Nee, Mou Isso Tsukiacchau? Osananajimi Epilog

Ndrii
0

 Epilog




"Ahh, ahh, ahh!"


Karakter naga yang dikendalikan oleh Toiro terlempar jauh keluar arena. Sementara karakter kura-kura raksasa milikku mengeluarkan api, bintang berkilauan muncul di layar, diiringi suara kemenangan.


"Ughh, Masaichi, sekali lagi," Toiro berbaring di kasur sambil menatap langit-langit dengan ekspresi kesal, lalu segera bangkit.


"Berkali-kali main pun hasilnya sama saja. Mau coba ganti karakter?" sambil duduk bersila di kursiku, aku mengambil segelas jus jeruk di meja belajar dan meminumnya. Rasa asam manis menyegarkan tenggorokanku.


"Tetap sama aja, ayo lagi!" Toiro menolak tawaranku untuk minum jus dan memintaku untuk segera mulai.


Sabtu ini, Toiro datang ke kamarku sejak siang, dan kami berdua sudah lama tenggelam dalam permainan Clash Brothers, game pertarungan yang populer di segala usia. Waktu terasa cepat berlalu; tanpa sadar, jarum jam menunjukkan sore.


"Ada momen tadi saat kamu jatuh dari tebing; kamu masih bisa kembali, lho. Atau kalau nggak bisa, tetap jangan menyerah dan coba terus. Butuh mental pro itu."

"Sejak kapan aku jadi pro? Eh, kamu ngasih tips ke lawan? Permainanku tadi nggak jelek kok, siapa tahu kali ini giliranmu yang tersudut?"


"Hah, ngomong aja! Peta pilih yang mana?"


"Random!"


Kami memulai ronde kesekian kalinya, saling meremas tangan dan kembali menggenggam erat kontroler. Satu ronde biasanya sekitar lima menit, tapi entah sudah berapa kali kami main ulang. 


"Seru juga ya, udah lama nggak main kayak gini di kamar," Toiro berkata, memulai percakapan.


"Memang. Maaf ya, sebelum perjalanan studi itu, aku sibuk banget ngurusin diriku sendiri," jawabku, sedikit merasa bersalah.


"Nggak masalah kok, sama sekali nggak," katanya, sambil menggelengkan kepala.


*Plerk, waw, ahh! Uwaaarr, graaaaw!*


Pertarungan kali ini berjalan ketat. Kami saling mengurangi nyawa, membuat suasana semakin intens.


"Hei, Masaichi?" Toiro memanggilku lagi dengan nada lembut.


"Ada apa?"


"…Maaf kalau selama ini aku bikin kamu terlalu repot. Sampai-sampai kamu jadi banyak ngorbanin waktu."


Kulirik Toiro, yang tetap menatap layar, cahaya dari layar TV berkilau di matanya yang besar.


Sambil tetap fokus pada permainan, aku menjawab,


"…Tenang aja, nggak perlu khawatir. Aku malah berterima kasih karena kamu ngasih aku kesempatan untuk berubah. Setidaknya penampilanku sekarang sedikit lebih baik."


Toiro tertawa kecil mendengar jawabanku.


"Bukan sedikit, kamu jauh lebih baik sekarang. Awalnya aku cukup pusing menghadapi fashion otaku yang khas banget itu, tapi ya… aku simpan deh rahasianya."


"…Eh, itu kan tadi dibilang!"


Harusnya rahasia itu disimpan rapi, kenapa malah diungkap begitu saja? Apa aku seburuk itu sebelumnya?

Mungkin sadar aku tersinggung, Toiro mengeluarkan suara ceria.


"Tenang, sekarang kamu udah jauh lebih baik. Sekarang kamu jadi cowok yang nggak malu-maluin kalau diajak keluar ke mana-mana."


Dalam permainan, aku melempar karakter Toiro ke bawah tebing, dan karakterku sendiri terlempar jauh oleh serangannya. Tanpa sadar, kami berada dalam mode Sudden Death, dengan nyawa terakhir yang tersisa.


Percakapan kami berhenti, saat kami fokus pada giliran masing-masing.


“Kapan pun dan di mana pun, ya…” gumamku sambil menelan ludah, mengaitkan kata-katanya. Di dalam game, karakter kami saling berhadapan, menunggu kesempatan untuk menyerang.


Akhir-akhir ini, ada sesuatu yang selalu mengusikku. Walaupun mencoba mengalihkan perhatian, bayangan itu tetap tertinggal di sudut hatiku. Sekarang sepertinya waktu yang tepat untuk bertanya.


“Soal masa depan… hubungan sementara ini bakal bertahan sampai kapan, ya? Sampai lulus SMA… atau bagaimana?”


Kutingkatkan kesadaranku agar suaraku tetap biasa saja, tapi entah kenapa malah terdengar gemetar. Meski begitu, aku berhasil mengatakannya hingga tuntas, dan kini menunggu jawaban dari Toiro.

Hubungan ini hanyalah palsu, sementara, berdasarkan perjanjian yang semu. Hubungan cinta sejati mungkin punya akhir yang bahagia, tapi dalam hubungan palsu seperti ini, kami hanya bisa menanti akhirnya yang sudah ditentukan.


Sampai kapan… hubungan ini akan berlangsung?


Toiro terdiam, tampak berpikir sejenak sambil menggumam pelan, “Hmm, sejauh ini, nggak ada rencana buat ngakhirin kok? Sama sekali, benar-benar, hubungan ini bisa berlangsung terus.”


“Benar-benar nggak ada?” 


“Benar. …Kalau Masaichi nggak keberatan, sih.”


Tidak ada rencana untuk mengakhiri. Ini berarti, kami akan terus bersama—tidak hanya sampai lulus SMA, tapi mungkin juga setelah itu. Artinya, ia ingin terus melanjutkan hubungan pacaran palsu ini, seolah-olah seperti pasangan yang sesungguhnya. 


Bukankah itu sudah hampir seperti… benar-benar berpacaran?


Maksud sebenarnya Toiro tetap menjadi misteri bagiku. Saat kulihat ke arahnya, ia hanya menatap layar dengan senyum tipis di wajahnya. Senyum itu perlahan semakin melebar, hingga akhirnya—


“Horee! Kamu lengah!” 

Di detik berikutnya, karakter dinosaurus milik Toiro berhasil memukul perut karakter kura-kuraku dengan serangan smash. Aku buru-buru menggerakkan kontroler, tapi karakter kura-kuraku terlempar keluar layar dengan suara meraung kesakitan.


Game set.


“Yeay! Masaichi, kamu yang traktir jus, ya!”


“Tunggu dulu, itu curang! Lagi pula, kita nggak bertaruh jus kan!”


“Bukan curang! Aku menang dengan jujur!”


Toiro memasang ekspresi kekanak-kanakan sambil menggembungkan pipinya seperti biasa.


“Sial, Toiro, sekali lagi!”


“Eh, masih mau? Tapi aku mau jus dulu.”


“Kalau peraturan jus ini berlaku, kamu sebenarnya udah punya utang jus puluhan gelas sekarang.”


Toiro cemberut dan mengeluh, “Masaichi, kamu kok selalu pakai logika nggak masuk akal!”


“Itu bukan nggak masuk akal. Kalau gitu, yang kalah berikutnya traktir jus, ya.”


Aku tidak bisa mengakhiri pertandingan dengan kekalahan. Aku segera memilih stage baru ketika—


“Pfft, hahaha!” Toiro tiba-tiba tertawa.


“Kenapa lagi?”


“Yah, kayaknya deh, kencan di rumah itu yang paling cocok buat kita. Cuma berdua, main game, teriak-teriak bareng.”


“Oh, kirain kenapa… Tapi ya, bener juga.”


Aku sepenuhnya setuju dengan kata-katanya. Bertingkah layaknya pasangan di depan umum memang menyenangkan jika bersama Toiro. Tapi tetap saja, bermain game berdua seperti ini membuatku merasa sangat nyaman. Kencan di rumah, kata-kata yang pas.


Cahaya matahari sore menyelinap masuk melalui celah tirai, menghangatkan wajahku dan membuat pipiku perlahan memerah. 


Ruangan kami terasa begitu nyaman, berbalut lembut oleh sinar matahari yang hangat. Namun, di dalam hatiku, ada perasaan baru yang tumbuh, berdebar lembut dan hangat, berbeda dari sebelumnya.















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !