Chapter 5
Ciuman tidak langsung yang diakui
sebagai pasangan
Setelah menjadi pasangan sementara dengan Toiro, aku menyadari satu hal. Gosip tentang diri kita sepertinya akan selalu sampai ke telinga kita, meskipun di tengah keramaian, seolah-olah mereka sedang berbicara langsung kepadaku.
『Kenapa Kurumi dan Mazono bisa pacaran, ya? Apa yang jadi penyebabnya?』
『Nggak kebayang. Maksudku, gimana bisa mereka berdua?』
『Oh iya, kemarin aku lihat mereka pulang bareng, tapi mereka nggak gandengan, lho. Malahan, Mazono jalan cepet banget sampai ada jarak di antara mereka. Kira-kira mereka pacaran beneran nggak, ya?』
『Ngomong-ngomong, percakapan mereka aneh banget kemarin. Toiro-chan bilang ke Mazono,
“Nee, kamu taruh baju itu di kamarmu, ya?”
“Iya, itu celana pendek, kan?”
“Benar. Akhir-akhir ini cuacanya makin panas, jadi kayaknya aku mau pakai itu hari ini.”
Mereka bisa langsung paham cuma dengan menyebut 'baju itu'! Dan, mereka sudah punya baju yang ditinggal di kamar pacarnya? Beneran baru pacaran, ya? Kayaknya ada sesuatu di balik itu, deh.』
Gosip-gosip ini bukan datang dari Sarugaya yang memberitahuku. Meski di tengah kebisingan kelas saat jam istirahat, obrolan tentang diriku seolah-olah bisa menembus semuanya dan langsung masuk ke telingaku. Ini adalah pertama kalinya aku mengalami perasaan seperti ini, terutama karena aku bukan tipe orang yang biasanya jadi pusat perhatian.
Yah, bagaimanapun juga, semua gosip ini terjadi karena aku berhubungan dengan Toiro, yang populer di sekolah. Aku bagaikan orang yang terjebak dalam skandal besar. Sepertinya rumor-rumor aneh mulai menyebar, dan aku harus lebih berhati-hati untuk berperilaku seperti pasangan sejati. Kedekatan kami sebagai teman masa kecil bisa menimbulkan keraguan, jadi aku harus lebih menyadari bahwa kami terlihat seperti pasangan yang baru saja mulai berkencan...
Saat aku menyandarkan siku di meja dan berpikir keras, tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundakku dari belakang.
"Oi, oi, Masaichi-kun. Jangan terlalu mikirin omongan orang lain, ya."
Ketika aku menoleh, Sarugaya sudah berdiri di sana. Dia duduk di kursi sebelahku yang kosong dan menyingkirkan poni panjangnya yang mengganggu dengan menggelengkan kepala.
"Akhirnya semua orang cuma iri sama kamu. Mereka cuma nggak bisa nerima kalau idolanya punya pacar lo. Ini semacam pajak kebahagiaan, jadi santai aja."
"Ah, iya, makasih," kataku, sedikit terkejut dengan nada simpatiknya.
"Nggak masalah, kita kan teman, kan?"
"Teman... ya?" Aku bertanya ragu.
"Apa yang kamu omongin? Tentu aja kita teman. Dari dulu kita udah sering ngobrol soal anime dan hal-hal lain yang seru, kan? Kita itu soulmate dalam hal itu."
"Kita baru kenal waktu SMP, dan aku nggak pernah bilang mau jadi teman," jawabku.
"Masaichi, kamu itu... Cara kamu ngeliat pertemanan benar-benar kayak orang yang nggak punya teman, tau nggak?"
Eh, beneran?
"Kalo kamu bisa ngobrolin sesuatu yang kamu suka sama seseorang di sekolah, itu udah termasuk teman. Apalagi kita udah pernah ke toko anime bareng. Itu jelas pertemanan!"
"Jadi... gitu ya?"
Pertemanan itu nggak punya definisi yang jelas, jadi aku selalu merasa itu hal yang sulit. Apakah kalau kita saling tukar kontak, kita otomatis jadi teman? Kalau kita pernah main bareng? Lalu bagaimana dengan orang yang hanya ngobrol di sekolah? Atau, bagaimana dengan seseorang yang setiap hari ngobrol di game online, meski nggak pernah bertemu langsung? Makin dipikirin, makin nggak ada ujungnya, dan aku nggak tahu bagaimana menarik garis batas.
"Ya, gitu. Kita teman. Best friends, malah."
Mungkin, bagi orang seperti aku, punya seseorang seperti Sarugaya yang bisa secara tegas mengatakan hal itu adalah hal yang benar-benar aku butuhkan.
"Terima kasih, Sarugaya. Tolong jaga aku, ya."
"Ya, tentu aja. Jadi gini, gimana kalau lain kali kita ajak Toiro-chan dan teman-temannya, terus kita pergi main bareng? Makan siang juga boleh. Apalagi, banyak teman Toiro-chan yang cantik, kan? Kenalin aku dong. Eh, tapi yang penting temannya jangan punya pacar, dan kalau bisa yang tinggi semampai."
"Kau cuma mau memanfaatkanku!"
Ternyata, dia bukan teman...
"Ya ampun, jangan begitu dong, Masaichi-kun. Aku juga pengen punya pacar, ngerti, kan? Nggak adil kalau cuma kamu yang enak."
"Kenapa aku harus ngedengerin omongan si kera mesum ini..."
Pertanyaan tentang apa itu teman kembali membuatku bingung. Apalagi, dibilang "nggak adil" rasanya aneh, karena aku juga sedang dihadapkan pada situasi yang nggak mudah dengan peran ini. Tapi tentu saja, aku nggak mengatakannya keras-keras.
Saat aku hanya bisa menatap Sarugaya dengan keheranan, dia tiba-tiba berdeham, seakan ingin memulai pembicaraan dari awal. Kali ini, nada bicaranya sedikit lebih serius.
"Dengerin aku, Masaichi. Lupakan soal kenalan tadi. Aku cuma ingin tahu tentang Toiro-chan. Dia kan sekarang pacarmu, aku harus tahu apakah dia memang pantas jadi pacarmu."
"Eh..."
"Kalian pacaran, kan? Kasih aku kesempatan buat kenalan."
Kata-katanya yang mendesak membuatku kehilangan kata-kata. Sebenarnya, Toiro dan teman-temannya pasti dalam bahaya kalau aku mengenalkan mereka pada Sarugaya si kera mesum ini. Aku sudah hendak menolaknya ketika...
"Yah yah, kalian berdua. Aku dengar semuanya."
Tiba-tiba, seseorang menyela dari belakang lagi.
"Oh, Toiro-chan!"
Sarugaya langsung bersorak kegirangan. Ketika aku menoleh, Toiro, pacarku (sementara), berdiri di sana. Kenapa semua orang suka mendekatiku dari belakang? Apakah punggungku selalu terbuka?
Tampaknya, Toiro mendengar sebagian dari percakapan kami, dan yang dia katakan selanjutnya benar-benar di luar dugaanku.
"Sarugaya-kun, aku setuju dengan ide itu!"
...Eh?Maksudnya apa? Ide yang mana? Apakah maksudnya ide untuk memperkenalkan teman-teman Toiro kepadanya? Sepertinya begitu...
"Serius? Nah, ini baru keren! Makasih banyak, Toiro-chan!"
Sarugaya langsung melonjak kegirangan, sementara aku terdiam karena bingung dengan maksud Toiro.
...Eh, jadi kau setuju?"
*
"Sebetulnya, aku juga sering diminta oleh Urara-chan untuk mengenalkan pacarku," ujar Toiro tiba-tiba.
"Aku? Yang dikenalkan?"
"Yup, tepatnya kamu, Masaichi. Tapi aku tahu kamu nggak suka pergi dengan cewek yang belum pernah ngobrol sama kamu sebelumnya, jadi aku selalu menolaknya dengan halus. Tapi karena sekarang kamu juga diminta hal yang sama oleh temanmu, jadi kupikir, kenapa nggak kita gabungin aja dua urusan ini sekaligus? Supaya nggak ribet."
"Begitu ya... Digabung."
"Ya, digabung. Nama lainnya: Operasi Penyatuan Besar!"
Meskipun namanya terdengar aneh, usulan Toiro masuk akal. Aku setuju dengan rencananya. Daripada harus pergi bareng dua cewek tanpa Sarugaya, aku akan merasa lebih nyaman kalau dia ikut.
Setelah aku setuju, Operasi Penyatuan Besar pun diputuskan. Namun, karena aku malas untuk pergi keluar dan tak ingin mengorbankan waktu berharga di rumah, kami sepakat untuk makan siang bersama di kantin selama jam istirahat. Aku dan Toiro masing-masing mengatur janji dengan Sarugaya dan Urara, dan keesokan harinya, kami berkumpul di kantin. Di depan kantin, aku, Sarugaya, dan dua gadis itu akhirnya bertemu.
"Memang kita satu kelas, jadi perkenalan agak aneh, tapi aku pacarnya Masaichi, Kurumi Toiro," ucap Toiro sambil menundukkan kepala dengan sopan.
"Tentu saja aku sudah tahu, Toiro-chan. Temanku dari SMP sudah banyak cerita tentangmu. Senang bertemu denganmu, Urara-chan. Lagipula, kita satu kelas semua, jadi mari kita saling akrab," jawab Sarugaya dengan senyum lebar sambil menyapa kedua gadis itu. Tentu saja, dia begitu santai dan percaya diri saat berbicara dengan mereka, persis seperti yang kuduga dari si kera mesum ini.
Aku, yang terkejut oleh sikap Sarugaya, buru-buru memperkenalkan diri ke Nakasone.
"Aku baru mulai berpacaran dengan Toiro belakangan ini... Senang bertemu denganmu."
Aku sedikit menunduk, dan saat melirik ke depan, Nakasone menatapku tajam. Rambutnya lurus dan berwarna pirang keemasan, dengan wajah cantik yang tegas, sangat berbeda dari Toiro. Matanya yang sipit memandangiku dari kepala hingga kaki, membuatku merasa seperti sedang dinilai.
Ketika akhirnya aku mengangkat wajah sepenuhnya, tatapan Nakasone sudah melunak.
"Nakasone Urara. Seperti yang Sarugaya bilang, kita satu kelas, jadi mari kita saling akrab. Senang bertemu denganmu," katanya singkat.
Setelah semua perkenalan selesai, kami berempat memesan makanan di counter. Aku memilih menu spesial hari itu, sedangkan Toiro memesan set karaage.
Kami duduk berseberangan di meja empat orang. Setelah aku duduk, Sarugaya duduk di sebelahku, dan Nakasone duduk di sebelah Toiro.
"Baiklah, mari kita makan," ujar Sarugaya dengan semangat, mengundang kami semua untuk mengucapkan selamat makan sambil menyatukan tangan.
Syukurlah Sarugaya ada di sini. Kalau hanya aku satu-satunya laki-laki, aku tidak tahu harus bicara apa. Berkat kemampuan komunikasi Sarugaya, suasana menjadi lebih cair.
"Seru banget, ya. Dikelilingi dua cewek cantik, ini nih yang namanya kebahagiaan. Dan bukan sembarang cewek, ini kan dua dari grup cewek paling cantik di kelas. Sebenarnya nggak harus dua lawan dua, bisa aja dua lawan tiga, dua lawan empat, bahkan satu lawan lima," ucap Sarugaya, bercanda.
"Yang terakhir nggak masuk akal kalau nggak ada Mazono," sahut Nakasone dengan dingin.
"Ah, benar juga. Rencana haremku hancur... Tapi, sebenarnya nggak masalah kalau ceweknya lebih banyak, Urara-chan. Bagaimana dengan Kaede-chan, yang sering kamu ajak bareng?"
"Kaede tuh ya, udah ada orang tetap buat makan siang. Mungkin mereka lagi makan bekal bareng di suatu tempat," kata Nakasone.
"Eh, orang tetap? Maksudnya... pacar? Seriusan? Padahal aku ngincer tuh badannya," jawab Sarugaya dengan nada kecewa.
"Kamu tuh, yang diliat cuma badannya aja..." Nakasone mengkritik.
"T-t-t-tidak kok!" Sarugaya buru-buru membela diri.
"Udah terlambat buat nutup-nutupin, tau. Tapi bukan pacar kok. Kayaknya Kaede lebih kayak orang yang lagi dipermainkan sendiri," jelas Nakasone.
"Ah, jadi begitu. Btw, orang itu kebetulan dari kelas dua kan?"
"Oh, kamu tahu? Ya, di sekolah mereka emang kelihatan terang-terangan sih. Iya, dari kelas dua, Kasukabe. Tapi entah kenapa—"
"Sial! Jadi cowok itu yang punya hak buat nikmatin tubuh memikat Kaede-chan sendirian..."
".........."
... Apakah semuanya berjalan lancar?
Dari awal, obrolan ini langsung menuju ke topik murahan. Aku bisa melihat Nakasone agak risih dengan percakapan ini...
Sarugaya dan Nakasone melanjutkan obrolan mereka, sementara Toiro hanya tersenyum kecut. Sebelumnya, Toiro pernah bilang bahwa dia tidak terlalu suka dengan pembicaraan tentang percintaan seperti ini.
Yah, setidaknya mereka tampak cukup antusias, jadi rasanya agak aneh kalau aku tiba-tiba mengubah topik. Kupikir lebih baik aku membiarkan mereka dan mulai makan siangku.
Hari ini aku memesan menu harian—nasi campur goreng. Aku mengambil satu ekor ebi furai dengan sumpitku dan memindahkannya ke piring Toiro. Sebagai gantinya, Toiro memberiku satu potong ayam goreng dan mengambil tomat ceri dari saladku.
TLN : Ebi furai adalah udang yang dibalut dengan tepung roti dan digoreng hingga renyah. Hidangan ini populer di Jepang sebagai salah satu jenis furai (makanan yang digoreng), dan sering disajikan sebagai bagian dari bento atau nasi kotak, serta menu di restoran. Udang goreng ini biasanya disajikan dengan saus tartar atau saus tonkatsu.
Setelah mengucap "selamat makan" dalam hati, aku mulai menggigit ayam goreng yang Toiro berikan padaku. Tapi, tiba-tiba saja...
"Tunggu, tunggu, tunggu! Masaichi, tunggu dulu!" teriak Sarugaya.
"Toiro!? Apa-apaan itu barusan!" tambah Nakasone dengan kaget.
"Eh?" Kami berdua bingung.
"Tunggu dulu! Itu barusan pertukaran lauk yang cepat banget, kayak kilat!" kata Sarugaya terkejut.
"Hampir aja kelewatan kalau aku nggak waspada," timpal Nakasone.
Aku dan Toiro saling pandang.
"Ya biasa aja, cuma tukeran lauk seperti biasa kok?" jawab Toiro sambil memiringkan kepala dengan polos.
"Iya sih, tapi itu kalian lakukan tanpa rencana sebelumnya?" Sarugaya masih tampak kebingungan.
Nakasone menatap kami dengan pandangan penuh curiga, seolah mencari sesuatu.
"Gimana ya, kalian tuh... kelihatan seperti pasangan yang udah lama banget bareng. Nggak seperti pasangan yang baru jadian," kata Nakasone.
Ucapan mereka membuatku terkejut. Aku baru sadar mereka mulai curiga. Kami secara otomatis melakukan pertukaran lauk seperti biasa, sesuatu yang sudah jadi kebiasaan sejak lama. Aku tahu apa yang Toiro suka dan tidak suka, begitupun sebaliknya.
Ebi furai adalah makanan kesukaan Toiro. Biasanya, kalau ada ebi furai, aku selalu memberikannya padanya. Sebagai gantinya, Toiro akan mengembalikan lauk lain ke piringku, kali ini karaage. Selain itu, aku tidak suka makan tomat ceri karena tidak suka sensasi bijinya yang meledak di mulut, jadi Toiro mengambilnya dari saladku tanpa perlu bertanya.
Semua itu terjadi begitu saja, tanpa perlu diucapkan. Tapi dilihat dari luar, itu tidak terlihat seperti pasangan yang baru mulai berpacaran. Malahan, terlihat seperti hubungan lama antara dua teman yang sangat akrab.
—Waduh, aku terlalu lengah!
――T-tidak, aku harus menutupi ini dengan cepat!
Kami saling bertukar pandang, berusaha berkomunikasi tanpa suara, lalu mulai berbicara masing-masing.
“Ya, ya, kemarin aku dengar dia suka ebi furai, jadi aku pikir aku akan memberikannya.”
“Iya, benar. Aku memang suka sekali ebi furai. Tapi rasanya tidak enak kalau cuma menerima, jadi aku kasih karaage sebagai gantinya. Selain itu, aku juga dengar dia nggak suka tomat ceri, jadi aku pikir aku akan memakannya untuk dia.”
Sementara kami menyusun alasan tersebut, pandangan tajam dari dua orang yang menghentikan sumpit mereka menusuk wajah kami.
“Meski begitu, bukankah seharusnya ada tanya dulu seperti 'Mau ini?' atau 'Boleh aku makan ini?'” ujar Nakasone.
“Sebenarnya, kami sudah membicarakannya tadi waktu memesan. Aku bilang, ‘Aku juga pengen makan ebi furai nih,’” kata Toiro.
“Betul, aku juga bilang, ‘Ya ampun, salad ini ada tomat kecilnya lagi,’” tambahku.
Kami berpura-pura menjadi pasangan yang baru jadian.
Kami harus mempertahankan citra itu dengan segala cara, dan berusaha sekuat tenaga untuk menyembunyikan kecurigaan.
“T-tapi, ngomong-ngomong, karaage memang makanan yang paling enak, kan?”
Toiro mencoba mengalihkan pembicaraan dengan membahas karaage.
“Bisa jadi menu utama dengan nasi, jadi camilan, lauk kotak makan siang, bahkan cocok untuk dimakan sambil jalan. Kamu bisa buat di rumah, belinya di supermarket, konbini, atau bahkan di stand makanan di festival. Tapi, ada juga restoran spesialis karaage. Ada makanan lain yang bisa menyesuaikan dengan semua situasi seperti ini?”
“Benar juga! Sekarang aku jadi sadar!” kata Sarugaya dengan terkejut.
Aku juga diam-diam terkesan. Ternyata, karaage memang luar biasa. Dari mana Toiro dapat trivia ini?
“Selain itu, variasi rasanya juga banyak! Ada rasa kecap, keju, kaldu Jepang. Meski aku sendiri tidak suka, ada juga yang pedas, kan? Terus ada lemon, nori, garam...”
Toiro melanjutkan penjelasannya dengan bangga.
Dengan semua pengetahuan ini, Nakasone tampaknya tak bisa menahan ketertarikannya. Aku mulai merasa lega, tetapi...
“Tapi tunggu dulu, bukannya hari ini kita di sini untuk mendengar cerita tentang kamu dan Mazono?” kata Nakasone, membawa pembicaraan kembali ke pokok awal.
“Aku jarang dengar cerita mesra dari kamu, Toiro. Kadang-kadang aku malah bertanya-tanya, apakah kalian benar-benar pacaran? Jadi, gimana? Kalian benar-benar akur sebagai pasangan?”
Setelah meletakkan sumpit dan sendok ramen, Nakasone menatap lurus ke arahku.
“Ya, tentu saja! Akhir-akhir ini kita sering main bareng sepulang sekolah, kamu tahu itu, kan?” jawab Toiro menggantikanku.
“Iya, dan karena itu, kamu jadi jarang nongkrong sama kita,” kata Nakasone dengan nada menggoda.
“Ma-maaf...” Toiro buru-buru menyatukan tangannya, dan Nakasone tersenyum kecil.
“Tidak apa-apa, tapi tetap saja, ada yang terasa janggal tentang kalian berdua. Maksudku, kalian benar-benar terlihat aneh. Oh iya, gimana sih awal mula kalian bertemu?” tanya Nakasone.
“T-tidak ada yang spesial. Kami hanya bertemu kayak biasa, kayak cerita klise, bertabrakan di tikungan waktu berangkat sekolah. Nggak ada yang terlalu menarik untuk diceritain,” kata Toiro, lalu dia memiringkan kepala dan melihat ke arahku. Aku mengangguk setuju dengan cepat.
“Tidak ada yang menarik untuk diceritakan? Bukannya kamu tidak bisa, atau tidak mau bercerita?” Nakasone melirik kami curiga.
“Apa sih, Urara-chan? Jangan terlalu curiga. Kami ini pasangan yang mesra, kok. Iya kan, Masaichi?”
“A-a-ah iya...” jawabku, tapi suaraku serak karena aku terlalu lama diam. Aku hanya berharap ini tidak terlihat mencurigakan.
Namun, tampaknya kecurigaan Nakasone sudah cukup mendalam. Dilihat dari situasi di kelas, Nakasone memang terlihat sebagai teman terdekat Toiro. Mungkin karena kedekatan itu, dia bisa merasakan perbedaan kecil yang tidak terlihat oleh orang lain.
“Ya ya! Kita mau main di mana? Pasti di rumah, kan? Di rumah Toiro atau Masaichi? Cowok dan cewek, satu atap! Hoo!”
Sarugaya tampak ceria dengan imajinasinya.
“Biasanya sih main di kamarku. Kamarnya Toiro… eh, aku jarang ke sana.”
Sambil mengabaikan semangat Sarugaya, aku menjawab dengan tenang.
Dulu, kami pernah bermain di kamarnya Toiro, tetapi belakangan ini hanya di rumahku. Satu-satunya alasan adalah karena kamarnya Toiro sangat berantakan. Dia adalah orang yang malas bersih-bersih, jadi lantainya penuh barang-barang, hanya bagian yang dia lewati saja yang terlihat. Ketika aku melihatnya lagi baru-baru ini, aku terkejut melihat ada jalan setapak seperti di hutan di dalam rumahnya.
Meskipun begitu, tampaknya Toiro merasa nyaman dengan keadaan itu, jadi aku tidak mau berkomentar lebih jauh.
“Eh, aku pengen sekali ke rumah Toiro!”
Sarugaya berkata dengan mata penuh harapan.
Kalau terus bersikap santai seperti ini, bisa-bisa kita terjebak di dalam rumah, pikirku.
“Lalu, hubungan kalian ini kan ‘lovey-dovey’, ya? Bagaimana kalau aku minta bukti dari kalian?”
Nakasone tiba-tiba berkata.
“Eh, bukti?”
Toiro terlihat bingung.
Nakasone mengangguk dengan bersemangat.
“Aku akan bertanya pada kalian. Kalau kalian adalah pasangan yang saling mencintai, pasti kalian saling mengenal dengan baik, kan? Aku akan banyak bertanya, dan berdasarkan jawaban kalian, aku akan menilai!”
Rasanya seperti ada ujian untuk menentukan status pasangan. “Wah, ini pasti seru!” Sarugaya juga tampak bersemangat.
Dia ingin memastikan apakah aku benar-benar pacaran dengan Toiro.
“Eh, pertanyaan, ya...”
Toiro melirikku dengan ragu. Aku pun tidak bisa membayangkan pertanyaan seperti apa yang bisa dijadikan bukti bahwa kami berpacaran.
—Ayo, Masaichi, tolong aku!
—T-tidak mungkin! Pokoknya, jangan sampai kita terjebak...
Saat kami saling bertukar pandang,
“Apa yang kalian ragukan? Ayo, coba saja! Bukankah ada pepatah, ‘Mengambil risiko seperti menjatuhkan obat dari lantai dua’?”
Nakasone kembali menantang kami.
…Eh? Mengambil risiko seperti menjatuhkan obat dari lantai dua?
Apa maksudnya? Aku melihat Toiro dan Sarugaya juga tampak bingung.
“Urara-chan? Maksudmu ‘mengambil risiko’ itu...?” tanya Toiro.
“Eh? Semangat berjuang?”
“…Lebih ke hal yang menyebalkan, meski pada akhirnya tidak ada gunanya...” jawabku.
“Oh, oh. Baiklah, kita coba saja!”
Jadi maksudnya, kami mencoba untuk berpartisipasi.
Nakasone terlihat agak canggung saat mengalihkan pandangannya.
Gadis ini sepertinya benar-benar tidak mengerti situasi.
“T-tapi, kalian tidak punya hak untuk menolak. Kalau kalian kabur, itu berarti ada yang mencurigakan!”
Nakasone berusaha terlihat berani dan menantang kami dengan tatapan tajam.
Sepertinya dia meminta Toiro untuk memperkenalkanku karena alasan ini. Dengan demikian, sepertinya tidak ada cara untuk menghindari sesi kuis ini. Aku juga harus siap menghadapi tantangan ini. Jika tidak, semakin banyak kecurigaan yang akan muncul.
Toiro yang duduk di depanku tampak memiliki pikiran yang sama, jadi kami saling memberi tatapan pengertian.
Meskipun begitu, banyak pertanyaan berarti... ramen kami bisa jadi dingin, kan?
*
“Baiklah, mari kita mulai dengan pertanyaan pertama. Kapan ulang tahun kalian masing-masing?”
Ujian pengakuan pasangan dimulai dengan tenang.
“Toiro tanggal 9 September.”
“1 Mei. Kanji Masa di ‘’Masaichi’ itu dari lima goresan, dan ichi dari “Ichinichi” yang berarti satu hari.”
Tentu saja, kami tahu ulang tahun masing-masing. Jawaban kami berdua.
Namun, Toiro? Alasan di balik namaku yang kamu sebutkan tadi benar-benar omong kosong. Kalau namaku dipilih dengan asal seperti itu, agak menyedihkan. Apa kamu benar-benar mengingat ulang tahunku seperti itu?
“Nah, ulang tahunnya Toiro benar. Lalu, selanjutnya… apa golongan darah kalian?”
“O.” <- Gol darah Toiro
“A.” <- Gol darah Masaichi
“Hm, Toiro juga bergolongan darah O seperti aku, jadi itu benar. Sekarang, lanjut ke pertanyaan berikutnya…”
Setelah itu, pertanyaan berlanjut ke hal-hal umum seperti makanan favorit dan struktur keluarga. Ujian ini lebih terlihat seperti kuis yang menilai jawaban benar atau salah daripada mengukur seberapa dekat kami sebagai pasangan.
Kejadian aneh mulai terjadi pada pertanyaan kedelapan.
“Ketika tidur, kalian biasanya menghadap ke arah mana?”
“Eh, ini tiba-tiba jadi pertanyaan yang aneh.”
Aku tak bisa menahan diri untuk berkomentar.
Toiro mengangguk setuju, tapi Nakasone hanya memiringkan kepalanya sedikit tanpa niat untuk mengubah pertanyaannya.
Ada apa ini? Kenapa dia tiba-tiba bertanya sesuatu yang sangat pribadi? Apakah karena kalau kami benar-benar pacaran, kami pasti tahu kebiasaan tidur masing-masing?
Aku langsung teringat Toiro yang sering tergeletak di tempat tidur. Aku sering melihatnya, jadi mudah bagiku untuk mengingatnya.
“Toiro biasanya menghadap ke kanan.”
“Masaichi kebanyakan tidur telentang, sepertinya.”
“Menghadap ke kanan. Oke.”
Nakasone mengangguk, lalu melanjutkan dengan pertanyaan berikutnya.
“Kalau begitu, saat mandi, bagian tubuh mana yang kalian cuci duluan?”
“M-mandi?! Eh, pertanyaanmu semakin aneh!”
Kali ini Toiro, dengan wajah merah, memprotes Urara.
Aku juga merasa ini sudah keterlaluan dan bersiap untuk berbicara, tetapi…
“Sudahlah, jawab saja. Eh, apa kalian tidak tahu satu sama lain? Padahal kalian pacaran, kan?”
Dengan itu, Nakasone membuat kami tak punya pilihan untuk menghindar.
Aku ingat beberapa kali saat masih di sekolah dasar, aku dan Toiro sering mandi bersama karena urusan orang tua kami. Kalau aku ingat-ingat lagi saat itu…
“Hmm, dari lengan… lengan kiri.”
Saat aku menjawab, tak sengaja aku membayangkan Toiro yang sudah dewasa sedang mandi, dan aku tak bisa menahan sedikit rasa gugup.
“Masaichi, dari bagian bawah. Dia dulu sering ngompol, jadi orang tuanya membiasakannya untuk mencuci bagian itu dulu.”
Hei, kenapa kamu malah mengungkapkan hal yang tidak perlu?!
“Lengan kiri, ya? Oke,” gumam Nakasone sambil mencatat jawaban kami.
“Eh, tapi tunggu sebentar. Kamu kan nggak tahu jawaban yang benar soal mandi ini! Ini kan informasi sangat pribadi, nggak ada yang tahu soal itu! Bagaimana bisa kamu bikin kuis tanpa tahu jawabannya?”
Aku tak bisa menahan diri dan langsung mengungkapkan apa yang menggangguku.
“Aku nggak peduli soal kamu. Tapi Toiro? Dia mencuci dari lengan dulu waktu kita mandi bareng saat perjalanan sekolah di SMP. Jadi, itu benar.”
Apa-apaan ini? Aku hanya merasa dipermalukan tanpa alasan. Rasanya seperti aku benar-benar dirugikan.
Lalu tiba-tiba, Nakasone mengerutkan alisnya dan mengucapkan sesuatu yang tak terduga.
“Tunggu, kalian baru saja mulai pacaran, tapi kalian sudah tahu terlalu banyak satu sama lain, nggak sih?”
Hah, apa maksudnya tiba-tiba berubah haluan begini?
Di saat aku masih terkejut, Toiro membalas.
“Eh, tapi Urara-chan sendiri yang bilang kalau pacaran itu harus saling mengenal, kan?”
“Iya, sih. Tapi sekarang setelah aku pikirkan lagi, kalian ini bukannya terlalu cepat, ya? Apa kalian sudah tidur bareng atau mandi bareng?”
Nakasone menatap kami dengan mata tajam dari sudut pandangnya.
Ini jebakan, ya? Semua pertanyaan pribadi ini mungkin bagian dari rencananya.
“S-sudah sih…?”
“Serius? Kalian benar-benar mandi bareng? Kalian nggak asal bikin jawaban, kan?”
“Uh… t-tentu saja tidak!”
Toiro, meski sedikit bingung, dengan tegas menyangkal tuduhan itu.
“Nah, mungkin kami memang sedikit lebih cepat dari pasangan lain, ya.”
Dia berusaha mengakui seolah-olah itu hal biasa, meskipun wajahnya memerah. Sambil menggaruk kepalanya, dia berkata, “Yah, memang sedikit di luar dugaan.”
Nakasone hanya menggumamkan sesuatu kecil, terlihat tidak puas.
Dalam situasi seperti ini, ada satu keuntungan di pihak kami: selama salah satu dari kami tidak mengaku, kebenaran ini tidak akan pernah terbongkar. Jadi, selama kami tetap pada cerita kami, kami akan tetap dianggap pasangan yang sah.
“Seingatku, Toiro memang populer, tapi pengalaman percintaannya minim. Anak ini nggak mungkin bergerak secepat itu sama cowok yang baru dia pacari…”
Nakasone bergumam pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.
Bergerak secepat itu? Wah, dia benar-benar blak-blakan…
Aku sempat bingung apakah harus membantu Toiro atau tidak, tetapi tiba-tiba suasana berubah.
“Kalau gitu… kalau gitu…”
Sarugaya, si kera, tiba-tiba mulai ribut soal hal yang tak perlu.
“Kebetulan kita lagi makan, kan? Kalau kalian beneran pasangan, pasti bisa dong ‘aaan’-in satu sama lain.”
“Hah? Apa maksudmu? ‘Aaan’?”
“Ya, kalian tahu, yang kayak ‘aaan’. Aku ingin lihat Toiro-chan ‘aaan’-in Masaichi!”
Sarugaya memperagakan dengan menyodorkan sendok berisi kari ke depan.
'Aaan'… yang dimaksud pasti aksi pasangan saling menyuapi makanan, kan? Sesuatu yang dianggap umum untuk pasangan.
Namun, buat kami…
“Masaichi, coba deh pasta baru ini, enak banget.”
“Sekarang nggak bisa, aku lagi fokus ke game, musuh terus menyerang.”
“Ah, yaudah. Nih, aaan.”
Kami sudah melakukan hal semacam itu berkali-kali, bahkan sebelum kami jadi pasangan. Jadi, 'aaan' sebenarnya bukan masalah besar buat kami.
“Aaan, ya?”
“Aaan, hmmm…”
Saat aku mengatakan itu, Toiro juga ikut bergumam.
Walaupun di depan banyak orang seperti ini rasanya agak canggung, jika ini bisa membuktikan bahwa kami benar-benar pasangan…
Kami saling memandang, dan dengan anggukan kecil, kami sepakat untuk melakukannya. Tapi saat aku bersiap untuk itu…
“Yah, kalau kalian memang pasangan, pasti nggak peduli dong soal ciuman tak langsung. Kalian kan bahkan udah mandi bareng, jadi pastinya sudah ciuman juga, kan? Wah, enaknya punya pacar.”
Sarugaya berkata dengan nada yang panjang dan santai.
Ciuman? Ciuman tak langsung?
Pikiranku mendadak terulang-ulang pada kata-kata itu.
Benar juga, tindakan 'aaan' secara teknis memang bisa dianggap sebagai ciuman tak langsung. Tapi selama ini aku nggak pernah memikirkannya seperti itu, karena aku hanya fokus pada memberi makanan.
“C-ci-ciuman…”
Toiro tampaknya juga terkejut, karena dia berbisik pelan hal yang sama.
Sekarang, dengan kesadaran bahwa ini adalah ciuman tak langsung, suasana tiba-tiba jadi kikuk. Kami berdua mulai mengalihkan pandangan satu sama lain.
“Eh? Masaichi? Toiro-chan?”
Melihat perubahan sikap kami, Sarugaya bertanya dengan bingung.
“B-bisa kok, bisa. Tapi…”
Toiro menjawab, sambil melihat sekeliling. Sebenarnya, dia bisa melakukannya, tapi pertanyaannya adalah, apakah kami benar-benar harus melakukannya di depan semua orang?
“Bisa? Kalau bisa, cepat lakukan,” ujar Nakasone sambil menyilangkan tangan, menunggu dengan sabar. Tampaknya dia tidak akan kembali ke makanannya sampai ini selesai. Kami benar-benar tak punya jalan keluar.
Toiro menatapku dengan ekspresi sedikit getir. Aku balas menatapnya dan memberikan anggukan kecil. Tidak ada jalan lain—kami harus melakukannya.
“Ba-baiklah…”
Dengan tekad yang bulat, Toiro mengangguk sekali lagi dan meraih sumpit yang dia gunakan.
“Masaichi, aaan.”
Sumpit itu mendekat ke arahku, di ujungnya ada sepotong karaage yang gemetar sedikit. Di baliknya, mata Toiro yang bulat dan hitam pekat menatap lurus ke arahku.
Tiba-tiba wajahku terasa panas.
Ini hal yang seharusnya biasa saja, mengingat kami sudah lama berteman sejak kecil. Tapi begitu mulai disadari, kenapa jadi sebegitu memalukan?
Aku membuka mulut dan menggigit karaage itu perlahan. Saat sumpit meninggalkan bibirku, ujungnya sedikit menyentuh kulit bibirku. Rasa panas menjalar di bawah mataku, dan detak jantungku langsung berpacu lebih cepat.
—Aku baru saja melakukan ciuman tak langsung dengan Toiro.
“Wah, enak banget ya jadi pasangan. Aku juga mau pacar deh. Eh, tapi serius, Masaichi, kapan kamu sampai sedekat ini sama Toiro-chan? Cerita detilnya kapan-kapan, ya!”
Suara Sarugaya membangunkanku dari lamunanku, dan aku sadar bahwa aku masih menggigit karaage itu. Dengan cepat aku mengunyah dan menelan, sementara Toiro menarik kembali sumpitnya. Rupanya aku terlalu fokus pada ‘aaan’ barusan sampai lupa dengan sekitarnya.
“He-heh, gimana? Bukannya ini bukti kalau kita beneran pacaran?”
Toiro bertanya kepada Nakasone dengan ekspresi bangga. Pipinya sedikit memerah.
“... Yah, setidaknya sekarang aku tahu kalau kalian lebih dari sekadar teman. Maaf soal tadi.”
Nakasone meminta maaf dengan nada tulus sambil mengambil sumpitnya dan kembali ke makanannya, ramen yang sudah keburu mengembang.
Namun, ketika aku melihatnya, sejenak Nakasone mengarahkan pandangan tajam padaku. Tidak setajam tatapan kakakku, Serina, tapi tatapan itu jelas memiliki intensitas yang galak ala gadis gyaru.
Apa dia merasa terganggu karena aku memperhatikan makanannya? Atau mungkin dia masih meragukan kami…?
Karena Toiro dan Nakasone adalah teman dekat, wajar jika Nakasone terus mengorek informasi, mungkin untuk memastikan.
Meski aku segera mengalihkan pandanganku, aku merasa terus diawasi olehnya seperti katak yang sedang diawasi oleh ular. Sambil merasa tegang, aku melanjutkan makan siangku.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.