Nee, Mou Isso Tsukiacchau? Osananajimi Chap 10

Ndrii
0

 Chapter 10

Kencan itu, adalah latihan




Perempuan bisa bertransformasi sesuka hati. Dengan makeup, fashion, atau bahkan operasi plastik. Itu yang pernah dikatakan seorang artis di acara televisi. Cantik dan keren itu bisa diciptakan, jadi semakin berusaha, semakin bisa mengubah diri. Kini saatnya bangkit, atau semacamnya.


Awalnya aku merasa itu tak ada hubungannya denganku sebagai pria, tapi…


"Hey, selesai! Lihat, bagus, kan?"  


Toiro meletakkan kedua tangannya di pundakku dari belakang, dan aku menatap diriku sendiri di cermin. Kuputar ke kanan, lalu ke kiri, dan kembali menghadap lurus. Memeriksa gaya rambutku, serta keseimbangan wajahku. Aku terkejut dengan betapa berbeda penampilanku hingga aku tak sengaja mengeluarkan suara kagum.


Sabtu siang ini, Toiro datang ke rumah lebih awal dari biasanya dan sedang membantuku menata rambut di kamar mandi.  


"Wah, ini keren, benar-benar berbeda. Awalnya aku agak khawatir saat kau bilang akan memakai wax, kupikir bakal jadi rambut berdiri."


Gaya rambutku hampir sama dengan model di majalah yang kupelajari sebagai referensi.  


"Wax itu nggak selalu bikin rambut berdiri, kok. Yah, aku paham kalau ada yang berpikir begitu. Aku sudah lama kepikiran kalau gaya rambut ini cocok buat Masaichi. Proyek ini bisa dibilang 10 tahun ide, 10 menit eksekusi!"


"Rambutku jadi proyek tertunda, ya?"  


Aku membalas dengan bercanda, membuat Toiro tersenyum lebar.  


"Tapi aku yakin banget kalau ini bakal cocok sama kamu. Rambutmu lurus tapi lembut, jadi aku buat kelihatan alami dan lembut. Supaya tetap ada tekstur tapi nggak terlalu berantakan, biar nggak kelihatan terlalu santai. Ujung-ujung rambutnya juga aku beri sedikit gerakan biar ada sentuhan playful-nya. Wax tipe natural ini ternyata cukup mudah dipakai juga. Menurutku, kombinasi yang sempurna!"


Sambil menyesuaikan sedikit-sedikit, Toiro terus bicara sambil memegang dan memelintir rambutku.  


"Tadi kan waxnya dioles di antara jari-jari, lalu diusap ke seluruh rambut dulu."  


Aku mengulanginya untuk mengingat caranya.  

"Iya, iya, campur sedikit air biar lebih gampang dioles. Tapi sebelumnya, akan lebih baik kalau rambut sudah diset sebaik mungkin pakai hairdryer. Jadi wax tinggal membantu merapikan. Waktu potong rambut kemarin, aku sengaja bikin supaya gampang bervolume dengan mengeringkannya saja. Bahkan kalau rambutnya peyot kena topi, kamu bisa atur volumenya pakai tangan saja."


Sepertinya Toiro memang sudah lama membayangkan gaya rambutku. Dia punya pandangan yang berbeda saat bermain game denganku. Kelihatannya, sejak SMP dia benar-benar belajar dan berkembang.


Kadang aku masih belum terbiasa dengan perbedaan antara Toiro yang malas-malasan di kamarku dan Toiro yang serius ini, tapi…  


"Kamu sudah pakai pembersih muka yang kubeliin juga?"


Pertanyaan Toiro membuyarkan pikiranku.  


"Sudah, aku pakai pagi dan malam seperti yang kamu bilang. Ternyata bisa juga mencegah jerawat, ya."  


"Iya! Jerawat di wajah bikin nggak enak dilihat, belum lagi kulit berminyak itu kesannya kurang bersih. Kalau minyak di hidung mulai kelihatan, pakai kertas minyak buat ngebersihinnya."  


"Baik, aku ngerti."


Aku sangat berterima kasih pada Toiro yang sudah banyak membantu untuk rencanaku kali ini.  


"Terima kasih, ya. Untuk semua bantuannya."


Aku berbalik dari wastafel dan mengucapkan terima kasih pada Toiro.  


"Ah, nggak masalah, kok. Tapi… di hari H, aku nggak bisa bantuin kamu nyetir rambut di pagi hari, jadi kamu harus berusaha sendiri, ya."  


"Iya. Kayaknya aku bisa melakukannya sendiri. Besok mungkin aku akan coba sendiri lagi."


Kegiatan belajar di luar sekolah tinggal beberapa hari lagi. Aku ingin mencoba gaya rambut ini dengan pakaian santai, jadi besok, hari Minggu terakhir sebelum acara, akan jadi waktu yang tepat untuk latihan.


"Yup! Kalau ada yang bingung, tanyain aja. …Jadi, setelah ini kita mau ngapain? Ini masih siang, lho! Masih banyak waktu sampai malam!"


Toiro bertanya penuh semangat.  


"Mau main game? Kalau iya, kita beli camilan dulu! Mumpung libur, bisa santai dan…"

Sebelum dia selesai bicara, aku melemparkan satu permintaan lagi padanya.  


"Gimana kalau kita… jalan bareng?"


"Hah?! Jalan bareng?"  


Suara Toiro terdengar sangat terkejut. Matanya membulat, tapi segera berubah jadi tatapan curiga.


"Kenapa? Masa cowok ngajak cewek jalan aja nggak boleh? Itu hal biasa, kan?"  


"Kalau pasangan normal, ajakan itu nggak ada maksud tersembunyi, Masaichi. Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?"


Toiro menyilangkan tangan, seolah menantangku untuk menjelaskan.  


"Nggak ada hal serius, cuma karena kamu udah ngerapiin rambutku, jadi aku ingin keluar sebentar. Lagipula, kalau aku tiba-tiba harus tampil dengan gaya baru di depan umum, aku bakal tegang. Sederhananya, ini semacam 'uji coba'."


Sebelum tampil di acara utama, aku ingin merasakan bagaimana tampil dengan gaya baru di luar. Aku juga ingin membiasakan diri dengan perhatian yang mungkin akan kuterima nantinya.

Toiro juga berpakaian kasual hari ini. Dia memakai kemeja lengan tiga perempat dan overall denim, bukan pakaian olahraga seperti biasanya. Jadi, kami bisa langsung keluar.


"Begitu, ya…"  


Toiro bergumam pelan sambil berpikir sejenak.  


"Tapi, Masaichi, kamu nggak terlalu memaksakan diri? Kayaknya kamu udah jarang melakukan hobi otakumu akhir-akhir ini. Nggak apa-apa kalau mau istirahat."


"Tenang aja, ini kemauanku sendiri kok."


"Baiklah, kalau begitu! Ayo kita pergi! Masih ada yang mau aku kasih tahu ke kamu, lagipula aku juga bangun lebih awal, jadi masih banyak waktu."


"Ah,Terima kasih!"


Setelah itu, kami bersiap-siap kembali di kamarku. Dalam perjalanan, Toiro terus menyelipkan komentar tentang betapa ngantuknya dia hari ini, mungkin karena bangun lebih awal di hari libur. Padahal dia baru datang setelah jam 12 siang tadi…


Kupikirkan itu dalam hati, tapi agar suasana tetap menyenangkan, aku memilih untuk diam dan melanjutkan persiapanku.


Meski sudah mengajak Toiro untuk uji coba kencan, aku belum memutuskan tujuan spesifiknya. Jadi, sementara ini, kami menuju area dekat stasiun yang punya fasilitas hiburan lengkap. 


Cuaca cerah tanpa awan di langit, dan hanya dengan berjalan saja, aku sudah merasakan keringat mulai muncul di punggung. Aku mengangkat sedikit pinggiran topi yang baru aku beli dan menatap tajam langit yang menyilaukan. Sepertinya matahari mulai menunjukkan kekuatannya, mempersiapkan kita untuk musim panas. Segera saja akan tiba saatnya kita mendengar banyak orang membicarakan bahaya panas, dan rasanya panas musim panas semakin menjadi-jadi setiap tahunnya. Hari ketika cuaca cerah seperti ini tak lagi bisa disebut “cuaca yang bagus” sepertinya sudah dekat.


“Jadi, ke mana kita akan pergi? Dengan panas seperti ini, mungkin lebih baik di dalam ruangan…,” kataku, menyadari bahwa kalau terus berjalan, kami akan sampai di mal yang biasa kami datangi. Tapi, mumpung kali ini kencan, aku ingin melakukan sesuatu yang sedikit berbeda.


Karena ini siang di hari Sabtu, area Bundaran di depan stasiun penuh dengan orang. Kami pun berlindung di bawah atap sebuah minimarket terdekat untuk menghindari keramaian.


“Biasanya, orang-orang ngapain sih kalau lagi main bareng teman?” tanyaku kepada Toiro yang lebih berpengalaman dalam hal ini.


“Hmm, biasanya sih belanja, ke kafe, atau nongkrong di food court. Kalau ramai-ramai, bisa juga ke bowling atau karaoke.”


“Begitu, ya. Aku belum pernah main bowling dan kalau karaoke... ah, aku nggak mau. Aku takut dipaksa nyanyi satu lagu, lalu aku nyanyikan lagu anime yang aku suka dan malah bikin suasana jadi canggung.”


“Kenapa detail sekali!?”


Yang teringat adalah pengalaman ketika ikut perayaan usai festival budaya di SMP. Setelah makan, kukira semua akan pulang, tapi ternyata kami malah pergi ke tempat karaoke. Tanpa sadar, aku sudah ikut terjebak, padahal hanya bisa menyanyikan lagu-lagu anime…


“Eh, kan ada lagu anime yang terkenal juga, kan? Kayak lagu-lagu anime waktu kecil. Nyanyi yang kayak gitu aja, banyak kok yang pasti tahu,” saran Toiro, yang rupanya kurang memahami kondisinya.


“Tentu saja aku suka lagu-lagu anime yang nostalgia. Tapi nggak mungkin! Itu cuma cocok buat mereka yang sudah keren. Orang-orang yang tidak terlalu suka anime bisa nyanyi lagu anime anak-anak dan bikin kejutan, terus mereka disorakin. Rasanya kayak bercanda aja.” 


Pastinya ada orang yang secara khusus menghafal lagu yang biasanya nggak mereka dengarkan, hanya demi acara seperti ini. Tiba-tiba aku sadar, mungkin perusahaan-perusahaan memang mengcover lagu pop di OP dan ED anime untuk menyelamatkan orang-orang yang nyasar ke acara karaoke.


“Eh, tapi kalau buat kencan itu beda lagi. Bowling dan karaoke itu buat main ramai-ramai. Kalau kencan, kita cari yang beda,” kata Toiro, mengembalikanku ke tujuan sebenarnya.


Toiro meletakkan telunjuk di bibirnya sambil berpikir, “Kalau buat kencan… kita udah belanja kemarin. Mungkin makan siang atau nonton film? Tapi kita udah makan di rumah, dan kalau nonton film nanti nggak keliatan gaya kita. Jadi, mungkin ke kafe?”


“Kafe? Maksudmu tempat yang penuh anak-anak muda bergaya tinggi itu? Bukannya kita harus bawa Mac atau Surface atau setidaknya buku bersampul kulit kalau ke sana?”


“Nggak perlu bawa begituan!”


“Dan aku dengar buat pesan minuman di sana, kita harus mengucapkan semacam mantra.”


“Makanya, justru karena kamu takut, ayo ke sana! Seingatku, ada di lantai pertama mal,” kata Teniro sambil mengangkat tangan dan maju duluan.


“Eh, ini semacam hukuman?”


“Tenang aja! Kalau kita nggak customize pesanan, kita bisa lewati bagian ‘mantra’ itu. Biasanya kesannya ribet karena banyak bahasa Inggris di menunya, tapi tenang aja, semuanya juga ditulis pakai katakana. Ukurannya memang pakai nama-nama aneh, tapi sudah diurutkan dari yang paling kecil. Jadi cukup pilih ukuran dan minuman yang mau kamu pesan.”


“Oh, begitu ya?”


“Begitu. Lagipula, kan ada aku, jadi pasti aman.”


Dengan berjalan sambil berbicara begitu, kami pun tiba di mal dengan cepat. Kafe itu berada di lantai pertama yang menghadap jalan, tetapi pintu masuknya ada di dalam mal.


"Kita masuk dari sana saja," kata Toiro sambil menunjuk ke arah pintu gedung di samping kafe.


Ketika kami mendekati pintu otomatis, udara dingin dari dalam menyelinap keluar. Toiro melangkah mantap memimpin jalan, langsung masuk ke kafe. Namun entah kenapa, ia berhenti sejenak dan melihat ke sekeliling.


“Eh? Bukan itu tempat memesan, kan?” tanyaku sambil menunjuk ke arah konter.


Toiro menjelaskan, "Di tempat seperti ini, kita harus cari tempat duduk dulu. Kan sedih kalau sudah pesan tapi nggak dapat tempat duduk. Kecuali kalau mau dibawa pulang, sih.”


“Oh, begitu caranya.”


Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore. Mungkin karena banyak pengunjung yang lelah setelah berbelanja, kafe itu penuh sesak. Seperti yang dikatakan Toiro, aku melihat pelanggan lain meletakkan tas mereka di kursi kosong dan hanya membawa dompet mereka ke kasir.


"Ah, ada kursi kosong di dekat dinding sana! Ayo kita ke sana!" katanya sambil menunjuk ke arah tempat itu.


Kami pun segera meluncur ke sofa kosong itu dan duduk. Setelah itu, Toiro menawarkan diri untuk memesan.


"Kalau bingung dengan menu, kamu bisa bertanya saja, ‘Yang paling direkomendasikan apa ya?’ atau, ‘Yang lagi populer apa ya?’ Pokoknya tanya saja.”


Benar juga. Malu bertanya, sesat di jalan. Meski begitu, aku tidak suka bertanya karena takut dianggap tidak tahu apa-apa atau terlihat canggung. Tapi, aku sudah memikirkan cara aman untuk menghadapi situasi ini.


Kami berdua berjalan menuju konter. Untungnya, tidak ada antrean, dan Toiro dengan mantap berdiri di depan kasir.


“Yang ini, seasonal frappuccino, ukuran tall.”


Dengan pesanan yang sederhana dan percaya diri, Toiro membuatnya terlihat sangat mudah. Aku melihat ke spanduk kecil di samping konter: rasa edisi terbatas kali ini adalah buah persik. Oke, aku juga akan memesan yang sama, dan mungkin bahkan lebih elegan.


Setelah Toiro melangkah ke samping setelah membayar, giliranku tiba. Sebelum kasir bisa berbicara, aku langsung berkata, “Saya pesan yang sama.”


“Ah, iya. Ukurannya bagaimana?”


“Yang sama saja.”


“Baik, terima kasih.”


Fiuh, aman. Aku beralih ke samping, berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Tapi Toiro menatapku sambil menyipitkan mata.


“Enak, ya, tinggal ikutan aja.”


“Itu namanya pakai otak.”

Meskipun aku tidak banyak menggunakan saran Toiro, aku merasa cara ini lebih aman. Jantungku masih berdebar-debar, tetapi setidaknya aku selamat.


Ketika kami kembali ke meja dan menunggu minuman kami siap, aku diam-diam merasa lega.


“Jadi, menikmati frappuccino buah persik yang didapatkan dengan cara mudah itu menyenangkan?” tanya Toiro, menyindirku sambil tertawa.


“Kamu masih saja mengungkitnya...”


Kami mulai menikmati minuman kami. Frappuccino buah persik itu mengandung potongan buah segar yang besar, yang langsung masuk ke mulut melalui sedotan tebal. Setiap kali aku mengunyahnya, rasa manis buahnya menyebar di mulutku. Benar, meniru Toiro untuk minuman ini adalah pilihan yang tepat.


"Ah, aduh, aku lupa foto dulu!” kata Toiro, buru-buru mengeluarkan ponselnya dan mengarahkan kameranya ke frappuccino.


Sementara itu, aku melepas topi yang kupakai dari rumah dan meletakkannya di atas meja. Rambutku menempel di kulit kepala, jadi aku menggunakan tangan untuk menata ulang agar lebih bervolume. Berkat wax yang kupakai, rambutku kembali ke gaya natural dalam sekejap. Rasanya sejuk, dan aku memutuskan untuk membiarkan topiku di meja selama berada di dalam ruangan.

Akhirnya, aku bisa bernapas lega.


“Bagaimana? Bagaimana rasanya berjalan-jalan dengan baju baru?” tanya Toiro setelah selesai berfoto, sambil terus asyik dengan ponselnya.


“Hmm, gimana ya… rasanya aku bisa jalan lebih percaya diri. Mungkin karena ini baju yang kamu pilihkan, jadi aku merasa aman,” jawabku setelah berpikir sejenak. Kalau aku yang memilih sendiri, pasti sepanjang waktu akan merasa was-was, takut dibilang aneh.


“Wah, jadi aku dipercaya banget, nih. Lain kali kalau kamu menyebalkan, aku akan sengaja pilihkan baju yang aneh biar orang-orang bilang, ‘Dia kok gayanya kayak gitu sih?’”


“Jangan, please. Untuk urusan baju aku benar-benar nggak tahu mana yang aneh dan mana yang bagus, jadi jangan bercanda begitu.”


Aku berpura-pura ketakutan, membuat tubuhku merunduk. Toiro tertawa terbahak-bahak, tetapi segera mengubah ekspresinya menjadi lebih serius.


“Tapi aku rasa, kamu perlu lebih percaya diri lagi,” katanya dengan nada sungguh-sungguh.


“Percaya diri lagi?”


“Ya. Ini juga bagian dari ‘Proyek Transformasi Masaichi’ lho. Kalau posturmu masih bungkuk seperti itu atau kadang-kadang terlihat gelisah, kesannya tetap saja kurang pede. Meskipun kamu bilang percaya diri, masih ada kesan itu, lho.”


Sepertinya mengubah penampilan saja belum cukup. Masalahnya ada pada diriku sendiri, yang masih penuh dengan kekurangan. Jalan menuju menjadi orang yang lebih percaya diri memang panjang dan terjal.


“Bungkukku parah, ya?”


“Lumayan, sudah seperti melekat jadi ciri khasmu.”


Aku duduk tegak, dan terkejut mendapati betapa lebih tingginya pandanganku. Jadi, selama ini aku membungkuk sebanyak ini, ya...


“Ini benar-benar harus diperbaiki. Gelagat canggungku juga harus dikontrol.”


“Nggak apa-apa, aku bakal memperhatikan dan ngingetin kamu. Coba angkat kepala dan tegakkan dadamu. Kalau nggak, kamu akan tetap terlihat kurang pede, lho. Aku juga waktu SMP sering mengingatkan diri sendiri untuk nggak bungkuk, sambil bercermin kadang-kadang.”


“Oh, kamu sampai seperti itu juga, ya?”


Aku merasa heran dan bertanya balik. Apa mungkin seorang Toiro yang selalu terlihat percaya diri juga pernah latihan memperbaiki postur punggungnya? Aku tidak begitu memperhatikan, jadi aku tidak ingat apakah Toiro pernah bungkuk atau tidak.


“Ya, dulu aku latihan jalan dengan punggung lurus gitu. Terus juga senyum, sih, kalau aku. Soalnya, pas ngobrol sama teman, kadang senyum yang dibuat-buat tuh perlu kan? Aku latihan senyum depan cermin dulu,” Toiro mengenang masa lalu sambil menyipitkan matanya.


Barangkali dari usaha-usaha kecil macam itu, Toiro berhasil mencapai posisinya yang sekarang. 


“Dulu di SMP, kamu gimana?” tanyaku penasaran. Seolah ada sisi lain dari Toiro yang belum kukenal.


“Ah, biasa aja kok. Syukurnya, aku dapat teman yang asyik, jadi hidupku lumayan menyenangkan. Kalau kamu gimana?”


“Sama aja, sih. Kurang lebih kayak sekarang.”


“Hmm… jangan-jangan kamu kena sindrom chuunibyou pas SMP?”


“Wah… Kenangan yang pahit, ya…”


“Coba, settingan apa yang kamu punya? Cerita, dong!” Toiro mendesakku sambil menyedot sepotong buah besar dari straw-nya.

Kalau dibilang settingan, memang benar sih, tapi…


“Aku tuh… satu-satunya pewaris pengguna angin yang masih tersisa, yang di masa lalu dikira sudah punah, lalu aku memberantas para teroris yang berniat menguasai sekolah—”


Kenangan itu kembali terbayang. Pernah suatu sore, aku menyelinap ke atap sekolah dengan meminjam kunci ruang guru secara diam-diam untuk merasakan angin di ketinggian. Tapi aku malah tertangkap basah, dan sejak hari itu beredar rumor bahwa ada arwah siswa yang lompat dari atap, menjadikan tempat itu lokasi angker. Salah satu dari Tujuh Misteri Sekolah adalah aku.


“Aduh…” Toiro melihatku dengan tatapan simpati. Jangan lihat aku kayak gitu!


“Kalau kamu gimana?” tanyaku. Dengan kegemarannya membaca light novel, aku yakin Toiro juga pernah mengalami fase itu.


“Hmm, aku gak separah kamu, sih. Tapi aku dulu percaya kalau ramalan kiamat Nostradamus yang nggak kejadian itu gara-gara aku lahir dan mengubah masa depan. Ramalan lain yang nggak kesampaian itu juga semua salah aku, yang menghalangi semuanya.”


“Wah, skalanya besar banget!” Aku sampai terperangah.


“Ya, kan ramalan itu memang seringnya meleset. Chuunibyou juga kan sebatas khayalan aja,” ucapnya sambil tersenyum getir dan menyandarkan diri di sandaran kursi.


Namun, aku malah tidak setuju. Aku meletakkan tangan di dagu dan mencoba memikirkannya sejenak.


“Khayalan… tapi rasanya lebih nyata dari sekadar imajinasi. Selama kita mengidapnya, kita benar-benar hidup dalam settingan itu dengan sepenuh hati. Kalau dipikir-pikir, bisa dibilang itu masa muda. Chuunibyou adalah masa muda yang kita jalani sepenuh hati di jalan yang sedikit menyimpang.”


“Kenapa kamu tiba-tiba mendalami konsep ini, sih!?” Toiro tampak bingung.


“Setidaknya selama setahun atau dua tahun, aku hidup sebagai seorang pengguna angin, kan?”


“Menjadikan fantasi sebagai masa muda… Memang pantas disebut ‘penyakit,’ ya. Sakit banget sih…” ucapnya sambil menghela napas.


“Tolong, jangan kata-katain penyakit masa lalu!”


“Toh, kamu udah sembuh, kan,” katanya lembut. Yah, masih mending daripada yang sampai kebawa terus sampai SMA atau bahkan dewasa. Mungkin aku masih lebih baik daripada yang lain.

Meskipun begitu, jika aku mengingat lagi bagaimana diriku saat itu, sebenarnya aku tidak benci menjadi seseorang yang benar-benar tenggelam dalam sesuatu, bahkan jika itu hanya chuunibyou.


Aku sadar kalau meja di sebelah kami sudah berganti penghuni. Sambil merenggangkan tubuh, aku melihat sekeliling. Jam menunjukkan sudah lebih dari satu jam sejak kami masuk ke kafe. Entah bagaimana, kami menghabiskan waktu sambil ngobrol di sini. Dari cerita sekolah, game, hingga manga, kami terus bercanda dan tertawa, tanpa kehabisan topik. Sofa yang tadinya terasa terlalu rendah kini malah terasa nyaman.


Aku menyedot straw-ku, dan hanya sedikit air bercampur es yang tersisa, manisnya pun sudah samar. Frappuccino-nya sudah lama habis, esnya pun mencair semua.


“Gimana nih? Mau tambah lagi atau kita keluar aja?” tanya Toiro sambil menggoyang-goyangkan gelasnya yang juga sudah kosong.


“Ya, mungkin kita keluar aja. Ada tempat lain yang pengen kamu kunjungi?” tanyaku sambil melirik ke luar jendela yang menghadap jalan.


Sinar matahari masih menerangi aspal dengan terang. Daun-daun pohon platanus yang berbaris rapi bergoyang pelan ditiup angin. Jalanan dipenuhi orang-orang, terlihat banyak keluarga dan kelompok teman yang berlalu lalang.


Toiro tersenyum kecil dan berkata, “Kalau gitu… karena masih terang, kita jalan-jalan aja, yuk.”


Dengan itu, kami beranjak dari kursi dan keluar dari kafe. Kami memutuskan untuk mengambil rute yang sedikit lebih panjang untuk pulang, berjalan menyusuri area sekitar stasiun.


Aku mencoba meluruskan punggung seperti yang Toiro sarankan tadi. Ternyata pandanganku jadi jauh lebih tinggi dari biasanya. Rasanya seperti berjalan menembus angin.


Dalam perjalanan, kami melewati beberapa siswi SMA dari sekolah swasta terdekat. Aku sadar dua di antara mereka sempat melihat ke arah kami. Pasti karena Toiro menarik perhatian, pikirku… tapi tiba-tiba aku mendengar percakapan mereka.


“Aduh, aku juga pengen punya pacar, deh.”

“Aku juga! Pengin yang asyik banget, biar bisa romantis-romantisan!”


Suara kecil mereka terdengar dari belakang, dan aku langsung kaget. Tidak ada pasangan lain yang kelihatannya bersama di sekitar sini…


Jika “aku juga” tadi berarti bahwa mereka melihatku dan Toiro sebagai pasangan, maka… mereka menganggapku sebagai pacar Toiro.


Meski cuma salah paham, disangka sebagai pacar Toiro oleh orang asing membuatku sedikit senang, sekaligus malu. Aku pun pura-pura tak mendengar mereka. Sepertinya Toiro yang berjalan di sebelahku tidak mendengarnya.


–Semoga kejadian ini bisa menambah kepercayaan diriku.


Sambil tersenyum tipis, aku menurunkan topi yang kupakai.


Kami melewati bundaran stasiun dan mendekati jalan besar. Saat kami menyeberangi penyeberangan jalan raya utama, lampu lalu lintas mulai berkedip.


"Wah, bahaya!"


Toiro buru-buru berlari, dan aku mengikuti dari belakang. Tapi...


"Ah, kya!"


Mungkin karena terburu-buru, Toiro tersandung karena kakinya yang mengenai satu sama lain.


"Oop!"


Aku langsung menangkap lengannya, berhasil menahan tubuhnya sebelum ia jatuh. Sementara itu, lampu lalu lintas berubah menjadi merah.


"Ayo cepat."


Dengan tangan Toiro yang masih kugenggam, kami berlari menyeberangi jalan. Setelah sampai di seberang, aku melepaskan tangannya, dan Toiro mulai terengah-engah, tangan bertumpu di lututnya. Ia mulai batuk, dan aku panik melihatnya, sambil mengusap punggungnya.


"Kamu baik-baik saja?"


Toiro terbatuk beberapa kali sambil menutup mata dengan ekspresi sedikit kesulitan, lalu mengangkat wajahnya dan tersenyum lebar.


"Maaf ya, aku baik-baik saja. Cuma tersedak sedikit."


"Beneran baik-baik saja? Gimana keadaanmu?"


"Aku baik-baik aja kok. Ayo, lanjut!"


Setelah berkata begitu, Toiro meluruskan punggungnya, lalu menggenggam jari-jari tanganku dengan erat. Kami mulai melangkah bersama.


"Tunggu, kenapa kita masih bergandengan tangan?"


Aku berhenti, dan saat kami saling menarik karena jarak yang terbentang, Toiro menoleh dengan bibir yang sedikit manyun.


"Kenapa lagi, bukannya tadi kamu yang mulai menggenggam?"


"Itu karena tadi kamu hampir jatuh. Sekarang sudah cukup, kan?"


"Eh, ayolah. Kalau nggak gini, aku bisa jatuh lagi, lho. Aku ini gadis lemah."


Toiro berpura-pura batuk dengan dramatis. Menyebalkan sekali… Aku menarik napas pelan dan, tanpa banyak berkata-kata, terus berjalan sambil tetap menggenggam tangannya. Toiro tertawa kecil dan melangkah ringan di sebelahku.


Barusan, aku hanya menggenggam pergelangan tangannya, tapi sekarang jari-jari kami saling bertaut. Seperti dalam manga, ini yang biasa disebut dengan “genggaman kekasih.” Mendadak, aku jadi khawatir apakah tanganku berkeringat.


Bagaimanapun juga, aku tidak bisa mengabaikan seorang gadis yang lemah. Aku terus berjalan sambil mencoba untuk tidak terlalu memikirkan hal ini, berusaha menahan rasa puas yang entah kenapa muncul dalam diriku.


Kami akhirnya sampai di jalan setapak taman alam setelah melewati area perumahan. Suara tawa riang anak-anak terdengar dari area permainan.


"Wah, semangat sekali mereka," kata Toiro dengan nada memanjang seperti nenek-nenek. Aku tak kuasa menahan tawa.


"Benar-benar penuh energi. Sepertinya menyenangkan bisa bermain dengan ramai begitu."


"Pasti menyenangkan. Tapi kita nggak punya kenangan kayak gitu, ya?"


"Kalau bermain di luar, kita biasanya cuma pergi ke tepi sungai di sana, berdua saja."


"Orang-orangnya sedikit, jadi tenang. Setidaknya aku senang kok, waktu bersama kamu di sana. Dulu, aku sampai ketakutan kalau lonceng jam lima sore berbunyi, nggak mau pulang rasanya."


"Pas kegiatan luar sekolah di SMP, aku pernah belajar di balai kota kalau lonceng itu ternyata dites tiap hari untuk memastikan fungsinya saat darurat. Jadi, sebenarnya lonceng itu penting juga."


"Oh, begitu ya! Wah, harus berbunyi terus, dong!"


Aku tertawa lagi. Rasanya tak ada habisnya mengobrol dengan Toiro. Ia selalu membawa rasa nyaman tanpa adanya keinginan terselubung, mungkin itulah yang membuat orang-orang tertarik padanya sekarang. Tidak seperti dulu, kini ia dikelilingi banyak orang.


Saat kami terus berjalan di jalan setapak, suara aliran sungai mulai terdengar. Ini tempat yang biasa kami datangi, tepi sungai yang menyimpan kenangan. Di sinilah aku menerima pengakuan cinta palsu pertama dalam hidupku. Meskipun kenangan itu sedikit pahit, tempat ini selalu menjadi tempat bermain kami.


Kami berjalan di antara rerumputan liar yang seakan semakin tinggi, lalu duduk di atas batu besar di tepi sungai. Aliran air jernih mengalir dengan tenang, sementara capung-capung hinggap di rerumputan di pinggir sungai.


Aku duduk bersila, sementara Toiro mengangkat kakinya seperti posisi duduk olahraga. Pada saat itu, genggaman tangan kami pun terlepas. Aku mengepalkan tanganku dengan erat.


"Oh, mau minum teh? Masih ada sisanya nih."


Toiro mengeluarkan botol teh dari tasnya dan menyerahkannya padaku.


"Oh, terima kasih."


Aku menerima dan minum beberapa teguk. Entah kenapa, teh hangat ini terasa sangat menyegarkan.

Ketika mengembalikannya pada Toiro, ia juga meneguknya sedikit sebelum meletakkannya di atas batu. Kami berdua pun beristirahat sejenak.


"Kerja bagus hari ini," ucap Toiro.


"Terima kasih sudah menemani," balasku, dan Toiro menggelengkan kepala.


"Bukan masalah sama sekali. Justru aku yang harus berterima kasih. Kamu bener-bener serius dalam berpura-pura jadi pasangan."


"Aku juga berterima kasih. Kamu bikin aku kelihatan lebih baik."


Mendengar kata-kataku, Toiro mendadak terdiam. Aku menoleh, dan melihatnya mengerutkan alis sambil mengangkat dagunya dengan jari.


"Kelas atas… atau mungkin kelas menengah ke atas…"


"Apa?"


"Tujuan awalnya adalah bikin kamu jadi cowok normal, yang sederhana tapi tampil rapi. Jadi kamu memang terlihat lebih baik, bukan berarti tiba-tiba berubah jadi super tampan. Maaf kalau bikin kamu salah paham!"


"Aku ngerti kok!"


Tentu saja, aku tak berpikir aku berubah jadi pangeran tampan… tapi tetap saja, dikategorikan sebagai “kelas menengah ke atas” agak mengecewakan.


"Ngomong-ngomong, menurutku kamu sudah cocok dengan penampilanmu sekarang," lanjutnya sambil tersenyum lebar.


"Benarkah?"


"Iya, cocok banget! Paling nggak, dari segi ‘aura tampan’ kamu lulus, kok."


"Aura tampan," ucapku bingung, tapi mungkin itu pujian. Rasanya aneh mendengar kata-kata itu, terutama karena biasanya aku jauh dari kata ‘tampan.’


Sambil tersenyum lembut seperti biasanya, Toiro minum teh lagi. Di tengah gemericik sungai, ia tiba-tiba berkata,


"Kenapa kamu setuju dengan kontrak pacar sementara ini, Masaichi?"


Itu pertanyaan yang tiba-tiba, tapi jawabannya sudah jelas dalam benakku.


"Aku punya hutang budi."


"Hutang budi…?"


Toiro mengerutkan kening bingung.


Yah, meskipun aku berpikir keras, mungkin aku tidak akan mengerti. Ini adalah sesuatu yang sudah lama aku syukuri sendirian.


"Apa? Aku jadi penasaran," Toiro menatapku dengan tatapan memaksa.


Sebenarnya, ini bukan hal yang harus aku sembunyikan. Meski sedikit memalukan, aku bisa menceritakannya ke Toiro.


"Yah, ini cerita lama, tapi... Waktu SMP, sebenarnya aku sempat ragu untuk berhenti dari dunia anime, manga, novel ringan... ya, kegiatan otaku."


"Eh, nggak mungkin, Masaichi sampai mau berhenti jadi otaku, itu serius banget!"


"Iya, aku benar-benar kebingungan saat itu."


Mungkin bagi orang lain, pertanyaan tentang mau lanjut atau berhenti jadi otaku terdengar sepele. Tapi bagiku, ini masalah besar, dan Toiro pun memahami itu. Dia tidak akan menyepelekannya dengan berpikir, “Memangnya itu masalah besar?”


"Meskipun hanya sekadar menyukai sesuatu yang kita sukai, pandangan masyarakat cenderung tajam. Bahkan di saat budaya dua dimensi sudah meluas, masih ada orang yang memandang otaku sebagai orang yang sedikit suram dan aneh. Karena itu, aku yang kurang percaya diri dan merasa tidak nyaman di sekolah mulai berpikir, apakah sebaiknya aku berhenti saja? Haruskah aku membuang hal-hal yang kusuka?"


"Begitu... ya..." Toiro mengerutkan kening dengan raut serius.


Aku tak bermaksud membuat suasana jadi muram, jadi aku segera melanjutkan ceritaku.


"Tapi di saat seperti itu, kau menunjukkan ketertarikan pada hobiku saat berkunjung ke kamarku. Kau terus bertanya 'Ini apa?' dan akhirnya, kau jadi ikut menyukai banyak karya bersamaku."


Ditanya soal anime favoritku, atau diminta bantuan strategi game, itu membuatku sangat senang. Mungkin aku kelaparan akan teman bicara mengenai hal-hal itu. Toiro bukan hanya pendengar, dia benar-benar menonton anime atau memainkan game yang kuperkenalkan. Dia benar-benar bersedia larut dalam dunia otaku bersamaku, dan itu membuatku sangat bahagia.


"Iya, memang aku jadi ketagihan juga, ya. Anime, novel ringan, manga, semuanya menarik. Waktu yang kuhabiskan main game sama Masaichi, jujur saja, benar-benar menyenangkan. Mungkin aku memang memiliki jiwa otaku."


Toiro tertawa kecil sambil menggaruk-garuk kepalanya.


"Itulah yang membuatku senang. Ada orang selain diriku yang benar-benar serius menikmati hobi ini, dan itu membuatku bisa percaya diri dengan apa yang kulakukan. Sejak saat itu, hari-hariku melakukan hal-hal yang kusuka jadi jauh lebih menyenangkan. Bukan hanya sekadar perasaan, tapi penglihatanku benar-benar jadi lebih jernih."


Aku merasa terselamatkan. Sekarang aku bisa dengan bangga mengungkapkan hal-hal yang kusukai. Waktu itu, aku hanya pria lemah yang tidak pantas disebut otaku. Tanpa sadar, aku tersenyum kecil, sedikit menertawakan diri sendiri.


"Begitulah, secara diam-diam aku selalu berterima kasih padamu."


Akhirnya aku menyelesaikan ceritaku.


Sejak dulu, aku merasa sangat berterima kasih pada Toiro dan menganggapnya sebagai utang besar. Itulah sebabnya, dalam misi pacar palsu ini atau membantunya membeli kartu, aku tentu saja dengan senang hati mau membantu. Bahkan sekarang, aku berusaha sekuat tenaga agar bisa membantunya. Jika suatu saat dia kesulitan, aku sudah bertekad untuk menolongnya—.


"Ehh," Setelah mendengar pengakuan Masaichi, aku berkali-kali berteriak kaget dalam hati.


"Ja-jadi begitu, ya."


Bahwa Masaichi pernah merasakan keraguan terhadap hobinya yang sangat dia sukai. Dan tanpa aku sadari, aku telah membantunya keluar dari keraguan itu. Bahkan dia secara diam-diam berterima kasih padaku.


Ini mengejutkan!


Selama ini aku pikir aku sudah tahu banyak tentang Masaichi. Tapi cerita yang baru saja kudengar benar-benar baru bagiku. Aku benar-benar terkejut.


Namun lebih dari itu, akulah yang justru merasa sangat berterima kasih pada Masaichi.


Setelah Masaichi selesai bercerita, ada keheningan canggung yang membuatnya terlihat gelisah. Aku segera membuka mulut.


"Terima kasih sudah memberitahuku! Tapi kau tidak perlu merasa berutang, kok. Aku juga sangat menikmati kegiatan otaku ini, dan sebenarnya, aku juga merasa banyak diselamatkan olehmu, Masaichi."

"Diselamatkan...?"


"Iya, aku diselamatkan!"


Aku mengangguk dengan tegas pada Masaichi yang terlihat bingung.


"Kau mungkin sudah tahu, aku sering sakit saat kecil. Sekarang sih sudah hampir tidak apa-apa. Tapi dulu, asma bawaan sering membuatku harus dirawat di rumah sakit."


Masaichi mengangguk.


Tentu saja dia tahu. Sekarang ini, dia lebih perhatian pada kesehatanku daripada aku sendiri.


"Tadi waktu kita berlari di zebra cross, kau juga sangat khawatir kan?"


"Tentu saja aku khawatir. Kau batuk-batuk, dan dulu sering jatuh pingsan karena itu."


"Haha, terima kasih. Tapi sekarang aku sudah lebih kuat."


Aku menunjukkan pose dengan mengangkat kedua tangan, seakan memperlihatkan otot. Sekarang, aku sudah hampir tidak apa-apa. Tubuhku sudah matang. Memang kadang mudah lelah, tapi saat SMP, aku bahkan sudah bisa ikut maraton musim dingin sekolah.


"Meskipun begitu, aku tetap sering merasa kesepian waktu kecil. Sering sekali, saat teman-teman membuat janji untuk bermain di taman sepulang sekolah, aku yang tidak bisa ikut. Aku tetap berteman baik dengan mereka, tapi jadi terasa agak seperti diasingkan."


"Oh..."


Masaichi mengangguk pelan.


Sebagai anak perempuan biasa, situasi itu cukup berat. Aku tetap pergi ke sekolah karena tidak ingin membuat ibuku khawatir, tapi sebenarnya aku sangat ingin bermain dengan teman-temanku.


"Saat itu, kau hampir selalu mengajakku bermain di dalam rumah, Masaichi. Aku khawatir kau akan kecewa kalau aku mengajak keluar, tapi kau selalu menemani di dalam. Kita main kartu, othello, mini mobil balap, banyak hal yang seru, meskipun hanya di dalam rumah."


"Sepertinya aku memang tipe yang nggak suka keluar."


"Iya, rupanya begitu. Begitu masuk kelas atas SD, ibuku akhirnya mengizinkanku bermain di luar. Senangnya, aku langsung mengajakmu keluar, dan kau bilang tidak ingin keluar. Aku terkejut karena ternyata, kau memang lebih suka di rumah."

Dan akhirnya, aku meminta dengan sepenuh hati, lalu membawanya ke tepi sungai ini. Kami menangkap serangga, ikan, bermain air, terutama saat liburan musim panas, entah berapa kali kami ke sini.


"Sejak dulu aku memang lebih suka di dalam rumah. Apalagi, di sekolah aku tak punya teman selain dirimu. Jadi, aku hanya tahu cara bermain di dalam ruangan."


"Nah, itulah yang cocok denganku. Baik dari fisik maupun hobi, kita ternyata punya banyak kesamaan."


“Kesamaan?”


Saat aku mengatakan itu, Masaichi bergumam pelan, "Kesamaan, ya..." dan menoleh ke samping, sepertinya malu.


"Yah, 'kamuflase pacaran' itu maksudnya, seperti namanya, berpura-pura punya sikap seperti pacaran yang penuh keintiman dan masuk ke dalam lingkaran teman yang benar-benar pacaran. Itu hanya kamuflase. Sebenarnya, yang benar-benar aku nikmati adalah waktu-waktu yang kuhabiskan dengan aktivitas otaku bersama Masaichi."


"Begitu? Tapi kalau memang begitu, kenapa kamu malah berpura-pura pacaran? Aku sendiri lagi mencoba mengubah diriku, jadi aku tahu, itu sulit dan menghabiskan banyak waktu serta biaya."


Itu memang pertanyaan yang wajar muncul. Meskipun tidak benar-benar ingin menjadi seperti itu, aku punya alasan tertentu untuk berpura-pura. 


"Iya, soalnya, ibuku mulai khawatir saat aku masuk SMP. Tiba-tiba saja dia mulai khawatir apakah aku bisa menyesuaikan diri dengan teman-temanku. Mungkin dia merasa bersalah karena terlalu keras padaku. Dia sempat menuduhku hanya bermain dengan Masaichi atau memaksaku berteman dengan anak-anak dari teman-temannya. Jadi, aku mulai belajar memperhatikan penampilan dan berusaha agar punya banyak teman."


Aku memang sudah berusaha keras untuk bisa berada di posisi ini sebagai 'pacaran yang keren,' dan sekarang aku menikmati kehidupan sekolah dengan teman-temanku.


"Begitu ya, jadi itu alasannya... Kamu sudah berusaha keras."


Masaichi mengatakannya dengan nada yang penuh perasaan. Memang benar, aku sudah berusaha keras. Tapi, karena aku senang dengan hasilnya, aku tidak butuh rasa kasihan atau simpati.


"Aku cuma melakukan apa yang ingin kulakukan. Tapi ya, gara-gara itu sekarang aku malah merepotkan Masaichi."


"Ah, tidak usah dipikirkan."


Dengan nada ringan, Masaichi menghela napas panjang dan meregangkan tubuh.


"Terima kasih sudah bercerita, Toiro. Meski kita punya hubungan yang erat, ternyata ada hal-hal yang aku belum tahu."


"Terima kasih juga, Masaichi. Memang, aku pun terkejut mendengar cerita Masaichi yang dulu sempat bimbang. Aku sama sekali tidak menyadarinya."


"Sama sepertimu yang berubah saat SMP, aku juga tidak tahu bagaimana kehidupan SMP-mu. Jadi, gimana di sekolah waktu itu?"


"Aku juga penasaran dengan kehidupan SMP-mu, Masaichi! Rasanya ada bagian yang kosong di antara kita. Gimana kalau kita lihat lagi album kelulusan? Dan foto-foto masa kecil juga, sudah lama tidak kita lihat, kan?"


"Orang tuaku memang banyak mengambil foto kita dulu. Kalau kamu mau lihat, meskipun di album kelulusan, aku hanya muncul di foto kelas."


"Eh…"


Di kejauhan, terdengar suara burung gagak, dan melodi tanda pukul lima sore mulai mengalun di udara. Dahulu aku tidak menyukai melodi tepat waktu ini, tapi mendengarnya sekarang, rasanya malah 

membangkitkan nostalgia. Apa aku mulai tua?


Dalam ingatanku, tepi sungai yang biasa kami kunjungi ini terbayang dalam warna sepia yang mulai memudar, tapi kini pemandangan di depanku begitu cerah hingga hampir membuatku menangis.


"Indah sekali."


Masaichi yang tengah menatap dunia yang disinari matahari senja bergumam lirih.


"Iya, benar."


Aku menutup mata sebentar, lalu menjawab. Rasanya luar biasa bisa mengobrol dengan seseorang yang ada di sisiku, seperti saat kami kecil dulu. Dunia yang kami miliki di sini sempurna untukku.


Seiring matahari yang akhirnya tenggelam, area di sekitar kami perlahan-lahan mulai gelap. Sebelum benar-benar gelap, kami harus meninggalkan tepi sungai ini. Walaupun aku sudah terbiasa dengan suara lonceng tanda waktu, pada akhirnya, waktu tetap menjadi musuh terbesar, pikirku.



Malam itu, sambil berendam di bak mandi, aku merenungkan kejadian hari ini. Kami sempat membahas hal-hal yang cukup dalam, dan aku senang mengetahui hal-hal yang sebelumnya tidak aku ketahui. Rasanya nostalgia menyelimuti pikiranku, dan aku pun berpikir untuk mencari foto-foto masa kecil.


“Ngomong-ngomong, tadi kita dikira pacaran, ya.”


Kencannya memang menyenangkan, dan ada kejadian yang mengejutkan setelahnya. Ketika kami meninggalkan kafe dan berjalan di sekitar alun-alun stasiun, beberapa gadis yang lewat sedang membicarakan kami. Meskipun mereka berbicara pelan, sepertinya Masaichi tidak mendengarnya. Dari apa yang aku tangkap, melihat kami bersama membuat mereka jadi ingin punya pacar juga.



Itu artinya aku dan Masaichi tampak seperti pasangan ideal di mata mereka. Mereka melihat Masaichi, dan mungkin saja memimpikan punya pasangan seperti itu. 


Hehe, hai, kalian berdua tahu tidak, sosok Masaichi yang kalian lihat ini adalah hasil karya produsernya—aku! Kalau rambutnya ditata dengan benar, tampangnya sebenarnya tidak buruk. Posturnya juga bagus dan ramping, jadi dia cocok mengenakan pakaian apa pun. Masaichi sendiri pada dasarnya adalah permata yang akan bersinar jika diasah. 


Sebelumnya, dia agak kecewa saat kusebut "kelas menengah ke atas," padahal yang dia bayangkan "kelas atas bawah" adalah level selebriti yang muncul di televisi. Maksudku, jika dia masih tidak puas meski di atas rata-rata... mungkin memang Masaichi punya keinginan kuat untuk terus mengasah dirinya lewat proyek transformasi kali ini.


Kupikir, penampilan Masaichi yang sekarang akan cukup menarik perhatian di sekolah. Aku sedikit menggeser tubuhku, merendam dagu hingga ke bawah air. Kehangatan air membuat ketegangan di tubuhku mencair, dan aku menghela napas panjang yang santai.


Meski begitu, menarik perhatian hanyalah hasil sederhana dari tampilan luar saja. Bahkan jika nanti orang-orang mulai membicarakannya, itu hanya pendapat subjektif orang lain, tak lebih dan tak kurang. Ada banyak orang yang menganggap penting bagaimana orang lain memandang mereka... Meski begitu, Masaichi yang sekarang ini jelas jauh lebih keren—benar-benar tipeku.


Namun bagiku, mau ada atau tidaknya perubahan, Masaichi tetap anak lelaki yang sangat menawan. Aku bergeser lagi hingga seluruh wajah terendam ke dalam air, dan suara tetesan air dari keran terdengar memenuhi ruang kamar mandi.


Apakah Masaichi akan terus mendalami dunia fashion setelah ini? Sejak terakhir kali, dia bahkan menunda membeli manga dan kartu kesayangannya untuk membeli majalah gaya rambut. Sebenarnya, belum lama ini dia bilang kalau otaku bisa jadi sangat teliti jika sudah benar-benar tertarik pada sesuatu. 


—Karena itulah... sedikit saja, aku merasa takut sekarang.  


Hal semacam ini, aku seharusnya tidak merasa takut sebagai orang yang memulai segalanya...  


Setelah keluar dari kamar mandi, aku dengan rambut masih basah lembap langsung menuju lemari di ruang bergaya Jepang, menarik keluar album-album foto lama. Orang tua kami berteman baik, jadi sejak kecil, kami sering menyalin foto yang berisi momen bersama dan saling memberikan. Tentu, foto-foto yang sama pasti ada di rumah Masaichi juga. Tapi ya, aku berencana membawa album ini suatu hari nanti dan melihatnya bersama di kamar Masaichi.


Aku mengambil beberapa album dari dalam kantong kertas yang berdebu dan duduk di atas tatami. Dalam pakaian rumah berupa celana pendek musim panas, bagian paha terasa sejuk menyentuh lantai tikar. 


Ketika membuka halaman pertama, tampak foto-foto jadul dengan kualitas gambar kasar berjejer enam di tiap halaman. Ada foto di mana aku berpose dengan dua jari, ada juga yang sedang tertawa bersama keluarga, dan beberapa saat bermain dengan Masaichi.


—Benar-benar nostalgia, ya.


Halaman demi halaman kutelusuri, menemukan momen-momen di mana kami bermain balok kayu, membaca buku cerita, makan kue ulang tahun, hingga mengenakan kimono dan berpegangan tangan dalam acara *Shichi-Go-San di kuil. Setiap acara sekolah, dari konser musik hingga kegiatan olahraga, selalu ada foto kami berdua. 


TLN : Shichi-Go-San (dibaca "shichigosan") adalah perayaan tradisional di Jepang untuk merayakan pertumbuhan anak-anak dan mengungkapkan rasa syukur atas kesehatan mereka. Perayaan ini biasanya dilakukan untuk anak laki-laki berusia 3 dan 5 tahun, serta anak perempuan berusia 3 dan 7 tahun, berdasarkan usia "kazoe" (sistem menghitung usia yang menganggap tahun kelahiran sebagai 1 tahun). Perayaan Shichi-Go-San biasanya diadakan pada tanggal 15 November setiap tahun. CMIIW


—Masaichi, kamu imut sekali waktu itu.


Kemudian, aku menemukan foto saat kami bermain pura-pura di halaman rumah, juga saat bermain air di kolam tiup di taman. 


“—Eh?”

Aku tertegun, tanpa sadar memegang album lebih dekat untuk memperhatikan foto kolam itu. Dalam foto itu, Masaichi duduk memegang gembor berbentuk gajah, sementara aku berdiri di tepi kolam. Hari biasa yang sederhana. Dilihat dari cap tanggal berwarna oranye di pojok kanan bawah, ini adalah foto saat kami masih kelas satu SD.


Di dalam foto itu—aku tidak memakai baju di bagian atas.


Aku langsung menutup album dengan keras, lalu buru-buru mengambil ponsel dari saku celana pendek dan mengirim pesan ke Masaichi.


"Hei, bagaimana kalau kita batalkan acara nostalgia album foto saja? Sekarang yang perlu kita lihat bukanlah masa lalu, tapi masa depan kita yang cerah!"


Tak lama kemudian, balasan datang.


“Oh, begitu ya? Padahal sudah lama ingin melihatnya. Tapi kalau begitu, kita bisa melihatnya lain waktu kalau sempat.”


Aduh! Aku hampir berteriak. Ini kesalahan besar. Seharusnya aku membawa album ini tanpa foto kolam itu. Kalau Masaichi mencari album lamanya sendiri, dia mungkin saja menemukan foto itu.


Bayangan Masaichi, duduk di kamar sendirian, melihat fotoku yang... seperti itu, melintas di pikiranku. Rasanya panas di bagian dalam wajahku.


“Ini sudah semacam... foto vulgar! Aduh, kenapa foto itu harus ada sih!?”


Lagipula, kenapa dulu aku dibiarkan bermain tanpa pakaian atas? Ah, Ibu...! Pasti karena saat itu tubuhku masih anak-anak dan belum berkembang, jadi dianggap aman. Ya, memang, kami bahkan sering mandi bersama saat itu. Tapi, bukankah ini terlalu ceroboh?


Waktu kecil, aku mungkin tidak malu bermain seperti itu, tapi sekarang ini jelas terasa sangat memalukan. Itu benar-benar... aduh!


Apakah yang perlu kulaporkan adalah Masaichi atau orang tua yang mengambil fotonya? Atau sebaiknya kubuang saja foto-foto itu di dunia ini? Kalau sampai Masaichi melihat foto itu, apa yang harus kulakukan?


Berbagai pikiran berkecamuk di kepalaku.


"Pokoknya, aku harus mengalihkan perhatian Masaichi dari album-album ini!"


Tanpa banyak berpikir, aku berteriak pada diri sendiri, bangkit berdiri, dan bersiap menuju kamar Masaichi. 

Di bawah langit malam yang hangat di awal musim panas, aku melangkah keluar hanya dengan pakaian tipis, sementara angin sejuk menghembus perlahan, menyelimuti tubuhku.


Tapi meski udara luar sedikit menyejukkan, wajahku masih terasa panas.



Ketika berpikir, aku sudah terbiasa untuk berbaring di tempat tidur. Setelah mandi, aku berbaring tanpa menyalakan lampu dan memikirkan kencan hari ini. 


Rasanya agak canggung mengenakan pakaian pilihan Toiro saat keluar rumah. Bukan hanya karena topi dan celana ketat yang biasanya tidak kupakai, tetapi terutama karena pandangan orang-orang yang melihat kami. Mungkin karena di sampingku ada Toiro yang menawan, tetapi hari ini aku merasa lebih diperhatikan daripada biasanya. 


Ada sedikit kepuasan ketika melihat sekelompok siswi bergosip tentang kami. Namun, aku masih belum yakin untuk tampil seperti ini di depan teman-teman sekolah saat acara di luar sekolah nanti. Mereka sudah tahu bagaimana aku biasanya, jadi mereka pasti akan melihatku dengan kesan sebelumnya. Aku tidak tahu apakah aku bisa menghilangkan rasa canggung yang mungkin muncul karena perbedaan gaya ini. Tapi aku bersyukur bisa mencobanya hari ini.


Aku ingin menjadi seseorang yang lebih setara dengan Toiro. Kalau aku bisa, mungkin aku bisa mempertahankan hubungan ini sedikit lebih lama. 


Sampai di situ, aku menghela napas pendek. Sejak awal, hubungan kami memang hanya kesepakatan semu. Hubungan yang sementara ini pasti akan berakhir suatu hari nanti. Aku sudah paham betul itu. Namun, justru karena hubungan ini berbeda dari pertemanan lama kami, aku belajar banyak hal. Mendengarkan perasaan Toiro yang selama ini dia sembunyikan membuatku semakin menghargainya. Aku tak ingin ini berakhir. Namun, sebagai seseorang yang hanya terlibat dalam hubungan palsu, aku tak berhak untuk melanjutkan hubungan ini lebih jauh. Suatu hari nanti, kami akan kembali menjadi dua teman masa kecil seperti dulu. 


Entah mengapa, sekarang rasanya perasaan itu sangat menyakitkan.


Mungkin karena terlalu lama memikirkan hal-hal semacam ini, aku terkejut ketika ponsel di dekat bantal tiba-tiba bergetar. Dengan insting, aku langsung tahu itu dari Toiro.


“Hey, bagaimana kalau kita batalkan acara melihat album? Sekarang yang perlu kita lihat bukanlah masa lalu, tetapi masa depan kita yang cerah bersama!”


Awalnya aku bingung, tapi aku teringat bahwa di sungai tadi, kami memang sempat membicarakan tentang melihat album foto. Rupanya, Toiro sudah mempertimbangkan serius untuk melihatnya bersama. Aku memang tidak keberatan mengobrol sambil mengingat kenangan lama, tetapi seperti yang dia bilang, akhir-akhir ini kami sama-sama sibuk. Jadi aku membalas pesan, mengatakan kalau tidak apa-apa jika memang harus dibatalkan.


Namun, pembicaraan hari ini membuat kenangan masa kecil kami kembali terlintas di pikiranku. Aku ingin sedikit mengenang masa lalu itu. Dengan perasaan tak menentu, aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju ruang penyimpanan di lantai dua. Album foto itu disimpan dalam kotak kardus di dalam lemari. Ketika aku membuka lemari, ternyata kotak itu tertimbun oleh barang-barang lain seperti futon dan pemanas. Aku sempat ragu sejenak, tapi akhirnya memutuskan untuk memindahkan barang-barang itu satu per satu.


“...Akhirnya, ketemu,” gumamku sambil tersenyum lega. 


Di sampul depan album itu tertulis, “Masaichi Kelas Satu SD.” Di masa ini, aku pasti sering bermain dengan Toiro, jadi kemungkinan besar ada foto kami bersama di dalamnya.


Dari bawah, terdengar suara ramai seperti ada tamu yang datang. Terdengar langkah kaki yang cepat melintasi lorong, tetapi kupikir itu bukan urusanku. Kalau ada tamu di malam hari begini, kemungkinan besar adalah teman-teman Serina yang agak bandel. Sambil memikirkan itu, aku duduk bersila di lantai dan mulai membuka halaman pertama dari album foto tersebut.
















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !