Bab 1
Bisakah Kamu Membuatku Menjadi Dewasa?
Seingatku, kemarin malam adalah pertama kalinya aku berbicara dengan Furukawa Hazakura secara langsung.
Dalam perjalanan pulang setelah membeli makan malam di minimarket, aku melewati sebuah pemandangan aneh di taman kecil di tepi jalan.
Dari atas pohon di sudut taman terdengar suara tangisan yang melengking, sementara di bawahnya seorang siswi yang tampak pendiam mondar-mandir dengan cemas. Dari sudut mana pun aku melihat, situasi ini jelas tidak normal.
Sejujurnya, aku tidak ingin terlibat. Karena aku tahu, begitu mereka melihat wajahku, mereka pasti langsung berpikir aku tipe pria yang suka memukul perempuan—hanya karena penampilanku.
Mereka akan menghakimiku dan memandangku dengan tatapan jijik. Akan lebih baik jika aku berpura-pura tidak melihat dan segera pulang.
Namun, di sekitar taman itu tidak ada siapa-siapa. Hampir tidak ada kendaraan yang lewat. Meski suara tangisan melengking itu terus bergema dari atas pohon, tidak ada tanda-tanda orang lain yang akan datang. Yang ada hanya siswi itu yang kebingungan di bawah pohon.
Jika aku meninggalkan mereka begitu saja, aku pasti akan menyesal nanti. Jika karena itu makan malamku jadi terasa hambar, itu akan sangat buruk. Jadi, aku memutuskan untuk memberi alasan pada diriku sendiri dan melangkah masuk ke taman itu.
“Hei. Apa yang terjadi di sini?”
“Hiyaa!”
Begitu aku berbicara, siswi itu langsung terkejut dan melompat dengan suara yang melengking.
Aku tahu nadaku memang terdengar aneh, tapi... tidak kusangka hanya dengan berbicara, reaksinya akan sedramatis ini. Sekali lagi aku merasa, betapa alami aku menjadi seseorang yang tidak disukai orang lain.
“Ah...!”
Melihat wajahnya yang pucat dan gemetar, aku akhirnya sadar.
Seragam blazer biru tua yang dipakainya adalah seragam sekolahku, SMA Takayanagi. Artinya, dia adalah siswa dari sekolah yang sama. Bahkan lebih dari itu, dia adalah teman sekelasku. Meski kami tidak pernah berinteraksi, aku mengenalnya hanya dari melihat.
Wajahnya masih polos, seolah tak tersentuh noda. Tubuhnya mungil, tapi dada yang dimilikinya sangat menonjol. Auranya begitu murni dan menenangkan, seolah lebih murni daripada tempat suci mana pun. Dia terlihat lembut, pemalu, dan memiliki kesan seperti hewan kecil yang ingin dilindungi.
Dia adalah gadis sastra yang terkenal di kelas—Furukawa Hazakura.
“Kakei-kun...”
Suara lembutnya memanggil namaku, dan seketika aku merasakan pusing kecil disertai sensasi kagum yang aneh. Menyadari bahwa siswi populer di kelas mengenaliku membuatku senang... namun, aku segera tenang kembali, karena yakin dia mengenalku hanya dalam arti yang buruk.
“Ah, um... di atas pohon itu ada seorang anak kecil, tapi dia tidak bisa turun...”
Mendengar penjelasannya, aku mengangkat kepala ku ke atas pohon dan akhirnya paham. Pemilik suara tangisan melengking itu adalah seorang gadis kecil, mungkin masih di kelas awal sekolah dasar, yang meringkuk di dekat puncak pohon.
Mungkin dia mengejar kucing liar, kemudian memanjat pohon, dan sekarang tidak bisa turun... kurang lebih seperti itu, kurasa.
“Aku ingin membantunya, tapi... Aku tidak pandai memanjat.”
Dengan nada lirih, Furukawa Hazakura berkata sambil menunduk, wajahnya memperlihatkan ekspresi sedih yang hampir membuatnya menangis. Tak ada orang lain di sekitar, dan dia pun tampaknya tak punya kenalan yang bisa dihubungi untuk membantu. Itu sebabnya dia tampak begitu kebingungan.
“Begitu ya.”
Aku menyentuh batang pohon, dan mengangguk kecil. Dilihat dari bentuknya, pohon ini ternyata cukup kokoh meski tidak terlalu tinggi. Sepertinya aku bisa memanjatnya dengan mudah.
Tanpa berkata banyak, aku langsung meraih batang pohon dan mulai memanjatnya dengan cepat.
“Eh? Kakei-kun? Apa yang kau lakukan?!”
Sementara Furukawa Hazakura masih kebingungan, aku sudah dengan lincah memanjat pohon dan mengangkat gadis kecil yang menangis di puncaknya.
“Sudah aman sekarang,” bisikku lembut pada gadis itu agar dia tidak ketakutan, sambil memandang ke bawah.
Aku sudah memastikan anak itu aman. Sekarang, aku hanya perlu turun. Namun, akan sulit turun dengan gadis kecil ini di punggungku.
Kalau begitu, hanya ada satu solusi.
“Tenang saja, tidak apa-apa,” ujarku, sambil memeluk gadis itu dengan hati-hati agar tidak cedera. Dengan tekad yang kuat, aku melompat dari puncak pohon.
Saat mendarat, kakiku menerima guncangan yang lebih kuat dari yang kuperkirakan. Rasa nyeri menyebar hingga membuatku hampir meringis.
Namun, aku memasang ekspresi tenang dan berkata, “Lihat? Aku bilang tidak apa-apa, kan?” dengan nada suara yang berusaha terdengar santai.
“Wow!”
Furukawa Hazakura berseru dengan suara lantang, melompat-lompat kegirangan saat melihatku mengusap-usap kakiku yang kesemutan.
“Kakei-kun, kamu luar biasa! Kamu memanjat pohon dengan cepat seperti monyet! Dan melompat turun seperti pahlawan! Benar-benar luar biasa!”
Karena terlalu bersemangat, kosa katanya jadi jauh dari kesan gadis sastra yang anggun…
“Y-ya, begitulah,” ujarku dengan perasaan senang sekaligus sedikit malu saat dipuji oleh Furukawa Hazakura. Aku menggigit bibir bawah agar tidak terlihat senyum lebar yang memalukan.
Dulu, saat masih SD, aku pernah berpikir bahwa menjadi liar akan membantu mengubah citra negatifku sebagai seseorang yang tampak “seperti suka memukul perempuan.”
Maka, aku pun berlatih memanjat pohon. Namun, hasilnya justru sebaliknya—aku malah semakin dibenci karena dianggap sombong. Tak kusangka, akhirnya ada yang memujiku juga!
Dengan perasaan puas, aku perlahan menurunkan gadis kecil itu ke tanah.
“Terima kasih, Onii-chan!”
Anak itu mengusap air matanya sambil mengangguk penuh semangat. Ia tersenyum padaku… namun, begitu ia melihat wajahku, senyumnya memudar. Wajahnya menjadi pucat, dan matanya melebar karena ketakutan.
Gadis kecil itu menatapku lekat-lekat, matanya penuh ketegangan, sebelum perlahan mundur dengan napas yang terengah-engah.
…Oh, ini lagi. Aku langsung tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, dan hanya bisa mengangkat bahu dengan pasrah.
“Kyyaaa! A-aku akan dipukul!”
Anak itu menjerit lebih keras dari sebelumnya, bahkan lebih kencang dibanding saat ia menangis di atas pohon, dan segera berlari menjauh dari kami.
“Hah...?” Furukawa Hazakura memiringkan kepalanya, tampak kebingungan dengan apa yang baru saja terjadi.
“Dipukul...? Apa yang terjadi dengan gadis itu?”
“Dia pasti melihat wajahku dan berpikir aku ini pria berbahaya yang suka memukul perempuan.”
Aku tertawa kecut. Bahkan anak kecil pun bisa ketakutan hanya dengan melihat wajahku, huh.
“Tidak mungkin! Itu kejam sekali!”
Furukawa Hazakura tampak benar-benar marah, wajahnya penuh kemarahan. Aku melirik sekilas padanya. Tampaknya kemarahannya tulus, bukan sekadar kebaikan palsu yang biasa dilakukan orang-orang populer.
“Tidak perlu dipikirkan,” kataku dingin.
“Tapi! Tapi… Kakei-kun, apa kau benar-benar tidak apa-apa dengan ini semua...?”
“Sudah biasa bagiku untuk dibenci,” gumamku dengan nada dingin sambil menundukkan kepala.
Aku hampir saja mengeluarkan pertanyaan, “Apa kau tidak takut padaku?” tapi langsung kutelan kata-kata itu. Tidak ada gunanya. Hasilnya akan tetap sama. Hanya akan menyakiti diriku dengan harapan kosong yang sia-sia.
Orang-orang yang berpura-pura berpihak padaku biasanya adalah mereka yang mencari pujian sebagai pahlawan, atau hanya mereka yang berbicara tentang hal-hal indah tanpa benar-benar memahami kenyataan.
Kadang-kadang, memang ada yang benar-benar marah demi diriku, tapi pada akhirnya, mereka semua menyerah dan pergi ketika menyadari bahwa reputasi burukku tidak bisa diubah.
“......”
Furukawa Hazakura menatapku, sepertinya ingin mengatakan sesuatu.
Jika gadis sastra yang polos ini mulai mengoceh tentang hal-hal idealis, itu akan menjadi masalah. Aku sudah menyelamatkan gadis kecil itu, jadi mungkin lebih baik aku langsung pergi saja.
Jika seseorang melihatku bersama Furukawa Hazakura, rumor buruk pasti akan menyebar, dan aku akan mendapatkan lebih banyak masalah lagi.
Saat aku berbalik dan bersiap untuk pergi secepat mungkin dari taman itu...
“Kakei-kun!”
Furukawa Hazakura memanggilku dengan suara keras.
“B-bukan itu... Rihito-kun!”
Aku tetap berusaha pergi, tapi namaku yang disebut tiba-tiba membuatku berhenti di tempat.
“A-apa...?”
Dengan jantung yang berdebar kencang hanya karena dipanggil namaku, aku perlahan berbalik. Begitu aku melakukannya, aku langsung menyesal. Tatapanku bertemu dengan pandangan lurus dari Furukawa Hazakura yang penuh kesungguhan.
Dunia yang dia lihat, gadis yang disukai oleh semua orang, berbeda dengan dunia yang selalu kupahami sebagai tempat orang-orang membenciku. Kami seperti garis paralel yang tak mungkin bersilangan. Jadi, tolong jangan melihatku seperti itu. Tatapanmu terlalu menyilaukan untukku.
“Rihito-kun!”
Dengan suara yang masih penuh ketegasan, Furukawa Hazakura mengucapkan namaku sekali lagi.
“Bisakah kamu membuatku menjadi dewasa?”
……
…………
……………Haaaaah?
Aku terpaku di tempat. Ucapannya yang tiba-tiba dan penuh arti itu membuatku benar-benar kebingungan.
Kepalaku mendadak berhenti bekerja, terkejut dan tak tahu harus berbuat apa. Tubuhku membeku, tak mampu bergerak, sementara suara detak jantungku terdengar semakin keras, memenuhi kesunyian.
“Maksudku! Aku ingin menjadi muridmu, Rihito-kun!”
Seorang gadis sastra yang mengabaikan konteks seperti ini sungguh tidak masuk akal!
“T-tunggu dulu! Apa yang sebenarnya kau bicarakan? Aku benar-benar tidak mengerti maksudmu...”
“Maaf! Aku terlalu terbawa suasana dan berbicara tanpa berpikir...”
Furukawa Hazakura menundukkan kepalanya dalam-dalam, tampak menyesal atas kekacauan yang ia buat.
“Jika kujelaskan dengan runtut... Pertama! Bagiku, Rihito-kun adalah sosok dewasa yang ideal!”
“Tunggu, tunggu. Aku bukan orang dewasa!” sergahku sambil menggelengkan kepala, masih bingung dengan arah pembicaraannya.
“Tidak! Kau memang sudah dewasa!”
Furukawa Hazakura menegaskan dengan nada suara yang jernih.
“Karena menurutku, Rihito-kun itu sangat modis dan keren!”
Dia memandangiku dari atas sampai bawah, menilai gaya rambutku, anting, cincin, dan seragam sekolah yang kukenakan dengan acak-acak an. Kemudian, dengan wajah yang terlihat sedikit bodoh, dia mengacungkan jempolnya sambil berseru, “Sungguh stylish!”
Meskipun senang dipuji soal selera fashion, rasanya berlebihan jika hanya karena itu aku dianggap sebagai orang dewasa.
“Dan yang paling penting, Rihito-kun memiliki tekad yang kuat tanpa mempedulikan pandangan orang lain.”
“…Tekad yang kuat?”
“Ya! Baik tadi maupun di sekolah, Rihito-kun tidak peduli sama sekali dengan penilaian orang lain. Kau tidak takut dibenci dan selalu berpegang teguh pada dirimu sendiri. Kau berjalan di jalurmu sendiri tanpa terpengaruh oleh siapa pun, dengan penuh keyakinan... Itulah yang membuatmu menjadi sosok dewasa yang aku kagumi!”
Dengan semangat yang tidak biasa dari seorang gadis sastra, Furukawa Hazakura terus berbicara, membuatku mundur selangkah karena terkejut.
“Jadi, aku ingin kau mengajarkanku rahasia untuk menjadi dewasa!”
“Tapi aku bukan—”
Aku ingin mengatakan bahwa aku bukanlah orang dewasa seperti yang dia kagumi, namun saat aku melihat matanya yang berkilau penuh harapan, kata-kataku tertahan di tenggorokan. Untuk menolaknya dengan tegas seperti itu, rasanya nuraniku tak tega… dan aku terjebak dalam dilema.
“…Tapi, bagaimana ya… rahasia untuk menjadi dewasa…”
Aku menggaruk-garuk rambutku dengan bingung, lalu menghela napas perlahan.
Yang lebih rumit, semangat Furukawa Hazakura benar-benar tulus. Aku tidak tahu kenapa seorang gadis sastra yang populer di kelas begitu ingin menjadi dewasa, tapi satu hal yang pasti, dia benar-benar serius saat ini.
Meski begitu.
Perasaan yang membuatnya mengandalkanku ini, pada akhirnya, hanyalah sementara. Ini pasti hanya dorongan sesaat. Pada akhirnya, dia akan menjauh dariku, seperti yang lainnya.
Karena itu, yang terbaik adalah tidak terlalu menanggapinya dengan serius dan hanya menjawab ala kadarnya saja.
“Baiklah…”
Aku membasahi tenggorokanku yang kering sebelum mengucapkan kata-kata yang mungkin hanya mengulur waktu.
“Misalnya, bagaimana jika kau mencoba memendekkan rokmu?”
“M-memendekkan rok… maksudnya?”
Tampaknya bahkan Furukawa Hazakura yang biasanya tenang pun terkejut mendengar saranku yang terkesan seperti pelecehan.
Dia memegangi roknya dengan malu-malu dan terdiam. Aku merasa sedikit menyesal karena mengatakannya tanpa berpikir, lalu aku berdeham kecil untuk menetralkan suasana.
Dengan hati yang tetap tenang dan tidak terlalu terbawa emosi.
“…Sebagai seorang gadis sastra, rokmu terlalu panjang. Kalau kau memendekkannya sedikit, mungkin kau akan terlihat lebih rapi dan sedikit lebih dewasa.”
“Benar juga, rok ini memang terlalu panjang...”
Furukawa Hazakura mengangguk dalam-dalam, seolah memahami maksudku, dengan ekspresi yang berat.
“Aku pernah mengalami kegagalan karena rok ini juga...”
Mungkin dia sedang mengingat kenangan pahit, karena ekspresinya berubah masam dan dia menggigit bibirnya. Saat melihat wajahnya yang seperti itu, aku sempat berpikir bahwa dia sebenarnya punya ekspresi yang cukup beragam, sebelum akhirnya aku mencoba untuk segera meninggalkan taman.
“Baiklah, kalau begitu sampai di sini saja.”
Namun, sebelum aku bisa pergi, Furukawa Hazakura dengan cepat menghentikanku dengan suara lantangnya.
“Apa? Apakah nasihatmu hanya ini?”
Ugh.
Wajah Furukawa Hazakura yang tampak sedih, dengan alisnya melengkung membentuk angka delapan, membuatnya terlihat seperti anak anjing yang ditinggalkan oleh pemiliknya. Rasa bersalah dan keinginan untuk melindunginya menyeruak dalam hatiku. ...Sial, ekspresi itu terlalu tidak adil.
“Uh, begini... apa ya? Bagaimana kalau kau coba melepas kacamatamu, atau mengubah gaya rambutmu? Aku pikir, kau akan terlihat cocok jika mengurai rambutmu yang biasanya kau kepang. Atau, siapa tahu kalau kau hilangkan sedikit aura gadis sastra itu, kau bisa terlihat lebih dewasa…”
Mendengar saranku yang secara langsung menolak identitas gadis sastranya, Furukawa Hazakura malah matanya semakin bersinar, seperti anak anjing yang senang menerima hadiah dari pemiliknya.
“Begitu, ya! Seperti yang diharapkan dari Master!”
“A-aku rasa ini bukan sesuatu yang luar biasa... Saran perubahan gaya ini sangat umum...”
“Namun, fakta bahwa kau memberiku dorongan itulah yang paling penting!”
Dengan nada tegas tanpa memberiku kesempatan untuk menyela, Furukawa Hazakura menundukkan kepala dalam-dalam sambil berkata, “Terima kasih banyak!”
“Besok, aku akan langsung mencobanya! Sampai jumpa, Rihito-kun! Sampai besok!”
Kemudian, Furukawa Hazakura melambaikan tangan dengan semangat dan berlari meninggalkan taman.
Kalau mau dikatakan dengan ungkapan klise, dia benar-benar seperti badai yang baru saja berlalu.
“...Apa barusan itu?”
Di taman yang sekarang sunyi, aku hanya bisa tertunduk dengan lesu.
Dia bilang akan mencobanya besok, tapi kurasa tidak perlu terlalu memikirkannya. Mungkin itu hanya karena adrenalin atau dorongan sesaat, dan besok, dia akan melupakan soal menjadi muridku, lalu kembali ke rutinitas biasanya.
Itu sudah pasti.
Lagipula, kalau dia benar-benar melepas kacamatanya, mengurai rambutnya, memendekkan roknya, dan berhenti menjadi gadis sastra, teman-teman sekelas pasti tidak akan tinggal diam.
Cemoohan akan datang bertubi-tubi. Tidak mungkin dia akan mengambil resiko hanya untuk perubahan gaya yang sepele.
Begitulah pikiranku saat aku mulai merasa lega—
◆ ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧ ◆
Keesokan paginya, di kelas, aku terkejut melihat Furukawa Hazakura yang telah berubah drastis dan dengan tenang mengajakku bicara.
“Rihito-kun, bagaimana? Eh-hehe... apa aku terlihat lebih dewasa sekarang?”
Melihat Furukawa Hazakura yang bertanya dengan rasa malu, aku hanya bisa memandangnya lagi, dan tubuhku bergetar dengan keringat dingin yang mengalir deras.
Kacamatanya telah dilepas, memperlihatkan senyuman polos di wajahnya. Kepang rambutnya yang biasanya sederhana kini terurai menjadi rambut hitam lurus yang berkilauan. Rok panjang yang dulu terlalu mencolok, kini dipotong pendek, memperlihatkan paha yang berkilau dengan sensual.
Penampilannya, dari ujung rambut hingga kaki, jelas-jelas merupakan hasil dari saran yang aku berikan kemarin.
Jantungku berdetak keras dengan suara yang belum pernah kudengar sebelumnya, “bedug-bedug,” membuat kepalaku semakin pusing.
Tatapan penuh kebencian dari seluruh teman sekelas menancap di tubuhku, seperti panah yang menusuk, dan perutku terasa melilit dengan rasa sakit yang tajam.
Aku merasa ada niat membunuh tersembunyi di balik beberapa tatapan mereka, meskipun mungkin itu hanya perasaanku saja.
──Tidak mungkin... Furukawa-san…,
──Gara-gara Kakei, Furukawa-san tidak lagi menjadi gadis sastra,
──Ini pasti pengaruh buruk dari seorang laki-laki…,
──Dia telah di blackmail,
──Malam kemarin, dia sudah menjadi dewasa... artinya, itu berarti...,
──Kembalikan kesucian Furukawa-san...,
──Ini mimpi buruk... benar-benar mengerikan…”
Ruang kelas berubah menjadi pemandangan neraka penuh dengan jeritan dan kehebohan yang tak tertahankan.
“Ah, e-eh! Te-tenang semua! Rihito-kun itu Master ku, jadi──”
Furukawa Hazakura berusaha keras untuk menjelaskan, namun suaranya tenggelam dalam keributan kelas yang gemuruh, tak seorang pun mendengarnya.
Di tengah kekacauan itu, seorang pria berkacamata dengan rambut rapi bergaya belahan tujuh-tiga mengangkat tangannya dengan gerakan yang berlebihan, lalu berdiri.
“Kakei!”
Dengan aura penuh amarah seolah hendak menyerang kapan saja, pria berkacamata itu memanggil namaku dengan suara lantang.
Dia adalah salah satu dari teman sekelas yang paling mengagumi Furukawa Hazakura... seorang “fans fanatik.”
Setiap hari, dia berbicara panjang lebar tentang betapa menakjubkannya sosok Furukawa Hazakura sebagai gadis sastra. Bagi orang seperti dia, aku adalah musuh yang paling dibencinya saat ini.
“Kau... apa hubunganmu dengan Furukawa-san?”
Suara itu keluar dengan susah payah, seperti menahan amarah dan kesedihan yang mendalam.
“A-apa maksudmu…?”
Aku terdiam saat melihat mata pria berkacamata itu.
Di balik matanya, api kemarahan yang dipicu rasa keadilan berkobar dengan hebat.
“Kau telah mencemari gadis sastra yang murni!”
Amarah yang meluap-luap membakar dirinya dari dalam. Namun, lebih dari itu, aku juga bisa merasakan perasaan memohon yang tersembunyi di balik tatapannya.
Dia seolah-olah berdoa, memintaku untuk tidak mengatakan jawaban terburuk yang bisa dia bayangkan.
Aku ragu, apakah harus jujur tentang apa yang terjadi tadi malam?
Namun, meski aku mengatakan sejujurnya, mereka tidak akan mempercayai perkataanku begitu saja. Lagipula, mereka tidak pernah mau mendengar penjelasanku secara baik-baik. Yang ada, pernyataanku akan disalahpahami dan kebencian terhadapku akan semakin besar.
Seperti saat upacara penerimaan satu bulan yang lalu.
“…Aku tidak tahu.”
Aku membuang pandangan dari pria berkacamata itu dan menjawab dengan suara sengaja kasar.
Melihat reaksiku, kemarahan teman-teman sekelas semakin memuncak dan siap meledak—namun, tepat saat itu, bel penanda dimulainya pelajaran berbunyi.
◆ ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧ ◆
“Haaah…”
Aku menghembuskan napas panjang, membawa serta seluruh kelelahan yang menumpuk sepanjang pagi, lalu duduk di bangku yang sudah mulai berkarat.
Bangku itu berada di depan gudang yang tak terawat di belakang gedung sekolah, tempat yang jarang didatangi orang. Dikelilingi oleh pepohonan yang rimbun, suasana di sini begitu tenang, seolah terisolasi dari dunia luar, memberi perasaan damai yang amat mendalam. Ini adalah satu-satunya tempat di sekolah yang terasa seperti rumah bagiku—tempat di mana aku bisa menjauh dari hiruk-pikuk dunia, tempat perlindungan yang hanya milikku.
Di sini, aku terbebas dari pandangan yang mengganggu, dari gosip yang menusuk telinga, dan dari orang-orang yang menjengkelkan.
Tempat ini sempurna untuk makan siang sambil bersantai.
Di bawah sinar matahari bulan Mei yang tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin, aku menggigit besar-besar onigiri isi telur rebus yang kubeli di kantin. Telur setengah matang dengan saus kecap yang meresap sempurna—rasanya luar biasa. Ini adalah menu makan siang favoritku.
Setelah mengunyah sebentar, aku meneguk air soda dari botol, menelannya dalam satu tegukan.
…Ngomong-ngomong, aku jadi ingat seseorang pernah berkata waktu aku SMP, “Makan terlalu cepat membuatmu terlihat seolah tidak punya kendali, seperti orang yang suka memukul wanita.” Itu mungkin maksudnya sebagai saran baik, tapi rasanya seperti tuduhan tak berdasar yang sangat mengada-ada.
…Yah, ini bukan waktunya untuk melampiaskan amarah pada masa lalu dan lari dari kenyataan.
Udara di kelas tadi siang benar-benar tak tertahankan. Terutama karena aku terus-menerus ditatap dengan pandangan tajam oleh pria berkacamata itu.
Namun, di sisi lain, syukurlah tidak ada satu pun orang yang mencoba berbicara denganku setelah kejadian di pagi hari.
“Mereka pasti takut jika aku tersulut amarah dan mulai menggunakan kekerasan…,” pikirku, seraya menghela napas panjang.
Begitu jam istirahat usai, aku harus kembali ke neraka yang disebut ruang kelas, yang membuatku merasa begitu tertekan. Saat itulah aku mendengar langkah kaki pelan mendekat, dan secara refleks aku menyiapkan diri.
“Ah! Akhirnya aku menemukanmu!”
Dari situ muncullah Furukawa Hazakura sambil menyibak dedaunan—sumber dari kekacauan pagi ini. Dia masih mengenakan pakaian yang sama sekali menghapus identitasnya sebagai gadis sastra.
Rok nya yang pendek menampilkan pahanya yang montok, pemandangan yang indah namun nyaris menjadi godaan berbahaya.
“Furukawa Hazakura…”
Aku berdiri dengan waspada, bersiap untuk melarikan diri jika perlu. Namun—
“Aku sungguh minta maaf!”
Dengan penuh semangat, Furukawa Hazakura menundukkan kepalanya dan mengucapkan kata-kata permintaan maaf, membuatku terdiam di tempat, kehilangan kesempatan untuk melarikan diri.
“Eh…K-kau tak perlu minta maaf.”
Seperti malam sebelumnya, aku sekali lagi terseret oleh aura aneh yang dimiliki Furukawa Hazakura, membuatku tak bisa membalas dengan tegas. Dia menatapku dengan mata berkaca-kaca dan berkata dengan suara penuh penyesalan.
“Aku sudah berusaha menjelaskan kepada teman-teman di kelas bahwa ini hanya kesalahpahaman, tapi… tak ada yang mau mendengarkan aku. Maafkan aku.”
Aku meliriknya sebentar dan mengangkat bahu. Dari sudut pandang teman-teman kelas, Furukawa Hazakura hanyalah korban yang malang, sementara aku adalah pelaku yang paling keji. Tak peduli seberapa keras aku berusaha menjelaskan, itu takkan mengubah apapun.
“Tidak masalah. Lagipula, tak ada yang bisa kita lakukan.”
Kadang, menyerah dan menerima keadaan adalah yang terbaik. Itulah yang kupelajari dari kehidupan yang terus-menerus dibenci. Saat menghadapi masa-masa sulit, menjaga emosiku tetap dingin dan meminimalisir perasaan ternyata cukup efektif.
“Tapi… kau benar-benar memendekkan rokmu, ya.”
Aku hampir terpesona dengan keseksian pahanya yang terbuka, namun aku segera berdeham untuk mengalihkan pikiranku.
Wajahnya yang cerah, rambut hitamnya yang berkilau tertiup angin, dan rok mini yang menggoda—semua itu membuatnya tampak begitu berbeda dari gadis sastra yang dulu. Perubahan drastis ini memang bisa dimengerti jika teman-teman sekelasnya merasa terkejut.
Namun bagiku, Furukawa Hazakura yang sekarang terlihat lebih alami dan jauh lebih manis.
“Ehehe. Apa itu cocok denganku?”
Menyadari tatapanku, Furukawa Hazakura sedikit tersipu, menekan ujung roknya dan memiringkan kepalanya dengan malu-malu. Wajah polosnya yang sedikit memerah membuatnya terlihat sangat menawan, dan tanpa sadar aku merasa jantungku berdebar lebih cepat.
“A-aku rasa itu cocok!”
Suara gugupku terdengar aneh bahkan untuk diriku sendiri, tetapi tampaknya itu adalah pujian yang ia nantikan.
“Yatta!”
Dengan senyum lebar, Furukawa Hazakura melompat kegirangan.
Melihatnya begitu riang, aku hanya bisa tersenyum pahit, berpikir bahwa dia masih jauh dari seorang dewasa—justru terlihat seperti anak-anak.
“Oi, hati-hati kalau terlalu banyak bergerak—”
Namun, peringatanku sudah terlambat.
Karena melompat-lompat dengan riang, rok pendek Furukawa Hazakura tersingkap tinggi, memperlihatkan celana dalam berwarna merah muda pucat dengan desain sederhana.
Pemandangan ini terlalu jelas terlihat—bukan hanya sekilas, tapi sangat berani dan terbuka! Jaraknya sangat dekat hingga tak bisa disebut sekadar “celana dalam yang tidak sengaja terlihat.”
“Kyah!”
Beberapa detik kemudian, Furukawa Hazakura menyadari apa yang terjadi. Dengan cepat, dia menekan ujung roknya sambil wajahnya memerah karena malu.
Ekspresi yang sebelumnya ceria kini berubah total, dihiasi rasa malu yang menyelimuti seluruh wajahnya.
Celana dalam yang terlihat jelas ditambah dengan ekspresi malu-malu gadis cantik seperti dirinya benar-benar terlalu menggoda, membuat seorang remaja polos sepertiku merasa sangat terangsang. Rasanya kepalaku hampir meledak karena gelombang pikiran liar yang tak tertahankan.
“A-apa… kamu melihatnya?”
“Ehh… ya, aku… melihatnya.”
Aku merasa jika terus seperti ini, pikiranku akan dikendalikan oleh hawa nafsu yang tak terkendali!
Dalam usaha terakhir untuk menyelamatkan diri, aku buru-buru membayangkan wajah marah dari si anak berkacamata rapi tadi pagi.
“......Fuh.”
Dengan mengingat kemarahan anak berkacamata itu, hawa nafsuku perlahan-lahan mereda. Aku menghela napas lega, menyeka keringat yang mulai membasahi dahiku.
“Memakai rok pendek ternyata memalukan… ehehehe,” ujar Furukawa Hazakura sambil menyipitkan matanya dan dengan canggung meremas-remas pahanya sendiri.
Pikiranku dengan cepat melayang,
“Itu pasti sangat lembut.”
Segera aku menyesali pikiran itu dan mengutuk diriku sendiri.
“Ngomong-ngomong… kenapa kamu tidak memakai… sesuatu seperti celana pendek di bawah rokmu?” tanyaku, sambil berpaling karena takut otakku kembali dipenuhi warna merah muda.
“Benar, kalau pakai celana pendek di bawahnya, pasti aku akan merasa aman kapan pun dan di mana pun.”
“Jadi… kenapa tidak memakainya?”
Namun, Furukawa Hazakura dengan penuh semangat menjawab, “Tapi! Aku merasa, jika aku memutuskan untuk memakai rok pendek, lalu mengandalkan celana pendek sebagai perlindungan, itu adalah tindakan yang lemah.”
“Lemah…?”
“Ya! Itu akan bertentangan dengan prinsip bushido dalam diriku!”
Aku tak bisa memahami logika itu. Apa hubungan antara bushido dengan tidak memakai celana pendek di bawah rok? Mungkin dia ingin mengatakan bahwa dia harus jujur pada dirinya sendiri, tapi aku rasa memakai celana pendek bukanlah sesuatu yang licik atau tidak bermoral.
“Jadi, aku akan terus maju dengan strategi tanpa perlindungan di balik rokku! Jangan khawatir, Master!”
Jangan khawatir? Bagaimana aku tidak khawatir… tapi, tunggu sebentar.
“…Apa maksudnya Master?”
“Eh, Master ya Master! Aku sudah menjadi muridmu sejak kemarin!”
Aku pikir kemarin hanyalah sebuah kebetulan, tetapi ternyata dia serius soal ini.
“Begini, Furukawa Hazakura—”
“Maaf memotong, tapi!”
Sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku, Furukawa Hazakura mengangkat tangannya tinggi-tinggi dengan penuh semangat.
“Rasanya agak terlalu formal kalau terus-menerus dipanggil Furukawa Hazakura secara lengkap. Bisa tidak kita lakukan sesuatu soal itu?”
Dia memanggilku “Master” tanpa rasa canggung, tapi meminta namanya dipermudah? Gadis ini…!
“Yah, tapi…”
Aku menggunakan nama lengkapnya untuk menghindari kesan terlalu akrab dan mencegah rumor aneh muncul. Namun, karena rumor itu sudah terlanjur tersebar, sepertinya semuanya sudah terlambat.
“Aku akan memanggilmu Rihito-kun, jadi bagaimana kalau kita saling memanggil dengan nama saja? Rasanya lebih pas begitu!”
“Me-memanggil dengan nama...?”
Bagi diriku, seorang pemuda yang tak pernah berpengalaman dalam cinta, ini adalah permintaan yang terlalu sulit untuk dipenuhi.
Ya, seorang pemuda yang belum pernah berhubungan.
Tidak perlu dikatakan, aku masih perjaka.
Mungkin wajar saja bagi seorang siswa SMA untuk tetap perjaka, tapi situasiku sedikit berbeda. Orang-orang memiliki prasangka buruk bahwa aku adalah tipe pria yang suka menyakiti perempuan, yang ironisnya memberikan kesan seolah-olah aku adalah pria yang sering berkencan.
Padahal kenyataannya, aku benar-benar belum pernah berpengalaman memiliki hubungan sama sekali.
Seorang perjaka yang terlihat seperti pria yang suka memukul perempuan.
...Itu benar-benar kombinasi yang buruk. Sebuah imej yang benar-benar tak bisa dibela dan hanya akan membuatku terlihat seperti bajingan tanpa harapan.
“Untuk sekarang, kita tunda dulu soal panggilan nama,. Aku akan memikirkannya dulu... mungkin. Semoga saja.”
Dengan sikap hati-hati yang berlebihan, aku menanggapi permintaannya, dan Furukawa Hazakura mengangguk dengan polos sambil berkata, “Baik!” Sikapnya yang begitu polos membuatku sedikit memahami kenapa teman-teman sekelasnya khawatir secara berlebihan tentangnya.
“Jadi, sampai kapan kamu akan melanjutkan ini?”
“Eh? A-apa maksudmu?”
“Hubungan Master dan murid ini. Tidak ada keuntungan bagimu menjadi muridku.”
Dengan nada dingin dan sikap yang sedikit menjauh, aku berusaha untuk menghentikan ini sebelum semakin dalam dan tak bisa diperbaiki. Namun, Furukawa Hazakura sama sekali tidak terpengaruh oleh kata-kataku.
“Justru ada banyak sekali keuntungannya! Menjadi murid Rihito-kun hanya akan membawa kebaikan!”
Melihatnya begitu yakin, aku hanya bisa mengangkat bahu.
“…Kamu pasti merasakan suasana neraka pagi ini, bukan?”
“Uh…”
“Jika kita melanjutkannya sampai besok atau lusa, semuanya akan menjadi lebih buruk.”
“Uh… ugh…”
Sepertinya kata-kataku benar-benar membuatnya terpukul, karena wajah Furukawa Hazakura berkedut dan dia terlihat ragu.
Merasa yakin bahwa aku hampir berhasil membuatnya menyerah, aku menambahkan lebih banyak tekanan dengan nada lebih keras.
“Jadi, hentikan semua ini. Itu yang terbaik untukmu.”
Kata-kata terakhirku seharusnya menjadi penutup, tetapi respons Furukawa Hazakura benar-benar di luar dugaanku.
“Memang benar… Rihito-kun akan dianggap penjahat kalau begini terus… Maaf.”
“Tidak, tidak perlu memikirkanku. Aku sudah terbiasa dibenci. Yang penting adalah dirimu sendiri—”
“Kalau soal aku, tenang saja!”
Dengan senyum lebar seperti tanpa beban, Furukawa Hazakura memotong kata-kataku. Senyuman itu begitu terang, seperti matahari, memancarkan cahaya yang seakan-akan menghapus segala kecemasan dan kekhawatiran dari pikiranku.
“Aku ingin berubah,” ucapnya sambil meletakkan tangan di dadanya.
“Aku ingin mengucapkan selamat tinggal pada diriku yang masih seperti anak-anak dan menjadi orang dewasa yang sesungguhnya!”
Kata-kata tulus Furukawa Hazakura mengguncang pikiranku tanpa ampun.
Dewasa...
Apa artinya menjadi dewasa?
Apakah seseorang dianggap dewasa hanya karena usianya mencapai batas tertentu? Ataukah karena sudah pernah berhubungan seks? Jika begitu, maka aku yang masih perjaka ini hanyalah anak kecil, bukan?
Mungkin, ketika sudah mendapatkan pekerjaan? Membayar pajak? Menikah? Memiliki anak? Atau menjalani hidup yang stabil? Dikenal dan dihormati orang lain? Apa sebenarnya yang mendefinisikan kedewasaan itu?
Saat pikiranku tersesat dalam lingkaran tak berujung tanpa jawaban, Furukawa Hazakura menundukkan pandangannya dan mulai berbicara dengan suara yang lebih tenang.
“Aku juga ingin merasakan seperti yang orang lain rasakan, berdandan, bermain setelah sekolah, merasakan cinta yang membuat jantung berdebar, dan mencoba banyak hal lainnya.”
Berdandan, bermain setelah sekolah, dan merasakan cinta bukanlah hal yang secara langsung berkaitan dengan menjadi dewasa. Itu hanyalah pengalaman masa muda biasa bagi siswa SMA.
Namun, mungkin hal itu memiliki makna yang berbeda dan lebih istimewa bagi Furukawa Hazakura.
“Kalau aku tetap menjadi gadis kutu buku, aku akan selalu tertinggal…”
Kata-kata itu terucap dengan suara yang sangat pelan, hampir seperti akan menghilang kapan saja. Namun, entah mengapa, kata-katanya terasa sangat menggetarkan jiwa.
Pada akhirnya, ini hanyalah kegelisahan sementara. Hanya dorongan sesaat. Aku membenarkan perasaanku sendiri sambil perlahan membuka mulut.
“Misalnya…”
Furukawa Hazakura menatapku dengan mata yang berbinar, seolah menunggu dengan antusias, sementara aku dengan hati-hati memilih kata-kata yang akan kuucapkan selanjutnya.
“Misalnya saja, kalau ada sesuatu yang ingin kamu coba… sesuatu yang menurutmu bisa membuatmu menjadi dewasa, dan jika itu adalah sesuatu yang bisa kubantu… yah, sedikit saja, mungkin aku bisa... memberikan sedikit bantuan.”
Aku sendiri terkejut betapa ragu dan canggungnya aku saat berbicara. Tapi yang lebih mengejutkan lagi adalah ekspresi Furukawa Hazakura setelah mendengar kata-kataku.
“Benarkah?!”
Tanpa sedikit pun kebohongan atau kepura-puraan, senyum Furukawa Hazakura benar-benar memancarkan kebahagiaan yang tulus dari dalam hatinya.
“…Ya, mungkin.”
Akulah yang memicu keinginannya untuk berubah dari gadis kutu buku. Karena itu, aku seharusnya bertanggung jawab atas keputusanku. Jika saja aku tidak asal bicara kemarin, Furukawa Hazakura mungkin tidak akan memendekkan roknya hari ini.
Ya, jika aku tidak memberinya nasihat, dia mungkin masih mengenakan kacamata sederhana, rambutnya tetap diikat kepang, roknya masih panjang, dan dia mungkin masih duduk di sudut kelas, tenggelam dalam dunia buku sastra.
──Apakah itu seharusnya lebih baik?
“Kalau begitu!” tiba-tiba, Furukawa Hazakura bertepuk tangan dengan penuh semangat.
“Aku ingin mencoba kencan sepulang sekolah!”
“Apa?”
Apa maksudnya?
Kencan sepulang sekolah… itu berarti… kencan setelah sekolah usai? Aku dan Furukawa Hazakura? Gadis paling populer di kelas dan diriku, yang paling tidak disukai?
Tunggu, tunggu, tunggu.
“Oke, mari kita tenang dulu sejenak.”
Sebenarnya, jika dipikirkan dengan baik, jawabannya jelas. Furukawa Hazakura mungkin hanya mengganti kata “bermain” dengan “berkencan.” Artinya, kencan setelah sekolah ini hanyalah pergi bermain setelah jam pelajaran berakhir. Hanya itu saja, tak ada yang perlu terlalu dipikirkan atau dikhawatirkan.
Ini hanya kebiasaan burukku sebagai pria yang belum pernah pacaran, terlalu banyak berpikir dan akhirnya terjebak dalam kekhawatiran yang berlebihan. Lagipula, Furukawa Hazakura juga mengatakan ingin merasakan pengalaman cinta. Jadi, ini mungkin hanya semacam latihan untuk saat ia benar-benar menjalin hubungan di masa depan. Ya, begitu lah maksudnya!
Dengan cara itu, aku terus mencoba meyakinkan diriku sendiri.
◆ ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧ ◆
Kota kecil di pinggiran yang disebut Rokurozaka.
Tidak cukup berkembang untuk disebut kota besar, tapi juga tidak begitu terpencil dan tenang untuk disebut pedesaan. Kota ini berada di antara dua sisi tersebut, sebuah wilayah yang terasa seimbang—meskipun tidak begitu menonjol.
Namun, pusat perbelanjaan di kota ini selalu cukup ramai, dan akses transportasinya cukup baik, terutama ke Nagoya yang bisa ditempuh dengan cepat menggunakan kereta. Bagi mereka yang tinggal di sini, tempat ini cukup nyaman.
Di Rokurozaka, ada pusat perbelanjaan yang menjadi titik paling populer di kota ini, dan di sinilah aku, secara tak terduga, datang untuk kencan setelah sekolah dengan gadis tercantik di kelas. Apa-apaan ini?
“Ehehe. Rasanya mendebarkan dan sangat menyenangkan bisa datang ke distrik perbelanjaan Rokurozaka bersama seorang pria!”
Di sampingku, Furukawa Hazakura, yang sebelumnya dikenal sebagai gadis kutu buku, melirik ke sekeliling dengan mata terbelalak penuh kegembiraan, memandangi deretan toko di distrik perbelanjaan Rokurozaka.
Di sepanjang arkade pusat perbelanjaan ini, berbagai jenis toko berjajar rapat satu sama lain.
Ada toko kroket tradisional, toko onigiri yang populer di media sosial, kafe buah yang modis, toko pakaian yang hampir selalu mengadakan diskon sepanjang tahun, toko kartu yang dipenuhi oleh siswa sepulang sekolah, hingga toko permainan retro yang memiliki aura unik—daftarnya bisa sangat panjang.
Meskipun dari luar pusat perbelanjaan ini tampak ramai, kenyataannya, bagian dalamnya sangat jelas terbagi antara sisi yang ramai dan sisi yang sepi.
Saat ini, kami berjalan di bagian utara, yang selalu mengikuti tren dan disukai oleh berbagai kalangan usia.
Namun, di sisi selatan, yang dikenal sebagai jalanan yang sepi, ada deretan toko yang tutup, dengan papan “disewakan” di hampir setiap tempat. Poster-poster yang sudah pudar dari zaman Heisei menempel di sana-sini. Hanya ada beberapa restoran dan kedai yang bertahan dengan dukungan pelanggan tetap mereka. Itu adalah tempat yang terasa melankolis dan terpencil.
Secara pribadi, aku cukup suka dengan suasana sisi selatan ini, yang terasa seperti menjelajahi reruntuhan. Namun, tentu saja, tempat ini bukanlah pilihan yang tepat untuk dijadikan tujuan kencan setelah sekolah, jadi kali ini kami melewatkannya.
“Wah! Hanya dengan berjalan-jalan saja sudah membuatku sangat bersemangat!”
Sementara Furukawa Hazakura masih merasa sangat antusias, aku malah merasa mual karena gugup. Berjalan dengan seorang gadis sudah cukup membuatku cemas, dan kekhawatiran akan dilihat oleh teman sekelas membuat keteganganku semakin parah.
“Ah! Itu Rokuroku-chan!”
Furukawa Hazakura tiba-tiba menunjuk patung seorang gadis berleher panjang yang berdiri di sudut sebuah apotek, sambil tersenyum lebar.
“Aku tidak menyangka ada di sini juga!”
Itu adalah Rokuroku-chan, maskot Rokurozaka Shopping Street yang terinspirasi oleh yokai leher panjang rokurokubi.
Sekitar sepuluh tahun yang lalu, patung ini dipesan oleh kota untuk menghidupkan suasana perbelanjaan, namun karena desainnya yang sedikit menyeramkan, maskot ini tidak berhasil meraih popularitas.
“Kamu suka Rokuroku-chan?” tanyaku.
Dengan tegas, Furukawa Hazakura menjawab, “Tidak!” sambil mengeluarkan sapu tangan dari saku seragamnya.
“Tapi, ayahku sangat suka dengan Rokuroku-chan... Nih, lihat ini!”
Dia menunjukkan sapu tangan bergambar Rokuroku-chan yang memiliki desain kartun yang lebih imut dibandingkan patung aslinya.
“Ini! Sapu tangan edisi terbatas yang dirilis empat tahun lalu!”
Saat melihat langsung barang langka yang sebelumnya hanya kulihat di gambar-gambar online, aku tak bisa menahan diri dan mulai berbicara cepat dengan napas sedikit tersengal.
“Ngomong-ngomong, sapu tangan ini awalnya direncanakan untuk dibagikan sebagai bonus dari proyek manga Go-Go Rokuroku-chan. Tapi, mangakanya tiba-tiba menghilang, dan proyeknya terpaksa dibatalkan. Sayangnya, itu menyebabkan sapu tangan ini menjadi sangat langka. Namun, justru karena kemalangan seperti ini, Rokuroku-chan mendapatkan reputasi di kalangan kolektor. Bahkan, beberapa karya penggemar sempat viral di komunitas kecilnya.”
Saat sampai pada titik itu, aku tiba-tiba sadar bahwa Furukawa Hazakura hanya melongo, diam terpaku dengan mulut terbuka. Aku segera berhenti berbicara, merasa malu karena terlalu terbawa suasana.
“Rihito-kun, kamu tahu banyak tentang Rokuroku-chan! Tidak kusangka!” katanya dengan senyum cerah.
“Y, yah, begitulah,” jawabku dengan canggung.
Dulu, aku berpikir kalau mengenal maskot yang tidak begitu terkenal bisa membantuku mendapatkan citra yang lebih baik di sekolah. Aku sempat sangat tertarik dengan Rokuroku-chan. Tapi pada akhirnya, mendukung karakter yang tidak populer malah membuatku terlihat aneh, dan alih-alih meningkatkan reputasi, hal itu malah merusaknya lebih jauh.
Sial, kenapa aku harus memikirkan Rokuroku-chan di tengah kencan setelah sekolah ini? Ini benar-benar merusak suasana! Aku menggertakkan gigi, mencoba kembali fokus pada situasi saat ini.
Tetapi… sapu tangan Rokuroku-chan yang edisi terbatas itu, aku tetap saja merasa iri.
◆ ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧ ◆
Kami melangkah ke dalam sebuah toko yang dipenuhi dengan suara-suara keras dari berbagai permainan, dan wajah Furukawa Hazakura tiba-tiba bersinar lebih cerah dari yang pernah kulihat sebelumnya. Begitu cerah, sampai-sampai aku hampir merasa seolah-olah dia benar-benar memancarkan cahaya.
“Uwahhh!”
Topia adalah sebuah arcade besar yang memiliki dua lantai dan satu lantai bawah tanah. Berbagai jenis permainan dipasang di sini, mulai dari permainan crane, permainan koin, permainan musik, hingga permainan video.
Tempat ini termasuk salah satu destinasi favorit di Rokurozaka Shopping Street. Terutama, permainan crane-nya terkenal karena pengaturannya yang cukup mudah, dan stafnya yang ramah, menjadikannya arcade terbaik di daerah ini menurut banyak ulasan online.
“Ini pertama kalinya aku masuk ke game center! Wah, jadi begini rasanya... luar biasa! Hebat sekali!”
Sekali lagi, Furukawa Hazakura menunjukkan kekurangan kosa katanya yang khas dari seorang gadis kutu buku yang terkejut dan terkesima dengan pengalaman baru ini.
Dia melongo, memandang sekeliling dengan mulut terbuka—sungguh imut, jika aku boleh jujur, meskipun aku enggan mengakuinya.
“Kamu mau coba main sesuatu?” tanyaku.
“Ya!” jawabnya dengan semangat.
Furukawa Hazakura langsung berlari ke salah satu permainan crane di dekat kami.
“Wow! Boneka ini imut sekali!”
Kamu lebih imut, pikirku, hampir seperti orang bodoh yang tergila-gila, tapi aku menahan diri untuk tidak mengatakannya.
“Aku akan coba ini!”
Dengan semangat, Furukawa Hazakura memasukkan koin seratus yen dan bersiap menangkap boneka kelinci yang dipajang.
Aku sempat berpikir untuk memberinya beberapa tips, tapi memutuskan untuk tidak mengganggu keseruan pengalaman pertama dia mencoba permainan ini.
“Ah, hampir saja!”
Lengan crane melewati boneka tanpa menangkapnya, dan Furukawa Hazakura menatapnya dengan senyum penuh kekecewaan. Dia mencoba lagi beberapa kali, tapi lengan itu terus meleset. “Aduh!” keluhnya dengan suara sedikit frustasi.
Meski gagal terus, Furukawa Hazakura terlihat sangat menikmati permainannya.
“Aku payah ya! Hehe,” katanya sambil tertawa, meski tak berhasil menang.
Furukawa Hazakura dengan penuh semangat berseru sambil tersenyum lebar.
“Tapi, tapi, ini benar-benar menyenangkan!”
“Begitu ya. Syukurlah,” jawabku, ikut tersenyum melihat Furukawa Hazakura yang tampak begitu polos dan bahagia.
“Fiuu, aku sudah puas!” katanya sambil mengangguk puas, meski tak berhasil mendapatkan boneka kelinci sama sekali. Dari ekspresinya yang cerah, jelas bahwa dia belum menyerah, tapi dompetnya sudah tertutup rapat.
“Kamu sudah selesai?”
“Iya! Bermain game memang menyenangkan, tapi kalau terlalu banyak, uang sakuku bisa habis.”
“Kalau begitu, bagaimana kalau aku yang coba?”
“Huh?” Furukawa Hazakura tampak bingung, dengan mata berkedip-kedip.
“Bukankah game seperti ini biasanya dibuat agar sulit menang? Jadi tidak ada yang bisa mendapatkannya, kan?”
“Tidak selalu begitu.”
Aku meneliti permainan crane di depanku sambil tersenyum tipis. Meski permainannya memiliki penjepit dua cabang dan boneka kelinci yang sudah semakin sedikit, boneka itu memiliki label besar yang membuatnya lebih mudah dijepit. Ditambah lagi, setelah mengamati gerakan lengan crane saat Furukawa Hazakura bermain, aku yakin bisa mendapatkannya.
Aku memasukkan koin seratus yen yang sudah kusiapkan dan tersenyum lebar.
“Wow... seperti yang diharapkan dari Rihito-kun! Setiap gerakanmu begitu keren!” seru Furukawa Hazakura, memuji dengan kata-kata yang aneh.
Dengan penuh percaya diri, aku menggerakkan lengan crane, dan—
“Waaah!” Furukawa Hazakura berteriak kegirangan, suaranya terdengar lebih keras dari kebisingan di arcade. Ia melompat-lompat dengan riang. Rok nya sedikit terangkat, nyaris membuatku gugup, tapi aku tetap menjaga wajahku agar terlihat tenang saat mengambil boneka kelinci dari kotak pengambilan.
Benar, aku berhasil mendapatkan boneka kelinci dalam satu percobaan. Hanya dengan seratus yen! Aku merasa cukup bangga dengan hasil luar biasa ini.
“Ahhh! Kamu benar-benar berhasil! Dan hanya dengan seratus yen! Luar biasa, luar biasa, luar biasa sekali, Rihito-kun!”
Furukawa Hazakura, yang biasanya berusaha menjadi gadis dewasa, kini tampak seperti anak kecil yang kegirangan. Aku menyerahkan boneka itu padanya.
“Ini, untukmu.”
“Eh! Benarkah? Apa... apa boleh?”
“Yah, tidak ada gunanya juga aku membawa boneka ini. Lagipula, boneka itu pasti lebih bahagia jika dipeluk olehmu.”
“Terima kasih! Aku sangat senang! Imut sekali... hehe, hehe...” katanya dengan wajah tersenyum manis, sambil memeluk boneka itu dengan lembut.
Boneka kelinci tersebut langsung terhimpit di dadanya yang besar, membuatku tanpa sadar menelan ludah.
Boneka itu benar-benar beruntung, pikirku dengan sedikit kesal, karena bisa berada di posisi yang seharusnya tidak dimiliki oleh boneka.
“Rihito-kun, kamu hebat juga ya dalam bermain crane game! Keren banget!”
“Yah, aku pernah belajar sedikit waktu dulu,” jawabku sambil mencoba merendah.
Jika aku berhasil menguasai permainan crane game, mungkin aku akan mendapatkan citra yang lebih akrab dan tidak dibenci oleh orang-orang. Tak kusangka, usahaku itu ternyata berguna.
Saat itu, aku merasa bahwa menghabiskan waktu di arcade memberi kesan negatif seolah aku adalah orang yang suka bertengkar, dan justru mendapat penilaian buruk. Namun, ketika Furukawa Hazakura memujiku dengan sebutan “keren,” seolah semua usaha lamaku terbayar.
Saat aku tenggelam dalam perasaan hangat tersebut, tiba-tiba—
“Grrruuuuu...”
Sebuah suara lucu muncul dari perut Furukawa Hazakura.
“Ah... perutku berbunyi,” katanya, wajahnya memerah, sambil menekan perutnya dan tertawa canggung, “Ehehe...” Tanpa sadar, aku menahan dorongan untuk mengelus kepalanya, dan berusaha tetap tenang sambil memeriksa waktu di ponselku.
“Waktunya sudah pas, bagaimana kalau kita cari makan?”
“Iya! Dengan senang hati!” jawab Furukawa Hazakura dengan semangat, namun dengan sikap canggung ia berkata, “Sebenarnya, ada sesuatu yang ingin kucoba…”
Aku merasakan ketegangan menjalar dalam diriku mendengar usulan itu. Ini adalah pertama kalinya aku makan bersama perempuan, dan ketika seorang mantan gadis sastra yang ingin menjadi dewasa mengungkapkan ingin mencicipi sesuatu, imajinasiku mulai berputar.
Bagaimana jika dia menginginkan tempat makan yang mahal dan elegan, atau restoran tua dengan pemilik yang sangat ketat?
◆ ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧ ◆
Kesimpulannya, kekhawatiranku ternyata tidak beralasan sama sekali.
Furukawa Hazakura membawaku ke sebuah kedai ramen.
Kedai ramen Sanroku terletak di sudut Shiroshirozaka. Tempat ini bukanlah restoran terkenal yang mahal atau kedai tua yang pengelolanya cerewet, melainkan sebuah tempat biasa yang menyediakan ramen dalam porsi melimpah dengan harga terjangkau.
Meja kayu yang berminyak dan kursi bulat yang usang memberikan kenyamanan tersendiri. Tentu saja, di sini juga tersedia majalah komik yang sudah usang.
Jarak antara pelanggan dan pemilik kedai terasa pas, dan sikap pemilik yang sedikit acuh tak acuh sangat menguntungkan bagi orang-orang introvert sepertiku.
Setelah meneguk air dingin yang menyegarkan, aku menghela napas lega. Setelah semua ketegangan yang kuhadapi, aku merasa lebih ringan. Rasanya seperti berendam dalam bak mandi hangat pada hari yang dingin.
Sementara aku merasa rileks, Furukawa Hazakura justru tampak serius memegang sumpitnya. Dia memiliki ekspresi campuran antara kegembiraan dan ketegangan, seolah menunggu ramen yang dipesan dengan penuh harap.
“Aku sudah lama! Sangat lama! Sejak dulu! Mengidamkannya,” serunya dengan napas berat, matanya berbinar penuh semangat.
“Tapi, demi menjaga citra sebagai gadis sastra, aku belum pernah mencobanya… Aku hanya mengidamkannya saja. Namun hari ini! Saat ini! Akhirnya, cita-citaku bisa terwujud!”
Furukawa Hazakura hampir meneteskan air mata, saat ramen dan nasi besar yang diantarkan oleh pemilik kedai menghampirinya.
“Ramen rice!”
Ya, ternyata yang dia idamkan bukanlah ramen biasa, melainkan kombinasi antara ramen dan nasi! Sebuah perpaduan karbohidrat yang menggiurkan! Ini adalah hidangan terlarang yang diciptakan umat manusia!
Aku mengerti mengapa dia khawatir jika seorang gadis sastra terlihat makan ramen dengan nasi, itu bisa menghancurkan citranya. Namun, bagiku, perbedaan itu justru terasa sangat manis dan menggemaskan.
“Kalau begitu!”
Furukawa Hazakura mengatupkan kedua tangannya dengan kekuatan seperti seorang samurai yang siap bertempur. Apakah ini yang disebut semangat membara?
“──Selamat makaaaannn──”
Dengan tegas, saat ia mematahkan sumpit, Furukawa Hazakura membuka tirai pertempuran.
Kemudian, dengan gerakan yang anggun, ia mulai menyantap ramen rice.
Anggun.
Mungkin kata itu berlebihan untuk menggambarkan cara Furukawa Hazakura menikmati ramen rice. Mungkin, Guru bahasa Jepang akan menegurnya karena tidak pantas. Namun, terlepas dari itu, aku ingin menyebut cara Furukawa Hazakura melahap ramen rice itu anggun.
Begitu luar biasa, gerakan menghirup mie-nya mengalir seperti air terjun yang jernih. Cara ia menyuap nasi terlihat begitu gagah dan megah, membuatku menahan napas saking terpesonanya.
Furukawa Hazakura merasakan harmoni antara mie dan nasi di dalam mulutnya dan mengeluarkan suara manis, “Nn~” seolah terpesona oleh rasa yang menggugah selera.
“Ah... Enak sekali!”
Dengan suara serak yang agak menggoda, ia berkata sambil wajahnya memerah. Aku tidak melewatkan air mata yang mengalir di pipinya. Sangat wajar jika ia menangis karena akhirnya bisa mencicipi ramen rice yang selama ini ia impikan.
Aku berusaha keras menahan diri agar tidak ikut menangis dan mulai menyantap ramen rice milikku. Meskipun porsi nasinya lebih kecil, aura yang terpancar tetap terasa berat.
Kombinasi mie dan nasi ini memang memiliki rasa yang luar biasa, tetapi kalori yang terkandung juga tidak kalah mengejutkan.
Saat ini, tubuhku masih ramping dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan gemuk, tetapi aku teringat peringatan ibuku yang pernah berkata, “Kalau kamu lengah, bisa-bisa kamu akan cepat gemuk!” dengan wajah penuh khawatir. Dengan pemikiran itu, aku mengingatkan diriku untuk lebih berhati-hati.
…Namun, jika sampai harus memikirkan kesehatan saat menyantap ramen rice, maka itu sama saja merusak momen. Jika terus berpikir seperti itu, aku justru akan merasa tertekan dan stres. Oleh karena itu, saat menikmati ramen rice, aku harus melepas semua beban!
Setelah berusaha melepaskan diri dari kekhawatiran, aku pun mulai melahap ramen rice dengan penuh semangat.
Keistimewaan ramen rice bukan hanya terletak pada kombinasi mie dan nasi… tidak hanya itu! Daging chashu dengan nasi, telur rebus dengan nasi, menma dengan nasi, dan bahkan kuah dengan nasi! Ditambah lagi, jika ditaburi minyak cabai atau merica sesuai selera, kombinasi rasa akan semakin beragam!
Tentu saja, rasa bersalah karena mengonsumsi terlalu banyak karbohidrat juga menjadi bumbu rahasia yang tak bisa dilewatkan.
Meskipun ramen itu sudah enak sekali, kehadiran nasi yang membawa rasa itu ke tingkat yang lebih menggoda… Sebenarnya, bukan nasi yang bersalah. Yang benar-benar bersalah adalah manusia. Manusia yang menciptakan hidangan ini adalah makhluk yang paling penuh dosa…
Aku pun melahap semua kesalahan itu dengan lahap, menatap mangkuk yang kini sudah kosong.
“Fuh…”
Furukawa Hazakura meneguk air setelah makan, dan dengan senyuman segar yang menunjukkan kepuasan setelah bertarung, ia berkata, “Terimakasih atas makanannya!”
Dengan penuh rasa syukur, ia menyatukan kedua tangannya dan menundukkan kepala dengan sopan.
“Namun, aku terkejut melihat seberapa cepat kamu makan. Aku memang cenderung makan cepat, tapi tak kusangka kamu bisa menyelesaikannya dengan kecepatan yang sama,” kataku.
Tidak, tunggu. Aku menyadari sesuatu yang lebih mendalam dan merasakan rasa takut. Sementara aku hanya memesan nasi dalam porsi kecil, Furukawa Hazakura menyantap nasi dalam porsi besar… Dan yang mengejutkan, ia bahkan sudah menghabiskan porsi tambahan tanpa aku sadari.
Dengan kata lain, Furukawa Hazakura ternyata pemakan yang lebih cepat dariku, dan dia juga memiliki nafsu makan yang sangat besar.
Aku hanya bisa gemetar ketakutan, bertanya-tanya di mana tubuh kecilnya bisa menampung semua makanan itu.
“Eh? Bukankah di sekolah kamu selalu makan dari kotak bekal kecil, seakan-akan kamu makan dengan pelan?”
Mengingat percakapan si kacamata dengan rambut belah tengah, aku mengernyitkan alis.
“Ehehe... itu hanya untuk berpura-pura sebagai gadis sastra. Aku sengaja berpura-pura makan sedikit. Sebenarnya, di setiap pelajaran sore, aku harus berjuang agar perutku tidak berbunyi, lho.”
“Be-begitu, ya...”
Aku jadi terenyuh. Bayangkan, dia bahkan tidak bisa makan ramen dengan nasi dan harus bertahan dengan kotak bekal kecil. Sepertinya menjadi orang populer pun membawa kesulitan tersendiri.
◆ ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧ ◆
Setelah makan, kami mengunjungi toko buku favorit Furukawa Hazakura, LEPRE.
LEPRE adalah pusat toko buku di kawasan perbelanjaan yang sudah dikenal sejak lama, namun karena resesi, ruang yang diisi oleh buku semakin berkurang setiap tahunnya. Sebagai gantinya, mereka mulai menjual pakaian, pernak-pernik, makanan ringan impor, dan permainan papan.
Membayangkan beberapa tahun ke depan toko ini hanya akan menjadi toko pernak-pernik yang juga menjual beberapa buku membuatku merinding.
Sementara aku memikirkan hal yang tidak sopan ini, Furukawa Hazakura sibuk mencari buku dengan mata berbinar seperti anak kecil. Walaupun dia sudah meninggalkan peran sebagai gadis sastra, tampaknya kecintaannya pada buku tidak berubah.
“Toko buku ini punya koleksi fiksi ilmiah yang luar biasa, baik dari dalam maupun luar negeri!”
“Oh ya? Jadi, kamu suka fiksi ilmiah?”
“Aku suka fiksi ilmiah! Aku ini orang yang tidak pilih-pilih. Meski dulu saat jadi gadis sastra aku merahasiakannya, aku juga suka komik dan light novel, lho!”
Meski aku cukup sering membaca komik dalam bentuk digital, aku tidak begitu terbiasa dengan novel, apalagi light novel. Sampai sekarang, aku bahkan belum pernah menyentuhnya.
“Light novel itu menarik ya? Aku belum pernah baca satu pun.”
“Ada banyak yang menarik, tapi ada juga yang tidak begitu menarik!”
Aku tertawa mendengar jawabannya yang jujur.
“Oh iya! Bolehkah aku merekomendasikan light novel yang bagus untukmu nanti?”
“Ah... tentu, akan sangat menyenangkan kalau kamu mau merekomendasikannya.”
Kata “nanti” terasa sedikit mengganjal di hatiku, tapi aku memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya. Sekarang aku hanya ingin menikmati momen ini tanpa beban.
“Tunggu sebentar!”
Furukawa Hazakura tiba-tiba berhenti di tengah toko dan berseru terkejut.
“Ada apa?”
“Maaf! Ada sudut khusus untuk penulis Ayashiro-sensei, jadi aku agak bersemangat.”
“Ayashiro-sensei?”
Aku mengikuti arah pandangannya dan melihat sudut khusus yang diisi oleh buku-buku karya seorang penulis bernama Ayashiro Kanade. Buku-buku tersebut tertata rapi dengan poster-poster buatan tangan dan ilustrasi tambahan yang dipajang, menunjukkan betapa seriusnya toko ini mengelola sudut tersebut.
“Ayashiro Kanade... sepertinya aku pernah mendengar namanya.”
“Mungkin kamu pernah lihat namanya karena filmnya akan segera dirilis!”
Furukawa Hazakura menunjuk pada sebuah poster yang bertuliskan “Akan Diadaptasi ke Film! Carbohydrate Detective!”, dan aku pun langsung mengerti. Apakah mungkin kekagumannya pada ramen dengan nasi terinspirasi dari buku ini?
“Karya Ayashiro-sensei adalah yang paling aku suka di dunia!”
Furukawa Hazakura memandangi satu per satu buku yang tersusun di rak dengan tatapan penuh kasih sayang, lalu dengan nada penuh kekaguman ia berkata,
“Gaya penulisannya begitu lembut, tenang, dan halus… namun tetap berani dengan plot twist yang tak terduga! Dunia yang diciptakan begitu mendalam, dan perasaan yang tersisa setelah membacanya benar-benar tak tergantikan... Seperti rasa nyaman yang perlahan meresap ke dalam hati.”
Melihat Furukawa Hazakura berbicara dengan cepat tentang penulis favoritnya, wajahnya tampak penuh kebahagiaan.
Aku, yang mendengarkannya pun ikut merasakan kebahagiaan yang ia pancarkan.
“Dan yang lebih keren, dia tidak menggunakan SNS dan hampir tidak pernah muncul di depan umum! Auranya yang misterius benar-benar membuatnya terlihat luar biasa!”
Setelah menyampaikan penjelasan itu dengan penuh semangat, wajah Furukawa Hazakura tiba-tiba memerah. Ia langsung merasa panik.
“Ma-maaf! Aku terlalu banyak bicara…”
“Tidak apa-apa. Aku bisa merasakan kecintaanmu pada karya itu.”
“Benarkah? Ehehe… Aku senang mendengarnya!”
Kami terus berjalan di dalam toko, sementara Furukawa Hazakura menunjukkan beberapa buku yang ia rekomendasikan.
Hingga kami tiba di bagian majalah, ia berhenti dan mengambil majalah Fashion yang menampilkan seorang gadis bergaya gyaru yang mencolok. Furukawa Hazakura lalu memandangku dengan tatapan penuh harap.
Di balik matanya yang besar, aku bisa melihat bayanganku yang tampak gugup.
“Master!”
“Berhenti memanggilku Master.”
Orang-orang di sekitar kami mulai melirik.
“Bisakah kau memberiku saran tentang pakaian kasual untuk hari libur?”
“Pakaian kasual?”
“Ya! Jujur saja, pakaian kasualku semuanya seperti pakaian seorang gadis sastra... Aku ingin dirimu yang bergaya memilihkan pakaian kasual yang menarik untukku!”
Kata “gaya” yang ia ucapkan berulang-ulang terasa berlebihan.
“Tapi... memilih pakaian untuk seorang gadis rasanya...”
Meskipun aku suka pakaian dan aksesoris, minatku hanya terbatas pada pakaian pria. Tentu saja aku tidak memiliki pengetahuan tentang pakaian wanita.
Lebih dari itu, sebagai pria yang belum berpengalaman dengan dunia perempuan, jelas ini adalah tantangan besar bagiku.
Aku hendak menolak, tapi tatapan Furukawa Hazakura yang begitu penuh harap membuatku merasa lemah.
“Aku... akan memikirkannya.”
Aku mengucapkan kata-kata itu hanya untuk menghindari situasi, lalu dengan cepat berusaha meninggalkan area majalah—tapi saat itu juga, aku merasakan sensasi aneh merambat di punggungku.
Ketika aku menoleh, di balik rak buku yang tak jauh dari kami, aku melihat dua gadis SMA yang kukenali sedang mengintip kami. Mereka adalah teman sekelas kami.
Dan mereka adalah gadis-gadis yang dulu mengagumi Furukawa Hazakura sebagai sosok gadis sastra.
Mereka terus memandang kami dengan tatapan tajam dan berbisik-bisik dengan ekspresi penuh keraguan.
Aku tidak bisa mendengar percakapan mereka, tapi dari wajah mereka yang mencemooh, aku bisa menebak isi pembicaraannya.
Tatapan yang dingin dan senyum yang sinis.
Rasa jijik.
Mendapatkan tatapan penuh kebencian bukanlah hal baru bagiku, namun kali ini berbeda. Rasa jijik itu bukan hanya ditujukan padaku, tetapi juga melukai Furukawa Hazakura—tajam, dalam, dan menyakitkan. “Semua ini terjadi hanya karena dia bersamaku,” pikirku sejenak, hingga suara kecil Furukawa Hazakura memecah lamunanku.
“Rihito-kun…”
Dengan wajah pucat dan tangan gemetar, Furukawa Hazakura menggenggam ujung seragamku, seolah ia tak mampu melangkah.
Senyumnya yang dipaksakan tampak lebih seperti ekspresi kesakitan daripada kebahagiaan. Hatiku terasa nyeri melihat itu.
Aku tak tahu apakah yang kurasakan ini adalah kemarahan atau kesedihan, tapi sebelum aku sempat memahaminya, Furukawa Hazakura memanggilku dengan suara bergetar.
“Boleh kita bicara sebentar?”
◆ ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧ ◆
“Apakah mereka kecewa padaku?”
Kami duduk di bangku yang terletak di depan pusat permainan, dan Furukawa Hazakura berbicara pelan.
Suaranya jauh lebih rendah daripada ketika kami menikmati kencan setelah sekolah, bahkan lebih rendah daripada saat dia masih menjadi gadis sastra yang diam-diam melankolis.
“Yang kau maksud adalah gadis-gadis di toko buku tadi?”
“Iya…”
Angin malam yang sejuk bertiup lembut, membuat rambut hitam panjang Furukawa Hazakura berayun pelan, kontras dengan perasaannya yang kacau.
“Sejak tadi pagi… aku sudah merasa kalau teman-teman sekelas mulai kecewa padaku, tapi aku berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya.”
Dengan suara yang sedikit tertahan, Furukawa Hazakura melanjutkan.
“Tapi, dua gadis tadi… mereka selalu baik padaku. Jadi, aku pikir mereka mungkin bisa menerimaku apa adanya. Tapi ternyata aku salah. Rasanya sangat menyakitkan… heh, betapa bodohnya aku yang berharap terlalu banyak, ya?”
Dia mencoba tersenyum lagi, meskipun jelas terlihat dipaksakan.
Itu senyuman yang membuat dadaku kembali terasa sesak.
Aku tak bisa mengatakan kata-kata kosong seperti “Jangan pedulikan apa yang orang lain pikirkan”. Bahkan jika aku bisa, itu hanya akan menjadi ungkapan hampa yang tak bermakna.
Furukawa Hazakura yang tengah merasa tertekan pasti tidak akan merasa lega sedikitpun dari kata-kata semacam itu. Itu hanya akan terdengar sebagai keegoisan belaka dari diriku.
“…………”
“…………”
Setelah hening sejenak, Furukawa Hazakura akhirnya membuka bibirnya yang bergetar dan berkata dengan pelan.
“Bolehkah aku bercerita sedikit tentang diriku?”
“Ya, tentu.”
Tanpa ragu, aku mengangguk.
Melihat reaksiku, Furukawa Hazakura menampilkan senyum lembut sebelum mulai bercerita.
“Aku mulai menjadi gadis sastra sejak kelas lima SD. Sebenarnya tidak ada alasan yang dramatis. Aku hanya sering membaca buku saat istirahat, dan suatu hari teman sekelasku berkata, ‘Furukawa-san, kamu terlihat seperti gadis sastra,’ dan dari situlah aku mulai sadar akan imej itu.”
Sambil memainkan ujung rok pendeknya di atas pahanya, Furukawa Hazakura melanjutkan ceritanya dengan nada yang tenang.
“Aku orang yang ceroboh dan pelupa, jadi aku berpikir kalau aku tetap diam dan tenang, mungkin aku akan terlihat seperti orang yang rapi dan teratur. Rasanya mudah saja waktu itu…”
“Memang, kau sedikit aneh,”
Memikirkan kembali kejadian hari ini, aku mengangguk dalam-dalam.
“An—aneh? Aduh, ya ampun! cuma sedikit aneh kok, cuma sedikit!” balas Hazakura dengan pipi menggembung kesal, lalu dia sedikit tersenyum, tampak lebih rileks.
“Awalnya hanya permainan peran semata. Aku diam dan hanya membaca buku saja. Tapi lama-kelamaan, mereka mulai membangun citra tentang diriku sendiri... ‘Furukawa-san pemalu’, ‘Furukawa-san makannya sedikit’, ‘Dia hanya baca novel serius, bukan manga’, ‘Dia memliki kepribadian kuno’, seolah mereka menciptakan sosok ideal gadis sastra yang mereka inginkan.”
Bukan “seolah”, pikirku.
Mereka memang melakukannya. Bukan Furukawa Hazakura yang memilih untuk menjadi gadis sastra, melainkan teman-temannya yang menciptakan peran itu untuknya—sebuah sosok ideal yang klasik, seperti karakter fiksi dalam cerita kuno.
“Karena itulah, aku mulai memakai kacamata, mengepang rambut, dan memanjangkan rok. Aku ingin mendekati sosok gadis sastra yang mereka inginkan.”
Setelah mengatakan itu, Furukawa Hazakura menghela napas kecil dan dengan suara lemah, seakan mengeluarkan seluruh isi hatinya, ia berkata:
“Aku tak ingin mengecewakan mereka.”
Yang Furukawa Hazakura rasakan bukanlah sekadar keinginan, melainkan tekanan kuat—sebuah kewajiban untuk memenuhi ekspektasi mereka, serta ketakutan akan mengecewakan orang lain. Perasaan yang tidak pernah bisa kumengerti sepenuhnya, karena aku tidak pernah diharapkan oleh siapa pun.
Aku tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk menenangkannya, dan hanya bisa merasa frustrasi melihat keadaannya.
“Namun, di balik itu semua, aku merindukan perubahan. Meski aku tak ingin mereka kecewa, di dalam hatiku, aku ingin berubah.”
Hazakura menatap siswa-siswa dari sekolah lain yang tertawa riang di depan arcade, tampak iri dengan kebebasan mereka, dan dia menggelengkan kepalanya dengan lemah.
“Aku ingin… mencoba berpakaian modis seperti mereka, jalan-jalan sepulang sekolah, merasakan cinta yang mendebarkan... aku ingin merasakan semua itu.”
Suaranya mulai tersendat, dan dia menggenggam roknya erat-erat. Dengan suara yang disertai isakan pelan, ia melanjutkan:
“Karena selama ini aku tetap menjadi gadis sastra... aku tak pernah bisa tampil lebih menarik, selalu membaca buku, selalu merasa canggung dengan lawan jenis... Sementara teman-teman di sekelilingku terus berkembang, menjalani berbagai pengalaman, tumbuh menjadi lebih dewasa.”
Jeritan hati Furukawa Hazakura menghujam perasaanku dengan keras, menyentuh bagian terdalam jiwaku.
“Aku merasa ditinggalkan sendiri.”
Furukawa Hazakura tetaplah Furukawa Hazakura. Ia terus menjadi sosok yang diinginkan teman-temannya, gadis sastra yang sempurna sejak masa kecil.
Namun, teman-temannya tidak demikian. Mereka berubah—dari siswa SD, ke siswa SMP, hingga menjadi siswa SMA—dan tumbuh menjadi orang dewasa.
Betapa ironisnya.
Mereka memaksakan Furukawa Hazakura untuk tetap sama, namun mereka sendiri terus berubah dan menjauh darinya.
“Itulah sebabnya aku ingin menjadi dewasa. Aku tak ingin terus tertinggal... Lagi pula, aku takut jika aku terus berperan sebagai gadis sastra ini, aku akan kehilangan jati diriku yang sesungguhnya.”
Itulah alasan sebenarnya mengapa Furukawa Hazakura memutuskan untuk berhenti menjadi gadis sastra. Bukan karena dia membenci “sastra” atau mengkhianatinya. Dia hanya ingin lulus dari peran gadis sastra yang selama ini mengekangnya.
“Begitu, ya... Itulah mengapa kau memilih untuk menjadi ‘murid’ku, ya?”
Dengan anggukan pelan, Furukawa Hazakura tersenyum dengan perasaan sepi.
“Rihito-kun, terima kasih banyak untuk hari ini. Aku benar-benar menikmati semua hal yang selama ini aku impikan. Namun, maafkan aku. Setelah melihat reaksi teman-teman sekelas, aku menyadari bahwa aku tak ada artinya tanpa peran gadis sastra. Jadi... jadi... aku rasa aku harus kembali menjadi gadis sastra...”
Sebelum Furukawa Hazakura sempat menyelesaikan kalimatnya, aku berdiri dengan tiba-tiba dan berteriak.
“Hazakura!”
Teriakanku membuat Hazakura terkejut, tubuhnya menegang, dan matanya berkedip bingung.
“Eh, eh... apa? Ah, namaku...”
Aku menahan rasa malu karena tanpa sengaja memanggilnya dengan nama depannya, lalu memaksakan diri untuk tetap tenang. Aku menatapnya lurus-lurus, berusaha menggerakkan bibirku yang gemetar untuk mengeluarkan kata-kata dengan segenap tenagaku.
“Besok... datanglah dengan dirimu yang seperti ini.”
“Eh?”
Mata Hazakura yang kebingungan menatapku dengan pandangan penuh keraguan.
“Datanglah ke sekolah besok tanpa kacamata, tanpa rambut dikepang, dan dengan rok yang pendek seperti sekarang... bukan sebagai gadis sastra, tetapi sebagai dirimu yang sebenarnya.”
“Tapi...”
“Tak apa, biar aku yang urus.”
Setelah mengucapkan itu, aku memalingkan pandangan dan membelakanginya.
“Lagi pula, aku kan Mastermu.”
◆ ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧ ◆
Keesokan paginya, begitu memasuki kelas, aku segera berjalan cepat menuju podium.
Dari atas podium, aku melihat sekilas seluruh ruang kelas.
Teman-teman sekelas belum menyadari keberadaanku—atau mungkin mereka sengaja mengabaikanku, asyik berbicara satu sama lain.
Bel masih belum berbunyi, dan hanya tinggal beberapa menit lagi. Untungnya, tidak ada yang terlambat atau absen, seluruh siswa di kelas 1-1 sudah lengkap.
Suasana pagi yang sedikit riuh tapi damai. Dan sebentar lagi, aku akan menghancurkan ketenangan itu.
Tatapanku bertemu dengan tatapan Hazakura yang duduk dengan gelisah di bangkunya, lalu mengangguk kecil.
Seperti yang aku minta, Hazakura datang tanpa kacamata, tanpa rambut dikepang, dan dengan rok yang tetap pendek. Karena itulah teman-teman sekelas masih ribut, sama seperti kemarin. Dan karena itu, aku tidak boleh gagal.
“...Fuu.”
Aku menghela napas, menenangkan diri, lalu dengan sekuat tenaga, aku memukul meja guru. Suara keras itu bergema di seluruh kelas, dan semua mata yang terkejut dan tidak senang langsung tertuju padaku.
Tentu saja, seorang siswa paling dibenci di kelas yang tiba-tiba memukul meja guru akan menarik perhatian dengan cara yang salah.
Jantungku berdegup kencang seakan mau meledak, aku mulai lupa cara bernapas, dan mulutku terasa kering kerontang.
Jujur saja, aku ingin lari saat itu juga. Tapi, ada sesuatu yang lebih penting yang harus kulakukan.
Demi Hazakura.
Tidak, demi menghadapi perasaanku sendiri yang ingin menyelamatkan Hazakura.
Dengan segenap keberanian, aku mengubah perasaanku menjadi kata-kata dan berteriak.
“Maafkan aku! Karena salahku, Furukawa Hazakura jadi memendekkan roknya!”
Mendengar ucapanku, teman-teman sekelas terdiam bingung. Suasana lebih gaduh dibandingkan ketika Hazakura muncul di kelas kemarin.
Ada kegaduhan, keraguan, kemarahan, bahkan kebingungan tentang apa yang harus mereka lakukan. Mereka tampak tak tahu harus bereaksi seperti apa.
Ini sesuai rencana.
Dalam kekacauan ini, aku yakin bisa mengambil kendali.
“Aku tahu perasaan kalian yang mengagumi Furukawa Hazakura,” kataku sambil mengangguk tegas, mencoba menunjukkan empati pada teman-teman sekelas.
“Jujur saja, di zaman Reiwa ini, gadis sastra yang benar-benar klasik seperti dia, bahkan jarang ada di anime atau manga. Kacamata polos tanpa hiasan, rambut dikepang sederhana, rok panjang yang terlalu kuno, sifat lembut dan pendiam, sedikit makan, tanpa pengalaman cinta, takut pada laki-laki, dan tak terkontaminasi oleh dunia luar. Seperti tokoh dari dunia fantasi.”
Aku merasakan tatapan tajam dari seorang siswa berkacamata di sudut ruangan, membuatku hampir mundur.
Tapi aku mengepalkan tangan yang gemetar, memaksakan diri untuk melanjutkan.
“Kalian semua terpesona, jatuh cinta, dan bermimpi tentang sosok itu. Aku paham perasaan itu, sama seperti aku yang pernah terobsesi dengan idol Vtuber saat SMP.”
Dengan nada penuh emosi, aku melanjutkan, “Tapi, Furukawa Hazakura bukanlah idol. Dia bukan seorang profesional yang bertugas untuk mewujudkan impian kalian. Dia bukan dewi yang hadir hanya untuk memenuhi harapan kalian. Jadi, bukankah sudah saatnya kita berhenti memaksakan harapan itu padanya?”
Aku menatap satu per satu wajah teman-teman sekelas, berharap dapat menyampaikan perasaanku. Meski sebagian memalingkan wajah, atau menatapku dengan mata penuh kebencian, aku terus berbicara dengan semangat.
“Furukawa Hazakura hanya memainkan peran sebagai gadis sastra untuk memenuhi harapan kalian. Dia takut membuat kalian kecewa. Memang benar bahwa dia suka membaca dan sangat kutu buku. Fakta bahwa dia belum pernah mengalami cinta dan masih polos, juga tidak bisa dipungkiri.”
Sambil membiarkan kenangan manis dari kencan kami kemarin sore memenuhi pikiranku, aku berbicara dengan suara lembut tentang Hazakura.
“Kalian tahu nggak? Sebenarnya dia sangat doyan makan.”
Sekali lagi, teman-teman sekelas terkejut, membuat kegaduhan kecil. Dari sudut pandangku, aku bisa melihat Hazakura yang pipinya memerah, malu, tapi aku tetap melanjutkan dengan sedikit rasa bersalah.
“Ketika makan ramen, dia makan dengan sangat lahap dan wajahnya terlihat begitu bahagia. Dia menyantap mie dengan semangat, menelan nasi dengan cepat, dan bahkan menghabiskan sup sampai tetes terakhir. Sungguh pemandangan yang menyenangkan. Bahkan, dia nambah dua kali.”
Siswa berambut cokelat yang pernah memuji Hazakura karena makan pelan-pelan dari kotak bekal kecilnya, kini tampak terkejut, mulutnya terbuka lebar. Santai saja, bahkan kalau dia makan banyak, tetap saja imut.
“Ketika bermain crane game di arcade, dia sangat bersemangat seperti anak kecil. Saat membicarakan buku yang dia sukai, suaranya jadi cepat dan antusias. Furukawa Hazakura yang sebenarnya jauh lebih ekspresif dan menyenangkan daripada yang kalian kira.”
Dia penuh ekspresi, sedikit aneh, konyol, dan di balik semua itu, dia juga banyak berpikir dan khawatir. Sangat manusiawi. Itulah mengapa, Hazakura bukanlah sekadar idola tanpa jiwa. Dia adalah seorang manusia yang menarik.
“Furukawa Hazakura hanya ingin kalian mengenal dirinya yang sebenarnya. Bukan sebagai gadis sastra, tapi sebagai Furukawa Hazakura, seorang manusia yang nyata. Itulah sebabnya dia meminta bantuanku... untuk melepaskan kacamatanya, melepas kepangannya, dan memendekkan roknya, satu per satu, menghilangkan elemen gadis sastranya.”
Gadis yang selama ini tertinggal di belakang, kini melangkah maju menjadi seorang dewasa.
“Jadi, jangan bilang dia terpengaruh oleh laki-laki yang buruk, atau merasa tercemari, atau bahkan merasa kecewa,” kataku tegas.
Saat Hazakura datang kepadaku untuk meminta bimbingan.
Saat dia memutuskan untuk berhenti menjadi gadis sastra dan menunjukkan dirinya yang sebenarnya di depan semua orang.
Saat dia dengan berani membuka isi hatinya padaku di malam hari di pusat perbelanjaan.
Semua itu pasti membutuhkan keberanian yang luar biasa dari Hazakura. Karena itu, untuk menjawab keberanian dan perasaannya, aku mengumpulkan seluruh keberanianku, dengan semangat yang berkobar dalam hati.
“Aku juga tidak menolak bahwa kalian menyukai sosok gadis sastra itu. Entah itu fetish kacamata, kesukaan pada rambut dikepang, atau rasa romantis terhadap rok panjang, semua itu sah-sah saja! Tidak ada yang perlu merasa malu dengan preferensi semacam itu! Tapi memaksakan itu kepada seseorang adalah bentuk egoisme yang nyata!”
Dengan semangat yang menggebu, aku melemparkan kata-kata itu, kemudian menatap wajah teman-teman sekelasku satu per satu. Ada yang mengernyit, ada yang berbisik-bisik, dan ada juga yang menatapku dengan tajam tanpa berkedip, seperti siswa berkacamata di pojok. Namun, tanpa ragu, aku melanjutkan dengan suara yang tegas.
“Kalian bisa membenciku sesuka hati. Kenyataannya, Furukawa Hazakura memendekkan roknya karena aku. Tapi... tolong, terimalah perasaannya.”
Setelah mengatakan itu, aku membungkuk dalam-dalam hingga kepalaku hampir mengenai meja guru.
“Aku mohon.”
◆ ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧ ◆
Singkatnya, Hazakura yang sudah berhenti menjadi gadis sastra diterima oleh semua orang.
Mengatakan bahwa semua ini berkat pidatoku tentu saja terlalu berlebihan. Pidatoku hanyalah dorongan kecil, hanya sebuah awal dari perubahan.
Teman-teman sekelas menerima Hazakura karena, di atas segalanya, kepribadiannya yang asli memang menyenangkan dan mudah disukai.
Dengan kata lain, itu semua karena dia adalah Hazakura.
Mulai sekarang, dia tak lagi harus memikul beban ekspektasi atau diperlakukan berlebihan. Kehidupan sekolah yang bahagia kini terbuka untuknya. Bahkan, dia sudah mulai memiliki beberapa teman perempuan. Tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan.
Sungguh, ini adalah akhir yang bahagia.
“Rihito-kun, terima kasih banyak.”
Rambut hitam Hazakura bersinar diterpa sinar matahari sore yang masuk melalui jendela di koridor. Jika dilihat dari sudut pandang emosional, rambutnya tampak seperti akan lenyap ke dalam cahaya… menciptakan suasana yang begitu menyentuh hati.
Meski pada kenyataannya, yang akan menghilang mungkin adalah aku, bukan ke dalam cahaya, melainkan ke dalam kegelapan.
“Maaf... karena gara-gara aku, kamu jadi lebih──”
“Ini bukan salahmu,” potongku sambil tersenyum sinis, sebelum Hazakura bisa menyelesaikan kalimatnya yang penuh rasa bersalah.
Ya, seiring dengan Hazakura yang diterima oleh semua orang, kebalikannya, aku malah semakin dijauhi.
Meskipun pidatoku tentang Hazakura diterima oleh semua orang, sikapku yang terkesan sombong dan penuh keyakinan justru memperburuk kesan mereka terhadapku. Ucapanku yang menyatakan, “Kalian bisa membenciku sesuka hati,” hanya memperburuk situasi.
Ketika aku bercerita tentang bagaimana aku makan ramen bersamanya atau bermain di arcade, orang-orang mulai berpikir aku seperti laki-laki yang memanfaatkan kelemahan gadis cantik yang sedang berusaha berubah.
Ditambah lagi, ada yang mengatakan bahwa aku “berusaha terlihat sebagai orang baik tapi mencurigakan,” atau “mungkin terlihat baik sekarang, tapi suatu saat akan mengkhianati,” atau bahkan “narsis yang mabuk dengan kebaikan yang dilakukannya.” Tuduhan semacam itu terus berdatangan, semakin memperburuk situasi.
Jika diartikan secara positif, mungkin dengan menjadikanku sebagai tokoh jahat, teman-teman sekelas menjadi lebih bersatu dan akhirnya bisa menerima Hazakura. Tapi, bagaimanapun, itu hanya penafsiran yang baik.
“Aku sudah berulang kali mengatakan kalau Rihito-kun bukan orang seperti itu… tapi malah diberi peringatan untuk tidak lengah,” kata Hazakura sambil tersenyum kecut.
“Jangan khawatir. Aku sudah terbiasa dibenci,” jawabku singkat.
Lagipula, tujuanku sejak awal hanyalah agar Hazakura diterima oleh semua orang. Meminta lebih dari itu adalah sebuah kemewahan.
Bahkan, fakta bahwa kata-kataku yang tak berarti ini bisa berguna saja sudah merupakan sebuah keajaiban.
Saat aku mengangkat bahu dan berjalan, tiba-tiba terdengar suara keras dari belakang.
“Kakei!”
Aku berbalik dan melihat seorang pria yang wajahnya sudah terpatri di benakku sejak kemarin. Sosok yang tak mungkin kulupakan begitu saja.
“Rambut-belah-tujuh-tiga-kacamata!”
Orang yang begitu memuja Hazakura, gadis sastra, tiba-tiba memanggilku? Apa ini semacam plot twist setelah happy ending? Aku pun bersiap dengan waspada.
“Meski itu faktanya, menyebutku ‘rambut-belah-tujuh-tiga-kacamata’ itu agak keterlaluan.”
“Uh… ma-maaf.”
Dengan keringat dingin, aku meminta maaf. Namun, dia hanya tersenyum ramah dan berkata, “Tidak apa-apa, aku tidak menyalahkanmu.”
“Lagipula, aku juga punya prasangka buruk tentangmu... menganggapmu sebagai pria brengsek yang akan melakukan kekerasan pada wanita.”
Setelah mengatakan itu, dia menatap Hazakura sejenak, lalu mengangguk canggung, menunjukkan sedikit rasa malu.
“Furukawa-san, maaf, tapi bisakah aku meminjam Kakei sebentar?”
Hazakura mengangguk pelan, lalu melambaikan tangan kecilnya sebelum berlari menjauh. Tujuh-tiga-pangkas-kacamata menatap kepergian Hazakura dengan tangan terlipat, senyum puas terlukis di wajahnya.
“Betapa manisnya dia,” gumamnya penuh kekaguman.
Setelah Hazakura pergi, kami berdua pun hanya berhadapan. Tujuh-tiga-pangkas-kacamata itu, dengan senyum ramah, mengulurkan tangannya padaku.
“Perkenalkan, namaku Zaizen Shoichi.”
Melihat tangan yang diulurkannya, aku justru mundur selangkah. Meskipun dia tampak jujur dan berwibawa, bagiku semua ini terasa seperti awal dari sesuatu yang buruk.
“Jadi, apa maksudmu?” tanyaku penuh curiga.
Tanpa terpengaruh oleh keraguanku, Zaizen maju dengan tenang, lebih mendekat.
“Singkat saja, aku ingin menjadi temanmu.”
“Apa...?”
Zaizen, yang selama ini sangat memuja Hazakura, ingin menjadi temanku? Tidak mungkin aku akan tertipu oleh kebohongan yang begitu jelas. Sikapnya yang terlalu ramah hanya membuatku semakin waspada.
“Jangan buat wajah seram begitu. Pasti kau mengira aku berencana untuk berpura-pura berteman agar bisa balas dendam, bukan? Hahaha! Tenang saja, aku tidak berniat melakukan hal seperti itu.”
Dengan suara lantang dan penuh semangat, Zaizen melangkah lebih dekat lagi... sangat dekat hingga wajah kami hampir bersentuhan.
“Mendengar pidatomu pagi ini, aku merasa harus mengubah pandanganku. Lebih dari itu, ketika aku melihat ekspresi alami Furukawa-san saat mendengarkan kata-katamu… aku memahami segalanya.”
Dengan tatapan yang teguh dan mata yang lurus menatapku, Zaizen berkata dengan cerah, “Kamu adalah pria yang baik!”
Terkejut oleh pernyataan tak terduga itu, aku hanya bisa terdiam, sementara Zaizen segera menundukkan kepalanya dalam-dalam dan dengan penuh semangat meminta maaf, “Maafkan aku!”
“Aku benar-benar minta maaf karena telah menilai buruk hanya berdasarkan penampilan dan suasana hati. Aku salah besar menuduhmu sebagai pria yang kejam pada wanita!”
Kata-kata tulus Zaizen bergema di dalam dadaku, membuat emosiku hampir meledak. Namun, melihatnya terus menundukkan kepala dan meminta maaf dengan penuh penyesalan, aku tak bisa menahannya lagi. “H-hey! Sudah cukup! Angkat kepalamu!” ucapku dengan canggung, mencoba menghentikannya.
Tetapi, Zaizen tak bergerak sedikitpun, terus menunduk dalam-dalam. Aku akhirnya dengan ragu-ragu melanjutkan kata-kataku, “Tapi… bukankah kamu menyukai Hazakura?”
Setelah jeda singkat, Zaizen membuka mulutnya perlahan, “Ya, benar. Aku tidak pernah berpikir aku akan bisa berkencan dengannya, tapi tetap saja aku bermimpi tentangnya. Mungkin itu terlihat seperti khayalan kekanak-kanakan bagi orang lain, tetapi bagiku, itu adalah mimpi manis yang meluluhkan hatiku.”
Karena kepalanya masih tertunduk, aku tidak bisa melihat ekspresinya, tapi dari nada suaranya yang sedikit bergetar, aku bisa merasakan betapa dalam emosinya saat itu.
“Itulah sebabnya ketika Furukawa-san memutuskan untuk berhenti menjadi gadis sastra, aku merasa sangat terpukul. Cemburu dan iri hati membakar diriku. Sepanjang hari kemarin, aku hampir hancur oleh rasa benci pada diriku sendiri… Tapi, yang menyelamatkanku adalah pidatomu. Melihatmu bertindak demi Furukawa-san meskipun kau tahu kau akan dibenci, itu membersihkan hatiku.”
Zaizen akhirnya mengangkat kepalanya, memperlihatkan senyum cerah yang tulus. Tak ada kebohongan atau niat buruk di wajahnya, hanya rasa lega yang bersinar terang.
Dengan tangan, Zaizen merapikan rambutnya yang sedikit berantakan, membentuk kembali gaya rambut tujuh-tiga yang khas miliknya.
“Dan seperti gaya rambut ini, aku sudah membuat keputusan dengan mantap. Jika jalan yang dipilih oleh gadis yang aku sukai adalah seperti ini, maka aku akan mendukungnya sepenuh hati dan memberinya restu.”
“Kamu cukup dewasa, ya,” kataku, sedikit terkesima.
“Ah, aku hanya mencoba terlihat keren saja. Jujur saja, di lubuk hatiku, aku iri denganmu yang bisa begitu dekat dengan Furukawa-san.”
Namun, senyum yang ditunjukkan Zaizen tidak menampakkan tanda-tanda iri hati atau dendam. Itu adalah senyum yang penuh kejujuran dan ketenangan.
“Maaf,” kataku lirih, mencoba mengekspresikan perasaanku.
“Kamu tidak perlu meminta maaf,” jawabnya ringan, menggelengkan kepala.
“Aku mungkin iri denganmu, tapi aku tidak membencimu. Lagipula, aku datang ke sini untuk menjadi temanmu, bukan musuh.”
Kali ini, ketika Zaizen kembali mengulurkan tangannya, aku menyambutnya dengan erat. Kami berjabatan tangan dengan hangat, tangannya yang penuh keringat menandakan semangat membara yang dimilikinya.
“Terima kasih, Zaizen.”
Aku menyadari senyum lebar di wajahku, dan dengan malu-malu aku batuk kecil untuk menyembunyikan rasa maluku.
“Aku terinspirasi olehmu dan memutuskan untuk mendoakan kebahagiaan Furukawa-san. Namun, itu adalah keputusan pribadiku. Tidak semua orang akan seperti itu. Hati manusia seperti gradasi, penuh nuansa. Suka atau benci bukanlah hal yang mudah diputuskan bagi semua orang.”
Dengan nada yang tenang dan dingin, berbeda dari kehangatan yang berlebihan sebelumnya, Zaizen melanjutkan kata-katanya.
“Itulah mengapa... meskipun ada yang menerima perubahan Furukawa-san, ada juga yang diam-diam meratapi bahwa mereka lebih suka dirinya saat masih menjadi gadis sastra. Ada juga yang berpindah hati ke gadis lain di kelas sebelah. Dan tentu saja, ada yang memendam dendam pada dirimu.”
Mendengar kejujuran Zaizen yang blak-blakan, aku tak tahu harus berkata apa. Aku hanya bisa mengangguk pelan, mengakui kenyataan itu.
“Aku tidak memintamu untuk menerima mereka. Juga, aku tidak memintamu untuk memahami mereka... Tapi, setidaknya, jangan terlalu merendahkan mereka. Mereka juga memiliki luka dan rasa sakit mereka sendiri. Ada impian mereka yang tidak bisa diungkapkan dengan sekadar kata-kata indah atau kebenaran moral.”
Setelah mengakhiri ucapannya, Zaizen menundukkan kepalanya dan menambahkan dengan lembut, “Maafkan aku telah mengatakan hal-hal yang mungkin terdengar egois.”
Aku memandang kaca mata Zaizen yang bersinar indah diterpa sinar matahari senja, dan sejenak larut dalam pemikiran.
“..........”
Kenangan lama yang sudah lama memudar tiba-tiba muncul kembali, membuat hatiku terasa sesak, berderak seperti roda yang aus.
“…Waktu di SMP, aku pernah mendukung seorang Vtuber yang terjebak dalam skandal percintaan. Dan meski aku tidak benar-benar jatuh cinta padanya, aku kira… aku mengerti sedikit perasaanmu.”
Bukan berarti aku merasakan hal yang sama dengan Zaizen. Aku tidak memiliki rasa cinta yang kuat terhadap Vtuber tersebut, dan keterlibatanku pun tidak sedalam perasaan yang dimiliki Zaizen. Aku hanya menyukainya, tanpa ada cerita khusus di baliknya, tanpa kenangan yang pantas diceritakan.
Namun, meski begitu, emosi kacau yang kualami saat itu sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata. Yang paling menyakitkan adalah menyaksikan keputusasaan dari para penggemar lainnya.
Perasaan manusia jauh lebih rumit daripada sekadar gradasi.
Rasanya lebih seperti lumpur busuk, kental, berbau tajam, dan memusingkan, mendidih tanpa henti.
Itulah sebabnya—
“—Mengatakan bahwa seseorang harus bahagia untuk idola mereka hanyalah idealisme yang tidak bertanggung jawab.”
Mendengar kata-kata berat yang kulepaskan, Zaizen tersenyum lembut.
“Terima kasih, Kakei. Sepertinya aku benar-benar bisa menjadi teman baikmu.”
Dia tersenyum sambil menatapku, dan aku mengangguk setuju.
◆ ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧ ◆
Setelah bertukar nomor telepon dan berpisah dengan Zaizen, Hazakura kembali menghampiri dengan senyum cerah. Tampaknya dia sengaja menunggu di perpustakaan sampai waktunya tepat untuk kembali.
“Maaf, membuatmu menunggu lama.”
“Tidak apa-apa! Malah bagus! Karena sekarang kamu berteman dengan Zaizen-kun, kan!”
Berbeda dengan Hazakura yang bersikap ceria, aku hanya mengangguk pelan dengan suara datar, “Ya, begitulah.” Namun, dalam hati, aku sangat gembira. Aku ingin melompat kegirangan.
Teman…! Betapa manisnya kata itu! Ah, aku tidak pernah menyangka hari di mana aku memiliki teman akan datang! Dalam tiga tahun menjalani kehidupan SMA sebagai orang yang dibenci, perasaan bahagia ini luar biasa…!
Tapi tunggu! Aku tidak boleh larut dalam euforia ini! Kalau tidak, aku mungkin akan memperlihatkan senyum bodoh yang menjijikkan, dan Hazakura bisa saja merasa jijik denganku. Dengan itu dalam pikiranku, aku segera memperbaiki sikapku.
“Ehehe, aku senang kalau Kakei-kun bahagia!”
“Ya, ini memang akhir yang bahagia.”
Aku mengangguk perlahan, melambaikan tangan dengan santai.
“Ah, tidak lagi! Apa yang kamu bicarakan! Ini baru permulaan!”
“…Permulaan?”
“Ya! Aku masih sangat kekanak-kanakan, jadi masih banyak hal yang ingin kupelajari darimu untuk menjadi dewasa!”
aku merasa bingung dan panik, tidak menduga dengan komentar Hazakura. Detak jantungku tiba-tiba meningkat, dan tubuhku terasa sedikit panas.
“Tunggu, tunggu sebentar! Bukankah aku sudah tidak punya peran lagi? Kamu sudah berhenti menjadi gadis sastra, dan kamu juga sudah diterima oleh semua orang… dan sekarang kamu punya beberapa teman perempuan, bukankah lebih baik belajar dari mereka?”
“Masalah ini dan itu berbeda!” kata Hazakura dengan antusias. Dia menatapku dengan mata penuh harap dan senyum yang bersinar seperti matahari.
Ugh, tak ada ruang untuk berargumen melawan senyuman tak terkalahkan itu.
“Jadi, tolong bantu aku seterusnya, Master!” katanya sambil membungkukkan badan dengan semangat.
Melihat Hazakura yang ceria, aku tak bisa menahan senyum lembutku.
Terasa aneh untuk dipanggil ‘Master’, apalagi aku sendiri masih jauh dari kata ‘dewasa'. Tapi, begitulah hidup. Seperti yang dia katakan, ini dan yang itu berbeda masalahnya.
Perasaan manusia memang tidak sesederhana gradasi warna.
Mungkin yang terbaik adalah menerima hubungan aneh ini sepenuhnya tanpa banyak berpikir.
“Ya, tentu saja, aku juga—”
Namun, saat aku hendak menyelesaikan kalimatku—
“KYAAAAAAAAAAAA!”
Sebuah jeritan memekakkan telinga menggema di sepanjang lorong.
“A-apa… yang terjadi?”
Sambil menutup telinga, aku melihat sekeliling, dan tak lama kemudian, aku melihat sebuah objek aneh berlari kencang mendekat.
Dari kejauhan, hanya terlihat bayangan kecil dengan pakaian berwarna emas dan biru. Namun, semakin mendekat, semakin jelas sosok itu.
Itu adalah seorang gadis gal.
Gadis gal yang berlari dengan sekuat tenaga.
“Zee… haa… zee… haa…”
Gadis itu berhenti tepat di depan kami, terengah-engah seolah baru saja melarikan diri dari bahaya besar. Dengan napas tersengal-sengal dan nyaris terjatuh, jelas dia mengalami sesuatu yang luar biasa.
Aku mengamatinya dengan hati-hati. Rambut pirang lembut dengan highlight biru muda, riasan yang sempurna, tubuh kecil dengan dada yang mencolok.
Dia mengenakan hoodie longgar berwarna biru muda yang serasi dengan highlight rambutnya, dan… rok mini yang lebih pendek dari Hazakura, membuatku tak tahu harus memandang ke mana.
Aku mengenal gadis ini. Bahkan, semua murid kelas satu di SMA Takayanagi mengenalnya. Dia terkenal dan pernah bersaing dengan Hazakura dalam popularitas.
Himegaki Mayui.
Atau biasa dipanggil HimeMayu, gadis gal yang populer dari kelas sebelah.
“……”
Apa yang diinginkan oleh HimeMayu, sang ratu ‘anak gaul’, dari kami? Aku berusaha menenangkan lututku yang gemetar dan bersiap menghadapi apapun.
Auranya, berbeda dengan energi cerah Hazakura, terasa menyengat dengan kekuatan sosial yang membara. Jika bukan karena Hazakura di sampingku, aku mungkin sudah melarikan diri saat itu juga.
“Ha-Hazakura-chan… apa-apaan pakaianmu itu?” HimeMayu menatap Hazakura dengan kaget, matanya terbuka lebar.
“Di mana kacamatamu? Apa yang terjadi dengan rambut kepangmu? Dan rokmu… itu terlalu pendek!”
“Ehehe,” Hazakura tersenyum malu, mungkin salah paham dan mengira dia dipuji. Suasana di antara keduanya begitu berbeda sehingga aku merasa seperti terkena flu hanya dengan berdiri di tengah-tengah mereka.
“Aku mendapat saran dari Kakei-kun!”
“…Kakei-kun?”
Seolah baru menyadari keberadaanku, HimeMayu memutar wajahnya dan menyipitkan mata, menatapku dengan pandangan tajam.
“Jadi, ini dia... Kakei Rihito yang terkenal itu!”
Aku hanya bisa mendesah, merasa muak. Rupanya, reputasiku yang buruk sudah sampai ke kelas sebelah.
Pasti rumor-rumor tersebut telah membesar dan berubah menjadi cerita yang benar-benar tidak masuk akal.
“Aduh! Memang benar, cowok itu semuanya sama aja, ya! Dasar menyebalkan!”
Melihat HimeMayu yang marah-marah, aku mencoba mengumpulkan keberanian dan melangkah maju untuk menjelaskan.
“T-tunggu sebentar! Ini semua cuma salah paham—”
“Diam!”
Tatapan tajam yang dia berikan membuatku langsung terpaku di tempat. Tubuhku gemetar dan tanpa sadar aku mundur selangkah.
Meskipun tubuhnya lebih kecil dari Hazakura, aura yang dia keluarkan sangat mengintimidasi. Rasanya seperti aku bisa pingsan jika sedikit saja lengah.
“Ini semua gara-gara kamu! Kamu sudah mencemari Hazakura-chan!”
Dengan jari menunjuk ke wajahku, ekspresi HimeMayu berubah penuh amarah, jauh dari kesan seorang gal. “Kamu musuhku sekarang!” teriaknya dengan penuh kemarahan.
Itu adalah sebuah pernyataan perang.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.