Bab 5
“Aku Sudah Memutuskan untuk Menjadi Dewasa”
“Aku sampai berkali-kali meneteskan air mata waktu membacanya! Aduh, pokoknya benar-benar luar biasa! Karya-karya Ayashiro-sensei memang yang terbaik!”
Sambil menatap wajah Hazakura yang muncul di layar ponsel, aku tersenyum tipis dan berkata, “Kalau kamu sampai bilang begitu, nanti akan kubaca.”
Hari ini, aku menuruti permintaan Hazakura untuk melakukan panggilan video dari rumah. Kata Hazakura, “Aku ingin coba video call sama Rihito-kun! Rasanya obrolan online itu seperti orang dewasa saja” Entah aku paham atau tidak, tapi itulah dia—selalu punya cara berpikir yang sulit ditebak.
“Pokoknya, setelah baca, kamu harus kasih tahu aku pendapatmu, ya!”
“Aku nggak bisa seantusias kamu sih, tapi... bakal kuusahakan,” jawabku sambil membuka situs belanja dan langsung membeli versi e-book dari novel yang direkomendasikan Hazakura.
Aku kemudian bersandar di kursi meja belajar dan meneguk air soda. Panggilan video dari rumah seperti ini memang punya keuntungan—aku bisa berbincang dengan santai sambil tetap merasa rileks.
Hazakura juga tampak santai. Ia mengenakan kacamata, kaus polos sederhana, dan rok panjang berwarna kalem, membuatnya terlihat seperti gadis pecinta buku. Sudah sebulan berlalu, tapi penampilan “si gadis sastra” Hazakura seperti itu terasa begitu nostalgik. Sekaligus, aku kembali menyadari betapa banyak hal yang terjadi dalam satu bulan terakhir.
“Rihito-kun!”
Tiba-tiba, Hazakura memanggilku dengan ekspresi serius. Aku menelan ludah tanpa sadar.
“A-ada apa...?”
Apakah aku akhirnya akan dipaksa untuk menanggapi pengakuan cintanya saat di Punk Park? Aku refleks menyiapkan mental.
“Sebenarnya, ada sesuatu yang ingin kulakukan... Tidak, sesuatu yang ingin kucapai.”
Nada bicaranya terdengar sangat serius. Namun, alih-alih tegang, aku justru merasa lega. Hazakura memang sering muncul dengan ide-ide spontan yang mengejutkan, jadi aku pikir kali ini juga tak akan berbeda.
“Aku ingin memberitahu semua orang betapa baiknya Rihito-kun!”
Seperti biasa, Hazakura selalu berhasil membuatku terkejut—kali ini dalam arti yang kurang menyenangkan.
“Hazakura,” ucapku dengan nada rendah.
Ia tampak sedikit tersentak, tapi segera menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan mantap.
“Aku ingin semua orang tahu kalau Rihito-kun bukan tipe orang yang suka memukul perempuan! Aku juga ingin menunjukkan betapa baiknya dirimu!”
“...maksudnya, kampanye positif, gitu ya?”
“Tepat sekali!” jawabnya sambil mengangguk kuat dan tersenyum cerah seperti matahari. Namun, keceriaan itu justru membuat bayang-bayang kelam menyelimuti hatiku.
“Apa ini ide Zaizen?” tanyaku.
“Zaizen-kun? Bukan kok. Ini murni dari aku sendiri. Soalnya... akhir-akhir ini reputasimu semakin buruk.”
Aku tersenyum pahit. “Apku sudah terbiasa,” gumamku.
“Teman-teman perempuan di kelas juga sering bilang padaku supaya menjauh darimu. Katanya, kalau aku terus dekat denganmu, aku pasti bakal kena masalah. Aku selalu membelamu, tapi mereka nggak pernah mau mendengar.”
Dengan alis mengerut dan wajah penuh rasa bersalah, Hazakura menundukkan kepala.
Ini bukan sesuatu yang perlu kamu sesali. Justru akulah yang merasa bersalah.
“Bukankah jawabannya sudah jelas?”
“Eh?”
“Kamu sudah mencoba membantah, tapi tak ada yang mau mendengar, bukan? Kalau begitu, apa pun yang kita lakukan sekarang takkan ada gunanya. Bahkan jika kita berusaha sekuat tenaga, hasilnya hanya akan berakhir dengan kegagalan yang memalukan.”
Mendengar perkataanku, Hazakura menatap tajam dengan sorot mata marah—sesuatu yang jarang terlihat darinya.
“Tidak seperti itu! Mereka hanya salah paham karena tidak mengenalmu. Kalau saja mereka tahu sisi baikmu dan memahaminya dengan benar, pasti segalanya akan berbeda!”
“Percuma saja.”
Usaha semacam itu hanya akan membuat orang semakin membenciku. Aku sudah berkali-kali mengalami hal serupa. Apa pun yang kulakukan, semuanya sia-sia. Bukan berarti aku keberatan dibenci, karena pada titik ini, aku sudah terbiasa. Tapi kalau Hazakura ikut dibenci karena mencoba membelaku...
Bayangan skenario terburuk itu memenuhi pikiranku, membuatku menggigit bibir erat-erat.
“Apakah itu beneran sia-sia atau tidak, kita tidak akan tahu kalau belum mencoba!”
“Aku sudah tahu jawabannya.”
Aku melontarkan kalimat itu dengan nada datar, sementara Hazakura tetap bersikeras dengan harapan yang menyala-nyala.
“Kalau aku sendiri tidak cukup kuat, aku akan minta bantuan HimeMayu! Dengan pengaruhnya, pasti kita bisa membuat semuanya berhasil!”
Baik Hazakura maupun Zaizen terlalu menganggap remeh kekuatan pengaruh sosial. Seolah-olah reputasi bisa langsung berubah hanya dengan pengaruh seseorang, padahal jika semudah itu, para influencer takkan perlu bersusah payah.
“Tidak masalah! Bahkan kalau kampanye positif ini gagal, aku akan terus mencoba dan mencoba lagi. Trial and error!”
Di layar ponsel, Hazakura menggebu-gebu dengan gerakan tangan yang penuh semangat. Aku hanya menatapnya dengan dingin lalu menghela napas ringan. Semakin Hazakura bersemangat, semakin dingin hatiku. Bahkan aku terkejut dengan betapa dinginnya perasaanku sendiri.
“Berjuang tanpa hasil hanya akan membuat mentalmu terkikis.”
“Tapi, aku—”
“Sudah kubilang, kan? Aku sudah terbiasa dibenci... Jadi, tak apa. Aku baik-baik saja seperti ini. Kamu tak perlu repot-repot memikirkannya.”
Selama ini, yang paling kutakutkan hanyalah...
Aku menelan kata-kata yang hampir terlontar dan menundukkan pandanganku.
◆ ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧ ◆
Setelah beberapa saat hening, aku akhirnya membuka mulut dengan suara pelan.
“...Maaf.”
Hazakura tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi ragu untuk mengungkapkannya. Wajahnya menunjukkan rasa bingung dan frustasi. Aku merasa sangat menyesal karena membuatnya terpojok seperti ini, menghancurkan senyum cerianya yang biasa.
Sejenak, terpikir untuk mengakhiri panggilan video demi kebaikan kami berdua. Tapi mengingat Hazakura sangat menantikan momen ini, aku merasa tak tega jika membiarkannya berakhir dengan buruk. Maka, dengan susah payah, aku memaksakan senyum dan mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Jadi... ngomong-ngomong, kenapa pakaian santaimu tidak lebih dewasa.”
Untuk mengatasi suasana canggung, aku melontarkan pernyataan yang terlalu tiba-tiba, membuat Hazakura berkedip-kedip bingung.
“Eh, ah… umm…”
Dengan wajah masih kebingungan karena perubahan suasana yang mendadak, Hazakura tiba-tiba menepukkan kedua tangannya dengan keras.
“Jadi begitu! Jadi, Rihito-kun lebih suka aku pakai pakaian rumahan yang… lebih berani ya!”
“Apa!? B-bukan itu maksudku!”
“Benar juga ya… karena Rihito-kun lebih suka sesuatu yang memiliki nuansa sensual dalam kehidupan sehari-hari, kan?”
“Tunggu, tunggu! Soal itu, aku bisa jelaskan—”
Saat aku sedang panik dan mencoba membantah, tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka dari arah ponsel.
“Ah… Ibu!? Awawawa…”
Ibu?
Sepertinya ibunya baru saja masuk ke kamarnya. Wajar jika Hazakura panik. Bagaimanapun, kalau ketahuan sedang menelepon dengan laki-laki sepertiku, dia pasti akan dimarahi.
Saat aku berpikir untuk memutuskan panggilan agar tidak membuat masalah baginya, tiba-tiba layar ponsel berubah menjadi biru pekat.
“Hah?”
Baru saja beberapa saat yang lalu wajah Hazakura yang kebingungan masih terlihat di layar, tapi sekarang layar itu hanya memancarkan warna biru. Aku menatap layar dengan heran, memiringkan kepala.
Apa ini?
Aku jarang melakukan panggilan video selain dengan keluarga, jadi aku tidak tahu apakah ada fitur baru yang bisa membuat layar menjadi biru seperti ini. Mungkin ini fitur khusus untuk menyembunyikan wajah saat ada orang yang tiba-tiba masuk ke kamar?
Atau… mungkin ini hanya bug.
Bisa juga, ponselnya rusak. Seperti komputer yang menampilkan blue screen saat mengalami error. Tapi meski kutatap layar itu lama-lama, tidak ada pesan error apa pun.
Anehnya, meski layar berubah biru, panggilan masih tetap tersambung.
Dari speaker, terdengar samar-samar suara Hazakura sedang berbicara dengan ibunya.
Sebenarnya apa yang terjadi?
Sambil terus berpikir, aku mulai menyadari sesuatu—warna biru di layar itu tampak seperti tekstur kain. Kain itu terlihat halus, seperti memiliki permukaan yang lembut.
Jadi ini bukan masalah teknis atau sistem yang error, melainkan kain yang terekam oleh kamera ponselnya.
Saat aku masih menatap kain biru itu dengan penuh rasa ingin tahu, tiba-tiba layar berguncang, dan wajah Hazakura kembali muncul di layar.
“Maaf, maafkan aku!”
Hazakura menundukkan kepalanya berkali-kali dengan ekspresi penuh rasa bersalah.
“Eh, tidak apa-apa… tapi, sebenarnya apa yang terjadi?”
“Tadi ibuku tiba-tiba masuk, jadi aku buru-buru menyembunyikan ponselnya… di dalam rok.”
Ucapan Hazakura seperti petir yang menyambar pikiranku.
Di dalam… rok?
Namun, ada satu hal yang menggangguku. Rok yang dipakai Hazakura saat ini berwarna cokelat kalem. Bahkan dengan pencahayaan yang berbeda, kain rok itu seharusnya tidak mungkin terlihat seperti warna biru.
Lalu, kenapa ponselnya menampilkan kain biru tadi?
Hanya satu jawaban atas pertanyaan itu.
Meskipun begitu, aku terus mencari kemungkinan lain dengan memaksakan otakku untuk berpikir keras. Namun, semakin aku berpikir, semakin satu jawaban itu terlihat jelas.
Identitas warna biru yang kulihat di dalam rok itu adalah…
…celana dalam.
Ya, warna biru yang kulihat itu ternyata adalah celana dalam Hazakura!
Mengingat kembali apa yang baru saja terjadi, seluruh tubuhku mendadak terasa panas.
Meskipun tanpa niat, aku telah menatap celana dalam Hazakura secara mendetail. Dari ujung ke ujung, semuanya terlihat jelas. Seratnya yang halus seakan terukir dalam ingatanku.
Sebelumnya, aku pernah melihat celana dalam Hazakura saat dia mengenakan gaun yang sedikit transparan, tetapi melihatnya dari jarak sedekat ini—bahkan hampir tanpa jarak—adalah pengalaman yang sama sekali baru bagiku.
Rasa stimulasi yang kuperoleh bukan sekadar kuat; ini seperti overdosis celana dalam yang membuat seluruh tubuhku terasa membara. Rasanya bahkan lebih panas daripada saat aku demam, seakan darahku akan mendidih.
“Maaf…!”
Aku hanya bisa terus menundukkan kepala, tidak tahu harus berkata apa.
Aku tidak bisa mengungkapkan bahwa aku secara tidak sengaja menatap celana dalamnya, jadi aku hanya bisa meminta maaf tanpa henti.
◆ ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧ ◆
Setelah mengakhiri panggilan video dengan Hazakura, aku menjatuhkan diri ke tempat tidur.
“Haah…”
Pikiranku yang kacau sekarang dipenuhi dengan warna biru.
Aku merasa jijik pada diriku sendiri yang dalam berbagai cara tampak sangat menjijikkan.
Untuk membersihkan ingatanku tentang celana dalam Hazakura yang terpatri dalam pikiranku, aku meneguk soda yang hangat dan terasa sedikit menyengat. Sambil membayangkan wajah Zaizen yang menyebalkan bersamaan dengan senyuman tenang kakekku yang sudah meninggal setahun yang lalu, aku berusaha keras untuk menghilangkan perasaan jorok itu.
…Setengah jam kemudian.
“Fuh…”
Akhirnya, aku merasakan bahwa warna biru dalam pikiranku mulai memudar menjadi biru muda, dan aku mengambil ponsel untuk berdiri.
Kampanye positif yang Hazakura inginkan seharusnya tidak ada gunanya dan hanya membuang waktu. Meskipun Zaizen merencanakan strategi dan HimeMayu mengerahkan semua pengaruhnya, hasilnya tidak akan berubah.
Namun, meskipun begitu, Hazakura tidak pernah menarik kembali pandangan idealisnya yang penuh harapan hingga akhir panggilan video. Sepertinya dia sudah siap untuk melaksanakannya besok.
Aku sangat senang bahwa dia memikirkan diriku, tetapi masalah itu dan ini tidaklah sama. Jika kampanye positif ini tetap dilaksanakan, Hazakura pasti akan dipandang lebih buruk daripada saat dia berhenti menjadi gadis sastra.
Dia tidak hanya akan dihadapi kekecewaan, tetapi juga akan diperlakukan seperti sesuatu yang harus dijauhi, dan kemudian dibenci.
Hal itu harus kuhentikan dengan cara apa pun.
Cukup aku yang dibenci.
Hazakura tidak boleh dibenci sama sekali.
Kalau begitu, mungkin lebih baik jika…
◆ ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧ ◆
Sambil merasakan udara panas yang dibawa oleh mendekatnya musim panas, aku berjalan sendirian di jalan malam dan tiba di Jalan Komersial Rokurozaka. Namun, alih-alih menuju ke Utara yang ramai meski sudah larut malam, aku melangkah menuju Selatan yang lebih sepi, bagaikan kota hantu.
Di Jalan Selatan, aroma era Heisei masih sangat kental.
Sekilas, aku melirik poster anime hobi yang terpasang di pintu masuk toko mainan yang tutup, dan perasaan nostalgia yang menyentuh, merasuki hatiku. Ingatan tentang betapa ayahku sangat menyukai anime hobi dari era Heisei dan sering bercerita tentangnya saat aku masih kecil kembali terlintas.
Apakah, seiring bertambahnya usiaku, aku juga akan mengenang era awal Reiwa seperti ayah merindukan awal Heisei?… Tentu, aku juga akan menjadi pria paruh baya yang mengenang masa lalu seperti ayah.
Perasaan itu bagai ketakutan samar yang membuatku merasa cemas, tetapi juga memiliki nuansa manis yang matang, seperti kerinduan.
Ketika aku merenungkan hal-hal puitis ini, aku akhirnya tiba di tujuan awalku. Di sana, aku melihat seorang gadis berambut pirang dengan kaos mesh berwarna biru yang sudah tidak asing lagi bagiku.
“Yahoo, Rii-kun!”
“Maaf telah memanggilmu selarut ini, HimeMayu.”
HimeMayu mengenakan gaya santai dengan sweater biru di atas kardigan, tetapi riasan wajahnya masih sangat mencolok. Melihat dia harus berdandan hanya karena aku mengajaknya bertemu membuatku merasa bersalah.
“Kenapa, Rii-kun? Kenapa wajahmu terlihat tegang?… Jangan-jangan kamu khawatir tentang makeup-ku? Apa kamu merasa bersalah karena memanggilku dan membuatku berdandan? Ahaha! Bagaimanapun juga, aku sudah ada urusan ke minimarket, jadi jangan khawatir!”
Sambil berkata demikian, HimeMayu tertawa ceria, “Gadis gal itu percaya bahwa makeup adalah segalanya, bahkan untuk pergi ke minimarket di dekat rumah pun, aku tidak mau keluar tanpa makeup!”
