Epilog
“Eh, kamu tahu nggak? Katanya Kakei-kun itu masih perjaka!”
“Serius? Padahal dia kelihatan keren banget!”
“Iya! Ternyata dia pemalu dan pendiam gitu!”
“Wah, gap kayak gitu sih imut banget!”
Saat berjalan di koridor sepulang sekolah, aku tak sengaja mendengar obrolan bisik-bisik dari para gadis kelas sebelah.
Mendengar namaku dibahas seperti itu, aku merasa campur aduk antara senang dan malu, perasaan yang sulit diungkapkan.
“Zaizen, ini termasuk hal yang bagus nggak, sih?” tanyaku pada Zaizen, yang berjalan di sampingku.
“Jelas ini hal bagus,” jawabnya sambil tertawa lepas.
“Karena berkat ucapan Furukawa-san, citra kamu berubah total dan sekarang banyak yang suka sama kamu.”
Meski perasaan ini rumit, aku tak bisa membantah kebenaran di balik kata-kata Zaizen.
Pidato Hazakura saat istirahat siang tadi benar-benar membalikkan image-ku di mata teman-teman. Dari yang awalnya dicap sebagai ‘pria yang terlihat seperti suka memukul wanita,’ berubah menjadi ‘pria yang memang terlihat seperti itu, tapi ternyata masih perjaka dan polos.’ Entah ini bisa disebut peningkatan atau penurunan, tapi yang jelas, ini adalah perubahan besar.
Aku tidak lagi sekadar jadi bahan ejekan, tapi kini malah mendapat perhatian serupa dengan Hazakura dulu. Singkatnya, aku telah berubah menjadi ‘perjaka stylish’ yang populer di kelas.
Iya, perjaka stylish.
Teman-teman sekelas sekarang memanggilku seperti itu dengan nada penuh keakraban—seorang pria yang punya aura keren seolah-olah kasar, tapi ternyata masih perjaka. Gap itu yang membuat mereka merasa lebih dekat denganku.
Meskipun, aku merasa seperti spesies langka yang sedang dijadikan tontonan.
“Jujur, sebutan ‘perjaka stylish’ itu cukup pas, menurutku.”
“Ugh...” Aku mendengus pelan, tak bisa membantah.
Memang agak menyebalkan. Tapi, seberapa pun menjengkelkannya julukan itu, aku tak bisa sepenuhnya membencinya.
Bagaimanapun, aku tidak sedang dipermalukan atau diolok-olok, melainkan diterima dengan hangat. Sebutan ‘perjaka stylish’ muncul justru karena mereka mulai menganggapku teman.
Walau terdengar agak konyol, tapi ada makna di baliknya.
“Bayangkan, kamu jadi idola para cewek hanya karena mereka merasa gap antara penampilanmu yang stylish dan kenyataan kalau kamu perjaka itu imut. Aku iri banget sama kamu! Hahaha!” Zaizen tertawa lepas sambil menepuk pundakku.
Aku hanya mengangkat bahu dan meliriknya tajam.
‘Terlihat seperti suka memukul wanita’ dan ‘masih perjaka’—dua hal itu adalah kompleks terbesar dalam hidupku. Aku selalu takut, jika fakta tentang statusku terbongkar, orang akan menganggapku sebagai pria brengsek yang tak ada harapan.
Namun kenyataannya, dua hal negatif itu malah berbalik menjadi sesuatu yang positif.
‘Perjaka stylish’ justru membuatku diterima di antara teman-teman. Para pria merasa aku senasib dengan mereka, sementara para gadis menganggap gap itu menarik dan lucu.
Tak kusangka, hanya karena satu hal kecil, hidupku bisa berubah total.
Saat semua teman sekelas meminta maaf dengan tulus, menyesal telah menilaiku dengan buruk tanpa mengenal siapa diriku sebenarnya, aku jadi canggung dibuatnya.
Namun, di balik itu semua, perasaan diterima apa adanya membuat hatiku hangat dan lega.
Maka dari itu, mungkin menjadi perjaka stylish bukanlah hal yang buruk, pikirku sambil tersenyum tipis.
“Zaizen, terima kasih.”
“Hah? Ada apa tiba-tiba begini?”
“Soal waktu istirahat tadi. Saat Hazakura membuat pernyataan polos yang bikin suasana jadi canggung, kamu sengaja mengambil peran sebagai penjahat, kan? Kalau kamu nggak angkat tangan waktu itu, aku nggak tahu apa yang akan terjadi sekarang...”
Kalau bukan karena Zaizen, Hazakura mungkin tidak akan membuat pengakuan soal statusku, dan sebutan perjaka stylish tidak akan pernah muncul.
Aku mungkin masih jadi orang yang dibenci, atau lebih buruk lagi, hal itu bisa menyeret Hazakura ke dalam masalah juga.
“Sudah sepantasnya. Kita kan teman,” jawab Zaizen dengan senyum santai seakan itu bukan apa-apa.
“Tapi sepertinya tugasku sudah selesai sampai di sini,” tambahnya tiba-tiba, lalu pergi dengan langkah cepat.
Saat ia menjauh, Hazakura dan HimeMayu datang mendekat. Tampaknya, Zaizen sengaja memberi ruang bagi kami. Sekali lagi, aku bersyukur punya teman yang begitu pengertian.
“Halo, Rii-kun! Kamu jadi populer banget, ya. Di kelasku juga semua orang ngomongin kamu, lho!” seru HimeMayu dengan tawa ceria.
Di sisi lain, Hazakura terlihat pucat dan menundukkan kepala dalam-dalam.
“Maafkan aku! Aku nggak sengaja bilang di depan semua orang kalau kamu... pe... perjaka...” ucapnya dengan terbata-bata.
“Sudahlah, Hazakura. Pada akhirnya, semuanya berjalan dengan baik, kan?”
“Tapi... tetap saja, itu cuma kebetulan...”
Sebelum ia bisa melanjutkan, aku menggeleng dan menghentikan perkataannya.
“Kalau ada yang harus minta maaf, itu seharusnya akulah orangnya. Aku yang membuatmu khawatir dengan sikapku yang penuh keegoisan. Maafkan aku!”
Aku menunduk dalam-dalam, menyampaikan permintaan maaf tulus dari lubuk hatiku.
“Dan meskipun hasilnya hanya kebetulan, yang penting semuanya sudah berakhir dengan baik. Lagipula, lama-lama aku mulai menyukai sebutan perjaka stylish ini.”
“Rihito-kun...”
Namun begitu, aku sadar bahwa sebutan perjaka stylish ini hanyalah solusi sementara. Sekarang mungkin aku diterima dan disukai, tapi jika suatu hari aku melepas status ini, semuanya bisa berubah.
Begitu ‘perjaka’ dihilangkan dari perjaka stylish, yang tersisa hanyalah stylish—dan itu sama saja seperti kembali ke awal. Aku bisa kembali dianggap sebagai pria yang terlihat kasar dan berbahaya.
Oleh karena itu, aku tidak bisa buru-buru memberi jawaban pada perasaan Hazakura atau mengungkap misteri perasaan HimeMayu. Ini bukan karena aku pengecut atau mengabaikan perasaan mereka. Ini adalah bentuk strategi.
──strategi perjaka.
“Anu, Hazakura.”
Aku memanggilnya sambil menatapnya, kini sudah terbiasa dengan rok mini yang ia kenakan dengan percaya diri.
“Aku ingin jadi lebih dewasa. Menurutmu, apa ada ide yang bagus untuk itu?”
“Eh?”
Hazakura memiringkan kepala, bingung dengan pertanyaanku yang tiba-tiba.
“Walaupun aku mulai menyukai status perjaka stylish, itu bukan akhir dari segalanya. Selagi aku berada di posisi ini, aku ingin mencari cara agar benar-benar bisa lepas dari citra buruk dan menemukan kedewasaan sejati.”
Agar aku bisa menjalin hubungan dengan mereka berdua tanpa keraguan.
“Begitu ya! Hmm, hmm… Kalau begitu, bagaimana kalau kita menginap bersama?”
“M-menginap bersama...!?”
Berbeda dengan Hazakura yang mengusulkan itu dengan ringan, HimeMayu langsung memerah hingga ke telinga dan mengeluarkan suara gemetar. “tidur bareng Rii-kun... mo-monya...” Ia menggigil malu-malu sambil menunduk.
“Kegiatan Menginap Dewasa! Itu jawabannya!”
Sungguh, tak ada kesan dewasa sama sekali dari nama itu. Namun, memang menggambarkan Hazakura sekali, dan itu membuatku tersenyum. Meskipun begitu, tidur dan tinggal bersama antara laki-laki dan perempuan memang bisa dianggap sebagai sesuatu yang dewasa dalam arti tertentu.
Seorang gadis manis dan polos yang populer berkat kecintaannya pada sastra, seorang gadis pemalu yang berusaha keras menjaga citra gyaru, dan seorang pria yang dulunya dicap kasar namun kini dikenal sebagai perjaka stylish.
Tiga orang dengan karakter seunik itu pergi menginap bersama—aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi.
Pertanyaannya adalah: bisakah seorang perjaka bertahan dalam situasi seperti ini... dalam berbagai makna?
Saat aku terjebak dalam pikiran yang campur aduk,
plak!
Sebuah suara tepukan tangan bergema di sepanjang koridor.
“Kalau begitu, ayo segera bersiap untuk menginap bersama!” seru Hazakura antusias.
“H-Hazakura-chan! Kita belum atur rencana apa pun. Ini terlalu cepat!” protes HimeMayu panik.
“Kesempatan harus diambil dengan cepat! Jadi, pertama-tama kita belanja dulu!” kata Hazakura dengan senyum lebar, secerah matahari.
“Ya ampun! Tunggu aku! Aku ikut juga!” HimeMayu buru-buru berlari mengejar Hazakura yang sudah melesat lebih dulu.
Aku hanya bisa mengangkat bahu melihat tingkah mereka yang penuh semangat. Saat hendak mengejar mereka, langkahku tiba-tiba terhenti.
Dari ujung koridor yang mulai sepi, aku melihat bayanganku sendiri terpantul di kaca jendela yang diterangi cahaya senja.
Seperti biasa, wajahku tetap terlihat seperti pria kasar dan bengis...
Namun, untuk alasan yang tak dapat kujelaskan, senyuman di wajah itu tampak sangat bahagia.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.