Suman! Kurasu de ninki no bungaku chap 4

Ndrii
0

Bab 4: 

“Tertarik dengan Hal-hal Dewasa Itu Wajar!”




“Panaassss...”


Sambil berjalan di sepanjang Jalan Perbelanjaan Rokuroku pada sore hari bersama Hazakura dan HimeMayu, aku mengeluh dengan suara serak.


Sampai beberapa waktu yang lalu, cuaca masih sejuk dan nyaman, tetapi begitu memasuki bulan Juni, udara lembab yang pengap tiba-tiba menyerang. Kelembapan yang memadat di udara membuat tubuhku perlahan-lahan kehabisan tenaga hanya dengan berjalan.


“Keringatku sudah membasahi seluruh tubuh...”


aku terkejut melihat Hazakura yang berbicara dengan suara lemahlemah. Keringat telah meresap di bagian dada seragamnya, dan bra bermotif bunga yang dikenakannya jadi terlihat jelas. Selain itu, karena kami telah beralih ke seragam musim panas, bentuk dadanya terlihat lebih jelas, membuat situasi ini semakin sulit untuk diabaikan!


“T-tunggu sebentar! Hazakura-chan, bra-mu terlihat! Tutupi, tutupi! Rii-kun, jangan lihat! Tidak sopan!”


HimeMayu dengan panik meraih handuk dari tasnya dan menutupi dada Hazakura.


“Ah, terima kasih banyak...!”


“Pakaian musim panas memang mudah tembus pandang, jadi mungkin lebih baik memakai dalaman.”


Hazakura mengangguk penuh semangat pada saran HimeMayu sambil mencatat hal tersebut.


“Benar! Ayo kita pergi berbelanja dalaman bersama lain kali. Ada banyak hal yang ingin aku beli untuk liburan musim panas!”


“Ya! Aku sangat bersemangat untuk menikmati musim panas yang dewasa, jadi mohon bantuannya!”


Melihat mereka berdua berbicara dengan penuh semangat, aku merasa tenang. Lalu Hazakura mengangkat tangannya dengan semangat.


“Ya! Ayo kita ajak Rihito-kun juga untuk ikut berbelanja!”


“Kenapa aku juga harus ikut...?”


Berbelanja pakaian dalam dengan mereka tentu saja bukan ide yang bagus...


“Hm, benar juga... Tapi Rii-kun kan guru nya Hazakura-chan, jadi ya, masuk akal kalau dia ikut. Iya, benar-benar masuk akal.”


Dengan pipi sedikit memerah, HimeMayu bergumam kepada dirinya sendiri seolah-olah sedang meyakinkan dirinya.


“Kalau begitu, sebagai ‘pendamping guru’, kami akan mengandalkanmu, Rii-kun!”


Apa itu tadi?


Saat aku mengangkat bahu karena usul aneh HimeMayu, tiba-tiba Hazakura mengangkat tangannya lagi dengan semangat.


“Ya! Ada pertanyaan terkait dalaman yang ingin aku tanyakan!”


Ini pasti akan jadi masalah, pikirku sambil menelan ludah.


“Pertanyaan? Hmm, baiklah...”


“Apa jenis pakaian dalam yang HimeMayu-chan pakai?”


Lihat, benar saja, ini tidak baik.


“Apa?! Kenapa tiba-tiba bertanya begitu?!”


Mata HimeMayu melebar karena terkejut dan dia panik, terguncang oleh pernyataan Hazakura yang tidak masuk akal. Melihat reaksi ini, aku merasa pertanyaan ini terlalu polos. Meski begitu, bahkan jika kau terbiasa, Hazakura selalu bisa mengejutkanmu dengan cara yang tak terduga.


“Maaf atas pertanyaanku yang lancang!”


“Lancang? Itu terlalu lancang! Kenapa kamu ingin tahu... tentang... pakaian dalamku?”


Dengan mata bersinar, Hazakura menjawab dengan semangat.


“Tentu saja! Ini untuk menjadi wanita dewasa! Jika aku bisa mengetahui jenis pakaian dalam yang digunakan HimeMayu-chan yang modis, aku bisa dengan cepat menaiki tangga menuju kedewasaan!”


Hazakura yang penuh semangat menegaskan pendapatnya, sementara HimeMayu tampak sedikit mundur dengan senyum kecut di wajahnya, lalu dia menatapku dengan wajah memohon.


“Nee, Rii-kun. Hazakura-chan ini anak yang agak aneh ya…”


“Baru sadar sekarang?”


Semakin kamu mengenalnya, semakin kamu akan terkejut setiap hari.


“Dengan belajar dari celana dalam HimeMayu-chan dan celana dalam Rihito-kun, aku pasti tak terkalahkan!”


Sebenarnya, siapa yang dia lawan?


“R-Rii-kun punya celana dalam wanita?”


HimeMayu mengulang kata-kata Hazakura dengan wajah bingung dan mengernyitkan dahi.


“Celana dalam spesial yang dipilihkan oleh Rihito-kun untukku!”


“Apa? Ehh? Benarkah?! Kamu dapat celana dalam dari Rii-kun...?”


“Benar!”


Dengan senyum cerah dan penuh kepolosan, Hazakura mengangguk. HimeMayu menatapnya dengan wajah terkejut, tubuhnya gemetar. Matanya mencerminkan campuran ketakutan dan kebingungan, seolah dia sedang melihat monster yang mengerikan.


“Ughhh… Meskipun terdengar agak menjijikkan tapi aku sedikit iri…!”


Saat HimeMayu bergulat dengan emosinya, Hazakura dengan santai menepuk pundaknya dan dengan suara polos bertanya, “HimeMayu-chan, mau juga dibelikan celana dalam oleh Rihito-kun?”


“Aku juga...? Tidak, tidak, tidak...! Oh tidak...! Ughh!”


Melihat HimeMayu yang terlihat sangat bingung, aku hanya bisa berharap dia tidak terjebak dalam kebodohan ini.


“U-uh… hyu… hnn… Ughhhh!”


Wajah HimeMayu berubah drastis, berjuang dengan pikiran-pikirannya, dan mengeluarkan suara aneh yang tidak pantas didengar di tempat umum. Aku mulai khawatir, apakah dia baik-baik saja?


Setelah beberapa menit bergulat dengan pikirannya, HimeMayu membuka matanya lebar-lebar.


“...Aku...tunda dulu.”


Dengan nada malu-malu, HimeMayu menjawab sambil menggaruk-garuk kepala, membuatku hampir jatuh terjungkal. 


Kemana perginya HimeMayu yang keren dan penuh percaya diri, sang gal ideal itu?


“Kalau begitu, ketika kamu sudah siap, biarkan Rihito-kun membantumu memilihkan celana dalam!”