“Ini bukan karena Rii-kun memanggilku, lho!”
Mungkin terpengaruh suasana Jalan Selatan, dia mengerutkan mata dan secara berlebihan memperagakan gaya tsundere yang membawa aroma nostalgia era Heisei.
“Nee, Rii-kun. Kamu punya urusan penting denganku, kan?”
“…Iya.”
“Jangan-jangan ini adalah pengakuan cinta? Sepertinya itu… mungkin aku butuh waktu sedikit lebih lama. Karena aku belum memahami sepenuhnya tentang… apa ya, kegelisahan ini…”
Melihat HimeMayu yang wajahnya memerah dan berbicara ragu-ragu, aku hanya menggelengkan kepala dengan ekspresi datar.
“Eh, itu bukan suasana yang tepat, kan?… Ahaha.”
“Maaf.”
Sebelum membicarakan hal-hal yang ingin aku katakan, aku terlebih dahulu meminta maaf dan menundukkan kepalaku dalam-dalam.
Kemudian, aku menjelaskan kepadanya bahwa Hazakura berencana untuk melaksanakan kampanye positif, dan jika dibiarkan, Hazakura bisa terjerumus ke dalam masalah yang tidak bisa diubah.
“Hmm, aku mengerti.”
HimeMayu mengerutkan alisnya dan menatap wajahku dengan tatapan tajam.
“Lalu?”
HimeMayu bertanya dengan suara yang tenang dan berbeda dari suasana ceria sebelumnya.
Tanpa sengaja, aku merasa tertekan oleh kekuatan yang tak terduga dari HimeMayu yang kini bertransformasi menjadi sosok gal, membuatku hampir mundur dengan sifatku yang pemalu. Namun, jika aku mundur sekarang, semua usahaku akan sia-sia, jadi aku menggigit gigi dan bertahan.
“……Bisakah kamu menyebarkan reputasiku yang buruk?”
“Apa itu?”
HimeMayu menatapku dengan tajam, namun aku pun tak mau kalah dan berusaha mendinginkan suasana hati sebelum melanjutkan kata-kataku.
“Hazakura harus merasa sangat kecewa, bahkan sampai memutuskan untuk membatalkan kampanye positifnya… Aku ingin kamu menyebarkan reputasi buruk yang sangat besar di seluruh sekolah, sehingga Hazakura pun menjadi kecewa padaku.”
Jika hubungan antara Hazakura dan aku terputus sepenuhnya, masa depan terburuk bisa terhindarkan. Dengan begitu, Hazakura tidak akan lagi mendapat perhatian berlebihan dari teman-temannya dan bisa merayakan masa muda yang bebas.
“…Tapi aku rasa Hazakura-chan tidak akan mudah menyerah.”
Memang benar, Hazakura mungkin tidak akan menyerah dengan mudah.
“Kalau begitu, aku harus menunjukkan sisi terburukku hingga dia menyerah.”
Aku tersenyum sinis, menyiratkan rasa percaya diri yang penuh rasa sakit.
“Misalnya, aku bisa merekam video saat aku memukul seorang gadis dan menyebarkannya.”
“Rii-kun, ada hal-hal yang boleh dan tidak boleh dijadikan lelucon.”
HimeMayu menunjukkan kemarahannya, tetapi hatiku yang sudah dingin tidak lagi terpengaruh.
“Selain itu… jika kamu melakukan itu, kamu tidak akan bisa berteman lagi dengan Hazakura-chan.”
“……Ah, itu lebih baik.”
Lebih baik daripada Hazakura dibenci oleh semua orang.
“Hah…”
HimeMayu mengeluarkan desahan dalam-dalam dan mengangkat bahu.
“Rii-kun, kamu ini narsis sekali. Kamu keras kepala dan egois. Pengorbanan diri bukanlah tren masa kini, lho? Itu hanya membuat dirimu sendiri merasa baik… itu hanyalah… keegoisan!”
“Sebagai seorang pria, menyukai hal-hal egois itu sudah wajar. …Hanya bercanda.”
Aku membalas dengan nada sarkastik, sementara HimeMayu menatapku dengan tatapan sedih, kemudian berkata dengan suara anak kecil yang tidak mencerminkan sikap gal-nya, “Rii-kun bodoh!”
“Eh, apakah kamu benar-benar yakin? Jika aku menyebarkannya dengan serius, posisiku di sekolah akan menjadi sangat buruk, lho? Kamu pasti tahu bahwa rumor buruk lebih cepat menyebar daripada rumor baik.”
Aku mengangguk tenang pada pertanyaan HimeMayu yang menantang keteguhanku.
“Ah, aku sudah terbiasa dibenci.”
Sejak aku SD hingga sekarang, aku terus-menerus dibenci. Tidak ada yang berubah; aku hanya akan kembali ke kehidupan sebelum bertemu Hazakura. Rasa sakit di hatiku yang terus mengganggu, kesepian, dan rasa bersalah itu semua pasti akan memudar seiring waktu.
◆ ✧ ₊ ✦ ₊ ✧ ◆
Keesokan paginya.
Begitu aku masuk ke kelas, tatapan penuh kebencian dan penghinaan dari semua teman sekelas langsung menusukku.
“Ugh, Kakei…”
“Apakah kamu tidak malu setelah semua yang diungkapkan dalam video itu?”
““Jangan-jangan dia malah menikmatinya. Wah, gila... Jijik banget.”
“Gara-gara dia, gadis sastra kita jadi ternoda! Dasar maniak!”
Dihujani cacian dari segala arah, aku duduk di tempatku dengan ekspresi datar. Semua ini sudah dalam perkiraanku. Bahkan, karena aku sudah bersiap menghadapi cemoohan yang lebih parah, aku merasa lega karena ini lebih ringan dari yang aku bayangkan.
Sama saja seperti ejekan dan bisikan jahat yang biasa. Jika suara-suara itu terlalu mengganggu, aku bisa menutup telinga dengan earphone, dan jika semakin mengganggu, aku hanya perlu menundukkan kepala dan berpura-pura tidur.
Itu semua cukup untuk menyelesaikan masalah.
Ini semua berkat HimeMayu.
…Malam kemarin, aku telah merekam video terburuk yang mungkin bersama HimeMayu. Video palsu yang terlihat seolah-olah aku sedang memukul HimeMayu. Dengan kata lain, video itu menunjukkan momen menentukan di mana seorang pria yang tampak kasar benar-benar memukul seorang wanita.
berkat pengaruh HimeMayu video tersebut dengan cepat menyebar hingga saat ini.
Dengan ini, Hazakura seharusnya merasa kecewa padaku, dan hubungan kami akan terputus secara alami.
Meskipun Hazakura tetap nekat dan mencoba bertindak, teman-teman sekelas pasti akan menghentikannya. Di mata mereka, aku hanyalah seorang bajingan yang memang memukul wanita.
“Kakei!”
Zaizen datang berlari dalam keadaan panik, menatapku dengan ekspresi yang penuh kemarahan. Ternyata, Zaizen pun memiliki keinginan tertentu sebagai teman dan terlihat sangat bingung.
“Apa sebenarnya maksud video itu? Apa yang dikatakan HimeMayu—”
“Tidak ada maksud apa-apa. Itulah kebenaran tentang diriku.”
Zaizen menatapku dengan tatapan tidak percaya, jelas terlihat bahwa ia sangat terkejut dengan jawabanku yang tenang.
“Begitu…”
Zaizen tidak merapikan rambutnya yang berantakan, terus menatapku dengan mulut yang ternganga.
“Kakei, kamu….”
Ia menelan ludah, lalu dengan hati-hati melanjutkan kata-katanya.
“…Apakah kamu baik-baik saja dengan ini?”
“Tentu saja.”
Aku membentuk senyum sinis di bibirku. Dengan suara sejahat mungkin, aku melanjutkan,
“Sebaliknya, itu adalah alasan hidupku. Boleh dibilang, aku sudah ketagihan. …Zaizen, aku ingin mengajari kamu sensasi itu dengan tangan dan kaki.”
Teman-teman sekelas yang mendengarkan ucapanku langsung berbisik penuh kebisingan. Para gadis tampak terkejut, sementara para lelaki terlihat tegang. Mungkin aku agak berlebihan, tapi ini lebih baik. Setidaknya, tidak akan ada lagi urusan yang tertinggal.
“J-jangan bercanda, tolong jangan lakukan itu… Aku tidak memiliki hobi seperti itu!”
“Apakah aku terlihat seperti sedang bercanda?”
Aku bukanlah pria yang tampak seolah-olah memukul wanita.
Aku memang benar-benar pria yang memukul wanita.
Hanya seorang bajingan.
Seorang sampah yang tidak ada harapan.
Benar-benar seorang yang berhak dibenci tanpa alasan.
“R-Rihito-kun…!”
Suara yang familiar—suara lembut yang tidak biasa memanggil namaku. Saat aku menoleh, Hazakura berdiri di sana dengan ekspresi cemas yang tak bisa disembunyikan.
“Eh… um… hehe, hehe…”
Dengan senyuman yang dipaksakan, Hazakura tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi sebelum ia sempat melanjutkan, aku sudah berdiri.
“Lebih baik kamu tidak berurusan lagi denganku.”
Setelah mengucapkan itu, aku melangkah keluar dari kelas tanpa menatap Hazakura. Suara Zaizen yang berteriak memanggilku terdengar samar di belakang, tetapi aku tidak mau menoleh dan memutuskan berlari melalui koridor. Dengan tekad, aku melaju hingga tiba di depan bangku di depan gudang tua yang sepi, jauh dari keramaian.
Tempat itu dipenuhi rumput liar yang tumbuh subur, menciptakan suasana yang lembap dan berbau.
Tempat ini, betapa ironisnya, sepertinya memang cocok untuk seseorang sepertiku.
Aku duduk di bangku kayu yang mulai lapuk dan memandang ke atas.
Langit tampak cerah dan biru jernih, sesuatu yang langka di puncak musim hujan seperti sekarang. Langit biru yang cerah itu terasa dingin dan perlahan membakar hatiku yang sudah membeku.
“…………Hah.”
Aku memandangi cincin TakoDevi yang melingkar di jari tengah tangan kanan sambil menghela napas berat. Cincin stainless dengan warna hitam dan biru. Meskipun aku seharusnya telah berpisah dengan Hazakura, tanpa sadar aku masih mengenakan cincin ini, dan rasa penyesalan itu mulai menggerogoti jiwaku.
Meskipun aku mencoba menutup mata untuk melupakan semuanya, kenangan bersama Hazakura terus kembali menghantui pikiranku.
Setiap kali aku mencoba melupakannya, memori indah itu justru datang tanpa henti, memenuhi benakku dengan nostalgia.
Kencan pertama kami sepulang sekolah di distrik perbelanjaan Rokurozaka masih begitu jelas dalam ingatanku. Hazakura bermain crane game dengan penuh semangat, makan ramen bersama nasi dengan lahap, dan berbicara cepat tentang buku kesukaannya di toko buku. Saat itu, dia terlihat sangat bahagia—dan aku pun merasakan kebahagiaan yang sama.
Ketika kami pergi ke mal VIVI pada akhir pekan, aku berkali-kali dibuat terkejut. Dari baju rajut merah muda yang sedikit transparan, cincin pasangan, hingga momen canggung saat dia memilih pakaian dalam di situs belanja online—Hazakura selalu melampaui ekspektasiku. Meski terus terkejut, perlahan aku merasa telah belajar banyak darinya.
Kemudian, ada hari yang berkesan di taman hiburan Yodoro Punk Park yang sepi, di mana kami mengikuti HimeMayu secara diam-diam. Kami menikmati berbagai hal aneh di tempat itu sambil mencoba memahami tingkah misterius HimeMayu. Itu adalah hari yang penuh kejutan dan tawa.
Satu hal yang masih kurasakan penyesalannya adalah tak sempat memberinya jawaban atas pernyataan cintanya di parade malam.
Aku juga masih ingat saat Hazakura datang merawatku ketika aku sakit. Wajahnya memerah saat membaca buku majalah dewasa, dan aku merasakan sedikit rasa kalah ketika melihat sisi keibuan HimeMayu. Hari itu, ekspresi Hazakura benar-benar bersinar, lebih dari biasanya. Dan… insiden memalukan di kamar mandi menjadi bumbu tambahan dalam ingatan kami.
Semua itu adalah kenangan yang sangat mendalam.
Tak mungkin aku bisa melupakan semuanya.
Sekarang, rasa kesepian itu mulai muncul kembali, dan aku menutup mulutku dengan tanganku, berusaha menghentikan isakan yang ingin keluar.
Di depan HimeMayu, aku memang berpura-pura kuat, tapi kenyataannya aku lemah—begitu menyedihkan.
Berpisah dengan Hazakura bukan sekadar kembali ke kehidupan sebelum aku bertemu dengannya. Itu bukan sesuatu yang bisa dilakukan dengan mudah. Kenangan indah kini berubah menjadi jarum-jarum tajam yang menusuk hatiku tanpa ampun. Rasa kehilangan dan rasa bersalah itu seakan menghimpitku hingga sulit bernapas.
Namun, ini adalah keputusan terbaik. Untuk menjaga Hazakura dari kebencian orang lain, aku harus menjadi sosok yang dibenci.
Jika kami tetap bersama, cepat atau lambat, dia pasti akan terlibat dalam masalah karena hubungannya denganku. Inilah pilihan yang tepat. Atau setidaknya, aku terus memaksa diriku untuk percaya bahwa ini adalah yang terbaik.
“Rihito-kun!”
Suara yang familiar—dengan nada yang lebih kuat dari biasanya—memanggil namaku.
Ketika aku mengangkat kepala, aku melihat Hazakura berdiri di sana dengan ekspresi yang tegas.
“Eh, hehe. Aku bolos kelas dan datang ke sini.”
Hazakura tersenyum malu dan duduk di sampingku.
Senyum polos itu.
Rambut lurus berkilau berwarna hitam keunguan yang bergoyang anggun.
Rok yang sangat pendek membuatku tertegun.
Sekilas aku melihat cincin TakoDevi yang bersinar lembut di jari tengah tangan kanannya, dan aku menghela napas kecil.
“...Apa yang kau lakukan di sini?”
“Aku datang untuk berbicara dengan Rihito-kun.”
Dengan nada dingin dan penuh emosi yang tertekan, aku bertanya, dan Hazakura menjawab dengan tenang. Ekspresi wajahnya dipenuhi dengan senyuman lembut yang penuh kasih, sama seperti saat dia menerima HimeMayu di Punk Park.
Karena itulah, aku memperkuat nada suaraku dan menurunkan suhu hati ini.
“...Aku sudah bilang untuk tidak berurusan denganku.”
“Ya, kau sudah mengatakannya. Tapi, aku bukan orang bodoh yang akan menjauh hanya karena itu!”
Tatapan Hazakura yang tak ternoda oleh kotoran dunia ini terasa terlalu menyilaukan bagi diriku saat ini. Seolah-olah, cahaya yang menyakitkan itu mengungkapkan kegelapan jahat yang mengendap di dalam hatiku.
“Aku memutuskan untuk menjadi dewasa!”
Aku mengalihkan pandanganku dari Hazakura yang berbicara dengan gaya yang biasa, dan hanya bisa menggelengkan kepala lemah.
“Lagipula, kamu punya HimeMayu dan teman-teman di kelas. Kamu tidak perlu lagi terikat padaku…”
“Tidak. Guruku hanya Rihito-kun.”
Hazakura menjawab dengan tegas dan lancar.
“Selain itu, alasan terbesarku untuk menjadi dewasa adalah karena Rihito-kun.”
“...Alasan? Bukankah karena kau tidak ingin tertinggal dari semua orang jika tetap menjadi gadis sastra?”
“Tentu, itu juga salah satu alasannya. Namun, lebih dari itu, pertemuan dengan Rihito-kun telah menggerakkan hati lemahku.”
Hari di mana Hazakura dan aku bertemu. Itu bukan hari ketika dia mengumumkan ingin menjadi muridku di taman malam, melainkan hari upacara masuk sekolah ketika kelopak bunga sakura berhamburan dengan dramatis.
Bagi diriku, itu adalah kenangan pahit saat harapan untuk debut di SMA hancur seketika…
“Hari itu… meski kamu disalahpahami oleh semua orang di kelas dan mereka berkata kasar padamu, aku tak bisa melakukan apa pun. Alih-alih membantumu, aku malah dijadikan korban dan membuatmu semakin terluka…”
Hazakura menggenggam rok di pahanya dengan rasa kesal, suaranya bergetar saat dia melanjutkan kata-katanya.
“Aku merasa sangat malu dan seolah tidak berdaya seperti anak kecil.”
“Anak kecil…”
“Ya. Selama ini aku hanya peduli dengan apa yang orang lain pikirkan. Aku takut dibenci, jadi aku bersembunyi di balik citra gadis kutu buku. Aku hanya berjalan di jalur yang ditentukan orang lain, tanpa memiliki keinginan atau jati diri sendiri…”
Hazakura menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Nada suaranya begitu jernih, seperti permukaan danau yang tenang.
“Itulah mengapa aku ingin menjadi dewasa.”
Itu adalah pengakuan tulus Hazakura.
Dia telah berjuang dengan perannya sebagai gadis sastra. Ketakutan akan kehilangan jati diri yang sebenarnya, rasa kewajiban untuk tidak mengecewakan orang lain, dan kecemasan akan tertinggal sendirian membuatnya terus mengidamkan kedewasaan. Namun, dia terjebak dalam tumpukan buku dan tidak bisa berbuat apa-apa.
Ironisnya, aku adalah pemicu terakhir bagi Hazakura.
Bisa dibilang, ini semua salahku…
“Bagiku, Rihito-kun adalah simbol kedewasaan. Kamu tampak keren, stylish, dan percaya diri. Kamu juga memiliki prinsip kuat untuk tidak peduli dengan penilaian orang lain,” kata Hazakura dengan senyum hangat.
Aku teringat saat dia mengatakan hal serupa ketika mengajukan permohonan untuk menjadi muridku, dan perasaan nostalgia menyerang dadaku.
Tentu saja. Jika dipikir-pikir, sejak saat itu, dia selalu memandang ‘menjadi diri sendiri’ sebagai tanda kedewasaan.
“Tetapi, setelah menjadi murid Rihito-kun, melakukan banyak kencan, dan menghabiskan waktu bersama untuk mengenal satu sama lain, aku menyadari… Rihito-kun sebenarnya sedang menderita.”
Hazakura menatapku dengan tatapan yang penuh transparansi, seolah-olah bisa melihat ke dalam hatiku, mencabik-cabik kedalaman jiwaku dengan tajam.
“Rihito-kun selalu mengatakan bahwa dia terbiasa dibenci, bukan?”
“Ya. Sebenarnya, aku sudah terbiasa.”
Sejak aku mulai mengenal dunia ini, aku sudah terus-menerus dibenci, jadi itu wajar.
“Mungkin kau tidak menyadarinya… tetapi setiap kali Rihito-kun mengatakan itu, ekspresimu terlihat sangat kesepian.”
“Ah…!”
Hazakura menatap wajahku dengan seksama, dan dengan suara yang seperti berdoa, dia melanjutkan.
“Ketika aku menyadari ekspresi Rihito-kun, barulah aku mengerti kesalahanku. Aku… telah memaksakan ideal kedewasaan yang sembarangan kepadamu. Seperti orang-orang yang mengharapkan citra gadis sastra dariku, aku juga melakukan hal yang sama pada Rihito-kun.”
Lalu, Hazakura menundukkan kepala dan berkata, “Maafkan aku.”
“Padahal Rihito-kun adalah anak laki-laki biasa…”
“Ha ha, ini sudah terlambat. …Benar, aku bukanlah orang dewasa.”
Dengan tawa kering, aku menyempitkan mata dan menampilkan ekspresi sinis.
“Tapi, apa salahnya tetap menjadi anak-anak? Kita masih SMA. Waktu akan berlalu dengan cepat, dan kita akan menua tanpa sadar. Semua kenangan—baik yang menyenangkan atau menyakitkan—akan berubah menjadi masa lalu. Jadi, bukankah sebaiknya kita menikmati masa remaja ini sepenuhnya?”
Hazakura menggeleng pelan, tetap menatapku dengan kelembutan penuh kasih.
“Kalau dengan begitu kamu bisa bahagia, Jika demikian, aku tidak akan mengatakan apa-apa. …Tapi, itu bukan keadaan yang sebenarnya, kan? Rihito-kun sekarang sedang menderita. Menghindari kenyataan, membuat banyak alasan, dan menyerah karena tidak bisa melakukan apa-apa. …Dengan kata lain, Rihito-kun tidak terbiasa dibenci! Dia hanya berpura-pura terbiasa!”
“…………”
Kelopak mataku bergetar.
“Tidak perlu disukai banyak orang. Namun, bukan berarti itu alasan untuk dibenci banyak orang!”
Dengan senyum lembut penuh kasih, Hazakura mengulurkan tangan padaku.
“Rihito-kun, ayo kita sama-sama tumbuh dewasa. Bagaimana kalau kamu coba bergaya seperti pria intelektual? Pakai kacamata, rambut disisir rapi, dan tampil elegan dengan pakaian formal! Atau mungkin kamu bisa coba menumbuhkan janggut dan berubah jadi pria berpenampilan liar?”
“Tidak ada gunanya.”
Aku menjawab dengan suara rendah, seperti mendengus, tetapi Hazakura terus mengangkat harapan dengan kata-kata indahnya.
“Kita tidak tahu sebelum mencobanya! Aku saja bisa berubah dari gadis kutu buku yang kaku menjadi seperti ini. Kamu pasti bisa juga, Rihito-kun. Jangan khawatir!”
“Sudah kubilang tidak ada gunanya!”
Sadar bahwa aku telah meninggikan suara tanpa sengaja, aku segera mengucapkan permintaan maaf.
“Maaf.”
Marah hingga berteriak sama saja seperti melakukan kekerasan fisik. Itu hanya akan menjadikanku seorang pengecut yang tak jauh berbeda dengan pria yang memukul wanita.
Lagipula, sebenarnya aku tidak marah pada Hazakura, melainkan pada diriku sendiri. Membentak Hazakura hanyalah bentuk pelampiasan amarah yang tidak semestinya.
“...Aku juga sudah mencoba banyak hal untuk berubah.”
Dengan hati-hati agar emosiku tidak meledak, aku memaksakan kata-kata itu keluar.
“Tapi semuanya sia-sia. Malahan, aku semakin dibenci.”
Aku pernah memangkas rambutku hingga botak, tapi orang-orang bilang aku hanya pura-pura tobat.
Ketika rambutku dicat warna mencolok, mereka menyebutku terlihat seperti orang dengan gangguan mental.
Saat aku berusaha tampil sehat dengan kulit kecokelatan, mereka bilang aku terlihat seperti preman.
Apa pun perubahan penampilan yang kucoba, hasilnya tetap sama buruknya.
Bahkan saat aku mencoba berbuat baik, mereka menyebutku sok dermawan atau seakan-akan aku dalang di balik sesuatu.
“Apapun yang kulakukan, orang-orang tetap mengatakan aku terlihat seperti pria yang suka memukul wanita.”
Andai aku benar-benar bisa menjadi pria liar dan percaya diri seperti itu, mungkin aku bisa lebih santai. Tapi kenyataannya, aku hanya seorang perjaka tanpa pengalaman cinta.
Aku terjebak di jalan buntu.
“Nah, Hazakura. Menurutmu, bagaimana aku bisa berubah? Aku bahkan sudah meminta HimeMayu untuk menyebarkan rumor buruk tentangku. Mana mungkin ada keajaiban yang bisa membalikkan keadaan?”
“Tenang saja, semuanya akan baik-baik saja!”
Dengan senyuman cerah seperti matahari, Hazakura mencoba memberi harapan pada jalan buntu yang kuhadapi.
“Ah! Kebetulan sekali! Dia datang di saat yang tepat!”
“Hah?”
Saat mengikuti arah telunjuk Hazakura, aku melihat seorang gadis mungil dengan rambut pirang dan biru keluar dari sela-sela rerumputan yang tinggi.
“Yoo! Rii-kun, apa kabar?”
“H-HimeMayu...? Kenapa kamu ada di sini?”
“Hazakura-chan yang memberitahuku! Tapi, sebelum itu…”
Saat aku bangkit berdiri dengan kaget, HimeMayu menatapku dengan gaya menggemaskan sambil menyatukan kedua tangannya.
“Maaf!”
“Hah?”
Dia terkekeh sambil menjelaskan.
“Sebenarnya, sebelum aku bertemu denganmu tadi malam, Hazakura-chan menghubungiku. Dia bilang aku harus hati-hati karena Rii-kun mungkin sedang memikirkan sesuatu yang serius.”
Kupikir aku sudah mengambil langkah lebih dulu dari Hazakura, tapi ternyata dia sudah lebih dulu menyusun rencana.
“Maafkan aku karena sudah berbohong. Saat video call kemarin, Rihito-kun terlihat sangat tertekan, dan aku merasa ada yang tidak beres. Apalagi, di akhir obrolan, wajahmu memerah dan seluruh tubuhmu gemetaran.”
“Ugh… Itu—”
Ketika mengakhiri panggilan kemarin, alasan utama perilakuku yang mencurigakan sebenarnya adalah karena tanpa sadar aku terpaku menatap celana dalam biru Hazakura. Namun, jika aku mengaku sekarang, itu hanya akan mengalihkan pembicaraan. Jadi, aku menelan kembali alasan buruk yang nyaris keluar dari mulutku.
“Aku rasa pengorbanan diri itu bukan hal yang baik. Terlebih lagi, walaupun kamu rela mengalami hal buruk, aku tetap tidak akan membiarkannya karena aku tidak suka,” kata HimeMayu sambil menggembungkan pipinya sedikit sebelum tersenyum nakal.
“Itu sebabnya aku berpura-pura membantumu menyebarkan rumor buruk. Berbohong dan menipu sudah jadi keahlianku! Hehehe.”
Melihat senyum usil HimeMayu, aku berpikir keras dengan kepala yang penuh kebingungan.
Jika dia dan Hazakura bekerja sama untuk menipuku, lalu bagaimana dengan video yang kami rekam tadi malam? Apakah video yang seolah menunjukkan aku memukul HimeMayu itu juga hanya tipuan?
Tapi, tunggu dulu!
“Jadi… video yang dilihat teman-teman di kelas itu apa? Bukankah isinya sangat menjatuhkan diriku? Mereka jelas merasa jijik dan marah. Kalau bukan begitu, atmosfer di kelas tidak akan sekaku itu...”
Aku mengingat tatapan dingin para gadis, wajah tegang para pria, dan kebingungan Zaizen. Aku benar-benar tak mengerti.
“Eh? Sampai jadi separah itu, ya? Hmm, mungkin aku sedikit kebablasan kemarin. Maaf, maaf!” kata HimeMayu sambil tersenyum canggung dan mengangkat bahu.
“Tenang, mereka cuma salah paham. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan.”
“Maksudmu, salah paham? Apa maksudnya?”
“Gini, nih!”
Dengan ekspresi riang, HimeMayu mengeluarkan ponselnya dan memutar video.
Dalam video itu, HimeMayu berdiri di depan deretan rolling door toko di Distrik Perbelanjaan Rokurozaka. Dia mengenakan sweter biru muda, kardigan, dan riasan yang mencolok—tidak salah lagi, itulah HimeMayu yang kulihat tadi malam. Namun, anehnya, sosokku tidak ada di sana.
“Setelah kita rekam video palsu itu, aku bikin video ini sendirian.”
“Apa...?”
“Jadi yang aku sebar ke kelas sebenarnya adalah video ini.”
Saat aku masih terpana, video di layar ponsel memperlihatkan HimeMayu dengan senyum cerah, melambaikan tangan ke arah kamera.
‘Yoo, semuanya! Aku, HimeMayu, si gal favorit dari kelas sebelah! Ada yang pengin aku sampaikan ke kalian, jadi jangan di-skip, ya!’
Apa yang ingin dia sampaikan ke teman-teman di kelas? Aku memiringkan kepala sambil menatap layar dengan cemas.
‘Intinya sih, ini tentang Rii-kun—Kakei Rihito-kun. Kalian penasaran, kan? Soalnya, belakangan dia kelihatan akrab sama Hazakura-chan dan aku. Kalian pasti mikir dia itu cowok brengsek yang doyan mainin cewek, kan?’
HimeMayu menggerakkan telunjuknya sambil berkata, ‘Tsk, tsk, tsk.’
‘Tapi sebenarnya, dia sama sekali bukan seperti itu! Malah, dia itu cowok yang sangat… hobi onani!
Apa?! Apa-apaan ini?!
‘Dia sendiri yang bilang tadi. ‘Aku kan cowok, wajar aja suka onani,’ gitu katanya, sambil pamer muka puas! Hahaha!’
Sial! Kenapa dia malah bicara hal-hal seperti ini?!
HimeMayu tertawa terbahak-bahak dalam mode gal-nya, tetapi wajahnya memerah hingga ke telinga. Sepertinya dia memaksakan diri mengucapkan kata-kata vulgar yang biasanya tak mungkin keluar dari mulutnya.
Meski dari sudut pandangku terlihat seperti semacam roleplay baru, sekarang bukan waktunya memikirkan hal-hal semacam itu.
Yang penting saat ini adalah—fakta bahwa Kakei Rihito dianggap sebagai seseorang yang suka onani.
Alasan mengapa teman-teman sekelas memandangku jijik dan penuh hinaan ternyata karena pernyataan ini. Itulah sebabnya para gadis merasa risih dan para pria hanya bisa menunjukkan ekspresi kaku.
Masalahnya, ini bukan sekadar rumor. Aku benar-benar pernah mengatakan bahwa aku suka onani, dan justru itulah yang membuat situasinya semakin buruk.
Saat memikirkan hal ini, aku tersentak.
Di pagi hari, aku bahkan berbicara dengan Zaizen dan dengan santainya mengakui semua yang ada di video itu. Artinya, aku secara terbuka mengaku sebagai orang yang hobi onani!
Parahnya lagi, aku sempat mengatakan hal menjijikkan pada Zaizen, “Aku pengin ngajarin kamu biar ngerti betapa nikmat melakukannya.”
Aaaaargh! Apa yang sudah kulakukan?!
“Ini… benar-benar bencana...”
Kenyataan yang menghancurkan itu membuat emosiku campur aduk dan tak terkendali. Jika hanya HimeMayu yang bicara di video, mungkin aku masih bisa mencari alasan, tetapi kebodohanku sendiri di kelas malah memperburuk segalanya.
‘Yah, meski dia suka onani, itu bukan jaminan dia bukan playboy sih. Tapi, ya... itu bukan urusanku untuk membahas lebih lanjut.’
Sementara aku terduduk lemas, HimeMayu di dalam video masih tertawa dengan wajah merah padam.
‘Oke, semuanya! Sampai jumpa besok! Ada hal penting yang ingin Hazakura-chan sampaikan langsung ke kalian. Jadi, saat istirahat makan siang, kumpul di kelas satu ya! Terima kasih udah nonton sampai akhir!’
Video pun berakhir.
“Maaf ya, tadi aku kebablasan dan bilang hal-hal aneh. Tapi, kupikir kalau kata-katanya catchy, bakal lebih menarik perhatian mereka...” kata HimeMayu sambil tersenyum malu dan menepuk pelan pinggangku.
Dia jelas tak menduga bahwa aku malah berubah jadi orang aneh yang mau mengajari temannya cara onani secara mendetail.
“Baiklah, sekarang giliran Hazakura-chan!”
“Ya! Bendera estafet yang diserahkan HimeMayu-chan, sudah aku terima dengan mantap!”
Dengan semangat menggebu, Hazakura mengangguk dan mengembuskan napas keras seperti banteng siap bertarung.
“Masih waktu sebelum jam istirahat makan siang. Bagaimana kalau kita habiskan waktu di sini dulu, Rii-kun? Kalau kamu balik ke kelas sekarang, pasti nggak nyaman, kan?”
“Wah, bolos bertiga! Seru banget! Aku jadi tambah bersemangat!”
Melihat dua gadis itu begitu riang, aku hanya bisa duduk lemas kembali di bangku taman, tanpa tenaga sedikit pun.
“Ayo dong, Rii-kun! Jangan sedih begitu. Yuk, santai aja sebentar. Dari kemarin kamu pasti udah stress banget, kan? Sekarang waktunya rileks!”
“Eh-hehe, aku bawa banyak camilan, loh! Yuk, kita makan bareng!”
Dengan senyum sumringah, Hazakura mengeluarkan kantong plastik besar yang menggembung karena penuh berisi makanan.
Isi kantong itu meliputi kerupuk keju, permen gula merah, keripik beras, plum asin, kue karinto, kacang pedas, manisan mochi, bola telur, kue daun ek, uiro, dan konpeito.
Semua camilan tradisional beraneka ragam tumpah ruah dari dalam kantong.
“Hazakura-chan, selera camilanmu kayak nenek-nenek ya,” goda HimeMayu sambil tertawa.
Komentar jujur HimeMayu membuat Hazakura tertegun dan berseru, “Gabiin!” dengan ekspresi syok.
“Lewat fase dewasa langsung jadi nenek-nenek... betapa menyedihkannya nasibku!”
“Ah, nggak perlu sedih begitu! Aku juga suka, kok, camilan seperti ini. Cheddar okaki itu enak banget, kan?”
Mendengar HimeMayu menghiburnya, Hazakura segera memulihkan senyumnya kembali. Melihat itu, aku merasa sesuatu yang hangat menyelimuti hatiku.
Tampaknya, tak ada gunanya meratapi nasib terus-menerus. Dengan begitu, aku memutuskan untuk menerima kebaikan mereka dan bersantai sejenak.
◆ ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧ ◆
Saat istirahat siang tiba, bersama HimeMayu dan Hazakura, aku melangkah memasuki kelas.
Namun, ketenangan siang yang hangat segera pecah, digantikan oleh kehebohan dan keributan. Seketika, tatapan penuh curiga dari teman-teman sekelas menembus tubuh kami bertiga.
Aku menyapu pandangan ke seluruh ruangan. Tak satu pun dari mereka absen—semua hadir tanpa terkecuali.
Sepertinya, ketertarikan mereka pada hubungan antara Hazakura dan diriku cukup kuat untuk membuat mereka berkumpul di sini. Baik itu rasa penasaran atau niat buruk.
“Rihito-kun dan HimeMayu-chan, tolong perhatikan saja dari sini,” ucap Hazakura lembut.
“Kamu yakin bisa melakukannya sendiri?” tanyaku, tak mampu menahan rasa khawatir.
Hazakura mengangguk perlahan, lalu menambahkan dengan tenang, “Tenang saja.”
Tanpa menunggu tanggapan lebih lanjut, dia berjalan mantap menuju mimbar di depan kelas.
HimeMayu dan aku hanya bisa terdiam, mempercayakan semuanya kepadanya.
Andai keadaannya memburuk, aku sudah siap menjadi kambing hitam demi menyelamatkan Hazakura. Namun, sebelum sempat berpikir lebih jauh, HimeMayu menegurku dengan lembut,
“Rii-kun, jangan coba-coba ya.”
Kebiasaanku untuk cepat mengambil peran sebagai penjahat memang harus kuhilangkan.
Aku menyadari, sikapku itu hanya menambah kekhawatiran bagi Hazakura dan HimeMayu. Untuk kali ini, aku memutuskan untuk percaya sepenuhnya pada Hazakura.
“Terima kasih sudah mau berkumpul di sini. Aku minta maaf kalau mengganggu istirahat kalian,” kata Hazakura di depan kelas. Suaranya terdengar lebih lembut dan gemetar daripada biasanya, seolah-olah ia berusaha keras menahan rasa gugup.
Wajahnya pucat dan ekspresinya tampak kaku. Sorotan mata teman-teman sekelas yang menyudutkannya jelas membuatnya tertekan.
Namun, meski diliputi rasa takut, Hazakura tetap berdiri tegak. Ia menatap setiap wajah di kelas dengan tekad kuat dan melanjutkan kata-katanya dengan penuh ketulusan.
“Yang ingin kusampaikan hanya satu hal...”
“Rihito-kun bukan orang jahat seperti yang kalian kira!”
Mendengar itu, seluruh teman sekelas seketika mengarahkan tatapan penuh kebencian ke arahku. Dalam sorot mata mereka, terlihat jelas rasa muak dan hinaan. Label “tukang pukul perempuan” sudah cukup buruk, dan sekarang ditambah lagi dengan cap sebagai “pecandu onani.”
“Alasan kalian membenci Rihito-kun adalah karena kalian tidak benar-benar mengenalnya, dan bahkan tidak berusaha untuk mengenalnya. Hanya menilai dari apa yang terlihat di kelihatannya itu sungguh kejam! Sungguh sia-sia! Karena, semakin kalian mengenal Rihito-kun, semakin kalian akan sadar bahwa dia orang yang luar biasa!”
Seolah berusaha menyemangati dirinya sendiri, Hazakura meninggikan suaranya dan berbicara dengan penuh keyakinan. Wajahnya tampak lebih segar, seakan rasa gugupnya mulai memudar.
Namun, meski penuh ketulusan, kata-katanya tak mampu menembus hati teman-teman sekelas. Kata-katanya hanya terbang di udara, tak bersisa, dan menghilang bagai kabut ditiup angin.
Teman-teman sekelas menatap Hazakura dengan pandangan penuh belas kasihan, seolah-olah melihat korban yang malang. Mereka mungkin berpikir bahwa Hazakura mengucapkan semua ini karena terpaksa atas permintaanku.
“Kalian tahu nggak? Rihito-kun jago memanjat pohon!”
Dengan penuh percaya diri, Hazakura mengucapkan kalimat itu, lalu menghembuskan napas sambil membusungkan dada.
Semangatnya kembali berkobar, berbeda jauh dengan sikapnya yang sebelumnya tampak tertekan. Ia tampak seperti saat membicarakan buku favoritnya dengan antusias.
Inilah Hazakura yang kukenal, pikirku sambil tersenyum kecil.
Namun, ekspresi teman-teman sekelas justru menunjukkan kebalikannya.
“Dengan gerakan lincah seperti monyet, Rihito-kun bisa memanjat pohon dan melompat turun dengan gagah seperti pahlawan! Itu keren banget, kan?”
Meskipun Hazakura semakin bersemangat, respon teman-teman tetap dingin. Ada jurang pemisah yang begitu lebar di antara mereka, seperti anak kecil yang berbicara dengan polos tentang pahlawan idolanya dan orang dewasa yang dengan sinis meremehkan cerita itu.
Namun, Hazakura tetap tersenyum ceria kepada mereka.
“Rihito-kun memang terlihat dingin, tapi sebenarnya dia punya hati yang hangat! Apalagi kalau dia mulai bicara tentang aksesoris kesukaannya—sungguh, dia bisa jadi sangat bersemangat! Dia sampai bicara cepat seperti otaku saat membahas topik itu!”
Semakin tinggi semangat Hazakura, semakin dingin suasana di kelas.
“Dan yang paling mengejutkan, Rihito-kun tahu banyak soal Yodoro Punk Park! Dia punya tiket tahunan dan sering berkunjung ke sana! Omong-omong, karakter favoritnya adalah Gekorino II. Gaya maskulin Rihito-kun yang kontras dengan hobinya ke taman hiburan itu benar-benar lucu dan menawan, kan?”
…Ini sia-sia.
Apapun yang dikatakan Hazakura, pada akhirnya hanya akan membuat mereka semakin mencemoohku. Bahkan, usahanya untuk membelaku malah membuat dirinya dipandang buruk. Jika dibiarkan, situasi ini bisa merusak reputasi Hazakura dan memperburuk keadaan.
Plak!
Saat pikiranku dipenuhi rasa putus asa, Hazakura menepukkan tangannya dengan keras, membuat suara nyaring menggema di seluruh kelas. Itu adalah tanda khasnya—pertanda bahwa ia mendapatkan ide gila.
“Aku punya rahasia besar!” seru Hazakura penuh percaya diri. “Rihito-kun pernah ketahuan menyimpan majalah dewasa di bawah tempat tidurnya, dan saat aku menemukannya, dia langsung malu sampai wajahnya merah padam!”
Hazakura! Kamu ngomong apa sih!?
Aku ingin segera menyela, tapi kutahan diriku dengan menggigit bibir erat-erat. Aku tahu, kalau ikut campur sekarang, itu hanya akan memperburuk keadaan. Aku sudah memutuskan untuk percaya padanya—sekalipun artinya rahasiaku terbongkar di hadapan semua orang.
Ucapan Hazakura membuat teman-teman sekelas terkejut dan gaduh. Suasana di kelas berubah drastis, entah menjadi lebih baik atau buruk.
“Seandainya kalian melihat Rihito-kun berusaha keras mencari alasan dengan bicara cepat dan gagap, pasti kalian akan berubah pikiran tentangnya!”
Aku tidak akan pernah memperlihatkan itu!
Sementara aku bergidik mendengar ucapan Hazakura.
Di sampingku, HimeMayu tampak gelisah. Sepertinya, ia juga khawatir dengan arah pembicaraan ini, sama seperti teman-teman sekelas lainnya.
Dalam pandangan mereka, aku adalah pria kasar—seseorang yang dianggap memanfaatkan perempuan dengan kekerasan. Namun, fakta bahwa aku bisa merasa malu hanya karena ketahuan memiliki majalah dewasa jelas di luar dugaan mereka.
Kebingungan ini, yang bertentangan dengan ekspektasi mereka, membuat emosi mereka jadi kacau.
Teman-teman sekelas tampak kebingungan, seolah tidak tahu harus berbuat apa atau bereaksi seperti apa.
Lebih dari sekadar kebingungan, situasi ini telah berubah menjadi kekacauan.
Meskipun suasana telah berubah, aku merasa cemas bahwa keadaan akan semakin tidak terkendali.
Namun, di tengah kekacauan itu, seorang siswa mengangkat tangannya dengan percaya diri.
“Aku ingin mengajukan pertanyaan!”
Siswa itu menyisir rambut belah tiga-tujuhnya dengan tangan dan membuat kacamatanya bersinar mencolok.
“Eh? Ah, baiklah… Silahkan, Zaizen-kun!”
Dia adalah Shoichi Zaizen, satu-satunya teman laki-lakiku.
Zaizen melirikku sebentar sebelum menatap Hazakura dengan pandangan tegas.
Kelas yang semula riuh langsung terdiam, semua mata tertuju pada sosok Zaizen yang berdiri penuh percaya diri.
Sepertinya teman-teman sekelas berharap dia akan menyuarakan keraguan yang mereka pendam.
“Terima kasih, Furukawa-san, atas informasi yang menarik tentang Kakei. Cerita-ceritamu tadi sangat… tidak biasa. Tapi, mari kita kembali ke pokok permasalahan,” ucap Zaizen dengan nada serius, seakan memikul beban keraguan seluruh kelas.
“Jika Kakei benar bukanlah orang jahat, bagaimana pendapatmu tentang rumor yang mengatakan dia tampak seperti orang yang suka memukul perempuan? Aku dengar gosip ini sudah ada sejak SD.”
Tanpa ragu, Hazakura menggelengkan kepala.
“Rihito-kun bukan orang yang akan melakukan kekerasan! Seperti yang aku bilang, orang-orang hanya membuat asumsi tanpa berusaha mengenalnya.”
Zaizen mengangguk. “Aku sudah cukup lama mengenalnya, dan aku tidak pernah merasa dia tipe orang yang kasar. Apa yang kamu katakan masuk akal, Furukawa-san.” Dia mengangkat bahu. “Meski begitu, saat dia mencoba menjelaskan teknik masturbasi dengan rinci, aku memang sedikit terkejut.”
Itu hanya kesalahpahaman! Lupakan woy!
Zaizen kembali berbicara dengan nada serius. “Tapi meskipun dia tidak pernah melakukan kekerasan, ada rumor lain yang mengatakan dia mempermainkan perempuan. Bagaimana menurutmu soal itu? Melihat wajahnya yang tampan dan tubuhnya yang bagus, wajar saja kalau dia menarik perhatian banyak perempuan.”
Teman-teman sekelas mengangguk, setuju dengan pernyataan Zaizen.
“Rihito-kun bukan seorang playboy! Dia sangat polos!” tegas Hazakura.
“Polos, ya…” Zaizen tampak ragu, mengerutkan alis.
“Sebagai temannya, sulit bagiku mempercayai bahwa dia benar-benar polos. Apa kamu tidak melebih-lebihkan? Dari cerita-ceritamu, reaksinya terdengar seperti… seseorang yang belum pernah berpengalaman.”
“Benar sekali!”
Dengan wajah memerah, Hazakura menjawab dengan suara lantang dan penuh percaya diri.
“Rihito-kun masih perjaka!”
Untuk sesaat, waktu terasa berhenti.
Tidak, waktu benar-benar terasa berhenti. Setidaknya di dalam pikiranku, dunia ini seolah terhenti. Bahkan, aku berharap semuanya tetap membeku selamanya.
Namun, kenyataan tak seindah harapan. Waktu mulai bergerak kembali dengan kejam.
──Kakei masih perjaka?
──Gak mungkin, kan?
──Pasti dilebih-lebihkan.
──Mana mungkin cowok kayak dia masih perjaka?
──Dia pasti playboy.
──Jangan remehkan status perjaka!
──Zaizen, tolong bantah itu!
──Aku juga mau dibilang perjaka sama Furukawa-san.
Pernyataan mengejutkan Hazakura membuat teman-teman sekelas semakin bingung dan mulai gaduh, tak mampu menyembunyikan keterkejutan mereka.
“P-perjaka...?”
Bahkan Zaizen, yang sebelumnya berbicara dengan penuh logika, kini tampak kehilangan ketenangannya. Matanya bergerak liar, dan rambut belah tiga-tujuhnya yang biasanya rapi terlihat berantakan. Kacamata andalannya pun melorot dengan sia-sia.
“Seorang siswa SMA yang masih perjaka sebenarnya bukan hal aneh. Aku sendiri juga masih perjaka... Tapi, tapi! Kakei itu tampan, fashionable, stylish, dan punya semua faktor untuk disukai perempuan! Bahkan kalau ada yang membencinya karena rumor, pasti ada juga perempuan yang tertarik padanya hanya dari wajahnya! Tapi... dia masih perjaka? Itu mustahil!”
Zaizen berteriak penuh frustasi, kemudian duduk lemas di kursinya dengan kepala tertunduk. Ia menggelengkan kepala, seolah tak mampu menemukan kata-kata untuk melanjutkan. Melihat keadaan Zaizen yang terpuruk, teman-teman sekelas lain pun kehilangan semangat.
“Zaizen...”
Tiba-tiba, seorang siswa yang duduk di sebelahnya bersuara pelan, seolah ragu untuk berbicara.
“Aku baru sadar sesuatu... Apa mungkin alasan pernyataan HimeMayu di video itu terkait dengan fakta kalau Kakei masih perjaka?”
“...Video? ...Benar juga!”
Mata Zaizen membelalak begitu lebar seakan kacamatanya seakan mau pecah mendengar ucapan teman sebangkunya.
“Pernyataan HimeMayu bahwa Kakei bukan playboy, melainkan maniak onani, masuk akal jika dia memang masih perjaka! Bahkan alasan dia panik saat ketahuan menyembunyikan majalah dewasa pun jadi bisa dimengerti! Aku juga pernah mengalami hal serupa!”
“Dia bilang onani adalah kebahagiaannya, kan? Mungkin saja, walaupun kelihatan keren, sebenarnya adalah orang yang tidak populer sama seperti kita”
Rasa empati yang mulai tumbuh dalam hati Zaizen segera menular ke para siswa laki-laki lainnya.
Dalam waktu singkat, mereka mulai terhanyut dalam obrolan hangat, berbagi pengalaman memalukan seputar status perjaka mereka masing-masing. Dan tanpa disadari, pandangan mereka terhadapku berubah menjadi penuh kehangatan dan penerimaan.
Namun, seketika tubuhku menegang saat menyadari tatapan penasaran yang mulai muncul dari para siswi.
“Eh, kalau kita lihat Kakei-kun dari perspektif perjaka... dengan gaya rambut mash-cut, aksesoris banyak, dan sikap cool-nya... dia malah kelihatan kayak otaku introvert dengan sindrom anak SMP, ya?”
“Iya banget! Malah makin kelihatan kayak anak Chunnibyou! Uh, gemesin sih kalau dipikir-pikir.”
“Dan kalau dia jadi cepat ngomong pas ngomongin hobi, itu makin imut! Gaya kayak gitu plus otaku? Wih, banyak banget atribut menariknya! Aku suka banget tipe kayak gini!”
“Apalagi dia suka manjat pohon dan doyan ke taman hiburan? Wah, dia kayak anak kecil yang polos! Nilai plus banget, kan?”
Aku hanya bisa berdiri terpaku, tercengang melihat perubahan drastis dalam cara mereka memandangku. Bukan tatapan jijik, hinaan, atau kemarahan... melainkan rasa penasaran yang berbinar-binar.
“A... apa-apaan ini...”
Sejak SD, SMP, hingga SMA, aku selalu jadi sosok yang dibenci. Mereka menganggapku seperti pria yang terlihat ‘bakal memukul perempuan.’ Tidak peduli seberapa keras aku berusaha memperbaiki diri, semua itu selalu berakhir sia-sia. Bukannya diterima, aku malah semakin dibenci.
Aku sudah pasrah karenanya. Aku sudah terbiasa berpura-pura kuat dengan berkata, “Aku tidak peduli kalau dibenci.”
Tapi sekarang—
Siapa sangka, hanya karena status perjaka, semuanya bisa berubah total?
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.