Chapter 11
Perkenalan pacar untuk mereka berdua
Senin, satu hari sebelum kegiatan belajar di luar sekolah. Saat itu, suasana jam istirahat siang di kelas terasa lebih ramai dari biasanya.
“Gawat, besok sudah acara, dan aku nggak punya baju yang pas!”
“Kira-kira cuacanya cerah nggak, ya? Aku nggak mau sampai gosong. Ugh, kenapa harus ada acara semacam ini sih?”
“Hei, soal camilan, gimana? Boleh bawa pisang nggak ya? Pisang termasuk camilan, bukan?”
Anak-anak yang biasanya paling ribut sekarang lebih bersemangat dari biasanya. Bahkan, kelompok yang biasanya pendiam pun ikut gelisah, terpengaruh suasana yang agak melayang-layang dan penuh antusiasme ini.
Ini adalah kegiatan luar sekolah pertama sejak kami masuk SMA. Hari ini, pelajaran selesai setengah hari saja, dan kami akan berkumpul di aula untuk pengarahan serta jadwal. Mungkin inilah yang membuat suasana jadi serba tidak biasa, dan membuat siswa-siswi tampak begitu tidak sabar.
Tentu saja, sebagai seseorang yang biasa sendiri, aku cukup tenang menganalisis keadaan ini. Para anak populer yang panik soal baju mungkin memiliki lebih banyak koleksi baju daripada para otaku biasa, acara ini adalah kegiatan belajar, bukan sekadar jalan-jalan, dan soal pisang, biasanya yang bertanya soal itu malah tidak benar-benar membawanya. Dan saat nanti aku membawa pisang, mereka akan bergosip, “Hei, lihat tuh, dia benar-benar makan pisang!”
Padahal tidak ada salahnya makan pisang. Pisang adalah sumber energi yang baik, mengenyangkan, sehat, dan mudah dimakan saat bermain game. Ah, ingatan masa SMP-ku yang penuh ejekan seketika muncul, dan aku segera menggelengkan kepala untuk mengusirnya.
Aku tak perlu memikirkan hal-hal yang buruk. Besok adalah hari besar bagiku. Sejujurnya, semakin mendekati waktu keberangkatan, aku makin gelisah. Dari semua orang di kelas yang tampak bersemangat, mungkin sebenarnya akulah yang paling merasakannya.
*
Lalu akhirnya tiba hari acara itu. Langit cerah, cuaca sempurna untuk kegiatan luar sekolah. Setelah mengenakan pakaian yang sudah kusiapkan, aku berangkat ke sekolah. Namun, alih-alih menuju pintu masuk, aku langsung ke lapangan, karena kami akan berangkat dengan bus dan lokasi berkumpulnya ada di luar.
Pagi itu masih pukul tujuh tiga puluh, sekitar satu jam lebih awal dari jam masuk sekolah biasa. Udara pagi yang dingin terasa sejuk di wajahku. Meskipun saat ini rasanya menyenangkan, aku tahu suhu akan semakin panas seiring berjalannya waktu. Ingin rasanya kembali ke rumah, tapi aku terus berjalan.
Di sekelilingku, para siswa kelas satu yang lain juga berjalan dalam pakaian kasual, membuat suasana tampak segar. Saat mendekati lapangan, suara tawa dan canda mereka terdengar semakin riuh.
Sesampainya di lapangan, aku sempat ragu untuk bergabung, tetapi akhirnya mendekat ke kelompok kelas. Mungkin aku datang terlalu awal, karena belum ada antrean apa pun, jadi aku mencoba maju sambil menghindari kerumunan. Sepanjang perjalanan, aku merasa ada yang berbeda.
Aku mulai merasakan tatapan-tatapan menusuk dari sekeliling. Setiap orang yang kulewati tampak melirikku. Aku tiba di tempat berkumpul kelas dan seperti biasa berdiri sedikit terpisah. Menyesuaikan topiku dan mengusap pelan keringat di dahiku, aku menyadari beberapa teman sekelasku memandang ke arahku, lalu buru-buru berbalik sambil berbisik-bisik.
“Itu siapa, ya? Eh, itu Mazono!?”
“Nggak salah lagi, itu pasti Mazono. Soalnya siapa lagi yang bisa punya mata sepekat itu sejak pagi?”
“Tapi biasanya Mazono nggak kayak gitu, deh?”
“Hmm, kalau begitu mungkin kita salah orang?”
Yah, ini sedikit canggung. Sepertinya aku datang terlalu cepat. Aku sengaja bangun lebih awal untuk mencuci muka dan menata rambut, tapi ternyata persiapanku tidak memakan waktu sebanyak yang aku perkirakan. Saat sedang berdiri sendirian, tiba-tiba seseorang menepuk pundakku dari belakang.
“Pagi, Masaichi!”
Ketika aku menoleh, kulihat Toiro berdiri di belakangku dengan senyum ceria yang tidak biasa dilihat pada pagi hari. Kok bisa dia tersenyum seceria itu di jam segini?
“Pagi juga...”
“Cuaca cerah banget, ya!”
Mendengar balasanku, Toiro tersenyum makin lebar.
“Bukannya kamu biasanya nggak bisa bangun pagi?” tanyaku.
Sejak jadi “pacar palsu,” kami memang jarang pergi ke sekolah bersama karena Toiro selalu terlambat. Pernah juga aku menawarkan untuk membangunkannya, tapi dia menolak dengan alasan tidak mau aku ikut terlambat.
“Benar sih, tapi hari ini aku sengaja bangun lebih awal untuk berdandan. Setelah itu aku jadi benar-benar melek, deh.”
Hari ini, Toiro mengenakan celana lebar bermotif bunga dan kaus putih yang terselip rapi di bagian bawah. Rambutnya digelung gaya kasual yang rapi. Sepertinya dia memakai sedikit lebih banyak riasan daripada biasanya. Di pegangan ranselnya, tergantung topi putih.
Saat aku memperhatikan pakaian Toiro, dia pun tampaknya sedang memperhatikan pakaianku. Tiba-tiba dia mendekat dan mengulurkan tangan.
“Kalau kausmu diselipkan di depan saja, pasti kelihatan lebih keren,” katanya sambil merapikan ujung kausku ke dalam celana. Aku kaget saat jari-jarinya menyentuh kulit perutku.
“Eh, aku bisa lakukan sendiri kok,” ujarku, mencoba menghentikannya. Tapi Toiro sudah memasukkan ujung kaus di bagian depan dan tersenyum puas sambil menatapku jahil.
Hmm, benar-benar terlihat manis pacar palsuku ini.
Aku menyadari sekitarku semakin ramai dengan tatapan orang-orang. Ketika aku menoleh, semua orang segera memalingkan wajah.
“Kamu populer juga, ya, Masaichi,” kata Toiro sambil tersenyum.
“Itu gara-gara kamu bikin kehebohan.”
Ketika seorang gadis cantik yang populer menunjukkan keakraban dengan “pacarnya” di depan umum, tentu saja semua orang jadi memperhatikan.
“Eh, serius? Pas berangkat tadi kamu nggak ngerasa diperhatiin?” tanyanya.
“Ah, iya, aku memang ngerasa gitu sih. Waktu jalan ke sini, aku merasa banyak yang lihat.”
Mendengar jawabanku, Toiro mengangguk sambil tersenyum puas.
"Artinya gaya berpakaianmu diakui oleh semua orang. Saat melihat seseorang dengan gaya yang menarik, orang-orang cenderung akan melirik dan memerhatikan. Pasti ada beberapa mata yang tertuju padamu karena penasaran," katanya.
Apakah itu artinya aku sudah diakui? Aku masih belum sepenuhnya percaya diri, tapi aku memang merasa ada tatapan orang-orang mengarah kepadaku. Tanpa ragu, tampaknya gaya berpakaian dari Toiro adalah pilihan yang tepat.
"Yah, aku memang sengaja berusaha tampil keren tanpa berlebihan. Biar kesannya lebih natural, nggak kelihatan kayak berubah total atau salah gaya. Jadi tunjukkan gaya ini sebagai gaya keseharianmu dan bersikaplah percaya diri."
"Baiklah, aku paham."
"Eh, posturmu agak bungkuk sedikit."
Aku pun merapikan posturku sambil berdiri tegap, dan Toiro mengangguk puas.
"Dan satu lagi, pakai ini, ikatkan di lehermu. Ini dari Ayahku."
Toiro mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan memberikannya padaku. Sebuah kalung... atau lebih tepatnya sesuatu yang menyerupai kalung, dengan jaring hitam di ujungnya dan sebuah bola perak kecil yang menggantung.
"Apa ini?"
"Kalung magnetik. Atlet sering memakainya, kan? Bisa juga jadi aksesori fashion, dan yang bagus adalah kalung ini nggak terlalu mencolok. Mungkin tampak sederhana, tapi cukup untuk menambahkan sentuhan gaya pada penampilanmu. Dan menurutku ini cocok dengan penampilanmu hari ini. Aku sampai mencarinya pagi-pagi tadi hanya buat kamu."
"Terima kasih banyak, ini sangat membantu..."
Walau sibuk mempersiapkan dirinya sendiri, Toiro ternyata sempat memikirkan tentang gayaku juga. Aku benar-benar berterima kasih padanya. Saat aku melingkarkan kalung itu ke leherku, Toiro mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik lembut, hingga napasnya menyapu telingaku.
"Hari ini, aku akan serius menunjukkan kita sebagai pasangan."
Apakah ini artinya usaha untuk menunjukkan kami sebagai pasangan sudah dimulai sejak insiden celana yang tiba-tiba dimasukkan ke dalam tadi? Memang, tujuan hari ini adalah untuk mengubah diriku.
Saat aku mengangguk, Toiro tersenyum penuh percaya diri.
*
Setelah turun dari bus, suara serangga semi yang saling bersahut-sahutan memenuhi sekitar. Aroma manis samar dari pohon yang mungkin mengeluarkan getah fermentasi menyebar di udara, berpadu dengan aroma lembap hutan. Taman alam tempat kami melakukan studi lapangan ini terletak di kaki gunung di bagian utara prefektur. Dari tempat parkir yang agak terbuka, pemandangan ke segala arah hanya menampilkan hijau, hijau, dan hijau. Di sana, lebih dari tiga ratus murid satu per satu turun dari bus, memenuhi area. Tampaknya udara hutan yang segar pun menjadi sedikit lebih ringan karena keberadaan kami.
Namun, ada yang terasa janggal. Beberapa saat setelah tiba di taman, entah kenapa, aku justru berada sendirian di tengah keramaian ini.
“... Panas juga,” gumamku sambil menyeka keringat di dahi.
Kalau dipikir dengan tenang, seharusnya aku sudah bisa menyadari alasannya. Kelompoknya Toiro terdiri dari para siswi yang ingin bersamanya. Karena tidak mengindahkan aturan pembagian kelompok, akhirnya mereka membentuk kelompok sendiri yang beranggotakan tujuh orang. Dengan keberadaan mereka yang seperti taman bunga itu, tentu saja keberadaan pria yang satu ini jadi terasa aneh di sana.
Awalnya kupikir aturan kelompok yang tidak jelas itu tak akan mempengaruhiku, tapi ternyata takdir malah membuatku sendirian. Toiro sebenarnya berusaha untuk bersamaku, tetapi melihat anggota kelompoknya berkumpul, bahkan ada yang membayar agar bisa bergabung dengan kelompok Toiro, aku pun menyarankan agar dia tetap bersama mereka.
“Maaf banget ya! Tapi nanti pas makan siang, kita pasti akan makan bersama dan menunjukkan kalau kita pasangan, oke?”
“Iya, aku paham.”
Meski tujuannya adalah menunjukkan bahwa aku bisa menjadi pasangan yang sepadan dengan Toiro, sebenarnya kami tak perlu terburu-buru. Waktu makan siang adalah saat yang lebih tepat untuk menarik perhatian. Dengan itu kami bisa menunjukkan kedekatan kami di depan lebih banyak orang. Setelah sepakat, Toiro pun menjauh dariku.
Akhirnya sendirian, aku memutuskan untuk menghindari keramaian yang bergerak menuju lapangan atau sungai kecil, dan berjalan ke arah jalan setapak yang membentang di pinggir hutan. Tempat ini seharusnya lebih sepi. Aku berjanji bertemu Toiro sebelum makan siang, jadi hingga saat itu tiba, mungkin aku bisa menikmati waktuku di sekitar sini, membayangkan skenario seolah aku terjebak di gunung ini akibat cuaca buruk tiba-tiba dalam “Kehidupan SMA-ku — Petualangan Bertahan Hidup di Pulau Terpencil.”
Dengan membayangkan judul itu saja rasanya sudah membuatku bersemangat. Sambil menikmati pikiran-pikiran tersebut, aku duduk di sebuah bangku dekat situ dan menutup mata sambil mendengarkan kicauan burung. Kegiatan sekolah yang membosankan ini, jika kulakukan dengan cara sendiri, mungkin bisa menjadi waktu yang bermanfaat—setidaknya itulah harapanku.
“Ayo, rumput ini bisa dimakan. Akar pohon ini juga. Buahnya asam, tapi air liurmu akan keluar dan tenggorokanmu akan terasa lebih baik. Gunung ini adalah salad bar alami!”
“Kamu hebat, Masaichi-kun! Walaupun sedang kesulitan makanan, sepertinya kita bisa bertahan…”
“Ahh, lapar juga ya... Pengen cepat-cepat makan bekal. Eh, di toko ada juga mi instan.”
“Bener, ya. Aku juga laper nih. Aku bawa banyak camilan, mungkin kita makan dulu ya?”
Benar juga, camilan. Jauh lebih enak dari buah hutan…—Hah?
Pikiranku yang berisi pengetahuan dari video bertema survival yang pernah kutonton tiba-tiba terganggu oleh suara-suara di luar.
Saat membuka mata sedikit, ternyata beberapa siswa telah masuk ke jalur jalan setapak di mana aku berada. Kenapa mereka datang ke tempat sepi seperti ini? Mungkin lapangan dan sungai sudah terlalu ramai, jadi mereka mulai menyebar ke tempat lain.
Waktu khayalanku terganggu, aku pun memutuskan untuk mencari tempat lain yang lebih tenang. Namun, saat aku berdiri, ada yang menyentuh punggungku dengan pelan.
Aku terkejut dan langsung berbalik, di sana berdiri seorang gadis berambut pirang yang diikat menjadi ekor kuda—Nakasone.
“Halo.”
Dengan satu kata, Nakasone menyapaku. Dia mengenakan celana denim tipis berwarna terang dan atasan lengan pendek dengan hiasan renda putih. Bahunya yang terbuka menampakkan kulit putih yang berkilau di bawah sinar matahari.
“Jadi, kamu ternyata…” aku berkata pelan sambil menghela napas.
“Kenapa? Maaf kalau aku bukan Toiro,” jawab Nakasone sambil mengernyit.
“Bukan, bukan begitu maksudku… Eh? Mana dia?”
Kupikir dia bersama Toiro. Dan kenapa Nakasone sendirian di sini? Tak hanya Toiro, siswi lain juga tidak kelihatan.
“Yang lain, katanya, naik sedikit ke atas bukit, ada pemandangan bagus di sana. Mereka bilang senior yang ke sini tahun lalu yang memberitahu mereka,” jelas Nakasone sambil duduk di bangku dengan sedikit jarak dariku.
Ah, sekarang aku paham kenapa beberapa siswa pindah ke jalan setapak sepi ini… tapi, kenapa kamu sendirian?
Ketika aku hendak menanyakan itu, pandanganku jatuh pada kakinya. Sandal berhak tinggi tanpa kaus kaki—kulit di sekitar jari kelingkingnya merah dan bengkak.
“Kenapa kamu pakai sepatu seperti itu ke gunung?”
“Yah, sandalnya kan lucu. Lagipula aku ingin tampil dengan gaya favoritku, karena ada teman-teman.”
“Kamu bakal kesakitan dan sendirian, itu malah merugikan dirimu sendiri…”
Aku berkata demikian sambil mengeluarkan kain pembalut dari ransel yang kutaruh di samping. Salah satu kantong kartu di dalamnya menyimpan plester. Aku mengambil dua lembar dan menyerahkannya kepada Nakasone.
"Eh, kamu bawa ini?" Nakasone memandangku dengan mata bulat seolah terkejut.
"Ya, begitulah," jawabku. Karena aku terus melakukan latihan keras setiap hari, kadang-kadang jariku bisa terluka. Terutama saat menggunakan stik 3D di controller.
Setelah menerima plester itu, Nakasone mengucapkan terima kasih dengan singkat,
"Terima kasih."
"Tapi, kamu juga sekarang sendirian, kan?" tanyaku.
"Ah, ya... maaf," jawabnya.
Nakasone adalah orang yang dengan sengaja mengatur undian sehingga aku berada di kelompok yang sama dengan Toiro. Aku merasa sedikit bersalah karena akhirnya kami terpisah.
"Yah, dengan situasi seperti itu, sulit bagi cowok untuk mendekati, ya?"
Namun, Nakasone menjawab dengan nada lembut. Aku merasa terkejut, bukan berarti aku meremehkannya, tetapi sepertinya dia cukup memikirkan posisiku dan keadaan yang ada. Orang tidak bisa dinilai hanya dari penampilannya. Pada akhirnya, kita tidak akan tahu tentang sifat seseorang kecuali kita berbicara dengannya.
"Jadi sekarang kita berdua dalam waktu istirahat sendirian, ya," kataku.
Mendengar itu, Nakasone mendengus ringan, "Hmm."
"Betul, ya. Tapi meski kita sendirian, kan mereka itu—"
Saat Nakasone mulai berbicara, suara terdengar dari jauh.
"Urara-chan!"
Ketika aku melihat ke arah suara itu, Toiro terlihat melambaikan tangan sambil meregangkan tubuhnya di atas jalan setapak. Dia bersama anggota kelompok lainnya, turun menuju arah kami.
"Sepertinya mereka kembali lebih cepat. Seharusnya mereka menikmati pemandangan sedikit lebih lama..." Nakasone tersenyum pahit, meskipun matanya tampak senang saat melihat ke arah mereka. Tampaknya anggota kelompok kembali lebih awal karena memperhatikan Nakasone.
Kami telah memutuskan untuk melaksanakan rencana kencan dengan Toiro pada tengah hari. Selain itu, aku ingin Toiro menjaga hubungan yang telah dibangunnya dengan teman-temannya. Jadi, aku memutuskan untuk pergi dari tempat ini.
Aku berdiri dan mengenakan ranselku, melangkah menuju pintu keluar jalan setapak yang terlihat sekitar dua puluh meter di depan. Tiba-tiba, suara Nakasone terdengar dari belakang.
"Kamu, ya..."
Ada apa? Ketika aku menoleh, Nakasone tampaknya sedang memerhatikan seluruh tubuhku, menyipitkan mata seolah-olah mengamatiku.
"...Kamu, pakai baju kasualnya tidak buruk, ya. Mengejutkan."
O-oh, begini, ya...
Aku merasa sedikit malu, jadi aku hanya memberikan sedikit tanggapan sebelum berjalan pergi dari tempat itu.
*
"Panas, ya Masaichi?"
Sebelum siang, ketika aku berdiri di lapangan sambil melihat ponsel, suara ceria itu memanggilku dari depan.
"Iya, Panas ya, Toiro."
"Bagaimana kalau kita pergi ke bawah pohon di sana?"
Ketika aku mengangkat wajahku, Toiro menggerakkan tangannya, mengibaskan wajahnya sambil menunjuk ke arah pohon yang tumbuh di batas antara lapangan dan jalur hiking. Di sana ada akar pohon besar yang cocok untuk berdua duduk berdampingan.
"Tapi di sana sepertinya banyak serangga," kataku dengan pelan. Dengan cabang dan dedaunan yang rimbun di atas, aku khawatir sesuatu akan jatuh saat kami sedang makan.
"Serangga? Oh, semut atau mungkin kumbang? Tadi ada cowok yang ribut-ribut di sana," jawabnya.
"Sikapnya sangat positif! Ketika kita menyebut serangga, lihat, ada laba-laba atau ulat berbulu..."
"Oh, yang itu? Masaichi, ternyata kamu karakter yang tidak suka hal-hal seperti itu?"
"Tidak, aku hanya berpikir apakah kamu yang tidak suka," jawabku.
Setelah mendengar itu, Toiro tersenyum lebar dan menatapku.
"Wow, wow, perhatian sekali, pacarku. Ini berarti kita sudah mulai berperilaku seperti pasangan, ya? Jika ada serangga yang jatuh, kamu yang akan mengambilnya, ya? Ayo kita pergi."
Toiro mengangkat tangan dan mulai berjalan.
Meskipun kami sudah berjalan cukup jauh pagi ini, dia terlihat sangat energik...
Aku mengikuti Toiro yang berjalan di depan. Ketika kami sampai di akar pohon, kami duduk berdampingan setelah menurunkan ransel dari bahu.
"Ngomong-ngomong, tadi kamu berbicara dengan Urara-chan, ya. Apa yang kalian bicarakan?"
Sambil mengais-ngais isi ranselnya, Toiro tiba-tiba bertanya.
"Tak ada yang khusus. Hanya obrolan ringan, seperti pemandangan indah dari puncak jalur pendakian," jawabku.
"Obrolan ringan? Kalian berdua?"
Toiro memandangku dengan tatapan curiga.
"...Aneh, ya."
"Ada apa?"
"Apakah tidak ada yang mencurigakan? Di tengah hutan terpencil ini, sepasang pria dan wanita bertemu. Jika kalian sampai terpergok, itu bisa jadi berita heboh!"
"Memang kita jauh dari pemukiman, tapi banyak orang di sini... Ini bukan pertemuan rahasia. Kami benar-benar tidak membahas hal yang penting. Lagipula, kalian segera turun dari bukit," kataku.
Toiro memperhatikan wajahku dan berkata, "Hmm." Apa ini bagian dari gerakan pasangan? Sebuah akting cemburu dari pasangan sementara.
"Yah, baguslah jika pacarku bisa akrab dengan teman-temannya," kata Toiro sambil menatap ranselnya lagi.
Meskipun ini seharusnya sebuah akting, entah kenapa aku merasakan sedikit ketulusan di baliknya. Aku sedikit menggelengkan kepala.
Hari Sabtu di kafe, Toiro sudah memberitahuku bahwa dia akan mengurus bekal makan siang hari ini. Ini semua untuk menciptakan suasana pasangan yang romantis. Oleh karena itu, siang ini aku sepenuhnya menyerahkan kepada Toiro...
"Jaaan! Masaichi, ini bento. Berat banget, loh, bawa dua sekaligus?"
"Ah, maaf, aku nggak kepikiran. Makasih, ya."
Toiro mengeluarkan dua bento yang dibungkus kain dan menyodorkan bungkusan biru besar ke arahku. Setelah aku menerimanya, aku segera membuka tali kain bento itu dan meletakkan kotak makan siang di atas pangkuanku. Ketika hendak membuka tutupnya, aku berhenti sejenak dan melihat ke arah Toiro. Toiro sedikit condong ke depan sambil mengamati reaksiku, lalu menelengkan kepala kecilnya.
"Ada apa?"
"Ah, baru kepikiran, kamu bisa masak, ya?"
Selama lebih dari sepuluh tahun berteman, aku belum pernah mendengar cerita kalau Toiro memasak. Sulit membayangkan si gadis pemalas yang sering nongkrong di kamarku ini memasak sendiri.
"Kurang ajar! Aku kadang masak sendiri, tahu!"
"Makanan yang cuma butuh air panas dan tinggal nunggu itu bukan masakan."
"Kamu meremehkanku, ya? Aku juga nambahin telur, kok!"
Bukan itu yang aku maksud. Sebenarnya aku pengen dia cerita tentang masakan andalannya atau semacamnya.
Aduh, aku nggak bawa makanan apa-apa! Harusnya aku beli sesuatu di minimarket tadi...
"Tenang aja. Isinya benar-benar aman, kok. Diawasi ibu, loh."
Toiro buru-buru menambahkan.
"O-oke? Aku percaya, deh."
Nggak ada gunanya cuma didiamin begini. Aku pun membuka tutup kotak bento itu.
Di dalamnya, terlihat lauk-pauk yang cukup mengesankan. Ayam goreng dengan saus merah manis pedas, ebi furai ukuran kecil, ohitashi bayam, dan tamagoyaki. Celah-celah kosongnya diisi tomat ceri dan brokoli, sementara di tengah nasi putih ada umeboshi.
"Nama menunya adalah... Bento Bernutrisi Penuh Warna ~Untuk Pacarku yang Tercinta, Dibumbui dengan Sisa Makan Malam Kemarin~."
"Ini cuma makanan sisa makan malam, kan!"
Nama bentonya seperti langsung menyatakan perasaan. Yah, kalau gitu, berarti ini bikinan ibunya Toiro, jadi aku cukup tenang.
"Ck, ck, ck, Masaichi-kun, jangan remehkan aku. Tamagoyaki itu, tahu nggak, aku bangun lebih awal dan memasaknya dengan penuh perjuangan!"
"Eh, serius?"
Aku terkejut dan menatap tamagoyaki berwarna kuning itu. Meskipun bentuknya sedikit berantakan dan nggak sempurna, tapi...
"Oh iya, nasinya juga aku yang masak."
"Kalau nasi sih, berkat rice cooker. Yah, baiklah, pertama-tama aku cobain tamagoyakinya."
Sambil mengucapkan "Itadakimasu," aku segera mengambil tamagoyaki dengan sumpit dan menggigitnya.
"...Wah, ini enak."
Rasanya nggak terlalu manis atau asin, tapi gurihnya pas banget. Teksturnya lembut, dan saat digigit, rasa umaminya langsung menyebar. Saking enaknya, tamagoyaki ini bisa dijadikan menu utama bentonya. Jujur, aku kaget.
"Enak?"
Toiro bertanya dengan sedikit khawatir. Aku mengangguk kuat-kuat.
"Enak! Serius, beneran. Ini enak banget, kayak makanan yang dijual di toko."
Sambil bicara, aku memasukkan setengah potongan tamagoyaki yang tersisa ke dalam mulut. Ukuran bentonya kecil, jadi tiap potongnya cuma dua gigitan. Sayang sekali cuma ada satu lagi tamagoyaki.
"Hehe, aku memang bisa kalau mau. Aku tanya resep ke Ibu, jadi kapan-kapan aku bisa masakin lagi buat kamu."
"Beneran, aku mau makan ini lagi, loh."
Sebenarnya, meski aku bicara begini, aku juga nggak terlalu bisa masak. Paling-paling kalau orang tua ada urusan dan nggak di rumah, aku cuma menumis daging atau sayuran.
Jadi, aku benar-benar kagum sama orang yang bisa masak seenak ini.
...Sejak kapan Toiro bisa masak begini?
"Makasih, ya, udah sengaja bangun lebih pagi."
Setelah aku bilang begitu, Toiro tertawa kecil sambil garuk-garuk pelipisnya, terlihat agak malu.
"Nggak, nggak... Sebagai pacar, hal ini wajar, kan? Ayo, makan yang lain juga. Yang ayam pedas ini enak, loh."
Toiro pun membuka bento-nya, dan kami akhirnya mulai makan siang bersama-sama.
"Jadi ini ayam goreng sedikit pedas namanya? Ini makanan Korea?"
"Yap, benar banget. Ibu lagi suka banget sama masakan ini, jadi sering masak di rumah. Ya, karena enak juga, sih."
Sambil ngobrol santai, kami sesekali bertukar lauk, berbagi minum dari botol, atau tiba-tiba Toiro ngambil topiku dan mencobanya. Kami berdua mulai bergaya ala pasangan tanpa ragu. Seperti yang direncanakan, banyak mata mulai tertuju ke arah kami.
Inilah tujuan utama studi lapangan ini, acara perkenalan pasangan kami.
Sebelumnya, kami memang sudah sering pulang bersama atau menghabiskan waktu saat jam istirahat, tapi ini pertama kalinya kami berani memperlihatkan kemesraan secara terang-terangan. Meski mencoba bersikap santai, jantungku tetap berdegup kencang, dan telapak tanganku berkeringat.
Di tengah-tengah itu, Toiro berbisik dengan suara pelan, "Masaichi, ada tamu."
Aku melihat ke depan dan melihat dua gadis berjalan mendekati kami dengan senyuman.
"Toiroo!"
Seorang gadis tinggi berkulit cokelat menyapa dengan senyum lebar.
"Ah, Kana-chi dan Yui-chan, lama nggak ketemu! Terakhir kita ngobrol pas kelas tiga SMP? Kalian berdua di kelas tiga, kan?"
"Iya, iya, kelas tiga. Karena beda kelas, kita jarang ketemu, ya."
Kelihatannya mereka teman Toiro waktu SMP. Saat melirik ke arahku, aku membalas dengan anggukan kecil.
Kali ini, gadis berambut hitam pendek di sebelahnya membuka mulut.
"Meskipun nggak ketemu, aku sering dengar gosip tentang Toiro, loh. Katanya baru punya pacar, ya. Sampai ikut studi lapangan juga, mesra banget, deh."
Aku bingung harus bereaksi seperti apa. Ketika melirik ke samping, Toiro sedang tersenyum lebar penuh kebahagiaan.
"Ahaha, bagus, kan? Gimana? Kita cocok nggak?"
"Wah, kamu lagi pamer nih? Cocok kok. Dengan kamu yang bersemangat, kamu punya keseimbangan yang bagus dengan orang yang tampak lebih kalem seperti dia."
"Eh? Kamu lagi sindir aku, ya? Ehhh?"
"Ahaha, cuma bercanda. Suhunya aja udah panas banget, jangan tambah panas lagi deh."
Para cewek tertawa bersama-sama.
Cocok, ya? Aku menoleh untuk melihat ekspresi Toiro, dan salah satu cewek tinggi tadi memberiku sesuatu.
"Nih, buat pacarnya Toiro. Makan berdua, ya."
Itu sekotak kecil cokelat, kelihatannya sedikit meleleh. Aku mengucapkan terima kasih dan menerimanya. Setelah itu, mereka pergi sambil melambai, berkata, "Kami ganggu bentar aja, ya."
"Kamu denger? Mereka bilang kita cocok."
Setelah punggung teman-temannya menjauh, Toiro menoleh padaku. Dengan posisi duduk bersilang, dia menumpukan dagunya pada lengan yang bertopang di lutut, dengan ekspresi bangga.
"Iya, tadi mereka bilang begitu."
Memang, mereka bilang begitu. Kupikir mereka hanya akan ngobrol dengan Toiro dan pergi, jadi aku kaget saat mereka memberikan cokelat tadi.
"Sepertinya rencananya berjalan lancar, ya."
"Berkat gaya pilihan Toiro, mungkin?"
"Tidak cuma baju, tapi suasananya juga pas. Berkat usaha kamu juga, Masaichi. Meski ada cewek di sebelahmu, nggak kerasa asing atau gimana."
Dipuji sampai begitu, aku jadi agak nggak enak.
Eh, ini beneran pujian? Jangan-jangan aku lagi dijebak buat beli kalung batu yang katanya punya kekuatan keberuntungan?
Saat aku melihat diriku sendiri dengan perasaan ragu, Toiro berbisik pelan,
"Lihat, pelanggan selanjutnya datang."
Para tamu kedua adalah teman-teman sekelas Toiro yang tadi bersamanya. Mereka mulai menggoda Toiro yang makan siang denganku.
"Cuma hari ini aja, ya! Aku mohon! Walaupun ini wisata sekolah, anak ini tuh doyan banget sendirian... Kalau nggak ditemenin, nggak akan ada kenangan."
Toiro menggiring ejekan itu ke arahku. Meskipun aku merasa nggak enak,”Ahahaha” para cewek malah tertawa.
"Kenapa sih kamu sendirian terus, Mazono? Nggak butuh teman, ya?"
"Ah, ya, aku sih suka main game, jadi sendiri juga nggak masalah."
"Eh, yang bener? Pakaian kamu biasa aja kok. Kalau bilang suka game dan nggak punya teman, jadi susah dipercaya."
"Kan aku udah bilang, bagus kan? Kalian ngerti kan, kenapa aku tertarik sama dia?"
Dengan ucapan Toiro yang blak-blakan itu, suasana pun kembali ramai dengan tawa. Aku sendiri ikut tertawa... mungkin. Setidaknya aku tidak merasa terasing. Sebenarnya, aku bilang nggak masalah tanpa teman karena suka game, tapi kalau ada teman yang suka hal yang sama, tentunya lebih baik.
"Hei, semuanya kelihatannya seru banget, nih. Boleh aku gabung?"
Seorang cowok dengan suara yang sangat kukenal muncul.
"Gimana, Masaichi, menikmati harem yang kamu dapat dengan mengkhianati teman? Eh, tapi kamu kan udah ada yang dipilih di hati. Jadi boleh nggak, kasih tempatmu ini buat aku?"
Itu adalah Sarugaya, yang kebetulan satu kelompok, tapi belum sempat ngobrol hari ini.
"Oke deh, Toiro”
“Sampai ketemu lagi, ya!"
"Selamat bersenang-senang dengan pacar baru, ya!"
Para cewek itu pun kembali ke tempat masing-masing, meninggalkan Sarugaya yang melihat sekeliling dengan ekspresi sedikit kecewa. Dia, yang dikenal sebagai ‘kera mesum’, ternyata makin dibenci para cewek.
"Maaf soal kelompok. Aku tahu kamu udah berusaha menyesuaikan."
"Nggak masalah, bro. Rasa hormat pada teman yang lagi jatuh cinta itu penting. Toiro-chan, titip Masaichi ya."
"Siap laksanakan!" Toiro menirukan gaya bicara Sarugaya sambil mengacungkan tinju.
"Yah, bisa diandalkan banget."
Sarugaya lalu menanyai sesuatu yang dia perhatikan.
"Ngomong-ngomong, gaya Masaichi hari ini hasil pilihan Toiro-chan, ya?"
Toiro menoleh padaku dengan sedikit khawatir, mungkin bingung apakah dia harus jujur soal ini. Karena itu, aku memutuskan menjawab sendiri.
"Iya, ini pilihan Toiro. Gimana?"
Sarugaya tahu aku biasanya pendiam dan suka sendiri, tapi dia tetap mau berteman denganku. Nggak ada alasan untuk menyembunyikannya. Kami dulu pernah jalan bareng beberapa kali, jadi dia juga udah pernah lihat gaya berpakaian lamaku.
"Cukup bagus, kok. Keliatan santai tapi kasual. Rasanya kayak gaya anak kuliahan."
"Itu dia! Emang itu yang aku incar! Biar nggak terlalu modis, tapi kalau di antara anak SMA jadi keliatan agak dewasa," ujar Toiro, terlihat senang menerima pujian dari Sarugaya.
"Ah, Toiro-chan, kamu berhasil sih! Aku juga nggak suka baju yang mencolok, jadi menurutku pas banget."
Memang, Sarugaya tidak biasa mengenakan pakaian yang mencolok. Hari ini pun dia hanya memakai blouse putih polos lengan pendek dan celana denim berwarna lembut. Gayanya memang berbeda dari teman-teman sekelas, tapi karena wajahnya lumayan, aku selalu berpikir dia bisa cocok dengan pakaian apapun. Mungkin justru penampilan simpel inilah yang membuatnya terlihat lebih dewasa dan keren.
Kemudian, entah kenapa, Sarugaya menurunkan suaranya sambil menggerakkan bibirnya.
“Kelihatan banget, lihat, ada yang nonton juga,” katanya sambil mengarahkan pandangannya ke arah belakang.
Aku ikut melihat ke sana dari balik tubuh Sarugaya. Sekitar dua puluh meter di tengah lapangan, tampak seseorang sedang mengamati kami. Orang itu memakai celana seperti training berbahan katun dengan garis di samping dan kaos berlogo besar merek olahraga.
“Itu….”
Namanya sesekali terdengar, jadi aku lumayan ingat wajahnya. Sepertinya itu Kasukabe dari kelas dua. Ada rumor kalau dia menyukai Toiro. Meski sudah punya hubungan yang dalam dengan Kaede, teman Toiro, dia masih saja mengincar Toiro.
Aku segera mengalihkan pandangan, tetapi dia masih menatap kami dengan tatapan tajam. Apa dia mau mendekat ke arah sini? Mungkin dia sedang menunggu agar aku dan Sarugaya pergi, meninggalkan Toiro sendirian.
Kalau begitu, sekarang harus bertindak!
Tanpa ragu, aku pun berseru, “Toiro!” sambil melepas topi yang kupakai dan meletakkannya di atas kepala Toiro yang berkonde.
“Hah? Eh, apa?”
Toiro mengangkat sedikit pinggir topi yang menutupi wajahnya dan menatapku bingung.
“Yah, aku pikir pasti cocok kalau kamu yang pakai,” kataku sambil mengusap pelan bagian atas topi itu. Dengan gerakan bibir, aku menyampaikan, “Gaya kekasih.”
“Eh, w-waah, dipuji mendadak gini jadi malu deh. Gimana?”
Toiro sempat terlihat ragu sesaat, lalu mengarahkan pandangannya ke atas sambil menempelkan jari di dagu untuk bergaya.
“Tapi, ini lebih keren kalau kamu yang pakai! Nih,” ucapnya sambil mengembalikan topiku. Dia memasangkan topi itu di kepalaku lagi dan membetulkan rambut depanku dengan jari-jarinya.
“Yap, keren deh,” katanya.
Sementara aku diam saja, diam-diam aku kembali melirik lapangan. Di ujung pandanganku, terlihat punggung Kasukabe yang beranjak menjauh. Sepertinya dia merasa tak bisa mendekati kami yang sedang dalam suasana “pacaran” begini.
Aku menghela napas lega dalam hati. Sekarang Toiro sudah punya aku sebagai pacar, jadi sebaiknya dia mencari yang lain saja. Melihat punggung Kasukabe yang menjauh, aku berkata dalam hati.
“Toiro-chan, kalau ada Masaichi, kamu aman. Nah, si pengganggu ini akan pergi juga,” kata Sarugaya sambil beranjak pergi.
Entah sejak kapan, suara bisik-bisik dan tatapan tajam di sekitarku menghilang. Mereka sepertinya mulai mengakui bahwa aku dan Toiro adalah pasangan, jadi merasa tak enak untuk mengganggu. Teman-teman Toiro juga datang beberapa kali dan sempat menggoda kami, tetapi tidak ada tatapan aneh yang diberikan, dan aku berhasil memainkan peran sebagai pacar Toiro. Aku bahkan bisa ikut sedikit berbincang dengan mereka.
Aku tak pernah membayangkan dalam hidupku bisa berbicara santai dengan gadis lain selain Toiro. Sebelumnya, paling-paling hanya “Mazono-kun, oper print ini dong” dari gadis yang duduk di depanku, yang kujawab dengan gagap, “A-ah, iya.” Itu pun saat aku tertidur di kelas.
Rencana hari ini bisa dibilang sukses. Sepertinya aku benar-benar telah diubah ke arah yang lebih baik berkat Toiro.
“Waktu istirahat siang sudah mau habis. Setelah ini juga masih waktu bebas, kan? Apa kamu tak perlu kembali ke kelompok?” tanyaku.
“Tak apa. Aku sudah bilang mau menghabiskan waktu bersama Masaichi.”
“Benarkah? Kalau begitu tak masalah….”
Sambil menjawab, aku meraih ransel dan bangkit berdiri dari akar pohon.
“Hei, kamu mau ke mana?” tanya Toiro.
“Oh, aku mau ke toilet sebentar buat memperbaiki rambut. Tadi topi ini bikin rambutku jadi lepek. Kebetulan aku bawa wax.”
Mendengar itu, mata Toiro membelalak sedikit, lalu alisnya berkerut.
“Sampai repot-repot memperbaiki rambut di alam begini….”
“Ya, aku biasa melepas topi kalau masuk bus, jadi mau tampil rapi saja. Aku balik sebentar lagi.”
Aku melangkah menuju toilet di pojok lapangan. Sambil berjalan, wajah Toiro yang tadi muncul dalam pikiranku—sedikit terlihat tegang.
――Hmm, tadi aku bawa kan, ya?
Sambil memikirkan itu, aku terus melangkah dan merogoh ransel untuk memastikan benda yang kucari memang ada di dalamnya.
☆
Seketika aku merasakan sakit di dada. Jangan-jangan tadi reaksiku terlalu mencolok? Mungkin aku memasang wajah yang benar-benar tidak enak dilihat. Semoga dia tidak menyadarinya…
Padahal, aku tak boleh menunjukkan perasaan seperti itu――
Sambil melepas topi dan merapikan rambutku, aku menatap punggung Masaichi yang menjauh dan menarik napas kecil.
Meski seharusnya aku tak boleh berpikir begitu――pikiranku terus mengulangnya, hampir memenuhi seluruh isi hatiku.
Rencana transformasi Masaichi bisa dibilang sukses. Penampilannya berubah banyak, dan hari ini dia bisa berbaur dengan lingkungan sekitar.
Aku merasa sangat senang, bersyukur, dan mengakui semua usaha Masaichi. Tapi, diam-diam, aku terus merasa bahwa "Kamu nggak perlu berusaha sekeras itu."
Tentu saja, aku nggak mungkin mengatakannya di depan Masaichi yang sedang berusaha keras. Apalagi di awal, aku juga ikut antusias mendukungnya, jadi aku nggak bisa bilang apa-apa.
Masaichi bilang ingin berubah demi aku, tapi sejak awal aku sudah menganggap Masaichi berharga. Yang sebenarnya ingin aku lindungi adalah waktu menyenangkan saat melakukan aktivitas otaku bersamanya.
Bagaimana kalau Masaichi jadi kecanduan sensasi diperhatikan dan semakin terpikat dengan fashion? Bagaimana kalau waktu kami bersama untuk kegiatan otaku semakin berkurang?
Misalnya, saat kami pergi membeli baju, sebenarnya aku ingin mengajaknya bermain di arcade, tapi Masaichi bilang ingin lihat aksesori lain, jadi aku nggak bisa ajak dia. Atau saat dia lebih memilih beli majalah gaya rambut ketimbang kartu trading favoritnya. Atau saat dia mulai membawa wax hanya untuk mengatur gaya rambutnya yang belum pernah dia coba sebelumnya.
Setiap kali aku menyaksikan saat-saat ketika dia mulai berubah, dadaku terasa sesak dan nyeri. Aku merasa sangat egois, sampai-sampai benci dengan diriku sendiri.
Tapi aku nggak bisa berhenti khawatir. Bagaimana kalau Masaichi berubah dan nggak bisa bermain seperti dulu? Bahkan saat waktu menunggu sedikit lebih lama saja, aku cemas, memikirkan apakah Masaichi mulai lebih mementingkan setelan rambutnya.
"Masaichi…"
Dia melakukan semua ini untuk aku. Aku pun sudah mendukungnya dan merasa berterima kasih. Tapi di dalam hati, entah kenapa aku merasa bertentangan sendiri. Aku menutup mata dengan tenang dan menundukkan wajah di lututku.
“—Toiro, Toiro, Toiro!”
Aku mendengar suara seseorang memanggil namaku, semakin mendekat. Tersadar bahwa pikiranku melayang, aku perlahan mengangkat wajah. Sesuatu tiba-tiba diulurkan tepat di depanku.
"Maaf ya, Toiro. Kamu bawa ini, kan?"
Kesadaranku yang tadi samar langsung pulih. Kaget, aku menatap wajahnya. Bahkan dengan cahaya di belakangnya, Masaichi tersenyum lebar kepadaku.
*
Aku sadar bahwa akhir-akhir ini Toiro kadang terlihat murung. Saat kami pulang sekolah, saat pergi belanja, atau saat menghabiskan waktu bersama di kamar. Kebanyakan masih sama seperti biasanya, tapi kadang dia kelihatan merenung.
Lagi pula, kami sudah berteman lama, jadi aku bisa sedikit mengerti alasannya.
Sambil sibuk berusaha memperbaiki diri, Toiro tetap menemani. Padahal, mungkin ada hal lain yang ingin dia lakukan, tapi dia tetap membantuku. Meski aku tahu ini, aku mengabaikan perasaannya. Aku nggak punya cukup waktu untuk memikirkannya.
Hari ini, misi dalam kunjungan lapangan selesai dengan lancar. Bisa dibilang, berhasil. Beban di bahuku akhirnya terlepas, tubuhku terasa ringan.
Dan aku pun berkata,
“Kamu bawa ini, kan?”
Aku mengeluarkan game console yang selalu aku bawa di ransel dan menunjukkannya pada Toiro.
“Eh, iya, bawa, kok.”
“Baiklah, ayo main!”
Kami selalu ketagihan main game yang sama, jadi dia pasti membawa game yang sama.
“Eh, sekarang? Main game sekarang?”
“Iya. Bis yang tadi kita tumpangi sekarang kosong. Kita pindah ke sana buat main, yuk. Tadi aku lihat waktu mampir ke toilet.”
“Jadi, kamu telat balik gara-gara itu? Masaichi, kamu tahu aku pengin main game sekarang?”
“Aku tahu apa yang kamu pikirkan, kok. Makanya, aku bilang ‘maaf ya sudah nunggu’. Aku butuh waktu lebih tadi.”
“…Benar banget, aku nunggu lama.”
Wajah Toiro yang masih terlihat kaget sedikit cemberut seperti mengeluh.
“Maaf. Tapi kali ini berhasil, dan aku senang. Semoga sedikit mengubah pandangan anak cewek ke aku, biar cowok lain nggak gampang gangguin kamu lagi. Supaya kita nggak perlu terganggu dengan masalah sepele begitu, aku berusaha dengan matang.”
Sambil bicara, aku memutar tubuh ke arah pintu masuk area. Toiro memeluk ranselnya, buru-buru berdiri.
“Akhirnya kita bisa main game bareng lagi.”
“Jadi, kamu selama ini memang pengin terus ngelakuin aktivitas otaku, ya?”
“Tentu saja.”
Aku mengangguk dan mulai berjalan. Awalnya, ini cuma permintaan pura-pura jadi pasangan. Gara-gara keegoisanku, aku benar-benar merepotkan Toiro. Maafkan aku.
Sekarang, saat hatiku sedikit lega, aku ingin sebisa mungkin memenuhi keinginan Toiro. Sebagai pacarnya dan juga teman masa kecilnya—
☆
—Jadi, selama ini kita punya perasaan yang sama.
Ternyata bukan cuma aku. Masaichi juga merasakan hal yang sama denganku.
Memikirkannya membuat hatiku berdebar.
Kalau dipikir dengan tenang, aku tahu betul bahwa Masaichi itu otaku sejati yang nggak mungkin berhenti begitu saja. Harusnya aku lebih bisa memahami betapa seriusnya dia menjalankan rencana perubahan ini, meskipun dia mengorbankan kegiatan otakunya demi aku. Padahal semua ini dia lakukan untuk aku. Masaichi adalah cowok yang sangat baik, lembut, dan tulus. Rasanya aku beruntung punya pacar sebaik dia.
Kami berjalan keluar dari area lapangan dan memasuki jalan yang mengarah ke tempat parkir. Di sekitar kami nggak ada orang lain. Aku mendekati Masaichi yang berjalan setengah langkah di depanku, melangkah ringan dan cepat.
"Masaichi, terima kasih, ya."
Sambil berbisik di dekat telinganya, setengah dengan dorongan keberanian, aku mencium pipinya.
*
Puchu.
Tiba-tiba, sebuah rasa lembut dan hangat menyentuh pipiku, membuatku refleks menempelkan tangan ke tempat itu. Aku terhenti sejenak, lalu menoleh ke arah Toiro.
"K-kamu…—"
Rasa hangat yang aneh, seperti membius, masih terasa di pipiku.
"Ini adalah gaya pacaran," Toiro berkata sambil mengalihkan pandangannya ke samping, seperti dia sedang mengucapkan ‘This is a pen’ dengan santai.
"G-gaya pacaran?"
"Iya. Ingat, kan, waktu aku bilang tentang game di awal? Ini hadiah buat gaya pacaran yang sukses."
Oh iya, aku ingat. Dia bilang kalau berhasil melakukan gaya pacaran, aku bakal dapat hadiah. Jadi, ciuman ini adalah bonus atas pencapaian itu.
Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku mendapatkan ciuman di pipi.Saat aku masih merenungkan ini sambil menempelkan tangan di pipiku, Toiro tiba-tiba mengalihkan pandangannya padaku.
"Pokoknya, gini, ya!" katanya sedikit malu-malu. "Ciuman itu kan salah satu hal yang lumrah buat pasangan. Banyak orang yang melakukannya saat ingin menyampaikan sesuatu, kan? Masa kamu gampang kaget gitu sih. Aduh, Masaichi, kamu masih belum lulus dalam gaya pacaran, nih."
"Pasangan pun nggak langsung seenaknya ciuman, kan? Maksudmu menyampaikan apa…?"
"Ya, menyampaikan terima kasih, cinta… atau hal semacamnya?"
"C-cinta…" Tanpa sadar, aku mengulang kata itu. Mata Toiro terbelalak, lalu dia buru-buru memalingkan wajahnya. Pipi halusnya perlahan memerah.
Sepertinya dia ingin mengatakan kalau ciuman itu hal biasa untuk pasangan sejati… tapi, kata-kata yang terucap tanpa sadar malah menjebaknya sendiri.
"A-ayo pergi! Nggak banyak waktu lagi sampai waktu kumpul!" katanya tergesa-gesa.
"Situasinya tetap begini, ya?"
"Eh? I-ih, udara pegunungan segar, ya." Dengan canggung dia berpura-pura menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah cepat ke depan.
Aku tertawa kecil. Nada bicaranya aneh, jelas dia sedang berusaha menyembunyikan rasa malunya.
—Toiro juga, apa dia gugup karena ciuman tadi?
Yah, ini kan acara di luar sekolah; sedikit momen spesial seperti ini rasanya wajar saja. Udara gunung memang segar, dan angin sepoi-sepoi yang menggoyang dedaunan berhasil mengurai ketegangan tadi. Aku pun menarik napas dalam-dalam, dan dengan langkah ringan, menyusul Toiro dari belakang.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.