Apa yang kau bicarakan dengan wajah polos seperti itu, Hazakura? Dan tolong jangan bujuk HimeMayu untuk ikut serta dalam rencana bodohmu! 


Melihat HimeMayu yang tampaknya bisa tergoda dengan mudah itu membuatku ngeri.


Ketika kami akhirnya keluar dari Jalan Perbelanjaan Rokuroku setelah diombang-ambingkan oleh perkataan Hazakura yang tak terduga, aku merasakan tetesan hujan mulai turun.


“Ah, hujan...”


“Yah, timing-nya buruk. Padahal tadi masih cerah...”


“Musim hujan ini benar-benar menyebalkan.”


Meskipun mengeluh, Hazakura dan HimeMayu mengeluarkan payung lipat dari ransel mereka. Hazakura dengan payung bermotif kotak-kotak cokelat yang mengingatkan pada pakaian detektif, sementara HimeMayu membawa payung bermotif macan tutul berwarna biru mencolok.


“Kalian berdua selalu membawa payung lipat?”


“Payung juga bagian dari fashion, lho. Ini salah satu hal wajib bagi seorang gal!”


“Kalau begitu, aku membawa ini sebagai bagian dari etiket wanita dewasa! Hehehe.”


Meniru gaya HimeMayu, Hazakura tampak bangga dan menonjolkan dadanya dengan senang.


“Eh, Rii-kun, kamu tidak bawa payung?”


“Wah, ini masalah besar! Kalau mau, kamu bisa pakai payungku!”


Melihat payung yang ditawarkan Hazakura, aku buru-buru menggelengkan kepala.


“Nggak, nggak perlu.”


Aku menjawab dengan nada setenang mungkin, berusaha menyembunyikan imajinasi tentang berjalan di bawah satu payung bersama Hazakura.


“Terima kasih, tapi hujan segini bukan masalah bagiku. Badanku ini kuat, jadi jarang sekali kena flu. Musim perubahan cuaca pun, aku nggak gampang sakit.”


Aku menyatakannya dengan penuh percaya diri, tapi...


◆   ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧   ◆


Lemas...


Sakit...


Aku mengerang tanpa kata di atas tempat tidur, merasakan tubuhku yang berat.


Sakit kepala, hidung tersumbat, batuk, sakit tenggorokan, nyeri sendi, dan demam. Jelas sekali aku terkena flu. Padahal kemarin aku dengan percaya diri mengatakan pada Hazakura bahwa aku jarang sakit. Sekarang, aku malah menelan perkataanku sendiri.


Untungnya, tidak terlalu parah sampai harus ke dokter, tapi tetap saja, rasanya menyiksa.


“Hah…”


Aku menghela napas lemah, menatap langit-langit kamar yang putih.


Karena orang tuaku sedang bekerja di luar negeri, aku jadi sendirian di rumah. 


Sejak masuk SMA, pekerjaan mereka semakin sibuk, dan aku sudah terbiasa menjalani kehidupan layaknya tinggal sendiri. Meski mendapat uang saku yang cukup, saat sakit begini, aku benar-benar merasakan betapa sepinya hidup sendiri.


Aku jadi menyadari betapa berharganya orang tua dan merasa sangat berterima kasih karenanya. Nanti, ketika mereka pulang, aku harus lebih berbakti kepada mereka. Saat aku tenggelam dalam pikiran itu, tiba-tiba perutku berbunyi pelan.


Jauh lebih lembut dibanding suara perut Hazakura, pikirku sambil tersenyum lemah, mengingat senyuman cerahnya seperti matahari.


Hidup sendirian berarti aku harus menyiapkan makanan sendiri, bahkan ketika sedang sakit. Kebebasan memang ada harganya.


Dengan tubuh yang masih demam, aku memaksa diri untuk bangun dan berjalan ke dapur.


“…Serius?”


Aku terkejut melihat isi kulkas yang kosong melompong.


Tidak ada makanan sama sekali, hanya air soda yang selalu tersedia. Kali ini, bahkan mie instan atau makanan beku pun habis. Dan dengan kondisiku sekarang, pergi ke minimarket terasa terlalu berat.


Aku menyerah pada makan siang, dan kembali ke kamar dengan hati yang kecewa.


Sambil mencoba mengganjal perutku dengan air soda, aku berencana membaca novel ringan yang direkomendasikan Hazakura. 


Ceritanya tentang seorang gadis yang melihat manusia sebagai robot. Mungkin kalau aku tenggelam dalam cerita, rasa laparku bisa sedikit terlupakan.


Namun, tepat ketika aku membuka e-book di ponselku, sebuah pesan dari Hazakura muncul di layar.


Hazakura : ‘Rihito-kun, selamat siang. Kamu baik-baik saja?’


Setelah kata-kata khawatir itu, Hazakura tiba-tiba mengirim stiker ramen. 


“Pilihan apa ini.” gumamku, sambil tersenyum kecil. 


Meski aneh, aku merasa terharu karena ada seseorang yang peduli padaku.


‘tidak terlalu,’ aku membalas pesan singkat. Tak ada gunanya membuatnya khawatir terlalu banyak.


Hazakura : ‘Sekolah tanpa Rihito-kun rasanya seperti ramen tanpa ramen dan nasi, jadi cepat sembuh, ya!’


Rihito : ‘Oke.’


Hazakura : ‘Ngomong-ngomong, kamu tahu nggak? Kantin akan menambahkan menu onigiri baru!’


Rihito : ‘Oh?’


Hazakura : ‘Tebak apa! Onigiri bacon dengan telur rebus di dalamnya! Seperti namanya, bacon membungkus onigiri isi telur rebus!’


Rihito : ‘Kedengarannya enak.’


Hazakura : ‘Ayo, makan bareng ya! Membayangkannya saja sudah bikin aku lapar banget!’


Rihito : ‘Aku juga.’


Sambil terus bertukar pesan, aku mulai menyadari betapa singkatnya balasan pesanku dibandingkan dengan Hazakura. Aku berusaha menjaga pesanku tetap singkat agar tidak terasa terlalu formal atau kaku, tapi mungkin ini terlalu dingin.


Namun, tiba-tiba mengirim pesan panjang juga rasanya aneh. Saat aku memikirkan hal ini, Hazakura mengirim stiker tangan bertepuk.


Hazakura : ‘Oh iya! Aku ingin menjengukmu sepulang sekolah, boleh aku minta alamat rumahmu?’


Pesan itu membuatku tergagap. 


Hazakura mau menjenguk? 


Dia akan datang ke rumahku? 


Di rumah seorang pria yang sedang tinggal sendirian? 


Tunggu, tunggu, tunggu! Pikiranku mulai berputar liar. Jangan biarkan imajinasi ini berkembang terlalu jauh! Tapi kalau mengingat pengakuan saat di Punk Park… ugh.


Hazakura : ‘Pelajaran mau mulai nih, nanti aku kabari lagi ya! Cepat sembuh!’


Setelah pesan itu diakhiri dengan stiker onigiri, aku menatap layar ponsel dan menyentuh perutku yang mulai keroncongan.


Dan setelah bergulat dengan pikiranku lebih dari satu jam, akhirnya aku mengirimkan alamatku dengan tekad yang bulat.


◆   ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧   ◆


“Pe-permisi!”


Hazakura tampak kaku dan canggung saat melangkah masuk ke kamarku.


“Maaf merepotkan, silakan duduk di mana saja,” kataku, sambil menarik kerah jaketku dan mencium apakah ada bau yang tidak sedap. 


Meski begitu, aku berusaha tampil tenang di permukaan, dan duduk di tepi tempat tidur.


Tetap tenang, dan santai.


Ini bukanlah sesuatu yang luar biasa.


Hanya bagian dari kehidupan sehari-hari yang normal.


Aku terus meyakinkan diriku sendiri, mencoba mencapai ketenangan yang sempurna.


Namun...


......


...........Tetap saja, aku tak bisa menahannya.


Ketegangan yang terpendam tiba-tiba menyebar ke seluruh tubuhku, membuatku lemas dan tertunduk. Seorang gadis— Furukawa Hazakura—ada di kamarku, pemandangan yang begitu aneh hingga otakku hampir meledak.


Astaga!


Hazakura duduk manis di kursi kerjaku, tempat aku biasanya duduk!


Dia melihat sekeliling ruangan dengan penuh rasa ingin tahu!


Lebih parah lagi, dia mulai memeriksa rak buku dengan wajah penuh minat!


Seorang gadis di kamarku, yang notabene seorang pria tak berpengalaman dalam cinta? Sebulan yang lalu, aku bahkan tak bisa membayangkan ini terjadi, bahkan dalam khayalanku yang paling liar sekalipun!


“Kamar Rihito-kun rapi sekali! Aku pikir kamar laki-laki biasanya berantakan, jadi itu mengejutkanku,” ucap Hazakura sambil tersenyum, melihat sekeliling. Meja tempat komputerku, rak gantung, rak buku, dan kotak-kotak penyimpanan, semuanya tersusun rapi.


“Rihito-kun memang suka bersih-bersih, ya! Selalu terlihat rapi dan bersih, sangat mengagumkan!” tambahnya dengan senang.


Saat dia mengatakan itu, aku teringat bagaimana di SMP dulu, saat teman-teman sekelas tahu aku suka kebersihan, mereka mulai berpikir aku terlalu perfeksionis dan menjauhiku. 


Namun, kata-kata Hazakura kini seolah melelehkan kenangan pahit itu.


“Ngomong-ngomong… kamu seperti tokoh utama di novel ringan, yang tinggal sendiri karena orang tua sering bepergian ke luar negeri!”


“Jangan terlalu lugas begitu.”


Hazakura terkekeh mendengar komentarku, lalu berkata sambil mendesah, “Wah, enak ya, tinggal sendirian…” Aku bisa membayangkan, jika Hazakura hidup sendiri, mungkin dia akan makan ramen setiap hari, dan itu membuatku khawatir.


“Oh iya! Hampir lupa, ini aku bawakan sesuatu buat kamu!” katanya, lalu mengambil beberapa barang dari ranselnya dan menata dengan rapi di meja kecil di depan kami.


“Wow…”


Dia membawakan dua jenis minuman olahraga, teh hojicha, puding matcha, sup miso kerang dalam kemasan, jelly jeruk, roti sandwich kacang merah, kue bolu telur, dan plum kering. Dari makanan sehat hingga camilan manis dan asam, semuanya ada.


“Aku tidak punya makanan di rumah, jadi ini sangat membantu. Terima kasih banyak.”


“Ehehe. Aku selalu menerima banyak dari Rihito-kun, jadi senang rasanya bisa memberi balasan sedikit,” jawabnya riang.


Padahal, aku merasa justru akulah yang sering menerima bantuan darinya. Sambil mengangkat bahu, aku mengambil kue bolu telur. 


Rasanya kapan terakhir kali aku makan ini? Manis lembut yang sederhana mengingatkanku pada masa kecil dan dengan lembut meredakan rasa tidak nyaman akibat demam.


“Kalau ada hal lain yang bisa aku bantu—”


Hazakura menghentikan kata-katanya, tiba-tiba diam dan memusatkan pandangannya ke arah tempat tidur. 


Wajahnya yang sebelumnya ceria mendadak menjadi serius, matanya menyipit dan memandang bawah tempat tidur dengan fokus yang tidak biasa. Lalu, seketika matanya bersinar terang.


“Eh? Kenapa?”


Perasaan tidak enak langsung merayap di tubuhku.


“Ini…!”


Dengan gerakan cepatnya yang tak terduga, Hazakura melompat dan dengan senyum gembira, ia menyelusupkan tangannya ke bawah tempat tidur. Saat itu, aku langsung menyadari kesalahanku... tapi sudah terlambat.


Di tangan kanan Hazakura yang ditarik keluar dari bawah tempat tidur, terpampang sebuah buku yang berkilauan dengan jelas.


“H-Hawaawaawaa!”


Buku itu, yang diangkat tinggi-tinggi oleh Hazakura, adalah jelas-jelas sebuah buku yang sangat dewasa. Dari sampulnya yang memuat seorang cosplayer dalam pakaian dan pose yang sangat sugestif, siapa pun yang melihatnya tak akan mungkin salah paham. Berusaha menyangkalnya hanya akan sia-sia. Mungkin menyerah saja akan terasa lebih mudah.


Namun!


Tapi!


Walaupun begitu!


“Tu-tunggu! Hazakura! Ada alasannya kenapa buku itu ada di sini!” Aku tak mampu pasrah ataupun menerima keadaan, jadi aku dengan tergesa-gesa mencoba memberikan alasan. 


Meskipun aku tahu itu akan sia-sia dan hanya akan memperburuk situasi, harga diri kecilku sebagai pria tak bisa kulepaskan begitu saja...!


“Hazakura! Dengarkan baik-baik. Ini... berbeda. Memang sekilas ini tampak seperti buku dewasa, tapi... sebentar! Ini berbeda! Jadi, tenanglah! Tenang dan coba berpikir jernih! Kalau kamu tenang, kamu pasti bisa paham!” Aku mulai berteriak dengan kalimat yang kacau balau, mencoba mengendalikan situasi.


Rasanya sangat memalukan dan menyedihkan, sampai aku ingin menghilang saat itu juga. Bukan hanya karena ketahuan memiliki buku seperti itu, tetapi juga karena aku menyembunyikannya di bawah tempat tidur—cara klise yang sangat memalukan.


Biasanya aku membeli buku-buku seperti ini dalam bentuk digital, jadi aku tak terbiasa menyembunyikan buku fisik. Kebiasaan buruk ini timbul karena aku tergoda oleh bonus khusus yang hanya tersedia di toko buku fisik!


“Aku akui sampulnya memang terlihat dewasa... tapi! Buku ini bukan untuk 18 tahun ke atas! Ya, buku ini bisa dibeli oleh siapa saja, bahkan anak-anak dan orang tua! Ini hanya sekadar buku foto cosplayer yang terlihat sedikit sensual, tapi tetap sepenuhnya aman!”


Aku semakin kacau dan mulai bicara cepat, mencoba sekuat tenaga untuk mempertahankan sedikit martabatku.


“Lagipula... aku tak membeli ini karena niat buruk! Hanya sekadar rasa ingin tahu, atau mungkin untuk bahan referensi...! Dan maksudku bukan referensi dalam arti yang tidak pantas! Jadi, begitulah!”


“Sebagai laki-laki, wajar saja kalau kamu tertarik pada hal-hal semacam ini.”


Kata-kataku yang putus asa terpotong oleh Hazakura yang tiba-tiba berbicara dengan suara gemetar, wajahnya memerah.


“Bahkan... aku juga ingin tahu...! Aku ingin tahu... apa yang Rihito-kun suka!”


“A-Apa?!”


Apa-apaan kalimat itu! Persis seperti dialog dalam komik dewasa!


Yang membuatnya lebih menyeramkan adalah bahwa Hazakura jelas mengatakannya tanpa sadar. Alami dan polos, tapi penuh dengan potensi menggoda.


“Jadi, tak perlu khawatir!”


Dengan senyum meyakinkan yang tak kumengerti, Hazakura mulai membuka buku foto dewasa itu dengan penuh minat. 


Melihat gadis berambut hitam dengan wajah polos duduk di kamarku dan membaca buku yang begitu provokatif adalah pemandangan yang begitu tidak nyata.


“Uhm, begitu... begini... hmm. Fumu, fumu... mmm.”


Meskipun matanya berkaca-kaca, Hazakura terus menatap tajam halaman demi halaman buku foto dewasa itu, seolah-olah sedang meneliti setiap detail dengan teliti. 


Dari ujung kepala hingga ujung kaki, ia memperhatikan setiap aspek gambar dengan jauh lebih cermat daripada saat aku membacanya.


“Fumu, fumu. Jadi, ini adalah gambaran ideal yang Rihito-kun bayangkan...!”


“H-Hey, jangan salah paham seperti itu!”


“Tenang saja! meskipun tampaknya tidak begitu terlihat, Aku ini sebenarnya serius, lho!”


Justru karena kamu serius, itulah yang membuatku khawatir!


“Selain itu, foto-fotonya terasa begitu nyata. Ada pakaian yang sedang dijemur, latarnya di atas tikar tatami, atau di kamar yang berantakan... setiap halaman seperti menangkap momen sehari-hari. Ditambah lagi, pakaian yang dikenakan para cosplayer ini semuanya hanyalah pakaian rumah biasa... Ah! Aku mengerti sekarang!”


Hazakura membuka matanya lebar-lebar, terlihat puas setelah menyadari sesuatu, dan kemudian bertepuk tangan.


“Jadi, Rihito-kun lebih suka erotisme yang terkesan alami dan penuh nuansa kehidupan sehari-hari! Aku paham sekarang!”


Jangan menyimpulkan hal itu seenaknya! Meskipun... aku memang menyukai hal-hal yang terasa alami seperti itu. Wanita yang mengenakan pakaian rumahan yang ceroboh di kamar yang berantakan memang salah satu kelemahanku!


“Wow... Foto ini luar biasa... Hampir telanjang, dan dari sudut pandang fotografer, semuanya pasti terlihat jelas...”


Melihat Hazakura yang wajahnya memerah karena malu dan mulai menggeliat, aku tak bisa berkata apa-apa.


Menyaksikan Hazakura yang polos membolak-balik buku foto penuh nafsu ini dan dengan akurat mengungkapkan selera seksualku, membuatku dilanda rasa bersalah dan berdosa yang luar biasa. 


Aku merasa seolah-olah bakal terseret lebih dalam ke dunia yang gelap jika ini berlanjut terlalu lama!


Saat aku tengah tersiksa di atas tempat tidur, berpeluh keringat dingin, tiba-tiba bel pintu berbunyi—ting-tong, membangunkanku dari kenyataan yang penuh dengan rasa bersalah ini.


“Ah! Akhirnya datang juga!”



◆   ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧   ◆


“Yahalo, Rii-kun!”


HimeMayu muncul bersamaan dengan Hazakura yang baru saja kembali dari pintu depan.


“H-HimeMayu! Kenapa kamu ada di sini...?”


Melihat sosok gadis gal dengan tampilan mencolok yang sangat tidak cocok berada di kamarku, aku hanya bisa ternganga dan menatapnya. Saat melihat wajah bodohku, HimeMayu tersenyum jahil, sembari rona merah muncul di pipinya.


“Tentu saja aku datang untuk merawatmu,” katanya dengan nada santai.


Dia lalu meletakkan ransel besar yang menggembung di lantai dan duduk bersila di samping Hazakura.


“Karena aku merasa keterbatasanku dalam merawatmu, aku memutuskan untuk meminta bantuan HimeMayu-chan. Apakah itu salah?”


“Yah, tidak salah sih...”


Aku berusaha mencerna kenyataan bahwa sekarang baik Hazakura maupun HimeMayu ada di kamarku, hingga wajahku tampak kaku.


“Hmm. Jadi ini kamar Rii-kun ya.”


Sambil melihat sekeliling dengan ekspresi kagum, HimeMayu menekan dadanya dan wajahnya semakin memerah. “Kenapa ya... rasanya aneh, ada yang menggelitik di dada...”


...Dia terlihat terbuai dan tidak bergerak, apakah dia baik-baik saja?


“Ah! Maaf! tanpa sadar, aku jadi terpikir hal yang aneh... ahaha,” katanya sambil tertawa kering, jelas mencoba menutupi rasa malunya, kemudian mencuri pandang ke arah wajahku.


“Ngomong-ngomong, Rii-kun, kamu kelihatan lebih sehat dari yang aku bayangkan. Wajahmu cerah.”


“Benarkah? ...Yah, kalau dipikir-pikir, aku memang merasa lebih baik dibandingkan tadi pagi.”


Apakah mungkin interaksi panas antara aku dan Hazakura yang membaca buku dewasa tadi malah membuatku merasa lebih baikan? Jika dipikirkan begitu, mungkin itu adalah cara Hazakura merawatku, aku hanya bisa tersenyum kecut.


“Tapi kamu masih belum pulih sepenuhnya, jadi kami akan merawatmu dengan benar!”


Setelah berkata demikian, HimeMayu mulai mengaduk-aduk ranselnya.


Aku sempat tegang, membayangkan mungkin ada benda aneh yang akan dia keluarkan... 


Tapi ternyata yang dia ambil adalah sebuah apron dengan desain imut. Tampaknya apron itu buatan tangan, dengan aplikasi besar karakter favorit HimeMayu, Gasuneko, menempel di depannya.


“Bagus kan apron ini? Aku selalu pakai di rumah.”


Dengan gerakan terampil, HimeMayu mengikat rambutnya dengan karet dan mengenakan apron Gasuneko tersebut sambil tersenyum manis.


“Wow...”


Aku terpesona oleh pemandangan gadis gal populer di kelasku yang tampak sangat domestik, dan Hazakura melirikku dengan pandangan penuh kecemburuan. Dia juga bergumam, “Ternyata kamu suka hal-hal yang terlihat natural... catat, catat,” sembari mencatat dengan serius.


“Nee, Rii-kun. Boleh aku pinjam dapurmu sebentar?”


“Hm? Yah... silakan saja.”


“Aku bawa bahan makanan untuk membuatkanmu makanan bergizi.”


HimeMayu mengeluarkan tas belanja penuh bahan makanan dari dalam ranselnya, membuatku terkejut. Melihat kontras antara seorang gadis gal dan kantong belanja dari supermarket yang begitu mencerminkan kehidupan sehari-hari, membuat jantungku berdegup kencang sekali lagi.


“Aku juga akan memasak!” kata Hazakura.


“Oke deh, tunjukkan kemampuan masakmu, Hazakura-chan!” balas HimeMayu dengan penuh semangat.


“Baik! Aku akan berusaha keras!” jawab Hazakura, terlihat sangat bersemangat, mungkin karena ingin menyaingi HimeMayu.


“Rii-kun, kamu istirahat saja dengan tenang ya!” kata HimeMayu sambil tersenyum.


“A-ah, baiklah... terima kasih,” jawabku sambil menurut dan berbaring di tempat tidur, perlahan menutup mata. 


Namun, kenyataan bahwa ada dua gadis di bawah atap yang sama denganku membuat pikiranku terganggu, hingga aku tidak bisa benar-benar tertidur.


Akhirnya, aku hanya memejamkan mata dan mencoba merilekskan pikiran. Waktu berlalu begitu cepat, dan tidak lama kemudian kedua gadis itu kembali ke kamar.


“Rii-kun, maaf menunggu lama,” kata HimeMayu dengan nada riang.


Dengan senandung kecil, HimeMayu muncul membawa nampan dengan panci kecil berwarna biru muda yang terlihat menggemaskan.


Aku yakin aku tidak memiliki panci atau nampan dengan desain seimut itu di rumah. Tampaknya HimeMayu telah membawanya sendiri, menambah kesan bahwa dia benar-benar memperhatikan segalanya. Gadis gal ini memang luar biasa.


“Ini dia, bubur telur!” serunya dengan penuh antusias.


Aku melihat ke dalam panci yang dia letakkan di atas meja, di mana uap hangat menguar dari bubur telur yang terlihat lezat. Aku menelan ludah secara refleks.


“Uwahh, kelihatannya enak sekali...” ucapku kagum.


Poin tambahan untuk gadis gal yang ternyata pandai memasak dan memiliki sisi domestik yang luar biasa. Seperti yang diharapkan dari HimeMayu, seorang gadis yang bekerja keras untuk menjadi gal ideal. Aku tersenyum puas.


“Eh? Ada apa, Hazakura?” tanyaku.


Biasanya Hazakura akan melompat-lompat penuh semangat, memuji HimeMayu, tapi kali ini dia terlihat diam saja. Hazakura hanya tersenyum pahit dan menunduk sedikit.


“Jujur saja... Aku tadinya ingin membuat makanan yang lebih berenergi saat kamu sakit. Jadi aku berencana membuat ramen tonkotsu dengan nasi dan banyak char siu, tapi HimeMayu-chan memarahiku...”


“Ya ampun! Kalau kamu beri makanan berat seperti itu pada orang yang sedang lemah, dia bisa muntah, tahu!”


Hazakura terlihat jelas kecewa, bahunya merosot. HimeMayu mengusap bahu Hazakura dengan lembut sambil bercanda, mengembang-ngembangkan pipinya.


Jika bukan karena HimeMayu, aku mungkin sudah dipaksa makan ramen tonkotsu dengan nasi dan banyak char siu. Aku bergidik membayangkan itu. Meski mungkin saja itu justru membuatku bertenaga, aku tidak ingin mengambil risiko.


“Aku hargai niat baikmu, Hazakura,” ucapku untuk menghiburnya.


Setelah itu, aku berusaha mengambil sendok di atas nampan. 


Namun, HimeMayu dengan cepat menghalangi tanganku.


“Tidak boleh, Rii-kun. Kamu kan masih sakit, jadi harus tetap istirahat.”


“Ya, tapi kalau begitu aku tidak bisa makan bubur yang kamu buat,” jawabku.


“Tenang saja. Aku yang akan menyuapimu!” katanya dengan pipi merah, menatapku dengan ekspresi yang malu-malu namun penuh tekad.


HimeMayu mengangkat sendok berisi bubur dengan wajah merah padam seperti tomat matang, lalu tersenyum canggung. Meskipun ia mungkin bermaksud memberikan senyuman kecil yang menggoda, jelas sekali ia tampak sangat gugup. Namun, di situlah letak pesonanya yang polos dan menggemaskan.


“Me-me-menyuapi...?” tanyaku, terkejut.


“Y-ya! Maksudku, um... aku akan menyuapimu... a-aaan!” jawab HimeMayu dengan terbata-bata, wajahnya semakin merah.


Pernyataannya membuatku gemetar. Memang, disuapi oleh seorang gadis tentu menyenangkan. Siapa pun akan merasakannya, termasuk diriku. 


Namun, situasinya sudah cukup menegangkan dengan adanya dua gadis di kamarku yang membuatkan makanan untukku. Dan sekarang, HimeMayu ingin menyuapiku? Ini terlalu berlebihan!


Jika itu benar-benar terjadi, tali pengendalian diriku yang tipis bisa putus kapan saja, dan aku tak berani membayangkan apa yang akan terjadi setelahnya.


“Rihito-kun! Ada pepatah, ‘Tak makan suguhan yang sudah disiapkan adalah aib bagi seorang pria!’” ucap Hazakura dengan tegas, membuatku terpojok dengan dukungan tak terduga dari pihaknya.


Terjebak di antara dua gadis ini, aku akhirnya menyerah dan pasrah pada nasibku. HimeMayu pun mengambil bubur dari panci dan dengan hati-hati mendekatkan sendoknya ke mulutnya, meniup pelan-pelan untuk mendinginkannya.


Melihatnya begitu hati-hati meniup bubur itu terasa sedikit terlalu sensual, mungkin karena pikiranku sendiri yang sudah penuh dengan hal-hal aneh. Padahal, aku sudah cukup gugup dari awal, namun melihat HimeMayu yang juga malu-malu membuat situasi ini semakin membuatku gelisah. 


Di samping itu, Hazakura terus memandangku dengan mata penuh harap, yang hanya membuatku semakin merasa bersalah.


“Nah, Rii-kun, aaan...” HimeMayu menyodorkan sendok bubur di depan wajahku, dengan suara manis yang terdengar sangat lembut. Meski tangannya gemetar sedikit, aku tidak punya pilihan lain selain mempersiapkan diri dan membuka mulutku.


“A... aaaan,” jawabku dengan ragu, menerima suapannya dengan penuh tekad, seperti tentara yang siap menghadapi pertempuran.


Saat bubur hangat yang telah didinginkan dengan sempurna itu masuk ke dalam mulutku, aku mengunyah pelan, dan...


“Mm... enak sekali!” seruku spontan.


Rasa lezat bubur yang lembut itu mengalir melalui tubuhku yang lemah akibat demam, membuatku merasa jauh lebih baik. Jahe yang ditambahkan di dalamnya juga membantu menghangatkan tubuhku dari dalam, membawa energi kembali ke tubuhku yang lemah.


“Kamu benar-benar menyukainya? Wah, aku senang sekali!” HimeMayu terlihat begitu gembira hingga hampir menangis.


Namun, kegembiraannya segera terhenti ketika suara perut yang keroncongan terdengar di ruangan. Sumber suara itu? Tentu saja, Hazakura.


“Maafkan aku! Bubur buatan HimeMayu-chan terlihat begitu enak hingga aku tidak bisa menahan rasa laparku...!” Hazakura buru-buru meminta maaf dengan wajah merah padam. “Mengidam makanan orang lain adalah tindakan yang bertentangan dengan Bushido! Aku benar-benar menyesal!”


“Bu... Bushido?” HimeMayu melirikku dengan ekspresi bingung, tampaknya ingin bertanya apa yang dimaksud Hazakura.


“Samurai tidak boleh lapar, meski mereka tidak makan. Tolong, jangan pedulikan aku! Lanjutkan saja!” Hazakura bersikeras, meski wajahnya tampak penuh rasa malu.


HimeMayu memandang Hazakura yang tampak sangat menyesal dengan senyum lembut.


“Ahaha, jangan terlalu merasa bersalah! Aku sudah menyiapkan bubur untukmu juga, Hazakura-chan!”


“Eh! Serius?” tanya Hazakura dengan wajah berbinar.


“Yah, semua orang tahu kalau Hazakura-chan itu suka makan banyak,” jawab HimeMayu dengan nada riang.


“Waaah...! HimeMayu-chan, kau seperti dewi!” seru Hazakura, terharu hingga hampir berlutut di depan HimeMayu.



“Ah, tapi, kalau kau menerima makanan dariku, bukankah itu melanggar Bushido mu, Hazakura-chan? Samurai itu kan meski lapar tetap mempertahankan harga diri,” ucap HimeMayu sambil tersenyum usil.

“Agh...”

HimeMayu mencoba bercanda dengan senyum kecil ala gadis nakal, tapi bagi Hazakura, HimeMayu terlihat seperti iblis sungguhan. Ekspresi Hazakura terlihat sangat menderita, menahan air mata sambil menggigit bibir bawahnya.

“Maaf, maaf! Aku hanya bercanda! Hazakura-chan terlihat sangat imut, jadi aku tak tahan untuk menggodamu sedikit. Ayo, makan yang banyak ya!”

Dibujuk oleh HimeMayu yang sudah tampak sedikit panik, Hazakura akhirnya tersenyum cerah. Syukurlah, suasana mereka kembali damai.

Setelah menikmati bubur buatan HimeMayu, tubuhku terasa hangat, baik secara fisik maupun mental. Senyum Hazakura membuat hatiku nyaman, dan rasa syukur memenuhi diriku. Perlahan-lahan, kelopak mataku terasa berat.

Dan begitu saja, aku terlelap dalam kedamaian yang manis.

◆   ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧   ◆

“Kenapa bisa jadi begini?”

Aku menghela napas, memegang kepala, bingung dengan situasi aneh yang sedang kuhadapi.

“Biar aku jelaskan!”

Hazakura mengangkat tangan dengan penuh semangat dan memulai penjelasan dengan wajah serius.

“Setelah memakan bubur HimeMayu-chan dengan lahap, Rihito-kun tertidur nyenyak. Kemudian, sekitar satu jam setelahnya, dia terbangun dan ajaibnya, demamnya sembuh total dan dia kembali bugar! Tapi, karena keringat dingin yang keluar banyak, dia merasa tidak nyaman dan memutuskan untuk mandi. Itulah alasannya!”

“Terima kasih atas penjelasanmu yang sangat formal... Tapi sebenarnya aku tidak butuh penjelasan begitu,” ucapku sambil menghela napas, merasa putus asa dengan situasi yang tengah kuhadapi.

Di kamar mandi rumahku, aku hanya mengenakan celana renang. Sampai di sini, semuanya masih bisa dimaklumi.

Tapi yang tak bisa dimaklumi adalah...

“Kenapa kalian berdua juga ada di sini?!”

Teriakanku menggema di kamar mandi yang sunyi.

“Soalnya, aku khawatir... kamu baru saja sembuh, dan aku takut kalau-kalau kamu tak bisa mandi sendirian...” kata HimeMayu pelan.

“Jadi, kami memutuskan untuk membantu, demi kebaikanmu!” tambah Hazakura dengan penuh semangat.

“Aku menghargai kepedulian kalian, tapi secara fisik, kalian tidak perlu benar-benar ‘membantu’ seperti ini!” balasku, hampir putus asa.

Dengan takut-takut, aku melirik Hazakura dan HimeMayu.

Apa yang kulihat benar-benar membuatku kehilangan kata-kata. Begitu luar biasa hingga kata-kataku terbatas, seperti ketika Hazakura terlalu bersemangat.

Hazakura dan HimeMayu tidak lagi memakai seragam sekolah. Alih-alih, mereka berdua mengenakan... baju renang!

Hazakura memakai baju renang berwarna pink yang menggemaskan, penuh dengan daya tarik yang polos namun menggoda.

Sementara HimeMayu, dengan gaya ceria khas seorang gadis populer, tampil dalam baju renang biru muda yang memancarkan keseimbangan antara kegembiraan dan sensualitas.

Selain itu, keduanya mengenakan bikini yang sangat minim, menunjukkan hampir seluruh bagian tubuh mereka yang montok dan lembut tanpa ragu. Ke mana pun mataku memandang, baik Hazakura maupun HimeMayu memperlihatkan bagian tubuh yang sangat menggoda, menciptakan pemandangan yang memabukkan bagai neraka yang tak terhindarkan. Akibatnya, pikiranku dipenuhi dengan nafsu yang bergemuruh tak terkendali.

Bagi seorang remaja yang belum pernah merasakan cinta, ini adalah godaan yang terlalu berlebihan!

Memakai bikini pada dasarnya sama saja dengan setengah telanjang!

Bahkan bisa dibilang, mereka sudah hampir sepenuhnya telanjang!

“Siapa sangka, aku akan memakai bikini di rumah Rii-kun... Uuuuh,” gumam HimeMayu, hampir menangis saat berusaha menutupi bagian dada dan perutnya yang terbuka.

Aku menelan ludah, tak bisa berpaling dari pemandangan itu.

“Ehehe... Ini pertama kalinya aku memakai bikini, dan rasanya benar-benar bikin gugup. Hampir seperti memakai pakaian dalam saja...,” ucap Hazakura sambil tersenyum malu, wajahnya memerah.

Melihat Hazakura yang juga merasa canggung seperti HimeMayu, aku refleks menutupi bagian bawah tubuhku dengan handuk. Sudah cukup buruk secara visual, dan rasa malu mereka justru memperburuk situasi, menambah godaan terhadap pikiranku yang lemah!

Setiap kali Hazakura bergerak, dadanya bergetar hebat. Pemandangan itu begitu memukau hingga aku tak bisa mengalihkan pandanganku. Meski berusaha memalingkan mata dengan mengikuti logika, tubuhku tampaknya menolak mengikuti perintah itu...

Tolong aku, Zaizen-san! 

Aku membayangkan wajah temanku yang berkacamata dan berambut rapi di otakku untuk mendinginkan pikiranku. Beruntung, dengan bantuan imajinasi itu, aku berhasil menahan diri di saat-saat genting. Mungkin inilah yang disebut kekuatan persahabatan.

“Ngomong-ngomong, kenapa kalian bawa bikini?” tanyaku sambil batuk ringan, mencoba mengalihkan fokusku. Tentu saja, bayangan Zaizen tetap terpaku di pikiranku.

“Karena sudah kukira ini bisa terjadi, aku minta HimeMayu-chan membawakan dua bikini untuk kami!” jawab Hazakura dengan antusias.

Tentu saja, ini ulah Hazakura...!

“Awalnya aku kaget saat Hazakura-chan memintaku membawa bikini, dan sekarang aku benar-benar malu sampai rasanya mau mati... Tapi, melihat Rii-kun yang kebingungan seperti ini rasanya sepadan. Kamu imut saat sedang kebingungan, jauh berbeda dari saat kamu mencoba tampak keren... Iya, kan, Hazakura-chan?”

“Iya!” balas Hazakura penuh semangat, mengangguk cepat.

“Rihito-kun, aku terkejut bahwa di balik penampilanmu, kamu ternyata punya otot yang sangat bagus! Terutama otot lenganmu, terlihat sangat ramping dan macho! Pantas saja kamu pandai memanjat pohon!” ucap Hazakura dengan cepat, matanya berbinar penuh kekaguman.

Mendengar pujian cepat itu, HimeMayu hanya bisa tersenyum kikuk, “Eh... ya, begitu ya.”

“Hm? Tunggu, Hazakura... Kenapa tanganmu penuh busa?” tanyaku, tiba-tiba menyadari tangan Hazakura dipenuhi busa sabun mandi.

“Ini sabun mandi,” jawabnya polos.

“Ya, aku bisa lihat itu! Tapi kenapa kamu menggosok busa itu dengan tanganmu?” tanyaku lagi.

Hazakura tersenyum manis sambil memainkan busa di ujung jarinya, “Tentu saja, untuk membersihkan seluruh tubuh Rihito-kun dengan sempurna!”

“Aaah, tidak tidak tidak tidak!”

Aku mengeluarkan suara yang nyaring, panik dan kebingungan, namun Hazakura tidak memperhatikannya. 

Sebaliknya, dia terus menambah busa di telapak tangannya. Suara berbuih, licin, dan lengket dari sabun semakin menguat, seolah-olah mewakili nafsu yang terus membesar di dalam diriku.

“Ha-Hazakura! Ini terlalu berlebihan! Kamu bisa pakai handuk atau spons, bukan dengan tangan—”

“Aku sangat sadar ini mungkin tampak berlebihan! Tapi, berdasarkan buku favoritku karya Ayashiro-sensei, mencuci tubuh dengan tangan langsung adalah yang terbaik untuk tubuh yang masih lemah karena sakit!”

Apakah buku itu benar-benar bisa dipercaya? Jangan-jangan, itu buku yang mencurigakan?

“Jika mengikuti instruksi dari Ayashiro-sensei, tubuhmu akan bersih dan segar kembali!”

Detak jantungku berdetak kencang seperti alarm tanda bahaya.

“Tidak... ini tidak boleh terjadi... Ini salah!”

“Tenang saja, Rihito-kun. Kamu tidak perlu takut. Semua akan baik-baik saja,” kata Hazakura dengan suara lembut yang membuat sisa-sisa akal sehatku goyah.

Tangannya yang penuh busa semakin mendekat, tak ada tempat untuk melarikan diri di kamar mandi ini. Tubuhku yang masih lemah, dua gadis dengan pakaian renang, aroma sabun mandi, dan suara licin dari busa yang menggesek-gesek tubuh, semua itu membuat pikiranku kacau. 

Ada dada, paha, senyuman Hazakura yang serius, wajah malu HimeMayu, dan tentu saja... dada lagi.

Aku menyerah. 

Zaizen, sepertinya ini akhir dari segalanya untukku. 

Maafkan aku.

Namun, pada saat-saat terakhir, seperti kilat yang menyambar di kepalaku, sebuah pencerahan tiba-tiba muncul.

Sebuah perubahan pemikiran!

Perubahan paradigma yang revolusioner!

Ini... ini sehat! Iya, ini situasi yang sepenuhnya sehat, bukan sesuatu yang tak pantas! Mereka hanya berusaha membantuku, mencuci tubuhku dengan penuh niat baik. Dan kita semua memakai pakaian renang! Tidak ada yang tidak pantas di sini, semuanya normal dan sehat! Jika ada yang melihat situasi ini dengan cara yang tidak pantas, maka mereka yang mesum, bukan aku!

Dengan pikiran ini, aku meyakinkan diriku sendiri bahwa ini adalah situasi yang sehat dan menerima tangan Hazakura yang penuh busa. Meskipun alasan ini terdengar gila, aku hanya perlu bertahan dan membuktikan bahwa aku masih bisa menjaga diriku tetap murni...!

Dalam imajinasiku, bahkan Zaizen tersenyum seperti Buddha, jadi semuanya akan baik-baik saja.

“R-Rii-kun sudah siap menghadapi ini, ya... Baiklah! Kalau begitu, aku juga akan melakukan yang terbaik dan membantu Hazakura menggosok tubuhmu. Hazakura, aku ikut!”

“Ya! Mari kita mulai bersama-sama!”

Hazakura merespons dengan semangat yang luar biasa, dan perasaan cemas mulai menyelimutiku. Tepat pada saat itu—

“Kyah!”

Dengan terlalu bersemangat saat melangkah, Hazakura tergelincir pada busa sabun yang tumpah di lantai. Dalam upayanya untuk menahan diri agar tidak jatuh, dia mengulurkan tangannya dan, secara tak terduga, mencengkeram celana renangku.

Zzrrrt.

“Apa?”

Sejenak, kepalaku kosong. Otakku menolak untuk memahami apa yang baru saja terjadi.

Bagaimana bisa ini terjadi?

Tangan Hazakura yang jatuh kini memegang celana renangku. Ya, celana renangku yang baru saja aku pakai beberapa saat lalu. Tidak mungkin salah. Tidak mungkin ini hanya salah paham. Karena... saat ini, aku tidak lagi mengenakan celana renang.

Insiden yang tak disengaja. Namun, ini terlalu mengejutkan untuk diterima begitu saja.

Hazakura, dengan air mata yang mulai menggenang di matanya, gemetar sambil terus memegang celana renangku. Wajahnya semakin merah padam, dia bahkan lupa untuk berkedip, hanya menatap lurus ke satu titik.

Dan di ujung tatapannya... adalah aku.

Aku berdiri dengan linglung, dalam keadaan tanpa celana renang.

“────aaaa!”

Teriakan tak terucap dari Hazakura bergema di seluruh kamar mandi.

◆   ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧   ◆

Di luar, hujan turun dengan derasnya. Aku berdiri termenung di sudut kelas, memandang kosong pemandangan di balik jendela.

... Kemarin adalah hari yang luar biasa.

Begitu luar biasa hingga aku hampir lupa bahwa aku sempat terkena demam.

Saat aku mengenang kembali insiden di kamar mandi, wajahku mengerut, dan aku menekan perut bagian bawahku.

Aku hampir tidak ingat apa yang terjadi setelah itu. Yang masih tersisa di ingatanku hanyalah Hazakura yang terus-menerus meminta maaf dengan wajah merah padam, dan HimeMayu yang, dengan suara penuh kekecewaan, menggerutu, “Aku tidak bisa melihatnya dari posisiku... sialan!”

Bisa dibilang, meskipun aku berhasil lolos dari akhir yang berpotensi meruntuhkan akal sehat—dimandikan seluruh tubuh oleh dua tangan penuh busa—aku merasa seperti kehilangan sesuatu yang penting. Juga, entah bagaimana, aku merasa seperti ada pintu menuju preferensi baru yang baru saja diketuk... tapi aku memutuskan untuk mempercayai bahwa itu hanya perasaanku saja.

“Kenapa wajahmu terlihat begitu aneh?”

Zaizen tiba-tiba duduk di kursi di depanku sambil bertanya.

“…Wajahku memang selalu seperti ini,” jawabku dengan senyum kecil sambil mengangkat bahu. Zaizen ikut tersenyum samar.

“Baiklah, kalau begitu. Kupikir kau sedang memikirkan sesuatu yang mengganggumu,” lanjut Zaizen.

“Memikirkan sesuatu?”

“Ya, tentang rumor aneh yang kudengar.”

Aku terbiasa dengan rumor yang tidak benar dan kebencian tanpa alasan. Aku hampir bersikap acuh tak acuh seperti biasanya, namun kata-kata Zaizen membuatku terkejut.

“Rumor bahwa kau membawa Furukawa-san dan HimeMayu ke rumahmu dan melakukan hal-hal mesum dengan mereka. Benar-benar rumor yang konyol, bukan? Sepenuhnya bohong.”

Rumor yang sangat mendekati kenyataan hingga rumput pun tidak tumbuh di situ...

“Yah, meskipun itu hanya rumor, tetap lebih baik berhati-hati. Terutama karena fans fanatik HimeMayu jauh lebih ekstrem daripada fans Furukawa-san. Mulai dari laki-laki, perempuan, otaku, hingga gadis-gadis populer dan semua jenis orang, mereka semua tergabung dalam aliansi penggemarnya,” ujar Zaizen sambil membuat kacamatanya berkilau dan mengangkat bahu.

“Yang paling penting, kudengar HimeMayu sudah punya pacar yang berotot, jadi kau harus benar-benar berhati-hati.”

“Y-ya, kau benar... aku akan lebih waspada,” jawabku sambil tersenyum kecut, membayangkan tangan pacarnya yang kekar. Benar-benar seperti pepatah lama, ‘hantu yang menakutkan hanya ilusi belaka.’

“Lagipula, Kakei. Apakah kau baik-baik saja dengan keadaan seperti ini?”

“.........”

Keadaan seperti ini pasti merujuk pada situasi di mana aku dibenci karena dianggap seperti pria yang kasar terhadap wanita. Ini bukan hal baru bagiku. Sejak aku kecil, bahkan saat SD dan SMP, aku selalu menjadi orang yang tidak disukai. Aku sudah terbiasa.

Ini bukan hal yang aneh.

“Kau orang baik. Aku tahu itu,” lanjut Zaizen.

“Kalau kau sudah tahu, itu sudah cukup bagiku,” jawabku tenang.

“Haha, senang mendengarnya. Tapi, aku belum merasa puas.”

Zaizen menatapku dengan matanya yang tajam, namun suaranya tetap lembut saat ia melanjutkan.

“Kakei, bagaimana kalau kau benar-benar mencoba mengubah situasi ini? Memang, ini tidak akan mudah... Tapi, kalau Furukawa-san bersedia membantumu, itu akan sangat membantu. Dan kalau HimeMayu yang berpengaruh itu juga mau membantumu──”

“Itu sia-sia,” 

 Aku menundukkan pandanganku, memotong kalimat Zaizen.















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !