Suman! Kurasu de ninki no bungaku chap 3

Ndrii
0

Bab 3

Buat Aku Juga Menjadi Dewasa




Hujan yang semakin terasa di penghujung bulan Mei mulai menyelimuti udara dengan lembut.


“Yokkoi-sho.”


Dengan suara malas, Hazakura duduk di bangku tua di belakang gedung sekolah. Aku juga duduk di sebelahnya, menjaga jarak agar tidak terlalu dekat. Bersama-sama, kami mengucapkan “selamat makan” sambil merapatkan kedua tangan, lalu mulai menikmati makan siang seperti biasanya.


Aku membawa dua onigiri telur rebus dan air soda tanpa rasa, sedangkan Hazakura membawa banyak onigiri telur rebus, roti yakisoba, dan teh hojicha. 


Menurut Hazakura, untuk melewati pelajaran sore yang berat (matematika), kombinasi tiga jenis karbohidrat: nasi, mi, dan roti, adalah keharusan.


Sambil menyantap makan siang dengan semangat, kami berbicara tentang berbagai hal yang menyenangkan. Mulai dari novel yang sedang Hazakura gemari, manga favoritku, kisah tentang Rokuro-chan, rilisan baru Takodevi, streamer yang kami sukai, hingga video viral yang sedang tren. Percakapan kami seolah tak ada habisnya, meluas tanpa batas.


Di antara semua itu, aku merasa hangat melihat Hazakura dengan gembira menceritakan bagaimana ia mulai akrab dengan teman sekelasnya. Kini, Hazakura dikenal sebagai gadis cantik yang sedikit aneh, tapi itu justru membuatnya semakin populer di kelas.


...Sejujurnya, menurutku, Hazakura bukan hanya sedikit aneh, melainkan cukup unik.


Namun, bagaimanapun juga, aku senang melihat Hazakura yang asli diterima dengan baik oleh orang-orang di sekitarnya. 


Rasanya, hampir seperti aku ini orang tua, atau mungkin lebih tepatnya, guru yang bangga melihat muridnya.


“Ah! Rihito-kun, lihat ini!”


Dengan senyum segar yang tak terlihat seperti seseorang yang baru saja mengonsumsi banyak karbohidrat, Hazakura mengulurkan smartphone-nya di depan wajahku.


“Ini, HimeMayu-chan, imut sekali, kan?”


Di layar smartphone itu, terpampang video dari platform video sosial yang sangat terkenal di seluruh dunia. 


Video tersebut menampilkan HimeMayu yang menari dengan gaya lucu diiringi lagu yang sedang tren.


Melihat tubuh mungilnya bergerak lincah dengan tarian yang kocak... memang, dia beneran imut. 


Meski gerakannya tidak terlalu ahli, ekspresi dan gerak-geriknya punya daya tarik unik yang membuat orang tidak bisa berhenti menonton.


Seperti yang diharapkan dari gadis populer di kelas sebelah, HimeMayu juga tampaknya sangat mahir menggunakan media sosial.


“Hmm...?”


Tiba-tiba, aku menyadari jumlah pengikut di akun HimeMayu dan terbelalak.


“Hi-HimeMayu punya pengikut sebanyak ini...?!”


Bahkan bagi introvert sepertiku yang tidak terlalu paham media sosial, angkanya sangat mengejutkan.


“HimeMayu-chan sangat populer di media sosial!”


Dengan senyum bangga seperti baru saja dipuji, Hazakura mengangguk ceria.


“Pengaruhnya juga luar biasa! Makanan yang dia bilang enak pasti jadi tren, dan dia bisa mengadakan acara hanya dengan sekali ucap! HimeMayu-chan selalu berada di garis depan tren!”


Jujur, sepertinya aku telah meremehkan HimeMayu. Aku pikir hanya karena dia ada di kelas sebelah, aku tidak perlu terlalu peduli. Tapi, jika dia benar-benar menggunakan pengaruhnya, aku bahkan tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi.


Bisa saja, dia dengan mudahnya mempublikasikan sesuatu tentangku di internet dan menghancurkan reputasiku.


Sebelum terlambat, mungkin aku harus mempertimbangkan cara untuk berdamai. 


Tapi... aku ragu HimeMayu akan mau mendengarkan apa yang ingin aku katakan.


Sambil memutar otak, mencari ide yang tepat, aku terus melihat postingan di media sosial HimeMayu. Hingga akhirnya, aku menyadari pola tertentu dalam foto dan video yang diunggahnya.


“Hm? Ini...”


Aku menelan ludah dengan gugup dan dengan saksama memeriksa kembali foto dan video yang ada.


“Seperti yang kuduga. HimeMayu sering pergi ke Punk Park.”


“Punk Park?”


Hazakura mengulang kata-kata yang baru saja kukatakan, lalu menatapku dengan ekspresi kebingungan.


“Ya. Yodoro Punk Park. Taman hiburan yang begitu tidak populer hingga justru menjadi terkenal.”


“Oh! Aku ingat! Taman hiburan itu pernah jadi bahan perbincangan di media sosial, katanya jumlah pengunjungnya lebih sedikit dibandingkan staff, dan antriannya selalu kosong!”


“Tepat sekali.”


Aku tersenyum kecut mendengar reputasi buruk Punk Park yang bahkan Hazakura tahu. Aku kemudian menyerahkan smartphone-ku padanya.


“Tapi, kalau dilihat dari foto-fotonya, sulit untuk menyimpulkan kalau itu Punk Park, kan?”


Hazakura memandangi foto-foto di akun media sosial HimeMayu sambil mengernyitkan dahi.


Foto tersebut hanya menampilkan HimeMayu yang tersenyum nakal dengan sebuah tangan besar yang kemungkinan milik pacarnya. Memang, sekilas tak ada yang menunjukkan bahwa foto itu diambil di Punk Park.


“Lihat benda biru kecil di latar belakang HimeMayu?”


Mendengar penjelasanku, Hazakura menempelkan wajahnya lebih dekat ke layar dan meneliti foto itu dengan seksama.


“Eh... Oh! Benar juga! Ada benda kecil berwarna biru!”


“Itu adalah topi silinder milik maskot Punk Park, Gasu Neko. Lihat juga tanda bintang putih yang samar-samar terlihat di topi itu? Itu tanda edisi terbatas tahun ini.”


“Wow... Begitu rupanya.”


Saat menelusuri lebih jauh unggahan HimeMayu, tampak jelas bahwa ia setidaknya pergi ke Punk Park dua kali dalam sebulan untuk berfoto. Namun, setiap foto atau video yang diambilnya selalu menyembunyikan fakta bahwa ia berada di taman hiburan tersebut. Kalau bukan karena pengamatanku yang cermat, mungkin tak ada yang akan menyadari.


Mungkinkah dia sengaja menyembunyikan tempat tinggalnya? Tapi, di unggahan lain, dia jelas-jelas menampilkan lokasi-lokasi seperti Rokurozaka Shopping Street dan pusat perbelanjaan VIVI, yang membuatnya tampak aneh.


“Rihito-kun, kamu ternyata tahu banyak tentang Punk Park!”


“Yah... Dulu, aku cukup sering ke sana.”


Seperti biasa, itu adalah bagian dari usahaku untuk menghapus citra burukku sebagai pria yang terlihat seperti suka memukul wanita. Hasilnya? Bisa ditebak, aku malah semakin dibenci karena disangka berusaha mendekati wanita dan anak-anak dengan berpura-pura menyukai taman hiburan.


“Meski begitu, menarik juga melihat seorang gadis populer di dunia nyata dan media sosial sering pergi ke taman hiburan terpencil. Mungkin pacarnya maniak Punk Park?”


Wajah pacarnya tak terlihat di foto, tapi tangan besarnya yang gelap dan kekar memberiku petunjuk bahwa dia pasti pria yang cukup garang.


Tiba-tiba, Hazakura bertepuk tangan dengan penuh semangat, matanya bersinar-sinar. 


Aku langsung bersiap-siap, merasa bahwa Hazakura akan mengatakan sesuatu yang mengejutkan.


“Ayo kita pergi ke Punk Park!”


Lihat? Seperti yang kuduga, dia mengatakan hal aneh lagi.


“Kalau HimeMayu-chan sering ke Punk Park, mungkin kita bisa bertemu dengannya di sana.”


“Kita tak perlu jauh-jauh ke Punk Park, kita bisa menemui HimeMayu di kelas sebelah, kan?”


“Tapi, kalau di sekolah... Rihito-kun yang dibenci mungkin akan diacuhkan olehnya.”


Mengingat kembali reaksi HimeMayu sebelumnya, aku pun mengangguk setuju. 


“Kau benar.”


“Itulah sebabnya! Jika kita berpura-pura bertemu secara kebetulan di Punk Park, kita mungkin bisa berbicara dengannya tanpa membuat situasi menjadi canggung!”


“Paham. Itu masuk akal. Maaf, tadi aku pikir kau akan mengutarakan ide aneh lagi.”


“Eh, eh! ...Jadi, begitu ya! Duh, dasar!”


Hazakura berpura-pura marah dengan gaya yang sama sekali tidak menyeramkan, lalu kembali berseri-seri dengan semangat yang meluap-luap. Perubahan suasana hatinya benar-benar seperti roller coaster.


“Selain itu, aku juga ingin ke Punk Park! Kencan di taman hiburan sepertinya sangat dewasa dan romantis!”


Kencan di taman hiburan, ya.


Setelah kencan sepulang sekolah dan kencan di hari libur, sekarang kita sampai di tahap ini. Aku yang masih gugup setiap kali kencan setelah pulang sekolah, tak bisa membayangkan bagaimana rasanya pergi ke taman hiburan berdua. Rasanya perutku hampir meledak karena cemas dan tegang.


Namun, aku tak bisa memungkiri ada rasa antusias yang terselip di dalam hati.


Aku yakin bahwa pergi ke Punk Park bersama Hazakura akan sangat menyenangkan.


Dengan campuran perasaan cemas dan antusias, aku akhirnya memutuskan untuk menghadapinya dan mengangguk pelan.


“...Baiklah.”


Tidak ada gunanya terlalu banyak berpikir.


“Ayo kita pergi hari Minggu nanti.”


“Benarkah!? Yatta!”


Mendengar jawabanku, Hazakura melompat-lompat kegirangan. Seperti biasa, rok mini yang dikenakannya tersingkap, memperlihatkan celana dalamnya, dan dia langsung meringkuk karena malu—sebuah pola kejadian yang sudah sangat akrab.


...Oh, warnanya lime yellow.


◆   ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧   ◆


Setelah perjalanan kereta express selama satu setengah jam dari Stasiun Rokurozaka, ditambah lagi naik bus selama kurang lebih dua puluh menit, kami akhirnya tiba di taman hiburan yang terpencil.


Yodoro Punk Park.


Taman hiburan ini memiliki tema steampunk yang unik, dengan bangunan, wahana, dan karakter maskot yang semuanya didesain dengan sangat detail. Namun, ironisnya, taman ini tidak populer sama sekali. Bahkan, ketidakpopulerannya menjadi bahan viral di media sosial.


Meski sering dibahas di media sosial, kenyataannya, hampir tidak ada yang benar-benar ingin pergi ke sana—suatu ironi yang menyedihkan.


Ada tiga alasan utama mengapa taman ini tidak populer.


Pertama, akses yang sulit. Bagi penduduk setempat mungkin tidak masalah, tapi bagi orang yang datang dari jauh, menggunakan kereta dan bus sangatlah merepotkan. Apalagi, bus hanya datang satu jam sekali, dan tidak ada tempat menarik di sekitar stasiun terdekat untuk menghabiskan waktu sambil menunggu.


Kedua, tema steampunk-nya tidak menarik bagi anak-anak. Ini adalah genre yang sulit diterima anak-anak, dan jika sebuah taman hiburan tidak bisa menarik perhatian anak-anak, itu benar-benar masalah besar.


Ketiga, penataan dunia steampunk di dalam taman ini sangat lemah, hingga membuat penggemar steampunk sejati kecewa. Mereka mencoba fokus pada steampunk, tapi pada akhirnya malah melukai hati penggemar beratnya karena kurangnya perhatian terhadap detail penting.


Meski taman ini menggabungkan tiga faktor kegagalan tersebut, sebenarnya aku tidak membencinya. Bahkan, bisa dibilang aku menyukainya.


Meskipun penataannya berantakan, kualitas desainnya tetap tinggi dan suasana di dalam taman sangat bagus. Bagian-bagian yang kurang rapi malah memberikan bahan candaan, dan yang paling penting, karakter maskotnya sangat imut.


Saat aku terus berbicara tentang rasa cintaku pada taman ini, tak terasa kami tiba di Punk Park.


“Wow!”


Begitu melangkah masuk ke Yodoro Punk Park, Hazakura mengangkat kedua tangannya dan melompat-lompat kegirangan.


Hari ini, Hazakura mengenakan gaun rajut berwarna pink muda yang ia beli di VIVI. 


Tidak seperti rok seragam sekolahnya, gaun ini tidak akan tersingkap meski ia melompat-lompat, jadi sepertinya dia lebih sering melompat dari biasanya.


Namun, meskipun roknya tidak tersingkap, gaun yang ketat itu membuat dadanya bergerak naik turun dengan sangat bebasnya—sebuah pemandangan yang, meskipun menyenangkan, membuatku merasa bersalah karena terus memandanginya.


“Terlalu indah untuk dilihat, tapi rasanya seperti dosa,” pikirku.


“Ngomong-ngomong, hari ini aku memakai celana dalam yang Rihito-kun belikan, lho,” ucap Hazakura dengan wajah malu-malu.


Dengan suara kecil, ia menambahkan, “Tentu saja, aku juga memakai cincin couple kita... Jadi, hari ini aku memakai ‘perlengkapan lengkap’ dari Rihito-kun!”


Aku langsung teringat pada celana dalam mint green yang aku pilih secara online. Dan saat tanpa sengaja membayangkan Hazakura memakainya, tubuhku seketika terasa memanas.


“Ngomong-ngomong, aku juga membeli bra dengan warna yang sama dengan celana dalamnya, jadi semuanya sudah lengkap, jangan khawatir!”


Jadi, bra mint green juga... gulp.


Tidak, tidak! Aku tidak boleh terpancing seperti ini!


Aku sudah cukup tegang menghadapi kencan di taman hiburan ini, dan kini aku harus menahan diri dari godaan dengan pemandangan yang menggiurkan dan pengakuan tentang pakaian dalamnya. 


Aku hampir saja pingsan... Jika aku tidak berhati-hati, aku bisa benar-benar jatuh tak sadarkan diri. Aku harus menjaga fokusku! 


Dengan semangat baru, aku pun mencoba mengendalikan diri.


Sementara aku berusaha keras untuk menenangkan diriku, Hazakura tampak sangat menikmati dirinya, berlari-lari kecil dengan langkah ringan di sekitar Punk Park.


“Sangat luar biasa!”


Hazakura, begitu terbawa suasana, sampai kehilangan kata-kata. Matanya berkilauan ketika ia melihat-lihat sekitar di Gear Town, jalanan utama yang terletak tepat di belakang pintu masuk Punk Park.


Gear Town memiliki nuansa antik yang khas, penuh dengan dekorasi berupa roda gigi dan mesin uap yang tersebar di berbagai sudut. Lampu jalanan berbahan kuningan, serta papan tanda yang dioperasikan secara mekanik, semuanya berkontribusi pada atmosfer steampunk yang kental.


Jujur saja, jika dilihat hanya dari penampilan luar Gear Town, taman hiburan ini sangat bergaya dan indah, cukup untuk memuaskan siapa saja. 


Untungnya, atau sayangnya, karena pengunjungnya sedikit, kami bisa bebas berfoto di mana saja tanpa khawatir ada orang lain yang mengganggu.


Namun, pujian hanya sampai di sini. Semakin jauh masuk ke dalam taman, semakin jelas kekurangannya.


“Kira-kira, HimeMayu ada di sini nggak ya?” tanya Hazakura.


“Kita lihat saja sambil santai menikmati Punk Park,” jawabku. 


Tak ada gunanya terlalu bersemangat mencarinya, karena itu hanya akan membuat kami kelelahan dan mungkin terlihat seperti stalker.


“Siap!” jawab Hazakura dengan nada yang lebih tinggi dari biasanya. 


Meski taman ini tidak populer, suasana taman hiburan tetap membuat semangatnya naik.


“Rihito-kun! Untuk menikmati Punk Park sepenuhnya, bagaimana kalau kita memakai bando pasangan?”


Hazakura menunjuk sebuah toko yang tampak modis dengan penuh semangat, sambil tersenyum cerah. Namun, aku hanya bisa menundukkan kepala dan menggeleng.


“Bando, ya... Sayangnya, di Punk Park tidak ada yang seperti itu.”


“Apa?! Padahal memakai bando pasangan adalah impianku... Aku sangat kecewa... hiks.”


Melihat Hazakura yang murung dan lemas, aku merasa bersalah, namun sekaligus terpesona oleh keimutannya yang aneh.


“Jangan terlalu kecewa. Memang di Punk Park tidak ada bando, tapi ada item pengganti yang tak kalah menarik.”


“Benarkah?!”


Mendengar kata-kataku, Hazakura langsung kembali ceria. Aku, yang jarang menunjukkan ekspresi, merasa kagum pada perubahan drastis raut wajahnya. Aku bertanya-tanya apakah otot wajahnya tidak lelah terus berubah-ubah begitu.


“Toko favoritku ada di sini.”


Aku membimbing Hazakura menuju toko oleh-oleh langgananku.


“Wow!”


Dengan mata berbinar, Hazakura mengagumi interior toko yang terbuat dari batu bata.


Toko itu tidak hanya menjual barang-barang karakter Punk Park, tetapi juga penuh dengan berbagai barang impor. Suasananya tidak seperti toko souvenir di taman hiburan pada umumnya, melainkan lebih mirip toko pedesaan yang tenang. 


Barang-barang yang dijual pun bervariasi, mulai dari aksesoris unik hingga kerajinan tangan dari Eropa, Amerika Latin, dan Asia. Aku pribadi senang melihat desain aksesoris yang jarang ditemukan dan unik.


“Sebagai pengganti bando di Punk Park, ini dia!”


Aku dengan penuh percaya diri menunjukkan deretan topi silinder yang menghiasi rak-rak toko.


“Topi silinder...?”


“Ya! Ini adalah topi yang dipakai oleh empat maskot Punk Park! Desainnya sama dengan yang mereka kenakan!”


“Wah, keren! Topi silinder sebagai merchandise, itu sangat elegan dan imut!”


Dengan mata berbinar, Hazakura memandangi empat jenis topi silinder yang berwarna biru muda, pink, kuning, dan hijau. Namun, setelah memperhatikan lebih dekat, ekspresi wajahnya berubah bingung.


“Eh, kok jumlah topi silindernya tidak merata ya? Yang biru muda dan pink terlihat lebih banyak, sedangkan yang kuning dan hijau sangat sedikit.”


“Itu karena perbedaan popularitas,” jawabku datar sambil menunjuk rak boneka di sebelahnya.


“Wah, banyak sekali boneka yang lucu! Tapi... sepertinya jumlahnya juga tidak merata...”


Seperti yang dikatakan Hazakura, boneka-boneka di rak tersebut juga menunjukkan ketimpangan jumlah yang sama seperti topi silinder. Melihat ini, aku merasa perih seakan melihat gambaran kecil dari ketidakadilan di dunia.


“Sambil menjelaskan soal perbedaan popularitas ini, aku akan memperkenalkan karakter-karakter maskot. Pertama, lihat ksatria kucing yang memakai masker gas itu. Dia adalah maskot utama Punk Park dan yang paling populer, namanya Gasuneko.”


“Wah, kucing yang ada di papan nama stasiun tadi! Lucu sekali! Jadi, dia yang memakai topi silinder biru muda itu?”


“Betul. Karena itulah topi silinder biru muda memiliki jumlah terbanyak. Di sebelahnya, ada kelinci dengan topeng kupu-kupu. Itu adalah Rabby, yang berperan sebagai putri. Dari jumlah barangnya, kau bisa tahu dia adalah karakter terpopuler kedua.”


Silk hat berwarna biru muda milik Gasuneko dan silk hat berwarna merah muda milik Rabby mendominasi hampir 80% rak toko.


“Dan di sudut ini, di bagian yang tertutup debu, ada Dogdog dan Gekorino II,” kataku.


Dogdog adalah anjing penemu yang memakai kacamata pelindung, sementara Gekorino II adalah bangsawan katak dengan kumis kaisar yang megah. Karena kurang populer, silk hat kuning dan hijau yang mereka kenakan hampir tidak pernah terjual, sehingga jumlahnya pun sedikit.


Secara pribadi, aku merasa kasihan pada Gekorino II yang paling tidak populer, dan entah bagaimana aku merasa bisa berempati dengannya karena nasibnya yang kurang diterima, mirip dengan diriku.


“Meskipun mereka imut, sayangnya mereka tidak populer, ya. Kasihan sekali,” ucap Hazakura dengan dahi berkerut sambil mengusap kepala boneka Gekorino II. 


Namun, saat menyadari debu menempel di telapak tangannya, ia mengerutkan wajah dan mundur.


“…Sebenarnya, Gekorino II dulunya adalah karakter antagonis yang meracuni dan membunuh adik Gasuneko,” kataku.


“Apa?” Hazakura terdiam, terlihat bingung dengan pernyataanku. Tentu saja, siapa pun akan terkejut jika mendengar cerita tentang racun dan pembunuhan saat membicarakan karakter taman hiburan. Aku juga memiliki reaksi yang sama ketika pertama kali mengetahuinya.


“Salah satu alasan mengapa Punk Park tidak populer adalah karena cerita karakternya terlalu berat. Ada pembunuhan, perselingkuhan, pengkhianatan, penelantaran, hingga cuci otak—semua hal yang cukup menyeramkan.”


“Serius...?” jawab Hazakura dengan kaget.


“Tapi baru-baru ini, pihak manajemen merasa ceritanya terlalu kelam dan memutuskan untuk mengubah plot. Mereka menghidupkan kembali adik Gasuneko yang dibunuh oleh Gekorino II. Sayangnya, perubahan ini malah membuat marah para penggemar lama Punk Park.”


“Sepertinya banyak sekali masalah di balik karakter-karakter ini, ya...” kata Hazakura, sambil memandangi karakter-karakter yang terlihat menggemaskan namun dibebani dengan kisah kelam.


◆   ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧   ◆


“Ahh... Huff... Huff... Itu sungguh menyenangkan…” ucap Hazakura dengan suara lembut, wajahnya memancarkan kepuasan yang dalam.


“Ahaha, ini pertama kalinya aku berteriak begitu keras. Rasanya sungguh melegakan!”


Hazakura meregangkan tubuhnya dengan senyuman penuh kebebasan. Wajahnya bersinar dengan kegembiraan yang memancar.


“Y-ya... aku senang Hazakura menikmatinya...” jawabku dengan suara lemah, nyaris kehabisan tenaga.


Setelah membeli silk hat di toko suvenir, kami langsung menuju wahana roller coaster berbentuk kapal terbang—Sky Zeppelin. Hanya memikirkan wahana itu membuatku merasa mual. Itu adalah wahana ekstrem yang penuh tikungan dan guncangan, sesuatu yang benar-benar sulit bagiku.


Bagi introvert sepertiku yang tidak tahan dengan wahana ekstrem, itu terasa seperti neraka. Indera keseimbanganku hancur berantakan, dan hasilnya adalah kondisi menyedihkan ini.


Namun, ada satu hal yang menarik. Meskipun Sky Zeppelin dikenal sebagai atraksi paling populer di Punk Park, kami tidak perlu menunggu lama untuk naik. Bahkan, kami berdua dapat menikmatinya sendirian, sebuah keistimewaan yang mencerminkan kualitas Punk Park yang sepi.


“Rihito-kun, kamu baik-baik saja? Bagaimana kalau kita istirahat sebentar di bangku itu?”


Kami duduk di bangku di alun-alun yang dikelilingi oleh menara jam dari perunggu. Aku merasa benar-benar kelelahan, sementara Hazakura memandangiku dengan khawatir. Dia kemudian mengeluarkan sebotol teh hijau dari tasnya dan menyerahkannya kepadaku.


“Mau minum?”


“A-ya… Terima kasih,” jawabku sambil menerima teh tersebut dengan rasa syukur.


Aku meneguk teh hojicha yang diterima dari Hazakura, merasakan tenggorokanku mulai terasa lebih baik. Berkat kebaikan Hazakura, detak jantungku perlahan-lahan mulai stabil, meskipun otakku masih terasa berputar-putar.


“Maaf... Seharusnya kita bisa menikmati kencan di taman bermain ini dengan lebih baik,” ucapku sambil menghela napas. 


Rasanya sangat disesalkan karena aku tidak bisa menikmati wahana yang seharusnya menyenangkan akibat kelemahan sistem keseimbanganku.


“Tidak, tidak, jangan merasa terlalu bersalah begitu!” Hazakura buru-buru menggelengkan kepala. 


“Justru aku yang minta maaf karena memaksamu ikut wahana ekstrem meski kamu tidak suka.” Dia menundukkan kepala, dengan silk hat merah muda yang dikenakannya bergerak sedikit saat ia membungkuk.


“Tunggu, bagaimana kalau kamu berbaring sebentar?” ucap Hazakura dengan nada lembut, sambil menepuk-nepuk pahanya.


“...Eh?” gumamku lemah. 


Melihat pahanya yang kenyal dan empuk, biasanya aku akan merasa gugup dan menunjukkan reaksi seperti orang yang tak berpengalaman, tapi karena kondisiku yang lemah, aku tidak bisa berkata apa-apa. 


Tanpa berpikir panjang, aku dengan pasrah menyandarkan kepalaku di pangkuannya.


...Lembut sekali!


Kelembutan luar biasa dari pahanya membuatku hampir kehilangan kesadaran. Dari neraka wahana ekstrem, tiba-tiba aku merasa seperti berada di surga. 


Kelembutannya begitu tak terbayangkan hingga aku merasa pikiranku semakin kacau.


Namun, saat aku mulai hanyut dalam kenyamanan, tiba-tiba terdengar suara keras menggelegar di dekat telingaku, membuatku terkejut dan langsung bangun.


“Apa itu tadi...?!”


Apakah itu gempa? Atau suara binatang buas? Aku panik melihat sekeliling, tapi tidak ada yang aneh. Saat aku menatap Hazakura, dia tampak menunduk dengan tangan di perutnya, wajahnya memerah.


“Hehe... Perutku lapar, sampai bersuara begitu,” katanya malu-malu.


Jadi itu hanya suara perutnya, pikirku sambil merasa konyol. Namun, karena kejadian itu, pikiranku jadi lebih segar dan kondisiku pun membaik. Aku pun tersenyum kecil.


“Yah, ini sudah waktunya makan siang. Bagaimana kalau kita cari makan?”


Meskipun waktu makan siang biasanya akan membuat antrean panjang di tempat wisata biasa, di sini—di taman hiburan yang sepi seperti Punk Park—kami tidak perlu khawatir tentang hal itu. Aku tersenyum pahit dengan rasa kepercayaan diri yang aneh, menyadari situasi ini.


◆   ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧   ◆


Di sebelah timur dari kawasan Gear Street, ada alun-alun menara jam yang dikelilingi oleh berbagai restoran. Beberapa restoran memiliki eksterior bergaya steampunk, tapi ada juga restoran Itali, Cina, dan bahkan tempat makan tradisional Jepang yang tidak ada unsur steampunk sama sekali.


Keanekaragaman ini terasa menyegarkan, seperti hidangan yang campur aduk. Aku pribadi menyukai suasana yang tidak teratur ini, meskipun penggemar steampunk sejati menganggap ini sebagai kelemahan besar. Aku bisa memahami perasaan mereka.


“Rihito-kun, lihat itu!” seru Hazakura sambil menepuk-nepuk pinggangku.


Mengikuti arah jari telunjuknya, aku melihat seorang gadis pirang dengan rambut mesh berwarna biru muda mengenakan jaket oversized berjalan sendirian. Dia memakai silk hat biru yang sama dengan Gasuneko, tampak menikmati waktunya di Punk Park. Namun, tidak ada tanda-tanda keberadaan teman atau kekasih di dekatnya.


Apakah dia datang ke taman bermain sendirian? Aku sendiri pernah datang sendirian, tapi rasanya mustahil seorang gadis populer seperti dia akan datang sendirian ke taman bermain yang sepi ini. Kecuali dia akan bertemu dengan pacarnya nanti, hal ini terasa cukup aneh.


“Ayo kita hampiri dia sekarang!” seru Hazakura dengan semangat.


“Tunggu sebentar. Kalau kita tiba-tiba menghampirinya, dia mungkin akan kabur. Lebih baik kita lihat dulu situasinya,” jawabku cepat.


Selain itu, jika pacarnya tiba-tiba muncul saat kami mendekatinya, itu bisa membuat situasi menjadi canggung.


“Ah, benar juga!” kata Hazakura sambil mengangguk. Namun, tepat setelah itu, perutnya kembali berbunyi dengan suara yang lucu, membuat wajahnya merah padam.


“Eh... sepertinya perutku menyetujui ide itu,” katanya malu-malu, tersenyum canggung.


Aku hampir tak bisa menahan diri dari tergoda oleh kelucuannya, tapi aku mencoba sekuat tenaga untuk tetap tenang. Jika aku kehilangan kendali, Hazakura mungkin akan merasa risih, dan itu bisa menarik perhatian HimeMayu—gadis yang sedang kami perhatikan.


Sementara itu, HimeMayu berjalan dengan langkah kecil menuju sebuah restoran bergaya western yang tampak cukup rapi.


“Kebetulan sekali, bagaimana kalau kita makan di sana juga?” usulku.


“Wah, mengejarnya sambil makan seperti mata-mata, seru sekali!” Hazakura tampak bersemangat.


Kami pun masuk ke restoran bergaya western itu, dan seperti yang sudah kuduga—atau mungkin lebih dari yang kuduga—restoran tersebut hampir kosong. Tidak ada pelanggan lain selain kami dan HimeMayu. Malahan, sepertinya jumlah pelayan lebih banyak daripada pelanggan.


“Usahakan jangan membuat suara, kita tidak ingin dia sadar,” kataku dengan suara pelan.


“Baik!” balas Hazakura, juga berbisik.


Kami duduk di tempat yang tak terlihat dari meja HimeMayu. Dia tampak terbiasa dengan situasi itu, cepat memesan makanan, dan mulai memeriksa ponselnya dengan ekspresi yang lesu. 


Apakah dia sedang menunggu pacarnya? Entah kenapa, wajahnya terlihat sangat tak bersemangat, jauh dari kesan seseorang yang sedang menunggu kencan.


Saat menunggu pesanan kami tiba, aku dan Hazakura berbincang-bincang ringan. Tak lama, pelayan mengantarkan makanan ke meja HimeMayu. Yang dia pesan hanyalah pasta tarako biasa, tanpa elemen steampunk sedikit pun.


Aku memiringkan kepala, heran. Namun, yang terjadi setelah itu membuatku benar-benar tercengang.


Setelah memastikan pelayan pergi, HimeMayu membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah benda yang tampak aneh dan mengerikan.


“Apa itu...?” bisikku pelan, nyaris tak percaya dengan apa yang kulihat.


Bahkan Hazakura, yang biasanya tenang, membelalakkan matanya karena terkejut.


Benda yang dikeluarkan HimeMayu adalah... sebuah replika tangan. Tangan itu tampak sangat realistis, menyerupai tangan pria dengan kulit kecokelatan, kasar, dan kekar, hanya bagian dari pergelangan hingga jari. Dari kejauhan, benda itu terlihat seperti tangan manusia sungguhan, membuat suasana makan siang di restoran ini terasa aneh dan menyeramkan.


“Apakah... itu trend terbaru di kalangan gadis-gadis? Atau mungkin semacam gaya hidup orang dewasa? Jika begitu, aku harus belajar lebih banyak... catat, catat,” kata Hazakura sambil dengan serius menulis di buku catatannya, tampak bingung tapi tetap berusaha memahami situasi.


Aku tidak tahu apakah dia benar-benar bingung atau hanya bodoh, tapi ini tidak bisa dibiarkan. Kalau begini terus, Hazakura bisa terbawa ke arah yang salah!


Apakah benar membawa replika tangan yang begitu realistis adalah tren terbaru di kalangan gadis-gadis? Jika benar itu yang sedang populer di media sosial, aku tidak bisa memahaminya. Namun, semakin kupikirkan, semakin sulit bagiku untuk mempercayainya. Rasanya lebih mungkin jika HimeMayu memiliki semacam fetish terhadap tangan.


HimeMayu dengan cekatan membiarkan tangan replika tersebut memegang garpu yang sudah dililit pasta, lalu menggunakan tongkat selfie untuk mendekatkan tangan itu ke wajahnya. Seolah-olah tangan tersebut sedang menyuapinya pasta.


Tak hanya itu, HimeMayu kemudian mengambil ponselnya dan dengan ekspresi menggoda, tersenyum manis, mengembungkan pipinya, dan bahkan menjulurkan lidahnya ke arah replika tangan tersebut. Sepertinya ia sedang menggunakan aplikasi tanpa suara untuk mengambil selfie.


Sambil mengamati tingkah lakunya yang aneh, tiba-tiba aku merasa merinding. Aku menyadari ada kemiripan yang mencolok antara tangan replika yang dibawa oleh HimeMayu dan tangan pacarnya yang sering ia unggah di media sosial. Ukurannya yang besar, kulitnya yang kecokelatan, serta tampilannya yang kasar dan berurat—semuanya sama persis.


Apakah mungkin dia begitu mencintai pacarnya hingga membuat replika tangan ini? Atau mungkin dengan mengambil foto bersama tangan replika itu, ia mencoba mengisi kekosongan karena tidak bisa bertemu dengan pacarnya?


Sambil memutar otak memikirkan semua itu, aroma harum dari meja kami tercium. Rupanya, makanan yang kami pesan sudah tiba. Di depanku terhidang sepiring carbonara, sementara di depan Hazakura ada bolognese ukuran besar dan semangkuk nasi.


Tak ada gunanya terus menerus memikirkan ini, lebih baik mulai makan dulu. Melihat Hazakura yang sudah tampak sangat lapar, aku merasa kasihan jika terus menahannya lebih lama.


“Ayo makan,” ajakku.


“Ya! Mari kita makan yang banyak untuk mengisi energi! Selamat makan!”


Sambil melirik Hazakura yang lahap memakan pasta dan nasinya, aku sesekali melirik ke arah HimeMayu. Sepertinya dia sudah selesai dengan sesi selfie-nya, karena tangan replika tersebut sudah disimpan kembali ke dalam tas, dan kini dia dengan tenang menikmati makanannya. Ekspresinya seakan menyiratkan kepuasan setelah menyelesaikan sesuatu.


◆   ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧   ◆


Setelah selesai makan dan keluar dari restoran, kami melanjutkan untuk diam-diam mengikuti HimeMayu. Walaupun aku merasa sedikit bersalah karena menguntitnya, aku tak bisa menahan rasa penasaran, terutama setelah melihat replika tangan tadi. Dengan berbagai pertanyaan yang berputar di kepalaku, aku akhirnya memutuskan untuk terus mengamati.


HimeMayu berjalan dengan langkah yang mantap, seolah-olah dia tahu persis ke mana dia akan pergi, melintasi taman bermain Punk Park dengan percaya diri.


“Kecepatan jalannya HimeMayu-chan cukup cepat, ya,” komentar Hazakura.


“Ya. Selain itu, dia menggunakan jalan pintas yang bahkan aku tak tahu, sepertinya dia sangat terbiasa dengan Punk Park,” jawabku.


Semakin kami mengikuti, semakin terlihat sisi buruk Punk Park. Yang pertama terlihat adalah komidi putar yang sangat biasa.


Tak ada sedikitpun elemen steampunk pada komidi putar itu—hanya komidi putar biasa yang terlihat seperti dari taman bermain pada umumnya. Padahal, setidaknya mereka bisa menambahkan beberapa roda gigi pada kuda-kudanya atau melapisinya dengan baju zirah perunggu untuk sedikit sentuhan steampunk. Namun, kenyataannya sangat jauh dari itu, hanya menambah kekecewaan.


Selanjutnya, ada gokart yang biasa saja, cangkir berputar yang biasa saja, dan bianglala yang juga biasa saja. Ini membuat seolah-olah konsep taman bermain steampunk hanyalah sebuah kebohongan. Bahkan, menyebutnya ‘biasa’ terasa terlalu murah hati, kualitasnya sangat rendah dan tampak murahan.


Di depan bianglala yang mengecewakan itulah HimeMayu akhirnya berhenti. Dia merapikan topi sutra birunya dan menunjukkan ekspresi tenang, seolah-olah menikmati momen itu.


Apakah ini tempat yang dituju olehnya? Apakah mungkin HimeMayu sedang menunggu pacarnya di sini? Ketika aku masih mencoba menebak-nebak, tiba-tiba muncul sosok besar yang berjalan dengan lambat dari balik bianglala dan mendekati HimeMayu dengan langkah canggung.


Itu adalah Gase Neko, ksatria kucing yang mengenakan masker gas, maskot paling populer di Punk Park.


“Wah! Itu Gasuneko! Wah, aslinya jauh lebih imut daripada yang di foto!” seru Hazakura, tak bisa menahan kegembiraannya.


Di tengah suasana taman yang murahan, desain Gasuneko yang detail malah membuat kontrasnya semakin kentara. Apakah mungkin HimeMayu datang ke sini hanya untuk bertemu Gase Neko? Jika dia penggemar berat Punk Park, dia mungkin sudah tahu kapan dan di mana karakter ini akan muncul.


Namun, sebelum aku bisa menyelesaikan pemikiranku, tiba-tiba HimeMayu dan Gasuneko mulai menari dengan gaya yang aneh dan konyol.


“Apa-apaan ini...?”


Sambil menatap mereka menari dengan gaya lucu dan canggung, Hazakura menunjukkan senyum polos yang bersinar cerah. “Lucu banget! Imut banget!” serunya dengan semangat yang membuat kosakatanya berkurang, seperti biasa ketika dia terlalu bersemangat.


Namun, HimeMayu dan Gasuneko tampaknya tidak sedang merekam tarian mereka dengan ponsel. Kalau mereka menari untuk diunggah ke media sosial, aku mungkin masih bisa memahaminya, tetapi ini...?


Setelah insiden dengan tangan replika, kini HimeMayu kembali menunjukkan perilaku aneh dengan menari bersama maskot tanpa alasan jelas. Aku mulai merasakan hawa misteri yang semakin dalam dari sosok HimeMayu, yang membuatku bergidik. Apakah dia lebih ‘gelap’ daripada yang aku bayangkan?


Setelah menari sebentar, HimeMayu menundukkan kepalanya dengan sopan kepada Gasuneko, lalu melanjutkan langkahnya dengan penuh keyakinan. Kami pun kembali mengikutinya dengan diam-diam.


Tujuan berikutnya adalah jalan yang penuh dengan kios-kios yang memiliki nuansa asing. Cahaya mencolok dari kios-kios itu terasa kontras dengan suasana sebelumnya, tetapi tetap mengeluarkan kesan murahan. Kios-kios tersebut tampak berantakan dan tidak memiliki elemen steampunk sama sekali.


Di kios-kios tersebut, berbagai makanan seperti pancake sepuluh yen, boba, permen buah, nata de coco, kue 2D, canelé, pancake, kopi lemon, dan maritozzo—berbagai makanan khas dari era Reiwa dan Heisei—semuanya dijual secara acak.


“Yay! Aku beli pancake sepuluh yen! Panas banget!” Hazakura menggigit pancake sepuluh yen yang baru dia beli dengan senyum lebar.


“Enak banget! Keju ini meleleh banget! Uuh, meleleh banget!”


Melihat Hazakura begitu menikmati keju yang meleleh dari pancake itu benar-benar menghangatkan hatiku. Walaupun dia sering mencoba bersikap dewasa, sisi polos dan kekanak-kanakan seperti ini tetap menjadi salah satu pesonanya yang terbaik.


“Kita baru saja makan siang, tapi dia tetap bisa makan banyak,” komentarku, sambil tersenyum melihat Hazakura berjuang dengan keju yang lengket.


Setelah itu, aku kembali memfokuskan perhatianku pada HimeMayu. Rasa penasaran semakin memuncak, ingin tahu apa lagi yang akan dia lakukan. Hatiku berdebar-debar, campuran antara rasa takut dan antisipasi.


HimeMayu membeli dua potong ikan aji goreng kecil yang ditusuk di sebuah tusukan. Dari papan nama kios, terlihat bahwa makanan itu adalah produk baru yang disebut “Pocket Aji Fry.”


Seperti sebelumnya, HimeMayu kembali melepas topi sutra birunya, lalu mengeluarkan replika tangan dari tasnya. Sekali lagi, meskipun sudah tahu, melihat tangan replika itu keluar dari tasnya tetap saja membuatku bergidik.


Seperti waktu makan siang tadi, dia menaruh Pocket Aji Fry di tangan replika itu dan mulai mengambil selfie. Sambil mengawasinya, tiba-tiba Hazakura, yang sedang menggigit pancake sepuluh yen keduanya, berseru, “Ah!”


“HimeMayu baru saja memposting sesuatu di media sosial!”


Di layar ponsel yang ditunjukkan oleh Hazakura, terlihat foto HimeMayu yang tersenyum manis dengan gaya menggoda, bersama tangan replika berkulit gelap yang memegang ikan aji goreng, seolah-olah sedang bersilang dengan tangan pacarnya. 


Di bawah foto tersebut, terdapat teks: “Menghabiskan waktu di tempat hits bersama pacar! Bukankah Pocket Aji Fry yang baru ini imut banget? Bentuknya seperti hati, siapa tahu bisa menaikkan keberuntungan cinta!”


“Apa-apaan ini...” Aku bergumam kaget, sementara Hazakura yang masih asyik dengan kejunya, mengangguk setuju.


“Mengejutkan sekali, ya! Siapa sangka, ternyata ikan aji goreng bisa meningkatkan keberuntungan cinta!”


“Bukan itu intinya,” balasku sambil setengah mengabaikan Hazakura yang terlalu fokus pada makanannya.


Aku memandang lebih dalam ke arah postingan HimeMayu. Menghabiskan waktu bersama pacar di tempat keren? Memang, dari foto itu terlihat seolah-olah HimeMayu sedang asyik berduaan dengan pacarnya, tetapi kenyataannya sama sekali berbeda. 


Faktanya, dia hanya sedang berswafoto dengan tangan replika di sebuah taman hiburan yang hampir tidak ada pengunjungnya.


Apakah mungkin tangan replika itu benar-benar representasi pacarnya? Pikiran seram itu melintas di benakku, dan sebelum aku sempat mencerna lebih jauh, aku sadar HimeMayu sedang menatap tajam ke arah kami. Rupanya, kegemparan kami atas postingannya membuatnya menyadari bahwa kami telah mengikutinya.


“Kakei Rihito...!”


Dengan wajah marah, HimeMayu berlari ke arah kami, langkahnya berderap.


“Dan kamu juga, Hazakura-chan!”


“Selamat siang!” jawab Hazakura dengan riang.


“Selamat siang... bukan itu yang ingin kubicarakan!” HimeMayu memotong, kesal karena Hazakura tetap ceria meskipun situasi tegang. Dengan telunjuknya yang dihias kuku biru mencolok, dia menuding wajahku.


“Apa yang kalian lakukan di sini? Sejak kapan kalian mengawasi?”


“Uhh, kalau soal sejak kapan... yah, itu…” Aku tak bisa merangkai jawaban yang tepat, tapi dari raut wajahku, HimeMayu sepertinya sudah menyadari jawabannya.


“Maafkan aku,” aku akhirnya berkata sambil menundukkan kepala.


“Aku ingin bicara sebentar. Apakah kau bersedia?”


HimeMayu terlihat mengalah, wajahnya tampak pasrah saat dia mengangguk kecil.


◆   ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧   ◆


Sore hari itu, taman hiburan yang telah dibalut oleh rona jingga terasa penuh dengan nuansa melankolis, seolah-olah memancarkan kesedihan yang menandakan akhir dari dunia. Pemandangan monumen kuningan yang bercahaya keemasan karena sinar matahari terbenam menambah kesan steampunk yang lebih kuat dibandingkan siang hari.


Di alun-alun dekat menara jam, kami duduk di bangku yang dikelilingi roda gigi.


“Haaah…” HimeMayu menghela napas panjang, bahunya merosot dengan ekspresi lelah.


“Jadi, sejak kapan kalian mengikutiku?” tanyanya dengan nada setengah putus asa.


Mengingat tidak ada gunanya menyembunyikan apa pun sekarang, aku memutuskan untuk jujur.


“Sejak makan siang. Kami tak sengaja melihatmu, dan kami tak bisa menahan rasa penasaran, jadi kami mengikutimu. Sekali lagi, maafkan kami.”


“Maafkan kami!”


HimeMayu memandang wajahku dan Hazakura secara bergantian dengan senyuman getir di bibirnya.


“Serius? Kalian benar-benar melihat semuanya... Kalau begitu, sudah tak ada gunanya menyembunyikannya lagi,” katanya sambil mengeluarkan replika tangan dari dalam tasnya.


“Ini, inilah rahasia soal ‘pacarku’. Oh, tapi tenang saja, aku tidak jatuh cinta pada tangan ini atau merindukan seseorang sampai harus menggunakan replika tangan ini. Tidak ada cerita menyeramkan seperti itu.”


Mendengar penjelasan HimeMayu, aku merasa lega. Setidaknya, skenario horor yang sempat terlintas di benakku segera dibantah olehnya.


“Aku cuma berpura-pura punya pacar, itu saja,” lanjutnya.


“Berpura-pura punya pacar...?” tanyaku sambil mengernyit.


“Ya, aku tidak punya pacar sebenarnya,” jawabnya singkat.


Dia tampak ragu sejenak, membuka dan menutup mulutnya beberapa kali seolah sedang mempertimbangkan kata-kata yang ingin diucapkannya. Akhirnya, setelah menghela napas panjang, dia melanjutkan dengan penuh semangat.


“Aku ini, belum pernah punya pengalaman pacaran.”


Aku terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Tentu, mudah bagiku untuk merasa terkejut, tapi jelas sekali dalam situasi seperti ini HimeMayu tidak mungkin berbohong.


“Dan, sebenarnya, aku agak canggung—atau mungkin bisa dibilang tidak suka—dengan laki-laki,” katanya, sambil melirik ke arahku dengan ekspresi bersalah, alisnya sedikit terangkat.


Aku benar-benar terkejut mendengar bahwa gadis populer di kelas sebelah, yang terkenal sebagai seorang gal, ternyata tidak pernah punya pacar, tidak pernah punya pengalaman cinta, dan bahkan tidak nyaman dengan laki-laki.


“Tapi di dunia nyata maupun online, aku ini seorang gal yang punya banyak penggemar. Kalau fakta itu terungkap, pasti mereka akan kecewa, kan? Jadi, aku menggunakan replika tangan ini untuk berpura-pura punya pacar,” jelasnya.


Dia mengangkat tangan replika itu ke langit sore yang mulai memerah, tersenyum getir.


“Oh ya, soal saran cinta yang sering aku berikan ke orang-orang... Aku biasanya mempelajarinya dari manga atau internet. Walaupun begitu, anehnya aku masih bisa memberikan nasihat yang lumayan. Hahaha...”


Aku terdiam. Meski kami awalnya hanya mengikutinya karena penasaran, kini aku sadar bahwa kenyataan yang dimiliki HimeMayu sangat sensitif dan rapuh. Itu membuatku bingung harus bereaksi seperti apa, apakah aku boleh lebih jauh mengajukan pertanyaan atau tidak. Sementara aku masih merenung, tiba-tiba Hazakura mengangkat tangannya dengan antusias.


“U-um! Bolehkah aku bertanya sesuatu?”


“Hmm... tentu saja, Hazakura-chan,” jawab HimeMayu sambil bermain-main dengan rambut pirangnya.


“Aku ingin tahu kenapa tadi kamu menari bersama Gasuneko?”


HimeMayu tertawa kecil, terlihat sedikit malu mendengar pertanyaan itu.


“Kalian bahkan melihat yang itu juga, ya? Memalukan sekali...”


Meskipun pertanyaan Hazakura tampak tak terduga, aku yakin dia mencoba meringankan suasana tegang ini.


“Itu sebenarnya latihan untuk tarianku yang ingin kubuat viral di media sosial. Kalau aku menari sendirian, aku tidak bisa menyadari kesalahanku. Karena aku sering datang ke Punk Park, aku jadi akrab dengan Gasuneko, dan dia dengan senang hati mau membantuku latihan.”


Karena karakter dari taman hiburan yang terpencil ini, Gasuneko bisa meluangkan waktunya untuk menemani HimeMayu berlatih tari.


“Sejak kecil, aku suka banget sama Punk Park. Meski di internet taman ini sering dikritik habis-habisan, dan aku mengerti kenapa orang bisa ngomong kayak gitu… Tapi tetap saja, aku suka tempat ini.”


“Memang banyak hal yang bisa dikritik, tapi kalau nggak terlalu dipikirin, taman ini sebenarnya cukup bagus,” jawabku sambil tersenyum sinis.


Melihat reaksiku, HimeMayu juga tersenyum, matanya melembut.


“Kamu ngerti juga ya.”


“Aku punya tiket tahunan soalnya,” kataku sambil mengeluarkan dompet bertema Gekorino II, dan memamerkannya dengan wajah bangga.


HimeMayu tampak kaget, matanya terbuka lebar, lalu dia menarik dompetnya yang bertema Gasuneko dari tasnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi.


Pada saat itu, kami, sesama penggemar Punk Park, saling memahami tanpa kata-kata. Di sisi lain, Hazakura yang tidak punya dompet tahunan hanya berdiri canggung, tidak tahu harus berbuat apa.


“Punk Park ini enak, nggak banyak orang jadi bisa bebas foto-foto, nggak khawatir ketemu orang yang kita kenal, bisa latihan nari sama Gasuneko, dan bisa cari makanan di kedai yang mungkin bakal viral. Taman ini tempat yang sempurna buat aku memainkan peran sebagai gal yang sempurna.”


Setiap hal yang diucapkan HimeMayu mengungkapkan seberapa besar usaha yang dia curahkan.


Mulai dari pura-pura punya pacar dengan foto palsu menggunakan replika tangan, belajar dari manga dan internet supaya bisa menjawab pertanyaan soal cinta, berlatih menari supaya bisa viral di media sosial, hingga memeriksa tren makanan di kedai untuk mendahului tren.


Dia melakukan semua ini demi tetap menjadi gal yang populer, baik di dunia nyata maupun di dunia maya.


Namun, dari semua itu, aku tak bisa tidak melihat HimeMayu sebagai bayangan dari Hazakura, yang juga memerankan seorang gadis sastra. HimeMayu, seperti Hazakura, mungkin juga berusaha keras untuk memenuhi harapan orang lain, supaya tidak mengecewakan mereka.


“Ini mungkin hanya perasaan, tapi selama aku bisa terus menjadi gal yang ideal, aku siap melakukan apa saja. Kebohongan, kepura-puraan, semua aku lakukan. Karena, bukankah keren kalau boneka karakter yang imut tetap menjaga profesionalismenya meskipun di dalamnya mungkin ada pria tua?”


HimeMayu tersenyum getir, dengan nada yang sedikit sinis, mengungkapkan egonya dengan jujur.


“Oh, tapi aku nggak melakukannya karena kewajiban atau pengorbanan, ya. Aku nggak merasa terbebani. Malahan, aku ini seseorang yang penuh hasrat untuk diakui. Aku suka banget dipuji dan diperhatikan! Jadi, memainkan peran gal ini sebenarnya sesuatu yang aku nikmati sekaligus mendapatkan manfaat darinya.”


Mendengar kata-kata HimeMayu yang begitu terbuka, Hazakura menundukkan pandangannya dan tersenyum lemah.


“Kamu luar biasa, HimeMayu. Aku sendiri tidak bisa mempertahankan peranku sebagai gadis sastra seperti itu.”


“Hazakura-chan...”


HimeMayu memandang Hazakura dengan mata yang menyiratkan kesedihan, lalu mengangkat bahunya. Setelah itu, dia tiba-tiba memasang ekspresi serius dan membungkukkan badannya dalam-dalam.


“Maaf!”


“Eh? Apa yang terjadi? Tolong, jangan menunduk begitu!”


Hazakura terlihat panik melihat HimeMayu yang masih menunduk, tetapi HimeMayu dengan tenang mulai mengungkapkan permintaan maafnya.


“Aku... merasa simpati padamu, Hazakura-chan. Meskipun kita berbeda dalam hal citra—kamu gadis sastra dan aku gal—tapi kita berdua sama-sama berusaha memenuhi harapan orang lain. Selain itu, kita juga sama-sama tidak punya pengalaman cinta.”


Kata-kata HimeMayu terdengar lemah dan bergetar.


“Itulah sebabnya... ketika aku melihat Hazakura-chan berhenti menjadi gadis sastra, dan melihatmu bersama Kakei Rihito, aku merasa kecewa secara sepihak. Sekarang aku sadar, itu sangat buruk. Ini hanya tindakan memaksakan harapan idealku kepada orang lain... Maafkan aku!”


HimeMayu dengan putus asa meminta maaf, wajahnya tampak begitu menyesal. Hazakura, dengan senyuman lembut, berkata, “Tidak apa-apa,” menenangkannya. Senyuman itu berbeda dari biasanya. Bukan senyuman ceria yang biasa ia tunjukkan, melainkan senyuman penuh penerimaan, seperti dewi yang penuh kasih sayang, siap merangkul siapa saja.


“Terima kasih, Hazakura-chan,” jawab HimeMayu, mengangkat kepalanya dan memberikan senyum terbaik yang bisa ia berikan.


“Anu, HimeMayu. Boleh aku juga bertanya sesuatu?” tanyaku.


HimeMayu tersenyum lebar secara dramatis, dan dengan nada yang hampir bisa membaca pikiranku, dia berkata, “Kamu mau tanya kenapa aku begitu terobsesi menjadi gal yang ideal, kan?” Dia berdiri perlahan, memandangku.


“Oke, karena sudah sejauh ini, aku akan ceritakan semuanya,” lanjutnya dengan nada pasrah.


Di bawah sinar matahari senja yang merah menyala, rambut pirangnya yang berbaur dengan highlight biru tampak berkilau.


“Aku ingin menjadi... gal yang ideal, yang tidak akan pernah mengecewakan siapa pun.”


Kemudian, HimeMayu mulai berbicara, suaranya penuh dengan campuran rasa sedih dan getir.



◆   ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧   ◆


“Ketika aku masih di SMP, aku adalah seorang otaku yang sangat sederhana, bahkan belum pernah berdandan.”


HimeMayu mulai menceritakan masa lalunya dengan tenang, yang tampaknya jauh dari penampilannya yang mencolok saat ini.


“Aku tidak punya teman, tidak bisa berbicara dengan orang lain, dan hanya seorang introvert yang payah... Tapi, ada satu orang yang dengan lembut menyapaku, merangkulku, dan menjadi temanku. Dia adalah Watarase-senpai.”


“Watarase-senpai?”


“Ya. Watarase Miyabi-chan... Dia adalah senpai yang memperkenalkanku pada dunia gal.”


Dengan tatapan yang penuh kenangan manis, HimeMayu menundukkan kepalanya.


“Watarase-senpai adalah seorang gal yang tidak membedakan siapa pun—baik laki-laki maupun perempuan, orang populer atau yang tidak. Dia bergaul dengan siapa saja, tanpa pengecualian. Dia seperti gal yang keluar langsung dari manga, baik hati terhadap otaku. Dia keren, cantik, terlihat dewasa, tetapi kadang-kadang juga sangat kekanak-kanakan, dia adalah orang yang sangat menawan.”


Kata-kata “adalah” membuatku merasakan perubahan suasana, seperti ada sesuatu yang buruk akan terjadi, dan aku menahan napasku.


“...Watarase-senpai berubah setelah dia mendapatkan pacar. Karena pengaruh pacarnya, dia berhenti menjadi gal, mulai menjauh dari semua orang, dan hidupnya menjadi berantakan... Gal ideal yang kami kagumi tidak lagi ada.”


HimeMayu menyeka air mata yang mengalir di sudut matanya dengan lengan jaketnya, suaranya serak saat melanjutkan ceritanya.


“Bagi diriku, alasan perubahan Watarase-senpai adalah karena dia tergoda oleh seorang laki-laki. Mungkin sejak saat itu, aku mulai membenci laki-laki. Aku berpikir bahwa semua laki-laki pasti sama seperti dia.”


Meskipun mengungkapkan trauma dari masa lalunya, HimeMayu tertawa kuat di bawah matahari senja. Tawa itu bukan karena memaksakan diri, bukan juga karena putus asa, melainkan tawa cerah dari lubuk hatinya.


“Itulah mengapa aku memutuskan untuk menjadi seorang gal. Untuk menjadi gal ideal seperti Watarase-senpai! Aku merasa, jika aku tidak melakukannya, semua kenangan indah bersama Watarase-senpai akan tercoreng.”


Alih-alih menyerah pada kejatuhan gal idealnya, HimeMayu memilih untuk bangkit dan menjadi gal ideal itu sendiri.


Pasti itu adalah jalan yang sangat sulit. Meski membenci laki-laki, dia berpura-pura memiliki pacar dan terus berusaha keras agar orang lain tidak mengalami hal yang sama.


Ternyata, gadis populer di kelas sebelah ini adalah hasil dari usaha keras dan impian yang ia kejar.


“Haha... Aku jadi cerita serius, ya. Tidak seperti diriku yang biasanya.”


HimeMayu tertawa kering, dan aku hanya bisa tersenyum menanggapinya.


“Begitu, ya... Jadi itu sebabnya kamu memusuhiku dan menyatakan perang.”


Dari sudut pandang HimeMayu, aku yang mengubah penampilan Hazakura terlihat seperti laki-laki yang telah menjerumuskan Watarase-senpai.


“M-maaf...”


“Tidak, aku tidak menyalahkanmu. Aku sudah terbiasa dibenci.”


Sebelum dia sempat menyelesaikan permintaannya maafnya, aku menyela dengan senyum pahit. “Tapi, izinkan aku mengatakan satu hal.”


“Aku bukan pria seperti yang kamu bayangkan.”


“…Apa?”


Aku perlahan menatap wajah HimeMayu yang sedikit cemas, terlihat ragu-ragu sebelum dia memiringkan kepalanya sedikit.


“Aku bukan tipe pria yang memanipulasi Hazakura... atau pria yang terlihat seperti suka memukul wanita. Singkatnya, aku ini tidak punya pengalaman cinta, alias... masih perjaka!”


Setelah mendengar pengakuanku, HimeMayu hanya terdiam, mulutnya ternganga lebar. Dia tampak terpaku.


Aku merasa, setelah mengetahui rahasianya, aku juga harus membuka rahasia diriku. Namun, aku mulai khawatir apakah seharusnya aku tidak mengatakan ini. Apakah aku baru saja merusak suasana serius? Apakah ini bisa dianggap sebagai pelecehan? Keringat dingin mulai mengalir di dahiku.


Namun, HimeMayu tidak menunjukkan tanda-tanda penolakan atau jijik. Dia malah menatapku dengan mata terbelalak, seakan masih tidak percaya.


“S-serius?”


“...Iya, serius.”


“Seriusan banget?”


“Ya, ini benar-benar serius! Aku perjaka sejati!”


HimeMayu menatap wajahku untuk beberapa saat, seolah-olah mencoba mencari kebohongan, tapi akhirnya dia tersenyum kecil.


“Melihat tampangmu, sulit dipercaya... tapi sepertinya kamu tidak berbohong.”


“Oh! Tapi, bukan berarti aku meremehkan kamu karena masih perjaka! Aku juga sama, kok! Hanya saja, entah kenapa... aku merasa sedikit simpati.”


Sambil menatapku dari bawah dengan sedikit ragu, pipi HimeMayu mulai merona. Wajahnya sekarang tampak jauh lebih manis daripada imej yang selama ini dia tampilkan sebagai gal yang penuh percaya diri.


“...Eh? Tunggu sebentar, kalau begitu, apa hubunganmu dengan Hazakura? Kalau kamu belum pernah pacaran, berarti kalian tidak sedang berpacaran?”


“Hah? Tentu saja tidak! Kami hanya punya hubungan master-murid! Rihito-kun adalah master ku yang akan membuatku menjadi dewasa!”


Dengan semangat, Hazakura menjawab tanpa ragu. Melihat itu, HimeMayu tertawa kecil.


“Apa-apaan itu! Hahaha! Tapi terdengar menarik, sih.”


Melihat Hazakura dan HimeMayu tertawa bersama dengan santai, aku merasakan hatiku hangat.


“HimeMayu, izinkan aku juga untuk meminta maaf.”


“Hah?”


“Maafkan aku! Aku juga telah salah menilai dirimu.”


Setelah aku menundukkan kepalaku dalam-dalam, HimeMayu tampak bingung, “Eh? Kenapa kamu juga minta maaf?” Dia terlihat kaget dan bingung. Namun, sama seperti sebelumnya, aku tetap pada posisiku, tidak bergerak, dan mengungkapkan semua yang ada di hatiku.


“Awalnya, aku berpikir kamu adalah orang yang sangat menyebalkan. Setelah kamu mendeklarasikan permusuhan terhadapku, aku bahkan berpikir kamu akan mempermalukanku di media sosial dan menghancurkanku secara sosial.”


“Hahaha, jangan khawatir. Aku tidak akan melakukan hal sekejam itu.”


“Ya, sekarang aku mengerti. Kamu bukan orang seperti itu. Setelah melihat tindakanmu sepanjang hari ini, dan mendengar kata-katamu tadi, aku menyadari betapa salahnya penilaianku.”


Usaha tanpa henti untuk menjadi gal yang ideal, tekad yang tidak tergoyahkan untuk mewujudkan cita-citanya, dan keberanian untuk dengan jujur mengakui bahwa dia menyukai perhatian. Semua itu, cara HimeMayu menjalani hidup, sangat bersinar bagiku.


Begitu terang, sampai-sampai aku merasa ingin memalingkan wajahku karena silau.


“Jujur saja, aku sangat kagum... Kamu keren, menurutku pribadi.”


“K-keren? Diriku? Apa yang kamu bicarakan! Ini semua hanya pura-pura! Aku ini hanya berpura-pura jadi gal yang tampak berpengalaman, padahal tidak pernah punya pengalaman cinta! Hahaha, ini konyol, kan?”


Dengan tawa ringan yang terkesan bingung, HimeMayu menatapku, lalu aku membuka mulutku dengan tenang.


“Aku tidak akan mentertawakanmu.”


Setelah mendengar ucapanku, HimeMayu tampak tertegun. Senyumnya yang dibuat-buat perlahan memudar, dan perasaan malu mulai muncul di wajahnya yang merah.


Kemudian dia berkata, “Ah... e-ehm... ugh... mmm.”


HimeMayu mengeluarkan suara isak tangis yang tidak berbentuk, bergantian menatap wajahku dan Hazakura. Dalam sekejap, air mata besar mengalir deras dari matanya.


“H-HimeMayu? M-maaf!”


Aku panik melihat HimeMayu yang terus menangis tanpa henti, dan tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya, aku hanya bisa memegang kepalaku dan mondar-mandir kebingungan.


“Jika ucapan anehku menyakiti perasaanmu, aku benar-benar minta maaf!”


“…Bukan itu, bodoh.”


Dengan air mata yang terus mengalir, HimeMayu tersenyum malu.


“Aku hanya menangis karena merasa tenang.”


“…Tenang?”


Setelah melirik wajahku yang bingung, HimeMayu menatap ke arah Punk Park yang mulai gelap di malam hari dan mengangguk lemah.


“Iya… Sebenarnya aku sangat takut. Setelah berani menceritakan semua rahasiaku… aku khawatir, jika orang-orang akan menertawakan diriku. Selain itu, aku terus merasa tidak nyaman jika semua orang mengetahui rahasiaku ini...”


Setelah mengatakan itu, HimeMayu menundukkan kepalanya lagi.


“Maaf. Sebenarnya, aku sudah siap untuk diancam.”


“Hei, hei, tidak mungkin aku melakukan hal sekejam itu.”


Aku berusaha bercanda untuk meredakan suasana, tapi HimeMayu tetap mengulangi permintaan maafnya dengan suara tersendat, “Aku benar-benar minta maaf karena menilai orang dari penampilan.”


Melihatnya terus menunduk, hatiku merasa sakit. Tanpa sadar, aku mengulurkan tangan—


“Jangan minta maaf lagi. Kamu tidak melakukan kesalahan apapun.”


—dan dengan lembut mengelus kepala HimeMayu.


“…Eh!”


Saat menyadari kepalanya bergetar di telapak tanganku, aku segera menarik tanganku kembali. Tadi aku melakukannya tanpa berpikir, tapi saat ini aku sadar betapa anehnya aku melakukan hal itu! Mengelus kepala seorang gadis dengan sembarangan…!


“M-maaf!”


“Pu—!”


HimeMayu yang melihatku panik malah tertawa terbahak-bahak.


“Ahahahaha.... Kenapa kamu minta maaf padaku, sementara kamu bilang jangan minta maaf? Hahaha!”


“U-uh...”


Sambil tertawa terbahak-bahak, HimeMayu menghapus air matanya dengan lengan jaketnya. Dia menatapku dengan senyuman ceria.


“Aku ternyata membuat kesalahan besar.”


“Kesalahan?”


“Iya. Setelah kejadian dengan Watarase-senpai, aku berpikir semua pria itu buruk. Tapi ternyata, itu hanya salah paham dan prasangka bodoh dariku.”


Lalu HimeMayu menatapku dengan mata berkaca-kaca.


“Semua ini berkatmu, Kakei Rihito-kun. …Tapi, memanggilmu dengan nama lengkap di sini terasa dingin, ya? Hmm, bagaimana kalau aku panggil ‘Kakei-kun’? Atau ‘Rihito-kun’? Hmm, tidak ada yang pas. Ah, aku harus memilih yang lebih imut!”


“Tak perlu memanggilku dengan sebutan yang imut,” ingin kukatakan, tetapi sebelum itu terucap, HimeMayu tiba-tiba berkata, “Ah! Aku dapat ide yang bagus!” sambil tersenyum.


“Rii-kun!”


Eh?


“Rii-kun itu imut, kan! Oke, mulai sekarang aku akan memanggilmu Rii-kun!”


“T-tunggu sebentar—”


“Tidak boleh! Rii-kun sekarang sudah jadi Rii-kun!”


Setelah tersenyum lebar, HimeMayu tiba-tiba mulai mengatur napas dengan mendalam. Sepertinya dia sedang berusaha mengatur ritme, menghirup dan menghembuskan napas berkali-kali. 


Aku dan Hazakura hanya bisa menonton dengan penuh rasa ingin tahu... 


Akhirnya, setelah mengakhiri napas dalam-dalam, HimeMayu membuka matanya lebar-lebar. Dia menunjuk wajahku dengan jari telunjuknya dan berseru dengan suara yang keras.


“Nee, Rii-kun! Jadikan aku dewasa juga!”


N-n-n-n-n-n-n-n!


“A-apa yang kau katakan! Kau ini!”


Pernyataan mengejutkan itu membuatku kebingungan. Namun, entah kenapa, HimeMayu tampak lebih panik daripada diriku, wajahnya berubah merah seperti tomat.


“Ahaha, maaf. Aku tidak sengaja mengucapkan hal aneh. Serius, apa yang aku katakan... ya, aku ini.”


Dengan suara bergetar, HimeMayu tertawa dan menggoyangkan kepalanya dengan lemah.


“…Aku sendiri juga tidak mengerti. Ketika berbicara dengan pria lain, aku bisa berperan sebagai gadis nakal dengan lebih alami. Tapi sekarang terasa sangat aneh. Aku tiba-tiba memanggilmu Rii-kun dan mengatakannya ingin menjadi dewasa. Hatiku terasa campur aduk...”


HimeMayu berbicara dengan cepat sambil menatapku dengan tatapan anggun. Entah kenapa, ekspresinya terlihat sangat muda, seolah-olah dia adalah seorang anak kecil yang tersesat, penuh dengan kecemasan dan kebingungan.


“Campur aduk…”


Hazakura mengulang kata-kata aneh HimeMayu dengan wajah serius. Namun, dia tidak melanjutkan pernyataannya.


“Tetapi… karena itu, Rii-kun, jadikan aku dewasa. Ajariku apa sebenarnya rasa campur aduk ini. Jika aku tahu, aku merasa bisa lebih dekat dengan menjadi gadis ideal.”


“J-jika kau meminta agar aku menjadikanmu dewasa, itu...”


“Tenang saja! Aku pasti tidak akan menjadi seperti Watarase-senpai!”


“A-aku tidak khawatir tentang itu...”


“Sebenarnya, aku malah ingin menjadi gadis nakal yang menggodamu, Rii-kun!”


Meskipun itu membuatku khawatir, aku mengangkat bahu. Wajah HimeMayu masih merah membara, tetapi tampaknya kecemasan dan kebingungan sebelumnya telah memudar. Mungkin selama perdebatan kami yang canggung, dia telah melepaskan perasaannya.


“Jadi, Rii-kun! Senang bertemu denganmu!”


Sepertinya aku tidak memiliki hak untuk menolak.


“Ah! Kita harus cepat, parade malam akan segera dimulai! Hazakura-chan juga ingin melihat parade, kan? Gasuneko yang menari penuh semangat adalah tontonan yang wajib!”


Tanpa menunggu jawaban, HimeMayu meraih tangan Hazakura dan melesat pergi dengan tergesa-gesa.


Hari ini, peristiwa yang lebih cepat dan dramatis daripada perjalanan di Sky Zeppelin membuatku sulit untuk mengikuti alurnya. Namun, mungkin ada baiknya untuk bersyukur bahwa semuanya telah berakhir dengan baik. 


Jika dipikir-pikir, keberadaan HimeMayu sebagai murid yang aneh ini sedikit mengurangi beban pikiranku. 


…Meski itu juga bisa dibilang sebagai pelarian dari kenyataan.


Dengan kesimpulan itu, aku segera mempercepat langkah untuk mengejar keduanya.


Seperti yang dikatakan HimeMayu, tarian di parade malam adalah sesuatu yang tidak boleh dilewatkan.


◆   ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧   ◆


Aku masih saja tetap terpesona setiap kali menyaksikan Parade Malam di Punk Park. 


Entah seberapa tidak populernya atau seberapa konyol pengaturannya, serta banyaknya celah untuk dikritik, semua emosi negatif itu seakan menguap oleh kilauan lampu yang berwarna-warni. Dan para karakter maskot Gasuneko yang menari dengan penuh semangat dalam gaya breakdance terus mencuri perhatian kami.


Kostum yang berbentuk bulat itu melompat dengan lincah, melakukan gerakan windmill yang seolah dapat menimbulkan badai, dan itu sangat mengesankan, mengingatkanku pada masa kanak-kanak ketika aku mengagumi pahlawan yang tidak nyata.


“Rihito-kun.”


Sambil melirik HimeMayu yang terpesona oleh headspin yang menakjubkan dari Gasuneko, Hazakura berbicara dengan suara lembut.


“Apa menurutmu ‘campur aduk’ yang dialami HimeMayu itu sebenarnya apa?”


“Eh! T-tentu saja aku tidak bisa tahu itu!”


Ketika aku secara tidak sengaja terkejut, Hazakura memandangku dengan tatapan tajam dan senyuman penuh makna.


“Bagaimana jika itu adalah perasaan cinta?”


“Perasaan cinta…?”


“Ya! Tentu saja, perasaan cinta pada Rihito-kun!”


“N-n-n-n-n! HimeMayu… suka padaku?! Tidak mungkin, tapi…!”


Kata-kata Hazakura yang langsung dan tak tertutup itu membuatku tidak bisa memberikan tanggapan yang pantas, dan hanya bisa terdiam canggung. Bahkan jika aku mengabaikan statusku sebagai perjaka, aku merasa sangat memalukan. Pandangan hangat Hazakura sangat menyiksa.


“Hmm, hmm. Meskipun kau canggung, tampaknya kau tidak sepenuhnya menolak. Menarik. …Jika demikian, aku juga harus berusaha agar tidak kalah dari HimeMayu!”


Setelah mengatakan itu, Hazakura menatapku dengan mata yang penuh tekad. Terang oleh cahaya gemerlap, Hazakura terlihat lebih bersinar daripada biasanya.


“Rihito-kun. Pertama-tama, izinkan aku untuk meminta maaf atas kejadian di upacara masuk.”


Kenangan upacara masuk yang penuh dengan bunga sakura muncul kembali, dan aku mengernyitkan dahi.


“…Apa maksudmu?”


“Ah, ternyata kau tidak menyadarinya.”


Hazakura tersenyum lemah saat melihatku yang kebingungan dan melanjutkan.


“Pada hari upacara masuk, aku adalah orang yang rok nya tersangkut di pagar belakang gym, sehingga aku tidak bisa bergerak.”


“Eh…?!”


Kenyataan yang diungkapkan Hazakura membuatku tertegun.


“Aku memang cenderung tersesat, jadi aku tidak sengaja berakhir di belakang gym. Ketika aku berusaha keluar ke lapangan, rokku tersangkut di pagar… Ah, sungguh memalukan, kan?”


Saat itu, aku berusaha untuk tidak melihat wajahnya terlalu jelas, jadi ingatanku tentang kejadian itu samar-samar. Namun, ketika aku mengingatnya lagi, aku ingat dia mengenakan rok yang sangat panjang, dan sepertinya itu adalah Hazakura saat masih menjadi gadis sastra. Tidak kusangka, bahwa dia adalah gadis itu…!


“…Pada saat itu, Rihito-kun terlihat sangat keren. Saat upacara dimulai, kau tampak panik dan hampir menangis karena tidak bisa berbuat apa-apa. Namun, kau benar-benar menolongku. Terima kasih.”


Setelah dengan tenang menundukkan kepala, Hazakura melanjutkan, “Dan, maaf. Setelah itu, aku melihat Rihito-kun disalahpahami oleh teman-teman sekelas dan mendapat kata-kata kasar, tetapi aku tidak bisa membela sama sekali──”


“Itu tidak perlu kau khawatirkan. Aku sudah bilang, aku terbiasa dibenci.”


Lagipula, meskipun Hazakura membelaku, mungkin tetap akan ditafsirkan buruk, dan pada akhirnya, aku pasti tetap akan dibenci. Ya, aku sudah tahu itu dari pengalaman sebelumnya. Tidak peduli seberapa keras aku berusaha, aku ditakdirkan untuk menjadi orang yang dibenci.


“Walaupun begitu…”


Hazakura terdiam sejenak, kebingungan, dan menggelengkan kepala. Kemudian, dengan tatapan yang sepertinya menyimpan banyak kata-kata yang ingin diucapkan, dia menatapku dan perlahan membuka mulutnya.


“Sebenarnya, setelah upacara masuk, aku terus mengikuti Rihito-kun. Aku ingin mengucapkan terima kasih dan meminta maaf. …Tapi, pada saat itu, aku terperangkap dalam cangkang gadis sastra dan hanya bisa mengamatimu dari kejauhan.”


Dengan suara tawa yang kering, Hazakura menggenggam ujung gaun rajutnya dengan erat.


“Selama mengikutimu secara diam-diam, aku semakin mengenal banyak hal tentang Rihito-kun. Kau selalu berusaha keras saat bersih-bersih, menyikat jendela hingga berkilau, dan dengan sukarela mengambil tanggung jawab untuk membuang sampah yang merepotkan…”


“Membersihkan bukanlah hal yang aku lakukan karena semangat sukarela. Aku hanya melakukannya karena merasa lega setelah beres.”


“Meski begitu, tetap saja.”


Hazakura mengelilingiku dengan kelembutan yang lembut, dan dia tersenyum.


“Selain itu, kau selalu mengulurkan tangan saat melihat orang lain dalam kesulitan, itu benar-benar mempesona… Aku merasa ada kedewasaan yang tidak mungkin aku miliki. …Semakin aku mengetahuinya, semakin besar rasa kagumku terhadap Rihito-kun.”


Sebenarnya, semua itu pada dasarnya berasal dari keinginanku untuk tidak merasa buruk karena meninggalkan orang-orang yang dalam kesulitan. Namun, meskipun terasa geli, aku juga merasa senang karena Hazakura memikirkan hal-hal positif tentangku.


“Setelah itu, aku berguru kepada Rihito-kun, banyak berkencan, dan perlahan-lahan naik ke tangga kedewasaan… Aku akhirnya menyadari apa sebenarnya rasa kagumku pada Rihito-kun. Sekarang, setelah kupikir-pikir, ini sepertinya bukan hal yang aneh, melainkan perasaan yang sangat sederhana. Hehe.”


Sambil tersipu, Hazakura melanjutkan dengan nada seolah-olah itu adalah hal yang biasa, seakan itu adalah bagian dari percakapan sehari-hari.


“Aku menyukaimu Rihito-kun.”


Aku terkejut dan bingung, tidak bisa memberikan reaksi apapun terhadap pengakuan yang tiba-tiba ini.


“Sebagai master, sebagai teman tentu saja, tetapi lebih dari itu, aku sangat menyukaimu sebagai lawan jenis.”


Saat Hazakura berbicara, parade malam pun berakhir, dan lampu-lampu berkilau itu perlahan-lahan padam, membuat Punk Park terbenam dalam kegelapan. Sosok Gasuneko yang sebelumnya menari dengan semangat kini sudah tidak terlihat lagi.


Di tengah kegelapan total, hanya mata Hazakura yang bersinar seperti matahari.


“Ada banyak alasan mengapa aku menyukai Rihito-kun, tetapi yang paling besar adalah… saat kau berpidato dengan semangat di depan semua orang tentang keputusanku untuk berhenti menjadi gadis sastra. Melihatmu berbicara dengan tegas dan tanpa rasa takut, hatiku berdebar-debar.”


Pengakuan itu telah dilontarkan.


Dan yang mengatakannya adalah Hazakura.


Karena terkejut, aku kehilangan kata-kata, hanya bisa membuka dan menutup mulut seperti ikan koi yang menunggu umpan. Syukurlah, lampu-lampu yang padam dan kegelapan menyelubungi tempat itu menyelamatkanku dari tampang memalukan di hadapan Hazakura.


…Aku merasa pengakuan semacam ini adalah peristiwa yang tidak mungkin terjadi dalam hidupku.


Aku telah menyerah dan menganggap aku akan selamanya menjadi orang yang dibenci.


“Ah! Jadi jawabannya adalah ‘tidak terima kasih’ ya! Untuk sekarang!”


Mungkin karena melihat aku terdiam kaku, Hazakura menambahkan dengan suasana ceria, “Tolong lihat aku ke depannya, dan jika kamu merasa tertarik, berikanlah jawabannya nanti.”


“…Ah.”


“Aku tahu ini aneh, tetapi meskipun begitu, mohon terus perlakukan aku seperti biasa, ya! Apa pun yang terjadi, Rihito-kun adalah orang yang sangat aku sukai!”


Maaf.


Dalam hati, aku mengucapkan kata-kata permohonan maaf.


Hazakura, yang berusaha untuk menjadi dewasa setelah meninggalkan statusnya sebagai gadis sastra populer di kelas.


HimeMayu, yang bertekad untuk tetap menjadi gal populer di kelas sebelah dan ingin menjadi dewasa.


Sedangkan aku, hanyalah seorang lelaki yang dibenci di kelas, dan lebih parahnya lagi, seorang perjaka.


Sama sekali tidak sebanding.


Hazakura berkata bahwa dia ingin belajar dariku karena merasa aku dewasa, dan HimeMayu pun meminta bantuanku untuk menjadikannya dewasa, tetapi pada kenyataannya, aku hanyalah orang yang dibenci.


Tidak mungkin aku bisa menerima pengakuan Hazakura…


Jika saja aku menjalin hubungan dengannya, mungkin Hazakura juga akan menjadi orang yang dibenci. Tidak hanya itu, bahkan jika hubungan kami tetap seperti sekarang, suatu saat…


Saat berpikir sampai di situ, aku paksa menelan pikiran negatif itu.


Aku tidak ingin merusak malam yang indah di Punk Park ini.


“Rii-kun! Gasuneko akan mengantarkan kita, cepat kesini!”


“Rihito-kun! Layanan penggemarnya luar biasa! Aku bahkan sempat berjabat tangan dengan Gekorino II!”


Melihat kedua gadis itu yang ceria dan bersemangat, aku pun tidak bisa menahan senyuman di pipiku.


Saat ini, belum saatnya untuk berpikir jauh.


Aku yakin, masih ada sedikit waktu lagi… itu pasti.
















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !