekali dengan fashion, ya. Sudah foto semua pakaianmu yang ada di rumah? Kalau ada yang bisa dipadukan, kita bisa memilih sesuai dengan itu juga.”
Ya, kami datang untuk membeli pakaian.
Fashion. Itu adalah sesuatu yang pasti diperhatikan oleh para anak gaul, dan sebagai seseorang yang cenderung tenggelam dalam hobi otaku, bagian ini sering kali terabaikan.
Soalnya, kalau aku menghabiskan uang untuk aplikasi, kartu koleksi, atau melengkapi manga, uang sakuku langsung habis dalam sekejap... Setiap bulan, aku harus bertahan hidup dengan cara menyisihkan uang dari angpao yang kudapat. Bahkan, baru belakangan ini aku bisa menggunakan semua angpao itu sepenuhnya.
Dulu, setiap kali mendapat angpao, aku menyerahkannya ke ibuku. “Ibu akan simpan sampai kamu besar,” katanya. Sebagai anak polos, aku menanggapinya dengan semangat. Tapi waktu SMP, saat aku menanyakannya, dia bilang, “Angpao? Itu sudah ibu habiskan untuk barang-barang kamu, kok,” sambil memberikan pengakuan mengejutkan, membuatku hampir menangis sendirian. Aku pun hampir jadi orang yang tidak percaya pada manusia karena cara penipuan yang kejam itu.
TLN : Ngehe,relate banget lagi anj awoakowkaokwoako
Namun, hari ini saat aku memberi tahu bahwa aku ingin membeli pakaian, ibuku memberiku bonus khusus. Sepertinya dia tersentuh karena ini pertama kalinya aku secara sukarela ingin membeli baju. Meskipun keberadaan angpao yang hilang itu masih misteri, kali ini aku bersyukur.
Saat aku sedang memikirkan hal-hal seperti itu, Toiro akhirnya menemukan toko yang dicari dan berkata, “Ayo, ke sini!” sambil berjalan mendahului.
“Selain karena tidak tertarik, aku benar-benar tidak tahu cara memilih baju. Jadi akhirnya aku hanya pakai yang dibeli oleh orang tuaku, terus diulang selama beberapa tahun... Apa bajuku terlihat norak?”
“Ya, norak banget.”
Toiro dengan cepat menolak selera ibuku.
"Pakaian yang dipakai Masaichi itu, dasarnya ukurannya nggak pas semua. Sekarang memang lagi tren pakai baju oversize yang longgar dan santai, tapi kalau Masaichi, itu malah kelihatan kayak dipakaikan baju kebesaran. Dalam fashion, kebesaran itu nggak selalu lebih baik, lho. Terus, coba berhenti dulu pakai tas selempang yang talinya panjang banget dan celana chino yang kantong belakangnya ada kotak-kotaknya. Terlalu kekanak-kanakan."
"Ah, ya, aku paham sih maksudnya. Tapi aku masih nggak tahu harus pakai baju yang kayak gimana..."
"Tenang aja! Serahkan semuanya pada Toiro-san, duta fashion yang sudah terbukti berpengalaman~!" kata Toiro sambil menjentikkan ujung roknya dan membungkuk dengan gaya yang dibuat-buat. Meskipun, menurutku sendiri, duta fashion ini hampir selalu pakai sweater...
Kami naik eskalator ke lantai empat.
"Ah, ini dia, di sini!"
Toko tujuan kami tampak luas, seolah-olah mengelilingi eskalator itu.
"Hah, di sini?"
Toko ini adalah toko pakaian kasual yang terkenal dan diketahui semua orang. Harganya terjangkau, bahannya nyaman, dan aku pun punya beberapa pakaian dari merek ini. Tapi, kalau bicara soal fashion, kesannya toko ini agak jauh dari itu. Yang terkenal dari toko ini biasanya adalah pakaiannya yang berupa dalaman. Aku bahkan pernah dengar dari teman-temanku yang mengatakan bahwa karena merek ini terlalu umum, mereka nggak suka pakai karena takut terlihat sama seperti orang lain.
Aku menoleh ke arah Toiro dengan penuh tanda tanya.
"Benar, benar, di sini. Kamu tahu, kan?"
"Tahu, tapi, beneran di sini? Kenapa nggak di lantai tiga?"
Lantai tiga yang tadi kami lewati penuh dengan toko pakaian yang ditujukan untuk anak muda dengan berbagai gaya. Di sana juga kulihat ada beberapa cowok berseragam sama denganku yang tampaknya sedang berbelanja, dan aku berpikir, "Wah, ternyata anak SMA sekarang berbelanja di toko-toko keren kayak gini."
"Ya, toko-toko seperti itu bagus sih, tapi kamu, kan, cuma tertarik pada kostum karakter di game, nggak kayak gitu dengan fashion kamu sendiri, kan?"
Toiro meletakkan jari telunjuk di dekat mulutnya, berpikir sejenak.
"Ya, benar juga."
Aku nggak punya baju impian atau gaya fashion tertentu. Hari ini aku juga datang lebih karena untuk bisa tampil serasi dengan Toiro.
"Jadi, nggak usah sengaja cari-cari pakaian bermotif atau merek populer. Pakaian bermotif, kaus dengan print yang ramai, atau desain yang aneh sebenarnya cuma cocok untuk orang yang benar-benar tahu cara memadukannya. Apalagi kalau orang itu nggak peduli soal rambut, sepatu, kulit, dan aksesori lainnya, hasilnya malah kelihatan asal dan terkesan aneh. Jujur aja, cowok SMA yang benar-benar mengerti fashion itu sangat jarang. Sering kali mereka cuma beli pakaian mahal tapi belum cukup untuk kelihatan cocok dengan gaya itu. Itu pendapat dari kami, para cewek."
Aku mengangguk-angguk mendengarkan perkataan Toiro. Tampaknya, cewek populer seperti Toiro memang memperhatikan pakaian cowok juga. Setelah melihat pakaian kakaknya yang dewasa saat kencan kemarin, aku jadi lebih percaya pada kata-katanya. Tanpa bantuan Toiro, mungkin aku cuma akan membeli pakaian yang sekilas terlihat keren dan salah kaprah mengira bahwa aku sudah terlihat modis.
"Lagi pula, mending hindari juga merek populer. Maksudku populer di kalangan siswa SMA. Anak SMA, kan, masih nggak punya banyak uang, jadi merek yang bisa mereka beli itu terbatas. Kalau kita pergi makan bareng teman, pasti kelihatan deh logo merek yang sama besar-besar. Memang itu yang lagi tren dan banyak cewek yang suka, tapi terkadang justru bikin kelihatan kekanak-kanakan. Oh iya, kembali ke dasar banget, tapi jangan beli kaus print yang tulisan Inggrisnya acak-acakan. Itu terlalu norak dan kayak anak SMP.”
"Ya, ya, aku jadi tahu bahwa cewek memang memperhatikan pakaian cowok dengan cukup ketat."
Cowok yang berusaha tampil keren tapi setengah-setengah mungkin bakal merasa terintimidasi setelah mendengar pendapat Toiro. Rasanya malah lebih baik kalau aku pakai seragam sekolah meskipun sedang libur. Aku nggak perlu bingung memilih baju dan bisa pura-pura kelihatan seperti habis latihan klub meskipun sedang jalan-jalan.
Tapi ya, demi menjaga citra sebagai pacar yang keren, kayaknya aku nggak bisa pakai trik itu lagi. Toiro sepertinya menyadari wajahku yang terlihat penuh pertimbangan dan langsung melanjutkan ucapannya.
“Toiro, tadi kamu bilang sesuatu yang penting. Kalau nggak tertarik sama fashion, kita nggak perlu repot-repot pilih baju yang ribet atau sulit. Pilih aja kaus polos, atau kaus dengan kantong kecil di dada atau logo kecil, ditambah celana jeans yang fungsional. Kesederhanaan itu nomor satu, lho. Mungkin nggak terlihat fashionable, tapi juga nggak kelihatan norak. Malah terkesan dewasa, ya nggak? Cowok-cowok SMA, khususnya kelas satu, banyak yang nggak sadar, jadi dari perspektif cewek, ini justru nilai plus.”
“Kaus polos, sederhana… kayak karakter default di game, ya?”
“Eh, ngomong-ngomong kok agak merendahkan? Karakter awal di game itu kadang cuma pakai celana aja, lho…”
Dalam game, biasanya karakter awal punya tampilan seadanya. Rasanya senang saat bisa dapat pakaian simpel di awal permainan, walau sering kali nanti berakhir dengan pengeluaran besar untuk item fashion di dalam game. Tapi lupakan dulu soal itu, aku mulai mengerti saran-saran Toiro.
“Hm, jadi itulah alasan kita ke toko grosir ini.”
“Betul banget! Fast Brand ini bervariasi, murah, dan aku juga sering ke sini. Sekarang lagi banyak kaus berbahan tebal yang bisa dipakai sendirian tanpa khawatir transparan.”
“Eh, kamu juga sering ke sini? Aku juga sih, pernah beberapa kali beli baju di sini.”
“Eh, Masaichi sering ke sini?” Toiro kelihatan terkejut, matanya berkedip beberapa kali.
“Yah, aku nggak terlalu suka diajak ngobrol sama pegawai toko.”
“Ah, memang di sini enaknya nggak ada yang bakal nyamperin, ya. Aku juga suka pilih sendiri dengan teliti. Di lantai tiga, di toko-toko yang eksklusif, aku sering kecapekan karena didekati terus.”
Aku terkejut, nggak nyangka Toiro setuju.
“Kamu juga ngerasain, ya! Nggak enak banget, kan? Dulu waktu belanja sama ibu, aku nyasar ke toko baju cowok dan tiba-tiba didatengin pegawai yang bilang, ‘Bagus ya, aku juga punya ini.’ Kenapa aku harus punya baju yang sama kayak kamu, coba. Kalau ketemu di jalan nanti, awkward banget!”
“...Hmmm, bisa dimengerti sih, tapi nggak sampai benci banget, kan.” Rasanya nggak sepenuhnya setuju, tapi ya sudahlah.
“Yuk, kita masuk aja.” Toiro menunjuk ke arah depan dengan dagunya, dan kami pun melangkah masuk ke toko yang sangat terang itu.
“Masaichi, kamu kan tubuhnya ramping dan kulitnya putih, jadi kurasa celana skinny bakal cocok. Bayangin aja: kaus putih dari katun, skinny jeans hitam, topi hitam sebagai aksen brand—bakal keren banget. Kalau ukurannya pas, celana slim fit itu bagusnya beli dari koleksi wanita karena siluet dari betis sampai pergelangan kaki lebih tegas.”
Toiro mulai memilih pakaian dengan gesit, menyerahkan beberapa baju padaku.
“Oh, tapi celana chef juga bagus. Coba yang motif kotak-kotak halus, dipadukan dengan kaus hitam yang masuk ke dalam dan jaket coach tipis—keren kan? Eh, tapi kalau Masaichi yang pakai, bisa jadi kelihatan terlalu berusaha. Motif kotak mungkin nggak cocok, ya? Hmm, kalau musim gugur, kurasa kamu bakal cocok pakai jaket pendek dengan celana lebar dan sepatu boots. Tapi takutnya malah kayak kelihatan dipaksain, ya?”
“Kamu kelihatan menikmati ini banget, ya?”
Walaupun ini belanja buatku, entah kenapa aku merasa seperti sedang jadi pembawa barang untuknya.
“Eh, ya? Ini pertama kalinya aku pilih baju buat cowok, jadi rasanya seru banget! Aku pengen bikin pacarku terlihat keren! Rasanya kayak kencan, ya? *Houkago date gitu?”
TLN : Sepulang sekolah langsung kencan,gitu kayaknya.
Toiro bergerak ke sana-sini, mengambil, membuka, dan mencoba baju pada badanku, lalu ke tubuhnya sendiri. Kencan yang cukup sibuk.
Tapi, ini pertama kalinya aku melihat Toiro begitu bersemangat di luar kegiatan otaku-nya. Nggak buruk juga melihatnya bersemangat tanpa beban.
“Kamu suka fashion ya? Dari SMP?”
“Ya, sejak SMP mulai beli majalah buat belajar, sih.”
“Belajar?”
“Iya, Masaichi, sama kayak kamu, aku juga berusaha tampil seperti orang yang populer.”
“Sungguh?”
Saat aku hendak melanjutkan, Toiro menaruh kaus bergaris di atas tumpukan pakaian yang kupeluk.
“Baiklah, saatnya coba pakaian!”
“Coba? Harus dipakai dulu?”
“Pasti, dong! Dalam memilih baju, desain sama pentingnya dengan ukuran. Yuk, ke ruang ganti!”
Sambil tersenyum dengan gembira, Toiro menepuk bahuku dan mendorongku ke depan. Tanpa melanjutkan obrolan, kami berjalan menuju ruang ganti. Saat aku melepas sepatu dan masuk ke ruang ganti, Toiro tidak menutup tirai sepenuhnya, malah memasukkan wajahnya sedikit untuk mengintip ke dalam.
"Oii…."
"Ayolah, kita kan sudah sedekat itu. Lagipula, aku kan pacarmu."
“Tidak boleh. Tunggu saja di luar sampai aku selesai.”
Walaupun kami sangat dekat, rasanya tetap saja aneh jika ganti baju sampai dilihat lawan jenis. Akhir-akhir ini, aku bahkan menghindari ganti baju di kamarku kalau ada Toiro. Ketika aku menekankan “jangan intip” pada Toiro yang mengerucutkan bibirnya seperti anak kecil, aku menutup tirai ruang ganti.
Setelah mengecek baju yang Toiro pilihkan, ada tiga celana panjang dan tiga kaus. Sepertinya boleh mencoba T-shirt di atas pakaian dalam, jadi aku mulai membuka seragam sekolah sambil menghadap cermin. Aku memakai T-shirt bergaris di atas pakaian dalam dan melanjutkan melepas sabuk celana. Seragam yang baru ini agak longgar dan melorot begitu saja. Aku langsung memasukkan kakiku ke dalam celana skinny hitam yang Toiro pilihkan, tapi ukurannya sangat pas dan cukup sulit dipakai.
Kalau ini, biasanya aku tidak akan pilih sih. Kurang bebas bergerak. Kok bisa-bisanya orang-orang pakai celana ini untuk jalan-jalan? Apa mereka terlalu nyaman hidupnya? Saat aku sedang berpikir seperti itu dan kesulitan sendiri, tiba-tiba aku merasa ada yang memperhatikanku dari belakang, dan aku pun reflek menoleh.
“Tuan pelanggan, celananya nyaman dipakai, kah?”
Dengan suara setengah nada lebih tinggi, Toiro bertanya, mungkin pura-pura jadi pramuniaga.
“H-hey… Aku kan bilang jangan intip.”
Sambil buru-buru menarik celana, aku menjawab dengan suara yang kutahan agar tidak terdengar oleh yang lain di toko.
“Eh... kan kamu bilang jangan intip, makanya aku intip.”
"Bukan cuma basa-basi! Aku bukan komedian."
“Nah, tapi aku sudah belajar dari cerita klasik. Kalau ada yang bilang ‘jangan intip,’ itu artinya intip aja, kayak cerita ‘Bangau Balas Budi’."
"Bangau itu juga nggak maksud kayak gitu! Jangan ngulangin kesalahan yang dilakukan si kakek!"
Akhirnya aku refleks berteriak, dan Toiro di luar tirai tampak membungkuk-bungkuk meminta maaf. Sepertinya dia ditegur oleh pramuniaga.
“Pokoknya tutup resletingmu dulu deh. Boxer hitammu kelihatan, lho.”
Aku langsung menoleh ke arahnya, dan Toiro dengan santai bilang begitu.
“K-kamu yang ganggu duluan. Duh…”
Ternyata dia bahkan memperhatikan jenis celana dalamku. Malu juga. Dengan rasa canggung, aku memasang resleting celana skinny itu.
Bukannya biasanya yang merasa malu itu pihak cewek, ya? Tapi mungkin Toiro memang pengecualian… Aku jadi teringat kebiasaannya yang sering nggak sengaja memperlihatkan celana dalam di kamarku. Yah, aku bakal kasih sedikit ‘penampilan’ juga, deh, pikirku sambil mencoba mengembalikan ketenanganku.
“Skinny yang pertama, ya? Lumayan juga. Coba hadap ke sini?”
Toiro berdiri tepat di depanku, memandangi dari ujung kaki sampai atas kepala.
"Ini sempit banget, lho. Apa ukuran ini cocok?"
Saat aku bertanya, Toiro mendekat, lalu menarik sedikit bagian kain celana itu untuk mengecek.
“Yup, ini celana yang memang didesain untuk memberi siluet kaki yang ramping. Coba duduk sedikit, deh. Apa bagian lutut atau pinggang terasa ketat?”
"Hmm, tetap saja rasanya sempit, tapi bisa dibilang nggak terlalu masalah juga."
“Kainnya bisa sedikit melar, jadi kalau sudah dipakai harusnya nggak masalah. Menurutku ukurannya cocok. Skinny hitam ini cocok dengan berbagai T-shirt dan praktis untuk dipakai.”
Toiro agak mundur untuk mengecek dari jauh, lalu berkata, “Oke, lanjut coba baju berikutnya!” sambil menutup tirai.
“Jangan intip lagi!”
“Itu kan cuma bercanda?”
“Kagak woi!”
Merasa sedikit terancam, aku pun mengganti baju secepat mungkin.
Ada celana denim berwarna muda dan celana kerja yang adem saat disentuh. Atasan kali ini berupa tiga T-shirt berbeda, semuanya kucoba di atas pakaian yang kupakai sekarang. Di tengah-tengah, Toiro mengambil jaket pelatih berlengan pendek, jadi aku pakai juga di atas T-shirt bergaris.
“Hm,” gumam Toiro, berpikir.
“Berapa budget yang kamu punya untuk pakaian?”
“Dikasih ibu 20.000 yen. Aku masih punya sedikit lagi sih…”
“Cukup besar juga ya. Tapi tetap sebaiknya sisihkan sisanya. Buat pegangan. Yang terpenting sekarang itu pakaian buat kegiatan di luar sekolah, kan?”
Sudah tinggal sepuluh hari lagi menuju kegiatan di luar sekolah, target utama dari pencarian pakaian kali ini.
“Ada pakaian yang terasa nggak nyaman buat dipakai?”
“Nggak sih. Tapi kalau disuruh pilih mana yang bagus, aku serahkan padamu saja.”
“Iya juga ya…”
Toiro memegang dagunya dengan jari telunjuk dan ibu jarinya, tampak berpikir sejenak.
"Kalau dipikir-pikir, walaupun ini buat kegiatan luar sekolah, skinny hitam ini sebaiknya dibeli. Bisa dipadukan dengan gaya apapun, terlihat keren tanpa terlalu usaha. Nggak akan rugi punya satu. Celana lain butuh sepatu khusus, tapi celana ini cocok dengan sneakers yang kamu punya. Bukan soal gaya, tapi seimbang.”
“Ya, mengingat budgetnya juga. Kayaknya sepatu nggak bakal cukup kalau beli…”
“Yup. Celana kerja juga keren, tapi lain kali saja. Dan atasannya, T-shirt katun yang agak tebal. Yang ada saku di dada. Harganya cuma 900 yen, jadi beli juga yang bermotif garis, bisa dipakai lain hari.”
"Memangnya T-shirt yang agak tebal lebih bagus, ya?"
"Ya jelas. Kalau tipis, anak cowok pun putingnya bisa kelihatan, kan?"
Kalau dipikir-pikir, T-shirt tebal memang lebih aman. Lagipula, siapa juga yang mau lihat…
"Selain itu, karena terbuat dari katun dan modelnya agak longgar, kaus ini adem dan tidak terasa panas meski dipakai di musim panas. Keringat juga tidak gampang kelihatan. Aku sering memakainya dengan gaya tuck-in, lho. Eh, kalau kamu beli ini juga, kita bakal punya
baju kembaran!"
"Tuck-in?"
"Lho, kok fokusnya malah di tuck-in, bukan soal kembaran! Tuck-in itu maksudnya ujung bajunya dimasukkan ke dalam celana atau rok, kayak baju olahraga gitu. Masaichi juga coba pakai tuck-in di depan saja, pasti kelihatan lucu."
Benar juga. Seingatku waktu kencan kemarin, Toiro memang pakai baju ini dengan gaya tuck-in. Mungkin juga terlihat di stiker foto yang kusimpan di dompet.
Jadi, kami akan punya baju kembaran. Yah, mungkin nggak perlu diberi makna khusus, tapi sebagai pacar pura-pura, pakai baju kembaran bisa jadi bagian dari gaya pacaran juga. Kurasakan sedikit rasa geli saat kembali melihat kaus ini. Meski kembaran, toh cuma kaus putih polos!
Sambil keluar dari ruang ganti menuju kasir, aku membuka suara. "Lalu, seingatku kita juga perlu beli topi—"
Kebetulan, Toiro bicara di saat yang sama. Dia mengulurkan tangannya, mempersilahkanku untuk bicara lebih dulu.
"Yah, aku pikir ingin lihat-lihat aksesori lainnya juga. Selain topi, kan kita juga butuh tas. Kira-kira apalagi yang harus kita beli?"
"Wah, kamu antusias banget! Perlu nggak sih semuanya dicari sekaligus… Kamu nggak capek?"
"Tenang, aku baik-baik saja. Sebenarnya, aku penasaran sampai sejauh mana aku bisa berubah."
Mendengar jawabanku, Toiro menatap wajahku dengan saksama. Tatapannya membuatku merasa sedikit canggung.
"Begitu, ya. Kalau begitu, ayo kita pilih topi! Di lantai tiga ada topi hitam yang bagus. Biar kelihatan lebih niat, kita pilih aksesori yang keren. Tasnya nanti pakai punyaku saja, dari merek olahraga yang sering kupakai. Atau malah kamu mau pakai saja, kebetulan aku baru beli tas baru."
"Serius nih? Kamu banyak membantu sekali."
"Ah, apa sih? Kan aku pacarmu."
"Pacar sementara!"
"Kamu malah ditekankan lagi, ya. Tapi sekarang rasanya kita sudah seperti pasangan sungguhan, deh?"
Toiro tiba-tiba melontarkan kalimat itu.
"Karena aku nggak tahu gimana rasanya punya pacar asli, jadi aku nggak bisa bilang," jawabku. Toiro hanya tertawa kecil.
Kami memang pacar sementara, tapi belakangan kami makin sering menghabiskan waktu bersama. Semua ini demi menjaga hubungan palsu kami, tapi makin lama, rasanya seperti pasangan sungguhan. Kadang, aku sampai terjebak dalam ilusi itu, makanya aku menegaskan lagi status kami yang hanya pura-pura.
"Yuk, kalau sudah siap langsung bayar saja," ujarnya sambil mendorongku ke kasir. Saat aku mengantre, Toiro bilang akan melihat-lihat bajunya sendiri dan meninggalkanku sejenak.
Melihat punggung Toiro yang menjauh, aku tiba-tiba teringat kalau tadi dia seperti ingin mengatakan sesuatu. Tapi sepertinya tidak terlalu penting, ya, kalau dia sampai mengurungkannya.
Meski memikirkannya sejenak, tidak ada hal penting yang terpikirkan. Lama-lama pikiranku penuh dengan bayangan penampilanku yang baru dengan baju yang sudah kupilih ini.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.