Nee, Mou Isso Tsukiacchau? Osananajimi Chap 6

Ndrii
0

Chapter 6

Kencan berdua untuk menipu dunia




Dari lantai empat SMA Meihoku yang berdiri di dataran tinggi, jika cuaca cerah, lautan bisa terlihat.  


Sore itu, setelah musim hujan berakhir dan matahari bersinar sepanjang hari, langit memancarkan warna biru dengan semburat ungu saat matahari perlahan turun ke barat daya, menuju laut.  


“Wow, pemandangannya bagus banget hari ini. Cantik banget, ya?”

  

Toiro, yang duduk di hadapanku dengan meja bundar di antara kami, berkata dengan suara penuh semangat sambil melihat ke luar jendela. Bahkan dari samping, aku bisa melihat matanya yang besar memancarkan kilauan seolah-olah dipenuhi oleh cahaya matahari senja.  


“... Yah, cantik juga,” jawabku, memindahkan pandanganku dari wajah Toiro ke pemandangan luar jendela.


Situs web sekolah kami dengan bangga menyatakan bahwa ini adalah “sekolah dengan pemandangan laut.” Meskipun sekolah ini adalah sekolah negeri, mereka memiliki kafe di lantai lima, ruang yang sangat bergaya, dan sering dijuluki sebagai surga bagi para pasangan.  

Namun, aku heran mengapa sekolah ini mengalokasikan anggaran untuk ruang yang hampir hanya digunakan oleh pasangan, padahal ada hal yang lebih penting. Misalnya, mereka bisa saja membangun bilik internet dengan komputer, jadi aku bisa main game online selama jam istirahat tanpa harus kesal karena ponselku lambat. Itu akan membuatku bahagia.  


Tapi sekarang, aku sudah tidak bisa lagi mengeluh tentang hal itu.  


Setelah selesai membersihkan ruang kelas, Toiro memanggilku ke sini untuk membicarakan sesuatu yang katanya penting. Tanpa sadar, aku kini duduk di ruang yang dianggap sebagai tempat suci bagi pasangan bersama seorang gadis, berdua.


“Kenapa kita harus ke sini?” tanyaku.  


“Tempat ini cocok untuk pertemuan rahasia dua orang yang menipu dunia,” jawab Toiro dengan nada sok keren.  


“Wah, kedengarannya keren. Tapi kalau begitu, bukankah lebih baik di ruangan tertutup? Di sini suara kita bisa bocor, tahu?”  


“Yah, kalau di rumah kita malah nggak bakal fokus. Pembicaraan penting harus di luar.”  


Dia ada benarnya juga. Kalau di rumah, godaan terlalu banyak. Aku biasanya langsung menyalakan komputer dan terjun ke dunia internet, sementara Toiro suka melempar tasnya ke tempat tidur dan ikut terjun. Setelah itu, kami masing-masing sibuk menikmati waktu kami sendiri, dan kadang-kadang kalau lagi mood, kami bermain game bersama.  


Aku ingat saat Toiro memintaku untuk berpura-pura menjadi pacarnya, dia menunggu di luar rumah dan tidak masuk. Mungkin karena alasan itu juga.


Untungnya, sore itu kafe tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa pasangan yang duduk di sofa di sudut-sudut ruangan. Mungkin, kami yang sedang berpura-pura pacaran ini tidak akan terlalu mencolok di sini.  


Di atas meja ada secangkir kopi untukku dan secangkir latte untuk Toiro. Keduanya es. Setelah musim hujan berakhir, musim panas akhirnya tiba.


“Jadi, konsultasi apa ini? Soal hubungan kita?” tanyaku.  


Toiro menggaruk pipinya sambil tertawa kecil, “Yah, gitu deh. Sepertinya banyak orang yang mulai curiga sama hubungan kita.”  


“Ah… Jadi, seberapa parah mereka mencurigai kita?” 

 

Minggu lalu, kami sudah diperas banyak informasi oleh Nakasone di kantin. 

Selain itu, aku juga pernah mendengar desas-desus di kelas yang mempertanyakan alasan kami berpacaran.  


Namun, situasi yang diperlihatkan oleh Toiro tampaknya lebih parah dari yang kuduga.  


“Nih, lihat,” katanya sambil memperlihatkan ponselnya. Di layar ada tangkapan layar dari media sosial. 

“Kenapa mereka bisa pacaran?”, 

“Apa benar mereka pacaran?”, 

“Pasti ada sesuatu yang aneh.” 


Ketika dia menggulir layar, lebih banyak komentar serupa muncul.  


“Ini baru lihat sekilas saja, tapi sudah kayak gini. Terus, teman-teman kita juga kelihatannya cukup mencurigai hubungan kita,” lanjut Toiro sambil menarik napas pelan.


“Wah, serius nih... Apa kita seharusnya bilang yang jujur aja dari awal? Kalau kita ini teman masa kecil yang akhirnya jadi pacar? Ada risiko kita ketahuan kalau bekerja sama, tapi setidaknya kita bisa menyelesaikan masalah karena kita jarang punya kesempatan untuk bertemu dan justru terlalu akrab padahal baru pacaran," ujarku.


"Benar juga... Tapi sudah terlambat. Aku sudah bilang ke teman-teman kalau karena kita baru saja pacaran dan ingin saling mengenal lebih dalam, kita akan menghabiskan waktu bersama sepulang sekolah untuk sementara waktu."


"Iya, salahku juga karena gak sadar waktu itu."


Yang sudah berlalu tidak bisa diubah, tapi keadaan ini sekarang malah jadi rumit. Saat aku berpikir apa yang harus kulakukan, Toiro menjentikkan jarinya di depan wajahku.


"Yah, kita memang sedikit lengah. Artinya, kita harus benar-benar berperan sebagai pasangan dan menunjukkan sisi romantis kita."


"Menunjukkan sisi romantis?"


"Yap! Jadi begini—aku mengusulkan kita jalan-jalan akhir pekan ke pusat perbelanjaan dekat stasiun! Ini buat belajar soal apa itu kencan dan mendekati konsep pasangan yang wajar."


"Akhir pekan, pusat perbelanjaan, kencan…"


Kencan (Date), Day, atau Death...? Kata yang terdengar asing, ya!


"Oh, aku ingat! Kencan itu yang di mana biasanya perempuan bilang mau belanja baju dan cowok jadi tukang bawa barang, atau saat makan cowok yang traktir, dan kalau pakai dompet dengan perekat Velcro, pasti langsung bikin orang ilfeel, gitu kan?"

"Wah, biasmu tentang kencan kok parah banget, sih!?"


Iya, aku baca di internet! Dan setelah baca itu, aku jadi kepikiran, sampai-sampai aku menyerah dengan dompet Velcro lipat tiga kesayanganku. Itu kenangan yang pahit.


"Aku jarang belanja, soalnya. Pertama kali aku belanja juga lewat toko online. Eh, gimana kalau kita keliling situs belanja favorit aja?"


Masih belum merasa sreg, aku mencoba mengeluarkan alternatif lain.


"Apaan sih kamu? Sebenarnya aku mau berangkat siang, tapi ya udahlah, demi kamu aku akan berangkat pagi. Toh ada undian kartu di akhir pekan kan?"


"Oh, iya! Benar juga!"


Hampir saja lupa! Padahal sudah aku catat di ponsel dan kalender rumah. Mendadak, pembicaraan tentang kencan ini menyelinap ke otakku dan membuatku lengah.


Dari awal, kesepakatannya adalah aku akan pura-pura jadi pacar Toiro dengan imbalan bisa ikut antrean undian barang terbatas. Gak nyangka persyaratan itu juga dijadikan alasan buat narik aku ke acara jalan-jalan.


"Ayo, sekali-kali kita belanja di tempat selain hutan hujan daring favoritmu itu!"

TLN : Hutan hujan?Amajon?


Dengan senyum nakal, Toiro berkata seperti semua ini sudah ada dalam rencana. Hutan online itu, kalau jadi anggota, bisa nonton streaming anime juga lho, sangat praktis!


Akhirnya, aku yang terseret ke dalam jebakan Toiro pun bersiap-siap untuk kencan belanja di akhir pekan.



"Hah... siapa itu?"


"Apa maksudmu? Itu tidak sopan!" 


Pada hari kencan yang telah ditunggu-tunggu, aku melihat Toiro keluar rumah sambil mengetuk-ngetukkan ujung kakinya ke sepatu sneaker yang ia kenakan. Tanpa sadar, aku mengernyit melihat penampilannya.


Ia mengenakan rok panjang lipit yang mengalir lembut, kaos putih sederhana yang tampak nyaman dengan ujungnya yang dimasukkan rapi, dan tas selempang kecil di bahunya. Meski pakaian itu sederhana, pinggangnya yang ramping tampak menonjol, membuatnya terlihat mempesona. Rambutnya setengah diikat ke belakang, dengan helai rambut ikal di samping wajahnya, dihiasi anting berbentuk bunga yang berayun pelan. 


Toiro dalam penampilan anggun seperti ini benar-benar berbeda dari biasanya. Aku pun tak bisa menahan diri untuk menatap.


"Uh... siapa ini?"


"Mau sampai kapan mengucapkan itu!? Ini kan kencan, jadi aku datang dengan pakaian andalanku."


"Pakaian andalan?"


"Iya! Baju-baju favorit yang biasa kupakai saat keluar bersama teman-teman."


"Jadi yang kau kenakan di kamarku selama ini itu 'pakaian cadangan' ya?"


"Itu semua pakaian pensiunan yang sudah nggak layak tampil di panggung utama."


"Bahkan tidak layak dipakai main lagi, ya...?"


Yah, pakaian yang sering ia pakai itu kebanyakan sweatshirt atau kaos lusuh, jadi mungkin ungkapan 'pensiun' memang tepat.

"Oh, pakaian andalan, ya... Cocok, kok."


Aku berkomentar sambil mengangguk kagum. Gak heran Toiro terkenal di sekolah, dia jelas tahu cara berpenampilan. Hari ini, dia terlihat sangat menarik, sampai-sampai membuatku terus menatapnya.


―Menurut pandanganku, dia memang imut… ya.


"Oh, ini benar-benar sisi romantismu mulai muncul, ya?" Nada suaranya terdengar geli, tapi ada sesuatu yang berbeda.


"Hm? Aku serius, kok."


Saat aku berkata begitu, mata Toiro berkedip-kedip seolah terkejut.


"Eh, ah, makasih."


Ada keraguan dalam suaranya, dan aku baru sadar akan sesuatu.


―Baru saja aku memuji penampilan Toiro secara alami…?


Rasanya seperti memuji permainan bagus dalam game, tapi memulai kencan dengan memuji pakaian itu benar-benar sesuatu yang dilakukan pasangan, kan?


"Ayo kita berangkat." 


Tiba-tiba aku merasa malu dan mulai berjalan, berpaling darinya. "Iya," jawabnya, mengikuti di belakangku.


Pakaian Toiro benar-benar cocok dan membuatnya tampak manis. Itu pendapatku yang jujur. Sekarang, aku agak mengerti kenapa dia begitu populer di sekolah.


"Kamu pakai baju biasa, ya, Masaichi."


Sambil berjalan, Toiro berkata begitu.


"Ya, aku lebih nyaman pakai ini." Aku melirik ke pakaianku sendiri. Kaos abu-abu, celana kain cokelat muda, dan sneaker putih sederhana yang sudah kusam karena sering dipakai.


"Ini kan kencan, coba deh lebih modis."


"Ini pakaian tempurku." 


Toko buku dan toko kartu di kota cukup sempit, jadi kalau pakaiannya ribet, bisa-bisa aku tersangkut dan menjatuhkan barang-barang. Celana ketat atau jaket berlapis itu bikin gerak sulit, nanti malah kalah cepat sama pengunjung lain.


…Yah, sebenarnya, aku cuma nggak punya banyak pakaian.


"Mau bertempur? Yah, pakaian yang nyaman memang yang terbaik. Nah, ayo kita ke toko!"


Setelah menghirup udara segar, Toiro melompat ringan dan berdiri di sampingku.


Cuaca cerah. Sepertinya hari ini benar-benar hari yang pas untuk kencan.



Di pagi hari yang sudah ramai, kami berhasil mendapatkan tiket undian di toko kartu.


"Fiuh, rasanya tegang sampai undiannya besok..." 


"Kalau ternyata yang menang tiket punyaku, kau harus berterima kasih padaku, ya?"


"Oh iya, kan dua tiket itu aku pegang, jadi aku nggak tahu mana yang punyaku atau punyamu. Yah, bagaimanapun, aku berterima kasih banget, Toiro. Kau benar-benar membantu."


"Bagus kalau gitu! Kalau menang, kau harus mentraktir aku kalori tambahan untuk bangun pagi ini."


"Kalau kue saja sudah cukup, aku nggak keberatan..."


Dengan percakapan ringan, kami berjalan menuju mal terbesar di kota ini.


Jam menunjukkan pukul 10 pagi lebih sedikit. Setelah berjalan sekitar sepuluh menit dan keluar dari stasiun melalui pintu selatan, kami akhirnya sampai di tujuan.


"Jadi, mau ke mana dulu?" 


Aku menyesuaikan tas selempang di bahuku sambil bertanya.


Aku bertanya-tanya, apa yang biasanya dilakukan pasangan pada kencan seperti ini? Ada banyak pasangan yang bergandengan tangan di sekitar kami, tapi aku penasaran tempat-tempat apa yang mereka kunjungi.


Mal ini memiliki sekitar dua ratus toko, area restoran dan pusat makanan besar, dan di lantai teratas ada bioskop dengan sepuluh layar. Banyak pilihan membuat kami sedikit bingung harus ke mana, dan tempat ini juga cukup luas sehingga bisa saja kami tersesat.


"Aku mendengar beberapa teman tentang apa yang mereka lakukan saat kencan. Mau coba ikut saran mereka?"


"Benarkah? Apa kata mereka?"


"Uh, pertama, memilihkan baju untuk satu sama lain di toko, makan parfait berdua di kafe, dan ke toko hewan peliharaan untuk membicarakan anjing yang akan dibeli di masa depan."


"Hanya yang terakhir yang terdengar sangat realistis!"


Sepertinya Toiro sangat bersemangat untuk menjalani kencan romantis kali ini. Aku pun ingin membantunya dan memutuskan untuk mengikuti rencananya.


Sebenarnya aku kurang tertarik dengan pakaian, sih...


Toko pakaian terletak di lantai tiga, empat, dan lima. Kami langsung naik lift ke lantai lima. Tapi begitu pintu lift terbuka, aku terhenti di tempat.


Di dekat langit-langit ada lampu berwarna-warni yang berkedip terang, suara-suara yang berbaur seperti gelombang ultrasonik, serta sorak-sorai dan tawa yang mengisi ruangan.


Ruang itu dipenuhi dengan kesenangan untuk semua kalangan.

"Ah, game center."


Aku bergumam, dan Toiro mengangguk setuju.


"Oh iya, ada game center di ujung lantai lima. Tapi toko pakaian ada di arah sana."


Sambil berkata begitu, ia mulai berjalan di koridor kiri—tapi matanya tetap terpaku pada game center. Kepala Toiro hampir menoleh 180 derajat saat akhirnya ia berhenti.


"Ada apa?"


Aku ikut berhenti di belakangnya.


"Apa menurutmu...?"


"Apa maksudmu?"


Ia terdiam beberapa saat, dan aku memperhatikan tubuhnya perlahan bergerak ke arah game center, seolah tertarik oleh melodi ceria dari mesin-mesin permainan.


"Ayo romantisme pacaran kali ini... kita tunda dulu."


"Hah, benar nih?"


"Benar apa enggaknya... Apa kau tahan melihat ini tanpa bermain?"


"Terus terang, rasanya sekujur tubuhku bergetar melihatnya..."


Kalau memang diizinkan, aku juga ingin sekali bermain di game center. Pernah ada masa di SMP saat aku tergila-gila dengan arcade, jadi kalau ditanya suka atau tidak, jawabannya tentu sangat suka.


"Game center date juga seru kok. Ya sudah, kita main saja hari ini!"


Toiro, yang juga penggemar game, tak bisa lagi menahan diri. Dengan semangat, ia membuat pose kemenangan kecil dengan kedua tangan dan segera melangkah menuju game center.


"Ayo, Masaichi, kita mulai bertanding!"


"Oke, apapun tantangannya, aku siap. Jangan menyesal kalau kalah nanti, ya?"


"Itu yang kuharapkan! Oh, gimana kalau main yang itu?"


Toiro menunjuk ke arah mesin balap yang sering kami mainkan di rumah, versi arcade dari MaruRace. Ini pertama kalinya kami memainkannya di game center. Di sini, setelah memasukkan koin, kita bisa mengambil foto wajah, dan selama balapan, foto kita ditampilkan sebagai ikon karakter.


"Yang kalah traktir es krim dari mesin minuman. Gimana?"


"Deal."


Kami langsung naik ke mesin dan memasukkan koin, memilih mode pertandingan satu lawan satu.


Saat tiba di layar foto, aku memasang wajah serius, sementara Toiro membuat wajah konyol dengan tangan di pipi dan bibir seperti ikan. Rasanya pertarungan sudah dimulai bahkan sebelum balapan.


Kami memilih karakter favorit yang biasa digunakan di rumah, dan Toiro secara acak memilih jalur pantai. Saat balapan dimulai, kami langsung disambut dengan tikungan tajam.


"Wah, gawat! Tikungannya tajam banget!" 


"Kyah! Eh, ini licin banget! Kenapa CPU-nya cepat banget!?"


Kupikir, ini pertama kalinya aku memainkan game ini dengan setir. Ini juga pertama kalinya aku duduk di kursi arcade, dengan speaker di belakang kepala yang membuat suara mesin dan drift terdengar begitu nyata, membangkitkan suasana hati. Tapi, tentu saja, rasanya berbeda jauh dengan menggunakan controller yang biasa kugunakan. Sedikit saja aku memutar setir, kart-nya langsung berbelok tajam.


"Sial, start-nya sih bagus, tapi kita makin ketinggalan."


"Cuma bisa berharap dapat item, nih. —Aah, nggak bisa dapet!"


Satu per satu kami disalip CPU, dan kami pun tertinggal. Meski begitu, kami berdua tidak menyerah. Meskipun dihajar oleh komputer, yang penting adalah pertarungan antara kami berdua. Perlahan mulai terbiasa dengan kontrolnya, akhirnya kami bisa mulai bermain dengan lebih serius.


"Masaichi! Terima ini!"


"Sudah kujaga—eh, ada kepiting di belakang!"


"Hehe, nyetir sambil nengok itu bahaya loh—Aku duluan, ya! Eh, tunggu! Lagi pakai item malah nyemplung ke jurang!"


Setiap gerakan kart-nya diikuti teriakan riang dari sebelahku.


"Alih-alih permainan ala kekasih, kita malah jadi teman masa kecil yang lagi main berisik banget di depan umum!"


"—Eh!"

Malu, Toiro melirik sekitar. Aku pun sekilas mengalihkan pandanganku dari layar, ternyata tanpa kusadari, ada anak-anak kecil yang menunggu giliran.


Ya, kalau lagi main game, memang nggak heran sih kalau keluar sisi aslimu… 


Sempat sunyi sebentar, tapi Toiro kembali larut dalam game, dan suaranya terdengar lagi. Saat kami sampai di putaran ketiga—putaran terakhir—kami saling mengejar dan disalip bergantian. Dalam hal kemampuan, kami seimbang, jadi pertarungan ini lebih banyak bergantung pada keberuntungan item.


"Sial, kalau pakai controller aku nggak bakal kalah…"


"Hehe, Masaichi, tanpa latihan gini kamu cuma segini aja? Berarti kemampuan dasar main kita setara ya!"


Sial, di kamar aku selalu menang lebih banyak, jadi kalau sampai kalah di sini, Toiro pasti akan jadi besar kepala. Demi harga diri, aku nggak boleh kalah.


Sambil menggerakkan setir, aku menarik napas dalam.


Tenang. Cara menangnya sudah kutemukan. Di lap pertama dan kedua, saat aku terus menabrak dinding karena belum terbiasa dengan kontrol, kalau kamu pikir aku nggak melakukan apa-apa, itu salah besar.


Saatnya unggul jauh!


Kart kami melaju di sepanjang pantai berpasir. Laut di sebelah kanan, gunung di sebelah kiri. Tepat di belakang, Toiro mendekat sambil melakukan drift.


Aku langsung memutar setir ke kiri dengan tajam. "Eh?" Toiro berteriak. Di depan kami ada gunung dengan lubang besar dan sinar yang terlihat dari dalamnya. Aku menaiki batu miring dan meloncat tinggi, meluncur masuk ke terowongan.


"Eh, Masaichi! Jalan pintas!?"


"Fuhaha! Dari peta jalur, jelas terowongan ini memotong gunung. Ini jelas jalan pintas. Sambil menabrak dinding terus, aku mencari jalan ini!"


Sebenarnya, aku cuma kebetulan melihat lubangnya setelah sering keluar jalur.


"Curang banget! Itu jalan rahasia yang cuma penduduk lokal tahu! Nggak adil!"


Haha, ngomong apapun terserah. Begitu keluar terowongan, tinggal sedikit lagi sampai garis finis. Pemenang adalah keadilan. Es gratis dari orang lain pasti akan terasa lebih enak.


"Jahat! Iblis! Manusia nggak punya hati! Di kehidupan sebelumnya keong! Kehidupan berikutnya bakalan jadi kaki seribu!"


"Kata-katamu unik banget buat umpatan!"


"—Hihihi."


Hm?


Setelah menyemburiku dengan umpatan, Toiro tiba-tiba berkata pelan. Penasaran, aku melirik ke arahnya.


Wajahnya tersembunyi di balik rambutnya, tapi ujung bibirnya terangkat.


Ada apa? Kenapa di saat seperti ini dia bisa tertawa?


Saat kami keluar dari terowongan ke dunia terang, kart-ku langsung mendarat, lalu tergelincir dan berputar. Aku kehilangan kendali, lalu keluar jalur ke arah laut.


"Hah! Eh?"

Tepat saat tergelincir, aku sempat melihatnya. Sebuah item balok es diletakkan di jalur, membuat kart-ku terpeleset. Aku menoleh ke arah Toiro meski sedang bermain.


"Fufufu~. Aku juga, kalau kamu pikir aku nggak melakukan apa-apa, kamu salah besar. Sambil nabrak dinding, aku sudah menduga kalau kamu bakal pakai terowongan itu di lap ketiga. Jadi aku pasang jebakan di sana. Aku menang!"


Toiro tersenyum, menoleh ke arahku sambil membelokkan setir. Di depanku, wajah aneh si gurita kartun milik Toiro meledekku. Wajah itu benar-benar bikin panas ya…


Aku nggak sempat menyusul, dan Toiro berhasil mencapai garis finis lebih dulu. Sebenarnya, CPU sudah mengisi posisi atas, jadi ini hanya perebutan posisi terakhir, tapi Toiro mengangkat tangan merayakan kemenangannya.


"Yeay! Aku menang lawan Masaichi! Rasanya lega banget!"


Anak-anak kecil di belakang kami melihat ke arah siswi SMA yang berteriak senang dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu.


"Tidak bisa dipercaya…"


Aku nggak pernah menyangka akan kalah di game ini. Rasanya ingin segera balas dendam, tapi anak-anak sudah menunggu.

Dengan lesu, aku turun dari mesin game.



Aku mentraktir es, dan setelahnya kami mencoba berbagai permainan: game tembak-menembak zombie, permainan musik yang menggunakan drum, hingga game kuis nasional. 


――Seperti biasa, kalau sama Toiro, rasanya main game apa pun pasti seru.


Setelah puas bermain dan bercanda ala sahabat lama, kami berdua berjalan-jalan di sekitar area mesin capit boneka.


"Mau coba yang ini nggak?" tanyaku sambil melihat-lihat figure karakter anime terbaru yang sedang ngetren di mesin tersebut.


"Yah, susah ngambilnya juga. Akhirnya kan lebih murah beli langsung," Toiro berkomentar sambil menatap boneka di dalam mesin sembari menekan-nekan tombol.


"Itu sih komentar yang nggak cocok buat pasangan yang lagi kencan. Bukannya harusnya malah semangat coba ambil?" jawabku, berusaha menantangnya.


"Enggak, ini lebih realistis aja. Boneka-bonekanya memang lucu, tapi kalau soal harga, nggak terlalu manis," jawabnya sambil tersenyum.

Namun, baru saja Toiro akan melangkah pergi, ekspresinya berubah drastis, dan dia langsung berbalik, mendekat padaku dengan tatapan serius.


"Ada apa, sih?" tanyaku bingung.


Toiro mendekatkan wajahnya ke telingaku dan berbisik, "Di depan ada Mayu-chan sama teman-temannya."


Aku menoleh dan melihat teman sekelas kami, Mayu, masuk ke area kami bersama dua gadis dari kelas lain yang juga kukenal. Mereka sepertinya mengarah ke tempat kami berada.


Tepat sebelum aku sempat berpikir untuk menyingkir, Toiro tiba-tiba menggandeng lenganku dengan erat, membawa serta aroma manis yang menyebar halus.


"H-Hei?"


Sebelum aku bisa memberikan reaksi yang jelas, Toiro malah berseru dengan suara nyaring.


"Ah! Masaichi, ambilin boneka anjing kecil itu buat aku, dong!"


Dengan suara lantang itu, Mayu dan yang lainnya langsung melirik ke arah kami.

Tanpa memberi mereka kesempatan mendekat, Toiro menarik lenganku, membawaku mendekati mesin yang tadi ia perhatikan.


"Aku pengen yang ini! Lucu banget!" serunya penuh semangat.


"Lho, bukannya tadi bilang lebih murah beli langsung―" tapi sebelum aku menyelesaikan kalimatku, dia malah mengeratkan pegangannya sambil menginjak kakiku dengan halus. Wajahnya sedikit memerah.


"Ambil dong! Biar bisa dipajang di kamarku!" katanya penuh semangat.


Sepertinya dia benar-benar ingin kami berpura-pura jadi pasangan manis. Mungkin ini untuk menghentikan desas-desus yang akhir-akhir ini beredar tentang kami. Tapi ya ampun, secepat itu dia berubah dari nggak tertarik sama mesin capit jadi semangat.


Teman-teman sekelas kami memperhatikan kami lekat-lekat, mengamatiku dengan penasaran. Meski aku merasa sedikit canggung, aku tak punya pilihan selain memainkan peranku dengan baik. 


Sambil menenangkan diri, aku mulai melihat boneka-boneka yang tersedia.


"Aku kira kamu bakal langsung pilih yang ada tower snack-nya tadi," ujarku sambil melirik boneka anjing kecil di dalam mesin. Di sana ada dua anjing kecil, satu dengan bandana di leher dan satunya lagi mengenakan pita.

Boneka-boneka itu cukup besar, tampak nyaman untuk dipeluk.


"Yah! Aku juga cewek, lho. Tertarik sama yang lucu-lucu gitu. Aku suka banget anjing kecil kayak ini! Mungkin nanti akan aku taruh di tempat tidurmu, Masaichi~ Biar nyamannya maksimal!"


"Jadi, ujung-ujungnya buat bantal, dong?"


Toiro tertawa kecil dan mengeluarkan dompetnya. Ia memasukkan koin ke dalam mesin lalu mulai fokus mengamati boneka di dalamnya.


"Gimana? Bakal berhasil?"


"Yakin, deh! Kayak gini sih cukup pencet tombolnya aja," katanya dengan percaya diri.


"Yah, kalau kayak gitu justru bikin aku sedikit cemas, sih," candaku.


Toiro tampak serius, matanya menatap intens ke arah boneka anjing yang jadi targetnya, lalu tiba-tiba ia memutuskan menekan tombol. Cakarnya berhasil memegang bagian bawah boneka itu, tampak mantap.


"Yess! Sesuai target!"


"Akurasi pas, tuh," komentarku dari samping, memastikan posisi cakar sudah sempurna. Namun, cakar mesin itu ternyata tidak cukup kuat untuk mengangkat bonekanya. Cakar itu malah hanya menyentuh permukaan boneka tanpa membawa apa pun.


"Kenapa sih!?" protesnya, wajahnya menempel di kaca mesin sambil kedua tangannya memegang mesin itu dengan kesal.



“Wah, ternyata cengkeraman mesinnya lemah banget!” kataku sambil melihat boneka yang nyaris tak bergerak.

“Jadi ini mungkin belum saatnya untuk umat manusia!” balas Toiro, mencoba merasionalisasi kekecewaannya.

“Kamu terlalu cemas. Mesin ini diatur biar bisa diambil, kok. Barusan, waktu lengan mesinnya naik, boneka itu bergeser sedikit, kan? Kalau terus begitu, bisa kita bawa ke lubang keluar pelan-pelan,” jelasku sambil mengeluarkan uang dari dompetku. Kumasukkan koin lima ratus yen, memastikan kredit yang sudah diisi bakal menambah satu kali permainan secara otomatis.

“Lubang keluarnya ada di sisi kiri, jadi kita arahkan cakar kanan mesin ke posisi tepat di sisi boneka. Begitu cengkeraman mesin terangkat, boneka itu akan tergeser ke kiri,” tambahku sambil menjalankan strateginya, dan benar saja, boneka Anjing Shiba itu bergeser lebih besar dari sebelumnya.

“Wah, kayaknya bakal berhasil!” Toiro semakin bersemangat, wajahnya bersinar saat menatap mesin.

“Ya, cuma bakal makan biaya agak banyak,” kataku sambil menyeringai bangga. Kali ini, Toiro memasukkan uang lima ratus yen untuk giliran berikutnya.

“Toh, kamu kok kelihatan jago banget soal beginian?” tanyanya, memandangku penasaran.
“Dulu waktu SMP, aku suka banget koleksi figur dan boneka anime. Sampai lupa berapa banyak uang yang kuhabiskan…”

“Ah, jadi itu boneka-boneka yang disembunyikan di dalam lemari kamu, ya?” 

“Eh, kamu tahu?!”

“Kadang aku buka lemari kamu pas minjem baju rumahan, dan boneka-boneka cantik itu selalu ‘melotot’ ke arahku. Bikin merinding, sih,” katanya sambil tertawa.

“Dengar ceritanya jadi kayak adegan horor, dong!” Aku sedikit merasa bersalah. Boneka-boneka itu, meski penuh perjuangan, akhirnya cuma bisa kutumpuk di lemari karena kamar sempit. Meski begitu, aku sering keluarin dan rawat, kok.

Sambil ngobrol, aku melanjutkan langkah-langkahnya sampai akhirnya boneka Anjing Shiba itu berada di posisi siap jatuh. Aku menekan ujungnya dengan cakar mesin, pelan-pelan mendorongnya sampai…

“Dikit lagi… yaaa berhasil!” Boneka itu jatuh ke lubang, dan Toiro bersorak sambil mengangkat tangannya dengan senyum cerah, lalu segera berjongkok untuk mengambil boneka tersebut.

“Keren banget, Masaichi! Ini bakal jadi kenang-kenangan bagus buat kencan pertama kita!” katanya sambil tersenyum puas.
Ya ampun, senangnya kayak anak kecil, pikirku. Tapi melihat dia seantusias itu, aku juga ikut merasa bangga. Pergi ke arcade, bermain di UFO catcher bersama seorang gadis—mirip banget sama cerita di manga dan novel. Ternyata hal begini juga bisa terjadi di dunia nyata, bahkan dengan gadis secantik Toiro di sebelahku.

Sementara aku melamun, Toiro mendekatkan boneka Anjing Shiba itu ke wajahku, menggerakkannya sambil berkata, “Guk guk, terima kasih sudah menolongku!”

Aku menangkap boneka itu, dan Toiro melepaskannya, membiarkanku memegang boneka dengan kainnya yang halus. Aku tersenyum sambil bergumam, “Hmm… empuk juga buat dijadiin bantal.”

“Iya kan? Aku tahu bakal cocok buat kamu,” Toiro terkikik.

Kenang-kenangan, ya… Boneka ini, praktis dan juga punya nilai sentimental. Jadi kayaknya harus kutaruh di kamar, biar nggak sekadar disimpan di lemari.


Pada akhirnya, hari itu aku dan Toiro bermain di mal sampai lewat jam lima sore. Saat keluar dari arcade, kami mulai bercakap-cakap.

"Lapar nih! Masaichi mau makan apa?"

"Hmm, ramen, mungkin."

"Ah, itu ide bagus! Meski nggak kelihatan seperti kencan pertama seorang pasangan, sih..."

"Kalau gitu, gimana kalau makan yang lain?"

"Ah, nggak bisa. Mulutku udah ngidam tonkotsu."

Sambil berbicara seperti itu, kami berjalan menuju area restoran. Karena pas jam makan siang, kami harus antre, tapi waktu menunggu itu kami habiskan dengan bermain game di ponsel. Akhirnya, kami bisa makan ramen. Setelah itu, kami mampir ke toko mainan untuk melihat game terbaru, lalu ke toko barang-barang hobi yang juga menjual pernak-pernik dan buku. Aku ingat kalau ada edisi terbaru light novel yang aku inginkan, jadi kami juga pergi ke toko anime untuk mendapatkan edisi khususnya.

Waktu berlalu begitu cepat.

Sebelum pulang, Toiro tiba-tiba berkata, "Kita perlu bukti kencan buat ditunjukin ke semuanya!" dan kami kembali ke arcade untuk mengambil foto di mesin purikura. Toiro yang mengurus doodling-nya, lalu dia membelah lembarannya jadi dua untuk kami masing-masing. Di stiker yang aku dapat, terlihat diriku dengan senyum kikuk yang canggung di purikura pertama dalam hidupku, dan Toiro yang sedang memanyunkan bibir sambil mengedipkan mata dengan semangat.

Dan sekarang, kami sedang berjalan pulang berdampingan.

Udara luar yang panas pada siang hari masih menyisakan kehangatan yang lembap, memberikan sensasi nyaman pada tubuh kami yang lama berada di dalam ruangan yang dingin. Ibu-ibu dengan tas belanja, pelajar yang baru selesai kegiatan klub, pria bersetelan jas yang mungkin bekerja di akhir pekan – orang-orang yang berlalu lalang di depan stasiun sore itu tampak sedikit tergesa-gesa. Di tengah hiruk-pikuk itu, kami berjalan santai menuju rumah, merasa puas dengan hari ini.

"Apa kencan seorang pasangan itu memang kayak gini, ya?"

Aku tiba-tiba bertanya pada Toiro.

Akhir-akhir ini, kami lebih sering bermain di kamar, dan sudah lama sejak terakhir kali kami jalan-jalan seperti ini. Hari ini benar-benar menyenangkan dan penuh kepuasan, tapi rasanya seperti kelanjutan dari cara kami biasa bermain. Jadi aku penasaran, apakah ini bisa disebut sebagai “aksi pasangan.”

Yah, sejak awal aku sudah menyerah pada rayuan untuk pergi ke arcade, jadi memang kesannya tidak seperti kencan formal.

Toiro menempelkan jari telunjuk di bibirnya, berlagak berpikir, lalu tersenyum kepadaku.

"Hmm, nggak apa-apa kan begini. Yang penting kita senang!"

"Ya, begitulah, mungkin?"

"Begitulah memang."

Kalau Toiro bilang begitu, ya sudah, biarlah. Lagipula, aku juga nggak tahu kencan seorang pasangan biasanya seperti apa. Jadi ya, mungkin memang begini.

Saat aku memikirkannya, Toiro di sampingku tiba-tiba membuka mulut.

"Tapi…"

Dia melangkah maju sambil berputar ringan dan berbalik menghadapku. Aku tanpa sadar berhenti.

"Kalau merasa kurang, gimana kalau kita pegangan tangan?"

"Hah? Pegangan tangan?"

Mendengar tawarannya yang tiba-tiba, aku mengeluarkan suara bingung.

"Iya, bukankah itu aksi pacaran banget? Eh, Masaichi, kamu malu ya?"

Toiro berkata dengan nada menggoda, sambil menyeringai dan menatap wajahku. Di matanya yang bulat, bayangan wajahku terlihat jelas.

"A-aku nggak malu! Apa sih yang kamu bilang."

Meski berkata begitu, detak jantungku terasa makin kencang. Perasaan yang sering muncul akhir-akhir ini sepertinya sudah nggak bisa lagi aku tahan.

"Wah, panik nih! Masa sih Masaichi yang polos masih malu kalau tiba-tiba pegangan tangan sama cewek cantik?"

"Nggak, siapa juga yang bilang kamu cantik!"

Aku berusaha menutupi kegugupanku, lalu dengan singkat berkata, "Nih," sambil membuka telapak tangan. Toiro segera meraih jari telunjuk hingga kelingkingku, dan menggenggamnya dengan tangan lembut dan dinginnya.

Suasana hening dan canggung sesaat melingkupi kami. Aku memalingkan wajah, tapi tetap merasakan genggaman tangannya yang kuat. Dia menundukkan kepala sedikit, menatap tangan kami yang saling bertautan.

—Gawat, aku jadi sangat gugup…

Akhirnya, kami mulai berjalan kembali dengan tangan masih saling menggenggam.

"...Kayaknya ini mengingatkan ke masa kecil, ya?"

"Ah, iya, bener juga. Dulu kita sering pegangan tangan sambil main ke mana-mana."

"Kita sering ke tepi sungai dekat rumah, kan? Ambil kepiting, lalu kamu pelihara di rumah."

"Iya, betul. Kita juga suka mencari katak banteng yang suaranya terdengar tapi nggak ketahuan di mana mereka sembunyi. Waktu kecil kita cukup aktif ya."

Berkat nostalgia masa kecil yang Toiro bicarakan, rasa gugupku perlahan-lahan mulai menghilang.

"Aktif banget, malah. Kita sering naik kereta buat jalan-jalan ke sana-sini. Ke penjuru Jepang, sana-sini."

"Jalan-jalan…? Itu maksudnya kamu ngomongin game Kuri-Tetsu kan! Kaget aku, kupikir kamu beneran serius tadi. Itu kan malah ngabisin waktu lama dan lebih kayak aktivitas indoor banget."
"Haha, iya, kita sering main itu! Nggak pernah bisa beli Kuri-Land sampai sekarang, ya."

"Iya, kita sampai hafal rute itu. Pas lagi study tour pun, kadang merasa kayak 'Eh, ini rasanya pernah ke sini!' ternyata ingatan dari Kuri-Tetsu."

"Nanti main lagi yuk? Oke, 100 tahun, ya."

Bercanda seperti ini membuatku merasa seperti benar-benar kembali ke masa kecil. Kami terus berjalan melalui perumahan yang disinari matahari senja, mengenang masa kecil. Aroma masakan dari rumah-rumah di sekitar mulai terasa, menimbulkan perasaan nostalgia yang hangat. Tak lama lagi, lampu-lampu jalan akan menyala serempak.

Dulu, kami juga pernah berjalan di jalan ini sambil bergandengan tangan saat masih SD. Waktu itu, hal seperti ini adalah sesuatu yang biasa.

Pada akhirnya, hanya akulah yang merasa gugup dengan perubahan ukuran tangan pasangan? Tanpa sadar, aku memikirkan hal itu sendiri.


Senin.
Ketika aku tiba di sekolah, aku langsung menceritakan kisah kencanku dengan Masaichi kepada kelompok teman-temanku. Namun, reaksi mereka agak berbeda dari yang aku harapkan.

"Wah, kencan di pusat perbelanjaan, kedengarannya seru!"

"Eh, eh, aku juga mau main bareng Toiro! Minggu depan, kami bakal pergi bowling sama anak-anak basket, kamu mau ikut?"

"Yuk ikut! Makan bareng juga kan? Siapa tahu ada yang jadi dekat!"

Kaede dan Mayuko langsung mengajak, lalu beralih membicarakan cowok-cowok dari klub basket. Reaksi mereka yang santai agak mengejutkanku karena aku sudah siap untuk dikepoin tentang kencan, detailnya, atau sejauh mana hubunganku dengan Masaichi.

"Cerita kencannya, gimana? Seru, kan?"

Hanya Urara-chan yang bertanya begitu, tapi sesaat kemudian ia juga terseret ke obrolan Kaede dan yang lain. Saat pertama kali kami mulai pacaran, hubungan kami sempat menjadi gosip hangat. Tapi mungkin sekarang topik itu sudah dianggap biasa saja, dan teman-temanku sepertinya tidak terlalu tertarik. Mereka justru lebih suka membicarakan cowok ganteng di kelas, anggota klub olahraga, atau cowok bad boy yang menonjol. Mereka membahas siapa yang oke, siapa yang tidak, siapa yang ingin mereka pacari, bahkan siapa yang mereka rasa cukup keren untuk dipeluk.

Oh iya, alasan mereka mengajakku bowling ternyata ada hubungannya dengan Kaede yang sedang naksir Kasukabe-kun dari klub basket.

Yah, tidak masalah. Selama aku tahu keistimewaan Masaichi, itu sudah cukup.

Aku meraba saku dari luar, memegang lembut stiker foto purikura yang gagal kuperlihatkan pada mereka.


Sepulang sekolah, Toiro kembali datang ke rumahku seperti biasa. Ia duduk santai di tempat tidur, memeluk boneka Anjing Shiba yang kami dapatkan di arcade Sabtu lalu, sambil membaca manga.

"Hei, Toiro, ada yang pengin dimakan nggak? Aku mau ke minimarket, nanti kubelikan semuanya buatmu."

"Hmm, pilihannya jelas, keripik kentang! Tapi, roti lapis isi mentega kismis juga enak. Atau, aku lagi pengin yang coklat ya? Pengen minum soda juga."

"Oke, semuanya akan aku traktir!"

"Eh, serius? Semua!? Hore!"

Aku lagi senang banget hari ini. Kami baru saja memenangkan kartu dari undian yang kami ambil di toko kartu akhir pekan lalu, dan sekarang aku lagi asyik memandang kartu itu di meja belajarku. Setelah itu, aku bersiap-siap untuk pergi ke minimarket.

"Kayaknya seru ya, bisa bener-bener terobsesi sama sesuatu kayak kartu dan game. Itu kelebihan Masaichi sih, tulus banget. Aku sampai kagum."

"Eh? Tumben, kok kamu muji aku?"

"…dan juga mau takoyaki ya?”

"Jangan terlalu serakah, kamu—baiklah, khusus hari ini!"

"Hore!"

Hari ini, aku akan dengan senang hati mengabulkan semua keinginannya. Masaichi yang mudah dipengaruhi seperti ini mungkin cuma muncul sekali dalam hidupku.

"Yah, karena Masaichi selalu tahu apa yang dia inginkan dan mengerjakan apa yang dia suka. Itu keren, kan?"

Toiro tiba-tiba berkata begitu. Aku menoleh, menggumam "Hm?" sementara dia terlihat seperti baru ingat sesuatu.
"Oh iya, nanti aku akan main sama Urara-chan. Belum tahu kapan, sih."

"Hati-hati ya, jangan sampai terseret cerita cinta-cintaan mereka. Dan jangan terlalu capek, jangan kebanyakan main."

"Siap."

"Tapi, kayaknya kamu jarang main sama teman-teman ya, akhir-akhir ini?"

Sejak kami mulai berpura-pura pacaran, Toiro hampir setiap hari datang ke kamarku.

"Yah, aku kan punya pacar yang penting. Eits, tenang, mainnya cuma sama cewek."

"Pacarnya kan Cuma pura-pura... Meski begitu, demi aksi pasangan, lebih baik memang nggak main sama cowok."

Jawabanku rupanya tidak memuaskannya, karena Toiro cemberut sebentar, lalu tampak berpikir serius.

"…Iya juga sih. Masih ada orang yang curiga sama kita, soalnya."

Bahkan aku, yang tidak terlalu peduli gosip, tahu kalau ada yang meragukan hubungan kami. Mungkin di luar sana, gosip tentang kami lebih ramai.

"Teman-temanmu ada yang bilang sesuatu? Soalnya kencan Sabtu kemarin cuma main biasa… Kalau perlu ada aksi lagi, bilang aja, ya?"

Setelah aku berkata begitu, Toiro berkedip beberapa kali, lalu tersenyum lembut.

"Makasih. Ya, meskipun masih ada yang curiga, bisa santai begini tiap sore rasanya udah cukup berhasil sih, untuk saat ini."

"Begitu ya? Kalau menurutmu sudah cukup, ya sudah." ucapku, sekilas melirik kaki Toiro yang duduk bersila di atas tempat tidur.

Toiro mengangkat alis, mengikuti arah pandanganku—dan menyadarinya. "Ah."

Rupanya, rok seragamnya sedikit tersingkap dari tadi, memperlihatkan celana dalam hijau limau yang dikenakannya. Aku sempat ragu kapan harus memberitahukannya.

"…kyaaa. Eh, bercanda deh." katanya, sambil menahan roknya dengan satu tangan.

"Wah, bener-bener suaranya datar. Kalau beneran seorang pacar, harusnya kamu sedikit lebih malu, kan?"

"Masa sih…"

Sambil merapikan roknya, Toiro menunduk, tampak memikirkan sesuatu. …Ada apa, ya?

Heran dengan jeda hening yang tiba-tiba ini, aku mengernyit. Apa aku mengatakan sesuatu yang salah? Saat aku mulai khawatir, Toiro mengangkat wajahnya. Di matanya yang terlihat berkilau, ada sorot yang entah kenapa terasa hangat.

"Menurutku, Masaichi… kalau benar-benar pacaran, pasti ada yang lebih, kan?"

Saat ia menggeser posisi tubuhnya, boneka Shiba yang tadi di pangkuannya jatuh ke lantai. Aku menunduk untuk mengambil boneka itu, berniat meletakkannya kembali di tempat tidur.

"Tunggu, maksudnya 'yang lebih' itu…"

Namun, saat aku meletakkan boneka itu di tempatnya, tiba-tiba Toiro menarik lenganku dengan kuat, membuatku sedikit kehilangan keseimbangan hingga menopang tubuhku dengan tangan di atas tempat tidur.

"Eh, apa?!"

Kejadian yang mendadak ini membuatku panik. Toiro bergeser di atas tempat tidur, lalu dengan tangan yang kosong, ia menepuk-nepuk seprai di sebelahnya.

"Yang lebih ya yang lebih. …Mau coba?"

"…Hah?"

Masih memegang lenganku, Toiro mendekatkan wajahnya, menatapku dari jarak dekat. Aku tidak sebodoh itu untuk tidak mengerti maksudnya, namun aku sengaja bersikap seolah-olah tidak paham. Bagaimana mungkin aku membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya? Aku tidak punya keberanian untuk melangkah sejauh itu tanpa memikirkan risikonya.

Namun, Toiro tidak membiarkanku pergi begitu saja.

"Masaichi, ini bagian dari pacaran."

"Apa …"

Belum selesai aku bicara, Toiro menarikku lagi, dan aku pun terbaring di atas tempat tidur. Aku tidak bisa menolak, karena ada nada tegas dalam suaranya yang mengisyaratkan kalau ini adalah bagian dari hubungan pacaran kami. Mendengar nada itu, aku menurut begitu saja.

Toiro kemudian berbaring di sampingku, membuat tempat tidur bergoyang sedikit. Aroma lembut, entah dari pelembut atau sampo, tercium samar-samar. Aku menundukkan kepala sedikit, sementara Toiro menatapku dari bawah. Pandangan kami bertemu, dan suasana menjadi hening.

Jarak kami kira-kira sepuluh sentimeter. Nafas Toiro yang lembut mengenai bibirku, dan aku tidak bisa bergerak karena khawatir tubuh kami akan bersentuhan.

—Tunggu, kenapa aku sampai berpikir begitu? Toh, kami sudah sering bersentuhan sejak kecil. Kami pernah bergandengan tangan, aku pernah menggendongnya, bahkan kami pernah mandi bersama… Namun, aku tahu, sekarang tidak sama seperti dulu.

Seolah melarikan diri dari tatapannya yang seolah menangkap setiap detail diriku, aku menurunkan pandangan, dan mataku tertuju pada dadanya yang sedikit menonjol. Meski mengenakan seragam, lekukan itu tetap terlihat cukup jelas, bahkan Sarugaya pernah berkomentar kalau ukuran itu cukup 'terlihat.'

Setelah menatapnya cukup lama, aku buru-buru memalingkan wajah, bingung harus menaruh pandangan ke mana. Tak ada gunanya. Meskipun aku ingin memperlakukannya sama seperti dulu, teman masa kecilku ini sekarang sudah berubah menjadi seorang wanita.

—Tapi ini Toiro! Apa yang sebenarnya kupikirkan…?

Saat aku mulai merasa panik, Toiro tiba-tiba menghela nafas ringan.

"Baiklah, sampai sini saja! Masaichi, mukamu merah banget, tau?"

Ia bertepuk tangan kecil dan bangkit dari tempat tidur.

"Sampai sini saja?"

"Ya, sampai sini saja. Ini hanya latihan, kan? …Eh, jangan-jangan, kamu sempat berharap ada sesuatu?"

Toiro tersenyum geli, menutup mulutnya dengan jari telunjuk.

Sementara aku, yang masih terbaring, merasa seluruh tubuhku melemas.

Jadi, semua ini hanya bercanda?

Sama seperti saat kencan kami beberapa hari lalu, tampaknya Toiro selalu punya ruang untuk menggodaku. Apa dia sama sekali tidak merasa malu? Aku merasa lega sekaligus… entah kenapa sedikit kesal tanpa alasan yang jelas.

☆ 

—Gawat, ini benar-benar memalukan...

Saat kami saling menatap, aku berusaha mati-matian agar kegugupanku tidak terpancar. Rasanya panas di pipiku semakin menjadi-jadi. Sejujurnya, sejak dia melihat celana dalamku, aku sudah merasa panik. Meski begitu, untuk soal itu saja, aku masih bisa menahan diri sambil memberi tanggapan datar. Lagipula, kami pasti sudah sering melihat pakaian dalam satu sama lain lebih sering dibandingkan pasangan SMA biasa.

Namun, sejak kami berbaring bersama di atas tempat tidur dan saling menatap, keteganganku semakin memuncak. Soalnya, ini sudah melewati batas sebagai teman masa kecil. Untung aku bukan tipe yang mudah menunjukkan ekspresi. Aku yang memulai situasi ini, tapi kalau sampai ketahuan aku gugup, aku bisa mati malu.

Aku berusaha terlihat tangguh dengan berkata seolah memegang kendali, tapi secara mental aku sudah hampir mencapai batasku. Sambil berdiri dan merapikan seragamku, aku menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.

—Tetap tenang, tetap tenang.

Mungkin bagi pasangan yang baru jadian, terlihatnya celana dalam bisa menjadi hal besar. Bisa membuat suasana canggung atau bahkan sedikit… romantis. Kalau sudah lama pacaran, pasti "yang lebih" itu sudah jadi hal yang biasa. 

Jadi, kalau aku dan Masaichi—kita yang seperti teman masa kecil yang sudah terlanjur akrab ini—bagaimana ya?

Entah kenapa, aku merasa harus memastikan sekarang. Itu sebabnya aku membayangkan, lalu mencoba melakoni adegan seperti pasangan kekasih... 

—Benar-benar membuatku berdebar.

Saat berbaring di dekatnya, aku menyadari betapa besar perbedaan ukuran tubuh kami. Bahunya ternyata cukup lebar. Jika aku dipeluknya sekarang, mungkin tubuhku akan sepenuhnya tenggelam di dadanya.

Juga, waktu kami bergandengan tangan saat kencan kemarin, aku sempat memperhatikan betapa "lelakinya" tangannya. Bukan hanya seperti laki-laki, tapi benar-benar besar, agak kasar, dan hangat. Saat menggenggam tangannya, aku sedikit terkejut, karena benar-benar berbeda dari yang kuingat. Melihat Masaichi tumbuh dewasa seperti ini membuatku merasa kagum, entah kenapa.

Tentu saja, aku juga tumbuh bersama Masaichi. Dadaku, pinggulku, semuanya semakin besar. Apakah Masaichi juga memperhatikan tubuhku dan merasa aku telah dewasa?

Memikirkannya membuatku gelisah, dan aku menggeliat kecil.

—Tidak, tidak boleh begini.

Hubungan kami ini tidak sungguhan. 

"Hei, aku ikut belanja ya! Rasanya nggak enak kalau semuanya dibayarin kamu," panggilku kepada Masaichi yang masih terbaring lemas di tempat tidur. Sepertinya aku terlalu menggodanya.

Apa aku sudah keterlaluan?

Tanpa kusadari, kami telah tumbuh, baik secara fisik maupun perasaan. Karena itu, aku diam-diam merasa perlu menahan diri untuk tidak bercanda seperti ini dalam hubungan kami yang sekarang.













Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !